Anda di halaman 1dari 17

NAMA : YUKI ALVITA

NIM : A1011201181
KELAS :A
PROGRAM : REGULER A
MATA KULIAH : HUKUM PIDANA DALAM KODIFIKASI

Pasal 242
(1) Barangsiapa dalam hal-hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu
keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan
sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau
dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu,
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

(2) Jika keterangan palsu yang ditanggung dengan sumpah itu diberikan dalam perkara
pidana dengan merugikan siterdakwa atau sitersangka, maka sitersalah itu dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.

(3) Yang disamakan dengan sumpah yaitu perjanjian atau pengakuan, yang menurut undang-
undang umum menjadi ganti sumpah.

(4) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-4.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 242 KUHP


1. Yang dimaksud dengan keterangan palsu di atas sumpah adalah keterangan
yang sebahagian atau seluruhnya tidak benar yang diberikan secara lisan ataupun
dengan tulisan yang diberikan secara sendiri atau oleh kuasanya atau wakilnya,
di atas sumpah yang diucapkan sebelum dan sesudah memberikan keterangan,
menurut agama masing-masing.
2. Dalam penerapannya pasal 242 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, agar pelaku yang sengaja memberikan
keterangan palsu di atas sumpah, dapat dijatuhi hukuman maka perbuatan pelaku
harus memenuhi unsur-unsur :
- Keterangan harus atas sumpah
- Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang
- Memberi keterangan dimana undang-undang menentukan supaya memberi
keterangan yang demikian
- Memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan,
olehnya sendiri maupun kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu.
- Keterangan itu harus palsu atau tidak benar dan kepalsuan itu disengaja atau
diketahui oleh pemberi keterangan.
Unsur-unsur ini harus dibuktikan oleh hakim disidang maka unsur-unsur ini
terbukti maka terdakwa dijatuhi hukum penjara selama-lamanya tujuh tahun, dan
apabila keterangan palsu di atas sumpah itu diberikan dalam perkara pidana
dengan merugikan terdakwa, maka tersalah itu dihukum penjara selama-lamanya
sembilan tahun. Maka apabila salah satu dari unsur tersebut di atas tidak terbukti,
maka hakim memberi keputusan bebas kepada terdakwa.

Pasal 244
Barangsiapa meniru atau memalsukan uang atau uang kertas Negara atau
uang kertas Bank dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh
mengedarkan mata uang kertas Negara atau uang kertas Bank itu serupa yang
asli dan yangtiada dipalsukan, dihukum penjara selama-lamanya lima belas
tahun.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 244 KUHP


Unsur-unsur obyektif
Perbuatan meniru (namaken)
• Membuat sesuatu yang menyerupai atau seperti yang asli dari mata uang
dan uang kertas secara tanpa hak
Perbuatan memalsu (vervalschen)
• Sebelum perbuatan dilakukan sudah ada uang asli
• Pada uang asli dilakukan perbuatan menambah sesuatu baik tulisan,
gambar maupun warna,menambah atau mengurangi bahan pada mata uang
sehingga menjadi lain dari yang asli
Mata uang dan uang kertas
• Alat pembayaran yang sah menurut UU dan berlaku pada saat
peredarannya
• Mata uang berupa uang yang berasal dari bahan logam
• Uang kertas adalah uang yang terbuat dari lembaran kertas
• Uang kertas negara dan uang kertas bank yang dikeluarkan Bank Indonesia
Unsur-unsur subyektif
Maksud untuk mengedarkan dan menyuruh mengedarkan mata uang dan
uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu
• Ada kehendak petindak dalam meniru dan memalsu itu ditujukan untuk
mengedarkan dan menyuruh mengedarkan mata uang dan uang kertas
itu sebagai asli dan tidak dipalsu
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu: 1) Ketentuan hukum pidana terhadap
tindak pidana pemalsuan uang Diatur dalam Bab X buku II KUHP, Pasal 244,
245, 246, 247, 249, 250, 250 dan Pasal 251. Selain diatur di dalam KUHP,
Ketentuan hukum pidana terhadap tindak pidana pemalsuan uang juga diatur
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang yakni Bab VII
mengenai larangan dari Pasal 23-Pasal 27 dan Bab X tentang ketentuan pidananya
yaitu Pasal 33 ayat (2) dan Pasal 34-Pasal 37dan 2) Pertanggungjawaban pidana
terhadap jenis-jenis tindak pidana tersebut dirumuskan dalam 2 bentuk
perumusan, yaitu perumusan sanksi secara tunggal dan secara alternatif. Dalam
hal ini maka diperlukan Undang-undang tersendiri yang Khusus mengatur
mengenai pemalsuan terhadap uang kertas rupiah dan pengedarannya yang dapat
mengancam perekonomian Negara kita ini, sehingga penegakan hukum terhadap
kejahatan uang palsu dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, diharapkan dalam
Undang-Undang tentang Mata Uang kelak, perlu dicantumkan ancaman pidana
dan denda minimal agar tujuan pemidanaan lebih efektif yaitu untuk
menimbulkan efek jera dapat dicapai. Pemerintah harus lebih serius untuk
mencegah dan menanggulangi kejahatan pemalsuan uang dan meningkatkan
kinerja dari para penegak hukum di Indonesia. Para penegak hukum harus lebih
menjunjung tinggi profesionalitas dalam melaksanakan peran dan tugasnya
dalam upaya penegakan hukum terhadap kejahatan pemalsuan uang kertas rupiah
di Indonesia.

Pasal 245
Barangsiapa menjalankan serupa mata uang atau uang kertas negara atau uang
kertas Bank yang asli dan yang tidak dipalsukan, yakni mata uang atau uang
kertas negara atau uang kertas Bank yang ditiru atau dipalsukan sendiri, atau
yang pada waktu diterima diketahuinya palsu atau dipalsukan, ataupun barang
apa menyimpan atau memasukkan ke negara Indonesia mata uang dan uang
kertas negara atau uang kertas Bank yang demikian, dengan maksud akan
mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya serupa dengan yang asli dan
yang tiada dipalsukan, dihukum penjara selama – lamanya lima belas tahun.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 245 KUHP


Bentuk pertama
1. Unsur-unsur obyektif
• P : mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu
• obyeknya : mata uang dan uang kertas Negara atau uang kertas bank
tidak asli atau dipalsu
• Tidak aslinya atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri
2. Unsur subyektif dengan sengaja
Bentuk kedua
unsur-unsur obyektif
▪ perbuatan : mengedarkan sebagai asli dan tidak dipalsu
▪ obyeknya : mata uang dan uang kertas Negara atau uang kertas bank tidak
asli atau dipalsu
▪ yang tidak asli atau palsunya uang itu diketahuinya pada saat diterimanya
unsur subyektif
▪ dengan sengaja
Bentuk ketiga
Unsur-unsur obyektif
▪ Perbuatan : menyimpan, memasukkan ke Indonesia
▪ Obyeknya : mata uang dan uang kertas Negara atau uang kertas bank tidak
asli atau dipalsu
▪ Tidak aslinya atau palsunya uang itu karena ditiru atau dipalsu olehnya
sendiri
Unsur subyektif
▪ Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai
asli dan tidak dipalsu
Bentuk keempat
unsur-unsur obyektif
▪ Perbuatan : menyimpan, memasukkan ke indonesia
▪ Obyeknya : mata uang dan uang kertas negara atau uang kertas bank tidak
asli atau dipalsu
▪ Yang tidak asli atau palsunya uang itu diketahuinya pada saat diterimanya
unsur subyektif
▪ Dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai
asli dan tidak dipalsu
Demikian juga pasal 245 yang menjelaskan bahwa“Barang siapa dengan sengaja
mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau bank
sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau
dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau
dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata
uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau
menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dari beberapa pasal diatas bisa
digunakan untuk menjerat pelaku tersebut dimana pemalsuan uang tersebut yang
telah termasuk Internasional crime bisa dijerat dengan UU yang berlaku di
Indonesia atau hukum nasional Indonesia. Sesuai asas teritorial yang terkait
tempat atau teritorial atau wilayah terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini
menitikberatkan pada terjadinya perbuatan didalam wilayah atau territorial
Negara, dengan mengesampingkan siapa yang melakukannya. Walaupun yang
melakukan perbuatan tindak pidana tersebut adalah WNA namun tetap bisa
diadili menurut hukum di Indonesia karena mereka harus tetap tunduk terhadap
hukum yang ada di Indonesia.

Pasal 246
Barangsiapa mengurangi harga mata uang dengan maksud akan mengedarkan
atau menyuruh mengedarkan uang yang sudah di- kurangi harganya itu, dihukum
karena merusakkan uang, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 246 KUHP


Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 246 memiliki unsur-unsur sebagai
berikut: 32 a Unsur-unsur Objektif 1. Perbuatan: mengurangi nilai; 2. Objeknya:
mata uang; b Unsur Subjektif 3. Dengan maksud untuk mengedarkan atau
menyuruh mengedarkan uang yang dikurangi nilainya. Pasal ini ditujukan pada
uang yang dibuat dari logam, baik emas maupun perak atau jenis lainnya, yang
dirusak dengan berbagai cara dan berakibat kepada berkurangnya nilai uang.
Unsur objektif mengurangi nilai maksudnya adalah, akibat dari tindakan si pelaku
nilai intrinsik dari mata uang menjadi berkurang, bukan nilai nominalnya.
Contohnya seperti melakukan perusakan terhadap uang logam dengan cara
melubangi atau mengikirnya. Hal itu akan mengurangi nilai intrinsik dari uang
logam. Namun pelaku perusak uang logam tetap berniatbermaksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan uang yang sudah berkurang nilainya
akibat perusakan yang sudah terjadi sebelumnya. Perbuatan mengedarkan dan
menyuruh mengedarkan tidak perlu diwujudkan, karena unsur ini hanya dituju
oleh maksud pelaku. 33 Perbuatan yang diatur dalam Pasal ini sudah dapat
dipidana apabila terbukti ada suatu niat untuk mengedarkan atau menyuruh
mengedarkan dari si pelaku.

Pasal 247
Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan serupa mata uang yang tidak rusak,
mata uang mana ia sendiri telah kurangkan harganya atau yang pada waktu
diterima kerusakan itu diketahuinya atau barangsiapa dengan sengaja
menyimpan atau memasukkan mata uang yang demikian ke Negara Indonesia
dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh menjalankannya serupa mata
uang yang tidak rusak, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 247 KUHP


Kejahatan mengedarkan uang rusak pada dasarnya sama dengan kejahatan
mengedarkan uang palsu Pasal 245, masing-masing mempunyai unsur perbuatan,
kesalahan dan cara merumuskan yang sama. 34 Perbedaannya dapat dilihat dari
beberapa sudut, yaitu: 33 Ibid., 41. 34 Ibid., hlm. 43. Universitas Sumatera Utara
34 1. Objek dalam Pasal 245 adalah mata uang atau uang kertas palsu, sedangkan
dalam Pasal 247 objeknya adalah berupa mata uang rusak. 2. Dalam Pasal 245
penyebab uang tersebut palsu adalah perbuatan meniru atau memalsu, sedangkan
dalam Pasal 247 penyebab rusaknya uang adalah karena perbuatan mengurangi
nilai. 3. Ancaman pidana maksimal terhadap kejahatan yang diatur dalam Pasal
245 adalah 15 tahun penjara, sedangkan ancaman pidana maksimal bagi
kejahatan Pasal 247 adalah 12 tahun penjara. 4. Kejahatan Pasal 245 terjadi
setelah timbulnya kejahatan Pasal 244. Sedangkan kejahatan Pasal 247 terjadi
setelah timbulnya kejahatan Pasal 246.

Pasal 253
Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun :

1e. barangsiapa meniru atau memalsukan materai yang dikeluarkan oleh


Pemerintah Negara Indonesia atau meniru atau memalsukan tandatangan, yang
perlu untuk mensyahkan materai itu, dengan maksud akan menggunakan atau
menyuruh orang lain menggunakan materai itu sebagai materai asli dan tidak
dipalsukan atau serupa materai yang sah ;

2e. barangsiapa dengan maksud serupa itu juga membuat materai itu, dengan
melawan hak, dengan memakai cap yang asli.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 253


Pengedaran meterai tempel palsu dengan total kerugian dan potensi kerugian
negara mencapai Rp27,9 milionlin
Terkait kasus ini Polda Metro Jaya telah mengamankan sembilan orang terduga
pelaku dengan sejumlah barang bukti termasuk lebih dari 3 juta keping meterai
tempel palsu nominal Rp6000 yang dijual para pelaku secara online dengan harga
Rp2.200 per keping. Komplotan ini diduga telah melakukan penjualan meterai
palsu selama tiga tahun melalui blog dan toko online.
Para pelaku dijerat dengan Pasal 13 UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai jo Pasal 253 KUHP jo Pasal 257 KUHP dengan ancaman pidana penjara
paling lama tujuh tahun dan/atau Pasal 3, 4, dan 5 UU Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
ancaman pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas
tahun, dan denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp15 miliar.

Pasal 254
Dihukum penjara selama - lamanya enam tahun :
1e. Barangsiapa menaruhkan pada barang - barang yang terbuat dari emas atau
perak, materai kenegaraan yang palsu atau tanda sipembuat yang dikehendaki
undang - undang atau memaksukan yang asli, dengan maksud akan
menggunakan atau menyuruh oranglain menggunakan barang - barang itu
seolah - olah merek atau tanda yang ditaruhkan itu asli dan tidak palsu.

2e. Barangsiapa dengan maksud serupa itu juga menaruhkan merek atau tanda
pada barang yang tersebut dengan melawan hak, memakai cap yang asli.

3e. Barangsiapa memasang, menambah atau memindahkan merek negara yang


asli atau tanda pembuat yang dikehendaki oleh undang - undang didalam, pada
atau atas lain - lain barang - barang yang terbikin dari emas atau perak,
selainnya daripada yang mula - mulanya dibubuhi merek atau tanda itu, dengan
maksud akan menggunakan atau menyuruh oranglain menggunakan barang itu,
seolah - olah merek atau tanda itu dari mula - mulanya ditaruhkan pada barang
itu.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 254


Pasal 254 ke-1 memuat tindak pidana berupa mengecap barangbarang itu dengan
stempel palsu atau memalsukan cap asli yang sudah ada pada barang-barang itu
dengan tujuan untuk memakai atau menyuruh memakai oleh orang lain barang-
barang itu seolah-olah cap yang ada pada barang-barang itu adalah asli dan tidak
palsu. Pasal 254 ke-2 memuat tindak pidana seperti pasal 253 ke-2, yaitu secara
melanggar hukum mengecap barang-barang emas atau perak tadi dengan stempel
yang asli. Jadi, yang berwenang menggunakan stempel yang asli tadi adalah
orang lain bukan pelaku tindak pidana ini, atau pelaku yang pada umumnya
berwenang, tetapi mengecap barang-barang itu secara menyeleweng, tidak
menurut semestinya, misalnya barang-barang itu seharusnya tidak boleh diberi
cap-cap itu karena kurang kemurniannya. Pasal 254 ke-3 mengenai barang-
barang emas dan perak yang sudah diberi cap Negara atau cap orang-orang ahli
dengan semestinya, tetapi ada seseorang dengan mempergunakan stempel asli
mengecap, menambahkan, atau memindahkan cap itu kebarang-barang lain (dari
emas dan perak) dengan tujuan memakai atau menyuruh memakai oleh orang
lain, barang-barang itu, seolah-olah barang itu sudah sejak semula dan dengan
semestinya diberi cap-cap tadi. Ketiga tindak pidana diatas diancam hukuman
maksimum penjara enam tahun.

Pasal 255
(1) Dalam hal suatu perkara dibatalkan karena peraturan hukum tidak
ditetapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah
Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena karena cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Mahkamah Agung
menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara
yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan,
atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan
perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.

(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah
Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara
tersebut.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 255


Pasal 255 memuat tindak-tindak pidana seperti pasal 254, tetapi mengenai cap
tera yang diwajibkan atau diadakan atas permohonan orangorang yang
berkepentingan pada barang-barang tertentu, misalnya alat-alat untuk
menimbang atau mengukur.Hukumannya lebih ringan lagi, yaitu maksimum
empat tahun penjara.

Pasal 263
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu
pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi
sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang
lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,
maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum
karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.

(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja
menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan
tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu
kerugian.
Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 263
Pasal 263 dan Pasal 266 berada dalam satu bab yaitu Bab XII tentang
Pemalsuan dalam Surat-Surat (valschheid in geschrift) yang berturut-turut
memuat empat title, semuanya tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum.
Pemalsuan dalam surat-suart dianggap lebih bersifat mengenai kepentingan
masyarakat, yaitu kepercayaan masyarakat kepada isi surat-surat daripada
bersifat kepentingan kepentingan pribadi yang mungkin secara langsung
dirugikan dengan pemalsuan surat ini. Secara umum, unsur-unsur pemalsuan
surat dalam Bab XII ini terdiri dari (1) suatu surat yang dapat menghasilkan
sesuatu hak sesuatu perjanjian utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari
sesuatu kejadian; (2) membuat surat palsu (artinya surat itu sudah dari mulainya
palsu) atau memalsukan surat (artinya surat itu tadinya benar, tetapi kemudian
palsu); (3) tujuan menggunakan atau digunakan oleh orang lain; (4) dapat
menimbulkan kerugian.
Pasal 263 jika diurai unsur-unsur berdasakan teori hukum pidana maka dapat
dilihat dua unsur bersarnya yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

Unsur objektif, meliputi perbuatan: (a) membuat surat palsu, (b) memalsu.
Objeknya yakni surat: (a) yang dapat menimbulkan hak, (b) yang menimbulkan
suatu perikatan, (c)yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; (d) ang
diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal, dapat menimbulkan akibat
kerugian dari pemakai surat tertentu.
Unsur subjektif: dengan maksud untuk menggunakanya sebagai surat yang asli
dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut.
Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap empat macam surat tersebut
adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu
(vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah
surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya
palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu.
Perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada
sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti
salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut
dengan surat yang dipalsu. Menggunakan sebuah surat adalah melakukan
perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan,
menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian
dengan surat itu mengetahui isinya. Ada dua syarat adanya “seolah-olah surat asli
dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya
orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang
untuk memperdaya orang lain. Kerugian tersebut harus bisa diperhitungkan
(Adami Chazawi), jika kerugian tidak diderita oleh para pihak, maka unsur ini
tidak terpenuhi.
Dalam pasal ini, pemalsuan surat harus dilakukan dengan sengaja (dengan
maksud) dipergunakan sendiri atau menyuruh orang lain mempergunakan surat
palsu tersebut yang seolah olah asli. Dengan demikian orang yang menggunakan
surat palsu itu trsebut harus mengetahui benar-benar bahwa surat itu palsu, jika
tidak mengetahui maka tidak dapat dihukum. Pengetahuan ini penting karena
unsur kesengajaan menghendeki pengetahuan dan keinginan (willen en wetten).
Dengan demikian harus ada unsur pengetahuan dari orang yang mempergunakan
surat palsu tersebut, seolah olah surat itu benar dan bukan palsu.
Untuk mengetahui apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawaban atas
delik yang dilakuknanya maka harus dilihat dapat kemamuan jiwa (versdelijke
vermogens), doktrin ini secara lebih lengkap disebut dengan actus non facit reum
nisi mens sit rea (actus reus dan mens rea) : suatu perbuatan tidak dapat
membuat orang bersalah kecuali dilakukan dengan niat jahat atau geen straf
zonder schuld. Kesalahan merupakan unsur penting dari pertanggungjawaban
pidana disamping unsur lainnya yaitu kemampuan bertanggung jawab dan
tiadanya alasan pemaaf.
Kesalahan dibagi dua, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Dalam konteks kasus ini
maka yang akan ditafsirkan adalah kesengaajaan karena Pasal 263 KUHP
menghendaki adanya unsur kesengajaan (dengan maksud). Kesengajaa :
atau dolus (opzet) atau intention tidak dirumuskan dalam KUHP namun ada
dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) yaitu menghendaki dan
menginsafi suatu tindakan beserta akibat-akibatnya (willen dan wetten) kategori
perbuatan ini disebut juga dengan dolus manus. Untuk mengetahui ada tidaknya
kesengajaan dapat mempertimbangkan dua theory berikut ini yaitu :
1. Teori kehendak (willstheorie) yang menghendaki perbuatan dan
akibat-akibatnya teori kehendak ini dikenal dengan prinsip dolus
manus.
2. Teori membayangkan (voorstelingstheorie) yaitu suatu akibat
tidak mungkin dikehaki karena pada prinsipnya manusia hanya
memiliki kehendak untuk melaksanakan perbuaan tetapi tidak
dapat menghendaki akibatnya.
Dalam praktik tidak ada perbedaan dalam menerapkan teori ini, kecuali hanya
perbedaan istilah saja. Karena hanya ingin mengukur, apakah akibat tersebut
dikehendaki atau dibayangkan saja. Dalam konteks kelalaian maka ada dua jenis
yaitu kelalaian berat (culva lata) dinilai karena kekurang waspadaan atau
kekurang hati-hatian dari pelaku dan kelalaian ringan (culva levis) karena tingkat
kecerdasan pelaku yang diperbandingkan dengan tingkat kecerdasan rata-rata
pada umumnya. Ukuran kecerdasan ini mengacu pada pengetahuan pelaku dan
persepsi pelaku sebagai manusia normal. Untuk mengukur tingkat kelalaian ini
pun, dapat menggunakan tingkat usia pelaku dan keadaan fisik pelaku. Tidak bisa
menyamaratakan antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain karena tingkat
kecerdasan rata rata orang juga dipengaruhi oleh usia, sehingga menimbulkan
perilaku ketidakhati-hatian (Sianturi).

Pasal 264
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,
jika dilakukan terhadap:
Akta-akta otentik;
1. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
2. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari
suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
3. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat
yang diterangkan dalam 1 dan 2, atau tanda bukti yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
4. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk
diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat
menimbulkan kerugian.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 264


R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa yang
diartikan dengan surat dalam bab ini adalah segala surat, baik yang ditulis dengan
tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lain-lainnya.

Surat yang dipalsukan itu harus surat yang:


1. dapat menimbulkan sesuatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk,
surat andil, dan lain-lain);
2. dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya surat perjanjian piutang,
perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya);
3. dapat menerbitkan suatu pembebasan hutang (kuitansi atau surat
semacam itu); atau
4. surat yang digunakan sebagai keterangan bagi suatu perbuatan atau
peristiwa (misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku
harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan lain-lain).

Adapun bentuk-bentuk pemalsuan surat itu menurut Soesilo dilakukan dengan


cara:
1. Membuat surat palsu: membuat isinya bukan semestinya (tidak benar).
2. Memalsu surat: mengubah surat sedemikian rupa sehingga isinya
menjadi lain dari isi yang asli. Caranya bermacam-macam, tidak senantiasa
surat itu diganti dengan yang lain, dapat pula dengan cara mengurangkan,
menambah atau merubah sesuatu dari surat itu.
3. Memalsu tanda tangan juga termasuk pengertian memalsu surat.
4. Penempelan foto orang lain dari pemegang yang berhak (misalnya foto
dalam ijazah sekolah).

Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di
atas adalah:
1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan
menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-
olah asli dan tidak dipalsukan;
2. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat”
maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja
akan adanya kerugian itu sudah cukup;
3. Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga
sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang
menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia
gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada
orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu
di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang
itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula
perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana
pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman
hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik.
Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan
syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum seperti
notaris.

Pasal 267

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.

Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 266

Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak terjadi. Hal
tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya
khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus
pelaku tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi
pemikiran maupun dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan
terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Memang pemalsuan
sendiri diatur dalam BAB XII (Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan),
buku tersebut mencantumkam bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa
tulisan-tulisan saja, termasuk di dalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam
Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana. Tindak pidana yang sering
terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau
memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik) dan
Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu
akta otentik).

Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi
unsurunsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh menempatkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran. Kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang
melakukan, b. mereka yang menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta
dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
hukumnya, yaitu:

1. Barang siapa ;

2. Menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ;

3. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran ;

4. Pelakunya:

a. Mereka yang melakukan ;

b. Mereka yang menyuruh melakukan ;

c. . Mereka yang turut melakukan.

Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek ( pelaku ), yaitu “yang
menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan
bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat
akte dalam hal ini Notaris, ia (notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal
266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang
sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan
keterangan palsu.

Pejabat Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan)


menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah “orang yang disuruh
melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1) KUHP, tindakan subjek
(pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu ke dalam suatu
akte otentik, sehingga kata “menyuruh” dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP
ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek),
sedangkan pada yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan
keterangan palsu dan seterusnya .

Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu,


memegang peranan yang penting dalam pembuatan akta-akta yang resmi
(otentik). Peranan dan kedudukan Notaris yang demikian penting artinya ini
karena akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris itu selain mempunyai
kekuatan hukum, juga membawa akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak.
KUHP menjaga kepentingan dan kepercayaan atas surat-surat dan akta-akta yang
dibuat oleh yang berwenang, seperti halnya dengan Akta Notaris. Pada Pasal 263
dan 264 KUHP mengancam pidana terhadap barang siapa yang melakukan
pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP misalnya, terkandung maksud untuk
memberikan perlindungan atau kepercayaan umum terhadap surat atau akta yang
bersangkutan. Bahwa pekerjaan atau tugas-tugas seorang Notaris itu sangat
penting artinya, oleh karena menyangkut dengan soal kepercayaan yang
dilimpahkan oleh perundang-undangan kepadanya. Tetapi dalam kenyataan,
tugas-tugas atau karya dan Notaris itu pun tidak luput dari pemalsuan oleh pihak
yang tidak bertanggung jawab. Pemalsuan terhadap Akta Notaris bukan hanya
menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tetapi juga merupakan suatu tindak
pidana.

1. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat diatur dalam Pasal 263 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Unsur yang terkandung dalam pasal 263 yaitu
unsur obyektif yaitu (a) Perbuatan yaitu memakai (b) Obyeknya yaitu surat palsu
dan surat yang dipalsukan, (c) Pemakaian surat tersebut dapat merugikan dan
Unsur subyektif dengan sengaja. Selanjutnya Tindak Pidana Pemalsuan diatur
dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Unsur-unsurnya adalah
unsur objektif (a) Perbuatan : menyuruh memasukkan, (b) Obyeknya: keterangan
palsu, (c) Kedalam akta otentik,(d) sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan dengan akta itu, (e) Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian.

2. Upaya yang dilakukan Jaksa Penuntut Umum di muat dalam surat


dakwaan. Surat dakwaan adalah surat atau akta yang memuat rumusan tindak
pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil
pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam
pemeriksaan di muka sidang Pengadilan. Perumusan dakwaan didasarkan dari
hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, komulatif, alternatif
maupun subsidair. Dalam kasus ini Jaksa Penuntut Umum mendakwa terdakwa
dengan pasal 266 ayat (1) KUHP, jo pasal 55 AYAT (1) ke-1 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP).

3. Pertimbangan hukum Hakim di rumuskan dalam pasal 266 ayat (1)


KUHPidana jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP adalah “barang siapa menyuruh
memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal
yang kebenerannya harus dinyatakan oleh akta ini, dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya
sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan
kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Hal tersebut yang
mengakibatkan putusan PN. 1545/Pid.B/2012/PN.-Mdn yang merupakan putusan
Tingkat Pertama. Pengadilan Negeri Medan memberikan putusan yang amar
putusannya berbunyi menyatakan terdakwa Ignasius Sago telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan
yaitu “bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu ke dalam akta
autentik, menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun dan 6 (enam) bulan kurungan, menetapkan masa penahanan yang
telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang
dijatuhkan, memerintahkan terdakwa ditahan, dan memerintahkan barang bukti
supaya dikembalikan kepada Octo Berman Simanjuntak. Selanjutnya dalam
putusan Pengadilan Tinggi Negeri Medan memutus terdakwa dengan penjara 8
(delapan) bulan.

Anda mungkin juga menyukai