Pasal Kuhp
Pasal Kuhp
NIM : A1011201181
KELAS :A
PROGRAM : REGULER A
MATA KULIAH : HUKUM PIDANA DALAM KODIFIKASI
Pasal 242
(1) Barangsiapa dalam hal-hal yang menurut peraturan undang-undang menuntut sesuatu
keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan
sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau
dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk untuk itu,
dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu yang ditanggung dengan sumpah itu diberikan dalam perkara
pidana dengan merugikan siterdakwa atau sitersangka, maka sitersalah itu dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.
(3) Yang disamakan dengan sumpah yaitu perjanjian atau pengakuan, yang menurut undang-
undang umum menjadi ganti sumpah.
(4) Dapat dijatuhkan hukuman mencabut hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-4.
Pasal 244
Barangsiapa meniru atau memalsukan uang atau uang kertas Negara atau
uang kertas Bank dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh
mengedarkan mata uang kertas Negara atau uang kertas Bank itu serupa yang
asli dan yangtiada dipalsukan, dihukum penjara selama-lamanya lima belas
tahun.
Pasal 245
Barangsiapa menjalankan serupa mata uang atau uang kertas negara atau uang
kertas Bank yang asli dan yang tidak dipalsukan, yakni mata uang atau uang
kertas negara atau uang kertas Bank yang ditiru atau dipalsukan sendiri, atau
yang pada waktu diterima diketahuinya palsu atau dipalsukan, ataupun barang
apa menyimpan atau memasukkan ke negara Indonesia mata uang dan uang
kertas negara atau uang kertas Bank yang demikian, dengan maksud akan
mengedarkan atau menyuruh mengedarkannya serupa dengan yang asli dan
yang tiada dipalsukan, dihukum penjara selama – lamanya lima belas tahun.
Pasal 246
Barangsiapa mengurangi harga mata uang dengan maksud akan mengedarkan
atau menyuruh mengedarkan uang yang sudah di- kurangi harganya itu, dihukum
karena merusakkan uang, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun.
Pasal 247
Barangsiapa dengan sengaja mengedarkan serupa mata uang yang tidak rusak,
mata uang mana ia sendiri telah kurangkan harganya atau yang pada waktu
diterima kerusakan itu diketahuinya atau barangsiapa dengan sengaja
menyimpan atau memasukkan mata uang yang demikian ke Negara Indonesia
dengan maksud akan mengedarkan atau menyuruh menjalankannya serupa mata
uang yang tidak rusak, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Pasal 253
Dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun :
2e. barangsiapa dengan maksud serupa itu juga membuat materai itu, dengan
melawan hak, dengan memakai cap yang asli.
Pasal 254
Dihukum penjara selama - lamanya enam tahun :
1e. Barangsiapa menaruhkan pada barang - barang yang terbuat dari emas atau
perak, materai kenegaraan yang palsu atau tanda sipembuat yang dikehendaki
undang - undang atau memaksukan yang asli, dengan maksud akan
menggunakan atau menyuruh oranglain menggunakan barang - barang itu
seolah - olah merek atau tanda yang ditaruhkan itu asli dan tidak palsu.
2e. Barangsiapa dengan maksud serupa itu juga menaruhkan merek atau tanda
pada barang yang tersebut dengan melawan hak, memakai cap yang asli.
Pasal 255
(1) Dalam hal suatu perkara dibatalkan karena peraturan hukum tidak
ditetapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah
Agung mengadili sendiri perkara tersebut.
(2) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena karena cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang. Mahkamah Agung
menetapkan disertai petunjuk agar pengadilan yang memutus perkara
yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan,
atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat menetapkan
perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam hal suatu putusan dibatalkan karena pengadilan atau hakim yang
bersangkutan tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah
Agung menetapkan pengadilan atau hakim lain mengadili perkara
tersebut.
Pasal 263
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat
menerbitkan sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu
pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi
sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang
lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan,
maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum
karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.
(2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum, barangsiapa dengan sengaja
menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan
tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat mendatangkan sesuatu
kerugian.
Ringkasan dan Unsur yang Terkandung dalam Pasal 263
Pasal 263 dan Pasal 266 berada dalam satu bab yaitu Bab XII tentang
Pemalsuan dalam Surat-Surat (valschheid in geschrift) yang berturut-turut
memuat empat title, semuanya tentang kejahatan terhadap kekuasaan umum.
Pemalsuan dalam surat-suart dianggap lebih bersifat mengenai kepentingan
masyarakat, yaitu kepercayaan masyarakat kepada isi surat-surat daripada
bersifat kepentingan kepentingan pribadi yang mungkin secara langsung
dirugikan dengan pemalsuan surat ini. Secara umum, unsur-unsur pemalsuan
surat dalam Bab XII ini terdiri dari (1) suatu surat yang dapat menghasilkan
sesuatu hak sesuatu perjanjian utang atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari
sesuatu kejadian; (2) membuat surat palsu (artinya surat itu sudah dari mulainya
palsu) atau memalsukan surat (artinya surat itu tadinya benar, tetapi kemudian
palsu); (3) tujuan menggunakan atau digunakan oleh orang lain; (4) dapat
menimbulkan kerugian.
Pasal 263 jika diurai unsur-unsur berdasakan teori hukum pidana maka dapat
dilihat dua unsur bersarnya yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektif, meliputi perbuatan: (a) membuat surat palsu, (b) memalsu.
Objeknya yakni surat: (a) yang dapat menimbulkan hak, (b) yang menimbulkan
suatu perikatan, (c)yang menimbulkan suatu pembebasan hutang; (d) ang
diperuntukan sebagai bukti dari pada suatu hal, dapat menimbulkan akibat
kerugian dari pemakai surat tertentu.
Unsur subjektif: dengan maksud untuk menggunakanya sebagai surat yang asli
dan tidak dipalsukan atau untuk membuat orang lain menggunakan surat tersebut.
Sementara itu perbuatan yang dilarang terhadap empat macam surat tersebut
adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) dan memalsu
(vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah
surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya
palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu.
Perbuatan memalsu, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada
sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti
salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat semula. Surat ini disebut
dengan surat yang dipalsu. Menggunakan sebuah surat adalah melakukan
perbuatan bagaimanapun wujudnya atas sebuah surat dengan menyerahkan,
menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain yang orang lain itu kemudian
dengan surat itu mengetahui isinya. Ada dua syarat adanya “seolah-olah surat asli
dan tidak dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya
orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang
untuk memperdaya orang lain. Kerugian tersebut harus bisa diperhitungkan
(Adami Chazawi), jika kerugian tidak diderita oleh para pihak, maka unsur ini
tidak terpenuhi.
Dalam pasal ini, pemalsuan surat harus dilakukan dengan sengaja (dengan
maksud) dipergunakan sendiri atau menyuruh orang lain mempergunakan surat
palsu tersebut yang seolah olah asli. Dengan demikian orang yang menggunakan
surat palsu itu trsebut harus mengetahui benar-benar bahwa surat itu palsu, jika
tidak mengetahui maka tidak dapat dihukum. Pengetahuan ini penting karena
unsur kesengajaan menghendeki pengetahuan dan keinginan (willen en wetten).
Dengan demikian harus ada unsur pengetahuan dari orang yang mempergunakan
surat palsu tersebut, seolah olah surat itu benar dan bukan palsu.
Untuk mengetahui apakah pelaku dapat diminta pertanggungjawaban atas
delik yang dilakuknanya maka harus dilihat dapat kemamuan jiwa (versdelijke
vermogens), doktrin ini secara lebih lengkap disebut dengan actus non facit reum
nisi mens sit rea (actus reus dan mens rea) : suatu perbuatan tidak dapat
membuat orang bersalah kecuali dilakukan dengan niat jahat atau geen straf
zonder schuld. Kesalahan merupakan unsur penting dari pertanggungjawaban
pidana disamping unsur lainnya yaitu kemampuan bertanggung jawab dan
tiadanya alasan pemaaf.
Kesalahan dibagi dua, yaitu kesengajaan dan kelalaian. Dalam konteks kasus ini
maka yang akan ditafsirkan adalah kesengaajaan karena Pasal 263 KUHP
menghendaki adanya unsur kesengajaan (dengan maksud). Kesengajaa :
atau dolus (opzet) atau intention tidak dirumuskan dalam KUHP namun ada
dalam penjelasan Memorie van Toelichting (MvT) yaitu menghendaki dan
menginsafi suatu tindakan beserta akibat-akibatnya (willen dan wetten) kategori
perbuatan ini disebut juga dengan dolus manus. Untuk mengetahui ada tidaknya
kesengajaan dapat mempertimbangkan dua theory berikut ini yaitu :
1. Teori kehendak (willstheorie) yang menghendaki perbuatan dan
akibat-akibatnya teori kehendak ini dikenal dengan prinsip dolus
manus.
2. Teori membayangkan (voorstelingstheorie) yaitu suatu akibat
tidak mungkin dikehaki karena pada prinsipnya manusia hanya
memiliki kehendak untuk melaksanakan perbuaan tetapi tidak
dapat menghendaki akibatnya.
Dalam praktik tidak ada perbedaan dalam menerapkan teori ini, kecuali hanya
perbedaan istilah saja. Karena hanya ingin mengukur, apakah akibat tersebut
dikehendaki atau dibayangkan saja. Dalam konteks kelalaian maka ada dua jenis
yaitu kelalaian berat (culva lata) dinilai karena kekurang waspadaan atau
kekurang hati-hatian dari pelaku dan kelalaian ringan (culva levis) karena tingkat
kecerdasan pelaku yang diperbandingkan dengan tingkat kecerdasan rata-rata
pada umumnya. Ukuran kecerdasan ini mengacu pada pengetahuan pelaku dan
persepsi pelaku sebagai manusia normal. Untuk mengukur tingkat kelalaian ini
pun, dapat menggunakan tingkat usia pelaku dan keadaan fisik pelaku. Tidak bisa
menyamaratakan antara pelaku yang satu dengan pelaku yang lain karena tingkat
kecerdasan rata rata orang juga dipengaruhi oleh usia, sehingga menimbulkan
perilaku ketidakhati-hatian (Sianturi).
Pasal 264
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,
jika dilakukan terhadap:
Akta-akta otentik;
1. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
2. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari
suatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai:
3. talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat
yang diterangkan dalam 1 dan 2, atau tanda bukti yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
4. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk
diedarkan;
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai
surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang
dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat
menimbulkan kerugian.
Unsur-unsur pidana dari tindak pidana pemalsuan surat selain yang disebut di
atas adalah:
1. Pada waktu memalsukan surat itu harus dengan maksud akan
menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-
olah asli dan tidak dipalsukan;
2. Penggunaannya harus dapat mendatangkan kerugian. Kata “dapat”
maksudnya tidak perlu kerugian itu betul-betul ada, baru kemungkinan saja
akan adanya kerugian itu sudah cukup;
3. Yang dihukum menurut pasal ini tidak saja yang memalsukan, tetapi juga
sengaja menggunakan surat palsu. Sengaja maksudnya bahwa orang yang
menggunakan itu harus mengetahui benar-benar bahwa surat yang ia
gunakan itu palsu. Jika ia tidak tahu akan hal itu, ia tidak dihukum.
Sudah dianggap “mempergunakan” misalnya menyerahkan surat itu kepada
orang lain yang harus mempergunakan lebih lanjut atau menyerahkan surat itu
di tempat dimana surat tersebut harus dibutuhkan.
4. Dalam hal menggunakan surat palsu harus pula dibuktikan bahwa orang
itu bertindak seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, demikian pula
perbuatan itu harus dapat mendatangkan kerugian.
Lebih lanjut, menurut Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP, bahwa tindak pidana
pemalsuan surat sebagaimana Pasal 263 KUHP lebih berat ancaman
hukumannya apabila surat yang dipalsukan tersebut adalah surat-surat otentik.
Surat otentik, menurut Soesilo adalah surat yang dibuat menurut bentuk dan
syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang, oleh pegawai umum seperti
notaris.
Pasal 267
(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang
diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya
benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam
tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai
surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu
dapat menimbulkan kerugian.
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak terjadi. Hal
tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya
khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus
pelaku tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi
pemikiran maupun dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan
terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Memang pemalsuan
sendiri diatur dalam BAB XII (Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan),
buku tersebut mencantumkam bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa
tulisan-tulisan saja, termasuk di dalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam
Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana. Tindak pidana yang sering
terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau
memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik) dan
Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu
akta otentik).
Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi
unsurunsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh menempatkan keterangan
palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau
menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan
kebenaran. Kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP,
menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang
melakukan, b. mereka yang menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta
dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
hukumnya, yaitu:
1. Barang siapa ;
3. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran ;
4. Pelakunya:
Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek ( pelaku ), yaitu “yang
menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan
bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat
akte dalam hal ini Notaris, ia (notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal
266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang
sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan
keterangan palsu.
1. Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Surat diatur dalam Pasal 263 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Unsur yang terkandung dalam pasal 263 yaitu
unsur obyektif yaitu (a) Perbuatan yaitu memakai (b) Obyeknya yaitu surat palsu
dan surat yang dipalsukan, (c) Pemakaian surat tersebut dapat merugikan dan
Unsur subyektif dengan sengaja. Selanjutnya Tindak Pidana Pemalsuan diatur
dalam Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Unsur-unsurnya adalah
unsur objektif (a) Perbuatan : menyuruh memasukkan, (b) Obyeknya: keterangan
palsu, (c) Kedalam akta otentik,(d) sesuatu hal yang kebenarannya harus
dinyatakan dengan akta itu, (e) Jika pemakaiannya dapat menimbulkan kerugian.