Anda di halaman 1dari 34

JENIS DAN BENTUK

KORUPSI

MATA KULIAH PENDIDIKAN ANTI KORUPSI


DISAMPAIKAN OLEH:
RIFKI MONRIZAL NASRIDA PUTRA, SH, M.Si
UNIVERSITAS SUMATERA BARAT
Bentuk dan jenis-jenis korupsi di berbagai
negara tidak sama, tergantung pada
pengalaman atau sejarah negara tersebut dan
dapat dikembangkan berdasarkan praktik-
praktik korupsi atau kreativitas dari para
perampok harta rakyat dan negara.
A. Bentuk Korupsi
• Sebagaimana telah disebutkan dalam Bab II, definisi korupsi diuraikan
panjang lebar dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001.
• Sebanyak 13 pasal menjelaskan bentuk-bentuk korupsi di Indonesia yang
dapat dilakukan penindakan terhadapnya.

• Dari pasal-pasal tersebut, korupsi dirinci lebih lanjut ke


dalam 30 bentuk tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut
menjelaskan secara rinci tentang perbuatan-perbuatan yang
bisa dikenakan pidana penjara karena kasus korupsi
30 bentuk tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut

1. Kerugian keuangan negara: pasal 2 dan 3.


2. Suap menyuap: pasal 5 ayat (1) huruf a, pasal 5 ayat (1) huruf b, pasal 5 ayat
(2), pasal 6 ayat (1) huruf a, pasal 6 ayat (1) Pendidikan Antikorupsi 63 huruf b,
pasal 6 ayat (2), pasal 11, pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf b, pasal 12 huruf c,
pasal 12 huruf d dan pasal 13.
3. Penggelapan dalam jabatan: pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, pasal 10 huruf
b, dan pasal 10 huruf c.
4. Pemerasan: pasal 12 huruf e, pasal 12 huruf f, pasal 12 huruf g.
5. Perbuatan curang: pasal 7 ayat (1) huruf a, pasal 7 ayat (1) huruf b, pasal 7
ayat (1) huruf c, pasal 7 ayat (1) huruf d, pasal 7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h
6. Benturan-benturan dalam pengadaan: pasal 12 huruf i.
7. Gratifikasi: pasal 12 B jo pasal 12 C (KPK, 2006: 4-5).
• Selain 30 tindak pidana korupsi tersebut, masih
terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan
tindak pidana korupsi yakni sebagaimana diatur di
dalam pasal 21, 22 jo 28, 22 jo 29, 22 jo 35, 22 jo 36
dan 24 jo 31.
SUAP MENYUAP
• Suap-menyuap diatur dalam 5 pasal dari UU Korupsi.

• Pasal 5 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa: setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya termasuk perbuatan suap-menyuap.

• Demikian pula pasal 5 ayat (1) huruf b yang berbunyi: memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan
dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya, termasuk juga kategori
suapmenyuap.

• Suap-menyuap terdapat pula dalam rumusan pasal 5 ayat (2), yaitu bagi pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dalam ayat (1) huruf
a dan b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Pidana
penjara yang dikenakan kepada pihak yang menerima suap tersebut adalah pidana penjara
paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 50 juta
dan paling banyak Rp 250 juta. Pasal 11, 12, dan 13 berkaitan dengan pasal 5 mengenai suap
yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara.
• Rumusan suap dalam pasal 11 berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya.

• Pasal 12 huruf a berunsurkan suap, berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau
janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

• Demikian pula pasal 12 huruf b yang menyatakan bahwa pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,
tergolong tindakan suapmenyuap.

• Pasal 13 yang berbunyi: setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai
negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut, termasuk rumusan suap yang berkaitan dengan posisi pegawai negeri.
• Pasal 12 huruf c dan d memuat ketentuan suap yang menimpa hakim dan advokat.

• Pasal 12 huruf c berbunyi: hakim yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.

• Sementara itu, pasal 12 d menyatakan: seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk memengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili.

• Pasal 6 ayat (1) huruf a menyatakan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim
dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, dapat
digolongkan perbuatan penyuapan.

• Demikian pula, pasal 6 ayat (1) huruf b yang menyatakan: setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili,
termasuk perbuatan menyuap.

• Baik hakim maupun advokat yang menerima suap akan dipidana sedikitnya 3 tahun dan paling lama 15
tahun, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 6 ayat (2): bagi hakim yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
Penggelapan dalam jabatan

• Penggelapan dalam jabatan dirumuskan dalam 3 pasal, yaitu pasal 8, 9, dan 10 huruf a, b, dan c.
• Pasal 8 menyatakan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan
sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau
membantu dalam melakukan perbuatan tersebut, tergolong perbuatan penggelapan.
• Senada dengan rumusan pasal 8, pasal 9 menyatakan: pegawai negeri atau orang lain selain
pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus
atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang
khusus untuk pemeriksaan administrasi, dapat digolongkan ke dalam tindak pidana
penggelapan.
• Perbuatan penggelapan dirumuskan lebih jelas lagi dalam pasal 10. Huruf a pasal ini
menyatakan: pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka
pejabat yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya.
• Huruf b pasal 10 berbunyi: pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-
menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja membiarkan
orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
• Huruf c pasal 10 menyatakan: pegawai negeri atau orang selain pegawai
negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-
menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja membantu orang
lain menghilangkan, menghancurkan, atau membuat tidak dapat
dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut
Pemerasan

• Pemerasan termasuk dalam perbuatan korupsi.


• Pasal 12 huruf e menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan
maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau
dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri.
• Pasal 12 huruf f berbunyi: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolaholah
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut
mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan
utang.
• Huruf g pasal 12 menyatakan: pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada
waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan
barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal
tersebut bukan merupakan utang.
Perbuatan curang
• Selain pemerasan, perbuatan curang juga dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana korupsi. Hal ini diatur secara rinci
dalam pasal 7 dan 12.

• Pasal 7 ayat (1) huruf a menyatakan: pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan
keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang.

• Pasal 7 ayat (1) huruf b berbunyi: setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan,
sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk kategori perbuatan curang.

• Perbuatan curang dirumuskan juga dalam huruf c dari pasal tersebut, yang bunyinya sebagai berikut: setiap orang yang
pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

• Terkait dengan pasal tersebut, huruf d yang menyatakan: setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c, termasuk pula perbuatan curang. Hukuman yang dikenakan
kepada mereka yang berbuat curang cukup berat, yaitu pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 7 tahun dengan
denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 350 juta.

• Pasal 7 ayat (2) menunjukkan hal tersebut, yaitu : bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menyerobot tanah negara juga termasuk perbuatan curang yang pidana
dendanya bisa mencapai maksimal Rp 1 miliar. Siapa yang dikenai pidana seperti ini. Mereka adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak
pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (pasal 12 huruf h).
Benturan kepentingan dalam pengadaan

• Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan diatur


dalam pasal 12 huruf i. Siapa mereka? Mereka adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara baik langsung atau tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk
mengurus atau mengawasinya.
Gratifikasi

• Gratifikasi merupakan fenomena korupsi yang dulu belum tersentuh oleh hukum karena
dianggap hal biasa dan lumrah. Hal ini diatur dalam pasal 12 B jo. Pasal 12 C. Ketentuan
selengkapnya pasal tersebut adalah sebagai berikut. Huruf B ayat (1): setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
dengan ketentuan sebagai berikut: (a) yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi, (b) yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pasal 12 C
mempertegas rumusan pasa 12 B. Ayat (1) menetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang
diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ayat (2) menentukan
bahwa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh
penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja Pendidikan Antikorupsi 71
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Pada ayat (3) dinyatakan bahwa Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima
atau milik negara.
• GRATIFIKASI
Selain perbuatan sebagaimana dipaparkan di atas, dalam praktik di
masyarakat dikenal pula istilah gratifikasi.
1. Pengertian Gratifikasi
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian Gratifikasi atau
Gratification: “a voluntarily given reward or recompense for a
service or benefit” (gratifikasi adalah “sebuah pemberian yang
diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan”).
2. Bentuk Gratifikasi
a. Gratifikasi positif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan niat
yang tulus dari seseorang kepada orang lain tanpa pamrih artinya
pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa mengharapkan balasan
apapun.
b. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah dilakukan dengan
tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya
dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi
kepentingan.
• Dengan demikian gratifikasi tidak selalu mempunyai arti jelek,
namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi. Akan tetapi
dalam praktiknya seseorang memberikan sesuatu tidak mungkin
dapat dihindari tanpa adanya pamrih.
• Di negara-negara maju, gratifikasi kepada kalangan birokrat
dilarang keras dan kepada pelaku diberikan sanksi cukup berat,
karena akan mempengaruhi pejabat birokrat dalam menjalankan
tugas dan pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan
ketidakseimbangan dalam pelayanan publik. Bahkan di kalangan
privat pun larangan juga diberikan, contoh pimpinan stasiun
televisi swasta melarang dengan tegas reporter atau wartawannya
menerima uang atau barang dalam bentuk apa pun dari siapapun
dalam menjalankan tugas pemberitaan. Oleh karena itu gratifikasi
harus dilarang bagi birokrat dengan disertai sanksi yang berat
• Gratifikasi menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
penjelasannya didefinisikan sebagai pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,
rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga,
tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001 dinyatakan bahwa “Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya”. Apabila
seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima suatu
pemberian, maka ia mempunyai kewajiban untuk melaporkan kepada
KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12 C UU No 20 Tahun 2001, yaitu :
a. Ketentuan pada Pasal 12 B ayat (1) mengenai gratifikasi dianggap
sebagai pemberian suap dan tidak berlaku, jika penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada KPK;
b. Laporan penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima;
c. Dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal
penerimaan laporan, KPK wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi
Contoh pemberian yang dapat digolongkan sebagai gratifikasi, antara lain :
a. Pemberian hadiah atau uang sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu;
b. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan
anaknya;
c. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya
untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma;
d. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian
barang atau jasa dari rekanan;
e. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dari rekanan kepada pejabat/pegawai
negeri;
f. Pemberian hadiah ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan;
g. Pemberian hadiah atau souvenir kepada pejabat/pegawai negeri pada saat
kunjungan kerja;
h. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saat hari raya
keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya;
j. Cinderamata bagi guru (PNS) setelah pembagian rapor/kelulusan;
k. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan
sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas
kepolisian (polisi lalu lintas), retribusi (dinas pendapatan daerah), LLAJR
dan masyarakat (preman). Apabila kasus ini terjadi KPK menyarankan
agar laporan dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan
tegas terhadap pelaku;
l. Penyediaan biaya tambahan (fee) 10-20 persen dari nilai proyek.
m. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh
Instansi Pelabuhan, Dinas Perhubungan, dan Dinas Pendapatan Daerah;
n. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat;
o. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir jabatan;
p. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah (karena biasanya
sudah tersedia anggaran untuk pembangunan tempat ibadah dimana
q. Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran;
r. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang “dipercepat” dengan uang tambahan;
s. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya
perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya penerimaan ganda,
dengan jumlah tidak masuk akal;
t. Pengurusan izin yang dipersulit.

Dengan demikian pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi


adalah pemberian atau janji yang mempunyai kaitan dengan hubungan
kerja atau kedinasan dan/atau semata-mata karena keterkaitan
dengan jabatan atau kedudukan pejabat/pegawai negeri dengan si
pemberi.
• Selain yang dikemukakan di atas, terdapat jenis tindak pidana lain
yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu: 1. Merintangi
proses pemeriksaan perkara korupsi (pasal 21); 2. Tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar (pasal 22 jo.
Pasal 28); 3. Bank yang tidak memberi keterangan rekening tersangka
(pasal 22 jo. Pasal 29); 4. Saksi atau ahli yang tidak memberi
keterangan atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal 35); 5.
Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan
atau memberi keterangan palsu (pasal 22 jo. Pasal 36); 6. Saksi yang
membuka identitas pelapor (pasal 24 jo. Pasal 31) (KPK, 2006: 21).
• B. Jenis-Jenis Korupsi Banyak jenis korupsi yang dapat diidentifikasi.
Haryatmoko mengutip pendapat Yves Meny membagi korupsi ke dalam empat
jenis, yaitu: (1) korupsi jalan pintas, (2) korupsi upeti, (3) korupsi kontrak, dan
(4) korupsi pemerasan (Al-Barbasy, 2006: 2-3). Korupsi jalan pintas, terlihat
dalam kasus-kasus penggelapan uang negara, perantara ekonomi dan politik,
pembayaran untuk 72 D r . E k o H a n d o y o , M . S i . keuntungan politik
atau uang balas jasa untuk partai politik, dan money politik. Korupsi upeti
merupakan bentuk korupsi yang dimungkinkan karena jabatan strategis. Karena
jabatan yang disandangnya, seseorang mendapatkan persentase keuntungan dari
berbagai kegiatan, baik ekonomi maupun politik, termasuk pula upeti dari
bawahan dan kegiatan-kegiatan lain atau jasa dalam suatu perkara.
• Korupsi kontrak, yaitu korupsi yang diperoleh melalui proyek atau pasar. Termasuk
dalam kategori ini adalah usaha untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Korupsi
pemerasan, terkait dengan jaminan keamanan dan urusan-urusan gejolak intern dan
ekstern. Perekrutan perwira menengah TNI atau Polisi menjadi manajer human
resources department atau pencantuman nama perwira tinggi dalam dewan komisaris
perusahaan merupakan contoh korupsi pemerasan. Termasuk pula dalam korupsi jenis
ini adalah membuka kesempatan kepemilikan saham kepada orang kuat tertentu untuk
menghindarkan akuisisi perusahaan yang secara ekonomi tak beralasan. Dalam
literatur fikih ada 6 jenis korupsi yang haram dilakukan, yaitu: (1) ghulul atau
penggelapan, (2) risywah atau penyuapan, (3) ghashab atau perampasan, (4) ikhtilas
atau pencopetan, (5) sirqah atau pencurian, dan (6) hirabah atau perampokan (KPK,
2007: 7)
• Widodo membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu graft, bribery dan
nepotism (Azhari, 2006: 8). Graft merupakan korupsi yang dilakukan tanpa
melibatkan pihak ketiga, seperti menggunakan atau mengambil barang
kantor, uang kantor, dan jabatan kantor untuk kepentingan diri sendiri.
Korupsi tipe ini bisa Pendidikan Antikorupsi 73 berlangsung karena
seseorang memiliki jabatan atau kedudukan di kantor. Bribery adalah
pemberian sogokan, suap, atau pelicin agar dapat memengaruhi keputusan
yang dibuat yang menguntungkan sang penyogok. Nepotism adalah tindakan
korupsi berupa kecenderungan pengambilan keputusan yang tidak
berdasarkan pertimbangan objektif, tetapi atas pertimbangan kedekatan
karena kekerabatan, kekeluargaan atau pertemanan
Dilihat dari sifatnya, Kurniawan, dkk. (2006: 62-
63) membagi korupsi ke dalam tiga bentuk, yaitu:
• Mashal (2011) menunjukkan bahwa pada masyarakat demokrasi, dapat diidentifikasi 3 (tiga) tipe korupsi, yaitu
grand corruption, bureaucratic corruption, dan legislative corruption. Grand corruption adalah tindakan elit
politik (termasuk pejabat-pejabat terpilih) dimana mereka menggunakan kekuasaannya untuk membuat kebijakan
ekonomi. Elit politik yang korup dapat mengubah kebijakan nasional atau implementasi kebijakan nasional untuk
melayani kepentingan mereka. Dengan kewenangannya, mereka juga dapat menggelapkan belanja publik demi
kepentingan mereka. Tipe korupsi ini yang paling sulit diidentifikasi, karena para elit dapat memanfaatkan celah
peraturan atau kebijakan yang mereka buat untuk memenuhi kepentingan mereka dan kroni-kroninya.
Bureaucratic corruption adalah tindakan korupsi yang dilakukan para birokrat yang diangkat, yang dilakukan
demi dan untuk kepentingan elit politik atau pun kepentingan mereka sendiri. Dalam bentuknya yang kecil,
korupsi birokrasi terjadi ketika masyarakat (publik) memerlukan pelayanan cepat dari birokrat, dengan imbalan
uang atau materi tertentu. Dalam konteks ini, penyuapan (bribery) dilakukan untuk memperlancar urusan
tertentu. Korupsi jenis ini juga terjadi di lembaga peradilan, utamanya untuk memengaruhi keputusan pengadilan
yang Pendidikan Antikorupsi 75 menguntungkan pihak yang berperkara. Legislative corruption menunjuk pada
perilaku voting dari legislator yang mungkin dapat dipengaruhi. Dalam korupsi ini, legislator disuap oleh
kelompok kepentingan tertentu membuat legislasi yang dapat mengubah rente ekonomi yang berkaitan dengan
aset.
• Amin Rais membagi korupsi dalam empat tipologi yang harus diwaspadai, yaitu: (1) korupsi ekstortif, (2) korupsi
manipulative, (3) korupsi nepotistic, dan (4) korupsi subversif (Al-Barbasy, 2006: 3). Korupsi ekstortif merujuk pada
situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau mendapatkan proteksi atau
perlindungan atas hak-hak dan kebutuhannya. Sebagai contoh, seorang pengusaha terpaksa memberikan sogokan
(bribery) kepada pejabat tertentu agar mudah mendapatkan izin usaha atau memperoleh perlindungan terhadap usaha
yang dijalankan. Korupsi manipulative merujuk pada usaha kotor seseorang untuk memengaruhi pembuatan kebijakan
atau keputusan pemerintah dalam rangka memperoleh keuntungan sebesarbesarnya. Contohnya, sekelompok
konglomerat memberi uang kepada bupati, wali kota atau gubernur agar peraturan yang dibuatnya dapat
menguntungkan mereka. Korupsi nepotistic merujuk pada perlakuan istimewa yang diberikan kepada anak, keponakan
dan saudara dekat para pejabat dalam setiap eselon. Dengan perlakuan istimewa ini, para kroni pejabat tadi dapat
menangguk keuntungan yang besar. Korupsi jenis ini umumnya berjalan dengan cara melanggar aturan main 76 D r . E
k o H a n d o y o , M . S i . yang sudah ada. Pelanggaran tersebut tidak dapat dihentikan karena di belakang korupsi
nepotistic ini berdiri seorang pejabat yang biasanya merasa kebal hukum. Korupsi subversive berupa pencurian
terhadap kekayaan negara yang dilakukan oleh pejabat negara. Berbekal kekuasaan dan wewenang yang dimiliki,
mereka dapat membobol kekayaan negara yang seharusnya diselamatkan. Korupsi ini bersifat subversif terhadap
negara, karena negara telah dirugikan besarbesaran dan dalam jangka panjang dapat mengganggu jalannya roda negara.
• Secara lebih rinci, Syed Hussain Alatas membedakan jenis-jenis korupsi ke dalam tujuh bentuk, yaitu: (1) transactive
corruption, (2) exortive corruption, (3) investive corruption, (4) nepotistic corruption, (5) defensive corruption, (6)
antogenic corruption, dan (7) supportive corruption (Al-Barbasy, 2006: 3-4). Korupsi transaksi (transactive corruption)
muncul karena adanya kesepakatan timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua belah
pihak. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan dunia usaha dengan pemerintah atau antara masyarakat dan pemerintah.
Pihak pemberi dipaksa menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam diri, kepentingan, orang dan hal-hal
yang dihargai, termasuk dalam kategori exortive corruption. Investive corruption adalah pemberian barang atau jasa tanpa
ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh di masa yang
akan datang. Pendidikan Antikorupsi 77 Nepotistic corruption adalah penunjukan yang tidak sah kepada teman atau sanak
saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan atau tindakan yang memberikan perlakuan yang istimewa dalam
bentuk uang atau bentuk-bentuk lain kepada mereka secara bertentangan atau melawan hukum yang ada. Defensive
corruption adalah pemerasan yang dilakukan para korban korupsi dengan dalih untuk mempertahankan diri. Antogenic
corruption adalah korupsi yang dilakukan seorang diri tanpa melibatkan orang lain. Misalnya, pembuatan laporan
keuangan yang tidak benar atau membocorkan informasi mengenai kebijakan pembangunan wilayah baru kepada kerabat
terdekat. Supportive corruption adalah korupsi berupa tindakantindakan yang dilakukan untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada. Misalnya, menyewa preman untuk mengancam pemeriksa (auditor) atau
menghambat pejabat yang jujur dan cakap agar tidak dapat menempati posisi atau menduduki jabatan tertentu.
• C. Rangkuman Korupsi memiliki bentuk dan jenis yang beranekaragam.
Masing-masing negara dengan kultur masing-masing memahami korupsi
dengan cara yang berbeda. Pemberian atau gratifikasi dimaknai secara
berbeda di tiap-tiap negara. Hal ini memengaruhi pula sikap masyarakat
terhadap gratifikasi. Di negara yang tingkat korupsinya tinggi biasanya
memahami gratifikasi sebagai sesuatu hal yang lumrah, karena kebiasaan
dan budaya mengatakan 78 D r . E k o H a n d o y o , M . S i . demikian.
Sementara itu, negara-negara makmur dengan tingkat korupsi rendah
cenderung menyikapi gratifikasi sebagai salah satu bentuk korupsi yang
harus dihindari dan untuk itu harus diatur dalam suatu ketentuan undang-
undang
• Di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
korupsi dapat mengambil bentuk berupa suatu tindakan melawan hukum yang (1)
merugikan keuangan negara, (2) berupa suap-menyuap, (3) berupa penggelapan, (4) berupa
pemerasan, (5) berupa perbuatan curang, (6) benturanbenturan dalam pengadaan, dan (7)
gratifikasi. Bentuk korupsi lainnya, diatur lebih lanjut dalam undang-undang tersebut. Di
berbagai negara, jenis-jenis korupsi bermacam-macam. Meny misalnya, menyebutkan ada 4
jenis korupsi, yaitu korupsi jalan pintas, korupsi upeti, korupsi kontrak, dan korupsi
pemerasan. Islam mengenal juga korupsi, yakni berupa ghulul atau penggelapan, risywah
atau penyuapan, ghashab atau perampasan, ikhtilas atau pencopetan, sirqah atau pencurian,
dan hirabah atau perampokan. Graft, bribery, dan nepotism, sebagaimana dikemukakan
Widodo juga merupakan jenis korupsi yang sudah umum. Sementara itu, dilihat dari
pelaksananya, korupsi dapat juga dibedakan dalam tiga hal, yaitu korupsi individual,
korupsi terlembagakan, dan korupsi politis
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai