Anda di halaman 1dari 3

Bahwa berdasarkan kronologi penurunan Bendera yang dilakukan oleh massa aksi "Aliansi Organda

Majene" tidak memenuhi unsur delik yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun 2009 tentang BENDERA,
BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA,SERTA LAGU KEBANGSAAN Pasal 24, Pasal 66 dan Pasal 67 sesuai
dengan yang termuat pada media.

Bahwa dalam Pasal 24 point a berbunyi "Setiap orang dilarang: merusak, merobek, menginjak-injak,
membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan
kehormatan Bendera Negara;". Dimana maksud dan tujuan penurunan Bendera oleh Aliansi Organda
yakni sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah Majene melihat bendera yang ada di kantor
bupati sudah tidak layak pake meskipun begitu bentuk penghargaan teman-teman aliansi tidak ingin
mengganti bendera tersebut tapi kita menurunkan bendera tersebut tanpa melepaskan dari tempatnya
dengan memasangkan juga Bendera organda kami tapi tidak melebihi tinggi dari Bendera merah putih.
Ini juga menjadi bentuk bahwa bendera organisasi daerah yang ada dimajene sudah berkibar di
kabupaten Majene untuk menuntut 7 isu pendidikan. Perlu juga ditekankan bahwa pada saat menaikan
kembali bendera tersebut kami menyanyi lagu Indonesia raya sebagai bentuk penghargaan kami
terhadap bendera (berdasarkan keterangan Aliansi)

Bahwa berdasarkan isi Pasal 24 point a sebagai dasar penuntutan pasal-pasal selanjutnya tidak lah
bersesuaian denga maksud dan tujuan penurunan Bendera oleh Aliansi, sehingga tidak dapat dapat
dilakukan proses hukum lebih lanjut.

Bahwa Dalam penyidikan, penyidik yang melakukan pemeriksaan berwenang memanggil saksi yang
dianggap perlu untuk diperiksa dengan surat panggilan yang sah dengan menyebutkan alasan
pemanggilan secara jelas. Surat panggilan tersebut berbentuk tertulis atas dasar Laporan Polisi, laporan
hasil penyelidikan, dan pengembangan hasil pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara. Surat
panggilan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik. Semua jenis
pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada
terdakwa, saksi atau ahli disampaikan selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal hadir yang
ditentukan.

Surat panggilan sedapat mungkin diberikan kepada yang bersangkutan bersama dengan tanda terima di
tempat tinggal mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir, namun terdapat pengecualian
terhadap kondisi-kondisi berikut:

1. yang bersangkutan tidak ada di tempat, surat panggilan diserahkan melalui keluarganya, kuasa
hukum, ketua RT/RW/lingkungan, atau kepala desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat
panggilan tersebut segera akan disampaikan kepada yang bersangkutan; dan

2. seseorang yang dipanggil berada di luar wilayah hukum kesatuan Polri yang memanggil, maka surat
panggilan dapat disampaikan melalui kesatuan Polri tempat tinggal yang bersangkutan atau dikirimkan
melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai buktipenerimaan pengiriman.

Dalam hal pemanggilan saki memiliki Hak sebagai berikut :


1. Menerima surat panggilan yang sah dan mengetahui alasan pemanggilan secara jelas[2]
2. Berhak untuk diperiksa di tempat kediamannya apabila saksi memberikan alasan yang patut dan
wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik
3. Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapa pun atau dalam bentuk apapun
4. Tidak menandatangani berita acara dengan memberikan alasan.

Bahwa berdasarkan keterangan Aliansi Organda Majene permintaan keterangan tidak didahului dengan
"surat pemanggilan" dengan maksud dan tujuan yang jelas, melainkan dengan dalih mengambil Bendera
Organda yang disita oleh pihak Kepolisian. Sehingga tindakan Kepolisian Cacat prosedural atau cacat
hukum sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.

Penahanan adalah proses dalam sistem peradilan pidana yang bertujuan agar pelaku tindak pidana tidak
diri dari tempat pelaku melakukan tindak pidana. Dalam Pasal 1 Angka 21 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (selanjutnya disebut sebagai KUHAP) menuliskan:

“Penahanan adalah penempatan tersangka atau di tempat tertentu oleh penyidik, atau penetapan
umum atau penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Pengertian yang diberikan KUHAP bahwa yang berhak melakukan tersingkir adalah penyidikan,
penuntutan umum, atau hakim. Penahanan juga hanya dapat dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, baik penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam menyelesaikan
pekerjaan harus didasarkan pada bukti yang memadai dan persyaratan lain yang diatur dalam KUHAP.
KUHAP sendiri mengenal dua syarat dalam melakukan tersingkir, yaitu:

1. Syarat Objektif

Syarat-syarat objektif memiliki ukuran yang diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat
Objektif dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penghentian hanya
dapat diberlakukan untuk pelaku maupun yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak
pidana, serta pemberian bantuan dalam hal:

Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1),
Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480
dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-
undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

2. Syarat Subjektif

Syarat-syarat tersebut merupakan persyaratan yang bersumber dari penilaian dan penyidikan bahwa
jika tidak maka akan menghilangkan, menghilangkan atau menghilangkan, dan bahkan akan mengulangi
tindak pidana tersebut.[2] Pengaturan syarat-syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat
(1) KUHAP, yang menyatakan:

Perintah tersingkir atau dihentikan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau yang dilakukan
berulang-ulang melakukan tindak pidana berdasarkan hal-hal yang menimbulkan, tersangka atau akan
melakukan tindakan tersebut, merusak atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana.

Maka dari itu, dalam melakukan penahahan penegak hukum yang memiliki kewenangan sesuai yang
diatur dalam KUHAP perlu memenuhi syarat kedua di atas. Adapun singkatnya, syarat objektif adalah
syarat yang merujuk pada ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sementara syarat untuk merujuk
pada kekuatiran pada tersangka akan diperiksa diri, menghilangkan barang bukti, atau akan melakukan
tindak pidana lagi.

Kesimpulan

Bahwa tindakan penurunan Bendera tidak memenuhi rumusan delik sehingga tak ada penetapan
tersangka secara lebih lanjut.

Bahwa permintaan keterangan oleh massa aksi Aliansi tidak didahului dengan "surat pemanggilan yang
Sah" sehingga tindakan ini dinyatakan cacat hukum dan berujung pada batal demi hukum.

Bahwa tindakan penahan yang didahului dengan cacat hukum menggugurkan segala bentuk proses
hukum yang berlaku termasuk proses penahan. Sehingga massa aksi yang di tahan harus di bebas kan
karena tak ada dasar hukum yang menjadi alasan penahanan massa aksi.

Anda mungkin juga menyukai