Anda di halaman 1dari 5

Hukum Investasi : Kepailitan dan PKPU

PROPOSAL PERDAMAIAN SEBAGAI KUNCI MENCEGAH


KEPAILITAN

Oleh : Erolflin Siregar, SH

Pendahuluan

Pandemi virus Covid-19 yang telah berlangsung satu


tahun ini tak pelak telah memukul seluruh sendi-
sendi kehidupan, termasuk sektor perekonomian.
Kondisi perekonomian yang lesu karena pembatasan
kegiatan berusaha, cost yang berbanding terbalik
dengan penghasilan, target produksi yang tidak
tercapai, belum lagi ketakutan akan bahaya virus dan
lain sebagainya menyebabkan para pengusaha memutar
otak dengan keras untuk mendapatkan dana segar guna mempertahankan usahanya
dari jurang kebangkrutan. Salah satu upaya demikian adalah mengajukan
permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (atau disingkat “PKPU”).

PKPU secara harfiah merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari
kepailitan debitur melalui putusan pengadilan, yang mana dapat dilakukan baik
oleh kreditur maupun debitur secara sukarela, dengan tujuan agar debitur dapat
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kreditur yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (due and
payable), baik terhadap kreditor preferen maupun konkuren (vide Pasal 222 ayat
(2) Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang/”UU-KPKPU”).

Dalam permohonan PKPU, kreditur (terutama kreditur konkuren) mempunyai


kepentingan agar jangan sampai debitur dinyatakan pailit sehingga asetnya

1
kemudian dibagi secara pari pasu pro rata parte kepada kreditur lainnya. Di
sisi lain, debitur pun mempunyai kepentingan yang tak kalah besar dalam mencari
jalan terbaik untuk menyelesaikan kewajibannya kepada kreditur sekaligus
menghindari kepailitan. Oleh karena strategisnya permohonan PKPU ini, tidak
heran jika sepanjang tahun 2020 yang lalu, statistik perkara permohonan PKPU
di Pengadilan Niaga sangat tinggi.

Mengutip data dari sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dari 5


pengadilan niaga (PN) yakni PN Jakarta Pusat, PN Medan, PN Semarang, PN Surabaya
dan PN Makassar, tren kasus PKPU memang tercatat meningkat. Jika pada tahun
2019 terdapat 434 perkara PKPU, tercatat pada tahun 2020 terdapat 641 perkara
PKPU1.

Syarat Diajukannya PKPU

Untuk dapat diajukannya permohonan PKPU baik oleh kreditur maupun secara
sukarela oleh debitur, setidaknya ada beberapa poin yang harus diperhatikan,
antara lain sebagai berikut:

1. Debitur harus memiliki setidaknya lebih dari 1 (satu) kreditur (vide


Pasal 222 ayat (1) UU-KPKPU);

2. Permohonan diajukan oleh keditur/debitur atau advokatnya kepada


Pengadilan Niaga secara tertulis disertai dengan daftar yang memuat
sifat, jumlah piutang dan utang debitur berserta surat bukti secukupnya
(Pasal 224 ayat (1) dan (2) UU-KPKPU);

3. Pada permohonan PKPU yang diajukan debitur, dapat dilampirkan rencana


perdamaian yang ditawarkan guna merestrukturisasi, baik sebagian maupun
seluruh utang-utangnya, kepada kreditur;

1
https://nasional.kontan.co.id/news/sepanjang-tahun-2020-perkara-pkpu-meningkat

2
4. Dalam hal diajukan secara sukarela oleh debitur, permohonan PKPU wajib
dilengkapi dengan surat persetujuan dari kreditur mengenai pengusulan
nama pengurus dalam permohonan (vide Surat Edaran Mahkamah Agung No 2
Tahun 2016 tentang Peningkatan Efisiensi dan Tranparansi Penanganan
Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Pengadilan);

5. Apabila permohonan diterima oleh Pengadilan, maka pemeriksaan permohonan


akan dilakukan dalam waktu 20 hari sejak didaftarkan untuk menentukan
apakah debitur dapat dijatuhkan PKPU sementara ataukah tidak (Pasal 225
ayat 3 UU-KPKPU);

6. Setelah diajukannya Rencana Perdamaian, maka selanjutnya akan


dilaksanakan voting atau pemungutan suara dari para kreditur untuk
menentukan apakah debitur dapat diberikan status PKPU tetap ataukah tidak
dengan merujuk kepada ketentuan Pasal 229 ayat (1) UU-KPKPU.

Manfaat diajukannya PKPU

PKPU setidaknya mempunyai beberapa manfaat, antara lain:

1. Perdamaian yang telah disahkan oleh pengadilan mengikat semua kreditur


(baik konkuren maupun preferen), kecuali kreditur terjamin yang tidak
menyetujui rencana perdamaian (yang mana diberikan kompensasi sebesar
nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang
secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan) (vide Pasal
286 UU-KPKPU); dan

2. Permohonan PKPU memiliki kekuatan untuk mencegah Kepailitan karena dapat


diajukan setiap saat sebelum adanya Pernyataan Pailit yang diputuskan
oleh Pengadilan (yaitu sebelum adanya permohonan Pernyataan Pailit
diajukan, maupun setelah permohonan Pernyataan Pailit diajukan namun
belum ada putusan Pengadilan) (vide Pasal 229 ayat (3) UU-KPKPU).

3
Mitigasi Risiko Dalam Penyusunan Rencana Perdamaian Oleh Debitur

Sebagaimana yang disebutkan di atas, penentu dari keberhasilan PKPU terletak


pada rencana perdamaian yang disetujui oleh kreditur secara mayoritas. Dengan
demikian, isi dari rencana perdamaian tersebut sangat berperan penting pada
rapat kreditur. Rencana perdamaian yang baik akan memberikan keyakinan kepada
para kreditur dalam memberikan persetujuan pada tahap voting bahwa debitur
mempunyai kemampuan untuk melunasi kewajibannya di kemudian hari sehingga
debitur dapat diperkenankan merestrukturisasi utang-utangnya.

Untuk itu, rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor sangat disarankan
untuk memuat hal-hal yang antara lain sebagai berikut:

1. Rencana perdamaian memberikan informasi yang transparan mengenai keadaan


debitur, termasuk keadaan harta pailit, termasuk rasio keuangan
perseroan, seperti rasio likuiditas, solvabilitas, profitabilitas maupun
rasio leverage jika debitor berbentuk badan hukum (legal entity).

2. Rencana perdamaian menginformasikan bahwa debitur memiliki prospek (going


convern value) atau menginformasikan nilai keseluruhan harta debitor
untuk membayar seluruh utangnya (liquidation value) dengan melampirkan
bukti-bukti pendukungnya.

3. Skema perdamaian yang ditawarkan debitur bersifat win-win solution, baik


kepada kreditur maupun kepada debitur sendiri.

4. Skema yang ditawarkan oleh debitur dalam melunasi utang-utangnya kepada


kreditur terukur, masuk akal dan meyakinkan untuk terealisir, termasuk
tenggang waktu grace period untuk memenuhi isi perdamaian jika terjadi
hal-hal diluar kontrol dari debitur.

4
5. Ada kepastian atau jaminan bahwa komposisi pembayaran utang yang
ditawarkan tersebut dapat dieksekusi secara wajar dan tanpa penundaan
yang memakan waktu cukup lama.2

Selain hal-hal di atas, perlu juga diperhatikan kemampuan debitur untuk


melakukan negosiasi dengan para krediturnya sehingga peran corporate
communication (untuk debitur yang berbentuk perseroan) memegang porsi yang
tidak kalah penting dalam keberhasilan PKPU.

2
Elyta Ras Ginting, S.H., LL.M., Hukum Kepailitan Rapat-Rapat Kreditor, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hlm. 149.

Anda mungkin juga menyukai