Anda di halaman 1dari 16

1

PROPOSAL DISERTASI

REKONSEPSI KELAYAKAN PROPOSAL RENCANA PERDAMAIAN

DALAM PROSES PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

(PKPU) SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM KETENTUAN PASAL

285 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004

TENTANG KEPAILITAN DAN PKPU

oleh:

xxxxxxxxx.

UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

KARAWACI

20xx
2

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang (selanjutnya disebut “UU Kepailitan

dan PKPU”) mengenal dua macam perdamaian. Pertama ialah perdamaian

yang ditawarkan oleh Debitor dalam rangka PKPU dan kedua adalah

perdamaian yang ditawarkan oleh Debitor kepada para Kreditornya setelah

Debitor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.

Pada proses kepailitan, perdamaian diatur di dalam Pasal 144 UU

Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan Debitor Pailit berhak untuk

menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor. Sementara pada Bab III

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU bagian kesatu pemberian PKPU dan

akibatnya, tepatnya pada Pasal 222 ayat (2) dan (3) menyebutkan:

(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan

maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran

pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat

melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan

kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan

rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau

seluruh utang kepada Kreditornya.


3

Dari ketentuan tersebut diatas maka baik dalam kepailitan maupun PKPU

mengenal dan mengatur mengenai perdamaian. Berbeda dengan kepailitan,

berdasarkan Pasal 222 ayat (2) dan (3), PKPU yang diajukan oleh Debitor

maupun oleh Kreditor memiliki suatu tujuan yang sama yaitu agar dapat

diajukan suatu rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran oleh

Debitor atas sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya. Frasa sebagian

atau seluruh utangnya dalam pasal ini mencakup pula pengertian restrukturisasi

utang yang cakupannya lebih luas. Maka dapat disimpulkan, salah satu tujuan

utama dari PKPU berdasarkan UU Kepailitan dan PKPU adalah pengajuan

rencana perdamaian (tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang) Debitur

kepada kreditornya.

Pada prinsipnya PKPU dan Kepailitan adalah dua proses yang berbeda, hal

ini didasari dengan tujuan keduanya yang tidak sama. Kepailitan bertujuan

untuk melakukan pemberesan harta Debitor pailit yang ada dalam keadaan

tidak mampu membayar utangnya (insolven).1 Sedangkan tujuan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) adalah untuk mencegah kepailitan

Debitor yang tidak dapat membayar di saat ini tetapi mungkin bisa membayar

di masa yang akan datang (yang dekat). Debitor semata-mata menghadapi

masalah-masalah likuiditas sementara. Dalam hal seperti itu, kepailitan tanpa

dapat dihindari lagi mengakibatkan penurunan nilai modal. Hal ini jelas tidak

menguntungkan para kreditor. Penundaan pembayaran tersebut memberikan

kepada Debitor keringanan sementara (atau “ruang bernapas”) dalam

1
Emmy Yuhassarie dan Tri Harnowo dalam Umar Haris Sanjaya, Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang dalam Kepailitan, NFP Publishing, Sleman Yogyakarta, 2014, hlm.25.
4

menghadapi para kreditor yang menekan untuk mereorganisir dan melanjutkan

usaha, dan akhirnya memenuhi tagihan-tagihan para kreditor. Apabila

reorganisasi perusahaan tidak berhasil, penundaan pembayaran dapat dengan

mudah diubah menjadi kepailitan.2

Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, Debitor diberikan

kesempatan melakukan “perbaikan keuangan dan manajemen” untuk

memperbaiki kinerja perusahaannya. Caranya yaitu melalui penambahan modal

(composition), maupun dengan cara melakukan reorganisasi perusahaan

(corporate reorganization), baik melalui penggantian pengurus

(direksi/manajer) perusahaan atau menfokuskan/mengecilkan kegiatan

usahanya. Kesempatan ini diberikan kepada debitor setelah mendapat

persetujuan dari (para) pengurusnya untuk menyelamatkan perusahaan dari


3
kepailitan, sehingga dapat menyelesaikan utang-utangnya. Dengan demikian

perdamaian menjadi elemen yang paling esensial sekaligus merupakan tujuan

dalam suatu penundaan kewajiban pembayaran utang. Tidak ada gunanya

dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika para pihak tidak

sungguh-sungguh untuk melaksanakan perdamaian.4 Oleh karena itu dalam

perdamaian tersebut dimungkinkan ada restrukturisasi utang-utang Debitor.5

Lebih lanjut PKPU dalam UU Kepailitan dan PKPU dapat ditemukan dari

Pasal 265 sampai dengan Pasal 294. Rencana perdamaian ini harus disediakan

2
Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, PT Tatanusa, Jakarta 2000, hlm.187.
3
R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sebagai Upaya
Mencegah Kepailitan, Kencana, Jakarta,2012,hlm.13
4
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Hlm.194.
5
H. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, “Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan”, Kencana,
Jakarta 2008, hlm.150.
5

di kepaniteraan untuk dapat diperiksa oleh siapapun tanpa dikenai biaya dan

disampaikan kepada hakim pengawas, dan pengurus serta ahli (bila ada).

Ketentuan ini mengandung maksud agar itikad baik Debitor untuk

menyelesaikan utang-utangnya dapat diketahui umum, khususnya bagi para

Kreditornya untuk mendapat persetujuan atau ditolak.6 Oleh karenanya,

rencana perdamaian itu merupakan bukti-bukti yang secara transparan dapat

diperiksa dan diuji secara terbuka untuk dijadikan dasar bagi para pihak yakni

Debitor dan Kreditor untuk dan/atau dalam “berkontrak” menjadwalkan

kembali waktu pembayaran utang atau penundaan kewajiban pembayaran

utangnya.7

Suatu rencana perdamaian mempunyai kekuatan manakala telah disahkan

(dihomologasi) oleh pengadilan niaga. Dalam hal ini yang berkewajiban

menyelesaikan utang adalah Debitor, sedangkan para kreditornya diharapkan

melepaskan sebagian tuntutannya, dengan demikian pula kepentingan

dikompromikan dan akan menghasilkan suatu “agreement”.8 Maka

perdamaian tersebut mengikat kedua belah pihak. Putusan pengesahan

perdamaian langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van

gewijsde).9

Proses perdamaian dalam rangka PKPU ini merupakan bagian terpenting

dari dikabulkannya permohonan PKPU. Sebab ini dari dilaksanakannya PKPU

ialah sebagai suatu masa untuk bermusyawarah atau berundingnya Debitor dan

6
R. Anton Suyatno, Op.cit., hlm.9.
7
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm., 42-43.
8
R. Anton Suyatno, Op.cit., hlm.113.
9
R. Anton Suyatno, Op.cit., hlm.114.
6

Kreditor. Harapannya nanti Debitor tidak jadi dinyatakan pailit dengan

membayar seluruh atau sebagian utangnya. Dan tindakan tersebut kemudian

mengakhiri sengketa utang yang terjadi dengan dibuatnya perdamaian.10

Sebagai hal yang esensi atau jantung dari proses PKPU, rencana

perdamaian yang ditawarkan debitor untuk nantinya disetujui para kreditornya

serta yang juga akan disahkan oleh Pengadilan Niaga harus benar-benar

memberikan suatu cerminan itikad baik dan/atau memiliki kriteria/tolak ukur

yang bisa menjamin pelaksanannya. Namun sejauh pengamatan Penulis, UU

Kepailitan dan PKPU tidak memberikan secara rinci tentang kriteria rencana

perdamaian yang mencerminkan itikad baik Debitor atau kriteria yang cukup

terjamin untuk dapat dilaksanakan. Dalam Pasal 285 ayat 2 UU Kepailitan dan

PKPU (dengan penjelasannya yang “cukup jelas:) hanya menyebutkan bahwa

pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan rencana perdamaian, apabila :

1. Harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk

menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam

perdamaian;

2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan

satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak

jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja

sama untuk mencapai hal ini; dan/atau

10
Umar Haris Sanjaya, Op.cit. hlm.44.
7

4. imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum

dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

UU Kepailitan dan PKPU tidak memberikan penjabaran lebih lanjut mengenai

pelaksanaan perdamaian yang cukup terjamin itu seperti apa atau sekurang-

kurangnya kriteria perdamaian seperti apakah yang nantinya dapat dianggap

cukup terjamin.

Dengan demikian, penelitian ini bermaksud meneliti lebih dalam dan

komperhensif mengenai unsur-unsur dan/atau kretieria seperti apa dari rencana

perdamaian yang layak dan cukup terjamin dalam proses PKPU. Atau setidak-

tidaknya penulis ingin memberikan suatu rekonsepsi tentang bagaimana

seharusnya proposal perdamaian dalam PKPU yang mencerminkan itikad baik

Debior yang cukup terjamin pelaksanannya. Hal-hal inilah yang akan penulis

coba teliti dalam bentuk disertasi yang berjudul : “Rekonsepsi Kelayakan

Proposal Rencana Perdamaian Dalam Proses Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (Pkpu) Sebagaimana Yang Diatur Dalam Ketentuan

Pasal 285 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan Dan PKPU”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan

permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut :
8

1. Bagaimanakah implementasi penyusunan proposal rencana perdamaian

oleh Debitor dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimanakah implementasi pengesahan dan penolakan pengesahan atas

rencana perdamaian oleh Hakim Pengadilan Niaga dalam proses

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

3. Bagaimanakah kriteria dasar proposal rencana perdamaian yang layak

dan yang cukup terjamin dalam proses Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang?

C. Kerangka Teoritis

Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-

Undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan

oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillisements-verordenirng,

Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) yang merupakan peraturan

perundang- undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah tidak

sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk

penyelesaian utang-piutang.11 Kemudian pada tanggal 18 Oktober 2004,

pemerintan Republik Indonesia telah mensahkan undang-undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

11
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
9

yang tetap berlaku hingga sekarang.

Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran utang: Pertama, untuk menghindari

perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa

Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor. Kedua, untuk menghindari

adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya

dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan

Debitor atau para Kreditor lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya

kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau

Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan

kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor

lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk

melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan

tanggung jawabnya terhadap para Kreditor. 12

Istilah PKPU sendiri tidak terdapat definisinya pada Pasal 1 UU

Kepailitan dan PKPU. Hanya saja PKPU merupakan istilah yang selalu

dikaitkan dengan masalah kepailitan. PKPU (suspension of payment atau

surseance van betaling) adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-

undang melalui putusan hakim Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut

kepada pihak Kreditor dan debitur diberikan suatu kesempatan untuk

memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnnya dengan memberikan

rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya, termasuk apabila

12
Ibid.
10

13
perlu untuk merestrukturasi hutangnya tersebut. PKPU juga merupakan

pemberian kesempatan kepada Debitor untuk melakukan rekonstruksi utang-

utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang

kepada Kreditor konkuren. Pemberian kesempatan ini merupakan suatu hak

yang dimiliki oleh Debitor dan pengajuannya dapat dibarengi dengan rencana

perdamaian atas pembayaran utang-utangnya. Harapannya adalah debitor

tidak dipailitkan dan pengurusan harta masih menjadi kewenangan Debitor.14

PKPU dapat pula diartikan dengan suatu keringanan yang diberikan

kepada Debitor agar dapat menunda pembayaran utangnya. Dengan maksud

bahwa Debitor dapat mempunyai harapan kembali dalam waktu yang relatif

tidak lama akan berpenghasilan dan memperoleh pemasukan untuk dapat

melunasi utang-utangnya.15 PKPU pada hakikatnya bertujuan mengadakan

perdamaian antara Debitor dengan para Kreditornya dan menghindarkan

Debitor yang telah atau akan mengalami insolvensi dari kepailitan. Akan

tetapi bila kesepakatan perdamaian dalam rangka perdamaian PKPU tidak

tercapai, maka debitor pada hari berikutnya dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Tujuan PKPU dapat dilihat pada Bab III Undang-Undang Kepailitan dan

PKPU bagian kesatu pemberian PKPU dan akibatknya, tepatnya pada Pasal

222 ayat (2) dan (3) menyebutkan:

(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

13
Munir Fuadi, Op.Cit. hlm.177
14
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan : Memahami Faillissementsverordening Juncto
Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hlm.364.
15
Robiton Sulaiman dan Jokko Prabowo dalam Umar Haris Sanjaya, Op.Cit., hlm.27
11

ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan

maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran

pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat

melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan

kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan

rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau

seluruh utang kepada Kreditornya.

Dari ketentuan Pasal tersebut maka dapat diambil beberapa point-

point-point terkait permohon PKPU sebagai berikut:

1. PKPU diajukan oleh Debitor atau oleh Kreditor;

2. Debitor yang mengajukan permohon PKPU tersebut tersebut tidak

dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar

utang-utangnya;

3. Kreditor yang mengajukan permohonan PKPU tersebut

memperkirakan Debitor tidak akan dapat melanjutkan membayar

utang-utangnya;

4. Utang-utang Debitor tersebut sudah jatuh waktu dan dapat ditagih;

5. Maksud permohonan PKPU baik oleh Debitor atau Kreditor untuk

mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran

sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.


12

Dengan demikian maka tujuan dari PKPU adalah untuk memberikan

kesempatan kepada Debitor untuk mengajukan rencana perdamaian. Adapun

rencana perdamaian tersebut dapat diterima berdasarkan:16

1. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang

haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili

paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui

atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir

dalam rapat tersebut; dan

2. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang

piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan

mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan

dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Atas perdamaian yang telah disetujui tersebut, Pengadilan wajib

memberikan pengesahan disertai alasan-alasannya pada sidang mejelis

permusyahwaratan hakim. Namun Pengadilan juga wajib menolak untuk

mengesahkan perdamaian, apabila: 17

16
Pasal 281 ayat 1 Undang-Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
17
Pasal 285 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang
13

1. harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk

menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam

perdamaian;

2. pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

3. perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan

satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak

jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja

sama untuk mencapai hal ini; dan/atau

4. imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum

dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas yang perlu diperhatikan

dalam pelaksanaan PKPU termasuk dalam penyusunan dan pengesahan atas

perdamaian. Asas-asas tersebut antara lain adalah:18

1. Asas Keseimbangan

UU Kepailitan dan PKPU mengatur beberapa ketentuan yang

merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak,

terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan

pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain

pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya

18
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
14

penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang

tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam UU Kepailitan dan PKPU terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap

dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa

ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para

pihak yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah

terjadinya Kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan

pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan

tidak mempedulikan Kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam UU Kepailitan dan PKPU mengandung

pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya

merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan

hukum acara perdata nasional. UU Kepailitan dan PKPU mempunyai

cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi,

maupun proses penyelesaian utang-piutang. Cakupan yang lebih luas

tersebut diperlukan, karena adanya perkembangan dan kebutuhan

hukum dalam masyarakat sedangkan ketentuan yang selama ini


15

berlaku belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan

masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif karena

dalam penelitian ini Penulis akan melakukan studi dokumen serta tinjauan

terhadap norma hukum tertulis yang mencakup penelitian terhadap asas-asas

hukum. Penilitian hukum normatif mempunyai tujuan untuk menguji kualitas

substansi hukum dan mempunyai sifat perskriptif atau menemukan hukum baru

sesuai dengan asas kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.

Pendekatan undang-undang merupakan pendekatan yang dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani. Sedangkan, pendekatan konseptual beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam

ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-dokrin di

dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan

pengertian- pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum

yang relevan dengan isu yang dihadapi.19

19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta: Prenada Madia Group,
2010), hal. 133- 177.
16

REFERENSI

A. Buku

H. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, “Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan”,


Kencana, Jakarta 2008.

Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, PT Tatanusa, Jakarta 2000.

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnin, Alumni, Bandung, 1994.

Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), (Jakarta: Prenada


Madia Group, 2010).

R. Anton Suyatno, Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


Sebagai Upaya Mencegah Kepailitan, Kencana, Jakarta.

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No.37


Tahun 2004 Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.

Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan: Memahami Faillissementsverordening


Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta,
2002

Umar Haris Sanjaya, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam


Kepailitan, NFP Publishing, Sleman Yogyakarta, 2014.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang.

Anda mungkin juga menyukai