Anda di halaman 1dari 4

PKPU: ’’Surga’’ yang (Tidak) Dirindukan

Oleh M. HADI SHUBHAN *)

OPINI
20 Juni 2022, 19:48:10 WIB

MENTERI BUMN dan direktur utama Garuda Indonesia sudah bisa tersenyum lebar.
Mereka bisa bahagia menyusul berhasilnya restrukturisasi seluruh utang Garuda
Indonesia melalui salah satu instrumen hukum dalam kepailitan. Yakni, Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang disepakati pada Jumat, 17 Juni 2022.
Proposal restrukturisasi telah disetujui mayoritas krediturnya. Sehingga tinggal
menunggu pengesahan (homologasi) dari pengadilan. Hal itu berarti Garuda Indonesia
telah berhasil lolos dari kebangkrutan maupun kepailitan, dan akan kembali terbang
lebih tinggi.

Lolosnya kebangkrutan Garuda tersebut karena jumlah utang Garuda yang mencapai
Rp 120 triliun pada lebih dari 500 kreditur telah disetujui untuk direstrukturisasi dengan
berbagai skema pembayaran. Dapat dibayangkan jika tidak melalui mekanisme PKPU,
hampir mustahil restrukturisasi utang yang sedemikian besar jumlahnya dan
sedemikian banyak krediturnya, hanya dalam waktu kurang dari setengah tahun.

Banyak pengusaha yang salah persepsi mengenai UU Kepailitan dan PKPU Indonesia.
Kepailitan diberi stigma sebagai alat untuk mematikan perusahaan, baik yang sehat
maupun yang tidak sehat. Pandangan itu jelas sangat keliru. Sebab, bagian dari hukum
kepailitan kita terdapat instrumen hukum PKPU yang dapat digunakan untuk menangkis
permohonan pailit serta menghindarkan perusahaan dari kebangkrutan. Selain Garuda,
beberapa perusahaan raksasa yang berhasil melakukan restrukturisasi semua
utangnya melalui PKPU sehingga lolos dari kebangkrutan dan kepailitan adalah Grup
Duniatex, Grup Sritex, dan Meikarta.

Belum lekang dalam ingatan kita, beberapa pengusaha melalui kekuatan beberapa
menteri yang pengusaha meminta Presiden Jokowi untuk menandatangani Perpu
Moratorium UU Kepailitan. Alasannya, instrumen hukum kepailitan cukup mengganggu
iklim usaha di Indonesia yang terbukti dalam masa pandemi pengajuan PKPU terhadap
pengusaha meningkat signifikan. Mencapai seribuan perkara dalam satu tahun.

Untung, Presiden Jokowi tidak menggubris beberapa pembantunya di kabinet itu untuk
menandatangani Perpu Moratorium UU Kepailitan tersebut. Jika hal itu terjadi, Garuda
Indonesia sudah tentu hanya tinggal nama.

PKPU sejatinya ditujukan untuk kepentingan debitur sebagai instrumen agar tidak
masuk ke jurang kepailitan atau kebangkrutan nonpailit. Sebuah perusahaan yang
berstatus PKPU, untuk sementara tagihan pembayaran utangnya dibekukan selama
masa PKPU itu berlangsung. Masa PKPU diberikan total paling lama (baik PKPU
sementara maupun tetap) adalah 270 hari (sekitar 9 bulan). Dalam masa paling lama 9
bulan tersebut, debitur akan menyusun skema business planning yang berisi model
restrukturisasi utang terhadap semua krediturnya.

Selanjutnya, para kreditur akan memberikan suara persetujuan terhadap skema


pembayaran baru itu. Jika mayoritas kreditur (separatis dan konkuren) menyetujui
skema yang baru tersebut, akan disahkan oleh pengadilan. Dengan pengesahan
pengadilan itu, semua pihak –baik yang setuju maupun tidak setuju– harus tunduk pada
isi perdamaian yang baru yang disahkan tersebut.

Keuntungan restrukturisasi melalui PKPU itu adalah, pertama, akan mengikat semua
krediturnya, baik yang setuju maupun tidak setuju. Kedua, memutihkan semua kontrak
yang terjadi sebelum PKPU dan selanjutnya kontraknya mengacu pada skema baru.
Ketiga, dapat dipaksakan (law enforceable) terhadap siapa pun karena output PKPU
adalah putusan pengadilan yang berupa pengesahan perdamaian. Keempat, lebih
efisien dan efektif jika dibandingkan dengan restrukturisasi melalui non-PKPU, karena
waktunya yang terbatas dan semua kreditur harus duduk satu meja dengan debitur.

Dengan keuntungan PKPU tersebut, sejatinya ada ’surga’ di dalam ’neraka’ kepailitan
yang berarti di samping menghindari kebangkrutan dan kepailitan, debitur diberi
kesempatan bernapas yang lebih panjang dan ringan. Hal itu sesuai dengan
kemampuan membayar atas semua utang kreditur yang dituangkan dalam proposal
perdamaian tersebut. Meski demikian, jika debitur lalai atau salah mengalkulasi strategi
bisnisnya ke depan, PKPU debitur dapat berujung pada ’neraka’ kepailitan.

Dalam beberapa kondisi PKPU, bisa berakhir pada kepailitan. Pertama, jika debitur
melakukan kecurangan selama proses PKPU, seperti diam-diam menjual aset-aset
tanpa sepengetahuan pengurus PKPU atau membayar sebagian utangnya pada
kreditur yang disukai (terafiliasi dan jaringannya) tanpa membayar kreditur lainnya.
Kecurangan debitur itu bisa membuat PKPU diakhiri sebelum waktunya dan akan
dinyatakan pailit.

Kedua, proposal perdamaian yang berisi skema baru rencana pembayaran utang
terhadap semua krediturnya itu ditolak oleh mayoritas krediturnya. Biasanya kreditur
akan menolak jika rancangan restrukturisasi dianggap sangat merugikan krediturnya.
Misalnya, jangka waktu pembayaran yang dicicil sangat lama atau permintaan
pemotongan utang (diskonto) yang besar atau utangnya akan dikonversi menjadi
saham. Di samping itu, kreditur akan menolak proposal rencana pembayaran dari
debitur jika melihat prospek bisnis dari debitur yang tidak menjanjikan.

Ketiga, meski proposal perdamaian telah disetujui oleh para krediturnya, tetapi
pengadilan enggan mengesahkan perdamaian tersebut, maka pengadilan juga akan
menyatakan debitur itu pailit. Keengganan pengadilan untuk mengesahkan perdamaian
meski telah disetujui oleh mayoritas krediturnya didasarkan pada beberapa sebab.
Misalnya, harta benda debitur jauh lebih besar dari yang ditawarkan untuk membayar
atau karena melakukan penipuan dan persekongkolan jahat.
Keempat, debitur tidak punya komitmen dalam menjalankan isi skema baru yang sudah
disahkan pengadilan. Hal itu berarti debitur telah melakukan kelalaian untuk memenuhi
kewajiban yang baru. Kreditur yang dirugikan karena debitur wanprestasi lagi atas
skema pembayaran tersebut dapat mengajukan pembatalan perdamaian ke
pengadilan. Tujuannya, pengadilan membatalkan perdamaian yang telah disahkan itu
dan menyatakan pailit.

Kelima, dalam masa PKPU (baik PKPU sementara maupun PKPU tetap) ternyata
debitur sama sekali tidak mengajukan proposal perdamaian. Atau, mengajukan
proposal perdamaian namun tidak serius membahasnya dengan para kreditur.
Sehingga masa PKPU terlampaui. Dengan terlampauinya masa PKPU tersebut,
sedangkan perdamaian tidak pernah atau tidak serius ditawarkan, maka pengadilan
akan menyatakan debitur PKPU itu pailit. (*)

*) M. HADI SHUBHAN, Guru Besar Bidang Hukum Kepailitan Fakultas Hukum


Universitas Airlangga

Anda mungkin juga menyukai