Anda di halaman 1dari 7

COVER

A. DEFINISI

Hygroma atau disebut juga cystic hygroma berasal dari kata hygros
lembab, dan -oma = tumor, sehingga dalam bahasa Yunani berarti kista berisi
cairan bening. Hygroma adalah kelainan bawaan dari sistem limfatik. Higroma
pertama kali dijelaskan oleh Wernher pada tahun 1843 sebagai lesi kistik
limfatik yang dapat mempengaruhi berbagai area anatomi tubuh manusia.
Namun, sebagian besar mengenai daerah kepala dan leher (75%), dengan
predileksi kiri.
Hygroma coli adalah malformasi sistem limfatik berupa kista membran
berisi cairan, dibatasi oleh epitel yang terletak di daerah anterolateral atau
oksipitoservikal. Higroma bisa kecil, sederhana dan sementara atau besar,
perseptual dan persisten.

B. ETIOLOGI

Higroma dapat terjadi sebagai temuan tunggal atau dapat juga ditemukan
bersamaandengan defek lainnya sebagai suatu sindrom. penyebabnya
bervariasi melibatkan faktor lingkungan, genetik, dan faktor yang tidak
diketahui.
1. Faktor Lingkungan
Infeksi virus maternal seperti:
a. Parvovirus
b. Maternal substance abuse, seperti konsumsi alkohol selama kehamilan
2. Faktor Genetik
Sebagian besar diagnosis prenatal dari higroma berhubungan dengan
sindrom Turner, yaitu abnormalitas kromosom seks pada wanita dimana
hanya terdapat satu kromosom X
a. Abnormalitas kromosom lain seperti trisomi 13, 18, dan 21
b. Sindrom Noona, higroma yang berupa temuan tunggal dapat
diturunnkan sebagai kelainan autosomal resesif dimana orang tuanya
adalah silent carrier. Akan tetapi, banyak kelainan higroma ini
ditemukan dengan penyebab yang tidak diketahui.

C. MANIFESTASI KLINIS

Keluhan biasanya berupa adanya benjolan di leher yang telah lama atau
sejak lahir tanpa nyeri atau keluhan lain. Benjolan ini berbentuk kistik,
berbenjol-benjol, dan lunak. Permukaannya halus, lepas dari kulit, difus,
berbatas tegas, dan sedikit melekat pada jaringan dasar. Pada palpasi teraba
ireguler. Kebanyakan terletak di region trigonum posterior colli. Sebagai tanda
khas, pada pemeriksaan transluminasi positif tampak terang sebagai jaringan
diafan tembus cahaya).
Higroma kecil dan sedang biasanya asimptomatis. Benjolan ini jarang
menimbulkan gejala akut, tetapi suatau saat dapat cepat membesar karena
radang dan menimbulkan gejala gangguan pernafasan akibat pendesakan
saluran nafas seperti trakea, orofaring, maupun laring. Bila lebih besar maka
perluasan terjadi ke arah wajah, lidah, kelenjar parotis, laring, atau dada (15%
meluas ke mediastinum) dan dapat disertai komplikasi-komplikasi lain. Dapat
timbul gangguan menelan atau berbafas, sementara perluasan kea rah aksila
dapat menyebabkan penekanan pleksus brakhialis dengan berbagai gejala
neurologic.

D. PATOFISIOLOGI

Menurut Basyir & Utama (2021) Patofisiologi hygroma coli adalah karena
cacat selama pengembangan sistem limfatik. Saluran limfa terbentuk pada
minggu keenam kehamilan. Dari saluran ini terbentuk kantung yang akan
memberikan drainase ke sistem vena. Kegagalan mengalir ke dalam sistem
vena akan mengakibatkan dilatasi saluran getah bening, dan jika besar, akan
terjadi higroma.
Pada embrio, sistem limfatik mengalir ke kantung limfatik jugularis.
Hubungan antara struktur primitif sistem limfatik dan vena jugularis terbentuk
pada usia kehamilan 40 hari. Kegagalan untuk membentuk hubungan
struktural ini menyebabkan aliran getah bening stasis dan kantung limfatik
jugularis akan melebar, membentuk kista di daerah leher. Jika drainase sistem
ke sistem vena tidak terbentuk saat ini, limfoedem perifer progresif akan
berkembang dan dapat menyebabkan kematian intrauterin.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. USG
Pemeriksaan radiologi seperti USG dapat menunjukkan gambaran
kista multiple dan dengan USG Doppler tidak tampak adanya aliran darah
dalam lesi tersebut.
Diagnosis prenatal higroma dapat dilakukan menggunakan USG.
Karakteristik gambaran USG pada antenatal adalah tampak massa kistik
yang multiseptum dan berdining tipis. Penegakan diagnosis pada prenatal
higroma meliputi:
a. Ultrasound lengkap, termasuk echocardiogram, untuk melihat jenis
anomaly yang lain untuk menentukan penyebab dari higroma
b. Riwayat keluarga yang lengkap untuk menilai apakah test
diindikasikan untuk sindrom herediter
c. Amniosintesis atau CVS untuk melihat abnormalitas kromosom atau
sindrom genetic speksifik
d. Pengkajian virus pada cairan amnion dilakukan jika ada indikasi
adanya hydrops. Skrining serum maternal tidak membantu dalam
menilai prognosis janin dengan higroma.
e. Evaluasi ultrasound secara periodic dibutuhkan untuk melihat adanya
resolusi kista dan atau perkembangan anomaly-anomali yang lain
2. CT-Scan
Computed Tomography (CT) juga menyediakan informasi yang
diberikan oleh USG dan sangat ideal untuk evaluasi jaringan lunak yang
berdekatan dengan pertumbuhan massa yang lebih besar yang tidak dapat
seluruhnya divisualisasikan dengan USG. Selain itu, CT sangat baik untuk
mendeteksi kalsifikasi dan vaskularisasi gambaran CT-Scan lebih baik
digunakan untuk melihat batas massa dan ada atau tidaknya perluasan kea
rah mediastinum.
3. MRI
MRI dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan antara higroma
dengan jaringan lunak yang berdekatan di leher dan menilai sejauh mana
infiltrasi dari kista ke struktur di sekitarnya. MRI dengan kemampuan
kultiplanar dan resolusi kontras memberikan informasi tambahan yang
penting untuk perencanaan pra operatif yang akurat.
Hal ini dapat sangat relevan dalam kasus perluasan mediastinum atau
ruang dalam dari leher. Selain itu, pencitraan MRI menawarkan resolusi
superior untuk mengevaluasi massa yang terletak di daerah anatomis yang
kompleks, seperti dasar mulut.
4. Rontgen
Raidografi atau foto polos rontgen tidak membantu dalam
mendiagnosa higroma. Massa higroma teriri dari jaringan lunak sehingga
tidak memberikan gambaran engan kontras yang baik pada foto polos
rontgen. Tampilan higroma pada foto polos hanya sebagai soft tissue mass
dengan densitas sama dengan jaringan lunak sekitar leher.
Foto rontgen bermanfaat bila higroma meluas atau berlokasi pada
rongga tubuh, teritama jika tidak terdapat CT-Scan dan MRI. Foto rontgen
juga berguna untuk mengevaluasi trakea dan sangat membantu pada
tindakan anestesi dan intubasi trakea.

F. PENATALAKSANAAN

Seorang bayi dengan diagnosis prenatal kista higroma harus dilahirkan di


pusat pelayanan kesehatan yang memiliki sarana lengkap untuk mewaspadai
komplikasi neonatal. Seorang obstetric biasanya memutuskan metode
melahirkan yang sesuai. Setelah lahir, neonates dengan kista higroma yang
persisten harus diawasi terhadap obstruksi jalan napas. Observasi neonates
oleh nenonatologist setelah lahir sangat direkomendasikan. Jika resolusi kista
tidka terjadi setelah lahir, ahli bedah anak harus dikonsul. Penatalaksanaan
terpilih untuk higroma adalah eksisi bedah, akan tetapi sudah ada beberapa
laporan kasus yang mendokumentasikan hasil yang cukup baik dengan
menggunakan agen sclerosant. Higroma merupakan lesi jinak dan bisa tetap
simptomatik dalam periode waktu yang cukup lama. Indikasi pengobatan
adalah apabila terjadi infeksi pada lesi, respiratory distress, disfagia,
perdarahan di dalam kista, peningkatan ukuran yang tiba-tiba, dan terbentuk
sinus. Respiratory distress ditangani dengan melakukan trakeostomi apabila
terjadi kompresi laring atau trakea oleh massa kista.
Eksisi kkista ini tidak mudah, karena melibatkan struktur dalam dan vital.
Perawatan ekstrim harus dilakukan untuk menghindari komplikasi selama
operasi. komplikasi yang mungkin selama operasi adalah kerusakan nervus
fasialis, arteri fasial, arterinkarotid, vena jugularis interna, duktus torasikus
dan pleura, serta eksisi inkomplit. Komplikasi post-operasi yang mungkin
terjadi adalah infeksi luka operasi, perdarahan, hypertriphic scar, dan
kekluarnya cairan limfe dari luka operasi. pada 20% kasus ditemukan adanya
rekurensi setelah eksisi komplit.
Eksisi total merupakan pilihan utama. Pembedahan ini dimaksudkan untuk
mengambil keseluruhan massa kista. Akan tetapi, bila tumor besar dna telah
menyusup ke organ penting, seperti trakea, esophagus, atau pembuluh darah,
eksisi total sulit ikerjakan. Oleh karena itu, penanganannya cukup dengan
pengambilan sebanyak-banyaknya kista, namun mungkin perlu dilakukan
beberapa kali tindakan operasi. kemudian pasca beda dilakukan infiltrasi
bleomisin subkutan untuk mencegah kekambuhan. Hal ini merupakan cara
penanganan yang paling baik dan aman. Pada akhir pembedahan pemasangan
penyalir hisap sangat dianjurkan.
DAFTAR PUSTAKA

Basyir, V., & Utama, T. G. (2021). Hygroma Colli. Andalas Obstetrics And


Gynecology Journal, 5(2), 262-268.
Mota R, Ramalho C, Monteiro J, et al. Envolving indication for the exit
procedure:usefulness of combining ultrasound and fetal MRI. Fetal
Diagn Ther.2007; 22(2):107-11.
Rasidaki M, Sifakis S, Vardaki E, Et al. Prenatal diagnosis of a fetal chest
wall cysticlymphangioma using ultrasonography and MRI: a case report
with literature review. FetalDiagn Ther. Nov-Dec 2005; 20 (6):504-7
Sjamsuhidajat, R. et al. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah-de Jong Edisi 3.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai