Armstrong (2009) menjabarkan brand loyalty sebagai cara individu untuk menjalin ikatan
dengan merek tertentu, yang dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli kembali
merek atau keengganan untuk beralih merek. Untuk mempermudah penelitian mengenai brand
loyalty, Kabiraj dan Shanmugan (2011) serta Kim (2008) telah membagi brand loyalty kedalam
dua seksi, yakni:
Defenisi behavioral brand loyalty secara sederhana adalah segala hal yang mendasari
perilaku konsumen dan bagaimana mereka bertindak dalam berbagai situasi. (Kabiraj &
Shanmugan, 2011; Roy, 2011) Oliver (1999) memiliki defenisi yang mirip untuk menjelaskan
behavioral loyalty. Menurut Oliver, situasi dimana ketika konsumen telah memutuskan untuk
membeli suatu produk, lalu konsumen memutuskan membeli produk dengan merek tertentu
bukan hanya kebetulan semata bahwa merek tertentu dibeli, dan konsumen memutuskan untuk
kembali membeli merek tersebut dikemudian hari. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh
Hunt et al, (2012) mean that there needs to exist continual purchase occasions to be a behavioral
brand loyal consumer.
Sebagai perbandingan dengan behavioral brand loyalty, attitudinal brand loyalty lebih
fokus terhadap sikap konsumen terhadap merek. (kabiraj shanmugan, 2011) Härtel &
RussellBennett (2010) memaparkan bahwa attitudinal loyalty menuntut pilihan seseorang untuk
merek yang berbeda, serta komitmen pembelian yang dimaksudkan untuk masa depan. Selain
itu, konsumen bisa memiliki sikap negatif dan positif terhadap merek.
Untuk lebih mendalami mengenai attitudinal brand loyalty, Roy (2011) membagi
attitudinal brand loyalty kedalam dua bentuk, yaitu:
Cognitive Loyalty
Cognitive loyalty hadir berdasarkan pada apa yang diketahui konsumen mengenai suatu
merek, misalnya harga, fitur, serta preferensi psikologis terhadap eksistensi popularitas suatu
merek. Härtel dan Russell-Bennett (2010) berpendapat bahwa pembelian berdasarkan cognitive
loyalty didasarkan pada keputusan yang telah melewati berbagai pertimbangan dibandingkan
dengan pertimbangan emosional, dimana hal tersebut mungkin menjadi keputusan pembelian
secara spontan.
Emotional Loyalty
Roy (2011) memaparkan bahwa emotional loyalty didasarkan pada tingkat perasaan
positif yang terjadi ketika membeli merek tertentu. Produk yang dapat meningkatkan emotional
loyalty konsumen biasanya adalah produk yang paling sering menciptakan kenikmatan, hiburan
dan kepuasan. Namun produk lain dapat menciptakan loyalitas serupa selagi dapat membentuk
ketertarikan emosional terhadap konsumen.
Het et al (2011) memaparkan bahwa kepuasan dan kepercayaan adalah dua pilar untuk
membangun brand loyalty. Hubungan komponen kepuasan dengan brand loyalty paling sering
didasarkan pada perilaku pembelian berulang konsumen. Tingkat kepuasan yang rendah di antara
konsumen tidak menghasilkan pembelian berulang, kecuali tidak ada pilihan lain. Iglesias et al
(2011) juga berpendapat tentang bagaimana kepuasan dapat mempengaruhi brand loyalty,
Iglesias berpendapat bahwa pengalaman positif adalah hal utama yang membuat konsumen
menjadi setia terhadap merek.
Rajah (2008) mengemukakan bahwa kepercayaan di sisi lain adalah tali yang merajut
hubungan antara kepuasan dan brand loyalty. Semakin puas konsumen dengan merek, semakin
banyak kepercayaan yang akan dirasakan seseorang terhadap merek dan produsen, kepercayaan
yang terbentuk tersebut yang akan semakin memperkuat hubungan diantara keduanya. Dilain
sisi, keunikan, nilai ekonomi, dan reputasi merupakan faktor yang dapat memenuhi kebutuhan
simbolis konsumen dan dalam jangka panjang menciptakan kepercayaan terhadap merek.
Loyalty levels
Aaker (1997) mendefenisikan brand loyalty sebagai bentuk ikatan antara pelanggan terhadap
sebuah merek. Loyalitas terhadap merek dapat dinilai dari seberapa sering konsumen membeli
merek itu dibanding merek lainnya. Fredy Rangkuti memaparkan lima tingkatan dalam loyalitas
konsumen terhadap merek, yaitu:
1. Switcher
Switcher merupakan tingkatan loyalitas paling dasar, switcher sendiri berarti berpindah-
pindah. Dalam tingkatan switcher konsumen sama sekali tidak memiliki loyalitas terhadap suatu
merek, ini berarti konsumen sama sekali tidak memiliki ketertarikan terhadap merek yang telah
ditawarkan. Dalam tingkatan ini merek mengambil andil yang kecil dalam keputusan pembelian.
Itulah mengapa konsumen dalam tingkatan ini cenderung berpindah-pindah merek dan disebut
sebagai switcher atau price buyer.
2. Habitual Buyer
Strata loyalitas kedua ialah habitual buyer. Dalam tingkatan ini konsumen merasakan
kepuasan dengan produk, minimal tidak mengalami kekecewaan. Pada tingkatan ini juga
konsumen membeli produk tertentu karena kebiasaan. Tidak ditemukan dimensi ketidakpuasan
yang cukup untuk menstimulasi suatu peralihan atau perubahan preferensi merek terutama jika
hal tersebut membutuhkan usaha maupun tambahan biaya,
3. Satisfied Buyer
Statisfied buyer dapat diartikan sebagai pembeli yang puas. Dalam tingkatan ketiga ini,
statisfied buyer adalah konsumen yang merasakan kepuasan namun mereka harus memikul biaya
peralihan (switching cost) seperti uang, waktu, uang, atau resiko kinerja yang muncul akibat
tindakan peralihan preferensi merek. Statisfed buyer biasanya merasakan perlu melakukan
pengorbanan apabila ingin beralih dari suatu merek.
Strata loyalitas selanjutanya ialah liking the brand. Dalam tahap ini konsumen benar-benar
menyukai merek. Preferensi konsumen dalam memilih merek didasarkan pada suatu asosiasi,
seperti simbol, pengalaman dalam menggunakan produk, atau kualitas produk yang tinggi. Pada
strata ini juga konsumen dapat disebut sebagai sahabat merek dikarenakan terdapat perasaan
emosional dalam menyukai merek.
5. Committed Buyer
Strata tertinngi dalam loyalty ialah committed buyer atau yang dapat diartikan sebagai
pelanggan setia. Committed buyer memiliki sebuah kebanggaan dalam menemukan atau menjadi
pengguna setia dari suatu merek. Merek tersebut memiliki andil penting bagi konsumen, baik
dari segi fungsi maupun sebagai suatu eskpresi jati diri konsumen yang sebenarnya. Rasa
percaya terhadap merek mampu mendorong pelanggan setia untuk merekomendasikan merek
tersebut kepada orang lain.
Tingkat keterikatan konsumen dengan suatu merek dicerminkan dengan frekuensi pembelian
produk suatu merek yang lebih banyak dibandingkan dengan produk yang sama dari merek lain
(Widjaja, 2007), tingkatan loyalitas merek antara lain:
1. Friend of brand buyer (pembeli yang menyukai merek), pembeli yang menganggap suatu
merek sebagai teman karena pembeli mempunyai asosiasi, pengalaman, atau kesan kualitas yang
tinggi dan terdapat perasaan emosi yang terkait.
2. Commited buyer (pembeli yang komit), pembeli yang mempunyai kebanggan sebagai
konsumen dari suatu merek tertentu.
Menurut Rofiq (2009) loyalitas merek mencerminkan tingkat keterkaitan konsumen dengan
suatu merek produk. Hal ini merupakan suatu ukuran keterkaitan seorang konsumen pada sebuah
merek. Apabila loyalitas merek meningkat, maka kerentanan kelompok konsumen dari serangan
kompetitor dapatdikurangi.
Loyalitas merek dapat terbentuk karena faktor kebiasaan dan sejarah panjang pemakainan
merek. Sebagian pelanggan menyukai merek tertentu setelah menggunakan merek bersangkutan
berulang kali (Tjiptono, 2006).
3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
ialah penelitian yang yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi
lainnya. Creswell (2009) menjabarkan bahwa proses penelitian kualitatif melibatkan upaya-
upaya penting. Seperti, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan prosedur-prosedur,
mengumpulkan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai
dari tema khusus ke tema umum, serta menafsirkan makna data.
Adapun pendekatan penelitian yang penulis gunakan pada penelitian ini ialahh pendekatan
penelitian interpretif. Newman memaparkan bahwa pendekatan interpretif bermula dari usaha
untuk mencari interpretasi mengenai fenomena sosial atau budaya yang berdasarkan perspektif
dan pengalaman subjek penelitian. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan interpratif
merupakan tatana sosial yang memaknai perilaku secara detal dengan langsung mengobservasi.
(muslim)
Data primer merupakan data yang didapat dari sumber asli atau tidak melalui perantara
media. Sumber data primer diantaranya ialah opini subjek penelitian baik secara individu
maupun kelompok. Data primer dalam penelitian dapat diperoleh melalui hasil wawancara
serta observasi.
B. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pnelitian yang didapat dari media, dokumentasi, arsip dan
dokumen lain yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian.
3.4 Informan Penelitian
Informan dalam penelitian merupakan individu atau anggota kelompok yang memiliki
informasi penting mengenai sumber penlitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informan
ialah pihak manajemen restoran MC Donald’s Pekanbaru dan sample pengunjung.
A. Reduksi data
Reduksi data ialah rangkaian pemilihan observasi dalam penyederhanaan data yang muncul
dalam catatan-catatan tertulis di lapangan.
B. Penyajian data
Penyajian data merupakan penyusunan sekumpulan informasi yang memberikan
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penyajian
data, penulis akan mampu memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan
dalam menyajikan data penelitian.
C. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dalam penelitian. Kesimpulan yang diambil
dalam serangkaian penelitian akan ditangani secara longgar dan terbuka sehingga,
kesimpulan yang semula belum jelas dapat menjadi lebih rinci. Kesimpulan penelitian ini
juga akan melewati proses verifikasi dengan maksud-maksud menguji kebenaran,
kekokohan dan kecocokannya dengan data yang telah disusun.