Anda di halaman 1dari 2

Bab 6

Fakta Empiris Pelaksanaan Kebijakan Kurikulum dan Rekomendasi

Dalam pelaksanaan sebuah kebijakan Kurikulum akan timbul berbagai pro-kontra dari
berbagai sisi. Pada bab ini tim akan membahas beberapa fenomena yang terjadi pada
pelaksanaan kebijakan Kurikulum.
1. Tidak adanya Evaluasi dalam tiap perubahan Kurikulum
Sejak diberlakukannya kurikulum secara resmi pada tahun 1945 hingga tahun
2006 (dengan K-13 nya), ternyata setiap perubahan Kurikulum tersebut tidak pernah
dilakukan evaluasi secara terukur dan berkelanjutan.
Sebagai contohnya adalah KTSP yang lahir sebagai penyempurna dari KBK.
Meskipun KTSP merupakan penyempurna dan telah berjalan 6 tahun namun masih
banyak guru dan pengelola sekolah belum paham sepenuhnya mengenai kurikulum
tersebut. Dalam hal ini sudah banyak anggaran yang mengalir dalam sosialisasi
maupun diklat yang dilaksanakan, namun karena tidak adanya Evaluasi Kebijakan
dan Pelaksaan secara detail maka KTSP memiliki celah kekurangan yang besar.
Komitemen Pemerintah ternyata tidak sejalan dengan Renca
Dan pada akhirnya, justru diubah di tahun 2013 ini padahal evaluasi
terhadapnya belum pernah dilakukan. Apakah Kurikulum 2006 itu efektif atau tidak,
apa kelebihan dan kekurangannya, apa keberhasilannya apa kegagalannya, dan
bagaimana kesimpulannya, menjadi pertanyaan yang seharusnya sudah terjawab
sebelum melakukan pergantian kurikulum sebagai pedoman dasar penerapan proses
belajar mengajar dunia pendidikan nasional. Namun Kemendikbud kini sudah
membuat Kurikulum 2013 dan sudah diterapkan sejak Juli 2013 di seluruh sekolah di
Indonesia, tanpa pernah ada evaluasi Kurikulum 2006.

Uraian di atas, memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa pemerintah Indonesia tidak
bijaksana dalam melakukan pergantian kurikulum, seolah tidak memiliki grand design
dan Blue Print pelaksanaan pendidikan nasional. Kondisi ini bisa sangat mengganggu
hasil yang diharapkan dari dunia pendidikan Indonesia, di mana masa depan bangsa
tentu akan menjadi taruhannya. Hal ini jelas-jelas bisa terjadi jika kurikulum
diterbitkan tanpa melalui proses penyusunan yang bijak dan matang dan tanpa adanya
evaluasi kurikulum sebelumnya.

Begitupula dengan kondisi objektif di lapangan, bahwa masih sangat banyak guru
yang mengaku belum paham dan belum bisa menerapkan Kurikulum 2006, di mana
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) lebih banyak tematik. Dalam penyusunan
dokumen 1 yang dipersyaratkan pada kurikulum 2006, penyusunannya masih copy-
paste tanpa mengubah isinya. Hal ini bahkan berlangsung hingga tiga tahun kalender
tidak mengalami perubahan. Guru-guru mengaku belum siap untuk menerapkan
Kurikulum 2006 karena terlalu banyak administrasi yang harus dibuat dalam RPP.
Harusnya Kurikulum 2006 dievaluasi dulu baru terapkan kurikulum baru 2013.
Muncul pertanyaan, apakah Kurikulum 2013 ini lahir sebagai upaya memberi
jawaban untuk mengatasi keprihatinan akan kondisi moralitas generasi muda kita
sekarang, atau lahir sebagai reaksi terhadap kondisi kita saat ini. Banyak ahli
berpendapat bahwa seharusnya, setiap kurikulum, atau khususnya Kurikulum 2006,
bisa dikaji mendalam. Kalau perlu sampai pada guru di pelosok desa agar kompetensi
guru betul-betul bisa terbentuk, memiliki keterampilan dan kemampuan untuk
melakukan intepretasi atas kurikulum, barulah kurikulum diubah dengan yang
dianggap lebih sempurna dari yang sebelumnya.

Terkait dengan perubahan kurikulum yang seakan terburu-buru dan tidak pernah
dievaluasi penerapannya, menjadikan proses pembentukan dan pemantapan
kompetensi guru pun terhambat serta seperti jalan di tempat. Hingga pada akhirnya
guru-guru mengalami kesulitan mendasar, yaitu tidak mampu memahami persoalan
perangkat pembelajaran, sehingga belum bisa sepenuhnya melakukan implementasi
kurikulum. Jika hal itu terjadi pada guru, bagaimana mereka bisa berkonsentrasi
dalam membentuk karakter anak didik? Guru harus mendapatkan pelatihan agar
memahami kurikulum sebelum terjun ke lapangan.

Terlepas dari sudah tepatkah kurikulum 2013 ini diterapkan pada tahun ajaran
2013/2014 dan kesiapan guru serta murid untuk melaksanakan kurikulum baru itu,
yang perlu diingat bahwa guru bukan obyek pendidikan. Guru bukan hanya sebagai
pelaksana dari kurikulum yang dibuat oleh pemerintah. Sebaliknya, guru adalah
manusia yang memiliki panggilan profesi dan tanggung jawab besar untuk
menentukan masa depan anak didik, masa depan dunia pendidikan, masa depan
bangsa Indonesia. Karena itu, guru harus bisa lebih cermat dalam memaknai dan
menentukan sikap apakah bisa atau tidak untuk menerima setiap kebijakan yang
dibuat oleh pemerintah entah itu pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat.

Anda mungkin juga menyukai