Disusun oleh :
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan anestesi merupakan bagian integral dari pelayanan
perioperatif yang memiliki pengaruh besar dalam menetukan keberhasilan
tindakan pembedahan yang adekuat dan aman bagi pasien. Anestesi yang
ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian anestesi dihentikan (Majid dkk,
2011).
Penggunaan teknik regional anestesi masih menjadi pilihan untuk
bedah sesar, operasi daerah abdomen, dan ekstermitas bagian bawah
karena teknik ini membuat pasien tetap dalam keadaan sadar sehingga
masa pulih lebih cepat dan dapat dimobilisasi lebih cepat (Marwoto dan
Primatika, 2013). Anestesia spinal dapat menumpulkan respons stress
terhadap pembedahan, menurunkan perdarahan intraoperatif, menurunkan
kejadian tromboemboli postoperasi, dan menurunkan morbiditas dan
mortalitas pasien bedah dengan risiko tinggi (Naiborhu FT, 2009).
Anestesi spinal dapat memberikan dampak terhadap penurunan
tekanan darah melalui blockade saraf simpatis yang menyebabkan
vasodilatasi vena, sehingga terjadi perubahan volume darah kebagian
ekstremitas bawah. Hal tersebut menyebabkan penurunan aliran darah
balik ke jantung (iChesnut dkk, 2009).
Salah satu komplikasi akut anestesi spinal yang paling sering
terjadi adalah hipotensi. Hipotensi pasca anestesi spinal (AS) merupakan
insiden yang paling sering muncul, kurang lebih 15 – 33% pada setiap
injeksi AS (Mercier, FJ & Fischer, C, 2013). Kasus pembedahan yang
berhubungan dengan hipotensi, tertinggi ditemukan pada bagian obstetri
dengan 11,8%, bila dibandingkan dengan bedah umum 9,6% dan hipotensi
akibat trauma 4,8%, insiden hipotensi maternal pada seksio sesaria akibat
anestesi spinal mencapai 83,6% sedangkan pada prosedur anestesi epidural
16,4% (Metzger, A.,et al, 2010).
Faktor- faktor yang mempengaruhi derajat dan insidensi hipotensi
pada anestesi spinal adalah jenis obat anestesi lokal, tingkat penghambatan
sensorik, umur, jenis kelamin, berat badan, kondisi fisik pasien, posisi
pasien, manipulasi operasi dan lamanya operasi (Sari dkk, 2012). Faktor
lain yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Rustini (2016)
antara lain usia, tinggi dan berat badan, posisi uterus miring kiri, BMI,
cairan prehidrasi, dosis bupivakain, dosis adjuvant, posisi spinal anestesi,
lokasi penusukan, lama penyuntikan, ketinggian blok, jumlah perdarahan,
penggunaan efedrin sebagai vasopresor, dan manipulasi operasi.
Hipotensi dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran,
aspirasi pulmonal, depresi pernapasan dan henti jantung (Flora dkk, 2014).
Hipotensi yang berat juga dapat menyebabkan henti jantung yang
merupakan komplikasi yang serius dari spinal anestesi. Pernah
dilaporkan terjadi 28 kasus henti jantung dari 42,521 pasien oleh
karena hipotensi yang berat pada spinal anestesi (Sukaraja dan
Purnawan, 2010) Hipotensi jika tidak diterapi dengan baik akan
menyebabkan hipoksia jaringan dan organ. Bila keadaan ini berlanjut terus
akan mengakibatkan keadaan syok hingga kematian (Sari dkk, 2012).
Dalam kasus SC, kejadian hipotensi dapat mempengaruhi keadaan ibu dan
bayi (Tanambel dkk, 2015). Hipotensi maternal yang berkepanjangan
dapat merusak janin dan menurunkan apgar skor. Dampak hipotensi
selama persalinan dengan anestesi spinal bagi ibu yaitu mual muntah dan
hilangnya kesadaran, sedangkan bagi bayi nya akan terjadi kerusakan
pertukaran oksigen di otak (Mohamed dkk, 2016).
Teknik yang biasa digunakan dalam mengatasi hipotensi antara
lain leg elevation and compression, preloading atau coloading, uterine
displacement, mengurangi dosis anestesi dan pemberian vasopresor. Cara
lain yang digunakan dalam mencegah hipotensi yaitu posisi head up
setelah penyuntikan obat anestesi local hiperbarik, pemberian cairan
kristaloid atau koloid sebelum tindakan anesthesia spinal, vasopresor,
posisi uterus miring kiri pada seksio sesaria, elevasi tungkai bawah dan
atau membungkusnya mempergunakan stocking (Chesnut dkk, 2009).
Hipotensi juga dapat dicegah dengan memposisikan pasien trendelenberg,
pemberian cairan dan terapi oksigen (Sungsik, 2013).
Berdasarkan data diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian hipotensi pada pasien dengan
spinal anestesi.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
dalam penelitian, “Apa faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian
hipotensi pada pasien dengan spinal anestesi di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian
hipotensi pada pasien dengan spinal anestesi di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya insiden terjadinya hipotensi pada pasien dengan
spinal anestesi
b. Diketahuinya faktor yang mempengaruhi kejadian hipotensi pada
pasien dengan spinal anestesi
c. Diketahuinya faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian
hipotensi pada pasien dengan spinal anestesi
D. Ruang Lingkup
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori
1. Spinal Anestesi
a. Pengertian
Spinal anestesi adalah prosedur pemberian obat anestesi
untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien yang akan menjalani
pembedahan dengan menginjeksikan obat anestesi lokal ke dalam
cairan cerebrospinal dalam ruang subarachnoid (Morgan, Mikhail,
Murrray, 2013). Anestesi spinal dihasilkan bila obat analgesik
lokal disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid diantara vertebra
lumbal 2 dan lumbal 3, lumbal 3 dan lumbal 4 atau lumbal 4 dan
lumbal 5 (Latief, 2009).
b. Tujuan
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 Spinal
anestesi dapat digunakan untuk prosedur pembedahan, persalinan,
penanganan nyeri akut maupun kronik.
c. Indikasi
Menurut Keat, dkk tahun 2013, indikasi pemberian spinal
anestesi ialah untuk prosedur bedah di bawah umbilicus. Latief
(2009) menyatakan bahwa anestesi spinal merupakan teknik
anestesi regional yang baik untuk tindakan – tindakan :
1) Bedah ekstremitas bawah
2) Bedah panggul
3) Tindakan sekitar rektum perineum
4) Bedah obstetrik - ginekologi
5) Bedah urologi
6) Bedah abdomen bawah
7) Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anestesi umum ringan.
d. Kontraindikasi
Menurut Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010 anestesi
regional yang luas seperti spinal anestesi tidak boleh diberikan
pada kondisi hipovolemia yang belum terkorelasi karena dapat
mengakibatkan hipotensi berat. Sedangkan menurut Latief (2009)
kontra indikasi anestesi spinal ada 2 yaitu :
1) Absolut
a) Kelainan pembekuan
Bahayanya adalah bila jarum spinal menembus pembuluh
darah besar, perdarahan dapat berakibat penekanan pada
medula spinalis.
b) Koagulopati atau mendapat terapi koagulan
c) Tekanan intrakranial yang tinggi
Menyebabkan turunnya atau hilangnya liquor sehingga
terjadi penarikan otak.
d) Pasien menolak persetujuan
e) Infeksi kulit pada daerah pungsi
f) Fasilitas resusitasi minim
g) Kurang pengalaman atau / tanpa didampingi konsultan
anestesi.
h) Hipotensi, sistolik di bawah 80 – 90 mmHg, syok
hipovolemik
Blok simpatis menyebabkan hilangnya mekanisme
kompensasi utama.
2) Relatif
a) Infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Nyeri punggung kronis
d) Kelainan neurologis
e) Penyakit saluran nafas
Blok spinal medium atau tinggi dapat menurunkan fungsi
pernafasan.
f) Penderita psikotik, sangat gelisah, dan tidak kooperatif
(kelainan psikis)
g) Distensi abdomen
Anestesi spinal menaikkan tonus dan kontraktilitas usus
yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan perforasi usus.
h) Bedah lama
i) Penyakit jantung
e. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada spinal anestesi menurut
Sjamsuhidayat & De Jong tahun 2010, ialah :
1) Hipotensi terutama jika pasien tidak prahidrasi yang cukup
2) Blokade saraf spinal tinggi, berupa lumpuhnya pernapasan dan
memerlukan bantuan napas dan jalan napas segera.
3) Sakit kepala pasca pungsi spinal, sakit kepala ini bergantung
pada besarnya diameter dan bentuk jarum spinal yang
digunakan.
Hipotensi 33%
Mual 18%
Bradikardi 13%
Muntah 7%
Aritmia 2%
Sakit kepala pasca pungsi dural <1%
f. Jenis obat anestesi
Menurut Salinas (2009) jenis obat anestesi yang sering
digunakan yaitu :
1) Lidokain
Lidokain dianggap sebagai obat yang pendek untuk durasi
menengah agen anestesi lokal dan merupakan obat yang paling
banyak digunakan dalam spinal anestesi. Lidokain polos
dengan dosis 50 mg akan menghasilkan blok puncak T6
dengan timbulnya 2 dermatom regresi 50 pada 120-140 menit.
2) Bupivakain
Bupivakain adalah prototipe yang paling banyak digunakan
sebagai agen anestesi lokal jangka panjang. Dalam rentang
dosis klinis yang relevan yaitu 3,75 mg – 11,25 mg merupakan
bupivakain hiperbarik 0,75%, untuk setiap tambahan
miligramnyaterdapat peningkatan durasi anestesi bedah selama
10 menit dan peningkatan selesai pemulihan setelah 21 menit.
Bupivakain cenderung menghambat sensoris dibanding
motoris sehingga menyebabkan obat ini sering digunakan
untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah. Pada
beberapa tahun terakhir, bupivakain baik isobarik maupun
hiperbarik sudah banyak digunakan pada blok subarachnoid
untuk operasi abdominal bawah.
Bila diberikan dalam dosis berulang maka takifilaksis yang
terjadi lebih ringan dibandingkan dengan lidokain. Salah satu
sifat bupivakain yang disukai selain dari kerja obat yang
panjang adalah blokade motoris yang lemah. Toksisitas dari
bupivakain kurang lebih sama dengan tetrakain. Bupivakain
juga mempunyai lama kerja yang lebih panjang daripada
lidokain karena mempunyai kemampuan yang lebih besar
untuk mengikat protein.
3) Tetrakain
Tetrakain adalah prototipe jangka panjang dari amino ester
agen anestesi lokal. Tetrakain meningkatkan kelarutan lemak,
sehingga memiliki potensi yang lebih besar dan dosis dapat
berkurang 20%-30% untuk blokade setara.
g. Posisi penyuntikan spinal anestesi
Menurut Mulroy, et al (2009) posisi spinal anestesi dibagi
menjadi 3, yaitu :
1) Posisi miring (lateral decibitus position)
Posisi ini sering digunakan pada operasi ekstremitas yang lebih
rendah.
2) Posisi duduk
Posisi duduk di sarankan untuk pasien yang memiliki berat
badan lebih (obesitas).
3) Posisi prone jackknife
Posisi yang digunakan pada pembedahan sperti rektal dan
perineal
h. Lokasi penyuntikan
Penyuntikan obat spinal anestesi harus dilakukan di
pertengahan sampai lumbal terendah. Idealnya pada L4-L5 atau
L3-L4. Tempat penyuntikan pada L1-L2 harus dihindari untuk
mengurangi resiko trauma jarum pada conus medullaris (Mulroy et
al, 2009).
i. Teknik spinal anestesi
1) Teknik paramedian
Paramedian (paramedian approach) yaitu dengan cara
memasukkan jarum spinal 1-2 cm sebelah lateral dari bagian
superior processus spinosus dibawah ruang vertebre yang
dipilih. Jarum diarahkan ke titik tengah pada garis median
dengan sudut sama dengan midline approach. Pada teknik ini
hanya ligamentum flavum yang tertembus jarum, karena
memiliki celah yang lebar. Setelah cairan serebrospinal keluar,
maka jarum spinal dihubungkan dengan spuit injeksi yang
berisi obat lokal anestesi. Sebelum penyuntikan obat lokal
anestesi dilakukan, maka perlu aspirasi cairan serebrospinal 0,1
ml untuk memastikan posisi jarum kemudian obat diinjeksikan.
Selama injeksi juga perlu dilakukan aspirasi cairan
serebrospinal untuk memastikan jarum masih berada di ruang
subaraknoid. Teknik ini menguntungkan untuk pasien yang
tidak mampu untuk melakukan posisi fleksi sama sekali yaitu
pasien hamil, lanjut usia, obesitas. Pada paramedian ada dua
ligamen yang tidak dilalui yaitu ligamen supra dan
intraspinosium, sehingga akan meminimalisir terjadinya trauma
pada ligamen yang bisa menyebabkan kebocoran liquor (Raj P.
2013).
2) Teknik median
Median (midline approach) yaitu penusukan jarum tepat
digaris tengah yang menghubungkan prosesus spinosus satu
dengan yang lainnya pada sudut 80º dengan punggung. Posisi
permukaan jarum spinal ditentukan kembali yaitu pada daerah
antara vertebra lumbalis (interlumbal). Lakukan penyuntikan
jarum spinal ditempat penusukan pada bidang medial dengan
sudut 10º-30º terhadap bidang horizontal ke arah cranial, bevel
jarum diarahkan ke lateral sehingga tidak memotong serabut
longitudinal durameter. Dalam memasukkan jarum spinal,
setiap masuk ligamentum tentu bisa diidentifikasi adanya rasa
dimana flacum terasa paling keras. Jarum lumbal akan
menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum
interspinosum, ligamentum flavum, lapisan durameter dan
lapisan subaraknoid. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan
menetes keluar. Suntikkan obat anestesi lokal yang telah
disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Pada teknik median,
obat akan melalui banyak ligamen yang menyebabkan trauma
penusukan lebih banyak karena ligamen yang dilalui, ligamen
supra dan interspinosum yang bersifat elastis sehingga mudah
sekali trauma yang dikhawatirkan akan menyebabkan
kebocoran dari cairan liquor yang terdapat pada pirameter dura
yang sangat sensitif (Raj P, 2013).
1. Ketinggian blok
simpatis
2. Posisi pasien
3. Indeks massa tubuh
(IMT)
4. Lama operasi
5. Cairan prehidrasi
6. Lokasi penusukan
7. Penggunaan vasopresor
Gambar 1. Kerangka teori dikembangkan dari Gaba (2015), Salinas (2009), Neal
dan James (2013), Morgan (2013), Depkes RI (2009), Latief (2009), Mulroy
(2009), Naiborhu (2009)
C. Kerangka Konsep
Variabel bebas
1. Ketinggian blok
simpatis Variabel terikat
2. Posisi pasien
Hipotensi spinal
3. Indeks massa tubuh
anestesi
(IMT)
4. Lama operasi
5. Cairan prehidrasi
6. Lokasi penusukan
7. Penggunaan
vasopresor
D. Hipotesis Penelitian
Ketinggian blok simpatis, posisi pasien, indeks massa tubuh (IMT),
lama operasi, cairan prehidrasi, lokasi penusukan dan penggunaan
vasopresor berpengaruh terhadap kejadian hipotensi.
BAB III
METODE PENELITIAN
Keterangan :
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat signifikasi (p) 5%
D. Variabel Penelitian
1. Variabel dependen (terikat)
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang
menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian hipotensi.
2. Variabel independen (bebas)
Variabel bebas adalah variabel yang menjadi sebab timbulnya atau
berubahnya variabel terikat (Sugiyono, 2010). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi hipotensi
meliputi : ketinggian blok, posisi pasien, indeks massa tubuh (IMT),
lama operasi, cairan prehidrasi, lokasi penusukan dan penggunaan
vasopresor.
E. Definisi Operasional
No Definisi
Variabel Alat ukur Hasil ukur Skala
. operasional
1. Ketinggian Meluasnya blokade Lembar a. Blokade < T4 Nominal
Blok Simpatis simpatis yang observasi kode (1)
mempengaruhi b. Blokade > T4
tahanan vaskuler kode (2)
perifer dan curah
jantung
2. Posisi pasien Posisi pasien pada Lembar a. Posisi duduk Nominal
saat penyuntikan observasi kode (1)
obat anestesi spinal. b. Posisi miring
kode (2)
3. Indeks Massa IMT merupakan Lembar a. Tidak normal: Nominal
Tubuh (IMT) rumus matematika observasi jika IMT > 25
dengan berat badan kg/m2
dalam satuan Kode (1)
kilogram (kg) b. Normal:
dibagi dengan jika IMT 18,5-
tinggi badan 25,0 kg/m2
kuadarat dalam kode (2)
satuan meter (m).
4. Lama operasi Durasi operasi Lembar a. Cepat (<60 Nominal
adalah lama waktu observasi menit)
yang dijalani pasien kode (1)
untuk operasi, b. Lama (>60
dimulai sejak menit)
pasien di transfer
ke meja operasi
sampai pindah ke
ruang pemulihan
5. Cairan Cairan prehidrasi Lembar a. Diberikan Nominal
prehidrasi secara rasional observasi cairan
adalah cairan yang prehidrasi
digunakan untuk kode (1)
meningkatkan b. Tidak
volume sirkulasi diberikan
darah dalam rangka cairan
mengkompensasi prehidrasi.
penurunan kode (2)
resistensi perifer
6. Lokasi Penusukan jarum Lembar a. L3-L4 Nominal
penusukan spinal pada lumbal. observasi kode (1)
b. L4-L5
kode (2)
7. Penggunaan Pemberian Lembar a. Diberikan Nominal
vasopressor vasopressor adalah observasi kode (1)
pemberian obat b. Tidak
ephedrine. diberikan
kode (2)
I. Manajemen Data
1. Pengolahan data
Menurut Notoatmodjo (2010), terdapat 5 kegiatan dalam
pengolahan data yaitu :
a. Editing (memeriksa)
Editing merupakan tahap memeriksa kelengkapan data
untuk menghindari pengukuran yang keliru serta mengecek
kelengkapan lembar observasi.
b. Coding (memberi tanda kode)
Coding adalah memberikan kode pada masing-masing
responden sehingga peneliti dapat secara tepat memasukkan data
sesuai klasifikasi. Dalam penelitian ini, pemberian coding adalah
sebagai berikut:
1) Variabel ketinggian blok simpatis
Kode 1 = blokade <T4
Kode 2 = blokade >T4
2) Variabel posisi pasien
Kode 1 = posisi duduk
Kode 2 = posisi miring
3) Variabel IMT
Kode 1 = IMT > 25kg/m2
Kode 2 = IMT 18,5-25,0 kg/m2.
4) Variabel lama operasi
Kode 1 = cepat (<60 menit)
Kode 2 = lama (>60 menit)
5) Variabel cairan prehidrasi
Kode 1 = diberikan cairan prehidrasi
Kode 2 = tidak diberikan cairan prehidrasi
6) Variabel lokasi penusukan
Kode 1 = L3-L4
Kode 2 = L4-L5
7) Variabel penggunaan vasopresor
Kode 1 = diberikan
Kode 2 = diberikan
c. Entry (memasukkan data)
Entry merupakan tahap memasukkan data responden yang
berisi kode huruf/ angka ke dalam program atau software
komputer.
d. Cleaning (membersihkan)
Peneliti melakukan pengecekan kembali data yang sudah
di-entry, diperiksa kembali data yang sudah di-entry agar terhindar
dari kesalahan.
e. Tabulating (tabulasi)
Tabulating adalah penyusunan data dengan
mengelompokkan data sedemikian rupa sehingga data mudah
dijumlah dan disusun untuk disajikan dan dianalisis dalam bentuk
master tabel dengan bantuan komputer.
2. Analisa data
Metode analisis data dilakukan agar hasilpenelitian yang berupa
data kasar menjadi lebih mudah untuk dapat diinterpretasikan.metode
analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu :
a. Analisa univariat
Menurut Notoadmodjo (2010), analisis univariat adalah
dengan menganalisa variabel-variabel yang ada secara deskriptif
dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsinya.
b. Analisa bivariat
Menurut Sugiyono (2010), analisis bivariat adalah data
yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel bebas
dengan variabel terikat yaitu faktor ketinggian blok simpatis
mempengaruhi kejadian hipotensi, posisi pasien mempengaruhi
kejadian hipotensi, IMT mempengaruhi kejadian hipotensi, lama
operasi mempengaruhi kejadian hipotensi, cairan prehidrasi
mempengaruhi kejadian hipotensi, lokasi penusukan
mempengaruhi kejadian hipotensi, penggunaan vasopresor
mempengaruhi kejadian hipotensi. Variabel yang diteliti memiliki
skala nominal maka analisi datanya menggunakan uji chi square
dengan bantuan komputerisasi.
c. Analisa multivariat
Analisis yang digunakan untuk menghubungkan variabel-
variabel bebas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis dengan uji regresi untuk mengetahui variabel bebas yang
mana yang lebih berpengaruh terhadap variabel terikat.
J. Etika Penelitian
Nursalam (2011), Prinsip etika dalam penelitian dapat dibedakan
menjadi 3 bagian yaitu :
1. Prinsip manfaat
a. Bebas dari penderitaan
Penelitian harus dilakukan tanpa mengakibatkan
penderitaan kepada subyek khususnya jika menggunakan tindakan
khusus.
b. Bebas dari eksploitasi
Partisipasi subyek dalam penelitian, harus dihindarkan dari
keadaan yang tidak menguntungkan. Subyek harus diyakinkan
bahwa partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang telah
diberikan tidak akan dipergunakan dalam hal-hal yang dapat
merugikan subyek dalam bentuk apapun.
c. Risiko (benefits ratio)
Peneliti harus hati hati mempertimbangkan risiko dan
keuntungan yang akan berakibat kepada subyek dalam setiap
tindakan.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (respect human dignity)
a. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self
determination)
Subyek harus dipakukan secara manusiawi dan subyek
memiliki hak memutuskan apakah mereka bersedia menjadi
subyek penelitian atau tisak tanpa adanya sangsi apapun.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perilaku yang diberikan
(right to full disclosure)
Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secara rinci
serta bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada
subyek penelitian.
c. Informed consent
Subyek harus mendapatkan infrmasi lengkap tentang tujuan
penelitian yang akan dilaksanakan dan mempunyai hak untuk
bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Pada
informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data yang
diperoleh hanya akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu.
3. Prinsip keadilan (right to justice)
a. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair
treatment)
Perlakuan secara adil baik sebelum, selama dan sesudah
keikutsertaan subyek dalam penelitian tanpa adanya diskriminasi
apabila ternyata mereka tidak bersedia atau dikeluarkan dari
penelitian.
b. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy)
Subyek memiliki hak untuk meminta bahwa data yang
diberikan harus dirahasiakan.untuk itu perlu adanya kerahasiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Afrikadi. 2010. Perbedaan Efek Preloading Cairan Kristaloid Ringer Laktat 1.500
ml dengan Koloid HES 6% 500 ml Terhadap Tekanan Darah dan Nadi
Pasien Spinal Anestesi. Yogyakarta
Chesnut DH, Polley LS, Tsen LC, Wong CA. Obstetric anesthesia, principles and
practice. Edisi ke-4. Philadelphia: Mosby Elsevier;2009
Depkes RI. 2009. Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi Rumah Sakit.
Jakarta: Depkes RI
Dharma, K. K. 2011. Metodologi Penelitian Keperawatan: Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta: Trans Info
Media
Flora, L. 2014. Perbandingan Efek Anestesi Spinal dengan Anestesi Umum
Terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi pada Seksio
Sesarea. Jurnal Anestesi Perioperatif. 2(2), 105-16.
Gaba. 2015. Crisis Management In Anesthesiology 2st ed. USA: Elsevier
Gwinnutt Carl L. 2009. Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3; alih bahasa:
Susanto, Diana; editor Bahasa Indonesia: Wisurya, K., Surya, N., Hippy,
Indah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Keat, Sally et al. (2013). Anaesthesia on The Move. Jakarta: Indeks
Latief, A.S., suryadi, K.A., Dachlan, M.R. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
Liguori GA. Hemodynamic complications, complications in regional anesthesia
and pain medicine .1st ed; 2007 : 43 – 52.
Majid, A., Judha, M., Istianah, U. 2011. Keperawatan Perioperatif. Yogyakarta:
Gosyen Publishing
Marwoto & Primatika. (2013). Anestesi Lokal/Regional. Anestesiologi 2 Bagian
Anestesiologidan terapi intensif FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi.
PERDATIN Semarang Jawa Tengah.
Mercier, FJ & Fischer, C. Maternal hypotension during spinal anesthesia.
Minerva Anesth, 2013. 79(1):62 – 73
Metzger, A.,et al. Maternal hypotension during elective cesarean section and
short term neonatal outcome, 2010. Am J Obstet Gynecol. 202:56
Mohamed, A.I. 2016. Utilization of Lower Leg Compression Technique for
Reducing Spinal Induced Hypotension, and Related Risks for Mothers and
Neonates During Cesarean Delivery. Journal of Nursing Education and
Practice. 6(7), 11-12.
Morgan, G.E.,& Mikhail, M. 2013. Clinical Anesthesiology edisi-5. New York:
MC.Grow
Mulroy, Michael F et al. A Practice Approach to Regional Anesthesia. 4th ed;
2009 : 81-82
Naiborhu FT. 2009. Perbandingan penambahan midazolam 1 mg dan midazolam
2 mg pada bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja blokade
sensorik anestesi spinal [Tesis]. Medan: Fakultas Kedokteran USU
Neal, Joseph., James, P.R. 2013. Complication in Regional Anesthesia and Pain
Medicine. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins
Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta