Anda di halaman 1dari 9

KONJUNGTIVITIS ALERGI

Mata merupakan organ pertama yang paling mudah terpengaruh oleh lingkungan,
dengan demikiana alergi mata menjadi masalah mata yang umum ditemukan di masyarakat.
Bagian mata yang pertama kali terpapar.1
Konjungtivitis alergi merupakan proses inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh
suatu allergen. Umumnya proses inflamasi ini melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe 1.
Inflamasi ini terjadi dimana allergen bereaksi dengan IgE, menstimulasi degranulasi sel mast
kemudian diikuti pelepasan mediator mediator inflamasi Konjungtivitis alergi sering
dijumpai pada anak anak. Di negara maju mencapai 15-20% kejadian pada anak. Survey dari
American College of Allergic, Asthma and Immunologi mendapatkan 35% keluarga yang
diwawancara pernah menderita alergi, 50% responden berupa gejala pada mata. Kondisi ini
sering dijumpai bersamaan dengan gejala pada hidung.2

EPIDEMIOLOGI
Konjungtivitis Alergi Sederhana: Sulit untuk memperkirakan berapa banyak pasien
yang terkena karena gejalanya sering kurang diperhatikan, dan banyak pasien pergi tanpa
mencari perawatan medis. Alergi okular sederhana kemungkinan mempengaruhi antara 10%
sampai 30% dari populasi umum. Dalam kebanyakan kasus, onset terjadi pada pasien yang
lebih muda dari 20 tahun, penurunan prevalensi pada populasi yang lebih tua. Konjungtivitis
alergi dapat dilihat sebagai temuan yang terisolasi tetapi sering dikaitkan dengan rinitis
alergi, dermatitis atopik, dan/atau asma.2
Keratokonjungtivitis Vernal: Lebih sering terlihat pada laki-laki (rasio antara 2
banding 1 dan 3 banding 1) di iklim kering dan hangat. Sebagian besar kasus terjadi pada
pasien di bawah sepuluh tahun yang sering memiliki riwayat atopi atau asma. Banyak pasien
memiliki resolusi lengkap tanpa kembalinya gejala setelah masa remaja.2
Keratokonjungtivitis atopik: Biasanya tidak terlihat sebelum masa remaja dan
puncaknya pada usia 30 hingga 50 tahun. Kebanyakan kasus terlihat pada pasien dengan
dermatitis atopik. Seperti keratokonjungtivitis vernal, ada dominasi pria terhadap wanita
(antara 2 hingga 1 dan 3 hingga 1).2
Konjungtivitis Giant Papiler: Terlihat paling sering pada remaja dan dewasa muda,
kemungkinan besar karena hubungan temporal dengan penggunaan lensa kontak. Hal ini
paling sering terlihat dalam hubungannya dengan penggunaan lensa kontak lunak dan hadir di

1
sekitar 5% dari populasi itu. Onset rata-rata adalah satu sampai dua tahun setelah memulai
lensa kontak lunak tetapi sangat bervariasi dengan benda asing okular lainnya.3

KLASIFIKASI KONJUNGTIVITIS
a. Keratokonjungtivitis atopi
Inflamasi konjungtiva yang berat dan sering berkembang pada 1/3 pasien dengan
dermatitis atopi. Konsekuensi dari kekebalan yang berubah, pasien rentan terhadap
keratitis virus herpes simpleks dan kolonisasi pada kelopak mata oleh Staphylococcus
aereus.4
Timbul pada usia remaja dan berlanjut hingga decade 4 atau 5, dan bisa sembuh
secara spontan. Keratokonjungtivitis atopic ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe
IV. Pasien biasanya mengalami eksaserbasi pada penyakit ini sepanjang tahun atau
minimal 1 musim. Pasiennya cenderung lebih tua.4
Papila cenderung berukuran kecil atau sedang, bisa muncul di konjungtiva palpebra
atas atau bawah. Edema pada konjungtiva seperti susu kental disertai fibrosis pada
subepitel yang bervariasi. Pada bagian kornea bisa terjadi defek epitel persisten,
meningkatnya insidensi penyakit kornea ektasis seperti keratoconus dan degenerasi
pelusida marginal dan peningkatan insiden infeksi Staphylococcus dan Infeksi Herpes
Simpleks.

2
Penatalaksanaannya dengan menghindari allergen dan terapi medikamentosa.
Kompres dingin juga bisa membantu. Perlu monitoring ketat pada terapi spesifik yang
diberikan seperti infeksi staphylococcus dan keratitis herpes simpleks yang biasanya bilateral.
Pada kasus yang berat perlu diberikan terapi sistemik dimana proses inflamasi tidak
responsive dengan terapi topical, rasa tida nyaman pada mata, sikatriasi makin progresid dan
adanya keratopati perifer yang ulserasif. Terapi sistemii seperti siklosporin atau tacrolimus
mungkin bermanfaat untuk menekan respon dari IL2 yang berperan dalam meningkatkan
proliferasi limfosit.4

b. Keratokonjungtivitis Vernal
Proses inflamasi alergi kronik terjadi pada kedua mata, sering
pada anak laki laki. Gejalanya antara lain mata gatal, fotofobia,
secret mucoid, papillary hipertrofi hingga cobblestones di
konjungtiva tarsal superior, keratopati superfisial dan shield ulcer.
Kornea mungkin terpengaruh di vernal konjungtivitis. Sebuah
keratitis punctate, yang dikenal sebagai keratitis epitelis vernalis
dari El Tobgy, dapat dimulai di kornea sentral. Titik-titik dapat
bergabung untuk membentuk opasitas syncytial. Hal ini sering menyebabkan plak keputihan
atau keabu-abuan di bawah epitel. Plak vernal ini dapat mengganggu penglihatan dan
menyebabkan jaringan parut sentral pada kornea. Plak dapat dihilangkan dengan keratektomi
superfisial, tetapi jarang sembuh tanpa intervensi bedah. Secara histologis, plak terdiri dari
musin dan sel epitel, yang secara harafiah menempel pada kornea sentral. Titik-titik tranta
terdiri dari gumpalan eosinofil nekrotik, neutrofil, dan sel epitel. Titik-titik mewakili koleksi
eosinofil yang hampir murni. Sel-sel ini berkumpul di kripta, yang dibentuk oleh invaginasi
di persimpangan kornea dan konjungtiva. Titik trantas cenderung muncul saat VKC aktif, dan
menghilang saat gejala mereda.4

c. Seasonal atau perennial allergic conjunctivitis


Proses inflamasi ocular yang terjadi berdasarkan keadaan musim di negara negara 4
musim, umumnya terjadi karena paparan serbuk sari (pollen). Pada SAC, inflamasi akan
berkurang bahkan hilang setelah musim pollen berakhir. Namun pada PAC, gejala kan
timbul terus, diduga kuat adalah tungau (dust mite) dan bulu binatang peliharaan.4

d. Konjungtivitis alergi sederhana


3
Sebagian besar kasus sekunder akibat paparan alergen sederhana pada permukaan mata.

MEKANISME ALERGI OKULAR


Respon alergi dimulai ketika alergen dikenali oleh antigen precenting cell (APC) di
mana APC akan mempresentasikan alergen ke sel T CD4. Sel T ini kemudian akan
berpolarisasi ke T helper type 1 (Th1) dan T helper type 2 (Th2). Th2 akan memproduksi
beberapa interleukin, seperti IL-4 dan IL-13 yang menstimulasi sel B untuk memproduksi
IgE dari IgM. Aktivasi sel mast sebagai hasil multivalent allergen cross-linking cell surface
IgE dengan reseptor sel mast FceRI. Sel mast yang ada di konjungtiva melepaskan histamin
dan mensintesis secara lokal mediator seperti prostaglandin D2, leukotrien C4, tryptase,
chymase, carboxypeptidase A, cathepsin G dan platelet-activating factor, suatu agen
kemotaksis eosinofil yang sangat kuat.5
Pada semua bentuk alergi mata, respon klinis terjadi karena aktivasi sel mast, baik
melalui reaksi antigen-sel mast atau melaui sel limfosit T yang melepaskan mediator-
mediator inflamasi. Pada bentuk yang lebih ringan seperti SAC dan PAC, jumlah sel mast
saja yang meningkat, sementara pada VKC dan AKC, terjadi peningkatan sel mast dan sel T.5

Gambar 1. Patogenesis Konjungtivitis Alergi

Alergen yang menginduksi alergi pada pasien atopik dimulai dengan fase respon awal
yang timbul pada menit ke-15 hingga 30 dengan meningkatnya kadar histamin, triptase,
leukotrien dan esosinofil di air mata. Enam hingga 24 jam (fase lambat) setelah paparan,
timbul puncak kedua kadar histamin dan eosinofil. Molekul adhesi jaringan E-selectin dan

4
ICAM-1 juga meningkat, konsisten dengan peningkatan granulosit dan eosinofil di
konjungtiva. IgE diproduksi oleh konjungtiva di bawah kontrol sel mast. Kebanyakan pasien
dengan alergi okular, di mana pasien mempunyai riwayat atopi pada keluarga, didapatkan
peningkatan kadar alergen-IgE spesifik di serum dan air mata. Pada fase lambat ini juga
mulai terjadi kerusakan jaringan. Bagaimana sel mast mempengaruhi respon alergi
konjungtiva sebagai bagian dari lepasnya faktor inflamasi? Sel mast telah diketahui
menyimpan, melepas dan mensintesis sitokin IL-4, IL-5, IL-6, IL-8, IL-13 dan tumor necrosis
factor (TNF)-a. Pada SAC, IL-4 dan IL-13 predominan terlokalisasi di sel MCTC (sel mast
yang mengandung tryptase dan chymase) dan IL-5 dan IL-6 terlokalisasi di sel MCT.5

MANIFESTASI KLINIK
Konjungtivitis alergi sering menyertai gejala alergi musiman, khususnya pajanan
alergi yang diketahui atau riwayat atopi. Dengan demikian, episode berulang sering terlihat.
Praktisi harus memperoleh riwayat pribadi alergi dan atopi dan riwayat episode serupa di
masa lalu. Praktisi harus bertanya tentang gejala spesifik dari episode saat ini dan yang lalu.
Gatal dan injeksi konjungtiva bulbar dan tarsal difus adalah gejala yang paling sering
dilaporkan dan muncul pada subtipe konjungtivitis alergi. Sejarah lain dan temuan
pemeriksaan fisik bervariasi dengan subtipe spesifik dari konjungtivitis alergi.6
Konjungtivitis Alergi Sederhana: Kotoran yang jernih dan encer adalah sekret yang
paling sering terlihat dan biasanya bilateral dengan krusta minimal di pagi hari. Nyeri dan
penurunan ketajaman visual tidak sering dilaporkan pada konjungtivitis alergi sederhana dan
harus mendorong penyedia untuk mempertimbangkan diagnosis lain. Edema kelopak mata
dan kemosis tidak jarang terjadi dan dapat terlihat jelas.6
Keratokonjungtivitis Vernal: Gejala biasanya paling parah di musim semi dan
termasuk keluarnya lendir yang kental, nyeri, fotofobia, dan penglihatan kabur. Pasien juga
akan sering mengeluhkan sensasi benda asing. Pada pemeriksaan, ulkus kornea dan infiltrat
konjungtiva terkadang dapat ditemukan. Papila raksasa pada konjungtiva tarsal secara umum
terlihat pada pemeriksaan.6
Keratokonjungtivitis atopik: Gejala biasanya abadi dan termasuk nyeri, penglihatan
kabur, fotofobia, dan sensasi benda asing. Pemeriksaan mengungkapkan temuan yang mirip
dengan konjungtivitis alergi sederhana. Penambahan perubahan inflamasi kronis pada
permukaan okular (jaringan parut kornea dan neovaskularisasi) dan perubahan yang
bervariasi pada kelopak mata (paling bawah lebih sering) dan kulit peri-orbital berkisar dari
atopi ringan hingga likenifikasi.6
5
Konjungtivitis Papiler Raksasa: Gejala yang konsisten dengan konjungtivitis alergi
sederhana sering menyebabkan gatal yang memburuk dan keluarnya lendir yang menjadi
lendir yang kental dan bukannya bening dan berair. Pasien biasanya melaporkan nyeri yang
memburuk dan penglihatan kabur dengan meningkatnya rasa benda asing (lensa kontak,
jahitan). Pemeriksaan mengungkapkan temuan yang konsisten dengan konjungtivitis alergi
sederhana serta papila raksasa yang menutupi konjungtiva tarsal.7

TATALAKSANA
Pendekatan tata laksana pasien dengan konjungtivitis alergi adalah sebagai berikut :
Manajemen Non Farmakologi, meliputi
1. Komunikasi dan edukasi pasien dan keluarga (orang tua) tentang perjalanan penyakit,
lama penyakit dan komplikasi yang mungkin terjadi
2. Menghindari kontak alergen dan modifikasi lingkungan
3. Menggunakan kacamata / goggles sebagai pelindung mata
4. Air mata buatan (artificial tears) dapat mengurangi jumlah alergen dan membantu
mengurangi gejala klinis walaupun kecil.
5. Kompres dingin mempunyai keuntungan dengan memberikan rasa nyaman dan
sedikit mengurangi rasa sakit.
Manajemen Farmakologis, meliputi8 :
1. Rasa gatal dan injeksi konjungtiva yang ringan dapat diterapi dengan antihistamin
topikal tanpa mast cell stabiliser.
2. Mast cell stabiliser sendiri tidak efektif pada tata laksana serangan akut, tetapi dapat
mempunyai efek pencegahan dengan penggunaan jangka panjang di mana untuk
mencegah efek samping akibat penggunaan kortikosteroid topikal.
3. Antihistamin sistemik dapat diberikan bila dijumpai adanya edema kelopak atau
gejala pada hidung
4. Tindakan operatif pada plaque kornea dengan eksisi plaque, keratitis difusa dengan
transplantasi kornea

Konjungtivitis alergi sederhana: Semua pasien harus dididik tentang perawatan mata
alergi umum. Mereka harus dilarang menggosok mata mereka, yang menyebabkan
degranulasi sel mast dan memburuknya gejala. Mereka harus diminta untuk sering
menggunakan air mata buatan dan kompres dingin. Jika memungkinkan, mereka perlu
menghindari paparan alergen yang diketahui dan melepas lensa kontak (jika ada). Bentuk
6
akut ringan dapat diobati dengan antihistamin yang dijual bebas atau kombinasi antihistamin
dan vasokonstriktor tetes untuk waktu yang relatif singkat. Pasien harus diperingatkan
terhadap injeksi konjungtiva rebound ringan jika mereka menggunakan tetes dengan
vasokonstriktor. Konjungtivitis alergi musiman dan tahunan harus menerima kombinasi
antihistamin dan tetes penstabil sel mast. Tetes antiinflamasi nonsteroid topikal lebih efektif
daripada plasebo tetapi jauh lebih efektif daripada tetes penstabil sel mast/antihistamin.
Untuk kasus refrakter, tetes kortikosteroid adalah pilihan yang layak dalam waktu singkat
(kurang dari dua minggu) dalam hubungannya dengan konsultasi spesialis dan tindak lanjut.
Antihistamin sistemik dan steroid juga memiliki peran yang terbatas dalam kasus refrakter
dan kasus di mana pasien memiliki gejala sistemik, yang bertentangan dengan okular
terisolasi.9
Keratokonjungtivitis Vernal dan Atopik: Pasien harus diberikan pendidikan yang
sama tentang perawatan mata alergi umum (hindari menggosok mata, gunakan air mata
buatan dan kompres dingin, hindari paparan alergen) seperti konjungtivitis alergi sederhana.
Farmakoterapi awal mirip dengan konjungtivitis alergi musiman dan tahunan dengan
antihistamin kombinasi topikal / tetes penstabil sel mast. Kasus refrakter harus dirujuk ke
spesialis yang dapat meresepkan kortikosteroid topikal. Jika pasien terus menjadi refrakter
atau tidak dapat disapih dari terapi steroid topikal, inhibitor kalsineurin topikal atau sistemik
dapat digunakan.8
Konjungtivitis Papiler Raksasa: Penatalaksanaan pertama adalah menghilangkan
iritasi mekanis, yang paling umum adalah lensa kontak. Pasien harus dididik dan memulai
perawatan mata alergi umum yang sama yang digunakan pada subtipe alergi mata lainnya
(hindari menggosok mata, gunakan air mata buatan dan kompres dingin, hindari paparan
alergen). Farmakoterapi awal mirip dengan alergi mata lainnya, misalnya antihistamin topikal
atau kombinasi antihistamin dan tetes penstabil sel mast. Dalam hubungannya dengan
spesialis, tetes kortikosteroid topikal digunakan dalam kasus refrakter (mirip dengan
keratokonjungtivitis vernal dan atopik), tetapi inhibitor kalsineurin tidak berperan dalam
pengobatan.9

KOMPLIKASI
Dalam kebanyakan kasus, onjunctivitis alergi tidak menimbulkan ancaman kesehatan
yang serius. Komplikasi konjungtivitis alergi jarang terjadi, tetapi ketika terjadi, mereka bisa
menjadi serius dan termasuk kasus yang parah dapat menyebabkan jaringan parut pada mata.

7
Jika konjungtivitis alergi berkembang menjadi konjungtivitis infektif, infeksi dapat menyebar
ke area lain dari tubuh, berpotensi menyebabkan infeksi sekunder yang serius.10

PROGNOSIS
Pada kebanyakan pasien, prognosisnya baik. Komplikasi jarang terjadi, tetapi
kekambuhan gejala tidak jarang. Untuk pasien yang mengalami kerusakan kornea, ini
mungkin terkait dengan kehilangan penglihatan. Obat-obatan yang digunakan untuk
mengelola konjungtivitis alergi kadang-kadang juga dapat menyebabkan katarak.10
Quo ad Vitam : ad bonam
Quo ad Sanam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

DAFTAR PUSTAKA
1. Basic and Clinical Science Course 2019-2020: External Disease and Cornea. San
Francisco, CA: American Academy of Ophthalmology; 2019.
2. Wang, L.L., Kwon, JW. & Lee, JY. Allergic conjunctivitis increases the likelihood of
undergoing eyelid incision surgery in pediatric and adolescent patients. Sci Rep 12, 5738
(2022). Availbale from : https://doi.org/10.1038/s41598-022-09668
3. Garcia-Ferrer F, Augsburger J, Correa Z. Conjunctiva & Tears. Augsburger J, Eva P.
Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology, editor. 19th edition. 2016
4. Bielory L, Delgado L, Katelaris CH, Leonardi A, Rosario N, Vichyanoud P. ICON:
Diagnosis and management of allergic conjunctivitis. Ann Allergy Asthma Immunol.
2020 Feb;124(2):118-134. doi: 10.1016/j.anai.2019.11.014.
5. Fauquert JL. Diagnosing and managing allergic conjunctivitis in childhood: The
allergist's perspective. Pediatr Allergy Immunol. 2019 Jun;30(4):405-414. doi:
10.1111/pai.13035.
6. Moote W, Kim H, Ellis AK. Allergen-specific immunotherapy. Allergy Asthma Clin
Immunol. 2018;14(Suppl 2):53.
7. Small P, Keith PK, Kim H. Allergic rhinitis. Allergy Asthma Clin Immunol.
2018;14(Suppl 2):51.
8. Doğan Ü, Ağca S. Investigation of possible risk factors in the development of seasonal
allergic conjunctivitis. Int J Ophthalmol. 2018;11(9):1508-1513.
9. Ojeda P, Sastre J, Olaguibel JM, Chivato T., investigators participating in the National
Survey of the Spanish Society of Allergology and Clinical Immunology Alergológica
8
2015. Alergológica 2015: A National Survey on Allergic Diseases in the Adult Spanish
Population. J Investig Allergol Clin Immunol. 2018 Jun;28(3):151-164.
10. Sen E, Celik S, Inanc M, Elgin U, Ozyurt B, Yılmazbas P. Seasonal distribution of
ocular conditions treated at the emergency room: a 1-year prospective study. Arq Bras
Oftalmol. 2018 Apr;81(2):116-119.

Anda mungkin juga menyukai