Anda di halaman 1dari 23

PEMIKIRAN IBNU SINA TENTANG JIWA

Mata Kuliah : Sejarah Ibnu Sina


Dosen Pengampu : Marsapwan, MDA

Disusun oleh:
Abel Shevcenko (221055201077)
Adinda Pristy Pela Karisma (221055201043)
Ambrosius Sahat Pandapotan Sira Ene (221055201088)
Farhansya (221055201046)
Muhammad Rizki Maulana Lubis (221055201063)
Syaiful Fahrizal (221055201090)
Rahyal Ain AzSahra (221055201073)

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS IBNU SINA
BATAM
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR
Ibnu Sina merupakan seorang filosof, ilmuwan, dokter, dan penulis aktif
yang lahir di zaman keemasan peradaban Islam. Pada zaman tersebut, ilmuwan-
ilmuwan Muslim banyak menerjemahkan teks ilmu pengetahuan dari Yunani,
Persia, dan India. Ibnu sina merupakan seorang filosof yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang
mendominasi tradisi filsafat Muslim beberapa abad setelahnya.
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena
sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa
yang jenius dalam menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan
untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual yang
ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam. Ia adalah seorang
filosof yang mencatat dan menggambarkan anatomi tubuh manusia secara lengkap
untuk pertama kalinya dan juga mengenai jiwa. Jiwa bagi Ibnu Sina merupakan
wujud rohani (imateri) yang berada dalam tubuh. Badan bisa berubah-ubah secara
fisik, akan tetapi jiwa ada sebelum badan itu ada dan berubah. Pada makalah ini
akan dijelaskan pemikiran Ibnu Sina mengenai Jiwa.

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1. 1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 3
1.3 Tujuan ............................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4
2.1 Riwayat Hidup Ibnu Sina ............................................................................. 4
2.2 Pengertian Jiwa menurut Ibnu Sina .......................................................... 5
2.3 Hubungan Jiwa Dengan Raga dan Jasad Menurut Pandangan Ibnu
Sina .................................................................................................................... 8
2.3.1 Hubungan jiwa dan raga ............................................................... 8
2.3.2 Hubungan jiwa dengan jasad ....................................................... 9
2.4 Tingkatan-Tingkatan Penyempurnaan Jiwa Manusia........................ 10
2.4.1 Keabadian Jiwa.............................................................................. 11
2.4.2 Kesucian jiwa ................................................................................. 12
2.4.3 Kebahagiaan dan Kesengsaraan Manusia .............................. 13
2.4.4 Jiwa insani dari tingkatan permulaan hingga tingkat
kesempurnaan ................................................................................ 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 18
3.1 Kesimpulan .................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Istilah jiwa secara konsisten diidentikkan dengan al-nâfs, karena
istilah ini banyak dibicarakan di antara para ulama tentang maksud jiwa atau
al-nâfs. Jiwa adalah krakter pribadi manusia, sedangkan jasad sekedar
pemegang yang berisi al-nâfs manusia. Kemudian jiwa manusia bekerja
dengan jasad yang secara konsisten menggunakannya sebagai pendekatan
untuk menyelesaikan berbagai tugasnya.
Ibnu Sina menganut paham pancaran (al-fayd) dari Tuhan memancar
akal pertama sampai akal kesepuluh, jiwa memancar dari akal kesepuluh.
Karena pancaran dari sesuatu yang memiliki permulaan namun tidak
memiliki akhiran. Ini menyiratkan keabadian jiwa manusia memiliki aturan
yang dimuliakan terhadap Allah SWT pada ketentuan akhirnya adalah abadi,
sedangkan ketentuan permulaan adalah baru dan dibuat. Ini bermaksud
bahwa jiwa tidak memiliki penghabisan dan tidak pula memiliki permulaan,
bagaimanapun juga jiwa akan ada (abadi) setelah jasad dimusnahkan. Itu
tidak akan binasa dengan kematian jasad. Sehingga jiwa termanifestasi ke
dalam keabadian Pencipta Yang Mahatinggi. Ini adalah hasil dari substansi
jiwa manusia lebih mendasar daripada substansi jasadnya, karena jiwa
merupakan penggerak, pengontrol jasad. Meskipun jiwa akan tetap abadi,
sebab keabadian dan kekekalan hanya memiliki tempat yang tidak berujung.
Jasad yang terisolasi dan bergantung pada jiwa. Dengan demikian
perpisahan jiwa dari jasad tidak merusak eksistensinya. Seandainya
eksistensi jasad itu abadi setelah kematian, maka hal itu pun tidak akan
merusak eksistensi jiwa itu tidak akan melenyapkan subtansi jiwa.
Bagaimanapun status abadi zat jiwa lebih signifikan dengan
mempertimbangkan bahwa jiwa sangat penting untuk klasifikasi substansi,
maka pada saat itu hubungan jiwa penting untuk keabadian yang lebih
utama.

1
Dengan demikian, jelas bahwa meskipun jasad akan hancur setelah
kematian, namun ini hanya sementara waktu yang telah ditentukan, suatu
saat akan dibangkitkan kembali, tapi berbeda pada keabadian yang lebih
utama dan sempurna ialah jiwa.
al-Kindi serta al-Farabi merupakan para rasionalis yang pula
menarangkan teori jiwa, yang pada biasanya bersandar serta disesuaikan
dari spekulasi jiwa Aristoteles serta Plato. Dengan demikian teori jiwa ini
ditemui dalam gagasan Ibn Sina dengan sebagian besar karyanya tentang
jiwa. Ibn Sina merupakan salah satu filosof muslim yang mempunyai
keilmuan yang besar tentang permasalahan ilmu kedokteran, astronomi serta
paling utama dibidang filsafat, tidak hanya diketahui tentang jiwa.
Kemudian Ibnu Sina tidak setuju dengan pemikiran Aristoteles
tentang jiwa tersebut. Pendapat Aristoteles bahwa jiwa adalah substansi dan
materi, dan jiwa mempunyai ikatan yang kokoh terhadap jasad. Sehingga
Ibn Sina tidak sepenuhnya mengakuinya dan menolaknya, dia sesuai
dengan filsuf muslim lainnya yang menepis pemikiran Aristoteles bahwa itu
adalah merupakan ikatan yang esensial, karena ini akan memiliki saran
untuk kematian jiwa yang bersifat tidak abadi. Dengan asumsi jasad
dimusnahkan, jiwa akan dilenyapkan, dengan cara ini para filsuf
muslim kemudian lebih memilih pada pemikiran Plato, yang mengatakan
bahwa hubungan itu yang tidak esensial. Jadi jiwa itu bisa abadi dengan
subtansinya.
Dengan demikian, Ibn Sina menyimpulkan dalam pandangannya
bahwa jiwa bersifat kekal atau abadi dengan segala subtansinya. Di saat
jasad mengalami kematian (musnah), tetapi jiwa bersifat abadi, karena jiwa
adalah bagian dari esensi Allah yang Maha Kekal. Jiwa akan merasakan
kebahagiaan atau kesengsaraan hakiki setelah terlepas dari jasad.
Pembahasan terhadap tokoh ini dengan teori jiwa yang telah digagas
menjadi sangat menarik untuk dibahas, terlebih Ibnu Sina merupakan
ilmuwan muslim yang berada dibawah generasi al-Farabi juga banyak
dijadikan kiblat oleh generasi ilmuwan muslim setelahnya. Selain itu,

2
pembahasan ini juga sangat sesuai dengan keadaan masyarakat modern pada
saat sekarang ini. Pada era modern ini banyak dikalangan masyarakat yang
mengalami krisis kerohanian. Hingga kini manusia selalu mencurahkan
segala kemampuannya untuk mengetahui hakikat dan permasalah jiwa.
Dengan penuh semangat manusia ingin mengetahui lebih teliti tentang
hakikat jiwa, ingin tahu hubungan jiwa dengan jasad dan ingin menjelaskan
bagaimana akhir kesudahannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep jiwa perspektif Ibnu Sina?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep jiwa secara umum.
2. Untuk mengetahui konsep jiwa perspektif Ibnu Sina.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama Lengkapnya adalah Abu Ali Al-Husain Bin Abdullah Bin Sina,
lahir di Afsyana dekat kawasan Bukhara pada tahun 370 H (980 M). Ia
dibesarkan di Bukhara pada umur 10 tahun, Ibnu Sina telah mempelajari
ilmu-ilmu agama, kesusasteraan, serta telah hapal AlQur‟an (Hoesin, 1975:
110). Ibnu Sina wafat dalam usia 58 tahun (1037 M) dan dikebumikan di
Hamazan. Di Barat ia lebih poluler dengan nama sebutan Avicenna akibat
dari terjadinya metamorfoose Yahudi-Spayol-Latin. Dengan lida Spayol
kata Ibn di ucapkan Aben atau Aven. Terjadinya perubahan ini berawal dari
usaha menterjemahkan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa latin pada
pertengahan abad keduabelas di Spayol (Madjid, 1997:94).
Ayahnya bernama Abdullah adalah seorang Ismailliyah (De Boer, t.t:
165). Lewat usaha ayahnya, Ibnu Sina tertarik untuk mempelajari ilmu
filsafat dengan menekuni alam fikiran Yunani, Islam dan berbagai perangkat
materi filsafat lainnya. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu logika, geometri,
dan astronomi dari Abu Abdillah dan secara otodidak, ia belajar ilmu
kedokteran, fisika dan metafisika serta memperoleh pengetahuan secara
mendalam dari jenis ilmu yang disebut terakhir ini. dalam usia enam belas
tahun, ia telah dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam berbagai
penyakit. Dan dalam usia delapan belas tahun, ia telah menguasai berbagai
macam ilmu pengetahuan, seperti filsafat, matematika, logika, astronomi,
musik, mistik, bahasa, dan ilmu hukum Islam. Namanya semakin terkenal
dalam ilmu kedokteran, ketika ia dapat menyembuhkan penyakit yang
diderita Nuh Ibn Mansur (Penguasa Bukhara) (Daudy, 1986: 66). Disinyalir
oleh De Boer, setelah menyembuhkan Penguasa Bukhara tersebut, sebagai
imbalan Sultan mengizinkan Ibnu Sina memamfaatkan perpustakaan
pribadinya, sejak itu ia memuaskan dirinya dengan berbagai bahan bacaan
ilmu pengetahuan (De Boer, t,t: 165).

4
Ketika ia berusaha memahami alam fikiran metafisika Aristoteles, ia
mengalami kesulitan walaupun sudah dibaca berulang-ulang, konon
dikabarkan sampai 40 kali. Ia akhirnya terbantu oleh sebuah risalah pendek
karangan Al-Farabi, yang didapatnya secara kebetulan di tokoh loak saat
belajar di pinggir pasar. dengan demikian, Ibnu Sina sendiri mengakui
bahwa Al-Farabi sebagai guru keduanya (Al-Mu‟allimu al-tsani) (Yunarsil
Ali, 1991: 59).
Dalam usia Ibnu Sina memasuki 20 tahun, ayahnya meninggal dunia.
Ia kemudian pindah ke Jurjan, karena terjadi kekacauan politik pada waktu
itu, dari kota ini kemudian ia ke Hamazan (bagian barat Iran). Di Hamazan,
ia pernah diangkat menjadi menteri di istana Sam al-Daulah. Karena terlibat
konflik politik juga, akhirnya ia dipenjarakan dan berhasil meloloskan diri,
lalu hijrah ke kota Isfahan di istana penguasa dan meninggal pada tahun 428
H. (1037 M) (Nasution, 1973: 34).
Meskipun sibuk dengan urusan politik dan negara, semasa hidupnya,
Ibnu Sina termasuk seorang filosof muslim yang sangat produktif, dengan
menulis lebih dari 100 buah buku. Di antaranya ada beberapa buku yang
tebal-tebal dalam berbagai disiplin ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab
maupun Persia, sehingga meninggalkan pengaruh yang sangat besar bagai
generasi sesudahnya, baik di Barat maupun di Timur.

2.2 Pengertian Jiwa menurut Ibnu Sina


Ibnu Sina membagi jiwa menjadi 3 bagian yaitu fakultasfakultas jiwa
(al-quwᾱ an-nafsᾱniyyah ) yang dikemukakan nya, ada tiga jenis yaitu :
1. Fakultas-fakultas nabati (al-quwᾱ al-nabᾱtiyyah) memilki tiga daya:
makan, tumbuh, dan reproduksi.
2. Fakultas-fakultas hewani (al-quwᾱ al-hayawᾱniyyah) yang memiliki dua
daya bergerak, dan daya menangkap. Daya bergerak dapat berbentuk
marah, syahwat, dan berpindah tempat. Adapun daya menangkap terbagi
dua yaitu daya menangkap dari luar dengan menggunakan indra-indra

5
luar yang lazim disebut pancaindrea, terdiri atas penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasaan lidah, dan perasaan tubuh.
3. Fakultas-fakultas insani (al-quwᾱ al-insᾱniyyah); di samping kedua
fakultas-fakultas di atas, fakultas jiwa juga memilki fakultas lain yang
spesifik, yaitu persepsi terhadap hal-hal yang bersifat universal, dan
melakukan aktivitas atas dasar peritmbangan pikiran dan penggunaan
rasio.
Menurut Ibnu Sina, fakultas persepsi ada dua jenis, yaitu pertama,
persespsi dari luar melalui pancaindera; kedua, persespi dari dalam yang
memliki beberapa cara: (1) mempersepsi bentuk-bentuk yang terindera; (2)
mempersepsi makna-makna yang muncul dari hal- hal yang terindera; (3)
memperoses makna-makna yang sebagiannya tersusun dari sebagian yang
lain. Masing-masing persepsi ini memilki nama tertentu. Fakultas hewani
internal (al-quwᾱ al- hayawᾱniyyah albᾱthinah) memilki 5 bagian, yaitu:
Phantasia, yaitu nama dari bahasa Yunani yang berarti fantasi, dan
disebut juga imajinasi (khayᾱl). Inilah makana yang disebutkan oleh
Aristoteles dalam buku an-Nafs. Bahkan, ia mengatakan bahwa phantasia
merupakan bentukan dari phaos yang berarti cahaya. Ibnu Sina
menyebutnya indera umum (alhiss al-musytarak) yang terletak di bagian
depan rongga depan otak dan menerima segala bentuk yang ditanggkapi
indera. Namun istilah ini digunakan Aristoteles dengan makna yang
berbeda, karena indera ini mempersepsikan gerak, diam, bentuk, ukuran,
bilangan, dan satuan. Semua ini terdapat dalam hal-hal yang terindera, tetapi
indera tidak dapat mempersepsikannya. Termasuk tugas-tugas indera umum
adalah mempersepsikan penginderaan dan mengenali perubahan di antara
hal-hal yang terindera.
Khayᾱl (imajinasi) mushawwirah (formatif) setelah fakultas phantasia.
Letaknya adalah dibagian belakang rongga dapan otak. Tugasnya adalah
menyimpan apa yang ditangkapi indera bersama setelah objek yang
diinderanya hilang.

6
Fakultas imajinasi (quwwah mutakhayyilah), dan disebut juga fakultas
kogitatif (quwwah mufakkirah) bagi jiwa manusia. Letaknya adalah di
rongga tengah otak. Di antara tugastugasnya adalah menyusun sebagian
imajiansi dengan sebagian 53 yang lain dan memisahkannya dari yang lain
menurut pilihan bebas.
Fakultas etimatif (quwwah mutawahhimah atau quwwah wahmiyyah)
yang berada di bagian belakang rongga tengah otak. Tugasnya adalah
mempersepsi makna-makna, bukan objek penginderaa, yang ada dalam
objek partikular.
Fakultas memori (quwwah dzᾱkirah atau quwwah hᾱfizhah) yang
berada di rongga belakang otak. Tugasnya adalah menyimpan apa yang
dipersepsi oleh fakultas imajinasi.
Dari lima faklutas ini, ada dua persoalan. Pertama, psikologi modern
tidak membahas keberadaan fakultas-fakultas yang bersumber dari kativitas
jiwa. Kedua, Ibnu Sina mneyebutkan tempat setiap fakultas ini di otak dan
meyebut tempat ini sebagai alat. Sebagaimana indera yang berpikir, jiwa
masih membutuhkan badan. Karena pada permulaan wujudnya badanlah
yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.pancaindera yang lima
dan daya-daya batin dari jiwa binatanglah seperti indera bersama, etimasi,
dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-
konsep dan ideaidea dari alam sekelilingnya, jika jiwa manusia ini telah
mencapai kesempurnaannya dengan memperoleh konsep-konsep dasar yang
perlu baginya, ia tidak perlu membutuhkan lagi pada pertolongan badan
malahan badan dengan daya-daya jiwa binatang yang terdapat dalamnya
akan menjadi penghalang bagi jiwa manusia untuk mencapai
kesempurnaan.mempersepsi dengan alat, seperti alat untuk melihat adalah
mata, demikian juga takhayyul (imajinasi), tashawwur (konsepsi) atau
tawahhhum (etimasi) memiliki alat khusu. Sementara itu akal tidak
memiliki alat. Ada lagi yang tidak diterima psikologi modern, yaitu
menetapkan keberadaan tempat-tempat di otak yang masing-masing di
khususkan bagi tugas kejiwaan, termasuk berpikir.

7
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang
tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul
dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir
di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tak mempunyai fungsi-fungsi fisik,
dan dengan demikian tidak membutuhkan pada badan untuk menjalakan
tugasnya sebagai daya yang berpikir, jiwa masih membutuhkan badan.
Karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia
untuk dapat berfikir.pancaindera yang lima dan daya-daya batin dari jiwa
binatanglah seperti indera bersama, etimasi, dan rekoleksi yang menolong
jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dan ideaidea dari alam
sekelilingnya, jika jiwa manusia ini telah mencapai kesempurnaannya
dengan memperoleh konsep-konsep dasar yang perlu baginya, ia tidak perlu
membutuhkan lagi pada pertolongan badan malahan badan dengan daya-
daya jiwa binatang yang terdapat dalamnya akan menjadi penghalang bagi
jiwa manusia untuk mencapai kesempurnaan.

2.3 Hubungan Jiwa Dengan Raga dan Jasad Menurut Pandangan Ibnu
Sina
2.3.1 Hubungan jiwa dan raga
Sebagaimana Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya
hubungan antara jiwa dan raga; tetapi semua kecendrungan pemikiran
Aristoteles menolak sesuatu pandangan dua substansi, yang oleh Ibnu
Sina tentu tidak menggunakan dualismenya untuk mengembangkan
suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa-raga.
Membuktikan bahwa jiwa manusia adalah substansi yang dapat
mewujud secara terpisah dari tubuh, Ibnu Sina menggunakan dua
alasan yang berbeda, pertama, berupaya mengarahkan ke sadaran diri,
sedangkan yang lainnya berupaya membuktikan kebukaan benda akal.
Menurut dia, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung
tentang sutansialitas non-badan jiwa yang berlaku bukan sebagai
argumen tetapi sebagai pembuka mata.

8
Ibnu Sina tampaknya menyadari bahwa sikap ini menimbulkan
keberatan. Ia mengatakan (“Psychology” ): (Bila diri sya identik
dengan apa saja dari anggota tubuh saya) “katakanlah, jantung atau
otak atau sekumpulan anggota-anggota tubuh lainnya, dan bila
masingmasing anggota tubuh secara terpisah atau semua anggota
tubuh secara keseluruhan yang saya sadari adalah diri saya, maka
kesadaran saya tentang diri saya, pasti akan menjadi kesadaran saya
pula tentang anggota-anggota tubuh tersebut, karena tidaklah mungkin
bahwa sesuatu yang sama dikenal dan tidak dikenal. Kemudian ia
mengatakan “sebenarnya saya tidak mengetahui dengan mealaui
kesadaran diri sayamempunyai jantung dan otak tetapi saya
mengetahuinya dengan persepsi-inderawi (pengalaman) atau
berdasarkan wewenang. Ibnu Sina berhenti sejenak untuk
mempertimbangkan sanggahan yang mungkin: jika anda tidak
menyadari diri anda sebagai anggota tubuh, maka anda takkan segera
menyadari bahwa itulah jiwa ataukah pikiran anda.
Jawaban Ibnu Sina terhadap sanggahan ini adalah : “setiap kali
saya memberikan atribut-atribut tubuh kepada sesuatu ini yang
merupakan sumber dari fungsi-fungsi mental, saya mendapati bahwa
hal itu tak dapat menerima atribut-atribut ini”, dan dengan demikian
wujud non bendawi ini tentunya adalah jiwa.

2.3.2 Hubungan jiwa dengan jasad


Arti jasad dalam kamus besar bahasa Indonesia Jasad adalah 1
tubuh; badan (manusia, hewan, dan tumbuhan); 2 sesuatu yang
berwujud (dapat diraba, dilihat, dsb); 3 bagian terbatas dan zat.8
Menurut Ibn Sina antara jiwa dan jasad memiliki korelasi sedemikian
kuat, saling bantu membantu tanpa henti-hentinya. Jiwa tidak akan
pernah mencapai tahap fenomenal tanpa adanya jasad. Begitu tahap
ini dicapai ia menjadi sumber hidup, pengatur, dan potensi jasad,
bagaikan nakhoda (al-rubban) begitu memasuki kapal ia menjadi pusat

9
penggerak, pengatur dan potensi bagi kapal itu. Jika bukan karena
jasad, maka jiwa tidak akan ada, karena tersedianya jasad untuk
menerima, merupakan kemestian baginya wujudnya jiwa, dan
spesifiknya jasad terhadap jiwa merupakan prinsip entitas dan
independennya nafs. Tidak mungkin terdapat nafs kecuali jika telah
terdapat materi fisik yang tersedia untuknya. Sejak pertumbuhannya,
jiwa memerlukan, tergantung, dan diciptakan karena (tersedianya)
jasad. Dalam aktualisasi fungsi kompleknya, jiwa mempergunakan
dan memerlukan jasad, misalnya berpikir yang merupakan fungsi
spesifiknya tak akan sempurna kecuali jika indera turut membantu
dengan efeknya. Ibnu Sina mengkasifikasikan keterkaitan antara
pikiran dengan tubuh menjadi beberapa bagia. Pertama, ia
mempercayai pikiran manusia berkedudukan seperti cermin. Pikiran
memiliki kemampuan untuk mencerminkan pengetahuan karena setiap
manusia dalam tingkatan tertentu menggunakan kecerdasan aktifnya.
Dengan banyak berpikir cermin manusia akan semakin halus cerlang
sehingga dapat mengarahkan menuju akuisisi pengetahuan yang
benar.

2.4 Tingkatan-Tingkatan Penyempurnaan Jiwa Manusia


Pembahasaan mengenai jiwa mengambil porsi besar dalam fisika Ibnu
Sina, bahwa fungsi jiwa terbatas pada makan, tumbuh, dan reproduksi,
maka ia hanyalah jiwa tumbuhan belaka. Jika sensasi (penginderaan) dan
gerak ditambhakan pada fungsi-fungsi di atas, ia hanyalah jiwa binatang.
Jiwa meliputi kedua fungsi tersebut, tetapi mempeunyai bagian tambahan,
yakni fungsi manusiawi atau rasional, yang dibagi menjadi daya-daya atau
intelek-intelek praktis dan teoritis. Ketika bagiasn rasional ini terdapat pada
suatu wujud tersebut menjadi manusia. Melalui hubungan kerja sama
dengan intelek agen yang mengandung, bagian teoritis jiwa rasional
menerima penyempurnaan yang tepat, penyempurnaan yang menjadikan ia
sebagaimana adanya. Kesempurnaan ini adalah hal terbaik yang dapat

10
dicapai oleh manusia, sebagaimana hal terbaik yang dapat dicapai semua
wujud adalah kesempurnaanya yang sejati, yang menyempurnakan sifat
dasarnya.

2.4.1 Keabadian Jiwa


Jiwa tidak mati karena kematian raga, padahal biasanya setiap
sesuatu akan rusak karena kerusakan seseuatu yang lain. Setiap
sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang lain dalam suatu jenis
hubungan bisa karena beberapa hal, yaitu (1) hubungannya dengan
sesuatu itu merupakan hubungan setara dalam eksistensi, (2)
hubungannya dengan sesuatu itu merupakan hubungan sesuatu yang
muncul belakangan dalam hal eksistensi, dan (3) hubungannya dengan
sesuatu itu adalah hubungan yang muncul lebih dulu dalam hal
eksistensi, yang ada sebelum dari sisi esensi, bukan dari sisi waktu.
Apabila hubungan antara jiwa dan badan itu adalah hubungan
setara dalam ekistensi, hal itu merupakan perkara esensial baginya,
bukan perkara aksidental. Apabila hubungan antara jiwa dan raga
adalah hubungan yang muncul belakangan dalam ekistensi, maka
badan merupakan sebab bagi ekistensi jiwa. Penyebab itu ada empat
macam, yaitu (1) badan menjadi sebab aktif bagi jiwa dengan
memberinya eksistensi; (2) badan merupakan sebab tendensi bagi jiwa
memalui kemajemukan seperti unsur-unsur bagi raga, atau melalui
ketunggalan seperti tembaga untuk patung; (3) badan menjadi sebab
formal; (4) badan menjadi sebab pelengkap.
Materi tersebut bisa mengalami dua hal, yaitu (1) terus menerus
terbagi, tetapi ini mustahil, dan (2) sesuatu yang merupakan esensi dan
pokok tidak sia-sia. Maka jelaslah bahwa setiap sesuatu ini yang
merupakan dan asal, bukan mengenai suatu gabungan dan sesuatu
yang lain. Didalamnya tidak terkumpul aksi untuk kekal dan potensi
untuk rusak menurut analogi pada esensinya. Jika padanya adanya
potensi untuk rusak, maka mustahilah padanya ada aksi untuk kekal.

11
Demikian pula, jika di dalamnya ada aksi untuk kekal, maka tentu di
dalamnya tidak ada potensi untuk tiada.

2.4.2 Kesucian jiwa


Dalam ilmu-ilmu ketuhanan, telah tampak bahwa bentu-bentuk
yang ada pada fisik-fisik yang tinggi, eksistensinya mengikuti
bentukbentuk yang terdapat dalam jiwa-jiwa dan akal-akal universal.
Materi ini tunduk untuk menerima yang dikonsepsi di alam akal.
Bentukbentuk rasional itu merupakan sumber bagi bentuk-bentuk
inderawi ini yang dengan sendirinya menyebabkan keberadaan sepsis-
spesis dalam alam-alam fisik. Jiwa insani sebenarnya dekat dengan
subtansi-subtansi tersebut. Menemukan aktivitas alaminya pada setiap
badan setiap yang berjiwa, karena bentuk fakulatif yang tercitrakan
pada jiwa pasti diikuti oleh sesuatu bentuk lalu tersebar ke organ-
organ badan, gerakan yang tidak alami, dan kecendrungan tanpa
instinktif, yang tunduk pada tabiat alami.15 Bentuk inti (inner) yang
tercitrakan pada imajinasi memunculkan pada temperamen dalam
badan tanpa berubah dari imajinasi alami yang serupa. Bentuk amarah
yang tercitrakan dalam imajinasi akan menghasilkan temperamen lain
dalam badan tanpa berubah dari imajinasi yang serupa. Bentuk hasrat
pada fakultas syahwani apabila terlintas dalam khayal akan timbul
temperamen yang menimbulkan aroma tertentu dari materi lunak
dalam badan dan membatasinya pada anggota badan sebagai bagi
aktivitas syahwat, sehingga siap untuk menjalankan fungsi tersebut.
Karateristik badan hanya merupakan bagian dari unsur alam. Spesies
manusia yang paling utama adalah orang yang telah mencapai
kesempurnaan dalam menduga fakultas teoritis, sehingga ia tidak
membutuhkan pengajar sama sekali, dan mencapai kesempurnaan
dalam pengetahuan praktis, sehingga ia mampu menyaksikan alam
jiwa dengan segala kedaan alam yang ada di dalamnya dan
meneguhkannya dalam keterjangan. Fakultas imajinasi melakukan

12
aktivitasnya yang sempurna dalam dirinya dan ia menyaksikannya
dengan car khusus yang lain. Selain itu, fakultas jiwa berpengaruh
terhadap alam fisik. Lalu orang mencapai peneympurnaan ini dalam
fakultas teoritis, tetapi tidak memiliki bagian dalam perkara fakultas
praktis, yaitu dari kalangan para filosof yang telah disebutkan.
Adapun orang-orang yang tidak menyempurnakan salah satu dari
fakultas-fakultas itu, tetapi mereka berakhlak baik dan memiliki
perilaku-perilaku utama, maka mereka adalah orang-orang suci dari
spesies manusia.

2.4.3 Kebahagiaan dan Kesengsaraan Manusia


Para filosof teologis memiliki keinginan yang lebih besar untuk
meraih kebahagiaan fisik, bahakan mereka seakan-akan mengabaikan
kebahagiaan fisik itu walapun diberi. Mereka tidak mementingkannya
karena ingin meraih kebahagiaan yang merupakan kedekatan dengan
kebenaran yang Pertama (Allah SWT).
Fakultas-fakultas ini, walaupun bersekutu dalam makna-makna
ini, tingkatan-tingkatannya dalam berbeda-beda. Ada yang
kesempurnaannya paling utama dan yang paling sempurna; ada yang
kesempurnaannya lebih banyak; ada yang kesempurnaannya lebih
langgeng; ada yang kesempurnaannya diantarkan kepadanya; ada yang
paling sempurna dan paling utama dalam dirinya; ada yang paling
kuat persepsinya dalam dirinya, sehingga kenikmatan yang
dimilikinya tentu paling sempurna. Kesempurnaan dan keadaan yang
cocok kadangkadang mudah bagi fakultas persepsi, tetapi ada
penghalang dan habatan bagi jiwa, sehingga ia tidak menyukainya dan
memilih hal yang sebaliknya, sepserti ketidaksukaan sebagian orang
yang sedang sakit terhadap rasa masnis, tetapi mereka justru
menginginkan makanan yang tidak enak.
Kesempuraan khusus jiwa rasional akan menjadi alam akal yang
padanya dicitrakan bentuk keseluruhan, yang bersumber dari seumber

13
keseluruhan dan berjalan menuju subtansi-subtansi mulia yang
bersumber dari spiritualitas mutlak. Kemudian, spiritualitas yang
berkaitan dengan suatu kategori dalam badan , lalu fisik-fisik yang
tinggi dengan segala keadaan dan fakultasnya. Demikian, seterusnya
dalam jiwanya seluruh eksistensi menjadi sempurna, lalu berubah
menjadi alam rasional paralel dengan seluruh alam maujud, yang
tampak sebagai kebaikan mutlak, kebajikan mutlak, dan keindahan
hakiki, yang menyatu dengannya, yang mengukirkan missal dan
keadaannya, yang masuk dijalannya, dan menjadi bagian dari
subtansinya.
Apabila fakultas rasional dalam jiwa telah mencapai batas
kesempurnaan yang memungkinnya setelah berpsiah dari badan
mencapai puncak kesempurnaan yang sepatutnya di capai. Perumpaan
kita adalah seperti orang yang mati rasa yang diberi makanan yang
lezat dan ditempatkan di tempat yang nyaman tetapi ia tidak
merasaknnya. Ketika mati rasa itu hilang, maka ia langsung melihat
kenikmataan inderawi dan hewani, tetapi kenikmatan yang
menyerupai kedaan yang nyaman yang diperuntutkan bagi subtansi
hidup yang murni, yaitu kenikmatan yang agung dan paling mulia.
Akhlak merupakan makalah (kebiasaan jiwa) yang dengannya
akan muncul-muncul tindakan-tindakan dari dalam jiwa dengan
mudah tanpa didahului suatu pertimbangan. Kebiasaan jiwa dengan
sikap pertengahan seakan-akan telah ada bagi fakultas rasional dan
fakultasfakultas hewani sekaligus. Pada faklutas-fakultas hewani
adalah dengan di hasilkannya sikap ketundukan sedangkan fakultas
rasional adalah dengan dihasilkannya kondisi superioritas. Diantara
fungsinya menjadikan jiwa memiliki hubungan yang kuat dengan
badan dan memiliki perhatian yang besar terhadapnya. Kebiasaan jiwa
dengan sikap pertengahan, maksudnya adalah penyucian dari sikap-
sikap ketundukan dan pemberishan jiwa rasional sehingga kembali

14
pada wataknya dengan menggunakan sikap superioritas dan
penyucian.
Apabila jiwa berpisah dari badan dan padanya ada malakah
untuk berhubungan denganya, maka keadaan jiwa itu hamper mirip
dengan keadaan ketika ia berada dalam badan. Dengan berkurangnya
hubungan jiwa dengan badan,maka hal itu tidak akan menjadikan jiwa
tersebut merupakan gerak kerinduan yang menjadi milik badan pada
kesempurnaan jiw, dan dengan pengaruh badan yang masih ada
padanya, maka ia tercegah dari menjalin hubungan penuh dengan
tempat kebahagiaannya.
Adapun jiwa-jiwa yang suci terbatas dari keadaan-keadaan
seperti berhubungan dengan kesempurnannya secara esensial,
tenggelam dalam kenikmatan rasional hakiki, dan terbebas
sebebasbebasnya dari perhatian terhadap sesuatu yang ada di
belakangnya dan ke makalah yang pernah di milikinya.

2.4.4 Jiwa insani dari tingkatan permulaan hingga tingkat


kesempurnaan
Daya ini ada pada seluruh spesies manusia. Dengan sendirinya,
ia tidak memiliki bentuk-bentuk rasional. Tetapi bentuk-bentuk itu
dihasilkan padanya melalui dua bentuk perolehan, yaitu pertama,
melalui ilham ilahi tanpa pembelajaran dan tidak diperoleh melalui
indera, sebagai objek-objek akal yang bersifat aksiomatik (ma„qūlᾱt
badῑhiyyah), seperti keyakinan bahwa seluruh lebih besar daripada
sebagian, dan bahwa dua hal yang bertentangan tidak mungkin bersatu
dalam sesuatu secara bersamaan. Kedua, melalui upaya analogis dan
deduksi demonstratif, sebagai konsepsi terhadap haikat-hakikat yang
rasional, seperti genus dan spesies, famili dan individu, kat-kata
tunggal yang tersusun dengan berbagai pola susunan, analogi yang
tersusun dari fakta yang benar atau yang dusta, dan proposisi-
proposisi yang jika disusun dengan dengan analogi akan menghasilkan

15
kesimpulan-kesimpulan aksiomatik dan demostratif,
kesimpulankesimpulan yang bersifat polemistik premis-premis
sophistik atau tidak puistis; seperti verifikasi terhadap hal-hal waktu,
diam, gerak, benda- benda angkasa, fisik-fisik dasar, diam, dan
kerusakan mutlak; keberadaan hasil-hasil reproduksi yang ada di
udara, yang ada dalam logam, yang ada di permukaan tanah seperti
tumbuhan, dan hewan, hakikat manusia, dan kon-sepsi jiwa terhadap
jiwa; seperti konsepsi hal-hal yang berkaitan dengan matematika
berupa bilangan, geometri murni, astronomi, musik dan diskusi;
seperti hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan, seperti mengenali
prinsip-prinsip eksitensi mutlak sebagi maujud, unsur-unsur
pelengkap seperti potensi dan aktivitas, permulaan dan sebab, subtansi
dan aksiden, genus dan spesies, perbedaan dan persamaan,
kesepakatan dan perselisihan, tunggal dan majemuk, penegasan
sumber-sumber pengetahuan teoritis sepserti matematika, fisika logika
yang tidak mungkin diraih tanpa pengetahuan ini; seperti penegasan
Pencipta Pertama dan jiwa universal, kualitas penciptaan, tingkatan
akal terhadap akal, tingkatan materi pertama terhadap karakter, bentuk
(forma) terhadap jiwa, tingkatan benda-benda angkasa, binatang-
binatang, segala esensi dari materi pertama dan bentuk.
Fakultas ini yang mengkonsepsi makna-makna tersebut
kadangkadang memperoleh bentuk-bentuk rasional dari indera secara
instinktif, yaitu menampakan pada esensinya bentuk-bentuk yang
berada dalam pada fakultas formatif dan fakultas memori dengan
menggunakan fakultas imajiansi dan fakultas estimasi.
Fakultas ini meskipun menggunakan daya inderwai ketika
menciptakan bentuk-bentuk rasional tunggal dari bentuk-bentuk
inderwai tidak membutuhkan daya iderawi dalam membentuk makan-
makna ini pada subtansinya dan dalam menyususn analogi-anologi,
baik dalam verifikasi maupun dalam konsepsi terhadap dua
keyakinan.

16
Adapun fakultas rasional, keadaanya berbeda, karena ia sendiri
memikirkan dirinya dengan memurnikan bentuk dari materi kapan pun
ia mau berhubungan lagi dengannya. Oleh karena itu, dikatakan
bahwa fakultas sensasi bersikap pasif dalam konsepsinya, sedangkan
fakultas rasional bersifat aktif. Di antara karakteristik-karakteristik
fakultas rasional adalah menyatukan yang banyak dan memperbanyak
yang satu dengan penguraian dan penyusunan. Perbanyakan adalah
seperti mengurai satu manusia menjadi subtansi, fisik, yang makan,
mahluk hidup, dan yang berakal. Sementara itu, penyatuaan yang
banyak adalah seperti penyusunannya subtansi, fisik, mahluk hidup,
dan yang berakal menjadi satu makna yaitu manusia.
Jiwa rasional jika menerima ilmu-ilmu, tindakan disebut akal,
dan disebut juga akal teoretis. Apabila jiwa rasional tunduk kepada
fakultas-fakultas tercela yang membawa pada kedunguan karena
kelemahannya, tetegesaan karena pergolakannya, kepengecutan
karena ketenangannya, kejangakan karena kebohongannya, dan
kebijaksanaan, kesabaran, kesucian, dan keadilan, yang tindaknnya
disebut pengaturan, dan disebut juaga akal praktis.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Istilah jiwa secara konsisten diidentikkan dengan al-nâfs, karena
istilah ini banyak dibicarakan di antara para ulama tentang maksud jiwa atau
al-nâfs. Jiwa adalah krakter pribadi manusia, sedangkan jasad sekedar
pemegang yang berisi al-nâfs manusia. Kemudian jiwa manusia bekerja
dengan jasad yang secara konsisten menggunakannya sebagai pendekatan
untuk menyelesaikan berbagai tugasnya.
Ibnu Sina menganut paham pancaran dari Tuhan memancar akal
pertama sampai akal kesepuluh, jiwa memancar dari akal kesepuluh. Karena
pancaran dari sesuatu yang memiliki permulaan namun tidak memiliki
akhiran. Jasad yang terisolasi dan bergantung pada jiwa. Dengan demikian
perpisahan jiwa dari jasad tidak merusak eksistensinya. Seandainya
eksistensi jasad itu abadi setelah kematian, maka hal itu pun tidak akan
merusak eksistensi jiwa itu tidak akan melenyapkan subtansi
jiwa. Bagaimanapun status abadi zat jiwa lebih signifikan dengan
mempertimbangkan bahwa jiwa sangat penting untuk klasifikasi
substansi, maka pada saat itu hubungan jiwa penting untuk keabadian yang
lebih utama.
Dengan demikian, jelas bahwa meskipun jasad akan hancur setelah
kematian, namun ini hanya sementara waktu yang telah ditentukan, suatu
saat akan dibangkitkan kembali, tapi berbeda pada keabadian yang lebih
utama dan sempurna ialah jiwa.
Dengan demikian, Ibnu Sina menyimpulkan dalam pandangannya
bahwa jiwa bersifat kekal atau abadi dengan segala subtansinya. Di saat
jasad mengalami kematian , tetapi jiwa bersifat abadi, karena jiwa adalah
bagian dari esensi Allah yang Maha Kekal. Jiwa akan merasakan
kebahagiaan atau kesengsaraan hakiki setelah terlepas dari jasad.

18
Pembahasaan mengenai jiwa mengambil porsi besar dalam fisika Ibnu
Sina, bahwa fungsi jiwa terbatas pada makan, tumbuh, dan
reproduksi, maka ia hanyalah jiwa tumbuhan belaka.
Jiwa meliputi kedua fungsi tersebut, tetapi mempeunyai bagian
tambahan, yakni fungsi manusiawi atau rasional, yang dibagi menjadi daya-
daya atau intelek-intelek praktis dan teoritis. Melalui hubungan kerja sama
dengan intelek agen yang mengandung, bagian teoritis jiwa rasional
menerima penyempurnaan yang tepat, penyempurnaan yang menjadikan ia
sebagaimana adanya.

19
DAFTAR PUSTAKA
http://jurnal.stit-rh.ac.id/index.php/idrak/article/view/13/13. Diakses pada 20
Oktober 2022.
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/elfikr/article/view/1571/1268. Diakses
pada 20 Oktober 2022.
https://falsafahkita.wordpress.com/jiwa-dalam-pandangan-ibn-sina/. Diakses pada
19 Oktober 2022.
Al-Ahnawi, Fuad Ahmad, Ibnu Sina (Kairo: Dar Al-Maktab,1968).
Azwar, 02510858 (2007) Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi thesis, UIN
Sunan Kalijaga.
Konsep Jiwa menurut Ibnu Sina dan Aristoteles Vol 14 No 1 (2022): Multi
Disiplin Ilmu dalam Kajian Studi Islam
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA (Filsafat Emanasi, Jiwa dan Al-Wujud)
Vol 1 No 1 (2017): eL-FIKR: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam
Teori Jiwa Ibnu Sina dan Relevansinya Bagi Pendidikan Islam Vol. 2 No. 1
(2019): Idrak; Volume 02, Number 1, Desember 2019.

20

Anda mungkin juga menyukai