Anda di halaman 1dari 15

ONTOLOGI NASHIRUDDIN AT-THUSI

MAKALAH
Diajukan dan Dipresentasekan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar
Filsafat pada Jurusan Ilmu Hadits Reguler 3 Semester V
UIN Alauddin Makassar

Dosen Pemandu:

Dr. Astrid Veranita Indah, M.Phil.


Oleh:
Kelompok VI:
M.Nawawi Alwan 30700119075
Muhammad Khairil Anjar30700119065
Mukminin 30700119088
Munirah Ahmad 30700119089

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT DAN POLTIK


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR 2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah swt., yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Serta Sholawat terhantar
kepada Nabi besar Muhammad saw., semoga kelak kita mendapatkan syafaatnya,
aamiin. Rasa terima kasi juga penulis hantarkan kepada dosen yang telah
mempercayakan pembuatn makalah ini kepada kami yang berjudul “Ontologi
Nashiruddin At-Thusi”.

Seperti kata pepatah “tidak ada gading yang tak retak”, begitu juga dengan
pembuatan makalah ini, masih jauh dari kata sempurna, sehingga membutuhkan saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak sehinga makalah ini lebih baik nantinya.

Morowali, 13 November 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii

BAB I.................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang..........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1

BAB II................................................................................................................................2

PEMBAHASAN................................................................................................................2

A. Karakteristik Pemikiran Ibnu Sina............................................................................2

B. Pemikiran Ibnu Sina tentang Filsafat........................................................................2

1. Filsafat Jiwa (An-Nafs).........................................................................................3

2. Filsafat Ketuhanan................................................................................................6

3. Filsafat Kenabian..................................................................................................8

4. Filsafat Metafisika.................................................................................................9

5. Filsafat Agama…………………………………………………………………10

C. Karya-Karya Ibnu Sina...........................................................................................11

BAB III............................................................................................................................13

PENUTUP.......................................................................................................................13

A. Kesimpulan.............................................................................................................13

B. Kritik dan saran.......................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Apa ?
2. Apa ?
3. Apa?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A.Karakteristik Pemikiran Nashiruddin At-Thusi

Nasiruddin Ath-Thusi dikenal sebagai  “ Ilmuan serba bisa “ (Multi talented). Julukan
(laqob) itu rasanya amat pantas disandangnya karena sumbangannya bagi perkembangan
ilmu pengetahuan modern sungguh tak ternilai besarnya. Selama hidupnya, ilmuan Muslim
dari Persia itu mendedikasikan diri untuk mengembangkan berbagai ilmu, seperti astronomi,
biologi, kimia, matematika, filsafat, kedokteran, hinga ilmu agama islam.
Serjan Muslim yang kemansyhurannya setara dengan teolog dan filsuf besar sejarah
gereja seperti Thomas Aquinas, memiliki nama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin
Muhammad bin Al-Hasan  Nasiruddin Ath-Thusi. Ia lahir pada tanggal 18 Februari tahun
1201 M / 597 H, di kota Thus yang terletak di dekat Mashed, disebelah timur lautan Iran.
Sebagai seorang Ilmuan yang amat kondang pada zamannya, Nasiruddin memiliki banyak
nama antara lain, Muhaqqiq, Ath-Thusi, Khuwaja Thusi, dan Khuwaja Nasir. 1
Nasiruddin lahir pada awal abad ke 13 M, ketika itu dunia islam telah mengalami
masa-masa sulit. Pada saat itu, kekuatan militer Mongol yang begitu kuat menginvensi
wilayah kekuasaan Islam yang amat luas. Kota-kota Islam dihancurkan dan penduduknya
dibantai habis tentara Mongol dengan sangat kejam. Hal itu dipertegas J.J.O’Connor dan
E.F.Robertson, bahwa pada masa itu, dunia diliputi kecemasan. Hilang rasa aman dan
ketenangan itu membuat banyak ilmuwan sulit untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Nasiruddin pun tak dapat mengelak dari konflik yang melanda negerinya. Sejak kecil,
Nasiruddin digembleng ilmu oleh ayahnya yang beprofesi sebagai ahli hukum di sekolah
Imam Kedua Belas.
Selain digembleng ilmu agama di sekolah itu, Ath-Thusi mempelajari Fiqih, Ushul,
Hikmah dan Kalam, terutama Isyarat-nya Ibnu Sina, dari Mahdar Fariduddin Damad,dan
Matematika dari Muhammad Hasib, di Nishapur. Dia kemudian pergi ke Baghdad di sana,
dia mempelajari ilmu pengobatan dan Filsafat dari Qutbuddin,dan juga Matematika dari
Kamaluddin bin Yunus dan Fiqih serta Ushul dari Salim bin Bardan2

1
 Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam, [Bandung, Pustaka Setia,2009],hlm.246
2
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim, [Bandung, Penerbit Mizan, 1993], hlm. 235
B. Pemikiran Nashiruddin At-Thusi tentang Fisafat

Pemikiran Nashiruddin At-thusi tentang filsafat :


1. Filsafat Jiwa :
Thusi berasumsi bahwa jiwa merupakan suatu realitas yang bisa terbukti sendiri
dank arena itu tidak memerlukan bukti lain. Lagi pula jiwa tidak bisa dibuktikan. Dalam
masalah semacam ini, pemikiran yang lepas dari eksistensi orang itu sendiri merupakn
suatu kemustahilan dan kemusykilan yang logis sebab suatu argument mensyaratkan
adanya seorang ahli argument dan sebuah masalah untuk diargumentasi, sedangkan dalam
hal ini keduanya sama yaitu jiwa.3
Jiwa merupan subtansi sederhana dan immaterial yang dapat merasa sendiri. Ia
mengontrol tubuh melalui otot-otot dan alat-alat perasaan, tapi ia sendiri tidak dapat dirasa
lewat alat-alat tubuh. Setelah menyebutkan argumentasi Ibnu Miskawaih mengenai
jasmaniah jiwa dari sifatnya yang tidak dapat dibagi, kemampuanya untuk membuat
bentuk-bentuk baru tanpa kehilangan bentuk-bentuknya yang lama, pemahamannya akan
bentuk-bentuknya yang bertentangan pada waktu yang sama, dan pembetulannya akan ilusi
rasa.
Thusi menambahkan menambahkan dua argumentasinya sendiri. Penilaian atas
logika, fisika, matematika, teologi, dan sebagainya, semuanya ada di dalam satu jiwa tanpa
bercampur baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang mustahil ada di dalam
suatu subtansi material. Oleh karena itu, jiwa merupakn suatu subtansi immaterial. Lagi
pula, akomodasi fisik itu terbatas, sehingga seratus orang tidak dapat ditempatkan di dalam
sebuah tempatyang dibuat untuk lima puluh orang, hal ini tidak berlaku bagi jiwa. Dapat
dikatakan bahwa jiwa mempunyai cukup kemampuan untuk menempatkan semua gagasan
dan konsep objek yang dikenalnya kedalam banyak ruang agar setiap waktu diperlukan. Ini
juga membuktikan bahwa jiwa merupakan suatu subtansi yang sederhana dan immaterial.
Dalam ungkapan umum “kepalaku, mataku, telingaku,”  kata “ku” menunjukkan
induvidualitas  ( huwiyyah ) jiwa, yang memiliki anggota-anggota tubuh ini, dan bukan
jasmaniyah. Memang, jiwa memerlukan tubuh sebagai alat penyempurna dirinya, tetapi ia
tidak begitu, dikarenakan pemilikannya akan tubuh.
3
M.M.Syarif, Para Filosof Muslim,Ibid,hlm.249
Ath-Thusi menambahkan jiwa imajinatif  yang menempati posisi tengah diantara
jiwa hewan dan manusiawi. Jiwa manusiawi ditandai dengan adanya akal ( nutq ) yang
menerima pengetahuan dari akal pertama. Akal itu ada dua jenis yaitu akal teoritis dan akal
praktis, sebagaiman yang dikemukan oleh Aristoteles. Dengan mengikuti pendapat Al-
Kindi, Ath-Thusi beranggapan bahawa akal teoritis merupakan suatu potensialita, yang
perwujudannya mencangkup empat tingkatan, yaitu akal material ( Aql-I Hayulani ), akal
malaikat ( Aql-I malaki ), akal aktif ( ‘Aql-I bi al-Fi’il ), dan akal yang diperoleh (‘Aql-I
Mustafad ). Pada tingkatan akal yang diperoleh setiap bentuk konseptual yang terdapat
didalam jiawa menjadi nyata terlihat, seperti wajah seseorang yang ada didalam kaca yang
dapat dilihat oleh orang tersebut. Di pihak lain, akal praktis berkenaan dengan tindakan-
tindakan yang tidak sengaja dan sengaja. Oleh karena itu, potensialitasnya diwujudkan
lewat tindakan tindakan moral, kerumah tanggaan dan politis.4
Jiwa imajinatif berkenaan dengan presepsi-presepsi rasa dari satu pihak, dan dengan
abstraksi-abstraksi rasional dari pihak lain, sehingga jika ia disatuakan dengan jiwa hewani,
ia akan bergantung kepadanya dan hancur bersamanya. Akan tetapi, jika ia dihubungkan
dengan jiwa manusia, ia menjadi terlepas dari anggota-anggota tubuh dan ikut bergembira
dan bersedih bersama jiwa itu dengan kekekalannya. Setelah keterpisahan jiwa dan tubuh,
suatu jejak imajinasi tetap berada dalam bentuknya, dan hokum atau perhargaan jiwa
manusiawi menjadi bergantung pada jejak ini ( hai’at ) yang dikenal atau dilakukan oleh
jiwa imajinatif di dunia ini.
Imajinasi  sensitive dan kalkualtif Aristoteles jelas merupakn struktur jiwa imajinasi
Thusi, tetapi tindakannya menghubungkan jiwa imajinatif dengan teori hukum dan
penghargaan yang berbelit-belit diakhirat, ini merupakan gagasan-gagasannya sendiri.
Adapun mengenai tradisi yang diterimannya dari Ibnu Sina dan Al-Ghazali, Ath-Thusi
mempercayai lokalisasi fungsi di dalam otak. Dia telah menempatkan akal sehat ( Hiss-I
Mushtarak ) dalam ruangan otak yang pertama, persepsi ( Mushawwirah ) di awal bagian
pertama ruang otak yang kedua, imajinasi dibagian depan ruang otak yang ketiga, dan
ingatan dibagian belakang otak.

2. Filsafat Ketuhanan :

4
 Dedi Suryadi, Pengantar Filsafat Islam,Ibid,hlm.255
Setelah menyangkal kemungkinan logis eteisme dan adanya dualitas pokok, Thusi
tidak seperti Farabi, Ibnu Miskawaih, dan Ibnu Sina, mengemukakan bahwa logika dan
metafisika sama sekali tidak dapat membuktikan eksistensi Tuhan secara rasional. Sebagai
penyebab utama bagi adanya bukti-bukti dan kerenanya merupakan dasar dari semua logika
dan metafisika. Dia sendiri tiadak bergantung pada bukti-bukti logis, sebagaiman hokum-
hukum dasar logika formal, ia tidak memerlukan dan memberikan kemungkinan untuk
pembuktian. Ia adalah prinsip logika kosmik yang bersifat a priori, mendasar, perlu dan
membuktikan diri. Eksistensinya harus diterima dan dianggap sebagai postulat, bukannya
dibuktikan. Dari studi kehidupan moral pun, Thusi sampai pada kesimpulan yang sama dan
seperti Kant pada zaman modern, dia beranggapan bahwa eksistensi Tuhan merupakan
suatu postulat pokok etika.
Selanjutnya Thusi mengemukakan bahwa bukti mengisyaratkan pemahaman
sempurna tentang sesuatu yang harus dibuktikan. Dan karena mustahil bagi manusia yang
terbatas untuk memahami Tuhan dalam keseluruhan-Nya, dan mustahil pula bagi manusia
untuk membuktikan eksistensi-Nya.
Masalah mengenai apakah dunia ini kekal (qodim) atau diciptakan oleh Tuhan dari
ketidakadaan ( hadis ) merupakan salah satu masalah yang sangat membingungkan dalam
filsafat muslim. Aristotelis mendukung pendapat bahwa dunia ini kekal, menyifatkan
gerakan pada penciptaan Tuhan, sang penggerak utama. Ibnu Miskawaih setuju dengan
Aristoteles yang menganggap Tuhan sebagai penyebab adanya gerakan; tetapi tidak seperti
filusuf Yunani itu, dia mengemukakan bahwa dunia ini, baik dalam bentik meterinya
diciptakan Tuhan dari ketidakadaan. Adapun Thusi dalam karyanya Tashawwurat ( yang
ditulis pada masa pemerintahanIslamailiah) melakukan suatu upaya perujukan, secara
setengah hati antara Aritoteles dan Ibnu Maiskawaih. Dia mulai dengan mengecam doktrin
creatio ex nihilo. Pandangan yang menyatakan adanya waktu ketika didunia ini
belummaujud dan kemudian tuhan menciptakannya dari ketiadaan, secara jelas
mengisyaratkan bahwa Tuhan bukanlah penciptaan sebelum adanya penciptaan dunia ini
atau kekuatan penciptaan-Nya masih bersifat potensial yang kemudia hari batu diwujudkan,
dan ini merupakan sangkalan atas daya penciptaan yang kekal. Oleh sebab itu logisnya,
Tuhan itu selamanya merupakan pencipta yang mengaitkan eksistensi penciptaan kepada
diri-Nya. Dunia ini, dengan kata lain, merupakan sesuatu yang sama kekalnya dengan
tuhan. Disini Thusi menutup pembahasan ini dengan mengemukakan bahwa dunia ini kekal
karena kekuasaan Tuhan yang menyempurnakannya meskipun dalam hak dan kekuatannya
sendiri, ia tercipta ( muhdats ).
Dalam karyanya Fushul ( risalah yang terkenal dan paling banyak diulas ), Thusi
meninggalkan sikap tersebut sekaligus mendukung sepenuhnya doktrin ortodoks mengenai
creation ex nihilo. Dengan menggolongkan Dzat menjadi yang pasti dan mungkin, dia
mengemukakan bahwa eksistensi yang mungkin itu bergantung pada yang pasti, dan karena
ia maujud akibat dari sesuatu yang laindari dirinya, tidak dapat dikatakan bahwa ia dalam
keadaan maujud sebab penciptaan yang maujud itu mustahil. Karena sesuatu yang tidak
maujud itu tidak ada, begitu juga Kemaujudan yang pasti itu, menciptakan yang mustahil
itu dari ketiadaan. Proses semacam itu disebut penciptaan dan hal-hal yang ada itu di sebut
yang tercipta ( muhdats ).
Dalam kitab Tashawwurat, Thusi setuju dengan Ibnu Sina yang berpendapat bahwa
dari suatu ketaiadaan dapat satu, dan dengan mengikuti prinsip ini, dia menerangkan asal
( shudur ) dunia ini dari kemaujudan yang pasti itu dengan gaya Neo-Platonik. Dalam
karyanya Risalah-I ‘Aql, Risalah-I ‘Hal wa Ma’lu-lat, dan Syarh-Hsyarat juga dia
mendukung baik secara logis maupun matematis, penjamakan dalam proses penciptaan
sebagai suatu keseluruhan. Akan tetapi dalam karyanya berikut, Qawa’id al-‘Aqa-id, Tarjid
al-‘Aqa-id, dan Fushul, dia secara jelas menyerang dan menumbangkan dasar paling
penting dari prinsip ini, yang sebelumnya amat dipercayai,. Refleksi akal pertama
dikatakannya sebagai telah menciptakan akal, jiwa dan tubuh lingkungan pertama.
Dikemukakannya bahwa sikap ini jelas mengisyaratkan kemejemukan pada yang tercipta
oleh akal pertama, yang bertentangan dengan prinsip bahwa dari satu ketakadaan muncul
satu. Adapun mengenai sumber kemejemukan, lebih jauh dia mengemukakan bahwa
kemajemukan bisa maujud melalui wawenamg Tuhan  dan bisa pula tanpa wawenang
Tuhan. Jika ia maujud, karena wewenang Tuhan, tidak ada keraguan lagi bahwa ia dating
dari Tuhan. Dipihak lain jika ia maujud tanpa wewenang Tuhan, itu bererti adanya tuhan
selain Allah.5
Hal itu diungkapkan kembali dalam Tashawwurat. Thusi berpandangan bahwa
refleksi Tuhan sepadan dengan penciptaan dan merupakan hasil dari kesadaran diri-Nya. Di
situ dia menganggap Tuhan sebagai pencipta yang bebas dan menumbangkan teori
penciptaan karena desakan. Jika tuhan menciptakan karena dia butuh mencipta, Thusi
5
M.M.Syarif,Ibid,hlm.254
mengemukakan berarti tindakan-tindakanya tentu berasal dari esensi-Nya. Dengan begitu
jika suatu bagian dari dunia ini menjadi tak maujud, esensi Tuhan itu tentu juga menjadi
Tiada, karena penyebab keberadaan itu ditentukan oleh ketiadaan satu bagian dari
penyebabnya. Hal itu selanjudnya ditetapkan oleh ketiadaan bagian lain dari penyebabnya
dan seterusnya. Karena semua yang ada itu bergantung perunya Tuhan, ketidakadaan
mereka akhirnya menjadi ketidaan Tuhan sendiri.6

3. Filsafat Kenabian :  

Setelah menetapkan kebebasan berkehendak dan kebangkitan kembali tubuh. Thusi


selalu menetapkan perluya kenabian dan kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta
kebebsan induvidu mengakibatkan tercerai berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan
aturan suci dari tuhan untuk mengatur urusan-urusan manusia. Tapi Tuhan sendiri berada
diluar jangkauan indra , oleh karena itu, dia mengutus para nabi untuk membantu orang-
orang. Pada gilirannya, ini memerlukan pranata kepemimpinan spiritual setelah para nabi
untuk menerapkan Aturn suci tersebut.7

4. Filsafat Metafisika :

Menurut Al-Thusi, metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu Ketuhanan (‘Ilmi
Ilahi) dan filsafat pertama (Falsafah Ula). Ilmu Ketuhanan meliputi Tuhan, akal, dan jiwa,
serta pengetahuan tentang alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam
semesta yang merupakan filsafat pertama. Pengetahuan tentang kelompok-kelompok
ketunggalan dan kemajemukan, kepastian, dan kemungkinan, esensi dan eksistensi,
kekekalan dan ketidakkekalan juga membentuk bagian dari filsafat pertama tersebut.
Diantara cabang (furu’) metafisika itu termasuk pengetahuan ke-Nabian (Nubuwwat).
Jelajah subjek itu menunjukkan bahwa metafisika merupakan esensi filsafat Islam dan
lingkup sumbangan utamanya bagi sejarah gagasan-gagasan.8

Bagi Al-Thusi eksistensi Tuhan sebagai postulat (yang sudah terang akan kebenaran
6
Dedi Suryadi,Ibid,hlm.260
7
 M.M.Syarif, Para Filosof Muslim,Ibid,hlm.254
8
 Ibid,hlm.256
bahwa Allah itu ada), harus diyakini oleh manusia dan bukan harus dibuktikan. Pembuktian
eksistensi Tuhan ataupun wujud Tuhan bagi manusia adalah mustahil, karena pemahaman
manusia tentang wujud Tuhan sangat terbatas untuk dipikirkan. Meskipun Al-Thusi
membagi metafisika atas ilmu Ketuhanan dan filsafat pertama, tetapi di dalamnya tidak
mencakup kajian pembuktian eksistensi Tuhan, karena ini merupakan hal yang di luar batas
kemampuan pembuktian manusia. Al-Thusi berpendapat sama halnya dengan filsuf lainnya
yang mengulas teori ex nihilo yaitu sebuah teori yang menyatakan adanya penciptaan
sesuatu dari tidak ada.

Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Anbiya’ ayat 30, yaitu:

)٣٠( َ‫ض َكانَتَا َر ْتقًا فَفَتَ ْقنَاهُ َما َو َج َع ْلنَا ِمنَ ْال َما ِء ُك َّل َش ْي ٍء َح ٍّي أَفَال ي ُْؤ ِمنُون‬
َ ْ‫ت َواألر‬ َ ‫أَ َولَ ْم يَ َر الَّ ِذينَ َكفَرُوا أَ َّن ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬
Artinya:  “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan
bumi itu keduanya dulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara
keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah
mereka tidak juga beriman?”(QS.Al-Anbiya’:30).9
5. Filsafat Agama :
Dalam pemikiran agama, Nashiruddin Al-Thusi mengadopsi ajaran-ajaran
Neoplatonik Ibnu Sina dan Suhrawardi, dimana keduanya menyebutkan bahwa demi
alasan-alasan taktis, “orang bijak” (hukuma) bukan sebagai filsuf. Nashiruddin Al-Thusi
sendiri berpendapat bahwa eksistensi Tuhan tidak bisa dibuktikan, namun sebagaimana
doktrin Syiah, manusia membutuhkan pengajaran yang otoritatif, sekaligus filsafat.Dalam
pemikiran politik, Nashiruddin Al-Thusi cenderung menyintesiskan ide-ide Aristoteles dan
tradisi Iran. Ia menggabungkan filsafat dengan genre nasihat kepada raja, sehingga ia tetap
memelihara hubungan antara Syiah dan filsafat. Buku etiknya disajikan sebagai sebuah
karya filsafat praktis. Karya tersebut membahas persoalan individu, keluarga, serta
komunitas kota, provinsi, desa, atau kerajaan.
Nashiruddin Al-Thusi bermaksud menyatukan filsafat dan fiqih berdasarkan
pemikiran bahwa perbuatan baik mungkin saja didasarkan atas fitrah atau adat. Fitrah
memberikan manusia prinsip-prinsip baku yang dikenal sebagai pengetahuan batin dan
kebijaksanaan. Sedangkan adat merujuk kepada kebiasaan komunitas, atau diajarkan oleh

9
Departemen Agama Republik Indinesia, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Cet. X; Bandung; Diponegoro, 2010), h.
324
seorang nabi atau imim, yaitu hukum Tuhan, dan ini merupakan pokok bahasan fiqih. 10

C.Karya-karya Nashiruddin At-Thusi


Adapun Karya – Karya Nashiruddin At-thusi sebagai berikut :
1. Karya di bidang Logika: Asas Al-Iqtibas; At-Tajrid fi Al-Mantiq; Syarhi Mantiq Al-
Isyarat; Ta’dil Al-Mi’yar
2. Karya di bidang Metafisika: Risalah Dar Ithbati Wajib; Itsari Jauhar Al-Mufariq;
Risalah Dar Wujudi Jauhari Mujarrad; Risalah Dar Itsbati ‘Aqil Fa’al; Risalah Darurati
Marg; Risalah Sudur Kharat Az Wahdat; Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul;
Tashawwurat; Talkis Al-Muhassal; Halli Musykilat Al-Asyraf
3. Karya di bidang Etika: Akhlaki Natsiri; Ausaf Al-Asyarf
4. Karya di bidang Dogmatik: Tajrid Al-‘Aqaid; Qawaid Al-‘Aqaid; Risalahi I’tiqodat
5. Karya di bidang Astronomi: Al-Mutawassithat Bain Al-Handasa wal Hai’a : Buku
suntingan dari sejumlah karya Yunani, Ikhananian Table (penyempurna Planetary
Tables).; Kitab At-Tadzkira fi Al-Ilmal Hai’a : Buku ini terdiri atas empat bab, yaitu:
Pengantar geometrik dan sinematika dengan diskusi-diskusi tentang saat berhenti,
gerak-gerik sederhana dan kompleks. Pengertian-pengertian Astronomikal secara
umum, perubahan sekular pembiasan ekliptik. Sebagian bab ini diterjemahkan oleh Carr
De Vaux yang penuh dengan kritik tajam atas Al-Magest karya Ptolemy. Kritikan ini
merupakan pembuka jalan bagi Copernicus, terutama pembiasaan-pembiasaan pada
bulan dan gerakan dalam ruangan planet-planet. ; Bumi dan pengaruh benda-benda
angkasa atasnya, termasuk di dalamnya tentang laut, angin, pasang surut, serta
bagaimana hal ini terjadi. Besar dan jarak antar planet.; Zubdat Al-Hai’a, termasuk 9
karya yang terbaik dalamAstronomi; Al-Tahsil fil An-Nujum; Tahzir Al-Majisti;
Mukhtasar fi Al-‘Ilm At-Tanjim wa Ma’rifat At-Taqwin (ringkasan Astrologi dan
penanggalan); Kitab Al-Bari fi Ulum At-Taqwim wa Harakat Al-Afak wa Ahkam  An-
Nujum (buku terbaik tentang Almanak, pergerakan bintang dan Astrologi Kehakiman).
6. Karya di bidang Aritmatika, Geometri dan Trigonometri: Al-Mukhtasar bi Jami’ Al-
Hisab bi At-Takht wa At-Turab (ikhtisar dari seluruh perhitungan dengan tabel dan
bumi).; Al-Jabar wa Al-Muqabala (risalah tentang Al-Jabar).; Al-Ushul Al-Maudu’a
(risalah mengenai Euclidas Postulate). Qawa’id Al-Handasa (kaidah-kaidah Geometri).;

10
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf dari Plato sampai Ibnu Bajjah, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hlm. 315-316
Tahrir Al-Ushul.; Kitab Shakl Al-Qatta (risalah tentang Trilateral), sebuah karya dengan
keaslian luar biasa, yang ditulis sepanjang Abad Pertengahan. Buku tersebut sangat
berpengaruh di Timur dan Barat sehingga menjadi rujukan utama dalam penelitian
Trigonometri.
7. Karya di bidang optik: Tahrir Kitab Al-Manazir; Mabahis Finikas Ash-Shu’ar wa in
Itaafiha (penelitian tentang refleksi dan defleksi sinar-sinar).
8. Karya di Bidang Seni (Syair): Kitab fi ‘Ilm Al-Mausiqi; Kanz At-Tuhaf
9. Karya di bidang medis; Kitab Al-Bab Bahiyah fi At-Tarakib As-
Sultaniyah(Hadariansyah, 2013) buku ini bercerita tentang cara diet, peraturan-
peraturan kesehatan dan hubungan seksual.11

11
Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, (Jakarta: Al-Kautsar, 2007), hlm.
385-387
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan.Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai