Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif pada Program Profesi Ners
Angkatan XLIII
Pembimbing Klinik: Heni Nur Anina, S.Kep., Ners., MpallC
Pembimbing Akademik: Hartiah Haroen, S.Kp., M.Ng., M.Kep., AIFO
Ristina Mirwanti, S.Kep., Ners., M.Kep
DISUSUN OLEH:
B. Cara Penularan
HIV dapat ditransmisikan melalui berbagai cara yaitu (Central for Disease Control
and Prevention, 2020):
Transmisi HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual baik itu secara anal,
vaginal, dan oral tanpa pelindung. Selama berhubungan seksual melalui anal,
virus HIV masuk ke dalam tubuh karena lapisan rektum yang tipis, selain itu juga
dapat melalui lubang di ujung penis, kulup (jika penis tidak disunat), atau luka
kecil, cakaran, atau luka terbuka di daerah penis. Seks vaginal bisa berisiko
tertular HIV bila tidak menggunakan pelindung (kondom atau obat untuk
mengobati dan mencegah HIV). Hal ini dikarenakan air mani dan cairan vagina
yang mengandung HIV bisa mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau
mulut sehingga virus bisa masuk ke dalam aliran darah.
Penularan dari seorang ibu yang terinfeksi HIV dapat terjadi saat masa kehamilan
(antenatal), saat persalinan (intranatal), maupun saat setelah persalinan postnatal).
Saat masa kehamilan (antenatal), ibu yang terinfeksi HIV harus melakukan
pengobatan HIV segera agar dapat menurunkan risiko tertular pada bayinya.
Risiko penularan pada saat persalinan (intranatal) pada saat kulit atau membran
mukosa bayi kontak dengan darah atau sekresi maternal. Selain itu, proses
persalinan yang lama dapat meningkatkan risiko penularan terhadap bayi. Maka,
untuk mempersingkat proses persalinan harus dilakukan operasi sectio caesarea.
Selain itu, penularan dapat terjadi saat periode postnatal melalui ASI.
Produk darah yang terkontaminasi virus HIV misalnya dari transfuse darah akan
masuk dengan cepat ke pembuluh darah dan virus menyebar ke seluruh tubuh.
C. Gejala
2. Tahap 2: penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya <10% dari
berat badan awal, infeksi saluran pernafasan berkali-kali (sinusitis, tonsilitis,
otitis media, dan faringitis), herpes zoaster, ulserasi berulang pada mulut,
dermatitis seboroik, infeksi kuku akibat jamur
1. Berat badan turun >10% dari berat badan dasar, demam (terjadi terus
menerus, suhu oral >37,5) lebih dari satu bulan, diare terus menerus lebih dari
30 hari, pembesaran kelenjar getah bening yang meluas.
2. Kulit kering yang luas. Hal ini yakni dugaan kuat individu terinfeksi HIV.
Kelainan kulit lainnya seperti kutil kelamin (genital warts), folikulitis, dan
psoriasis sering terjadi.
6. Nyeri kepala yang tidak kunjung sembuh dan tidak diketahui penyebabnya,
kejang, demam atau penurunan fungsi kognitif.
1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
yang belum menikah.
2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan).
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai
berikut.
E. Pemeriksaan Diagnostik
b. Western blot
Western blot ini biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain.
Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen
yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot
mempunyai sensitifitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan
cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
Kegunaan PRC yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi
maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis
maupun status infeksi individu yang seronegative pada kelompok risiko tinggi
dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah
untuk HIV-2.
F. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Penatalaksanaan medis pada HIV yaitu pengobatan dengan terapi antiretroviral
(ART), dosis yang diberikan sesuai dengan pertimbangan jumlah CD4. ART menjadi
indikator yang krusial dalam menurunkan angka mortalitas dan infeksi oportunistik.
Tujuan utama dari ART ialah untuk menurunkan jumlah virus sehingga status imun
dapat meningkat. Tujuan lainnya untuk mencegah penularan HIV terhadap pasangan
seksual dan penularan HIV dari ibu ke anaknya. Hingga akhirnya ART menjadi suatu
penanggulangan jumlah kasus HIV di berbagai negara (Karyadi, 2017).
Dibutuhkan kepatuhan minum obat dan pemantauan oleh pihak yang berwenang
(dokter, perawat, dan konselor) atau pihak yang berhubungan dengan pasien HIV
(keluarga) agar tujuan pemberian ART tercapai. Keterlibatan penyedia layanan
kesehatan telah dikaitkan dengan kepatuhan yang lebih besar terhadap keberlanjutan
pengobatan HIV (Hidayati et al., 2019). Hasil terapi dievaluasi dengan melihat jumlah
viral load. Tingkat viral load diukur sebelum melakukan terapi dan diukur lagi 2
hingga 8 minggu setelah melakukan ART. Akan terus menurun setelah minggu-
minggu berikutnya bahkan sampai di bawah tingkat yang terdeteksi (<50 kopi/mL)
dalam 16 hingga 20 minggu (Smeltzer & Bare, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Baratloo, A., Hashemi, B., Rouhipour, A., Haroutunian, P., & Mahdlou, M. (2015). Review of
Toxoplasmic Encephalitis in HIV Infection; a Case Study. Archives of Neuroscience, 2,
e20891. https://doi.org/10.5812/archneurosci.20891
Basavaraju, A. (2016). Toxoplasmosis in HIV infection: An overview. Tropical Parasitology,
6(2), 129–135. https://doi.org/10.4103/2229-5070.190817
Baum, L. L., Mathieson, B. J., & Connick, E. (2016). Immunity to HIV (M. J. H. B. T.-E. of I.
Ratcliffe (ed.); pp. 342–354). Academic Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-
0-12-374279-7.14021-4
Central for Disease Control and Prevention. (2020). About HIV/AIDS.
https://www.cdc.gov/hiv/basics/whatishiv.html
Derosa, Y., & Ahmad, A. (2018). Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7, 96. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.934
Hidayati, A. N., Rosyid, A. N., Nugroho, C. W., Asmarawati, T. P., Ardhiansyah, A. O.,
Bakhtiar, A., Amin, M., & Nasronudin. (2019). Manajemen HIV/AIDS Terkini,
Komprehensif, dan Multidisiplin. Airlangga University Press.
Karyadi, T. (2017). Keberhasilan Pengobatan Antiretroviral (ARV). Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 4(1), 2–4.
http://www.jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/viewFile/105/95
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Pedoman Manajemen Program
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
Lee, T. T., & Everall, I. P. (2015). AIDS: Acquired Immune-Deficiency Syndrome (J. D. B. T.-I.
E. of the S. & B. S. (Second E. Wright (ed.); pp. 488–494). Elsevier.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.27002-5
Neki, N. S. (2015). Cerebral Toxoplasmosis in HIV/ Aids Patient- A Case Report. Bangladesh
Journal of Medicine, 25(2 SE-Case Reports), 76–77.
https://doi.org/10.3329/bjmed.v25i2.25099
Smeltzer, O., & Bare, B. G. (2015). Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing.
Lippincott Williams & Wilkins.
Soleimani, A., & Bairami, A. (2015). Cerebral toxoplasmosis in a patient leads to diagnosis of
AIDS. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 5(8), 667–668.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S2222-1808(15)60910-0
World Health Organization. (2007). WHO case definitions of HIV for surveillance and revised
clinical staging and immunological classification of HIV-related disease in adults and
children. World Health Organization.
https://doi.org/https://apps.who.int/iris/handle/10665/43699