Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. D DENGAN MASALAH


KESEHATAN HIV STAGE IV+SOL INTRAKRANIAL+MALNUTRISI DI
RUANG FRESIA 2 RSUP DR. HASAN SADIKIN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif pada Program Profesi Ners
Angkatan XLIII
Pembimbing Klinik: Heni Nur Anina, S.Kep., Ners., MpallC
Pembimbing Akademik: Hartiah Haroen, S.Kp., M.Ng., M.Kep., AIFO
Ristina Mirwanti, S.Kep., Ners., M.Kep

DISUSUN OLEH:

Rohman Hikmat 220112210600


KELOMPOK 1 GELOMBANG 3 PPN XLIII

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2022
A. Definisi

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah suatu penyakit yang disebabkan


oleh infeksi virus yang menyerang sel kekebalan tubuh. Komponen yang menjadi
sasaran infeksi HIV yaitu limfosit T helper. Limfosit T helper memiliki reseptor
permukaan CD4+. Infeksi HIV menyebabkan penurunan jumlah limfosit T CD4+
yang dibutuhkan untuk perlindungan dalam menghadang berbagai agen infeksius
dan perkembangan tumor. Sebagai akibatnya, orang yang terinfeksi HIV kerap
terserang penyakit infeksi. Kebanyakan orang yang terinfeksi HIV masih sehat
dan dapat hidup bertahun-tahun tanpa gejala atau hanya mengalami penyakit
ringan (Baum et al., 2016).

Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah suatu pola infeksi yang


disebabkan oleh virus imunodefisiensi manusia, atau HIV, yang menginvasi dan
menghancurkan sel kekebalan tubuh. AIDS merupakan tahap kritis dari HIV.
Setelah beberapa periode waktu, virus menjadi aktif dan secara progresif
mengarah
ke infeksi serius dan kondisi lain yang menjadi ciri AIDS. Kondisi ini
menggambarkan bahwa tubuh tidak dapat mempertahankan kekebalannya lagi,
pada akhirnya tubuh tidak mampu menampung penyebaran virus dan organisme
sehingga menderita serangan infeksi oportunistik (Lee & Everall, 2015).

Space Occupying Lesion (SOL) merupakan desakan ruang yang diakibatkan


peningkatan volume di dalam ruang intrakranial yang ditempati oleh jaringan
otak, darah, dan cairan serebrospinal. Lesi desakan ruang SOL dapat
meningkatkan tekanan intrakranial. Space Occupying Lesion bisa berupa
neoplasma ataupun tumor, perdarahan ataupun granuloma. Jaringan otak akan
mengalami nekrosis sehingga menyebabkan gangguan neurologik progresif. SOL
dengan immunocompromise seperti pada pasien HIV merupakan suatu keadaan
adanya defisiensi imun yang disebabkan oleh defisiensi yang progresif dari
limfosit T (T helper), pasien dengan penurunan CD4 di bawah level kritis
(CD4<200sel/ul) (Derosa & Ahmad, 2018). Keadan ini menjadikan pasien sangat
rentan terhadap infeksi oportunistik. Toxoplasma merupakan salah satu infeksi
opportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan HIV.
Toxoplasmosis termasuk dalam peringkat 10 besar penyakit oportunistik yang
paling sering ditemukan pada pasien keganasan dan HIV terutama dengan Cluster
of Differentiation (CD4) di bawah 200sel/ul.

B. Cara Penularan

HIV dapat ditransmisikan melalui berbagai cara yaitu (Central for Disease Control
and Prevention, 2020):

1. Hubungan seksual dengan penderita HIV/AIDS

Transmisi HIV dapat terjadi melalui hubungan seksual baik itu secara anal,
vaginal, dan oral tanpa pelindung. Selama berhubungan seksual melalui anal,
virus HIV masuk ke dalam tubuh karena lapisan rektum yang tipis, selain itu juga
dapat melalui lubang di ujung penis, kulup (jika penis tidak disunat), atau luka
kecil, cakaran, atau luka terbuka di daerah penis. Seks vaginal bisa berisiko
tertular HIV bila tidak menggunakan pelindung (kondom atau obat untuk
mengobati dan mencegah HIV). Hal ini dikarenakan air mani dan cairan vagina
yang mengandung HIV bisa mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur atau
mulut sehingga virus bisa masuk ke dalam aliran darah.

2. Penularan dari seorang ibu yang terinfeksi HIV

Penularan dari seorang ibu yang terinfeksi HIV dapat terjadi saat masa kehamilan
(antenatal), saat persalinan (intranatal), maupun saat setelah persalinan postnatal).
Saat masa kehamilan (antenatal), ibu yang terinfeksi HIV harus melakukan
pengobatan HIV segera agar dapat menurunkan risiko tertular pada bayinya.
Risiko penularan pada saat persalinan (intranatal) pada saat kulit atau membran
mukosa bayi kontak dengan darah atau sekresi maternal. Selain itu, proses
persalinan yang lama dapat meningkatkan risiko penularan terhadap bayi. Maka,
untuk mempersingkat proses persalinan harus dilakukan operasi sectio caesarea.
Selain itu, penularan dapat terjadi saat periode postnatal melalui ASI.

3. Darah dan produk darah yang terkontaminasi HIV/AIDS

Produk darah yang terkontaminasi virus HIV misalnya dari transfuse darah akan
masuk dengan cepat ke pembuluh darah dan virus menyebar ke seluruh tubuh.

4. Penggunaan alat injeksi, alat tajam, dan napza suntik

Peralatan injeksi yang terkena darah orang yang terinfeksi memungkinkan


transmisi HIV pada orang lain yang menggunakan alat tersebut, misalnya jarum
suntik yang digunakan secara bergantian tanpa di sterilkan yang digunakan di
fasilitas kesehatan. Alat-alat tajam yang tidak steril seperti jarum, pisau cukur,
silet, alat sunat, alat pembuat tato, pemotong rambut, dan lain-lain dapat
menimbulkan luka dan dipakai secara bersamaan atau dipergunakan oleh orang
yang terinfeksi HIV dapat menularkan HIV karena terjadi kontak dengan darah.
Jarum suntik yang digunakan pengguna napza suntik (penasun) bisa menularkan
HIV jika sebelumnya digunakan oleh orang yang terinfeksi HIV.

Toxoplasma cerebri merupakan kejadian infeksi oportunistik yang paling banyak


terjadi pada HIV/AIDS. Penularan toxoplasma gondii terhadap manusia terutama
terjadi apabila tertelan daging babi atau domba yang mengandung kista jaringan
atau apabila menelan sayuran yang terkontaminasi dan dimasak tidak matang
(Basavaraju, 2016). Jika kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookista
tertelan pejamu, maka parasit akan terbebas dari kista dalam proses pencernaan.
Bradizoit ini resisten terhadap efek dari pepsin dan menginvasi traktus
gastrointestinal pejamu. Dalam eritrosit parasite mengalami transformasi
morfologi, akibatnya jumlah takizoit invasif meningkat. Takizoit ini mencetuskan
respon IgA sekretorik spesifik parasit. Dari traktus gastrointestinal, kemudian
parasit menyebar ke berbagai organ, terutama jaringan limfatik, otot lurik,
miokardium, retina, plasenta dan sistem saraf pusat (SSP) (Neki, 2015). Di
tempat-tempat tersebut, parasit menginfeksi sel pejamu, bereplikasi, dan
menginvasi sel yang berdekatan. Terjadilah proses yang khas yakni kematian sel
dan nekrosis fokal yang dikelilingi respon inflamasi akut

C. Gejala

Menurut World Health Organization (2007), gejala klinis HIV/AIDS diantaranya:

1. Tahap 1: tidak menunjukkan gejala atau adanya limfadenopati

2. Tahap 2: penurunan berat badan yang tidak jelas penyebabnya <10% dari
berat badan awal, infeksi saluran pernafasan berkali-kali (sinusitis, tonsilitis,
otitis media, dan faringitis), herpes zoaster, ulserasi berulang pada mulut,
dermatitis seboroik, infeksi kuku akibat jamur

3. Tahap 3: diare kronis, tidak jelas penyebabnya berlangsung melebihi 30 hari,


kandidiasis oral, infeksi bakteri parah, dan TBC paru-paru, anemia yang tidak
dapat dijelaskan (<8 g/dl), neutropenia (<0,5 × 109 per liter) atau
trombositopenia kronis (<50 × 109 per liter)

4. Tahap 4: pneumonia pneumocystis, infeksi herpes simpleks kronis lebih dari


30 hari, toksoplasmosis, infeksi jamur kandidiasis esofagus (atau kanididasis
trakea, bronkus, atau paru-paru), infeksi pada bronkus, atau paru-paru, TBC
luar paru.
Gejala klinis menurut Kementrian Kesehatan yang menunjukkan gejala terinfeksi
HIV ialah sebagai berikut (Hidayati et al., 2019):

1. Berat badan turun >10% dari berat badan dasar, demam (terjadi terus
menerus, suhu oral >37,5) lebih dari satu bulan, diare terus menerus lebih dari
30 hari, pembesaran kelenjar getah bening yang meluas.

2. Kulit kering yang luas. Hal ini yakni dugaan kuat individu terinfeksi HIV.
Kelainan kulit lainnya seperti kutil kelamin (genital warts), folikulitis, dan
psoriasis sering terjadi.

3. Infeksi jamur seperti kandidiasis oral, dermatitis seboroik, atau kandidiasis


pada vagina yang muncul berkali-kali.

4. Infeksi virus seperti herpes zoster, herpes genital (muncul berkali-kali),


kondiloma, atau moluskum kontangiosum.

5. Gangguan pernapasan seperti batuk lebih dari 30 hari, sesak napas,


pneumonia muncul berkali-kali, tuberkulosis, dan sinusitis kronis.

6. Nyeri kepala yang tidak kunjung sembuh dan tidak diketahui penyebabnya,
kejang, demam atau penurunan fungsi kognitif.

Pada pasien dengan toxoplasmosis cerberi mempunyai gejala-gejala yang


sering terjadi adalah gangguan mental (75%), defisit neurologik (70%), sakit
kepala (50%), demam (45%), tubuh terasa lemah serta gangguan nervus
kranialis (Soleimani & Bairami, 2015). Gejala lain yang juga sering
ditemukan yaitu parkinson, focal dystonia, rubral tremor, hemikorea-
hemibalismus, dan gangguan batang otak. Medula spinalis juga dapat terkena
dengan gejala seperti gangguan motorik dan sensorik di daerah tungkai,
gangguan berkemih dan defekasi (Baratloo et al., 2015). Predileksi infeksi
terutama pada great white junction, ganglia basal dan talamus. Onset dari
gejala ini biasanya subakut.

D. Cara Mencegah HIV/AIDS

Upaya untuk mencegah penularan HIV/AIDS dikenal dengan prinsip ABCD,


yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015):

1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
yang belum menikah.

2. B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan).

3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan


menggunakan kondom.

4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.

5. E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar


mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai
berikut.

1. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) tentang HIV-AIDS dan kesehatan


reproduksi, baik secara individu atau kelompok dengan sasaran khusus
perempuan usia reproduksi dan pasangannya.

2. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang mempunyai


perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular HIV (misalnya
penerima donor darah, pasangan dengan perilaku/pekerjaan berisiko) agar
bersedia melakukan tes HIV.

3. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.

E. Pemeriksaan Diagnostik

Pada daerah dimana tersedia laboratorium pemeriksaan anti-HIV, penegakan


diagnosis dilakukan melalui pemeriksaan serum atau cairan tubuh lain
(cerebraspinal fluid) penderita.
a. ELISA (Enzyme Linked Immunosobent Assay)

ELISA digunakan untuk menemukan antibody. Teknik ELISA yaitu


sensitifitas yang tinggi yaitu 98,1-100%. Biasanya memberikan hasil positif
2-3 bulan setelah infeksi. Tes ELISA telah menggunakan antigen
rekombinan, yang sangat spesifik terhadap envelope dan core.

b. Western blot

Western blot ini biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain.
Biasanya protein HIV yang digunakan dalam campuran adalah jenis antigen
yang mempunyai makna klinik, seperti gp120 dan gp41. Western blot
mempunyai sensitifitas tinggi yaitu 99,6% - 100%. Namun pemeriksaan
cukup sulit, mahal membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

c. PCR (Polymerase Chain Reaction)

Kegunaan PRC yakni sebagai tes HIV pada bayi, pada saat zat antibodi
maternal masih ada pada bayi dan menghambat pemeriksaan secara serologis
maupun status infeksi individu yang seronegative pada kelompok risiko tinggi
dan sebagai tes konfirmasi untuk HIV-2 sebab sensitivitas ELISA rendah
untuk HIV-2.

Pemeriksaan CD4 dilakukan dengan melakukan imunophenotyping yaitu


dengan flow cytometry dan cell sorter. Prinsip flow cytometry dan cell sorting
(Fluorescence Activitated Cell Sorter, FAST) adalah menggabungkan
kemampuan alat untuk mengidentifikasi karakteristik permukaan setiap sel
dengan kemampuan memisahkan sel-sel yang berada dalam suatu suspensi
menurut karakteristik masing-masing secara otomatis melalui celah, yang
ditembus oleh seberkas sinar laser. Dengan demikian, alat itu dapat
mengidentifikasi setiap jenis dan aktifitas sel dan menghitung jumlah masing-
masing dalam suatu populasi campuran.

F. Penatalaksanaan HIV/AIDS
Penatalaksanaan medis pada HIV yaitu pengobatan dengan terapi antiretroviral
(ART), dosis yang diberikan sesuai dengan pertimbangan jumlah CD4. ART menjadi
indikator yang krusial dalam menurunkan angka mortalitas dan infeksi oportunistik.
Tujuan utama dari ART ialah untuk menurunkan jumlah virus sehingga status imun
dapat meningkat. Tujuan lainnya untuk mencegah penularan HIV terhadap pasangan
seksual dan penularan HIV dari ibu ke anaknya. Hingga akhirnya ART menjadi suatu
penanggulangan jumlah kasus HIV di berbagai negara (Karyadi, 2017).
Dibutuhkan kepatuhan minum obat dan pemantauan oleh pihak yang berwenang
(dokter, perawat, dan konselor) atau pihak yang berhubungan dengan pasien HIV
(keluarga) agar tujuan pemberian ART tercapai. Keterlibatan penyedia layanan
kesehatan telah dikaitkan dengan kepatuhan yang lebih besar terhadap keberlanjutan
pengobatan HIV (Hidayati et al., 2019). Hasil terapi dievaluasi dengan melihat jumlah
viral load. Tingkat viral load diukur sebelum melakukan terapi dan diukur lagi 2
hingga 8 minggu setelah melakukan ART. Akan terus menurun setelah minggu-
minggu berikutnya bahkan sampai di bawah tingkat yang terdeteksi (<50 kopi/mL)
dalam 16 hingga 20 minggu (Smeltzer & Bare, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Baratloo, A., Hashemi, B., Rouhipour, A., Haroutunian, P., & Mahdlou, M. (2015). Review of
Toxoplasmic Encephalitis in HIV Infection; a Case Study. Archives of Neuroscience, 2,
e20891. https://doi.org/10.5812/archneurosci.20891
Basavaraju, A. (2016). Toxoplasmosis in HIV infection: An overview. Tropical Parasitology,
6(2), 129–135. https://doi.org/10.4103/2229-5070.190817
Baum, L. L., Mathieson, B. J., & Connick, E. (2016). Immunity to HIV (M. J. H. B. T.-E. of I.
Ratcliffe (ed.); pp. 342–354). Academic Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-
0-12-374279-7.14021-4
Central for Disease Control and Prevention. (2020). About HIV/AIDS.
https://www.cdc.gov/hiv/basics/whatishiv.html
Derosa, Y., & Ahmad, A. (2018). Toxoplasmosis Cerebri Pada HIV AIDS. Jurnal Kesehatan
Andalas, 7, 96. https://doi.org/10.25077/jka.v7i0.934
Hidayati, A. N., Rosyid, A. N., Nugroho, C. W., Asmarawati, T. P., Ardhiansyah, A. O.,
Bakhtiar, A., Amin, M., & Nasronudin. (2019). Manajemen HIV/AIDS Terkini,
Komprehensif, dan Multidisiplin. Airlangga University Press.
Karyadi, T. (2017). Keberhasilan Pengobatan Antiretroviral (ARV). Jurnal Penyakit Dalam
Indonesia, 4(1), 2–4.
http://www.jurnalpenyakitdalam.ui.ac.id/index.php/jpdi/article/viewFile/105/95
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2015). Pedoman Manajemen Program
Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. https://siha.kemkes.go.id/portal/files_upload/Pedoman_Manajemen_PPIApdf.pdf
Lee, T. T., & Everall, I. P. (2015). AIDS: Acquired Immune-Deficiency Syndrome (J. D. B. T.-I.
E. of the S. & B. S. (Second E. Wright (ed.); pp. 488–494). Elsevier.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.27002-5
Neki, N. S. (2015). Cerebral Toxoplasmosis in HIV/ Aids Patient- A Case Report. Bangladesh
Journal of Medicine, 25(2 SE-Case Reports), 76–77.
https://doi.org/10.3329/bjmed.v25i2.25099
Smeltzer, O., & Bare, B. G. (2015). Brunner & Suddarth Textbook of Medical Surgical Nursing.
Lippincott Williams & Wilkins.
Soleimani, A., & Bairami, A. (2015). Cerebral toxoplasmosis in a patient leads to diagnosis of
AIDS. Asian Pacific Journal of Tropical Disease, 5(8), 667–668.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S2222-1808(15)60910-0
World Health Organization. (2007). WHO case definitions of HIV for surveillance and revised
clinical staging and immunological classification of HIV-related disease in adults and
children. World Health Organization.
https://doi.org/https://apps.who.int/iris/handle/10665/43699

Anda mungkin juga menyukai