Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

PASIEN DENGAN HIV/AIDS

Disusun untuk memenuhi tugas Laporan Individu


Praktek Klinik D3 Keperawatan Malang Kelas Lawang
Keperawatan Medikal Bedah I

Oleh:
Zabilita Tri Yuli Anggi

P17210204207

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN MALANG
TAHUN 2021/2022
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Pendahuluan Asuhan keperawatan pada pasien HIV/AIDS
Periode tanggal 4-9 April Tahun Akademik 2021/2022
Telah disetujui dan disahkan pada tanggal …………

Pembimbing Klinik/Lahan Pembimbing Institusi

Tanggal: Tanggal:
LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP DASAR
A. Pengertian HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit
kekurangan sistem imun yang disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1 atau
HIV tipe 2 (Copstead dan Banasik, 2012). Infeksi HIV adalah infeksi virus
yang secara progresif menghancurkan sel-sel darah putih infeksi oleh HIV
biasanya berakibat pada kerusakan sistem kekebalan tubuh secara
progresif, menyebabkan terjadinya infeksi oportunistik dan kanker tertentu
(terutama pada orang dewasa) (Bararah dan Jauhar, 2013). HIV adalah
virus penyebab Acquired Immuno Deficiensi Syndrom (AIDS). Virus ini
memiliki kemampuan untuk mentransfer informasi genetic, mereka dari
RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut Reverse
Transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses transkripsi dari RNA
& DNA dan transflasi dari RNA ke protein pada umumnya (Murma, 1997)
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu
kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dari infeksi
oleh HIV (Sylvia dan Wilson, 2012)

B. Etiologi
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) disebabkan oleh
Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu retrovirus pada manusia
yang termasuk dalam keluarga lentivirus (termasuk pula virus
imunodefisinsi pada kucing, virus imunodefisiensi pada kera, visna virus
pada domba, dan virus anemia infeksiosa pada kuda). Dua bentuk HIV
yang berbeda secara genetik, tetapi berhubungan secara antigen, yaitu
HIV-1 dan HIV-2 yang telah berhasil diisolasi dari penderita AIDS.
Sebagian besar retrovirus, viron HIV-1 berbentuk sferis dan mengandung
inti berbentuk kerucut yang padat electron dan dikelilingi oleh selubung
lipid yang berasal dari membran se penjamu. Inti virus tersebut
mengandung kapsid utama protein p24, nukleokapsid protein p7 atau p9,
dua sirina RNA genom, dan ketiga enzim virus (protease, reserve
trancriptase, dan integrase). Selain ketiga gen retrovirus yang baku ini,
HIV mengandung beberapa gen lain (diberi nama dengan tiga huruf,
misalnya tat, rev, vif, nef, vpr dan vpu) yang mengatur sintetis serta
perakitan partikel virus yang infeksius. (Robbins dkk, 2011)
Menurut (Nursalam dan Kurniawati, 2011) virus HIV menular melalui
enam cara penularan, yaitu :
a. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS
Hubungan sesual secara vaginal, anal dan oral dengan penderita
HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan
seksual berlangsung, air mani, cairan vagina, dan darah yang dapat
mengenai selaput lendir, penis, dubur, atau muluh sehingga HIV yang
tedapa dalam cairan tersebut masuk ke aliran darah (PELEKSI,1995
dalam Nursalam,2007 ). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi
mikro pada dinding vagina, dubur dan mulut yang bisa menjadi jalan
HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual
b. Ibu pada bayinya
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan (in utero).
Berdasarkan laporan CDC Amerika, prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0.01% sampai 7%. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan
belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20%
sampai 35%, sedangkan gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinan
mencapai 50% (PELKESI,1995 dalam Nursalam, 2007). Penularan juga
terjadi selama proses persalinan melalui tranfusi fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau
sekresi maternal saat melahirkan.(Lili V, 2004 dalam Nursalam, 2007).
Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh
karena itu, lama persalinan bisa dipersingkat dengan operasi sectio
caesaria (HIS dan STB,2000 dalam Nursalam, 2007). Transmisi lain
terjadi selam periode post partum melaui ASI. Resiko bayi tertular
melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%
c. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menular HIV karena virus langsung masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
d. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan
alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang
terinveksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak
terinfeksi bisa menular HIV
e. Alat-alat untuk menoreh kulit
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat
seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa
menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan
terlebih dahulu.
f. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan di fasilitas kesehatan, maupun yang
digunakan oleh para pengguna narkoba (Injecting Drug User-IDU)
sangat berpotensi menularkan HIV. Selain jarun suntik, pada para
pemakai IDU ecara bersama-sama juga menggunakan tempat
penyampur, pengaduk, dan gelas pengoplos obat, sehingga berpotensi
tinggi untuk menularkan HIV. HIV tidak menular melalui peralatan
makan, pakaian, handuk, sapu tangan, hidup serumah dengan penderita
HIV/AIDS, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.

C. Klasifikasi
Ada 2 klasifikasi yang sampai sekarang sering digunakan untuk
remaja dan dewasa yaitu klasifikasi menurut WHO dan Centers for
Disease Control and Preventoin (CDC) Amerika Serikat. Di negaranegara
berkembang menggunakan sistem klasifikasi WHO dengan memakai data
klinis dan laboratorium, sementara di negara-negara maju digunakan
sistem klasifikasi CDC. Klasifikasi menurut WHO digunakan pada
beberapa Negara yang pemeriksaan limfosit CD4+ tidak tersedia.
Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4
stadium, yaitu (Sofro MAU, 2013) :

Tabel 2. Stadium HIV menurut WHO

Stadium Gejala Klinis


- Tidak ada penurunan berat badan
I
- Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati
(Asimtomatik)
Generalisata Persisten
- Penurunan berat badan 5 - 10%
- ISPA berulang: sinusitis, otitis media,
tonsilitis, dan faringitis
- Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
II - Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
(Sakit Ringan) - Ulkus mulut berulang
- Ruam kulit yang gatal (seboroik atau
prurigo)
- Dermatitis Seboroik
- Infeksi jamur pada kuku
- Penurunan berat badan >10%
- Diare, demam yang tidak diketahui
penyebabnya >1 bulan
- Kandidiasis oral atau vaginal
- Oral Hairy Leukoplakia
III
- TB Paru dalam 1 tahun terakhir
(Sakit Sedang)
- Limfadenitis TB
- Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia,
Piomiosis
- Anemia (<8 gr/dl), Trombositopeni Kronik
(<50.000/ml)
IV - Sindroma Wasting (HIV)
(Sakit Berat (AIDS)) - Pneumoni Pneumocystis
- Pneumonia Bakterial yang berat berulang
dalam 6 bulan
- Kandidiasis esophagus
- Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
- Limfoma
- Sarkoma Kaposi
- Kanker Serviks yang invasive
- Retinitis CMV
- TB Ekstra paru
- Toksoplasmosis
- Ensefalopati HIV
- Meningitis Kriptokokus
- Infeksi mikobakteria non-TB meluas
- Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas

D. Patofisiologi
Penyakit AIDS disebabkan oleh Virus HIV. Masa inkubasi AIDS
diperkirakan antara 10 minggu sampai 10 tahun. Diperkirakan sekitar 50%
orang yang terinfeksi HIV akan menunjukan gejala AIDS dalam 5 tahun
pertama, dan mencapai 70% dalam sepuluh tahun akan mendapat AIDS.
Berbeda dengan virus lain yang menyerang sel target dalam waktu singkat,
virus HIVmenyerang sel target dalam jangka waktu lama. Supaya terjadi
infeksi, virus harus masuk ke dalam sel, dalam hal ini sel darah putih yang
disebut limfosit.
Materi genetik virus dimasukkan ke dalam DNA sel yang terinfeksi.
Di dalam sel, virus berkembangbiak dan pada akhirnya menghancurkan sel
serta melepaskan partikel virus yang baru. Partikel virus yang baru
kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan menghancurkannya. Virus
menempel pada limfosit yang memiliki suatu reseptor protein yang disebut
CD4, yang terdapat di selaput bagian luar. CD4 adalah sebuah marker
atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia,
terutama sel-sel limfosit.Sel-sel yang memiliki reseptor CD4 biasanya
disebut sel CD4+ atau limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi
mengaktifkan dan mengatur sel-sel lainnya pada sistem kekebalan
(misalnya limfosit B, makrofag dan limfosit T sitotoksik), yang
kesemuanya membantu menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.
Infeksi HIV menyebabkan hancurnya limfosit T penolong, sehingga
terjadi kelemahan sistem tubuh dalam melindungi dirinya terhadap infeksi
dan kanker. Seseorang yang terinfeksi oleh HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun. Seseorang
yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300 sel/mL darah. Pada
beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV, jumlahnya menurun
sebanyak 40-50%. Selama bulan-bulan ini penderita bisa menularkan HIV
kepada orang lain karena banyak partikel virus yang terdapat di dalam
darah. Meskipun tubuh berusaha melawan virus, tetapi tubuh tidak mampu
meredakan infeksi. Setelah sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus di dalam
darah mencapai kadar yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita.
Perusakan sel CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus
berlanjut. Kadar partikel virus yang tinggi dan kadar limfosit CD4+ yang
rendah membantu dokter dalam menentukan orang-orang yang beresiko
tinggi menderita AIDS. 1-2 tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah
limfosit CD4+ biasanya menurun drastis. Jika kadarnya mencapai 200
sel/mL darah, maka penderita menjadi rentan terhadap infeksi.
Infeksi HIV juga menyebabkan gangguan pada fungsi limfosit B (limfosit
yang menghasilkan antibodi) dan seringkali menyebabkan produksi
antibody yang berlebihan. Antibodi ini terutama ditujukan untuk melawan
HIV dan infeksi yang dialami penderita, tetapi antibodi ini tidak
banyak membantu dalam melawan berbagai infeksi oportunistik pada
AIDS. Pada saat yang bersamaan, penghancuran limfosit CD4+ oleh virus
menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam
mengenali organisme dan sasaran baru yang harus diserang.
Setelah virus HIVmasuk ke dalam tubuh dibutuhkan waktu selama 3-6
bulan sebelum titer antibodi terhadap HIVpositif. Fase ini disebut “periode
jendela” (window period). Setelah itu penyakit seakan berhenti berkembang
selama lebih kurang 1-20 bulan, namun apabila diperiksa titer antibodinya
terhadap HIV tetap positif (fase ini disebut fase laten) Beberapa tahun
kemudian baru timbul gambaran klinik AIDS yang lengkap (merupakan
sindrom/kumpulan gejala). Perjalanan penyakit infeksi HIVsampai menjadi
AIDS membutuhkan waktu sedikitnya 26 bulan, bahkan ada yang lebih dari
10 tahun setelah diketahui HIV positif (Heri, 2012).

E. Manifestasi Klinik
Pada suatu WHO Workshop yang diadakan di Bangui, Republik
Afrika Tengah, 22–24 Oktober 1985 telah disusun suatu defmisi klinik
AIDS untuk digunakan oleh negara-negara yang tidak mempunyai fasilitas
diagnostic laboratorium. Ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
a. AIDS dicurigai pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala
mayor dan satu gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab
imunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau
etiologi lainnya.
Gejala mayor :
1. Penurunan berat badan lebih dari 10%
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan
3. Demam lebih dari 1 bulan (kontinu atau intermiten).
Gejala minor :
1. Batuk lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis pruritik umum
3. Herpes zoster rekurens
4. Candidiasis oro-faring
5. Limfadenopati umum
6. Herpes simpleks diseminata yang kronik progresif
AIDS dicurigai pada anak ( bila terdapat paling sedikit dua gejala
mayor dan dua gejala minor dan tidak terdapat sebab sebab
imunosupresi yang diketahui seperti kanker, malnutrisi berat, atau etiologi
lainnya.
Gejala mayor :
1. Penurunan berat badan atau pertumbuhan lambat yang abnormal
2. Diare kronik lebih dari 1 bulan
3. Demam lebih dari 1 bulan
Gejala minor :
1. Limfadenopati umum
2. Candidiasis oro-faring
3. Infeksi umum yang berulang (otitis, faringitis, dsb).
4. Batuk persisten
5. Dermatitis umum
6. Infeksi HIV maternal
Kriteria tersebut di atas khusus disusun untuk negara-negara Afrika
yang mempunyai prevalensi AIDS tinggi dan mungkin tidak sesuai untuk
digunakan di Indonesia. Untuk keperluan surveilans AIDS di Indonesia
sebagai pedoman digunakan defmisi WHO/CDC yang telah direvisi dalam
tahun 1987. Sesuai dengan hasil Inter-country Consultation Meeting WHO
di New Delhi, 30-31 Desember 1985, dianggap perlu bahwa kasus-kasus
pertama yang akan dilaporkan sebagai AIDS kepada WHO mendapat
konfrrmasi dengan tes ELISA dan Western Blot.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Metode pemeriksaan laboratorium dasar untuk diagnosis infeksi HIV
dibagi dalam dua kelompok yaitu :
1. Uji Imunologi
Uji imunologi untuk menemukan respon antibody terhadap
HIV-1 dan digunakan sebagai test skrining, meliputi enzyme
immunoassays atau enzyme – linked immunosorbent assay (ELISAs)
sebaik tes serologi cepat (rapid test). Uji Western blot atau indirect
immunofluorescence assay (IFA) digunakan untuk memperkuat hasil
reaktif dari test krining. Uji yang menentukan perkiraan abnormalitas
sistem imun meliputi jumlah dan persentase CD4+ dan CD8+ T
limfosit absolute. Uji ini sekarang tidak digunakan untuk diagnose
HIV tetapi digunakan untuk evaluasi.
a. Deteksi antibodi HIV
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang diduga telah
terinfeksi HIV. ELISA dengan hasil reaktif (positif) harus
diulang dengan sampel darah yang sama, dan hasilnya
dikonfirmasikan dengan Western Blot atau IFA (Indirect
Immunofluorescence Assays). Sedangkan hasil yang negatif tidak
memerlukan tes konfirmasi lanjutan, walaupun pada pasien yang
terinfeksi pada masa jendela (window period), tetapi harus
ditindak lanjuti dengan dilakukan uji virologi pada tanggal
berikutnya. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada orang-orang
yang terinfeksi HIV-1 tetapi belum mengeluarkan antibodi
melawan HIV-1 (yaitu, dalam 6 (enam) minggu pertama dari
infeksi, termasuk semua tanda-tanda klinik dan gejala dari
sindrom retroviral yang akut. Positif palsu dapat terjadi pada
individu yang telah diimunisasi atau kelainan autoimune, wanita
hamil, dan transfer maternal imunoglobulin G (IgG) antibody
anak baru lahir dari ibu yang terinfeksi HIV-1. Oleh karena itu
hasil positif ELISA pada seorang anak usia kurang dari 18 bulan
harus di konfirmasi melalui uji virologi (tes virus), sebelum anak
dianggap mengidap HIV-1.
b. Rapid test
Merupakan tes serologik yang cepat untuk mendeteksi IgG
antibody terhadap HIV-1. Prinsip pengujian berdasarkan
aglutinasi partikel, imunodot (dipstik), imunofiltrasi atau
imunokromatografi. ELISA tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi hasil rapid tes dan semua hasil rapid tes reaktif
harus dikonfirmasi dengan Western blot atau IFA.
c. Western blot
Digunakan untuk konfirmasi hasil reaktif ELISA atau hasil
serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif. Uji
Western blot menemukan keberadaan antibodi yang melawan
protein HIV-1 spesifik (struktural dan enzimatik). Western blot
dilakukan hanya sebagai konfirmasi pada hasil skrining berulang
(ELISA atau rapid tes). Hasil negative Western blot
menunjukkan bahwa hasil positif ELISA atau rapid tes
dinyatakan sebagai hasil positif palsu dan pasien tidak
mempunyai antibodi HIV-1. Hasil Western blot positif
menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1 pada individu dengan
usia lebih dari 18 bulan.
d. Indirect Immunofluorescence Assays (IFA)
Uji ini sederhana untuk dilakukan dan waktu yang dibutuhkan
lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji Western blot.
Antibodi Ig dilabel dengan penambahan fluorokrom dan akan
berikatan pada antibodi HIV jika berada pada sampel. Jika slide
menunjukkan fluoresen sitoplasma dianggap hasil positif
(reaktif), yang menunjukkan keberadaan antibodi HIV-1.
e. Penurunan sistem imun
Progresi infeksi HIV ditandai dengan penurunan CD4+ T
limfosit, sebagian besar sel target HIV pada manusia. Kecepatan
penurunan CD4 telah terbukti dapat dipakai sebagai petunjuk
perkembangan penyakit AIDS. Jumlah CD4 menurun
secara bertahap selama perjalanan penyakit. Kecepatan
penurunannya dari waktu ke waktu rata-rata 100 sel/tahun.
2. Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes
amplifikasi asam nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) ,
test untuk menemukan asam nukleat HIV-1 seperti DNA arau RNA
HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti uji untuk protein
kapsid virus (antigen p24)).
a. Kultur HIV
HIV dapat dibiakkan dari limfosit darah tepi, titer virus
lebih tinggi dalam plasma dan sel darah tepi penderita AIDS.
Pertumbuhan virus terdeteksi dengan menguji cairan supernatant
biakan setelah 7-14 hari untuk aktivitas reverse transcriptase
virus atau untuk antigen spesifik virus.
b. NAAT HIV-1 (Nucleic Acid Amplification Test)
Menemukan RNA virus atau DNA proviral yang banyak
dilakukan untuk diagnosis pada anak usia kurang dari 18 bulan.
Karena asam nuklet virus mungkin berada dalam jumlah yang
sangat banyak dalam sampel. Pengujian RNA dan DNA virus
dengan amplifikasi PCR, menggunakan metode enzimatik untuk
mengamplifikasi RNA HIV-1. Level RNA HIV merupakan
pertanda prediktif penting dari progresi penyakit dan menjadi
alat bantu yang bernilai untuk memantau efektivitas terapi
antivirus.
c. Uji antigen p24
Protein virus p24 berada dalam bentuk terikat dengan
antibody p24 atau dalam keadaan bebas dalam aliran darah
indivudu yang terinfeksi HIV-1. Pada umumnya uji antigen p24
jarang digunakan dibanding teknik amplifikasi RNA atau DNA
HIV karena kurang sensitif. Sensitivitas pengujian meningkat
dengan peningkatan teknik yang digunakan untuk memisahkan
antigen p24 dari antibody anti-p24 (Read, 2007)

G. Penatalaksanaan
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis
meliputi beberapa cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi
yang berhubungan dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi
virus HIV lewar preparat antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem
imun melalui pengguanaan preparat immunomodulator. Perawatan suportif
merupakan tindakan yang penting karena efek infeksi HIV dan penyakit
AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek tersebut
mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental.
Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :
a. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi
Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula
TMPSMZ (Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk
mengatasi berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.
Pemberian secara IV kepada pasien-pasien dengan fungsi
gastrointerstinal yang normal tidak memberikan keuntungan apapun.
Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-SMZ dapat mengalami
efek yang merugikan dengan insiden tinggi yang tidak lazim terjadi,
seperti demam, ruam, leukopenia, trombositopenia dengan ganggua
fungsi renal. Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan
sebagai preparat alternative untuk melawan PCP. Jika terjadi efek
yang merugikan atau jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan
klinis ketika diobati dengan TMP-SMZ, petugas kesehatan dapat
merekomendasikan pentamidin.

b. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog
sintetik somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi diare yang
berat dan kronik. Konsentrasi reseptor somatosin yang tinggi
ditemukan dalam traktus gastrointerstinal maupun jaringan lainnya.
Somatostain akan menghambat banyak fungsi fisologis yang
mencangkup motalisis gastrointerstinal dan sekresi-interstinal air
serta elektrolit.
c. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat
beragamnya gejala dan sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya
adalah untuk mengurangi gejala dengan memperkecil ukuranlesi
pada kulit, mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan
dengan edema serta ulserasi, dan mengendalikan gejala yang
berhubungan dengan lesi mukosa serta organ viseral. Hingga saat ini,
kemoterapi yang paling efektif tampaknya berupa ABV (Adriamisin,
Bleomisin, dan Vinkristin)
d. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah
disetujui oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat preparat
tersebut adalah; Zidovudin, Dideoksinosin , dideoksisitidin dan
Stavudin. Semua obat ini menghambat kerja enzim reserve
transcriptase virus dan mencegah virus reproduksi virus HIV dengan
cara meniru salah satu substansi molekuler yang digunakan virus
tersebut untuk membangun DNA bagi partikel-partikel virus baru.
Dengan mengubah komponen struktural rantai DNA, produksi virus
yang baru akan dihambat.
e. Perawatan pendukung
Pasien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang
menurun sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV
memerlukan banyak macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi
mungkin merupakan tindakan sederhana seperti membantu pasien
dalam mendapatkan atau mempersiapkan makanannya. Untuk pasien
dengan gangguan nutrisi yang lanjut karena penurunan asupan
makanan, sindrome perlisutan atau malabsobsi saluran cerna yang
berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan dalam pemberian
makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat
mual, Vomitus dan diare hebat kerapkali memerlukan terapi
pengganti yang berupa infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit
yang berkaitan dengan sarkoma kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan
imobilisasi ditangani dengan perawatan kulit yang seksama dan
rajin; perawatan ini mencangkup tindakan membalikkan tubuh
pasien secara teratur, membersihkan dan mengoleskan salep obat
serta menutup lesi dengan kasa steril.
PATHWAY

Hubungan seks dengan ganti-ganti Darah yang Tertusuk jarum Ibu hamil
pasangan atau dengan yang terinfeksi terinfeksi HIV bekas penderita menderita HIV
HIV HIV

Virus masuk ke dalam tubuh lewat luka berdarah


Sperma terinfeksi masuk ke dalam
tubuh pasangan lewar membran
mukosa vagina, anus yang lecet
atau luka Virus masuk ke dalam peredaran darah dan invasi sel target herpes

Thelper/CD4+ makrofag Sel B

Terjadi perubahan pada structural sel akibat transkripsi RNA virus +


DNA sel sehingga terbentuknya provirus

Sel penjamu ( T helper, limfosit B, makrofag) mengalami kelumpuhan

System kekebalan tubuh turun

Infeksi oportunistik

Sistem GIT Integumen Sistem reproduksi System respirasi System neurologi

Herpes zoster + Kandidiasis Demam, batuk kriptococus


Virus HIV+
Herpes simpleks non produktif
kuman closidium,
candida Ulkus genital Meningitis
Dermatitis MK : kriptococus
Hipertermi
Menginvasi Bersihan jalan
mukosa Ruam, bersisik, napas tidak Perubahan status
saluran cerna kulit kering, efektif meningeal, kejang,
mengelupas Gangguan pola kaku kuduk,
napas kelemahan, mual,
kehilangan nafsu
Peningkatan Psoriasis makan, vomitus,
peristaltik demam, pusing

MK :
Diare Gangguan
integritas kulit MK :
Risiko cedera
MK : Defisit nutrisi
Diare Hipovolemia
Hipovolemi Intoleransi
Defisit nutrisi aktivitas
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin, status kawin,
agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis, No. MR
2. Keluhan utama
Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan manifestasi respiratori
ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan utama lainnya ditemui
pada pasien HIV AIDS yaitu, demam yang berkepanjangan (lebih dari
3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan berulang maupun terus
menerus, penurunan berat badan lebih dari 10%, batuk kronis lebih
dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan tenggorokan disebabkan oleh
jamur Candida Albicans, pembengkakan kelenjer getah bening
diseluruh tubuh, munculnya Harpes zoster berulang dan bercak-
bercak gatal diseluruh tubuh.
3. Riwayat kesehatan sekarang
Dapat ditemukan keluhan yang biasanya disampaikan pasien HIV
AIDS adalah : pasien akan mengeluhkan napas sesak (dispnea) bagi
pasien yang memiliki manifestasi respiratori, batuk-batuk, nyeri dada
dan demam, pasien akan mengeluhkan mual, dan diare serta
penurunan berat badan drastis.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien pernah dirawat karena penyakit yang sama. Adanya
riwayat penggunaan narkotika suntik, hubungan seks bebas atau
berhubungan seks dengan penderita HIV/AIDS, terkena cairan tubuh
penderita HIV/AIDS.
5. Riwayat kesehatan keluarga
6. Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya anggota keluarga yang
menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan dengan adanya orang
tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut juga dilakukan pada
riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga bekerja di tempat
hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial)
B. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
1. Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan menglami perubahan atau
gangguan pada personal hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti
pakaian, BAB dan BAK dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien
kesulitan melakukan kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung
dibantu oleh keluarga atau perawat.
2. Pola Nutrisi
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan nafsu
makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan mengalami
penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu singkat (terkadang
lebih dari 10% BB).
3. Pola Eliminasi
Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai mucus
berdarah.
4. Pola Istirahat dan tidur
Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola istirahat dan tidur mengalami
gangguan karena adanya gejala seperi demam dan keringat pada
malam hari yang berulang. Selain itu juga didukung oleh perasaan
cemas dan depresi pasien terhadap penyakitnya.
5. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas dan latihan mengalami
perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat melakukan aktifitasnya
seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka yang menarik diri dari
lingkungan masyarakat maupun lingkungan kerja, karena depresi
terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh yang lemah.
6. Pola presepsi dan konsep diri
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami perasaan marah, cemas,
depresi, dan stres.
7. Pola sensori kognitif
Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami penurunan pengecapan,
dan gangguan penglihatan. Pasien juga biasanya mengalami penurunan
daya ingat, kesulitan berkonsentrasi, kesulitan dalam respon verbal.
Gangguan kognitif lain yang terganggu yaitu bisa mengalami
halusinasi.
8. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi perubahan peran yang
dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu pasien merasa malu
atau harga diri rendah.
9. Pola penanggulangan stress
Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien akan mengalami cemas,
gelisah dan depresi karena penyakit yang dideritanya. Lamanya waktu
perawatan, perjalanan penyakit, yang kronik, perasaan tidak berdaya
karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain-lain, dapat
menyebabkan penderita tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang kontruksif dan adaptif.
10. Pola reproduksi seksual
Pada pasien HIV AIDS pola reproduksi seksualitas nya terganggu
karena penyebab utama penularan penyakit adalah melalui hubungan
seksual.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
12. Pada pasien HIV AIDS tata nilai keyakinan pasien awal nya akan
berubah, karena mereka menggap hal menimpa mereka sebagai
balasan akan perbuatan mereka. Adanya perubahan status kesehatan
dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi nilai dan kepercayaan
pasien dalam kehidupan pasien, dan agama merupakan hal penting
dalam hidup pasien.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
2. Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi
penurunan tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
3. Vital sign :
TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal
Nadi : Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat
Pernafasan : Biasanya ditemukan frekuensi pernafasan
meningkat
Suhu :Biasanya ditemukan Suhu tubuh menigkat karena
demam.
4. BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB)
TB : Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
5. Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
6. Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik,
pupil isokor, reflek pupil terganggu,
7. Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
8. Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-
bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
9. Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer
getah bening
10. Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
11. Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada
pada pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul),
sesak nafas (dipsnea).
12. Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
13. Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda
lesi (lesi sarkoma kaposi)
14. Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun,
akral dingin.
D. Diagnosa Keperawatan
Menurut (SDKI DPP PPNI, 2017) diagnosa yang mungkin muncul pada
pasien dengan HIV/AIDS diantaranya :
1. D.0001 Bersihan jalan napas tidak efektif b.d proses infeksi (produksi
sputum meningkat)
2. D.0005 Pola napas tidak efektif b.d gangguan neurologis, kecemasan,
depresi pusat pernapasan, hambatan upaya napas
3. D.0019 Defisit Nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolisme (akbat
infeksi)
4. D. 0020 Diare b.d infeksi
5. D.0023 Hipovolemia b.d kehilangan cairan aktif
6. D.0034 Risiko Hipovolemia b.d kehilangan volume cairan aktif,
kehilangan berlebihan melalui diare, berat badan ekstrem, faktor yang
mempengaruhi kebutuhan status cairan: hipermetabolik
7. D.0129 Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan perubahan
status nutrisi, factor mekanis, perubahan sirkulasi
8. D.0130 Hipertermi berhubungan dengan penyakit, peningkatan laju
metabolisme
9. D.0142 Risiko Infeksi d.d peningkatan paparan organime pathogen
E. Intervensi Keperawatan

No. DX Keperawatan Standar Luaran Intervensi


1. D.0001 Bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1.01006 Latihan Batuk Efektif
napas tidak efektif b.d keperawatan …x24 jam diharapkan Observasi
proses infeksi TB masalah pasien teratasi dengan luaran 1. Identifikasi kemampuan batuk
(produksi sputum L.01001 Bersihan jalan napas 2. Monitor adanya retensi sputum
meningkat) meningkat dengan kriteria hasil Terapeutik
1. Batuk efektif meningkat 1. Atur posisi semi fowler atau fowler
2. Produksi sputum cukup menurun 2. Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
3. Frekuensi napas membaik 3. Buang secret pada tempat sputum
4. Pola napas membaik Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
2. Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4
detik dtahan selama 2 detik kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mecucu selama 8 detik
3. Anjurkan tarik napas dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas
dalam yang ke-3
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektorat, jika perlu
2. D.0019 Defisit Nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1.03119 Manajemen Nutrisi
b.d peningkatan keperawatan ....x24 jam diharapkan Observasi
kebutuhan metabolisme L.03030 Status Nutrisi membaik 1. Identifikasi status nutrisi
dengan kriteria hasil 2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis makanan
(akbat infeksi)
1. Porsi makan yang dihabiskan cukup 3. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
meningkat 4. Monitor asupan makanan
2. Nafsu makan membaik Terapeutik
3. Berat badan cukup membaik 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan jika perlu
4. Membrane mukosa membaik 2. Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik
jika asupan oral dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan jika
perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan jika perlu
3. D. 0020 Diare b.d Eliminasi Fekal L.04033 Manajemen Diare I.03101
infeksi Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 3x24 jam 1. Identifikasi penyebab diare
diharapkan eliminasi fekal (L.04033) 2. Identifikasi riwayat pemberian makanan
membaik dengan kriteria hasil : 3. Monitor warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja
1. Konsistensi feses membaik 4. Monitor tanda dan gejala hypovelemia
2. Frekuensi defekasi membaik 5. Monitor jumlah pengeluaran diare
3. Peristaltic usus membaik
Terapeutik
1. Berikan asupan cairan oral
2. Berikan cairan intravena , jika perlu
3. Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap
dan elektrolit
4. Ambil sampel feses untuk kultur, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
2. Anjurkan menghindari maknaan pembentuk gas, pedas
dan mengandung laktosa
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat antimotilitas
2. Kolaborasi pemberian obat antispasmodic / spasmolitik
Kolaborasi pemberian obat pengeras feses
4. D.0023 Hipovolemia Setelah dilakukan dilakukan tindakan Manajemen Hipovolemia 1.03116
b.d kehilangan cairan keperawatan selama 3x24 jam Observasi
aktif diharapkan L.03028 Status Cairan - Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi
membaik dengan kriteria hasil : nadi meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah
- Turgor kulit meningkat menurun, turgor kulit menurun, membrane mukosa
- Berat badan meningkat kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat,
- Intake cairan membaik haus, lemah)
- Suhu tubuh membaik - Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
- Hitung kebutuhan cairan
- Berikan asupan cairan oral
Edukasi
- Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
- Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. NaCl,
RL)
5 D.0130 Hipertermia Setelah dilakukan dilakukan tindakan Manajemen Hipertermia 1.15506
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 jam Observasi
peningkatan laju diharapkan termoregulasi membaik - Identifikasi penyebab hipertermia (mis. Dehidrasi,
metabolism ditandai dengan kriteria hasil : terpapar lingkungan panas, penggunaan inkubator)
dengan suhu tubuh - Menggigil menurun - Monitor suhu tubuh
diatas nilai normal, - Kulit merah menurun - Monitor komplikasi akibat hipertermia
kulit teraba hangat, - Pucat menurun Terapeutik
takikardi, kulit merah. - Takikardi menurun - Sediakan lingkungan yang dingin
- Suhu tubuh membaik - Longgarkan atau lepaskan pakaian
- Suhu kulit membaik - Basahi dan kipasi permukaan tubuh
- Berikan cairan oral
- Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika
hyperhidrosis (keringat berlebih)
- Lakukan pendinginan eksternal (mis. Selimut
hipotermia atau kompres dingin pada dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena,
jika perlu
6. D.0142 Risiko Infeksi Setelah dilakukan intervensi 1.14539 Pencegahan Infeksi
d.d peningkatan keperawatan …x24 jam diharapkan Observasi
paparan organime L.14137 Tingkat Infeksi menurun 1. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan sistemik
patogen dengan kriteria hasil Terapeutik
1. Demam menurun 1.Berikan perawatan pada bagian yang berisiko infeksi
2. Kebersihan badan meningkat 2.Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
3. Produksi sputum menurun dan lingkungan pasien
4. Kadar sel darah putih membaik 3.Perhatika teknik aseptic pada pasien berisiko tinggi.
L.14128 Kontrol Risiko meningkat Edukasi
dengan kriteria hasil 1.Jelaskan tanda dan gejala infeksi
1. Kemampuan melakukan strategi 2.Ajarkan cara cuci tangan dengan benar
control risiko meningkat 3.Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
2. Kemampuan mengidentifikasi 4.Anjurkan meningkatkan asupan cairan
faktor risiko meningkat Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotic kalau perlu
DAFTAR RUJUKAN

Bararah dan Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional Jilid 2. Prestasi Pustakaraya.
Heri. (2012). Asuhan Keperawatan HIV/AIDS. Pustaka Media.
Murma, R. D. (1997). HIV : Manual untuk Tenaga Kesehatan. EGC.
Nursalam dan Kurniawati. (2011). Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS. Salemba Medika.
SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. DPP PPNI.
Sofro MAU, A. D. (2013). ewaspadaan universal dalam menangani penderita
HIV/AIDS. In: 5 Menit Memahami 55 Problematika Kesehatan. D-Medika.
Sylvia dan Wilson. (2012). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Vol 1 (6rd ed). EGC.

Anda mungkin juga menyukai