Puritan merupakan salah satu sikap yang biasa ditemukan di kalangan penganut
suatu agama. Tanpa terkecuali yang menganut ajaran Islam. Di sini harus dibedakan antara
Islam dan yang sikap orang yang beragama Islam. Islam sebagai agama yang menjadikan al-
Qur’an dan Sunnah sebagai teks sumber yang suci, maka penafsiran dan pemahaman
terhadap teks tersebut tidak terlepas dari keberagaman seorang Muslim. Dalam pemahaman
tersebut ada yang bersifat tekstual dan kontekstual. Dalam hal ini, puritanisme lebih identic
dengan tekstual. Lalu, apakah yang disebut puritan? Kelompok manakah yang lebih tepat
disebut puritan? Pada tulisan pendek ini akan dikemukakan dua persoalan tersebut.
Pengistilahan Puritan
Pemaknaan terhadap term “puritan” dapat dikembalikan kepada akar katanya. Ini
diungkapkan dengan baik oleh Joel R. Breeke dan Randall J. Pederson. Dua tokoh ini
mengembalikan makna akar kata puritan (pure) dari bahasa Yunani, yaitu katharos. Dalam
bahasa Latin “orang yang puritan” disebut dengan catharus atau cathari. Dalam hal ini, istilah
puritan diidentikkan oleh dua tokoh ini kepada sesuatu yang berkonotasi negatif. Ini adalah
sebutan yang biasa dialamatkan kepada pelaku penyimpangan agama pada abad
pertengahan Masehi di Eropa.1
Pandangan tersebut berbeda dengan John Coffey dan Paul C. H. Lim yang lebih
cenderung melihat sisi positif fenomena puritan. Dua tokoh ini menjelaskan bahwa
puritanisme merupakan salah satu aliran Protestan reformis yang lebih tepat disejajarkan
dengan gereja Calvinic dibandingkan Lutherian. Mereka juga mengatakan bahwa
puritanisme di Gereja Inggris mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Gerakan ini
memperoleh posisi yang dihormati sebagai Gereja Reformis pada periode kepemimpinan
Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) yang memberikan ruang bagi perkembangan mereka. 2
Semenjak masa itu, gerakan pembaharuan sering diidentikkan dengan puritan.
Ini diperkuat oleh Randall C. Gleason dan Kelly M. Kapic yang juga menolak
pengindentikan puritan kepada hal-hal negatif, yaitu sebagai sekte Protestan yang tidak
toleran. Mereka berpendapat bahwa puritan lebih tepat diartikan sebagai gerakan
sekelompok orang yang memiliki karakter tersendiri yang khas. Karakter tersebut
menunjukkan kecenderungan politik, kegerejaan, dan pengamalan keagamaan. Randall C.
Gleason dan Kelly Kapic menyebutkan bahwa mereka mempunyai tujuh karakter utama. 3
1 Joel R. Breeke dan Randall J. Pederson, “Preface” dari Meet the Puritans, 14.
2 John Coffey dan Paul C.H. Lim, Cambridge Companion of Puritanism (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008), 2;Joel R. Breeke dan Randall J. Pederson, “Preface” dari Meet The Puritans (Michigan: Reformation
Heritage Books, 2007), 14; Randall C. Gleason dan Kelly M. Kapic (ed.), “Introduction” dari The Devoted Life: An
Invitation to the Puritan Classics (Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2004), 17; John Coffey,
“Puritanism and Liberty Revisited: The Case for Torelation in The English Revolution”, The Historical Journal,
vol 41, no. 4 Dec. 1998: 961-985; Errol Hulse, “Story of the Puritans”, Reformation and Revival, A Quarterly
Journal for Church Leadership, V. 5, No. 2, Spring 1996: 16.
3 Randall C. Gleason dan Kelly M. Kapic (ed.), “Introduction” dari The Devoted Life, 17.
Dua di antaranya sangat mirip dengan karakter utama gerakan puritan di dunia Islam, yaitu
kembali secara total kepada Kitab Suci dan muncul sebagai gerakan kebangkitan (revival
movement).4
Secara filosofis, James L. Peacock meminjam teori Weber bahwa suatu pergerakan atau
pembaharuan tidak akan mampu dijalankan tanpa perubahan spiritual yang sanggup
mengaplikasikan suatu pemahaman keagamaan kepada tindakan pelaku. Dalam hal ini,
dapat dilihat dari gerakan reformasi keagamaan yang dilakukan oleh Protestan pada abad
ke-16 dan ke-17 sebagaimana disinggung sebelumnya. Puritan dalam pandangan Weber,
digerakkan oleh doktrin dalam diri seseorang yang mendorong untuk memberikan teror
siksaan agar aksinya dapat dirasionalisasikan dalam metode lanjutan dan gerakan
berdasarkan pemikirannya sendiri, sehingga berujung kepada kemenangan Tuhan. Semua
itu merupakan usaha mendemonstrasikan bahwa dirinya adalah hamba ‘pilihan’. 5
James L. Peacock menambahkan bahwa Weber berpandangan tentang seorang Puritan
sebagai sosok yang akan ‘mengamputasi’ kebiasaannya. Bahkan ia akan mempurifikasi ritual
yang tidak rasional, aesthetic, kosmologis, dan struktur sosial.6 James L. Peacock menilai
bahwa reformis yang ia identikkan dengan Puritan di Asia Tenggara mengekspresikan
prinsip-prinsip tawḥīd. Tetapi mereka tidak langsung menunjukkan korelasi antara
keimanan dengan pola tradisi pada awal tindakan dan tekanan psikologis. James L. Peacock
berkesimpulan bahwa reformasi keagamaan lebih sering terjadi karena diasiosasikan
dengan rasionalitas psikologis. Ini kemukakan berdasarkan hasil pengamatannya terhadap
beberapa organisasi keislaman yang terdapat di tiga wilayah yaitu Yogyakarta, Singapura,
dan Kedah. Secara teologis, seorang reformis lebih cenderung memahami teks-teks suci
secara langsung dengan analisa pribadi. James L. Peacock menyebutnya sebagai penekanan
tekstualitas (scripturalist) dari seorang pembaharu.7
Di sisi lain, kebenaran pandangan ini diragukan oleh Joel R. Breeke dan Mark Jones.
Mereka mengatakan bahwa seharusnya tidak ada pemaksaan kata “pembaharuan” terhadap
puritanisme. Dalam hal ini, mereka memberikan beberapa sampel, seperti Richard Baxter
(1691 M.) adalah tokoh puritan. Namun Richard Baxter tidak melakukan pembaharuan
terhadap ajaran William Perkins (1602 M.), Thomas Goodwin (1967 M.), dan John Owen
(1683 M.).8
Berbeda dengan mereka, John Brown (1922 M.) seorang tokoh di awal abad
keduapuluh mempunyai pandangan yang berbeda dalam memahami puritan. Ia juga sepakat
dengan mengatakan bahwa pada abad keenambelas, puritan dipahami sebagai gerakan
pembaharuan dalam Protestan. Adapun pada abad ketujuhbelas menjadi sebuah partai yang
4 Atanas Panovski, “The Spread of Islamic Extremism in the Republic of Macedonia” (Monterey,
Books, 2012), 6.
memperjuangkan hak dan kebebasan dalam menghadapi tirani kerajaan. 9 Ini
mengindikasikan bahwa gerakan puritan tidak hanya melakukan pemurnian dalam ranah
keagamaan, tapi juga merambah ke ranah politik. Kenyataan serupa terjadi pada gerakan
puritan di dalam Islam.
Berdasarkan perbedaan ini, Brian H. Cosby lebih cenderung memahami bahwa
pendefinisian dan pengidentikkan puritan terhadap sesuatu hal, lebih relevan disebut
sebagai problem sejarah daripada problem teologi dan ritual. Ini disebabkan sejarawan lebih
cenderung berbeda memberikan deskripsi terhadap mereka tergantung perkembangan
zaman.10 Terlepas dari perdebatan tersebut, semua sejarawan sepakat bahwa puritanisme
di dunia Kristen terjadi pada abad keenambelas sampai ketujuhbelas Masehi. 11
Kurzman dan Browers menilai bahwa gerakan purifikasi yang dilakukan di Protestan
memang sangat identik dengan gerakan Wahhābī. Dalam menolak sesuatu yang dianggap
menyimpang, seperti anti menghias masjid dan bangunan di atas kubur, baik Protestan
maupun Wahhābī pada dasarnya mempunyai kecenderungan yang sama. Oleh karena itu,
Kurzman dan Browers tidak keberatan jika persamaan antara dua gerakan tersebut disebut
sebagai puritan. Tetapi, perbedaan keduanya adalah dalam merealisasikan pembaharuan
tersebut. Wilfred Scawn Blunt (1922 M.) sebagaimana dikutip Kurzman dan Browers,
pernah mengatakan bahwa pergerakan Lutherian atau Protestan gagal dalam mereformasi
gereja, sedangkan pergerakan unitarian yang dilakukan Muhamad Ibn Abd al-Wahhab
berhasil merealisasikannya di kalangan Muslim. 12 Atas dasar inilah, Wahhābī atau
belakangan lebih dikenal dengan Salafi karena lebih identik dengan puritanisme.
Di samping itu, pandangan yang sangat kontra juga ditemukan pada salah seorang
penulis Turki yaitu, Ziya’ Gokalp. Ia mengatakan bahwa gerakan purifikasi atau dalam
sebutan lain disebut sebagai Lutherian yang ada di kalangan Kristian justru dipengaruhi oleh
peradaban dan agama Islam. Ziya’ Gokalp beralasan bahwa ini dapat dibuktikan dari
penetrasi Islam ke wilayah Eropa pada masa-masa itu.13
Pandangan ini dinilai tidak benar oleh Kurzman dan Browers dengan
mempertimbangkan pemikiran Jamāl al-Dīn al-Afghānī (1897 M.). Tokoh pan-Islamisme ini
dianggap terinspirasi dengan Lutherian di kalangan Kristen. Indikasi tersebut terlihat dari
ungkapannya yang mengatakan bahwa masyarakat Muslim membutuhkan sosok Luther,
9 John Brown, The English Puritans (Ross-shire, GB: Christian Focus Publications. 1998), 15. Dalam
cetakan pertama diterbitkan oleh Cambridge University Press. John Brown, The English Puritans (Cambridge:
Cambridge University Press, 1910), 2.
10 Brain H. Cosby, “Toward a Definition of ‘Puritan’ and ‘Puritanism’: A Study in Puritan Historiography”,
Pederson, “Preface” Meet the Puritans, 1; Randall C. Gleason and Kelly M. Kapic, “Who Were the Puritans?” The
Devoted Life, 17; Peter Lake, “Defining Puritanism: Again?” Puritanism: Trans-Atlantic Perspectives on a
Seventeenth-Century Anglo-American Faith (Boston: Massachusetts Historical Society, 1993), 3-29; and John
Spurr, English Puritanism 1603-1689 (London: Macmillan, 1998), 1-27.
12 C. Kurzman dan M. Browers, An Islamic Reformation (Lexington Books: Lanham, Boulder, New York,
Essay of Ziya’ Gokalp, trans. Nezzay Berkes (London: Goerge Allen and Unwin, 1952), 222.
sehingga dapat melakukan pembaharuan. Dalam ungkapan lain al-Afghānī berharap dirinya
menjadi sosok yang disamakan dengan Luther. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ḥabīb
Allāh Pur-Rizá (1925 M.) dari kalangan Shī‘ah Iran. Ḥabīb Allāh Pur-Rizá menilai bahwa
Shī‘ah membutuhkan sosok Luther dan Calvin yang dapat melakukan pembaharuan di
kalangan Muslim Shī‘ah.14
Berdasarkan dinamika pendapat di atas, puritan memang lebih tepat digunakan karena
sering diidentikkan dengan semangat purifikasi, tektualitas, dan romantisisme ke masa awal
dari kemunculan suatu ajaran. Ungkapan ini juga tidak selalu berkonotasi negatif, karena
Salafi—sebagai kelompok puritan—di beberapa sisi mempunyai hal-hal yang bersifat
positif. Dalam kajian ini, indikator-indikator tersebut sangat sesuai dengan realita Salafi, baik
di ranah teologis maupun hukum.
21 Ibn Qayyim, A‘lām al-Muwaqqi‘īn tahqiq: Ḥāmid al-Qafī( Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1973); Ibn Qayyim ,
Ighāthat al-Lahfān tahqiq: Ṭaha ‘Abd al-Ra’ūf Sa’d (Beirut: Dār al-Jīl, 1973); Ibn Qayyim, al-Ṣawā‘iq al-Mursalah
tahqiq: ‘Alī al-Dakhīl Allāh (Riyad: Dār al-‘Āṣimah, 1998).
22 Rashīd Riḍā, “Su’āl wa-Jawāb” Majmū‘at Majallat al-Manār, Edisi 21 Dhū al-Qa‘dah 1315/30 Maret
1898, I/77.
23 Muḥammad Zāhid al-Kawtharī, Maqālat al-Kawtharī (Kairo: Dār al-Salām, 2006), 282.
berbeda dengan Muḥammad ‘Abduh yang cenderung kepada Sunni Ash‘arīyah sebagaimana
layaknya ulama di al-Azhar.24 Corak pembaharuan yang dipopulerkan oleh Muḥammad
‘Abduh dan Rashīd Riḍā belakangan dipetakan oleh Henry Lauzère sebagai modernist
Salafism atau Salafi modernis. Meskipun Henry Lauzère menyadari bahwa istilah ini tidak
lagi relevan untuk Salafi kontemporer, tetapi semangat reformis mereka layak disebutkan
dalam sejarah fenomena Salafi di akhir abad kesembilan belas sampai pertengahan abad
keduapuluh.25
Belakangan, term salaf dipopulerkan kembali oleh ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz (1990 M.), al-
Albānī (1991), Rabī‘ Ibn Hādī al-Madkhālī, dan lainnya. Dalam hal ini, ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz
pernah memberikan jawaban terhadap seseorang yang tidak senang dirinya atau jamaahnya
disebut sebagai Wahhābī. ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz mengatakan bahwa Wahhābī merupakan
penisbatan kepada salah seorang tokoh pembaharu dakwah Islam di jazirah Arab, yaitu
Muḥammad Ibn ‘Abd al-Wahhāb. Ia tidak menilai penyebutan tersebut sebagai sebuah
ejekan. Apabila diperhatikan kronologis sejarahnya, semenjak ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz
mempopulerkan bahwa dirinya adalah bagian dari Salafi dan Wahhābī, maka sangat sulit
untuk membedakan dua istilah ini. Ini mengindikasikan bahwa tokoh Salafi tiada lain adalah
Wahhābī. Sikap ini dinilai oleh Mark Sedgwik realita terkini dari Salafi. Realita tersebut
adalah kecenderungan menjadi kelompok atau komunitas tertentu. 26 Secara tidak langsung
itu mengindikasikan pemisahan dari mainstream. Dalam pemetaan Henry Lauzière, Salafi
dengan kategori ini dinilai berbeda dengan gerakan pembaharuan Muḥammad ‘Abduh dan
Rashīd Riḍā yang cenderung modernis. Adapun Salafi dalam kategori ini dilabel oleh Henry
Lauzière dengan ungkapan purist Salafi atau Salafi murni.27
Tidak jauh berbeda dengan ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz, koleganya yang berasal dari Albania
juga mempopulerkan pendapatnya sebagai Salafi dan Wahhābī. Tokoh tersebut adalah Nāṣir
al-Dīn yang atau populer dengan al-Albānī. Bahkan, al-Albānī dikenal lebih tegas dan keras
daripada ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz. Ketegasannya terlihat dari karya-karya al-Albānī yang selalu
menyerang dan tidak jarang mencaci rival pemikirannya karena dianggap tidak sesuai
dengan generasi terdahulu. Perbedaan lainnya dengan ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz adalah
popularitas al-Albānī sebagai peneliti Hadis.28 al-AlBānī dipercaya telah mencapai keilmuan
tertinggi dalam ranah Hadis, sehingga penilaiannya terhadap suatu riwayat selalu dijadikan
24 Status teologi Muḥammad ‘Abduh dan muridnya ini menjadi lebih rumit lagi saat dibicarakan oleh
Harun Nasution yang menilainya cenderung kepada rasionalitas Mu‘tazilah. Harun Nasution sangat terobsesi
untuk mempopulerkan Muḥammad ‘Abduh sebagai teolog Mu‘tazilah. Meskipun kecenderungan tersebut
sesuai dengan sosok Muḥammad ‘Abduh, tetapi menyebutnya sebagai seorang Mu‘tazilah adalah asumsi yang
berlebihan. Ini disebabkan karya-karya Muḥammad ‘Abduh masih “setia” dengan ajaran Sunni. Hal tersebut
terlihat dari pendefinisiannya mengenai ilmu tawḥīd, konsep sifat, pujian terhadap Ash‘arī sebagai
penyeimbang wahyu dan akal, teori takdir dan kasb, mu’jizat dan keramat, serta aspek lainnya sangat sesuai
dengan manhaj al-Azhar yang berhaluan Ash‘arīyah. Muḥammad ‘Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Kitāb
al-‘Arabī, 1966), 5, 11, 43, 206, dan lainnya. Muḥammad ‘Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Kutub al-
‘Arabī, 1966), 5.
25 Henry Lauzère, The Making of Salafism; Islamic Reform in the Twentieth Century (New York: Colombia
Daftar Pustaka
‘Abd Allāh Ibn ‘Abd al-Ḥamīd al-Atharī, al-Wajīz fī ‘Aqīdat al-Salaf al-Ṣaliḥ (Riyad: Wizārat al-Shu’ūn
al-Islāmīyah wa-al-Awqāf wa-al-Da‘wah wa-al-Irshād Saudi Arabia, 1422).
Al-Albānī, al-Tawassul (Beirut: al-Maktab al-Islāmī, 1986).
Al-Bukhārī, al-Jāmi‘ al-Ṣaḥīḥ tahqiq: Muṣṭafá Dīb al-Bughā (Beirut, Yamamah: Dār Ibn Kathīr, 1987)
C. Kurzman dan M. Browers, An Islamic Reformation (Lexington Books: Lanham, Boulder, New York,
Toronto, Oxford), t.t., 2.
Errol Hulse, “Story of the Puritans”, Reformation and Revival, A Quarterly Journal for Church Leadership,
V. 5, No. 2, Spring 1996.
Henry Lauzère, The Making of Salafism; Islamic Reform in the Twentieth Century (New York: Colombia
University Press, 2016).
29 ‘Abd Allāh Ibn ‘Abd al-Ḥamīd al-Atharī, al-Wajīz fī ‘Aqīdat al-Salaf al-Ṣāliḥ, 26.
30 Ibn al-Qayyim, al-Ṣawā‘iq al-Mursalah ‘alá al-Jahmīyah wa-al-Mu‘aṭṭilah tahqiq: ‘Alī Muḥammad al-
Dakhīl (Beirut: Dār al-‘Āṣimah, 1988), v. 1/296.
31 Richard E. Palmer, Hermeneutics, 79.
Ibn al-Qayyim, al-Ṣawā‘iq al-Mursalah ‘alá al-Jahmīyah wa-al-Mu‘aṭṭilah tahqiq: ‘Alī Muḥammad al-
Dakhīl (Beirut: Dār al-‘Āṣimah, 1988)
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, al-Durar al-Kāminah (Beirut: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, t.t.).
Ibn Qayyim, A‘lām al-Muwaqqi‘īn tahqiq: Ḥāmid al-Qafī( Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1973).
Ibn Qayyim, al-Ṣawā‘iq al-Mursalah tahqiq: ‘Alī al-Dakhīl Allāh (Riyad: Dār al-‘Āṣimah, 1998).
Ibn Qayyim ,Ighāthat al-Lahfān tahqiq: Ṭaha ‘Abd al-Ra’ūf Sa’d (Beirut: Dār al-Jīl, 1973).
Ibn Taymīyah, al-‘Aqīdah al-Iṣbahānīyah tahqiq: Ibrāhīm Sa‘īdī (Riyad: Maktabah al-Rushd, 1415 H.).
Ibn Taymīyah, Iqtiḍā ’al-Ṣirāṭ tahqiq: M. Ḥāmid al-Qāfī( Kairo: Maṭba‘ah al-Sunnah al-
Muḥammadīyah, 1369 H.).
Joel R. Breeke dan Randall J. Pederson, Meet The Puritans (Michigan: Reformation Heritage Books,
2007).
John Coffey dan Paul C.H. Lim, Cambridge Companion of Puritanism (Cambridge: Cambridge University
Press, 2008).
John Coffey, “Puritanism and Liberty Revisited: The Case for Torelation in The English Revolution”, The
Historical Journal, vol 41, no. 4 Dec. 1998
Mark Sedgwik, “Contextualizing Salafi” dalam Tidsskrift for Islamforskning – Sharia i praksis; Fatwa,
forbrug og feminisme, nr. 1 – 2010.
Muḥammad ‘Abduh, Risālat al-Tawḥīd (Kairo: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1966).
Muḥammad Zāhid al-Kawtharī, Maqālat al-Kawtharī (Kairo: Dār al-Salām, 2006).
Peter Lake, “Defining Puritanism: Again?” Puritanism: Trans-Atlantic Perspectives on a Seventeenth-
Century Anglo-American Faith (Boston: Massachusetts Historical Society, 1993)
Randall C. Gleason dan Kelly M. Kapic (ed.), The Devoted Life: An Invitation to the Puritan Classics
(Downers Grove, Illinois: InterVarsity Press, 2004).