Anda di halaman 1dari 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang “ Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media

Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai

Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135” Proses pemanasan dilakukan

pada temperatur 8000 C selama 60 menit, lalu proses quenching dengan

variasi media pendingin 100% air garam dan campuran 50% air garam :

50% oli, dan tempering pada temperatur 600 selama 45 menit. Hasil uji

komposisi kimia menunjukkan baja pegas daun termasuk baja karbon

sedang (C = 0,343%) dan chromium-vanadium steel (AISI 6135).Hasil uji

kekerasan raw material sebesar 42,27 HRc, pada media quenching 100%

air garam sebesar 34,27% HRc. Sementara pada media quenching

campuran 50% air garam : 50% oli sebesar 38,27 HRc. Hasil struktur

mikro pada sampel raw material menunjukkan fasa ferit dan perlit.

Sementara Quench-temper campuran 50% air garam : 50% oli terbentuk

fasa ferit, austenit sisa dan martensit temper yang lebih rapat dan

menyebar merata dibandingkan100% air garam. Anggun Mersilia, dkk

(2016)

Menurut penelitian tentang “Efek Suhu Pemanasan Terhadap Sifat

Mekanik Dan Struktur mikro” Variasi suhu pemanasan yang digunakan

adalah 850oC, 900oC dan 950oC. Proses tempering dilakukan pada suhu

200oC. Spesimen dibentuk mengikuti standar ASTM untuk pengujian

4
5

impak, kekerasan dan strukturmikro. Energi serap dan kekuatan impak

ditentukan dengan menggunakan mesin uji impak, dan kekerasan baja

diukur mengunakan mesin uji kekerasan Vickers. Selain itu, strukturmikro

dari baja juga telah dianalisa menggunakan mikroskop metalografi. Hasil

ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu pemanasan dan tempering

pada 200°C menurunkan nilai kekuatan impak dan penyerapan energi

baja; sebaliknya, kekerasan baja meningkat; karena fase austenit berubah

menjadi perlit dan sementit. Energi penyerapan dan kekuatan impak

tertinggi diperoleh dari spesimen yang dipanaskan pada suhu 850 oC.

Sementara itu, nilai kekerasan tertinggi diperoleh dari spesimen yang

dipanaskan pada suhu 950oC dengan tempering 200oC. Hasil ini

diharapkan dapat memberikan data dan informasi bagi para peneliti dan

industrialis dalam mengembangkan produk baja untuk berbagai aplikasi.

Nasmi Herlina Sari, dkk (2018)

Pada baja AISI 1045 dilakukan pengerasan (hardening) untuk

memperoleh sifat tahan aus dan kekerasan yang tinggi, dengan proses

heat treatment (perlakuan panas), yang dilanjutkan dengan proses

quenching, Kekerasan yang dicapai tergantung pada temperatur

pemanasan, holding time, dan laju pendinginan yang dilakukan pada

perlakuan panas. Kekerasan baja AISI 1045 yang dicapai pada proses

perlakuan panas dilanjutkan quenching agitasi dengan tebal sampel dan

volume air yang divariasikan, sehingga diperoleh kekerasan maksimum

pada volume air 10 liter dengan nilai kekerasan rata-rata 59,62 HRC,
6

sedangkan untuk nilai kekerasan rata-rata pada volume air 15 liter yaitu

58,56 HRC, untuk volume air 20 liter yaitu 57,62 HRC dan untuk volume

air 25 liter yaitu 58,37 HRC. Dari hasil kekerasan yang dihasilkan pada

masing-masing sampel berbeda-beda, hal ini disebabkan faktor lain yang

mempengaruhi terjadinya perbedaan kekerasan pada masing masing

sampel hasil proses laku panas yang dipengaruhi oleh tebal sampel dan

volume air quenching yang mempengaruhi. Agus Pramono, dkk (2011)

Dikutip dari penelitian sebelumnya “Analisa Pengaruh Variasi Media

Pendingin pada Proses Heat Treatment Metode Hardening-Tempering

Material Baja S45C terhadap Sifat Mekanik dan Struktur Mikro” terkait

pengaruh variasi media pendingin proses heat treatment terhadap sifat

mekanik dan struktur mikro dengan tiga variasi pendingin, air garam, air

kelapa, dan air radiator. Temperatur 865 ⁰C untuk proses hardening dan

465⁰C untuk proses tempering. kegiatan penelitian meliputi uji kekerasan

dan struktur mikro. Dari hasil penelitian menunjukan media pendingin air

garam proses hardening memiliki nilai kekerasan tertinggi 275,6Hv

sedangkan kekerasan terendah didapatkan pada media pendingin air

kelapa yang telah melakukan proses tempering dengan kekerasan

219,3Hv. Hal ini dipengaruhi oleh SOQ (Severity Of Quenching) atau

disebut kemampuan media pendingin, untuk air garam SOQ nilainya 5,0

dan untuk air kelapa di bawah 2,055. Sementara itu untuk struktur mikro

dapat diketahui media pendinginan air garam proses hardening memiliki

struktur yang lebih halus dibandingkan dengan spesimen pendinginan


7

yang lainnya. Sementara pada proses tempering, martensit berubah

menjadi ferrite sementite yang lebih halus dengan hasil kekerasan

269,3Hv. Aldi Wahyu Permana, dkk (2020)

B. Pengertian Baja

Baja adalah logam paduan dengan besi sebagai unsur dasar dan

karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja

berkisar antara 0.2% hingga 2.1% berat sesuai grade-nya. Fungsi karbon

dalam baja adalah sebagai unsur pengeras. Unsur paduan lain yang biasa

ditambahkan selain karbon adalah mangan (manganese), krom

(chromium), vanadium, dan nikel. Dengan memvariasikan kandungan

karbon dan unsur paduan lainnya, berbagai jenis kualitas baja bisa

didapatkan. Penambahan kandungan karbon pada baja dapat

meningkatkan kekerasan (hardness) dan kekuatan tariknya (tensile

strength), namun di sisi lain membuatnya menjadi getas (brittle) serta

menurunkan keuletannya (ductility). Pengaruh utama dari kandungan

karbon dalam baja adalah pada kekuatan, kekerasan, dan sifat mudah

dibentuk. Kandungan karbon yang besar dalam baja mengakibatkan

meningkatnya kekerasan tetapi baja tersebut akan rapuh dan tidak mudah

dibentuk. Murtiono Arief , ( 2012)


8

C. Definisi Baja Pegas Daun Bekas

Dengan sifat pegas yang elastis, pegas berfungsi untuk menerima

getaran atau goncangan roda akibat dari kondisi jalan yang dilalui dengan

tujuan agar getaran atau goncangan dari roda tidak menyalur ke bodi atau

rangka kendaraan, Biasanya shock absorber hanya memiliki seal dan

membutuhkan oli untuk bekerjanya, dan rangka asli dari pegas ialah besi

elastis. Beberapa tipe pegas yang digunakan pada sistem suspensi :

1. Pegas ulir (coil spring), dikenal juga dengan nama 'per keong',

jenis yang digunakan adalah pegas ulir tekan atau pegas ulir untuk

menerima beban tekan.

2. Pegas daun (leaf spring), umumnya digunakan pada kendaraan

berat atau niaga dengan sistem suspensi dependen.

3. Pegas puntir atau dikenal dengan nama pegas batang torsi

(torsion bar spring), umumnya digunakan pada kendaraan dengan

beban tidak terlalu berat.

Pegas daun adalah suatu komponen yang banyak di gunakan pada

peralatan kendaraan bermotor sebagai bagian dari sistem suspense

bersama untuk mendapatkan efisiensi dari daya lenting yang tinggi seperti

di tunjukan pada gambar 2.1 Komponen ini biasanya terdiri dari beberapa

pelat datar yang di jepit


9

Gambar 2.1 Baja Pegas Daun. M. Sakti Nur, (2018)

Tegangan pegas daun (leaf spring ) terjadi pada ujung yang di jepit,

pegas daun diharapkan terdefleksi secara teratur pada saat menerima

beban lunak (konstanta pegas kecil) diperlukan, maka dibuat dengan

keadaan memadai. Adapun fungsi pegas adalah memberikan gaya,

melunakan tumbukan dengan memanfaatkan sifat elastisitas bahannya,

menyerap dan menyimpan energy dalam waktu yang singkat dan

mengeluarkan kembali dalam jangka waktu yang lama, serta mengurangi

getaaran, Pada pegas, gaya F (N) dalam daerah elastic besarnya sama

dengan perkalian antara perpindahan titik gaya tangkap gaya F di kalikan

dengan konstanta K atau K merupakan fungsi di F di kalikan dengan

konstanta K, dalam hal ini dapat di lihat pada diagram pegas, dimana

pada sumbu mendatar di ukur perpindahan F (mm) pada sumbu fertikal

gaya F (N), luas yang terletak antara garis dan sumbu mendatar

merupakan kerja yang terhimpun dalam pegas yang di tegangkan, ketika

pegas mengendur, bukan garis penuh A yang di lalui, melaikan jenis


10

lengkungan yang putus putus, selisih kerja di ubah menjadi kalor sebagai

akibat dari gesekan bahan pegas. Indra Setiawan, M. Sakti Nur, (2018)

D. Baja Untuk Pisau Potong Plat

Pada dasarnya semua baja dapat digunakan sebagai bahan

pembuatan pisau yang membedakan adalah hasil akhir, kekuatan dan

ketahanannya pisau tersebut. Secara umum unsur-unsur paduan yang

terdapat dalam baja juga akan berpengaruh terhadap sifat keunggulan

pisau. R Edy Purwanto, (2016) Adapun material baja yang umum

digunakan sebagi berikut:

1. Baja Karbon Tinggi

Baja karbon tinggi mempunyai kandungan karbon 0.60 - 1.4 % C, baja

ini sangat keras, kuat namun keuletannya rendah. Baja karbon tinggi yang

digunakan biasanya telah dikeraskan dan temper seperti khususnya pada

sisi potong dari pisau yang membutuhkan sifat tahan aus (wear resistant).

Baja perkakas dan dies biasanya mengandung unsur paduan cromium,

vanadium, tungsten, dan molybdenum. Unsur paduan ini bersama dengan

karbon membentuk kombinasi yang mengakibatkan baja menjadi sangat

keras dan tahan aus wear resistant. Karena baja karbon tinggi sangat

keras, maka jika digunakan untuk produksi harus dikerjakan dalam

keadaan panas. biasanya digunakan untuk alat potong seperti gergaji,

pahat, kikir, pegas dan lain sebagainya. L.Siahaan, D Darius, (2019)


11

2. Baja Paduan

Baja paduan didefinisikan sebagai baja yang ditambahkan dengan satu

atau lebih unsur campuran seperti nikel, mangan, molidenum, kromium,

vanadium, dan volfram yang berguna untuk memperoleh sifat-sifat baja

yang dikehendaki seperti sifat kekuatan, kekerasan dan keuletannya.

Baja paduan mempunyai sifat mekanik yang lebih baik dari baja karbon

karena terdapat unsur paduan selain karbon dalam jumlah tertentu. Pada

baja paduan rendah (low alloy steel) total unsur paduannya antara 1% -

4%, sedangkan baja paduan tinggi (high alloy steel) total unsur paduan

lebih dari 5%. ASM Handbook, (1990)

Tabel 2.1 Beberapa material baja sebagai bahan pisau.

Komposisi %
JENIS
C Mg Cr Others
154 CM 1.05 0.5 14
420 0.15-0.6 1.0 12-14
420 HC 0.5-0.7 0.35-0.9 13.5
440A 0.6-0.75 1.0 16-18
440B 0.75-0.95 1.0 16-18

440C 0.95-1.20 0.40 17 0.50 V, 0.50


M
ATS34 1.05 0.4 14
0.7-0.8 1.0 13-14.5 0.1-0.25 V,
AUS-8 0.1-
0.3 M, 0.5 Ni
CPM-S30V 1.45 14 4 V, 2 M
CPM 440 V 2.15 0.4 17 5.5 V, 0.4 M
12

D-2 1.5 12 1.0, 1.0M

E. Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kekerasan Pisau

Kekerasan pada pisau sangat bergantung pada jenis baja yang

digunakan. Kekerasan tersebut ditentukan oleh komposisi unsur utama

dan unsur paduan serta presentase jumlah unsur tersebut dalam baja.

Kemudian jenis dan metode perlakuan panas yang tepat merupakan

faktor yang diberikan untuk mencapai kekerasan tersebut. Abdul Choliq,

(2021) .

1. Kadar Karbon

Kekerasan baja tergantung dari jumlah karbon yang terdapat dalam

baja, dimana semakin tinggi presentase karbonnya maka baja tersebut

semakin keras. Baja dengan kadar kabon rendah yaitu dibawa 0,25% C

sangat sulit untuk dikeraskan. Pada baja ini lebih sering dilakukan case

hardening atau penambahan kadar karbon, kemudian selanjutnya

dilakukan pengerasan. Namun berbeda halnya dengan baja paduan,

dimana terdapat kadar karbon sangat rendah namun karena tingginya

unsur paduan dalam baja tersebut, baja ini dapat secara langsung

dikeraskan quenching. Hal ini dapat dibuktikan pada diagram IT

ishotermal diagram dimana semakin kecil presentase kadar karbon maka

kurva transformasi akan bergeser ke arah kiri mendekati garis temperatur

dan temperatur Ms akan semakin tinggi, akibatnya nose kurva


13

transformasi semakin sulit untuk dihindari. Sebaliknya semakin mudah

untuk menghindari nose kurva transformasi apabila prosentase kadar

karbon semakin tinggi dan hasilnya struktur mikro martensit semakin

mudah untuk diperoleh. Sifat keras pada baja ditentukan oleh struktur

mikro martensit baja tersebut, yang diperoleh melalui laju pendinginan

yang lebih cepat dari CR (critical cooling rate) atau laju pendinginan tidak

masuk ke kurva transformasi. ASM Handbook, (1991)

Gambar 2.2 Hubungan kadar karbon dengan kekerasan. ASM Handbook

2. Unsur Paduan

Tujuan unsur paduan yang ditambahkan ke dalam baja adalah untuk

meningkatkan kemampuan baja untuk dikeraskan, kekuatan pada


14

temperatur normal, sifat mekanik antara temperatur rendah atau tinggi,

ketangguhan, tahan aus, tahan korosi, dan sifat magnetic. ASM Handbook

(1990)

a. Silikon (Si)

Silikon merupakan unsur paduan yang ada pada setiap baja dengan

jumlah kandungan lebih dari 0,4-1%. Silikon meningkatkan kelarutan

dalam matrik dan meningkatkan kekerasan setelah pendinginan. Silikon

mempunyai pengaruh menaikan kekerasan, kekuatan, kemampuan untuk

dikeraskan, tahan aus, ketahanan terhadap panas dan korosi. Amanto

(2013)

b. Mangan (Mg)

Unsur Mangan dalam proses pembuatan baja berfungsi sebagai

deoxider (pengikat O2) sehingga proses peleburan dapat berlangsung

baik. Pada diagram IT (isothermal digram) mangan akan menggeser kurva

ke kanan sehingga hardenability suatu baja semakin tinggi. Mangan

dalam baja antara 0.2-0.4%, lebih dari jumlah ini akan diperolah austenit

yang tidak stabil pada temperatur kamar dan dapat menyebapkan crack.

Mangan dalam baja dapat meningkatkan kedalaman pengerasan karena

membentuk karbida mangan (Mn3C) kekuatan, kemampuan ditemper dan

ketahanan aus. Amanto (2013)

c. Nikel (Ni)
15

Nikel memberi pengaruh sama seperti Mn yaitu menurunkan suhu kritis

dan kecepatan pendinginan kritis. Nikel membuat struktur butiran menjadi

halus sehingga menambah keuletan, kekuatan tahan karat dan tahan

listrik.

Amanto (2013)

d. Krom (Cr)

Unsur krom merupakan penstabil ferit, menurunkan temperatur Ms dan

Mf dan pembentuk karbida dalam senyawa kompleks. Karena persentase

krom dalam baja paduan kurang dari 2% maka atom-atom krom akan

menggantikan atom Fe dalam Fe3C, membentuk karbida-karbida seperti

Cr23C6 dan Cr7C3. Meningkatkan kekerasan, kekuatan, ketahanan aus,

kemampuan dikeraskan, ketahanan panas, kerak, dan karat. Amanto

(2013)

e. Vanadium (V) dan Wolfram (W)

Unsur vanadium dan wolfram membentuk karbida yang sangat keras

dan meningkatkan tahan aus pada baja, kemampuan potong dan daya

tahan panas, untuk pahat potong dengan kecepatan tinggi. Amanto (2013)

f. Molidenum (Mo)

Unsur paduan ini ditambahkan ke dalam baja dengan tujuan menaikan

hardenability bahkan dalam jumlah kecil 0.2-0.3% molidenum memberikan

efek kedalaman pengerasan yang baik. Molidenum terkadang dipadukan

dengan baja dalam ikatan bersama-sama Cr, Ni, dan V yang dapat
16

menghalangi pertumbuhan butir sehingga diperoleh butiran halus.

Meningkatkan kekuatan tarik, kekerasan, ketahanan panas, dan batas

lelah. Amanto (2013)

3. Heat Treatment (Perlakuan Panas)

Proses perlakuan panas (Heat Treatment) adalah proses mengubah

sifat logam dengan mengubah struktur mikronya melalui pemanasan dan

pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau tanpa merubah

komposisi kimia logam penyusunnya. Tujuan proses perlakuan panas

untuk menghasilkan sifat-sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat

logam akibat proses perlakuan panas dapat mencakup keseluruhan

maupun sebagian dari logam.

Heat Treatment  (perlakuan panas) ialah suatu perlakuan pada material

yang melibatkan  pemanasan dengan temperature rekristalisasi selama

periode waktu  tertentu dan pendinginan pada media pendingin seperti

udara, air, air  garam, oli dan solar yang masing-masing mempunyai

kerapatan pendinginan  yang berbeda-beda. Proses perlakuan panas

pada  dasarnya  terdiri  dari  beberapa  tahapan,  dimulai  dengan

pemanasan  sampai  ke  temperatur  tertentu,  lalu  diikuti  dengan 


17

penahanan  selama beberapa saat, baru kemudian dilakukan pendinginan

dengan kecepatan tertentu.

Tujuan dari  heat treatment adalah :

1.  Mempersiapkan material untuk pengolahan berikutnya.

2.  Mempermudah proses machining

3.  Mengurangi kebutuhan daya pembentukan dan kebutuhan energi.

4.  Memperbaiki keuletan dan kekuatan  material

5.  Mengeraskan logam sehingga tahan aus  dan kemampuan mesin

meningkat.

6.  Menghilangkan tegangan dalam.

7.  Memperbesar atau memperkecil ukuran butiran agar  seragam.

8.  Menghasilkan pemukaan  yang keras disekeliling inti yang ulet.

Suatu proses perlakuan panas dengan kondisi tidak setimbang

(non equilibrium) dengan laju pendinginan yang sangat cepat seperti air,

oli, dan larutan polimer sehingga struktur mikro yang diperoleh adalah

martensit. Hal ini dilakukan apabila sifat tahan aus dibutuhkan ada pada

material maka sifat kekerasan sangat menentukan.


18

Gambar 2.3 Daerah temperatur quenching. Agus Pramono (2011)

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa kekerasan sangat tergantung

pada komposisi kimianya terutama kadar karbonnya. Pada baja dengan

kadar karbon rendah kenaikan kekerasan yang diperoleh setelah proses

hardening tidak berarti, sehingga proses hardening hanya dilakukan pada

baja dengan kadar karbon tinggi. Kekerasan yang sangat tinggi dapat

diperoleh dengan melakukan proses laku panas untuk memperoleh

struktur martensit. Hardening dilakukan dengan memanaskan baja hingga

temperatur austenit, ditahan beberapa saat untuk memperoleh

keseragaman besar butir austenit lalu didinginkan dengan cepat pada

media pendingin yang sesuai dengan material baja, sehingga diperoleh

struktur mikro martensit. ASM Handbook, (1993)


19

Dari gambar 2.3 diatas untuk baja karbon rendah (low carbon steel)

dilakukan pendinginan dengan air. Baja karbon tinggi (high carbon steel)

dan baja paduan (alloy steel) biasanya digunakan oli sebagai media

pendinginan. Tingkat keberhasilan dari proses quenching adalah dengan

meminimalkan tegangan sisa, distorsi dan kemungkinan terjadinya

keretakan . Pendinginan yang terjadi pada proses quenching terjadi

secara non-equilibrium karena laju pendinginan yang sangat cepat

sehingga untuk memperoleh struktur yang sepenuhnya martensit maka

laju pendinginan harus lebih cepat laju pendinginan kritis (critical cooling

rate). Dengan laju pendinginan yang kurang dari CCR akan

mengakibatkan adanya sebagian austenit yang tidak bertransformasi

menjadi martensit tetapi menjadi struktur lain sehingga kekerasan

maksimum tidak akan tercapai. W ridha, (2017)

Hardening dilakukan untuk mendapatkan sifat tahan aus yang tinggi

dan kekuataan yang lebih baik pada bahan. Kekerasan yang ingin

didapatkan tergantung dari waktu penahan (holding time), perlakuan

pendinginan yang dilakukan, dan ketebalan sampel. Agar mendapat

kekerasan yang baik (martensit yang keras) dapat dilakukan dengan

pemanasan untuk mencapai struktur austenit. Apabila pada saat

pemanasan masih terdapat struktur lain maka setelah di quench akan

mendapatkan struktur yang tidak seluruhnya terdiri dari martensit (Dalil

dkk, 1999).

4. Quenching
20

Proses quenching melibatkan beberapa faktor yang saling

berhubungan. Pertama yaitu jenis media pendingin dan kondisi proses

yang digunakan, yang kedua adalah komposisi kimia dan hardenbility dari

logam tersebut. Hardenbility merupakan fungsi dari komposisi kimia dan

ukuran butir pada temperatur tertentu. Selain itu, dimensi dari logam juga

berpengaruh terhadap hasil proses quenching. W ridha, (2017)

1. Pendinginan tidak menerus

1. Jika suatu baja didinginkan dari suhu yang lebih tinggi dan

kemudian ditahan pada suhu yang lebih rendah selama waktu

tertentu, maka akan menghasilkan struktur mikro yang

berbeda. Hal ini dapat dilihat pada diagram Isothermal

Tranformation Diagram dibawah ini. Zainuri Anwar, (2021)

Gambar 2.4 Isothermal Tranformation Diagram.


Iman Saefuloh, 2014
21

Berikut beberapa penjelasan tentang diagram diatas :

2. Bentuk diagram tergantung dengan komposisi kimia terutama

kadar karbon dalam baja tersebut

3. Untuk baja dengan kadar karbon kurang dari 0.83% yang

ditahan suhunya dititik tertentu dan letaknya dibagian atas dari

kurva C, akan menghasilkan struktur perlit dan ferit.

4. Jika ditahan suhunya pada titik tertentu bagian bawah kurva C

tapi masih disisi sebelah atas garis horizontal, maka akan

mendapatkan struktur mikro Bainit (lebih keras dari perlit).

5. Bila ditahan suhunya pada titik tertentu dibawah garis

horizontal, maka akan mendapat struktur Martensit (sangat

keras dan getas).

6. Semakin tinggi kadar karbon, maka kedua buah kurva C

tersebut akan bergeser kekanan.

7. Ukuran butir sangat dipengaruhi oleh tingginya suhu

pemanasan, lamanya pemanasan dan semakin lama

pemanasannya akan timbul butiran yang lebih besar. Semakin

cepat pendinginan akan menghasilkan ukuran butir yang lebih

kecil. Zainuri Anwar, (2021)

2. Pendinginan Terus menerus

Dalam prakteknya proses pendinginan pada pembuatan material

baja dilakukan secara menerus mulai dari suhu yang lebih tinggi

sampai dengan suhu rendah. Pengaruh kecepatan pendinginan


22

terus menerus terhadap struktur mikro yang terbentuk dapat dilihat

dari diagram Continuos Cooling Transformation Diagram. Callister,

D.W dan Rethwisch,G.D. 2007

Gambar 2.5 Continuos Cooling Transformation


Diagram. Sailon,( 2014)
Penjelasan diagram: Agus Pramono (2011)

1. Kurva pendinginan (a) menunjukkan pendinginan

secara kontinyu yang sangat cepat dari temperatur

austenite sekitar 920̊ C ke temperature 200̊ C. Laju

pendinginan cepat ini menghasilkan dekomposisi fasa

austenite menjadi martensit. Fasa Austenite akan mulai

terdekomposisi menjadi martensit pada Temperatur Ms,

martensite start. Sedangkan akhir pembentukan

martensit akan berakhir ketika pendinginan mencapai

temperatur Mf, martensite finish.


23

2. Kurva pendinginan (b) menunjukkan pendinginan

kontinyu dengan laju sedang/medium dari temperatur

920̊ C ke 250̊ C. Dengan laju pendinginan kontinyu ini

fasa austenite terdekomposisi menjadi struktur bainit.

3. Kurva pendinginan (c) menunjukkan pendinginan

kontinyu dengan laju pendinginan lambat dari

temparatur 920̊ C ke 250̊ C. Pendinginan lambat ini

menyebabkan fasa austenite terdekomposisi manjadi

fasa ferit dan perlit.

5. Media Pendinginan

Tujuan utama dari proses pengerasan adalah agar diperoleh struktur

martensit yang keras, sekurang-kurangnya di permukaan baja. Hal ini

hanya dapat dicapai jika menggunakan medium quenching yang efektif

sehingga baja didinginkan pada suatu laju yang dapat mencegah

terbentuknya struktur yang lebih lunak seperti perlit atau bainit. Tetapi

berhubung sebagian besar benda kerja sudah berada dalam tahap akhir

dari proses, maka kualitas medium quenching yang digunakan harus

dapat menjamin agar tidak timbul distorsi pada benda kerja setelah proses

quenching selesai dilaksanakan. Hal tersebut dapat dicapai dengan cara

menggunakan media quenching yang sesuai tergantung pada jenis baja

yang diproses, tebal penampang dan besarnya distorsi yang diijinkan.

Aturan sederhana yang biasanya diterapkan yaitu baja non paduan di


24

quench di air; baja paduan di quench di oli dan untuk baja paduan tinggi

didinginkan di udara. L Siahaan, D Darius, (2019)

Gambar 2.6 Perbedaan kurva pendinginan (a) Pendinginan air; (b)


Pendinginan oli

6. Manufakturing

Metode manufaktur lebih mengarah ke efek dari pembentukan karbida.

Penambahan unsur paduan yang dapat berkombinasi membentuk

karbida. Kekerasan dan sifat tahan aus dari suatu baja paduan ditentukan

oleh jumlah partikel karbida, ukuran partikel, dan distribusi di dalam

matriks baja. Faktor ini di kontrol oleh komposisi kimia, metode

manufaktur, dan laku panas yang diberikan dan unsur paduan pembentuk

karbida terdiri yang dari mangan (Mn), kromium (Cr), wolfram (W),

molidenum (Mo), vanadium (V), dan titanium (T). Media Nofri , (2017)

Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari

suatu bahan pada proses hardeningdengan menahan pada temperature

pengerasan untuk memperoleh pemanasan yang homogen sehingga

struktur austenitnya homogen atau terjadi kelarutan karbida kedalam


25

austenite, difusi karbon dan unsur paduannya.Pedoman untuk

menentukan holding time dari berbagai jenis baja pada yang umum

diantaranya sebagai berikut. Baja Kontruksi dari Baja Karbon dan Baja

Paduan Rendah yang menganding karbida yang mudah larut diperlukan

holdng time yang singkat, 5-15 menit setelah mencapai temperature

pemanasannya dianggap sudah selesai.

a. Baja Kontruksi dari Baja Paduan Menengah dianjurkan

menggunakan holding time 15-25 menit, tidak tergantung ukuran

benda kerja.

b. Low Alloy Tool Steel memerlukan holding time yang tepat agar

kekerasan yang diinginkan dapat tercapai. Dianjurkan

menggunakan 0,5 menit per millimeter tebal benda, atau 10-30

menit.

c. High Alloy Chrome Steel membutuhkan holding time yang paling

panjang diantarannya semua baja perkakas, juga tergantung pada

temperature pemanasannya.juga diperlukan kombinasi temperature

dan holding time yang tepat biasannya dianjurkan menggunakan

0,5 menit per millimeter tebal benda dengan minimum 10 menit,

maksimum 3 jam.

d. Hot Work Tool Steel, mengandung kabrida yang sulit larut , baru

akan larut pada suhu 1000 C. pada temperature ini kemungkinan

terjadinnya pertumbuhan butir sangat besar, karena itu holding time

harus dibatasi, 15-30 menit.


26

e. High Speed Steel memerlukan temperature pemanasan yang

sangat tinggi 1200 C - 1300 C. untuk mencegah terjadinya

pertumbuhan holding time diambil hanya beberapa menit saja.( E

Widodo, 2016 )

F. Pisau Potong Plat Baja

Pisau adalah salah satu alat yang sudah ada dalam sejarah peradaban.

Para manusia Gua mempertajam batu atau batu untuk digunakan sebagai

alat pemotong. Awal pedang yang terbuat dari perunggu dan dengan

perkembangan baja datang revolusi industri. Paduan baja dimulai sebagai

paduan sederhana. Selama 80 tahun terakhir, baja perkakas telah

berevolusi dengan perkembangan teknologi dalam proses pembuatan

baja. Nilai baja perkakas selama periode awal terdiri atas, O-1 O-2, W-1,

W-2, W-3, L-6 dan kecepatan tinggi seperti, M-1 M-2 dan T-1. Dengan

munculnya tungku busur listrik, nilai paduan tinggi mampu dikembangkan

dan kualitas baja perkakas membaik. Perkembangan ini memungkinkan

untuk pengenalan nilai fo seperti A-2, A-6, D-2, D-7, S-5, S-7, Vascowear,

154CM ®, dan sebagian besar baja stainless. Crucible Industries, (2009)

1. Material Pisau Potong Plat

Terdapat Banyak sekali jenis bahan yang di gunakan untuk alat potong,

mulai dari baja karbon tinggi, keramik dan berlian, yang digunakan

sebagai alat pemotong dalam industri pengerjaan logam hari ini. Adalah

penting untuk menyadari bahwa perbedaan ada di antara bahan dari alat
27

potong tersebut, apa perbedaannya, dan aplikasi yang benar untuk setiap

jenis bahan. Dimana Sebuah alat pemotong harus memiliki karakteristik

tertentu untuk menghasilkan kualitas pemotongan yang baik dan

ekonomis. Berikut adalah karakteristik dari alat potong. Schneider Jr,

(2009)

1. Keras.

2. Tangguh dan tahan terhadap beban pukul (benturan).

3. Tahan terhadap panas kejut (tiba-tiba).

4. Tahan pakai atau awet.

5. Stabilitas dan bereaksi dengan bahan-bahan kimia.

2. Klasifikasi Material Pisau Potong Plat

Bahan yang digunakan untuk pisau potong sangat beragam

disesuaikan jenis bahan yang akan di potong, berikut adalah beberapa

jenis material dari pisau potong. Marinov, (2012)

1. Baja Karbon

Kandungan karbon antara 0,6 ~ 1,5% dengan sejumlah kecil dari

silikon, kromium, mangan, vanadium dan untuk memperbaiki ukuran

butir. Kekerasan maksimal adalah sekitar 62 HRC. Bahan ini memiliki

ketahanan aus rendah dan kekerasan panas rendah. Penggunaan

bahan-bahan ini sekarang sangat terbatas. Marinov, (2012)

2. Baja Kecepatan Tinggi (HSS)


28

Terdiri dari paduan vanadium yang tinggi, kobalt, molibdenum,

tungsten dan kromium ditambahkan untuk meningkatkan kekerasan

panas dan ketahanan aus. HSS dapat dikeraskan dalam berbagai

kedalaman dengan pemaanasan dan pendinginan yang tepat,

kekerasan dingin di kisaran 63-65 HRC. Marinov, (2012)

3. Semen Karbida

Merupakan bahan yang cukup penting hari ini, karena kekrasan

yang tinggi dan ketahanan aus yang baik. Kerugian utama dari karbida

disemen adalah ketangguhan yang rendah. Bahan-bahan ini diproduksi

dengan metode serbuk metalurgi, sintering butir carbide tungsten dalam

sebuah cobalt (Co) matriks (untuk memberikan ketangguhan).

dimungkinkan ada karbida lainnya dalam campuran, seperti titanium

karbida (TiC) dan / atau tantalum karbida (TAC) di samping carbide

tungsten. Marinov, (2012)

4. Keramik

Keramik terdiri dari bahan utama oksida halus, aluminium(Al2O3),

dengan tingkat kemurnian yang tinggi, yang bahan pengikatnya tanpa

menggunakan Cubic boron nitride (CBN) dan berlian sintetik.

5. Diamond

Merupakan substansi yang paling keras dari semua material yang

diketahui, pemotong jenis ini paling populer semua bahan. Bahan ini

juga biasa digunakan sebagai bahan pelapis dalam bentuk polikristalin,

atau sebagai alat berlian kristal tunggal untuk aplikasi khusus, seperti
29

finishing cermin non-ferrous. Marinov, (2012)

G. Pengujian Kekerasan Vickers

Kekerasan adalah ketahanan material terhadap deformasi plastis yang

diakibatkan oleh tekanan atau goresan dari benda lain. Kekerasan

merupakan sifat suatu logam, yang memberi kemampuan logam tahan

terhadap deformasi permanen (bengkok, rusak, atau bentuk yang

berubah), ketika suatu beban diterapkan. Pada umumnya, kekerasan

menyatakan ketahanan terhadap deformasi dan untuk logam dengan sifat

tersebut merupakan ukuran ketahanannya terhadap deformasi plastik.

Dalam mekanika pengujian bahan, banyak yang mengartikan kekerasan

sebagai ukuran ketahanan terhadap lekukan. Untuk para perancang

bangunan, kekerasan sering diartikan sebagai ukuran kemudahan dan

kuantitas khusus yang menunjukkan sesuatu mengenai kekuatan dan

perlakuan panas dari suatu logam. Dari uraian singkat di atas maka

kekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material

tersebut terhadap gaya penekanan dari material lain yang lebih keras.

Dalam pengujian kekerasan ini di bagi menjadi beberapa metode yaitu :

Tarmizi Husni, (2019)

1. Metode Brinell

2. Metode Vickers

3. Metode Rockwell

4. Metode Meyer
30

Dalam proses pengujian kekerasan tentunya menggunakan prinsip

beban yang ditekan akan menghasilkan nilai kekerasan dengan

perhitungan masing masing dari metode yang digunakan. Nilai kekerasan

yang didapatkan dari salah satu metode yang digunakan ini menjadi

sebuah kesimpulan yang menunjukan sifat keras pada material yang

diujikan. Akan tetapi semakin keras suatu material maka akan semakin

getas pula material tersebut. Namun sifat kekerasan ini dapat lebih

berguna dalam alat – alat yang mudah aus akibat goresan benda lain

seperti alat berat dalm bidang pertanian, pertambangan dan lainnya. Ketut

Rimpung, (2017)

d1

Gambar 2.7 Mengukur Diagonal 1


31

d2

Gambar 2.8 Mengukur Diagonal 2. Tarmizi Husni, (2019)

Pada dasarnya semua metode uji kekerasan mempunyai keunggulan

masing-masing, akan tetapi dalam penelitian ini alat uji dari pegujian

kekerasan yang digunakan adalah uji vickers. Uji kekerasan Vickers ini

adalah metode pengujian yang menggunakan piramida berbentuk intan

1360 sebagai indentornya. Prinsip pengujian metode ini sama dengan

metode brinell, dalam proses metode Brinell ini jejak yang dihasilkan

berbentuk bola sedangkan dalam proses metode uji vickers jejak yang

dihasilkan berbentuk belah ketupat dengan diagonal 1 dan diagonal 2.

Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengukur jejak

yang dihasilkan, cara penghitungan dapat ditunjukan pada gambar 2.6

dan gambar 2.7 diatas.

Uji kekerasan Vickers banyak dilakukan pada pekerjaan penelitian

karena selain cara menggunakannya mudah metode ini juga memberikan

hasil berupa skala kekerasan yang kontinu. Hasil kekerasan uji Vickers

dinamakan VHN atau Vickers Hardness Number dengan rumus sebagai

berikut. ASTM E 92

d2 d2
32

…………………………….….2.1

Keterangan :

P = Load/beban (kgf) θ = Sudut piramida intan 1360

d = Diagonal (mm)

H. Pengujian Kekuatan Tarik

Uji tarik rekayasa banyak dilakukan untuk melengkapi informasi

rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi

spesifikasi bahan. Pada uji tarik, benda uji diberi beban gaya tarik

sesumbu yang bertambah secara kontinyu, bersamaan dengan itu

dilakukan pengamatan terhadap perpanjangan yang dialami benda uji.

Kurva tegangan regangan rekayasa diperoleh dari pengukuran

perpanjangan benda uji.

Tegangan yang dipergunakan pada kurva adalah tegangan membujur

rata-rata dari pengujian tarik yang diperoleh dengan membagi beban

dengan luas awal penampang melintang benda uji. William D, Callister, Jr

……………………………............................................................2.2

Keterangan :

σ = Tegangan Tarik (MPa)

P = Beban/Load (KN)
33

A0 = Luas Penampang (mm)

Regangan yang digunakan untuk kurva tegangan regangan rekayasa

adalah regangan linier rata-rata, yang diperoleh dengan membagi

perpanjangan panjang ukur (gage length) benda uji, ΔL, dengan panjang

awalnya, L0. William D, Callister, Jr

X 100%.………………………………….…….………2.3

Keterangan :
 = Regangan

L = Panjang Uji Standar Spesimen setelah pengujian

L0 = Panjang Uji Standar Spesimen

Keterangan
A Penampang Spesimen
2
σ N/mm σB Limit Proporsional
σF Tegangan Putus
σR Tegangan Ultimate
B
σB R Yeild point
σF Y Daerah linear
Y F Y’ Daerah luluh plastis
σR R B Necking
Y’ F fraktur
F’ Daerah getas
F’’ Daerah ulet

A ε%
F’ F’’
34

Kurva tegangan regangan hasil pengujian tarik umumnya tampak seperti

pada gambar 2.9 . William D, Callister, Jr

I. Pengujian Struktur Mikro

Struktur mikro merupakan struktur yang dapat diamati dibawah

mikroskop optik. Meskipun dapat pula diartikan sebagai hasil dari

pengamatan menggunakan scanning electron microscope SEM.

Mikroskop optik dapat memperbesar struktur hingga 1500 kali.

Struktur mikro dapat diubah dengan suatu perlakuan panas. Ini berarti

untuk material dengan komposisi yang sama dapat mempunyai sifat-sifat

yang berbeda dan ini bisa diperoleh dengan cara mengubah struktur

mikronya. Dengan kata lain, untuk memperbaiki sifat-sifat suatu material

sesuai dengan yang dikehendaki dapat diperoleh dengan cara

mengubah struktur mikronya. Sailon, (2014)

Dalam mengetahui struktur mikro suatu material perlu dilakukan

pengujian struktur mikro. Pengujian struktur mikro bertujuan untuk

mengetahui struktur sebelum perlakuan panas dan sesudah perlakuan

panas suatu material. Beberapa fasa yang sering ditemukan dalam baja

karbon :

1. Ferrite

Fasa ini disebut alpha (α), ruang antar atomnya kecil dan

rapat sehingga hanya sedikit menampung atom karbon oleh

sebab itu daya larut karbon dalam ferrite rendah < 1 atom C per
35

1000 atom besi. Pada suhu ruang, kadar karbonnya 0, 008%,

sehingga dapat dianggap besi murni. Kadar maksimum karbon

sebesar 0,025% pada suhu 723 o C. Ferrite bersifat magnetik

sampai suhu 768o C. Sifat ferrite lainnya adalah lunak dan liat.

Ferrite berwarna putih.

2. Pearite

Fasa ini merupakan campuran mekanis yang terdiri dari dua

fasa, yaitu ferrit dengan kadar karbon 0,025% dan semetite dalam

bentuk lamellar (lapisan) dengan kadar karbon 6, 67% yang

berselang-seling rapat terletak bersebelahan. Pearlit merupkan

struktur mikro dari reaksi eutektoid lamellar. Sifat pearlite adalah

lebih keras dan lebih kuat dari pada ferrite tetapi kurang liat dan

tidak magnetis. Pearlite berwarna hitam. Berikut ini gambar struktur

ferrit dan pearlit : Callister dan William D (2007)


36

(a) (b)

Gambar 2. 10 Struktur (a) Pearlit dan (b) Ferrit. Callister (2007)

3. Martensite
Martensite merupakan fasa dimana ferrit dan sementite

bercampur, tetapi bukan dalam lamellar, melainkan jarum-jarum

sementite. Fasa ini terbentuk dari austenite meta stabil

didinginkan dengan laju pendinginan cepat tertentu. Terjadinya

hanya prespitasi Fe3C unsur paduan lainnya tetapi larut

transformasi ishotermal pada 260o C untuk membentuk dispersi

karbida yang halus dalam metriks ferrit. Martensite bilah (lath

martensite) terbentuk jika kadar C dalam baja sampai 0,6%


37

sedangkan di atas 1 % C akan terbentuk martensite pelat (plate

martensite). Perubahan dari tipe bilah ke pelat terjadi pada

interval 0,6% < C < 1, 08%. Sifat dari martensite adalah rapuh

dan keras, kekerasan tergantung dari komposisi karbon.

Martensite berbentuk seperti jarum. Berikut ini struktur

martensite: Callister dan William D (2007)

Gambar 2. 11 Struktur Martensite. Callister (2007)

4. Bainit

Bainit merupakan fasa yang terjadi akibat transformasi

pendinginan yang sangat cepat pada fasa austenite ke suhu antara

250oC-550oC dan ditahan pada suhu tersebut (ishotermal). Bainit


38

adalah struktur mikro dari reaksi eutektoid (γ→α +Fe3C) non

lamellar (tidak berupa lapisan). Bainit merupakan struktur mikro

campuran fasa ferrit dan sementite (Fe3C). Sifat dari bainit adalah

lunak. Berikut gambar struktur bainit: Callister dan William D (2007)

Gambar 2. 12 Struktur Bainit. Callister (2007)

Untuk dapat mengamati struktur mikro sebuah material oleh

mikroskop optik, maka harus dilakukan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1. Melakukan pemolesan secara bertahap hingga lebih halus dari 0,5

mikron. Proses ini biasanya dilakukan dengan menggunakan

ampelas secara bertahap dimulai dengan grid yang kecil 100 hingga

grid yang besar 2000. Dilanjutkan dengan pemolesan oleh mesin


39

poles dibantu dengan larutan pemoles. Iman Saefuloh, (2014)

2. Etsa dilakukan setelah memperluas struktur mikro. Etsa adalah

membilas atau mencelupkan permukaan material yang akan diamati

ke dalam sebuah larutan kimia yang dibuat sesuai kandungan

paduan logamnya. Hal ini dilakukan untuk memunculkan fasa-fasa

yang ada dalam struktur mikro. Iman Saefuloh, (2014)

Anda mungkin juga menyukai