Anda di halaman 1dari 21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian Terdahulu

Untuk mendukung materi dalam penelitian ini, akan dikemukakan

hasil penelitian terdahulu dimana variabel dari penelitian itu masih

berhubungan dengan penelitian sekarang.

(Rohmat Jatmiko & Sri Nastiti) dalam jurnal Analisis Experiential

Marketing dan Loyalitas pelanggan jasa wisata Taman Rekreasi Sengkaling

Malang mengindikasikan bahwa dimensi Experiential marketing yang terdiri

dari relate, feel, think, sense, dan act secara simultan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap loyalitas pengunjung.

(Januar.T.Oeyono & Diah Dharmayanti, S.E., M.Si.) Analisa pengaruh

Experiential Marketing terhadap loyalitas Pelanggan melalui kepuasan sebagai

intervening variabel di Tator Cafe Surabaya Town Squeare dengan menggunakan

Metode Analisa Data dengan hasil secara simultan Experiential marketing,

loyalitas konsumen,berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pelanggan.

(Vinsensius Ronald tetanoe & Diah Dharmayanti, S.E., M.Si.)

Pengaruh Experiential Marketing terhadap pembelian ulang dengan kepuasan

pelanggan sebagai variabel intervening di Breadtalk Surabaya Town Square

dengan menggunakan Metode Analisa Data.

(Putu Sukarmen, Andi Sularso & Deasy Wulandari), Analisis

pengaruh inovasi produk terhadap kepuasan pelanggan dengan keunggulan

bersaing sebagai variabel intervening pada produk gula pasir sebelas

(GULPALAS) pabrik gula semboro PTP Nusantara XI (PERSERO) dengan

menggunakan analisais regresi.

10
11

Perbedaan ini dengan penelitian sebelumnya yaitu terdapat pada

obyek penelitian yang dilakukan dengan metode penelitian analisis data

masing-masing peneliti. Sedangkan persamaanya yaitu sama-sama melakukan

penelitian pengaruh Experiential Marketing, Niat pembelian ulang dan

kepuasaan pelanggan.

B. Teori dan Kajian Pustaka

1. Experiential Marketing

a. Pengertian Experiential Marketing

Pada era globalisasi ini persaingan bisnis semakin ketat, pelaku

bisnis harus mampu mendapatkan persepsi positif dari Pelanggan

karena hal tersebut adalah faktor penting dalam kesuksesan penjualan

suatu usaha, maka dari itu pebisnis perlu memberikan pengalaman yang

berbeda bagi Pelanggan guna menyentuh sisi emosional konsumen.

Experiential marketing merupakan salah satu kegiatan marketing yang

bisa dilakukan oleh para pebisnis untuk menarik Pelanggan melalui sisi

emosional mereka.

Menurut (schmitt, 2001) mengatakan bahwa Experiential marketing

adalah konsep pemasaran yang menekankan kinerja produk atau jasa

dalam memberikan pengalaman emosi hingga menyentuh hati dan

perasaan pelanggan. Pendekatan Experiential marketing dibentuk guna

melegkapi pendekatan tradisional dengan menghadirkan pengamatan

pengalaman yang unik, positif dan mengesankan yang membentuk

memorable experience bagi konsumen.


12

Menurut (schmitt, 2001) Experiential marketing berasal dari dua

kata yaitu experience dan marketing. Experience adalah pengalaman

yang merupakan peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya

stimulus tertentu (misalnya yang diberikan oleh pihak pemasar sebelum

dan sesudah pembelian barang atau jasa). Experience juga didefinisikan

sebagai sebuah bagian subjektif dalam konstruksi atau transformasi dan

individu, dalam penekanan dalam emosi dan indra secara langsung

selama perendaman dengan mengorbankan dimensi kognitif (Grundey,

2008). Sedangkan marketing adalah suatu proses sosial dan menejerial

yang membuat individu atau kelompok memperoleh apa yang mereka

butuhkan dan inginkan lewat penciptaan dan pertukaran timbal balik

produk dan nilai dengan orang lain (Kotler & Keller, 2003).

b. Kerangka Experiential Marketing

Menurut (schmitt & Roger, 2008), Strateic Experiential Moduls

(SEMs) merupakan kerangka Experiential Marketing yang terdiri dari 5

elemen sebagai berikut :

1) Sensory Experience

Sense marketing ditujukan kepada penciptaan pengalaman

yang berkaitan dengan panca indera melalui penglihatan (sight),

suara (sound), sentuhan (touch), rasa (taste), dan bau (smell).

Berikut ini dijelaskan strategi objektif dan sense marketing :

a) Sense sebagai pembeda. Sense dapat dijadikan sebagai nilai

pembeda bagi produk, dimana produk tersebut merangsang

Pelanggan melalui hal yang berbeda dari biasanya.


13

b) Sense sebagai pemberi motivasi. Pemasar yang dapat

menyentuh indera dapat memotivasi konsumenn untuk

mencoba sebuah produk dan membeliya. Kunci utamanya

adalah bagaimana merangsang Pelanggan secara tepat, tidak

berlebihan, dan tidak terlalu rendah.

c) Sense sebagai pembentuk nilai. Sense marketing juga dapat menjadi

pemberi nilai yang unik kepada konsumen, dimana mensyaratkan

kepada kita untuk mengetahui tipe sense yang menjadi hasrat

Pelanggan dan juga dampaknya dari rangsanga indera tersebut.

2) Affective Experience

Feel Experience atau Affective Experience adalah strategi

untuk menggerakan stimulus emosional (events, agents, objects)

sebagai bagian dari feel strategies sehingga dapat mempengaruhi

emosi dan suasana hati konsumen.

Desain produk merupakan faktor terbesar dalam menciptakan

perasaan. Melalui atribut produk, kita dapat membawa Pelanggan

pada perasaan tertentu. Pada intinya, feel marketing tidak hanya

menawarkan manfaat dari sebuah produk, namun perasaan apa

yang timbul dalam benak Pelanggan ketika mengonsumsi sebuah

produk. Perasaan inilah yang pada akhirnya menjadi pengalaman

yang tidak terlupakan bagi konsumen.

3) Creative Cognitive Experience

Think atau Creative Cognitive Experience tertuju pada

intelektualitas yang bertujuan menciptakan suatu kesadaran


14

(cognitive). Pengalaman sebagai problem solving yang

mengikutsertakan Pelanggan didalamnya.

Think marketing campaign adalah model metode

pemasaran yang mendorong pelanggan untuk berpikir mengenai

merk atau slogan yang digunakan oleh perusahaan.Surprise,

merupakan dasar penting dalam memikat konsumen, Intrigu,

merupakan pemikiran yang tergantung tingkat pengetahuan,

Rovocation, sifatnya menciptakan suatu kontroversi . Iklan-iklan

perusahaan yang menggunakan think marketing campaign biasanya

mempunyai sedikit kata-kata dan sedikit gambar, tetapi mempunyai

kesan mendalam dan mendorong kita untuk berpikir apa

sebenarnya maksud dan tujuan dari iklan tersebut.

4) Physical Experience and Entitle Lifestyle

Act atau Physical Experience and Entitle Lifestyle Merupakan

teknik pemasaran untuk menciptakan pengalaman Pelanggan yang

berhubungan dengan tubuh secara jasmaniah, gaya hidup dan

interaksi. Strategi act merketing dilaksanakan untuk menciptakan

pengalaman pelanggan yang dihubungkan pada perilaku individu,

perilaku sosial, dan gaya hidup, seperti halnya pengalaman yang

timbul melalui interaksi sosial. Dalam strategi ini, produk bukan aspek

yang ditawarkan sebagai suatu hal yang memiliki fungsi atau manfaat.

Dalam pemasaran eksperensial, produk harus dapat menciptakan

pengalaman bagi pelanggan.


15

5) Social Identity Experience

Relate atau social identity experience Merupakan gabungan

dari kempat hal diatas yaitu (sensory experience, affective

Experience, Creative Cognitive Experience, Physical Experience

and Entitle Lifestyle).

Relate marketing merupakan pengembangan perasanaan yang

dirasakan oleh individu yang merupakan sebuah pengalaman, yang

dikaitkan dengan figur idaman individu tersebut, orang lain, atau suatu

kebudayaan.

Dalam pemasaran eksperensial, sebuah produk harus

memiliki keterkaitan dengan unsur sosial, dimana unsur sosial

tersebut dapat berupa kebiasaan, perilaku, kultur, bahkan sebuah

gaya hidup. Melalui sebuah produk, Pelanggan mengharapkan

adanya nilai lebih, dimana produk tersebut harus dapat memiliki

preferensi tertentu yang berkaitan dengan konteks sosial.

Saat ini pelanggan menganggap fungsi feature and benefit, kualitas

produk, dan citra merk sebagai suatu keharusan. Yang mereka inginkan

adalah produk, komunikasi, dan kampanye pemasaran yang mempesona

indera mereka. Menyentuh hati, dan menstimulasi pikiran mereka. Mereka

mengiginkan produk, komunikasi, dan kampanye yang dapat

menghubungkan serta menggabungkan ke dalam gaya hidup mereka dan

juga yang memberikan pengalaman. (schmitt, 2008).

Menurut (schmitt, 2008) Experiential marketing dapat dimanfaatkan

dalam banyak situasi, untuk membangun kembali merk yang sedang


16

mengalami penurunan, untuk membedakan produk dari pesaing, untuk

membangun citra dan identitas bagi perusahaan, untuk mempromosikan

inovasi, unuk mendorong percobaan, pembelian dan yang paling penting

loyal consumpton. (Sekar & Kalakumari, 2011) menyatakan bahwa

experiential marketing memberikan kesempat-an kepada pelanggan

dengan cara sensorik untuk terlibat dan berinteraksi dengan merek,

produk, dan jasa.

Experiential Marketing merujuk pada "pengalaman pelanggan yang

sebenarnya terhadap merek, produk/jasa yang mendorong penjualan dan

meningkatkan kesadaran dan citra merek. Terdapat perbedaan di antara

Pelanggan berkaitan dengan pemahaman, pengalaman, dan manfaat

terhadap fitur atau tampilan suatu produk/jasa. Experiential marketing

merupakan alat yang paling mujarab untuk memenangkan kepercayaan

merek dari pelanggan. Pengalaman terhadap suatu merek dapat berasal

dari sensasi, perasaan, persepsi, dan respon perilaku yang ditimbulkan oleh

rangsangan yang berkaitan dengan merek (brand-related).

(Rini, 2009) menemukan bahwa dalam experiential marketing,

Pelanggan bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari

sisi emosionalnya. Perusahaan tidak seharusnya memperlakukan

Pelanggan hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi

Pelanggan lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi

secara emosional dan ditantang secara kreatif. (Sejahtera, 2010)

menemukan bahwa experien-tial marketing mencakup sense, feel, think,

act, dan relate, berpengaruh positif dan signifikan terhadap loyalitas


17

pelanggan, di mana variabel sense sebagai variabel yang dominan

mempengaruhi loyalitas pelanggan.

Experience menurut definisi (Schmitt, 2001) adalah kejadian-

kejadian yang terjadi sebagai tanggapan stimulasi atau rangsangan,

contohnya sebagaimana diciptakan oleh usaha-usaha sebelum dan sesudah

pembelian. Experience seringkali merupakan hasil dari observasi langsung

dan atau partisipasi dari kegiatan-kegiatan, baik merupakan kenyataan,

angan-angan, maupun virtual. Dengan demikian seorang pemasar perlu

menciptakan lingkungan dan pengaturan yang tepat agar dapat

menghasilkan customer experience yang diinginkan. (Kartajaya, 2010)

mendefinisikan experiential marketing sebagai suatu konsep pemasaran

yang bertujuan untuk membentuk konsumen-Pelanggan yang loyal dengan

menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif

terhadap produk dan service. Dalam pendekatan experiential marketing

produk dan layanan harus mampu membangkitkan sensasi dan pengalaman

yang dapat menjadi basis loyalitas pengunjung.

2. Kepuasan Pelanggan

a. Pengertian Kepuasan Pelanggan

Kepuasan pelanggan sudah menjadi semacam „mantra ajaib‟

yang dijumpai dihampir semua buku teks laris bidang pemsaran dan

perilaku konsumen. Dalam visi dan misi, slogan maupun iklan sebagian

besar organisasi bisnis dan nonbisnis, kata “ kepuasan pelanggan”

seringkali dijumpai. (Howard & sheth, 2005) mengungkapkan bahwa

kepuasan pelanggan adalah situasi kognitif pembeli berkenan dengan


18

kepadanan atau ketidaksepadanan antara hasil yang didapatkan

dibandigkan dengan pengorbanan yang dilakukan. (Swan, et al. 2005)

mengidentifikasikan kepuasan pelanggan sebagai evaluasi secara sadar

atau penilaian kognitif menyangkut apakah kinerja produk relatif bagus

atau jelek atau apakah produk bersangkutan cocok atau tidak cocok dengan

tujuan/ pemakaiannya.

(Westbrook & Reilly, 2005) berpendapat bahwa kepuasan

pelanggan merupakan respons emosional terhadap pengalaman-

pengalaman berkaitan dengan produk atau jasa tertentu yang dibeli,

gerai ritel, atau bahkan pola perilaku (seperti perilaku berbelanja dan

perilaku pembeli), serta pasar secara keseluruhan. Respons emosional

dipicu oleh proses evaluasi kognitif yang membandingkan persepsi

(atau keyakinan) terhadap objek, tindakan atau kondisi tertentu

dengan nilai-nilai (atau kebutuhan, keinginan dan hasrat) individual.

Dalam buku teks standar Marketing Menejemen yang ditulis

(Kotler 2000) dan banyak dijadikan acuan, sang mahaguru pemasaran

menandaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan

seseorang setelah membandingkan kinerja (atau hasil) yang Pelanggan

rasakan dibandingkan dengan harapanya. Berbagai studi literatur

pemasaran adalah definisi berdasarkan disconfirmation paradigm

(Oliver, 2005). Berdasarkan paradigma tersebut, kepuasan pelanggan

dirumuskan sebagai evaluasi purnabeli, dimana persepsi terhadap

persepsi terhadap kinerja alternatif produk/jasa yang dipilih memenuhi

atau melenihi harapan sebelum pembelian. Apabila persepsi terhadap


19

kinerja tidak bisa memnuhi harapan, maka yang terjadi adalah

ketidakpuasan. Dengan demikian, ketidakpuasan dinilai sebagai

biopolar opposite dari kepuasan (Spreng, et al.2005).

b. Komponen utama dalam defenisi kepuasan pelanggan

1) Tipe respons

Baik respon emosional/afektif maupun kognitif dan intensitas respons

kuat hingga lemah, biasanya dicerminkan lewat istilah-istilah seperti

“sangat puas”, “netral”, “sangat senang”, “frustasi”, dan sebagainya.

2) Fokus respons

Berupa produk, konsumsi, keputusan pembelian, wiraniaga, toko,

dan sebagainya.

3) Timming respons

Yaitu setelah konsumsi, setelah pilihan pembelian, berdasarkan

pengalaman akumulatif, dan seterusnya.

Menurut (Zeithaml 2006) kepuasan Pelanggan adalah suatu

evaluasi akhir dari Pelanggan mengenai sebuah produk atau jasa,

dimana produk atau jasa tersebut memenuhi kebutuhan dan harapan

konsumen. Sedangkan menurut pendapat (soelasih 2004) yang

mengemukakan bahwa kepuasan merupakan tigkat perasaan

Pelanggan yang diperoleh setelah Pelanggan melakukan sesuatu.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa kepuasan Pelanggan

merupakan perbedaan antara yang diharapkan Pelanggan (nilai

harapan) dengan situasi yang diberikan perusahaan didalam usaha

memnuhi harapan konsumen.


20

Menurut (Mowen & Minor 2005), kepuasan pelanggan

merupakan keseluruhan sikap Pelanggan setelah memperoleh dan

menggunakan barang atau jasa. Oleh karena itu suatu perusahaan

harus mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan

sehingga tercapai kepuasan pelanggan dan lebih jauh lagi dapat

menciptakan loyaitas pelanggan. Sedangkan menurut (Kotler & Keller

2009) secara umum menyatakan bahwa kepuasan adalah perasaan

senang atau kecewa pelanggan yag muncul setelah membandingkan

antara persepsi/kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan

harapan-harapanya.

Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pada

akhirnya akan bermuara pada nilai yang akan diberikan oleh

pelanggan mengenai kepuasan yang dirasakan. Kepuasan merupakan

tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan

atas kinerja produk jasa yang diterima dengan yang diharapkan

(Kotler 2013). Dalam era globalisasi ini, perusahaan akan selalu

menyadari akan pentingnya faktor pelanggan. Oleh karena itu,

mengukur tingkat kepuasan para pelanggan sangatlah perlu, walaupun

hal tersebut tidaklah semudah mengukur berat badan atau tinggi

badan pelanggan yang bersangkutan.

Banyak manfaat bagi perusahaan dengan tercapainya tingkat

kepuasan pelanggan (costumer statisfaction) yang tinggi, dimana akan

meningkatkan loyalitas pelanggan dan mencegah perputaran.

Perusahaan jasa mengurangi sensitivitas pelanggan terhadap harga,


21

mengurangi biaya kegagalan pemasaran, mengurangi biaya operasi

yang diakibatkan oleh meningkatnya jumlah pelanggan, meningkatkan

efektivitas iklan, dan meningkatkan reputasi bisnis (Fornell, 2013).

Faktor utama penentu kepuasan pelanggan adalah persepsi

pelanggan terhadap kualitas jasa (Zeithaml & Bitner, 2013). Sebagai

contoh, pada jasa mobile telecommunication, kualitas jasa diukur oleh

kualitas panggilan/telepon, struktur harga, perangkat mobil (telepon

genggam), nilai tambah layanan/jasa, kenyamanan prosedur, dan

layanan pelanggan (Kim, 2000; Gerpot dkk.;Lee, & Freick, 2001).

Apabila ditinjau lebih lanjut, pencapaian kepuasan pelanggan

melalui kualitas pelayanan dapat ditingkatkan dengan beberapa

pendekatan (Kotler, 2013).

a. Memperkecil kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antara pihak

menejemen dan pelanggan.

b. Perusahaan harus mampu membangun komitmen bersama untuk

menciptakan visi dalam perbaikan proses pelayanan.

c. Memberikan kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan

keluhan.

d. Mengembangkan dan menerapkan partnership accountable ,

proaktif, dan partnership marketing sesuai dengan situasi

pemasaran.

c. Indikator Kepuasan Pelanggan

Menurut (Kotler 2002) yang menyatakan bahwa kepuasan adalah

perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah


22

membandingkan kinerja (hasil) produk yang dipikirkan terhadap kinerja

(hasil) yang diharapkan. Bagi perusahaan yang berfokus pada konsumen,

kepuasan Pelanggan adalah sasaran dan sekaligus alat pemasaran. Menurut

(Hawkins dan Lonney 2004) Indikator kepuasan Pelanggan adalah:

1) Rasa senang

2) Pelanggan memberikan pujian setelah melakuakan transaksi

3) Rasa suka

4) Perasaan puas pada saat melakukan pembelian.

(Eugene W. Andreson & Vikas Mittal, 2000) menguraikan bahwa

tidak selalu program kepuasan pelanggan menghasilkan seperti yang

diharapkan. Telah banyak riset dilakukan dan membuktikan hubungan

kepuasan pelanggan ini dengan profit dari perusahaan. Pada analisis

tingkat industri, telah terbukti bahwa perusahaan yang berhasil

memberikan tingkat kepuasan pelanggan dan mempertahankan pelanggan

yang lebih tinggi akan memperoleh profit yang lebih tinggi pula.

Akan tetapi, terdapat permaslahan hubungan kepuasan dengan

profit ini pada beberapa perusahaan. Seringkali, perusahaan telah

meningkatkan kierja atribut yang menjadi kunci, tetapi tidak

meningkatkan kepuasan pelanggan. Pada kondisi lainya, perubahan

tingkat kepuasan pelanggan ini ternyata tidak berpengaruh terhadap

mempertahankan pelanggan, bahkan terhadap profit yang didapatkan.

3. Niat Pembelian Ulang

Perilaku pembelian ulang seringkali dihubungkan dengan loyalitas

merk. Akan tetapi, ada perbedaan diantara keduanya. Bila loalitas merk
23

mencerminkan komitmen psikologis terhadap merk tertentu, maka perilaku

pembelian ulang semata-mata menyangkut pembelian merk tertentu yang

sama secara berulang kali. Misalnya, karena memang hanya satu-satunya

merk yang tersedia, merk murah, dan sebagainya.

Pembelian ulang bisa merupakan hasil dominasi pasar oleh suatu

perusahaan yang berhasil membuat produknya menjadi satu-satunya

alternatif yang tersedia. Konsekuensiya, pelanggan tidak memiliki peluang

untuk memilih. Selain itu, pembelian ulang bisa pula merupakan hasil dari

upaya promosi terus menerus dalam rangka memikat dan membujuk

pelanggan untuk membeli kembali merk yang sama. Bila tidak ada

dominasi pasar dan upaya promosi intensif tersebut, maka pelanggan

bersangkutan sangat mungkin beralih merk. Sebaliknya, pelanggan yang

setia pada merk cenderung „terikat‟ pada merk tersebut dan akan membeli

produk yang sama lagi sekalipun tersedia banyak alternaif lainnya (Fandy

Tjiptono, 2005).

Niat pembelian ulang merupakan perilaku Pelanggan dimana

Pelanggan mempunyai keinginan dalam membeli atau memilih kembali

suatu produk, berdasarkan pengalaman dalam memilih, menggunakan dan

mengkonsumsi atau bahkan menginginkan suatu produk menurut

(Ferdinan 2002) indikator yang digunakan adalah :

1) Ketertarikan terhadap produk atau jasa.

2) Keyakinan terhadap produk atau jasa.

3) Pengalaman pemakaian produk atau jasa.

4) Menempatkan produk atau jasa sebagai pilihan dimasa mendatang.


24

Menurut (Odin, et al., 2001) perilaku pembelian ulang (repeat purchasing

behavior) bisa dijabarkan menjadi dua kemungkinan, yakni loyalitas dan

inersia. Faktor pembedanya adalah sensitivitas merk yang didefinisikan sebagai

“sejauh mana nama merk memainkan peran kunci dalam proses pemilihan

alternatif dalam katagori produk tertentu”. Sensitivitas merk dipengaruhi

persepsi terhadap perbedaan antar merk dan tingkat keterlibatan Pelanggan

dalam katagori produk. Perilaku pembelian ulang dalam situasi sensitivitas

merk yang kuat dikategorikan sebagai loyalitas, dimana Pelanggan cenderung

membeli ulang merk yang sama dan menganggap pilihan merk sangat penting

baginya. Sebaliknya, pembelian ulang dalam situasi sensitivitas merk yang

lemah dikategorikan sebagai inersia, yakni Pelanggan cenderung membeli

ulang merk yang sama, namun ia tidak menganggap nama merk itu penting,

karena ia tidak bisa membedakan berbagai merk yang ada dan tidak terlibat

secara intensif dalam pemilihan kategori baru.

Terdapat dua pendekatan yang digunakan untuk mengukur pola pembelian

ulang Pelanggan yaitu (Shaw & Reed 2005).

1) Period-to-period repeat buying, yaitu jika suatu produk X paling tidak

telah dibeli pada kuartal 1, maka akan terjadi pembelian ulang pada

kuartal 2, 3, 4, dan seterusnya. Hal ini bisa dianalisis dalam periode yang

berbeda, misalnya per hari, per minggu, pertahun, dan sebagainya.

2) Purchase-to-purchase repeat buying, yaitu pengukuran yang

merefleksikan masalah yang luar biasa dalam sebuah analisis, karena

ada Pelanggan yang melakukan pembelian dalam kategori berat,

menengah, dan ringan, serta apa yang terjadi di pasar.


25

Oleh karena itu, dalam penelitian ini pembelian ulang akan diukur

dengan menggunakan period-to-period buying, dengan asumsi bahwa produk

yang diamati merupakan produk yang rutin dikonsumsi oleh konsumen.

Pembelian ulang merupakan tindakan pembelian membeli lagi setelah

pembelian pertama atau trial, hal tersebut diartikan untuk produk yang tidak

tahan lama, sedangkan untuk produk yang tahan lama, diartikan sebagai

kesediaan Pelanggan untuk membeli ulang atau memberikan paling tidak satu

saran kepada orang lain untuk melakukan pembelian (Ndubisi & Moi, 2005).

Faktor-faktor yang mempengaruhi minat membeli berhubungan dengan

perasaan dan emosi, bila seseorang merasa senang dan puas dalam membeli

barang atau jasa maka hal itu akan memperkuat minat membeli, ketidakpuasan

biasanya menghilangkan minat (Swastha & Irawan, 2001).

Kegiatan pembelian yang dilakukan lebih dari satu kali atau beberapa kali.

Kepuasan yang diperoleh seorang konsumen, dapat mendorong Pelanggan

melakukan pembelian ulang (repeat purchase), menjadi loyal terhadap produk

tersebut ataupun loyal terhadap toko tempat dia membeli barang tersebut

sehingga Pelanggan dapat menceritakan hal-hal yang baik kepada orang lain

(Olsen, 2002). pembelian ulang dipengaruhi oleh sikap orang lain, iklan

(promosi), harga dan manfaat yang diharapkan (Swasta & Irawan, 2003).

C. Kerangka Pikir dan Hipotesis

Niat pembelian ulang merupakan konsumsi dan frekuensi pembelian

dilakukan oleh seorang pelanggan terhadap suatu perusahaan yang dilakukan secara

berulang kali. Perusahaan dalam menempatkan pelanggan pada tengah pusaran

aktifitas bisnis. Diharapkan perusahaan selalu memperhatikan dan mengutamakan

pelanggan dalam segala aktifitas. Sehigga pelanggan menjadi pihak yang selalu
26

didahulukan. Dengan harapan akan merasa puas, nyaman, dan akhirnya berniat

untuk melakukan pembelian ulang. Adanya perasaan senang serta pengalaman yang

dirasakan oleh pelanggan yang dibentuk melalui suasana didalam barbershop. Pada

Barbershop PROSPEROUS Experiential marketing mendorong pelanggan untuk

merasakan kepuasan hingga melakuan pembelian ulang. Dengan demikian

experiential marketing mepengaruhi secara langsung terhadap niat pembelian ulang

dan berpegauh secara tidak langsung terhadap niat pembelian ulang yaitu melalui

kepuasan pelanggan sebagai variabel intervening. Maka barbershop tersebut dapat

menjaga dan mempertahankan pelanggan. Berdasarkan uraian diatas dapat

digambarkan dalam kerangka konseptual sebagai berikut :

Kepuasan
pelanggan
H1 H3

H4

Experienti Niat
al H2 Pembelian
Marketig Ulang

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Penelitian

D. Hipotesis

a. Hubungan Experiential Marketing dan kepuasan pelanggan.

Menurut (Kotler & keller, 2003): ”Marketing is typically seen as

the task of crediting, promoting and delivering goods and services to

consumers and businesses”, artinya marketing adalah suatu aktivitas

bertypikal sebagai tugas untuk berekreasi atau menciptakan,


27

berpromosi dan menjembatani antara barang dan jasa kepada

Pelanggan dan bisnis. Bisa dikatakan bahwa pengertian Experiential

Marketing adalah suatu aktivitas untuk melakukan antisipasi,

pengelolaan dan pencapaian kepuasan Pelanggan melalui proses

pertukaran yang merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi

sebagai tanggapan atau beberapa stimulus.

Sementara itu, (Jatmiko & Andharini 2012) menemukan bahwa

dimensi experiential marketing yang terdiri dari sense, feel, think, act,

dan relate berpengaruh postif dan signifikan terhadap loyalitas

responden. Hal ini berarti semakin kuat upaya penciptaan experiential

marketing akan semakin tinggi loyalitas responden. Sebaliknya,

semakin lemah upaya pen-ciptaan experiential marketing akan

semakin rendah loyalitas responden

Dalam penelitian (Vinsensius & diah 2014) diduga Experiential

Marketing berpengaruh terhadap Kepuasan pelanggan.

H1 : Experiential Marketing berpengaruh positif terhadap kepuasan

pelanggan pada Barbershop PROPEROUS sengkaling

Malang.

b. Hubugan Experiential Marketing dan niat pembelian ulang.

Experiential marketing adalah suatu pengalaman terjadi sebagai

pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan

nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan relasional yang

menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan adanya pengalaman tersebut

dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup


28

Pelanggan yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam

lingkup usahanya, sehingga Pelanggan berniat untuk melakukan

pembelian ulang (Schmitt, 2000).

Reinhard (2011) meneliti pengaruh strategi experiential

marketing terhadap customer loyalty pada Pelanggan Toko Roti di

Medan, menyimpulkan bahwa strategic experiential marketing yang

diukur berdasarkan sense marketing, feel marketing, think marketing,

act marketing dan relate marketing, berpengaruh dan signifikan pada

Customer Loyalty, di mana sense marketing dimensi yang dominan

mempengaruhi customer loyalty. (Yulianto 2010) menemukan bahwa

terdapat korelasi yang kuat antara experiential marketing dengan

loyalitas pelanggan dan memiliki hubungan positif dan signifikan di

antara keduanya. (Chen et al. 2008) menemukan bahwa elemen-

elemen experiential marketing yang terdiri dari sense, feel, think, act,

dan relate berpengaruh terhadap loyalitas pelanggan Online atau

Virtual Customer.

H2 : Experiential Marketing berpengaruh positif terhadap niat

pembelian ulang pada Barbershop PROPEROUS sengkaling

Malang.

c. Pengaruh kepuasan pelanggan terhadap niat pembelian ulang

(Wilkie 2005) mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai tanggapan

emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau

jasa. Sementara itu, (Engel, et al. 2005) menyatakan bahwa kepuasan

pelanggan merupakan evaluasi purnabeli dimana alternatif yang dipili


29

sekurang-kurangnya sama atau melampaui harapan pelanggan, sedangkan

ketidakpuasan timbul apabila hasil (outcome) tidak memenuhi harapan.

Menurut (Fornell 2005), kepuasan merupakan evaluasi purnabeli keseluruhan

yang membandingkan persepsi terhadap kinerja produk dengan ekspektasi

prapembelian.

Kepuasan pelanggan dibuktikan dalam penelitian (Vinsensius &

diah 2014) mempengaruhi niat pembelian ulang karena pada saat pelanggan

merasa puas dan senang maka pelanggan berniat untuk melakukan

pembelian ulang.

H3 : Kepuasan pelanggan berpengaruh positif terhadap niat

pembelian ulang pada Barbershop PROPEROUS sengkaling

malang.

d. Pengaruh Experiential marketing terhadap niat pembelian ulang

melalui kepuasan pelanggan.

Rambat Lupiyoadi (2013) menyatakan Karakteristik dari pemasaran

eksperensial yang pertama adalah fokus pada pengalaman pelanggan,

dimana seorang pemasar harus dapat menstimulus Pelanggan melalui

pancaindera, hati, dan pikiran sehingga membentuk sebuah pengalaman.

Karakteristik kedua adalah mengevaluasi situasi konsumsi, yaitu

bagaimana membentuk pengalaman Pelanggan dalam mengonsumsi

sebuah produk sebagai sebuah bentuk pengalaman holistis. Pelanggan

membutuhkan pengalaman yang memuaskan dalam mengonsumsi sebuah

produk/jasa sehingga berniat melakukan pembelian ulang. (Visensius &

Diah Darmayanti 2014) membuktikan bahwa Experiential marketing tidak


30

secara langsung mempengaruhi niat pembelian ulang namun dengan

melalui kepuasan pelanggan terlebih dahulu.

H4 : Experiential marketing mempengaruhi niat pembelian ulang

melalui kepuasan pelanggan.

Anda mungkin juga menyukai