Anda di halaman 1dari 33

PERKEMBANGAN ASURANSI KESEHATAN DI

BERBAGAI NEGARA

VIRNO HARYANTO BAY


3201020001

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN IST BUTON
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun hanturkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat
dan petunjuk-Nya sehingga penyusunan makalah “Perkembangan Asuransi
Kesehatan Di Berbagai Negara” dapat diselesaikan meskipun dalam bentuk yang
sederhana.
Dengan selesainya penyusunan makalah ini, tidak terlepas dari bantuan dan
partisipasi dari teman-teman dan juga dosen pengampub mata kuliah Asuransi
Kesehatan yakni Bapak Laode Swardin, S.Kep., Ners, M.Kes.
Makalah ini sangat penting terutama bagi saya selaku mahasiswa program
studi kesehatan masyarakat dimana saat menyusun makalah ini saya dapat
mengetahui tentang apa itu asuransi kesehatan serta hal-hal penting yang
berkaitan dengan asuransi kesehatan.
Sebagai sebuah pengantar untuk mahasiswa kesehatan masyarakat,
pemahaman dasar atas asuransi kesehatan sangat diperlukan. Dengan memahami
pengetahuan mengenai ilmu asuransi kesehatan akan sangat bermanfaat untuk
mahasiswa kesehatan masyarakat yang akan terjun ke dunia manajemen terutama
dalam mengurusi masalah asuransi kesehatan dimasa mendatang.
Sebuah harapan kiranya makalah ini bermanfaat terutama bagi saya sebagai
penyusun dan para pembaca dalam menambah wawasan dan pengetahuan tentang
asuransi kesehatan yang akan menunjang perkembangan ilmu kesehatan dimasa
mendatang.
Ucapan terima kasih penyusun hanturkan atas bantuan dan bimbingan yang
telah diberikan dalam penyusunan makalah ini, Semoga segala kebaikan dan
bantuan yang diberikan bernilai ibadah dan menjadi pahala di menjadi penyebab
dilimpahkan kebaikan oleh Allah SWT.

Baubau, Maret 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB 1......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Tujuan........................................................................................................3
1.2.1 Tujuan Umum....................................................................................3
1.2.2 Tujuan Khusus...................................................................................3
BAB 2......................................................................................................................4
PEMBAHASAN......................................................................................................4
Sejarah Asuransi Kesehatan di Dunia..................................................................4
Asuransi Kesehatan Nasional...........................................................................8
1. Perkembangan AKN di Indonesia.........................................................9
2. Perkembangan AKN di Kanada...........................................................19
3. Perkembangan AKN di Amerika Serikat (AS)....................................21
4. Perkembangan AKN di Jerman...........................................................22
5. Perkembangan AKN di Belanda..........................................................23
6. Perkembangan AKN di Australia........................................................23
7. Perkembangan AKN di Jepang............................................................24
8. Perkembangan AKN di Taiwan...........................................................24
9. Perkembangan AKN di Korea Selatan................................................25
10. Perkembangan AKN di Thailand.....................................................25
11. Perkembangan AKN di Filipina.......................................................26
Asuransi Kesehatan Komersial.......................................................................27
BAB 3....................................................................................................................28
PENUTUP..............................................................................................................28
Kesimpulan.........................................................................................................28
Saran...................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asuransi kesehatan telah menjadi kebutuhan dalam kehidupan masyarakat
moderen saat ini. Asuransi kesehatan di Indonesia merupakan hal yang relatif baru
bagi kebanyakan penduduk Indonesia karena istilah asuransi kesehatan belum
menjadi perbendaharaan kata umum. Pemahaman tentang asuransi kesehatan
masih sangat beragam sehingga tidak heran -misalnya di masa lampau- banyak
orang yang menyatakan bahwa Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
(JPKM) bukanlah asuransi kesehatan, hanya karena namanya memang sengaja
dipilih tidak menggunakan kata-kata asuransi.
Domain asuransi kesehatan mencakup berbagai program atau produk asuransi
yaitu penggantian uang atau pemberian pelayanan kesehatan, yang disebabkan
oleh penyakit, kecelakaan kerja, kecelakaan diri selain kecelakaan kerja,
penggantian penghasilan yang hilang akibat menderita penyakit atau mengalami
kecelakaan. Tampak bahwa obyek asuransi kesehatan sangat luas.
Pasar asuransi kesehatan dunia menurut laman globenewswire.com1 akan
meningkat dari 1.465,8 miliar dollar AS pada tahun 2019 menjadi 2.210,62 miliar
dollas AS pada tahun 2027. Hal ini disebabkan adanya peningkatan populasi
lanjut usia, biaya pemeriksaan kesehatan yang tinggi, adanya inisiatif pemerintah
untuk memperbaiki kebijakan penggantian layanan bedah, dan adanya upaya-
upaya untuk memperbaiki layanan asuransi kesehatan khususnya dalam
pembayaran klaim.
Dari informasi tersebut asuransi kesehatan merupakan salah satu alternatif
pembiayaan pelayanan kesehatan yang akan terus berkembang hingga lima tahun
ke depan. Asuransi kesehatan dapat berperan sebagai salah satu instrumen
pembiayaan yang dapat mencapai tujuan univerisal health coverage.
World Health Organization (WHO) mendorong negara-negara di dunia agar
memberikan jaminan kesehatan kepada masyarakatnya baik dalam bentuk
asuransi kesehatan komersil atau sosial. Bahkan sejak tahun 2001 WHO
menganjurkan program asuransi kesehatan sebagai alternatif pembiayaan untuk
mensukseskan program imunisasi.

1
Bagaimana kondisi asuransi kesehatan di Indonesia? Di Indonesia,
permintaan asuransi kesehatan terus bertumbuh sejalan dengan peningkatan
pendapatan dan kepedulian masyarakat terhadap pentingnya antisipasi risiko.
Untuk memenuhi permintaan ini, jumlah perusahaan asuransi jiwa senantiasa
meningkat dan demikian pula dengan beragam produknya yang yang ditawarkan
di pasar. Disamping itu, pemerintah juga semakin meningkatkan program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN).
JKN merupakan bentuk program jaminan pemerintah atau asuransi kesehatan
sosial yang dijalankan oleh BPJS Kesehatan. Namun dalam sebuah survey
meskipun JKN dapat menurunkan pengeluaran biaya kesehatan pada masyarakat,
namun ternyata tidak mampu menaikkan status kesehatan. Hal ini menunjukkan
ada aspek pelayanan yang masih luput dari perhatian pemerintah sebagai pemilik
program JKN. Kontribusi JKN maupun industri asuransi yang lain, khususnya
asuransi kesehatan, terhadap perekonomian Indonesia masih relatif rendah.
Kontribusi industri asuransi pada perekonomian Indonesia masih tergolong
rendah. Kontribusi premi bruto industri asuransi hingga tahun 2009 masih di
bawah 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal, di negara-negara
tetangga, kontribusi premi bruto industri asuransi sudah lebih dari 19 persen
terhadap PDB. Misalnya di Malaysia 19,5 persen dan Singapura 49,8 persen dari
PDB (Bank Dunia, 2005).
Masih rendahnya kontribusi industri asuransi terhadap perekonomian di
Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Rendahnya kontribusi industri
asuransi terhadap perekonomian berimplikasi bahwa prospek industri ini masih
sangat besar. Premi bruto terus meningkat dengan pertumbuhan rata-rata di atas
20 persen per tahun.
Hal ini memperkuat keyakinan bahwa industri asuransi di Indonesia masih
sangat potensial untuk dikembangkan melalui sinergi di antara para pelaku pasar
dan pemerintah sebagai regulator. Oleh sebab itu, di dalam makalah ini akan
dibahas tentang perkembangan asuransi kesehatan yang ada di indonesia dan
beberapa negara yang ada di dunia seperti negara-negara yang ada di Eropa dan
Asean.

2
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum


Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan
asuransi kesehatan di berbagai negara.

1.2.2 Tujuan Khusus


1) Untuk mengetahui sejarah asuransi kesehatan di Dunia;
2) Untuk mengetahui sejarah Asuransi Kesehatan Nasional (AKN);
3) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Indonesia;
4) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Kanada;
5) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Amerika Serikat;
6) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Jerman;
7) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Belanda;
8) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Australia;
9) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Jepang;
10) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Taiwan;
11) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Korea Selatan;
12) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Thailand; dan
13) Untuk mengetahui perkembangan AKN di Filipina;

3
BAB 2
PEMBAHASAN

Sejarah Asuransi Kesehatan di Dunia


Sejak 1.000 tahun Sebelum Masehi masyarakat kuno telah mengenal prinsip
dasar asuransi yaitu yang dikenal dengan istilah “Hukum Laut”. Dalam konsep
hukum laut di jaman kuno, perahu-perahu mengalami kesulitan mendarat akibat
malam yang gelap gulita. Untuk mengatasi hal itu disepakati mengupayakan
penerangan dengan cara melemparkan sesuatu kelaut, sehingga laut menjadi
terang dan hasilnya dapat dinikmasti para nelayan.
Karena penerangan yang dihasilkan oleh upaya itu dinikmati bersama oleh
para nelayan, maka disepakati untukn menanggung bersama upaya itu. Dengan
kata lain “Segala yang dikorbankan untuk manfaat bersama harus dipikul
(kontribusi) secara bersama-sama”. Hukum kuno tersebut menjadi dasar dari
prinsip asuransi, bukan hanya asuransi kesehatan, tetapi semua asuransi “a
common contribution for the common good” (HIAA, 1994) .
Di kalangan masyarakat China kuno juga sudah dikenal konsep asuransi yaitu
masyarakat memberikan dana secara rutin kepada sinshe tanpa memperhatikan
apakah mereka sakit atau tidak. Ketika salah seorang anggota keluarga masyarakat
sakit, mereka membawa si sakit ke shinse tanpa membayar lagi.
Di Timur Tengah, konsep asuransi juga sudah berkembang sejak jaman kuno
yang tumbuh di kalangan pedagang yang berbisnis lintas daerah (kini lintas
negara). Berdagang di gurun pasir luas dari Yaman di Selatan sampai Suriah di
Utara atau dari Libia di Barat sampai Iran di Timur, mempunyai risiko kehilangan
arah karena luasnya gurun pasir. Untuk menghindari beban ekonomi para keluarga
kafilah yang berdagang jauh tersebut, para kafilah bersepakat mengumpulkan
dana yang akan digunakan untuk memberikan santunan kepada anggota keluarga
kafilah yang hilang atau meninggal dalam perjalanan bisnisnya.
Asuransi modern berkembang luas di Eropa pada pertengahan abad ke 19
pasca revolusi industri. Masa itu tumbuh harapan kehidupan baru yang baik,
namun disisi lain terjadi peningkatan risiko dalam kehidupan rumah tangga.

4
Kehidupan tradisional berbasis pertanian lebih menjanjikan kestabilan dan
kepastian pendapatan jangka panjang dibandingkan dengan kehidupan industri.
Ketidakpastian itu memicu tumbuhnya perkumpulan (asosiasi, societies, club, dan
sebagainya) yang bertujuan menanggung bersama berbagai risiko yang menimpa
anggota suatu kelompok akibat industrialisasi tersebut. Perkumpulan itu kemudian
berkembang pesat di beberapa negara, seperti Jerman, Denmark, Swedia,
Norwegia, Swiss, dan Belanda, ditandai dengan pembentukan berbagai klub yang
melakukan upaya bersama untuk menghadapi anggota perkumpulan yang
menderita sakit, sehingga perkumpulan itu disebut sick clubs, mutual benefit
funds, cooperatives, atau societies. Di Inggris dikenal Friendly Societies dan
Saturday Funds yaitu asosiasi para pedagang untuk mengatasi berbagai risiko
dalam menjalankan usahanya.
Dilihat dari keanggotaan dan bentuk perkumpulannya, dikenal beberapa
variasi kelompok atau perkumpulan seperti serikat pekerja usaha dagang, industri
kecil, pekerja di berbagai sektor, pengrajin, pengusaha (waktu itu masih kecil atau
menengah), dokter secara perorangan, asosiasi dokter, kelompok keagamaan, dan
perusahaan asuransi.
Jenis asuransi yang umum di abad ke-19 adalah mutual aid societies yaitu
bentuk gotongroyong informal yang mengumpulkan iuran dari para anggota
perkumpulan dan menjanjikan memberikan uang tunai (cash benefit) ketika
anggota yang mengalami cacat (hilang kemampuan/disable) yang disebabkan oleh
kecelakaan atau penyakit, sehingga anggota itu tidak mampu berdagang atau
bekerja lagi.
Konsep asuransi sosial, yang bersifat wajib karena diatur oleh pemerintah
atau penguasa, mulai berkembang di Eropa pada tahun 1883 ketika Kanselir Otto
von Bismarck mewajibkan seluruh pekerja untuk bergabung dalam Dana Sakit
(sicknes fund, zieken fond).
Bismarck berpendapat penduduk harus mendapatkan haknya pada masamasa
sulit seperti ketika jatuh sakit. Hak tersebut diatur melalui suatu mekanisme
khusus yang berasal dari kontribusinya sendiri, bukan sumbangan orang.. Negara
harus menjamin agar hak tersebut terpenuhi dengan cara mewajibkan pekerja
membayar iuran untuk dirinya sendiri. Sebagai konsekuensinya, ketika orang

5
mengalami kegagalan mendapatkan upah akibat sakit, orang tersebut berhak
mendapatkan penggantian kehilangan upah tersebut. Jadi manfaat yang diberikan
bukan biaya pengobatan atau perawatan, akan tetapi pengganti upah yang hilang
karena tidak mampu bekerja (tuna karya sementara) akibat suatu penyakit. Pada
awalnya, kewajiban ini hanya dikenakan kepada pekerja kelas atas (white collar),
kemudian diperluas hingga pekerja, kasar, pelajar, mahasiswa, dan petani. Seperti
juga yang terjadi di berbagai belahan dunia, penghimpunan dana secara tradisional
yang bersifat sukarela oleh friendly societies - semacam upaya dana sehat atau
koperasi di Indonesia- tidak bisa berkembang secara optimal.
Jerman, tradisi ekonominya berkembang melalui pembentukan kelompok
usaha yang terdiri atas pedagang, pengusaha kecil dan pengrajin (guilds),
menerapkan sistem asuransi kesehatan wajib menggunakan pendekatan tradisi
tersebut. Oleh karenanya sistem asuransi wajib (asuransi sosial) ini dikembangkan
untuk tiap kelompok kerja atau di lingkungan suatu usaha/perusahaan.
Ada tiga kunci kebijakan Jerman di akhir abad ke 19 tersebut, yaitu setiap
pekerja wajib mengikuti program dana sakit, dana yang terkumpul dikelola sendiri
oleh kelompoknya dan sumber dana berasal dari pekerja itu sendiri, bukan dari
pemerintah (Stierle, 1998). Model asuransi sosial inilah yang kemudian
berkembang dan menjadi dasar penyelenggaraan asuransi/jaminan sosial (social
security) di seluruh dunia dengan berbagai variasi penyelenggaraan.
Pada pertengahan abad ke 19 (tahun 1851), di Amerika, tepatnya di San
Francisco terbentuk voluntary mutual protection associations seperti La societe
Francaise de Beienfaisance Mutuelle. Asosiasi ini selanjutnya mendirikan rumah
sakit di tahun 1852 untuk melayani perawatan bagi anggotanya.
Sejak tahun 1875, establishment funds (Dana Bersama) di Amerika mulai
banyak terbentuk. Dana bersama tersebut merupakan mutual benefit associations,
semacam serikat pekerja, dari suatu firma (employer) yang dapat berbentuk
perusahaan atau bentuk badan hukum lainnya. Umumnya dana yang terkumpul
berasal dari para karyawan, hanya sedikit Dana Bersama yang ikut dibiayai oleh
majikan. Manfaat yang diberikan Dana Bersama umumnya diberikan sebagai dana
kematian dan disabilitas dalam jumlah yang relatif kecil.

6
Di akhir abad ke 19, gerakan penghimpunan Dana Bersama ini dinilai tidak
memadai karena terbatasnya jumlah peserta yang memenuhi syarat ikut serta
karena sifat kepesertaan yang sepenuhnya sukarela. Hambatan lain adalah iuran
yang rendah sehingga dana yang terkumpul tidak mencukupi untuk membayar
santunan yang dijanjikan. Ketidakcukupan peserta dan dana ini merupakan
fenomena umum yang sampai sekarang terjadi di banyak negara berkembang.
Akibatnya peserta tidak merasakan manfaat bergabung kedalam Dana Bersama
dan memilih berhenti, sehingga jumlah peserta yang sudah sedikit semakin sedikit
akibat berkurangnya jumlah peserta yang tetap bergabung.
Sampai tahun 1917, asuransi disabilitas pendapatan (disability income) ini
yang membayar manfaat ketika peserta sakit, yang bukan karena kecelakaan kerja
atau penyakit akibat pekerjaan—yang dijamin oleh pemerintah melalui UU
Kecelakaan Kerja tahun 1908, merupakan satu-satunya jenis asuransi kesehatan
yang ditawarkan perusahaan asuransi.
Pasar asuransi kesehatan penggantian upah ini tidak mengalami perubahan
berarti di Amerika sampai 40 tahun kemudian. Di tahun 1940an, empat negara
bagian Amerika (Rhode Island—1942, California—1946, New Jersy—1948, dan
New York—1949) mewajibkan asuransi disabilitas pendapatan jangka pendek
(short term disability income insurance) di negara bagian tersebut.
Jaminan sosial (social security) yang kini dikenal di dunia dan mencakup
salah satu program asuransi kesehatan sosial dikembangkan di Amerika di tahun
1935 setelah terjadi krisis ekonomi besar (great depression) di tahun 1932. Akan
tetapi pada waktu pertama kali undang-undang jaminan sosial diundangkan tahun
1935, program asuransi kesehatan belum masuk dalam sistem jaminan sosial
Amerika.
Program yang masuk lebih dahulu adalah jaminan hari tua dan disabilitas
yang dikenal dengan OASDHI (old age, survivor benefit, and disability income).
Baru pada pada tahun 1965 Amerika menambahkan program jaminan kesehatan
yang terdiri atas Medicare (asuransi kesehatan wajib bagi penduduk lanjut usia
atau lansia, penderita cacat dan penderita gagal ginjal) dan Medicaid (program
bantuan pemerintah pusat dan daerah dalam jaminan kesehatan bagi penduduk
miskin). Setelah tahun 1965, program jaminan sosial Amerika dikenal dengan

7
OASDHI (old age, survivor benefit, disability, and Health Insurance). Seluruh
program jaminan sosial tersebut dikelola oleh pemerintah federal (pusat) bukan
oleh pemerintah bagian.
Namun demikian, dalam hal asuransi kesehatan komersial, pemerintah
Amerika menyerahkan pengaturannya kepada negara bagian. Asuransi kesehatan
komersial berkembang pesat pasca terjadinya krisis besar di Amerika.

Asuransi Kesehatan Nasional


Istilah Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) atau National Health Insurance
(NHI) kini semakin banyak digunakan di dunia. Inggris merupakan negara
pertama yang memperkenalkan AKN di tahun 1911. Meskipun sistem kesehatan
di Inggris kini lebih dikenal dengan istilah National Health Service (NHS) suatu
sistem kesehatan yang didanai dan dikelola oleh pemerintah secara nasional (tidak
terdesentralisasi), namun sifat pengelolaanya merupakan AKN yang sebagian
dibiayai dari kontribusi wajib oleh tenaga kerja (termasuk di sektor informal) dan
pemberi kerja.
Sistem di Inggris tersebut dusebut NHS karena karena penyaluran dananya
melalui anggaran belanja negara yang sebagian besar bersumber pajak umum
(tax-funded). Pembayaran pajak yang tidak memisahkan secara khusus dana untuk
kesehatan seperti yang sebelumnya terjadi menjadikan sistem di Inggris tersebut
lebih dikenal dengan istilah NHS dibanding AKN.
Cakupan kepesertaan dengan NHS adalah universal yaitu seluruh penduduk
(universal coverage) karena kepesertaan tidak dikaitkan dengan iuran oleh
masing-masing peserta. Banyak negara lain di Eropa yang juga memiliki cakupan
universal menggunakan sistem NHS yang mengikuti pola Inggris. Hakekatnya
baik NHS maupun AKN mempunyai tujuan yang sama yaitu menjamin bahwa
seluruh penduduk mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
medis tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonominya.
Perbedaan NHS dan AKN terletak pada mekanisme pendanaan. AKN lebih
bertumpu pada kontribusi khusus yang bersifat wajib (yang ekivalen dengan
pajak) dan dikelola secara terpisah dari anggaran belanja negara, baik dikelola

8
langsung oleh pemerintah maupun oleh suatu badan kuasi pemerintah yang
otonom.
Meskipun AKN mempunyai kesamaan prinsip dan tujuan, namun
penyelenggaraannya di dunia sangat bervariasi. Kanada memperkenalkan AKN
yang kini disebut Medicare di tahun 1961 dengan prinsip dasar menjamin akses
universal, portabel, paket jaminan yang sama bagi semua penduduk dan
dilaksanakan otonom di tiap propinsi.
Pendanaan AKN merupakan kombinasi dari kontribusi wajib dan subsidi dari
anggaran pemerintah pusat. Pada awalnya, hanya rawat inap yang dijamin oleh
AKN. Pada tahun 1972, paket jaminan diperluas dengan rawat jalan. Kini seluruh
penduduk Kanada menikmati pelayanan kesehatan komprehensif tanpa harus
memikirkan berapa besar biaya yang harus mereka keluarkan dari kantong sendiri
bahkan untuk penyakit berat sekalipun.
Beberapa jenis pelayanan rumah sakit dan obat yang tidak termasuk
klasifikasi esensial, dijamin AKN. Inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi
kesehatan komersial. Tampak jelas bahwa peran usaha asuransi kesehatan
komersial terbatas pada menjamin hal-hal yang tidak dijamin AKN atau dikenal
dengan asuransi tambahan/suplemen. Pembagian peran ini dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya seleksi bias (adverse selection) bila pendekatan yang
digunakan adalah asuransi kesehatan komersial bersifat sukarela, yang akan
menyebabkan tidak semua penduduk dapat memenuhi kebutuhan kesehatannya.

1. Perkembangan AKN di Indonesia


Perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia berjalan sangat lambat
dibandingkan dengan perkembangan asuransi kesehatan di beberapa negara
tetangga di ASEAN. Penelitian yang seksama tentang faktor yang mempengaruhi
perkembangan asuransi kesehatan di Indonesia tidak cukup tersedia.
Secara teoritis beberapa faktor penting dapat dikemukakan sebagai
penyebabkan lambatnya pertumbuhan asuransi kesehatan di Indonesia,
diantaranya deman (demand) dan pendapatan penduduk yang rendah, terbatasnya
jumlah perusahaan asuransi, dan buruknya kualitas fasilitas pelayanan kesehatan
serta tidak adanya kepastian hukum di Indonesia.

9
Penduduk Indonesia pada umumnya merupakan risk taker untuk kesehatan
dan kematian. Sakit dan mati dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang
religius merupakan takdir Tuhan dan karenanya banyak anggapan yang tumbuh di
kalangan masyarakat Indonesia bahwa membeli asuransi berkaitan sama dengan
menentang takdir.
Hal ini menyebabkan rendahnya kesadaran penduduk untuk membeli atau
mempunyai asuransi kesehatan. Selanjutnya, keadaan ekonomi penduduk
Indonesia yang sejak merdeka sampai saat ini masih mempunyai pendapatan per
kapita sekitar $ 1.000 AS per tahun, sehingga tidak memungkinkan penduduk
Indonesia menyisihkan dana untuk membeli asuransi kesehatan maupun jiwa.
Rendahnya deman dan daya beli tersebut mengakibatkan tidak banyak perusahaan
asuransi yang menawarkan produk asuransi kesehatan.
Selain itu, fasilitas kesehatan sebagai faktor yang sangat penting untuk
mendukung terlaksananya asuransi kesehatan juga tidak berkembang secara baik
dan distribusinya merata. Sedangkan dari sisi regulasi, Pemerintah Indonesia
relatif lambat memperkenalkan konsep asuransi kepada masyarakat melalui
kemudahan perijian dan kapastian hukum dalam berbisnis asuransi atau
mengembangkan asuransi kesehatan sosial bagi masyarakat luas.

Asuransi Sosial
Sesungguhnya, Pemerintah Indonesia sudah mulai mencoba memperkenalkan
prinsip asuransi sejak tahun 1947, dua tahun setelah Indonesia merdeka. Seperti
juga yang berkembang di negara maju, asuransi kesehatan berkembang dimulai
dengan asuransi sosial dalam bidang kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Pada waktu itu Pemerintah mewajibkan semua perusahaan untuk
mengasuransikan karyawannya terhadap kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Namun demikian, karena situasi keamanan dalam negeri pasca kemerdekaan yang
masih belum stabil akibat adanya berbagai pembrontakan dan upaya Belanda
untuk kembali merebut Indonesia, maka upaya tersebut belum memungkinkan
untuk terlaksana dengan baik.
Setelah kestabilan politik relatif tercapai, di tahun 1960 pemerintah mencoba
memperkenalkan lagi konsep asuransi kesehatan melalui undang-undang Pokok
Kesehatan tahun 1960 yang meminta Pemerintah mengembangkan ‘dana sakit’

10
dengan tujuan untuk menyediakan akses pelayanan kesehatan untuk seluruh
rakyat. Akan tetapi karena berbagai kondisi sosial ekonomi seperti disampaikan
dimuka belum kondusif, maka perintah undang-undang tersebut sama sekali tidak
bisa dilaksanakan.
Pada tahun 1967, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) mengeluarkan Surat
Keputusan untuk mendirikan Dana mirip dengan konsep Health Maintenance
Organization (HMO) atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
yang berkembang kemudian guna mewujudkan amanat undang-undang kesehatan
tahun 1960 tersebut. Mentri menetapkan iurannya sebesar 6% upah yang
ditanggung majikan sebesar 5% dan karyawan 1%.46 Sayangnya SK Menaker
tersebut tidak mewajibkan, karena memang SK Menteri tidak cukup kuat untuk
mewajibkan, pengusaha untuk membayar iuran tersebut. Akibatnya SK tersebut
tidak berfungsi dan skema asuransi kesehatan tersebut tidak pernah terwujud.
Sampai tahun 1968, tidak ada perkembangan yang berarti dalam bidang
asuransi kesehatan di Indonesia. Beberapa perusahaan besar dan Pemerintah
memang telah memberikan jaminan kesehatan secara tradisional (self-insured)
dengan cara mengganti biaya kesehatan yang telah dikeluarkan oleh karyawan.
Upaya pengembangan asuransi kesehatan sosial yang lebih sistematis mulai
diwujudkan di tahun 1968 ketika Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Awaludin
Djamin, mengupayakan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri. Upaya
menyediakan asuransi kesehatan bagi pegawai negeri dan keluarganya ini
merupakan skema asuransi kesehatan sosial pertama di Indonesia.
Asuransi kesehatan sosial adalah asuransi kesehatan yang mempunyai ciri
wajib diikuti oleh sekelompok penduduk (misalnya pegawai negeri), manfaat atau
paket pelayanan kesehatan yang dijamin ditetapkan oleh peraturan dan sama
untuk semua peserta, dan iuran/preminya ditetapkan dengan prosentase upah atau
gaji.
Pada awalnya asuransi kesehatan pegawai negeri, yang kini lebih dikenal
dengan Askes, mewajibkan iuran sebesar 5% dari upah, namun pada
perkembangan selanjutnya, iuran diturunkan menjadi 2% yang harus dibayar oleh
pegawai negeri, sementara pemerintah sebagai majikan tidak membayar iuran.

11
Baru pada tahun 2004, Pemerintah memulai mengiur sebesar 0,5% dari gaji
yang secara bertahap akan dinaikkan menjadi 2%, sehingga total iuran asuransi
kesehatan bagi pegawai negeri menjadi 4%.
Program asuransi kesehatan pegawai negeri ini awalnya dikelola oleh suatu
badan di Departemen Kesehatan yang dikenal dengan Badan Penyelenggara Dana
Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK). Badan tersebut sebagaimana badan lain yang
berada di dalam birokrasi tidak memiliki fleksibilitas cukup untuk merespons
tuntutan peserta dan fasilitas kesehatan. Administrasi keuangan di Departemen
umumnya lambat dan birokratis sehingga tidak mendorong manajemen yang baik
dan memuaskan pengandil (stake holder).
Oleh karenanya Askes kemudian dikelola secara korporat dengan
mengkonversi BPDPK menjadi Perusahaan Umum (Perum) yang dikenal dengan
Perum Husada Bakti (PHB) di tahun 1984. Perubahan menjadi PHB membuat
pengelolaan Askes, yang pada waktu itu dikenal juga dengan istilah Kartu
Kuning, dapat dikelola secara lebih fleksibel. Istilah Kartu Kuning dikenal sejak
program dikelola oleh BPDPK karena kartu oeserta berwarna kuning.
Namun demikian, status Perum yang merupakan konsep penyelenggaraan
tugas operasional pemerintah dinilai kurang leluasa untuk pengembangan asuransi
kesehatan kepada pihak di luar pegawai negeri. Perkembangan selanjutnya PHB
dikonversi menjadi PT Persero dengan Peraturan Pemerintah nomor 6/1992 dan
namanya berubah menjadi PT Asuransi Kesehatan Indonesia (Persero) yang
disingkat PT Askes (Persero). Nama Askes sengaja digunakan untuk
memudahkan peserta mengenal dan memahami program yang menjadi haknya.
Ketika masih dikelola oleh PHB, Kartu Kuning sudah dikenal juga sebagai
Kartu Askes (asuransi kesehatan). Dengan status Persero, PT Askes (Persero)
mempunyai keleluasaan yang lebih dalam pengelolaan aset dan memperluas
kepesertaan kepada sektor swasta. Setelah menjadi PT Persero, PT Askes
(Persero) telah memperluas produk asuransi yang dikelola dengan menjual produk
asuransi kesehatan komersial JPKM/HMO kepada perusahaan swasta maupun
BUMN.
Sampai tahun 2004, jumlah peserta asuransi komersial telah mencapai 1,5
juta jiwa, sedangkan jumlah peserta asuransi kesehatan sosial yaitu pegawai

12
negeri, pensiunan pegawai negeri, dan pensiunan angkatan bersenjata beserta
anggota keluarganya, mencapai hampir 14 juta jiwa.
Di tahun 1971, upaya asuransi sosial dalam bidang kecelakaan kerja juga
dimulai dengan didirikannya Perusahaan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek).
Astek pada awalnya hanya menangani asuransi kecelakaan kerja. Upaya perluasan
program asuransi sosial menjadi program jaminan sosial yang lebih lengkap
dimulai dengan uji coba Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja
di lima propinsi yang mencakup sekitar 70.000 tenaga kerja di tahun 1985. Uji
coba selama lima tahun dimaksudkan untuk menilai kelayakan memperluas
asuransi kesehatan sosial ke sektor swasta yang memiliki ciri berbeda dengan
sektor publik (Askes).
Di sektor swasta, sifat perusahaan sangat dinamis, baik dari segi jumlah
tenaga kerja, masa kerja di suatu perusahaan, jumlah upah, jumlah
perusahaan/majikan dan kemampuan finansial untuk membayar iuran. Proses
pembayaran iuranpun tidak mudah karena tidak ada satu mekanisme sentral,
seperti pada sektor publik, yang lebih menjamin terkumpulnya dana secara
memadai dan teratur. Akhirnya setelah uji coba selama lima tahun, program
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Tenaga Kerja dinilai layak untuk masuk dalam
program jaminan sosial.
Di bulah Februari 1992, undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek) disetujui DPR dan diundangkan. Undang-undang Jamsostek ini
mencakup empat program jaminan sosial yaitu Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
(JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan
Kematian.
Program JPK merupakan program asuransi sosial yang jaminannya diberikan
juga kepada anggota keluarga karyawan, sedangkan ketiga program jaminan
sosial lainnya hanya diberikan kepada karyawan. Program JHT, di lain pihak,
merupakan program tabungan, bukan program asuransi. Dalam
perkembangannya, program JPK ternyata tidak sepenuhnya diwajibkan, karena
pada Peraturan Pemerintah nomor 14/1993 disebutkan bahwa perusahaan (baca
firma atau badan usaha karena termasuk juga yayasan atau badan lain yang
mempekerjakan 10 atau lebih karyawan) yang telah atau akan memberikan

13
jaminan yang lebih baik dari paket jaminan yang diatur PP tersebut boleh tidak
mengikuti (opt out) program JPK Jamsostek. Klausul pasal inilah yang
menyebabkan cakupan peserta program JPK Jamsostek tidak pernah besar dan
sampai pada tahun 2004 hanya sekitar 1,3 juta tenaga kerja atau beserta sekitar 1,6
juta anggota keluarganya yang mendapatkan perlindungan JPK. Akan tetapi,
program JKK mencakup lebih banyak pekerja yaitu secara akumulatif mencapai
hampir 20 juta tenaga kerja.
Namun demikian, karena dinamika perusahaan, jumlah peserta Jamsostek di
tiga program lainnya juga mengalami fluktuasi. Kendala besar yang dihadapi
program Jamsostek adalah seringnya karyawan berpindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain, sehingga menyulitkan pendataan peserta. Kendala seperti ini
tidak terjadi di program asuransi kesehatan pegawai negeri.

Dana Sehat/JPKM/Jaminan Kesehatan Penduduk Miskin


Dana sehat dapat dilihat sebagai upaya penghimpunan (pooling) dana
masyarakat dalam bentuk yang paling sederhana. Usaha dana sehat tidak bisa
dikatakan murni sebagai kearifan (ide) bangsa Indonesia karena upaya yang sama
juga terjadi di negara-negara maju di Eropa maupun Amerika. Namun demikian,
semua inisitatif serupa dana sehat memang tidak berkembang menjadi sebuah
asuransi besar.
Di awal tahun 1970an, mulai muncul ide dana sehat, misalnya di kecamatan
Karang Kobar, Klampok dimana dr. Agus Swandono, kepala Puskesmas
berinisiatif mengumpulkan dana untuk biaya obat dan pengelolaan sanitasi. Di
Kupang dan Bali juga berkembang upaya sama yang didorong oleh pemerintah
daerah/dinas kesehatan guna meningkatkan kesadaran masyarakat untuk
membiayai kesehatan dirinya sendiri.
Upaya pengembangan dana sehat memang banyak didorong oleh pemerintah
dengan harapan terlalu besar, namun kenyataannya tidak berkembang menjadi
besar. Ribuan dana sehat di tingkat kelurahan, kecamatan, bahkan yang setingkat
propinsi seperti Raraeongan Sarupi di Jawa Barat telah dikembangkan, akan tetapi
sampai saat ini hampir tidak ada yang bertahan hidup apalagi berkembang.
Bahkan upaya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) yang
mempunyai dukungan struktural yang lebih kuat, antara lain tercantum dalam UU

14
nomor 23/1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan, juga tidak
berkembang seperti yang diharapkan. Program JPKM yang mengambil ide Health
Maintenance Organization (HMO) di Amerika sering dicampur-adukan dengan
dana sehat.
Pada awal tahun 1990, Depkes mengeluarkan buku pedoman untuk
menumbuh-kembangkan dana sehat menjadi JPKM. Upaya-upaya
mengembangkan dana sehat menjadi JPKM, yang dinilai sebagai tingkatan yang
lebih tinggi, tidak memperoleh hasil yang memadai. Di daerah-daerah, pejabat di
lingkungan dinas kesehatan tidak bisa membedakan antara dana sehat dan JPKM.
Upaya memperluas dan mengembangkan JPKM, setelah keluar UU
Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan yang mengatur JPKM, dilakukan
antara lain dengan meminjam dana dari Bank Dunia misalnya pada Proyek
Kesehatan IV (HP IV) di Kaltim, Kalbar, Sumbar dan NTB. Proyek lain adalah
pinjaman dana Asian Development Bank (ADB) juga dilakukan di daerah lain.
Kebanyakan proyek itu mengembangkan JPKM dengan pola pikir (mindset) dana
sehat sehingga upaya-upaya menjual produk JPKM dilakukan kepada penduduk
yang berpenghasilan rendah dengan target penjualan ke rumah tangga. Dengan
tidak adanya pengetahuan, pengalaman, dan bimbingan dari profesional yang
memahami asuransi kesehatan, upaya yang dilakukan tidak membuahkan hasil.
Kekurangan dukungan profesional asuransi kesehatan dipersulit dengan anggapan
yang terus dipertahankan untuk waktu lama bahwa JPKM bukan asuransi.
Ketika Indonesia menderita krisis nilai tukar rupiah pada bulan Juni 1997
yang membuat rupiah terpuruk dari nilai sekitar Rp 2.300 per $1 AS menjadi
sampai Rp 15.000 untuk $1 AS, menyebabkan harga barang dan jasa khususnya
barang impor, menjadi sangat mahal, sehingga akses pelayanan kesehatan menjadi
sangat rendah. Pemerintah dan pihak internasional sangat khawatir terjadi
penurunan derajat kesehatan masyarakat dan semakin buruknya akses pelayanan.
Upaya mencegah terjadinya kerusakan sistem yang sudah dibangun berkembang
menjadi upaya mengembangkan Jaring Pengaman Sosial (social safety net) untuk
berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan.
Upaya jaring pengaman di bidang kesehatan dikenal dengan istilah program
Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) yang ditumpangi dengan

15
keinginan mengembangkan JPKM. Upaya JPSBK didanai dari pinjaman ADB
sebesar US$ 300 juta untuk masa lima tahun dengan program pemberian dana ke
puskesmas, kepada bidan di desa untuk menangani ibu hamil berisiko tinggi,
pembelian vaksin, dan pemberian jaminan kesehatan melalui suatu badan yang
disebut pra bapel JPKM. Tidak kurang dari 280 pra bapel dikembangkan di
seluruh kabupatan dengan diberikan dana Rp 10.000 per kepala keluarga
penduduk miskin per tahun. Pra bapel diberikan dana tersebut dengan biaya
manajemen sebesar 8% dengan kewajiban mengembangkan program JPKM
kepada masyarakat non-miskin. Upaya tersebut tidak membuahkan hasil.
Berbagai kontroversi tentang pengembangan JPKM, yang sesungguhnya
merupakan konsep asuransi komersial dengan produk managed care, berlanjut
cukup lama. Pada tahun 2002, program tersebut akhirnya diganti dengan
pemberian dana langsung ke puskesmas dan ke rumah sakit. Kritik juga muncul
dari besarnya dana pinjaman untuk kebutuhan JPS sementara pemerintah
memberikan subsidi harga bahan bakar minyak yang besarnya mencapai lebih dari
Rp 56 triliun setahun. Padahal untuk menjamin seluruh penduduk atau
membebaskan biaya kesehatan bagi seluruh penduduk, diperlukan hanya 15-20%
dari subsidi BBM tersebut.
Dengan kritik yang keras, akhirnya pemerintah menyepakati mencabut
subsidi yang berakibat naiknya harga minyak dan mengalihkan dana subsidi
tersebut untuk program kesehatan, pendidikan, beras miskin, dan beberapa
program lain dengan nama Program Dana Pengalihan Subsidi Energi (PDPSE)
dan kemudian berganti nama dengan Program Kompensasi Pengalihan Subsidi
Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM). Di bidang kesehatan, pengalihan subsidi
BBM tersebut sesungguhnya tidak besar karena jumlahnya kurang dari Rp 1
triliun per tahun.
Di tahun 1999, Uni Eropa sangat prihatin melihat hancurnya sistem sosial di
Indonesia setelah krisis nilai tukar yang berlanjut dengan krisis ekonomi. Negara-
negara Eropa tersebut menawarkan bantuan untuk memperkuat sektor sosial,
antara lain sistem jaminan sosial.
Di tahun 2000 Kepala Biro Kesehatan dan Gizi menugaskan tim Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang dipimpin oleh Hasbullah

16
Thabrany untuk melakukan telaah (review) komprehensif tentang jaminan
kesehatan di Indonesia.
Dalam telaah ini diungkapkan rendahnya cakupan asuransi kesehatan di
Indonesia dan disampaikan berbagai alternatif pengembangan jaminan kesehatan
dengan mengembangkan sistem asuransi kesehatan sosial yang menuju cakupan
universal agar seluruh penduduk memiliki asuransi kesehatan. Beberapa bulan
kemudian Kementerian Koordinator Perekonomian (Menko Ekuin) juga meminta
Lembaga Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (LPPUI) yang dipimpin
oleh Hasbullah Thabrany untuk melakukan telaah komprehensif sistem jaminan
sosial di Indonesia. Tim yang juga beranggotakan Edi Purwanto dari Kementrian
Koordinator Perekonomian dan Odang Mochtar dari PT Jamsostek menghasilkan
dokumen yang merekomendasikan untuk reformasi sistem jaminan sosial di
Indonesia.
Upaya-upaya pengalihan subsidi dinilai sebagai upaya yang tidak konsisten
dengan amanat UUD45 yang mengharuskan pemerintah bertanggungjawab
menyediakan pelayanan kesehatan bagi seluruh penduduk. Di tahun 2000, Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berhasil melakukan amendemen
UUD45 dengan menambahkan pasal 28H ayat (1) yang berbunyi “..setiap
penduduk berhak atas pelayanan kesehatan..” Pada tahun 2001 Sidang Umum
MPR juga mengeluarkan Ketetapan MPR nomor X/2001 yang menugaskan
Presiden Megawati untuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pada tahun yang sama, Sekretaris Wakil Presiden, Bambang Kesowo,
menerbitkan Surat Keputusuan membentuk Tim Peninjau Sistem Jaminan Sosial.
Amendemen selanjutnya yang disetujui Sidang Umum MPR tanggal 11 Agustus
2002, yaitu Pasal 34 ayat (2), menugaskan negara untuk mengembangkan sistem
jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Pada tahun yang sama, Presiden Megawati menerbitkan Kepres nomor
20/2002 yang membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dengan
tugas menyusun naskah akademik dan Rancangan UU (RUU) SJSN. Tim ini
merupakan satu-satunya tim penyusun UU dalam sejarah Indonesia yang dibentuk
dengan Kepres dan beranggotakan lima Departemen/kementerian yaitu

17
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Keuangan, Sosial, Kesehatan,
dan Tenaga Kerja.

Asuransi Komersial
Asuransi kesehatan komersial telah ditawarkan di kota-kota besar di awal
tahun 1970an oleh perusahaan asuransi multinasional yang memiliki kantor
cabang atau unit usaha di Indonesia. Perkembangan penjualan asuransi komersial
yang dijual oleh perusahaan asuransi sebelum tahun 1992 tidak mengalami
pertumbuhan yang berarti karena landasan hukumnya tidak begitu jelas. Asuransi
kesehatan komersial kala itu umumnya dijual sebagai produk tumpangan (rider)
yang dijual oleh perusahaan asuransi kerugian, karena memang asuransi kesehatan
merupakan asuransi kerugian. Perusahaan asuransi jiwa tidak jelas apakah dapat
menjual asuransi kesehatan atau tidak.
Setelah tahun 1992, UU nomor 2/1992 tentang Asuransi mengatur bahwa
perusahaan asuransi jiwa boleh menjual produk asuransi kesehatan. Awalnya
banyak pihak yang menganggap bahwa hanya perusahaan asuransi jiwa yang
diijinkan untuk menjual asuransi kesehatan. Padahal sesungguhnya sifat alamiah
usaha asuransi jiwa bukan asuransi kerugian karena besarnya kehilangan jiwa
tidak bisa diukur dan karenanya asuransi indemnitas atau penggantian kerugian
tidak bisa dijalankan, akan tetapi pemegang polis dapat memilih jumlah yang
diasuransikan apabila seseorang tertanggung meninggal.
Dengan keluarnya UU asuransi ini, maka baik perusahaan asuransi jiwa
maupun asuransi kerugian dapat menjual produk asuransi kesehatan dan
derivatnya. Pertumbuhan pasar asuransi kesehatan mendapat percepatan dari PP
14/1993 tentang Jamsostek yang membolehkan opt out sehingga banyak
perusahaan yang memilih membeli asuransi kesehatan dari swasta dibandingkan
dengan mengikuti program JPK PT Jamsostek (persero).
Percepatan pasar asuransi kesehatan juga dinikmati oleh badan penyelenggara
(bapel) JPKM, yang bukan dikelola oleh swasta yang menjual produk asuransi
kesehatan di kota besar. Dengan iming-iming bahwa JPKM menerapkan teknik-
teknik managed care sehingga mampu menekan biaya dan menawarkan pelayanan
yang lebih bermutu, beberapa bapel JPKM mampu menjual produknya. Akan
tetapi karena pengalaman yang kurang dan tidak memahami bisnis asuransi

18
kesehatan, beberapa bapel tidak mampu berkembang dan bahkan mengalami
kebangkrutan.
Kebangkrutan bapel International Health Benefit of Indonesia (IHBI) di tahun
1999, merupakan suatu contoh kegagalan bapel JPKM yang kurang pengalaman
dalam bisnis asuransi. Kasus IHBI ini di Jakarta menimbulkan kehilangan
kepercayaan pihak rumah sakit terhadap industri asuransi secara keseluruhan,
bukan hanya timbul ketidak-percayaan kepada bapel JPKM. Setelah kejadian ini,
banyak rumah sakit yang meminta agar perusahaan asuransi menempatkan uang
muka untuk dua minggu ke depan, apabila pesertanya hendak dilayani di rumah
sakit tersebut.

2. Perkembangan AKN di Kanada


Di Kanada Sistem asuransi kesehatan yang menjamin akses kepada pelayanan
komprehensif berkembang sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Sebelum tahun
1940an, penduduk Kanada mendapatkan pelayanan kesehatan dengan cara
membayar dari kantong sendiri (out of pocket) sesuai dengan kemampuannya
masing-masing. Penduduk yang mampu bisa membeli asuransi kesehatan
komersial, tetapi sebagian besar penduduk tidak mampu membelinya.
Hal itu menimbulkan banyak masalah akses dan kemanusiaan akibat
penduduk tidak mampu membayar pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
Usaha menyediakan jaminan kesehatan kepada semua penduduk dimulai tahun
1947 ketika propinsi Saskathcwan memulai penyelenggaraan asuransi kesehatan
wajib/sosial, yang sering juga disebut asuransi kesehatan publik, untuk pelayanan
rumah sakit saja.
Sepuluh tahun kemudian, pemerintah federal tertarik untuk memperluas
sistem jaminan yang diberikan oleh propinsi Saskatchwan. Pada tahun 1956,
pemerintah federal merangsang propinsi lain untuk menyelenggarakan jaminan
perawatan rumah sakit dengan memberikan kontribusi sebesar 50% dari dana
yang dibutuhkan propinsi. Pada tahun 1961 seluruh propinsi dan dua daerah
teritorial telah menyetujui untuk memberikan paling tidak jaminan rawat inap.
Sampai dengan tahun tersebut, pelayanan rawat jalan pada praktek dokter, baik
yang praktek mandiri maupun kelompok, masih harus dibayar sendiri oleh
penduduk.

19
Propinsi Saskatchwan melihat hal tersebut sebagai beban penduduk yang
harus dipikul bersama, sehingga pemerintah propinsi memulai perluasan manfaat
asuransi kesehatan publik dengan menanggung pelayanan rawat jalan dokter di
luar rumah sakit.
Pemerintah federal Kanada melihat manfaat asuransi kesehatan komprehensif
bagi penduduk dan pertumbuhan ekonomi di propinsi itu. Melihat itu, pemerintah
Federal pada tahun 1968, memutuskan untuk merangsang propinsi lain
menerapkan asuransi kesehatan komprehensif. Empat tahun kemudian yaitu tahun
1972 seluruh propinsi telah menyediakan jaminan kesehatan komprehensif. Pada
tahun itulah tujuan Asuransi Kesehatan Nasional Kanada tercapai.
Pendanaan program Medicare tersebut selama 20 tahun (sejak 1956)
ditanggung bersama oleh pemerintah propinsi dan pemerintah federal, masing-
masing sama besar. Pada tahun 1977 pendanaan tidak lagi menggunakan sistem
proporsional biaya yang dibutuhkan, melainkan pemberian block grant per kapita
dari pemerintah federal kepada pemerintah provinsi. Bentuk block grant itu
memberikan keleluasaan kepada pemerintah propinsi menggunakan tersebut untuk
membiayai program kesehatan lain, seperti tambahan paket obat bagi lansia dan
perawatan gigi bagi anak-anak.
Tahun 1979, sebuah telaah sistem kesehatan Kanada menunjukkan bahwa
sistem kesehatan di Kanada merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Pada
telaah yang sama ditemukan pula bahwa banyak dokter yang menarik biaya
konsultasi tambahan langsung kepada pasien disamping yang telah dibayar oleh
pemerintah propinsi. Fakta itu mengancam akses penduduk karena ada beban
tambahan untuk membiayai biaya pelayanan kesehatannya.
Dalam undang-undang Kesehatan Kanada tahun 1984, pemerintah federal
menjatuhkan denda kepada pemerintah propinsi sebesar jumlah biaya yang ditarik
oleh dokter di propinsi itu yang dikurangkan dari pendanaan pusat, jika propinsi
mengijinkan dokter menarik biaya tambahan dari penduduk yang ditengarai akan
memberatkan penduduk dan merusak sistem nasional. Kebijakan ini ditujukan
agar seluruh penduduk Kanada terbebas dari beban biaya besar jika ia atau
anggota keluarganya sakit.

20
3. Perkembangan AKN di Amerika Serikat (AS)
Negara tetangga Kanada yakni Amerika Serikat (AS) telah lama bergelut
untuk mewujudkan sebuah AKN. Pasa saat ini, AS dapat dikatakan mempunyai
asuransi kesehatan nasional rawat inap untuk penduduk diatas 65 tahun saja
(lansia) yang disebut Medicare part A. Karena AKN di Amerika Serikat hanya
berlaku bagi penduduk lansia, tidak semua penduduk Amerika yang berjumlah
sekitar 280 juta jiwa memiliki asuransi kesehatan.
Sekitar 50 juta penduduk AS yang berusia di bawah 65 tahun (sekitar 25%
penduduk usia produktif) tidak memiliki asuransi kesehatan. Ini merupakan suatu
bukti kegagalan mekanisme pasar dalam bidang kesehatan, karena AS memang
didominisasi oleh asuransi kesehatan komersial. Dengan belanja kesehatan per
kapita kini lebih dari US$ 5.000 per tahun, AS adalah satu-satunya negara maju
yang tidak mampu memiliki asuransi kesehatan nasional.
Di Amerika di tahun 1970an, terdapat 15 usulan RUU (Bill) AKN yang
semuanya kandas akibat banyaknya interes bisnis dan politik sehingga
kepentingan publik tidak terlindungi dengan baik. Di kala itu, 23% penduduk AS
tidak memiliki asuransi kesehatan, sedangkan saat ini angka tersebut masih
berkisar 18%. Dalam masa hampir 40 tahun, sejak Medicare diluncurkan, AS
tidak mampu meningkatkan perluasan penduduk yang dicakup asuransi.
Berbagai reformasi sistem asuransi kesehatan yang dilakukan Amerika,
misalnya dengan UU Portabilitas Asuransi dan berbagai UU lain yang bertujuan
memperluas cakupan asuransi secara parsial, tanpa AKN, tidak mampu mancapai
cakupan universal. Inilah salah satu bukti market failure dalam pencapaian
cakupan universal asuransi kesehatan.
Sesungguhnya di AS telah diusulkan puluhan model pendanaan dan
penyelenggaraan yang dapat digolongkan menjadi tiga model yaitu (1) kombinasi
kontribusi wajib (payroll taxes) dan anggaran pemerintah seperti model Inggris,
(2) perluasan program Medicare dengan kontribusi wajib kepada seluruh
penduduk seperti model umum di negara maju lain, dan (3) bantuan premi dari
pemerintah untuk penduduk miskin dan tidak mampu.
Upaya terakhir untuk mewujudkan AKN di Amerika dilakukan oleh Presiden
Bill Clinton di tahun 1993, yang juga gagal karena kekuatan perusahaan asuransi,

21
yang takut kehilangan pasar dan memiliki dana lebih besar, lebih mampu
mempengaruhi rakyat Amerika dan anggota Kongres untuk menolak usulan
Clinton. Kegagalan AS dalam mengembangkan AKN, yang lebih mementingkan
kepentingan pebisnis asuransi, merupakan pelajaran yang harus cermati untuk
dapat dihindari.

4. Perkembangan AKN di Jerman


Jerman dipandang sebagai negara pertama yang memperkenalkan asuransi
kesehatan sosial di jaman Otto von Bismarck di tahun 1883. Pada masa lalu,
jumlah badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial (sickness funds), yang
seluruhnya bersifat nirlaba, berjumlah sekitar lima ribuan. Namun demikian,
karena dorongan efisiensi dan portabilitas, banyak sickness funds yang merjer
sehingga kini jumlahnya sudah menysut menjadi 270 saja.
Penyusutan jumlah badan penyelenggara asuransi kesehatan sosial di Jerman
ini menunjukkan bahwa usaha dengan pool kecil tidak mampu bertahan
(sustainable) dan tekanan ekonomi serta tuntutan portabilitas mengharuskan
merjer. Kini asuransi kesehatan sosial terbesar dipegang oleh badan yang bernama
AOK yang mengelola hampir 70% peserta asuransi kesehatan sosial di Jerman.
Semua penduduk dengan penghasilan di bawah EUR 3.375 per bulan wajib
mambayar kontribusi untuk asuransi kesehatan yang kini mencapai 14% dari upah
sebulan. Penduduk yang berpenghasilan diatas itu, boleh tidak menjadi peserta
sickness funds, akan tetapi sekali mereka tidak ikut (opt out) dengan membeli
asuransi kesehatan komersial, mereka tidak diperkenankan lagi ikut asuransi
sosial. Akibatnya, hanya 10% saja penduduk Jerman yang membeli asuransi
kesehatan komersial.
Jerman memang tidak memiliki satu lembaga asuransi kesehatan yang secara
khusus dirancang untuk menjamin seluruh penduduk secara nasional karena
sejarah perkembangan negara yang sejak awal terpecahpecah dalam negara bagian
(lander). Namun demikian, Jerman telah menjamin seluruh penduduknya dengan
biaya separuh dari yang dikeluarkan Amerika karena sistemnya didominasi
asuransi kesehatan sosial. Hanya karena jumlah badan penyelenggara asuransi
sosial yang banyak dan paket jaminan yang sangat liberal, maka sistem asuransi

22
kesehatan Jerman hanya sedikit efisien dibandingkan dengan sistem asuransi
kesehatan Amerika yang didominasi oleh usaha asuransi kesehatan komersial.

5. Perkembangan AKN di Belanda


Karena hubungan sejarah dengan Jerman, sistem asuransi kesehatan di
Belanda sedikit banyak mengikuti pola-pola Jerman dengan modifikasi. Belanda
sesungguhnya juga memberlakukan AKN dengan pooling risiko biaya medis yang
besar (exceptional medical expenses) yang dikelola oleh satu badan berskala
nasional yang dikenal dengan nama AWBZ.
Pelayanan kesehatan yang tidak mahal dikelola oleh berbagai badan
penyelenggara asuransi kesehatan sosial yang bersifat nirlaba yang diatur oleh UU
Sickness Funds Act (ZFW). Sebagian penduduk berpenghasilan tinggi dibolehkan
(opt out) untuk membeli asuransi kesehatan komersial.
Dengan model yang hampir sama dengan Jerman, sistem asuransi kesehatan
di Belanda memiliki pendanaan yang berskala Nasional untuk kasus-kasus
katastropik dan pendanaan lokal untuk kasus-kasus medis yang berbiaya relatif
kecil.

6. Perkembangan AKN di Australia


Australia mengeluarkan UU Asuransi Kesehatan Nasionalnya di tahun 1973
dengan memberikan jaminan pelayanan komprehensif kepada seluruh penduduk
Australia, baik yang berada di Australia maupun yang berada di beberapa negara
tetangga seperti di Selandia Baru dan warga negara beberapa negara Eropa yang
tinggal di Australia.
Asuransi, yang juga disebut Medicare dikelola oleh Health Insurance
Commisioner di tingkat negara Federal. Sejak tahun 1973, seluruh penduduk
Australia tidak perlu memikirkan biaya perawatan jika mereka sakit. Karenanya
penyakit tidak akan membuat mereka jatuh miskin.
Reformasi sistem Asuransi Kesehatan Nasional Australia terjadi pada tahun
1990an dengan merangsang penduduk untuk membeli asuransi kesehatan
komersial. Begitu baiknya pengelolaan Medicare ini sehingga diperlukan
perangsang khusus bagi penduduk yang ingin membeli asuransi kesehatan swasta
dengan cara memberikan pengurangan kontribusi asuransi wajib. Namun ternyata

23
jumlah penduduk Australia yang memilih membeli asuransi kesehatan komerisal
semakin hari semakin sedikit.

7. Perkembangan AKN di Jepang


Sebagai sekutu Jerman dalam Perang Dunia II di Asia, Jepang memiliki pola
sistem asuransi kesehatan yang mengikuti pola Jerman dengan berbagai
modifikasi. Di Jepang istilah AKN (Kokuho, Kokumin Kenko Hoken) digunakan
untuk penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pekerja mandiri (self-employed),
pensiunan swasta maupun pegawai negeri, dan anggota keluarganya.
Penyelenggara AKN diserahkan kepada pemerintah daerah. Sementara
asuransi kesehatan bagi pekerja aktif di sektor formal diatur dengan UU asuransi
sosial kesehatan secara terpisah. Jepang telah memulai mengembangkan asuransi
sosial kesehatan sejak tahun 1922 dengan mewajibkan pekerja di sektor formal
untuk mengikuti program asuransi kesehatan sosial. Akan tetapi, mewajibkan
asuransi kesehatan bagi pekerja sektor formal saja tidak bisa menjamin penduduk
di sektor informal dan penduduk yang telah memasuki usia pensiun mendapatkan
asuransi kesehatan.
Untuk memperluas jaminan kesehatan kepada seluruh penduduk (universal
coverage), Jepang kemudian memperluas cakupan asuransi kesehatan dengan
mengeluarkan UU AKN. Dalam sistem asuransi kesehatan di Jepang, peserta dan
anggota keluarganya harus membayar urun biaya (cost sharing) yang besarnya
bervariasi antara 20-30% dari biaya kesehatan di fasilitas kesehatan. Bagian urun
biaya inilah yang menjadi pangsa pasar asuransi kesehatan komersial.

8. Perkembangan AKN di Taiwan


Negara Asia yang pertama kali secara eksplisit menggunakan istilah AKN
dengan melakukan pooling nasional adalah Taiwan. Komitmen Presiden yang
sangat kuat dibuktikan dengan lahirnya UU AKN pada tahun 1995 dengan sistem
yang dikelola oleh Biro NHI, suatu Biro di dalam Depkes Taiwan, sebagai satu-
satunya pengelola.
Sistem AKN di Taiwan ini dimulai dengan menggabungkan penyelenggaraan
asuransi kesehatan bagi pegawai negeri, pegawai swasta, petani dan pekerja di
sektor informal, yang sebelumnya dikelola secara terpisah oleh badan

24
penyelenggara masing-masing, seperti sistem di Indonesia dengan Askes dan
Jamsostek. Penggabungan tersebut telah meningkatkan efisiensi dan kualitas
pelayanan yang menjamin akses yang sama kepada seluruh penduduk.
Paket jaminan komprehensif yang sama meningkatkan kepuasan peserta
dengan tingkat kepuasan lebih dari 70%. Sistem AKN di Taiwan merupakan salah
satu sistem yang menanggung pengobatan tradisional Cina dalam paket jaminan
yang diberikan kepada pesertanya. Karena sistemnya yang cukup memuaskan
penduduk, asuransi kesehatan komersial tidak banyak berkembang di Taiwan.

9. Perkembangan AKN di Korea Selatan


Korea Selatan memulai asuransi sosial pada Desember 1963 dengan
mewajibkan perusahaan yang mempekerjakan 500 karyawan atau lebih
menyediakan asuransi kesehatan bagi karyawannya. Kewajiban itu ditingkatkan
sampai kepada perusahaan yang mempekerjakan satu orang karyawan.
Cakupan askes untuk pekerja mandiri sudah diuji-coba sejak tahun 1981 dan
pada tahun 1989 seluruh penduduk telah memiliki asuransi. Suatu prestasi yang
luar biasa, karena dalam waktu relatif singkat Korea telah mampu mencapai
cakupan universal. Tetapi penyelenggaraanya masih dikelola oleh lebih dari 300
badan asuransi kesehatan yang bersifat nirlaba yang dikelola oleh kelompok
pekerja atau pemerintah daerah.
Mengingat mobilitas penduduk yang tinggi dan rendahnya efisiensi
pengelolaan program AKN, maka dilakukan reformasi menuju satu sistem AKN.
Sejak tahun 2000, AKN di Korea Selatan dikelola oleh satu badan nasional
dengan iuran maksimum 8% dari upah, ditanggung bersama antara pekerja,
pemberi kerja dan subsidi pemerintah.

10. Perkembangan AKN di Thailand


Penyelenggaraan AKN di Thailand diusulkan sejak tahun 1996. Program
AKN di negara seribu pagoda itu sudah mencakup seluruh penduduk, namun
dikelola oleh 3 badan penyelenggara. Saat ini sedang berlangsung proses
penggabungan tiga badan penyelenggara tersebut menjadi satu badan pengelola
yang akan mengelola seluruh program AKN. Usulan penyelenggaraan AKN di

25
Muangtai menggabungkan konsep satu Badan Nasional sebagai pengelola dengan
desentralisasi pembayaran kepada fasilitas kesehatan (area purchasing board).
Asuransi kesehatan di Thailand terdiri atas sistem jaminan kesehatan pegawai
negeri yang paket jaminannya amat liberal dan menjamin tidak saja anggota
keluarga pegawai, tetapi juga mencakup orang tua dan mertua pegawai. Seluruh
pegawai swasta mendapat jaminan kesehatan komprehensif melalui Badan
Jaminan Sosial yang dikelola oleh Depnakernya Thailand. Sedangkan pekerja
informal memperoleh jaminan melalui National Health Security Office, sebuah
lembaga independen yang mengelola sistem 30 Baht.
Dengan sistem 30 Baht, seluruh penduduk di luar pegawai swasta dan
pegawai negeri berhak mendapat pelayanan kesehatan komprehensif dengan
hanya membayar 30 Baht ( kurang lebih Rp 6.000) sekali berobat atau dirawat,
termasuk perawatan intensif dan pembedahan. Dengan demikian, seluruh
penduduk Thailand kini juga telah terbebas dari ancaman menjadi miskin bila
jatuh sakit dan karenanya akan lebih produktif membangun negaranya.

11. Perkembangan AKN di Filipina


Filipina merupakan negara berkembang seperti Indonesia, yang memiliki
penduduk tersebar di lebih dari 7.000 pulau, yang bertekad memantapkan AKN di
akhir Milenium kedua. Pada tahun 1995, Filipina berhasil mengeluarkan UU
AKN yang menggabungkan penyelenggaraan asuransi kesehatan bagi pegawai
negeri dan pegawai swasta yang sebelumnya dikelola terpisah menjadi satu badan
AKN.
Sebagai negara berkembang yang mempunyai pendapatan per kapita sedikit
diatas US$ 1.000, Filipina merupakan negara berkembang yang mengembangkan
AKN dengan target mencapai cakupan universal. Saat ini cakupan program AKN
baru mencapai sekitar 60% penduduk, namun seluruh pekerja di sektor formal
telah menjadi peserta, termasuk tenaga kerja yang bekerja diluar Filipina.
Meskipun paket jaminannya belum komprehensif, Filipina sudah mampu
meniadakan ancaman pemiskinan akibat sakit bagi sebagian besar penduduknya.

26
Asuransi Kesehatan Komersial
Perkembangan asuransi kesehatan komersial di Amerika maju dengan pesat
setelah Pemerintah Federal mengeluarkan UU asuransi wajib kecelakaan kerja di
tahun 1908 yang diikuti dengan negara bagian Wisconsin di tahun 1911. Upaya
asuransi kesehatan komersial yang dianggap sebagai cikal bakal keberhasilan
usaha asuransi kesehatan secara korporat di Amerika dimulai ketika di tahun
1910.
Dana Bersama bagi pegawai Montgomery Ward, yang memberikan jaminan
kematian dan penggantian upah (disability income benefits) sebesar $5 sampai
$10 per minggu, ditelaah (studi kelayakan) untuk dikontrakan ke perusahaan
asuransi. Studi ini dipicu oleh rendahnya kepesertaan yang hanya mencakup
sekitar 15% pegawai, evaluasi program yang jarang dilakukan, dan manfaat
asuransi (benefit) yang tidak memadai. Akhirnya, setelah negosiasi yang alot,
jaminan penggantian upah ini dikontrakan kepada London Guarantee and
Accident Company, di New York tahun 1911.
Kontrak asuransi kesehatan kumpulan pertama, yang jaminannya bukan
pelayanan kesehatan atau penggantian biaya perawatan, mengharuskan waktu
tunggu (waiting period) selama tiga hari, manfaat asuransi sebesar 50% upah
mingguan bagi pekerja berusia di bawah 70 tahun dengan manfaat minimum
sebesar $5 dan manfaat maksimum sebesar $28,25 per minggu. Manfaat diberikan
sampai pekerja sembuh dan dapat bekerja kembali, tanpa ada batas waktu (HIAA,
1994).
Seperti dijelaskan diatas, beberapa negara bagian mewajibkan perusahaan
untuk mengasuransikan disabilitas pendapatan jangka pendek bagi karyawannya.
Kewajiban tersebut membuat perusahaan asuransi berupaya mencari pasar baru
dengan menawarkan asuransi sejenis tetapi bersifat jangka panjang (long-term)
yang memberikan manfaat sampai lima tahun.
Akan tetapi, asuransi ini hanya ditawarkan kepada pekerja dengan upah yang
tinggi seperti penyelia dan manajer. Pada saat ini di Amerika, asuransi disabilitas
pendapatan jangka panjang—yang memberikan manfaat asuransi sampai usia
pensiun (65 tahun), ketika pensiun wajib yang disediakan Pemerintah Federal
sudah menjadi hak pekerja tersebut.

27
BAB 3
PENUTUP

Kesimpulan
Asuransi kesehatan berkembang dimulai dengan solidaritas bersama yang
sifatnya kumpulan kecil semacam dana sehat, dana sakit, dan sebagainya. Usaha
yang kecil-kecil ini umumnya tidak memadai untuk berkembang karena sifatnya
yang sukarela dan besaran premi/iuran tidak dihitung secara memadai.
Untuk mengatasi kegagalan sistem asuransi kecil dan bersifat lokal terdapat
dua modus besar yaitu pengelolaan secara komersial dengan tingkat profesional
yang tinggi dan pengelolaan secara asuransi sosial yang bersifat wajib diikuti oleh
semua orang dalam suatu golongan.
Model asuransi sosial berkembang pesat di Eropa, dimulai di Jerman, dan
menyebar luas ke seluruh dunia. Sementara sistem asuransi kesehatan komersial
lebih berkembang di Amerika Serikat karena Amerika membatasi tumbuhnya
asuransi sosial untuk kecelakaan kerja dan asuransi kesehatan bagi orang tua saja.
Perkembangan asuransi komersial sesungguhnya didukung dengan adanya
asuransi sosial.
Di Indonesia, perkembangan asuransi kesehatan dimulai dengan asuransi
sosial yaitu asuransi kesehatan pegawai negeri diikuti oleh asuransi sosial
kecelakaan kerja, dan dilanjutkan dengan asuransi sosial kesehatan bagi pegawai
swasta.
Karena peraturan perundangan yang membolehkan opt out bagi pekerja
swasta, asuransi kesehatan sosial bagi pekerja swasta tidak berkembang sampai
Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagai landasan menuju Asuransi Kesehatan
Nasional yang diselenggarakan secara konsekuen.
Pada saat ini, masih terlalu dini untuk menilai apakah SJSN akan mampu
mewujudkan AKN. Hanya saja, kualitas pelayanan yang diberikan belum
memuaskan banyak pihak. Sementara itu, rancangan SJSN maupun AKN tidak
menutup upaya asuransi kesehatan komersial sebagai suplemen atau tambahan
jaminan bagi penduduk yang memiliki pendapatan tinggi atau menghendaki
jaminan yang lebih memuaskan.

28
Saran
Tentunya sistem jaminan sosial nasional harus lebih dikembangkan lagi
secara konsekuen untuk mewujudkan AKN, salah satunya asuransi BPJS yang
merata kepada seluruh masyarakat terutama masyarakat yang kurang mampu.

29
DAFTAR PUSTAKA

Ade, 2021. Buku Ajar Asuransi Kesehatan & Managed Care. Jakarta : Universitas
Esa Unggul

Muhammad, 2010. Pertumbuhan Asuransi Di Dunia & Indonesia. Jakarta : STAI


Al-Hikmah

Djaelani Firdaus, Jeremias, Suad, dan Mahmud, 2011. Pertumbuhan Industri


Asuransi Di Indonesia. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada

Kurnia, 2017. Perkembangan Asuransi Kesehatan Swasta Di Indonesia Tahun


2012-2016. Jakarta : Universitas Indonesia

Novi, 2011. Sejarah dan Perkembangan Asuransi Islam Serta Perbedaannya


Dengan Asuransi Konvensional. Jember : Universitas Jember

30

Anda mungkin juga menyukai