Anda di halaman 1dari 236

i

Pesan untuk Matahari

Muttaqin, Nifsi Nisya Ruslina, Ni Made Dewi


Fatmawati, dkk

CV EMN Media
ii

Judul:
Pesan untuk Matahari

Penulis:
Muttaqin, Nifsi Nisya Ruslina, Ni Made Dewi Fatmawati,
dkk
ISBN: 978-623-98858-3-0

Editor:
Tim Event Menulis Nasional

Penyunting:
Ardy Nugraha, S.M.

Desain sampul dan tata letak:


Aska Nur Asfi

Penerbit:
CV EMN Media

Redaksi:
Jalan Marga Sinar Banten No. 18
Sumber Rejo, Kemiling, Kota Bandar Lampung
085789976195
Email: eventmenulisnasional@gmail.com

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan
cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan pada Tuhan karena


dengan rezeki dan karunia yang telah diberikan akhirnya
buku ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tidak
hentinya kami sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW
yang menjadi teladan bagi kami untuk menapaki kerasnya
kehidupan yang fana ini.
Kami sangat senang karena dapat
mempersembahkan sebuah karya walau jauh dari kata
indah dan sempurna. Lika-liku dan pahit dalam perjalanan
mulai dari mencari inspirasi, menulis karya, mengirim
karya, sampai akhirnya karya ini dapat terselesaikan.
Akhir kata kami sampaikan beribu terima kasih
kepada pembaca sekalian karena dengan hati yang ikhlas
bersedia membaca karya kami ini. “Tiada gading yang tak
retak” maka buku ini pun jauh dari kata sempurna. Kami
juga memohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan
lapang dada kami bersedia menerima segala kritik, saran
dan masukan agar kami dapat bangun dan memperbaiki
karya-karya kami selanjutnya.

Terima kasih

Hormat Kami
Penulis

(Muttaqin, Nifsi Nisya Ruslina, Ni Made Dewi Fatmawati, dkk)


iv

DAFTAR ISI

Manusia tidak sama .....................................................................1


The summer you left ...................................................................6
Temaram di ujung timur ...........................................................11
Batu loncatan..................................................................................16
Cita-cita dari tuhan ......................................................................21
Si hati baja .......................................................................................25
The chaser .......................................................................................29
Cycle of revenge ............................................................................35
Pulang ................................................................................................40
Aku dan isi pikiranku ..................................................................45
Menjadi tangguh ...........................................................................51
Jaga dan pantaskan ......................................................................56
Bak bunga mawar .........................................................................61
Bunga, ranti dan sani...................................................................66
Assalamua’alaikum baitullah ...................................................72
Nona muda assaratanakul ........................................................78
Kkn (kuliah kerja ngebaper) ....................................................82
Love at first sight ..........................................................................88
Cepatlah besar matahariku ......................................................92
Band flawless..................................................................................97
Ibu .......................................................................................................102
Peduli .................................................................................................107
Suatu saat nanti .............................................................................112
Kita semua teman .........................................................................118
Sebuah cita-cita .............................................................................119
No rain, no rainbow .....................................................................121
Pesan untuk matahari .................................................................125
La rosa ...............................................................................................127
v

Dia juga anakmu, ibu ...................................................................133


Renjana .............................................................................................138
Cinta di tolak tuhan bertindak ................................................143
Diperbatasan kota aku berada ................................................148
Jalur misteri ....................................................................................153
Kata petra ........................................................................................158
Asiknya bermain telepon kaleng ............................................162
A glimmer of light .........................................................................169
Datang untuk pergi ......................................................................174
Losing u.............................................................................................180
The tricky tragedy of mind .......................................................186
Bittersweet ......................................................................................192
Muara.................................................................................................197
Tuhan, bantu aku menahan ......................................................199
Perjalananku ke loa kumbar ....................................................202
Takdir ilahi ......................................................................................206
Monolog ............................................................................................210
Duniaku ada dalam matamu ....................................................215
Permata berharga.........................................................................220
Potret wajah....................................................................................225
Pesan untuk Matahari | 1

Manusia Tidak Sama


Arsanti Qodariyah

Sejak maret 2020, awal pandemi di Indonesia.


Semua media menyebutkan covid-19, baik televisi
maupun media sosial. Pemberitaan baik yang benar atau
yang sekedar hoax semua menjadi bahan perbincangan,
hal yang sebelumnya tidak menjadi panik dan kepikiran,
lama-lama tetap terpikirkan. Sekolah mulai diliburkan,
aktivitas kantor di hentikan, pekerja kasar banyak di
rumahkan, ibadah hanya di lakukan di rumah, tidak
diizinkan kerumunan dan banyak hal yang terhenti karena
pandemi.
“Seorang tenaga medis di usir oleh pemilik kosan,
karena takut akan membawa virus ke rumah kosnya”
“Jenazah covid di tolak di makamkan disuatu desa”
“Vaksinasi covid mulai di laksanakan”
Berita tentang covid masih menjadi berita utama.
Iklan menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga
jarak dan kini bertambah, meniadakan makan bersama
tetap eksis di beberapa media. Akupun membentengi diri
dengan mengurangi rasa takut yang berlebihan, namun
tetap mengikuti protokol kesehatan yang di tetapkan. satu
tahun ini berjalan dengan hidup normal dan alhamdulillah
tidak ter-covid-kan.
***
Namun dunia mulai tidak sama, sepertinya kami
terlalu jumawa. Protokol kami cukup, namun imun kami
tidak baik-baik saja. Tepat awal Juni, adik yang sekamar
Pesan untuk Matahari | 2

denganku mulai merasa demam, batuk, flu dan keram di


seluruh tulang. Kami pikir itu gejala malaria, sebagai orang
yang tinggal di daerah endemis malaria, tentu hal itu tidak
membuat kami panik. Aku putuskan untuk membawa
beberapa alat tes pemeriksaan malaria dan
memeriksanya, namun hasilnya negatif.
Hari selanjutnya si adik yang biasa aku panggil Hia
melakukan pemeriksaan covid di sebuah puskesmas yang
tidak jauh dari tempat kami. Berat sungguh untuknya
membaca hasil itu, dia kirim foto dalam sebuah chat di wa.
“Maaf ya, aku positif ”
“Ngak papa, ngak Usah panik” Jawabku menyemangati.
Walau sesungguhnya hatiku mulai terpotek.
Panik, ngak panik, aku panik. Kami tinggal di
sebuah rumah yang memiliki 2 lantai, terdapat seorang
bapak pemilik rumah dan anaknya. Aku memutuskan
untuk meminta izin menggunakan kamar atas sementara
untuk isoman si Hia. Namun sebelum Hia pindah sendiri
ke atas, aku juga melakukan pemeriksaan dan hasil yang
keluar “negatif”.
“Iya ngak papa mbak, pake saja” Ucap bapak pemilik
rumah.
Aku membersihkan kamar atas, dan mulai
menyiapkan beberapa kebutuhan Hia, dari alat mandi, alat
makan, alat tidur dan beberapa obat-obatan. Gejala yang
Hia rasakan, sudah tidak demam, flu masih berlanjut dan
penciuman mulai hilang, namun masih bisa merasakan
makanan. Kami berpisah kamar dan kamar mandi, untuk
10 hari ke depan sesuai aturan puskesmas.
Pesan untuk Matahari | 3

Dua hari berlalu, jadwal pemeriksaan lanjutannya


harus di lakukan. Ia pergi ke puskesmas yang sama. Serta
untuk anggota keluarga yang tinggal bersama, namun hari
itu si bapak pemilik rumah tidak datang, dengan alasan
banyak pekerjaan, hanya anaknya yang datang dan
hasilnya juga “Negatif”.
Sepertinya setelah mendung, langit belum puas
jika hujan tidak turun. Sembari menunggu Hia pulang dari
puskesmas, aku membersihkan rumah, mengepel dan
mencuci beberapa barang yang terkontak dengan Hia,
khawatir ada virus yang menempel. Karena sibuk, jadi
belum fokus dengan chat dan beberapa telp yang masuk.
“Kamu kalau sakit jangan tinggal di rumah itu, jangan
bawa virus ke rumah saya, atau perlu saya panggilkan
ambulans untuk jemput kamu. Besok saya mau pulang ke
rumah dan kamar yang kalian tempati akan di tempati adik
saya, kamar atas untuk tidur anak saya” Chat masuk dari
istri pemilik rumah.
Ingin rasanya aku menangis sejadinya, tapi ini
akan membuat Hia semakin hancur. Beberapa menit
kemudian suara motor Hia terdengar di Garasi, dia baru
pulang dari puskesmas. Masih ada beberapa notifikasi
chat masuk di Hp, tapi aku coba mengabaikannya. Hia
mendapatkan chat yang sama, setibanya di rumah dia
membaca semua chat yang di kirim oleh istri pemilik
rumah. Mukanya merah padam, air matanya tidak mampu
ia bendung, beberapa umpatan keluar dari mulutnya.
Sungguh kami tidak pernah menyangka, ku kira
drama ini hanya aku saksikan lewat berita, ku pikir semua
ini tidak akan terjadi padaku, ku pikir semua kebaikan
Pesan untuk Matahari | 4

akan di balas dengan kebaikan, namun aku salah. Ku kira


mawar akan selalu indah, hingga ku lupa durinya begitu
tajam. Aku menguatkan hati, menyiapkan diri untuk pergi,
karena secara tidak langsung kami sedang di usir, kami
sedang di singkirkan dengan cara tidak hormat, dengan
cara yang receh. “Mengapa sejak kami ceritakan semua
terjadi tidak kau ucapkan jika kami harus pergi, mengapa
harus berkata tidak apa-apa jika semua ini jadi masalah.
Sepertinya berbicara lewat chat membuat kalian menjadi
serasa bukan manusia bagi saya. Usia kalian tidak
menunjukkan bahwa kalian sudah dewasa”
Kesedihan itu harus aku lawan,aku harus bersiap
bangkit dan pergi dari tempat ini. Aku punya orang tua
yang akan menerima kondisiku apapun yang terjadi.
Kubereskan semua barang-barangku dan Hia, ku telepon
teman untuk mencari kos-kosan dan meminta iparku
untuk datang menjemput. Emosiku masih tersulut jika
mengingat dulu saat sang istri mengajak kami untuk
tinggal di rumah ini.
“Tinggal saja nak di sini, anggap saja rumah
sendiri. Kamu tinggal di sini sampai kapanpun kamu mau”
Begitu manis, tapi kalian terlalu egois. Penyakit ini seolah
aib, padahal kami sadar, dan kamipun sudah membatasi
kontak, setelah dinyatakan positif, bahkan Hia tidak
pernah bertemu kalian, dia tetap diam di lantai atas.
Aku pergi, terima kasih untuk rasa sakit yang
kalian beri, dengan ini kami mengerti siapa manusia dan
bukan manusia. Siapa sahabat dan siapa yang hanya
sekedar mencari manfaat, siapa panutan dan siapa yang
akan melakukan penghianatan. Virus ini sepertinya hanya
Pesan untuk Matahari | 5

salah satu cara agar kita tetap bisa berlaku sebagaimana


manusia memanusiakan manusia. Tapi ternyata manusia
tidak sama.
Pesan untuk Matahari | 6

The Summer You Left


Oleh, Angelina K.

Hujan. Sering kali bibir kita bertutur, memujinya.


Namun kadang kala, kita juga bisa dibuatnya kesal.
Sebagaimana dua insan Tuhan yang kini tengah bernaung
dari derasnya hujan. Tak henti-hentinya pula bibir sang
adam bersuara, mengutarakan rasa kesal, sembari
memeras jaket basahnya. “Harusnya tadi naik mobil aja,
‘kan!”
Namun, ocehannya sama sekali tak mendapat
tanggapan, sehingga ia terpaksa menolehkan kepala.
Dilihatnya sang sahabat yang tengah memeluk tubuhnya
dengan kaki yang terus mengayun. Pada akhirnya, ia
mendekati si wanita, duduk disebelahnya.
“Dingin ‘kan, Nona Arunika?” Sedangkan yang
ditanyai hanya mengembuskan napasnya, menetralkan
kesal. “Berisik, Tuan Julian.” Tertawa puas sebab merasa
jika Arunika tak dapat membalasnya, akhirnya Julian
menyandarkan kepala dengan tangan yang terlipat di
depan dada. “Cuciin jaket saya sebagai ganti rugi karena
Nona Sahabat yang satu ini batu banget,” ucap Julian yang
langsung melemparkan jaketnya, tanpa memedulikan
lirikan sang hawa.
“Omong-omong …”
Julian menjeda kalimatnya, membuat Arunika
mengerutkan keningnya. Sejenak, Julian membuka-buka
tasnya, mencari suatu benda yang mana ternyata adalah
selembar kertas foto. Jemari lentiknya bergerak
menyerahkan swafoto miliknya, yang ia cetak entah
Pesan untuk Matahari | 7

kapan. Lantas, Julian kembali bersuara, “… Buat kamu,


udah basah dikit tapi nggak apa-apa.”
“Buat saya?” Julian mengangguk, “Walaupun kamu
enggak mau fotonya, tapi enggak apa-apa, simpenin buat
saya.” Arunika bergeming, iris coklatnya memandangi foto
milik sang sahabat yang di sana terlihat Julian sedang
bersama seseorang dan Arunika tak mengenali orang itu.
“Itu temen saya,” ucap Julian, dagunya menunjuk ke foto
dalam genggaman Arunika.
“Saya nggak sabar, sebulan lagi summer, ya?”
Arunika mengangguk sebelum kembali menyampaikan
tanya, “Memangnya kenapa?” Julian menjentikkan jari lalu
menunjukkan garis lengkung di bibirnya, tersenyum tipis.
“Musim favorit saya, saya nggak pernah mau ninggalin
hari-hari di musim panas,” jawabnya. Sedangkan sang
hawa hanya membalasnya dengan tawa ringan.
“Minggu depan saya berlayar lagi,” ucap sang pria
tiba-tiba, membuat Arunika refleks mendongak,
melihatnya.
“Arunika …”
“Ya?”
“Sahabat saya yang barusan itu, sahabat kamu
juga,” kata Julian yang lantas membuat Arunika
mengernyit bingung. “Just in case if one day I fail in my
duty, he took my place to take care of you.”
~
Dengan wajah lembabnya, Arunika berlari kecil ke
depan pintu sebab seseorang mengetuk pintu dari saat ia
mandi tadi. Sampai sekarang, ketukan itu masih terdengar,
dan sepertinya si pengetuk enggan berhenti. Dengan agak
Pesan untuk Matahari | 8

terpaksa, Arunika membuka pintunya. Semua baik-baik


saja hingga Arunika melihat siapa yang datang dan sedang
berada di depannya. Orang itu, orang yang ada di foto
pemberian Julian.
“Veandra Bumantara. Maaf mengganggu waktumu,
Nona.”
“Arunika Gistara. Uh huh, no problem, Veandra.
Teman Julian, ‘kan? Ada apa?” tanya Arunika tanpa
berbasa-basi. Sedangkan yang ditanyai malah mengulum
bibirnya dengan kepala tertunduk lesu. “Tuan Veandra …
Apa yang terjadi?”
“Kapal Julian tenggelam, Nona.”
~
“Halo, Tuan Julian …” sapa sang ‘nona’ yang
tengah berjongkok di samping gundukan tanah dengan
nisan bertuliskan nama Julian. Julian Swastamita,
berpulang sekitar satu bulan yang lalu, satu bulan sebelum
musim favoritnya datang menyapa belahan bumi pertiwi.
Musim panas. “Musim favorit saya, saya nggak pernah mau
ninggalin hari-hari di musim panas.”
“Julian, di sini sudah musim panas,” lirihnya yang
sedang menabur bunga. “Julian, kamu pinter milih temen,
Veandra jaga saya dengan baik.”
“Just in case if one day I fail in my duty, he took my
place to take care of you.”
“Jaket kamu udah saya cuci, masih ada sama saya.
Tapi nggak apa-apa, bakal saya simpen. Foto kamu sama
Veandra juga masih saya simpen,” lanjut Arunika, bagai
seorang bocah yang tengah memamerkan sesuatu pada
temannya.
Pesan untuk Matahari | 9

Veandra yang berada di sampingnya membiarkan


Arunika terus bicara, sembari menjaga sang wanita,
seperti apa yang diminta Julian sebulan yang lalu.
“Kamu nggak nangis?” tanya Veandra, iseng.
Arunika menggeleng, “Nangis juga enggak bikin dia balik
ke dunia, yang ada dia enggak tenang di rumah barunya.”
Mendengarnya, Veandra hanya bisa tersenyum teduh.
Lukis sendu di wajah nona yang ayu tak dapat berbohong
jika ia merindukan Julian, sahabat terdekatnya.
“Tuan Kapten, tidak lelah menyelam? Atau malah
sudah terbang jauh ke pangkuan Tuhan?” Veandra
menepuk pelan bahu Arunika, seolah menyalurkan
kekuatannya pada sang wanita, padahal hatinya juga
rapuh jika mengingat Julian. “Tuan Kapten lelah berlayar,
Arunika. Dia pantas beristirahat,” kata Veandra yang
mendapat anggukan kecil dari Arunika.
“Sudah? Saya juga mau bicara sama Julian.”
Arunika berdiri, giliran ia yang menemani Veandra, sebab
ia tahu, bukan Arunika saja yang kehilangan, tapi Veandra
juga.
“Sorry, Julian, gue cuma bisa nengok di sini.
Pelabuhan yang lo tuju masih kejauhan soalnya, gue sama
Arunika belum bisa sampai sana. Kita masih harus
ngelakuin banyak hal di dunia.” Sejenak, Veandra
mengambil napas dalam sebelum melanjutkan, “Nggak
apa-apa, Julian, lo udah ngelakuin yang terbaik. Lo bisa
istirahat yang tenang, nggak usah khawatir sama Arunika,
dia aman sama gue.” Arunika menarik sudut bibirnya,
menampilkan kurva senyum dan kembali berjongkok di
samping Veandra, menepuk punggung lebar sang pria.
Pesan untuk Matahari | 10

Nyatanya, Julian harus mengucap selamat tinggal


saat musim panas menyapa. Namun tak apa, rumah
barunya sekarang pasti jauh lebih indah, bukan?
“Sampai jumpa, Tuan Kapten …”

Selesai.
Pesan untuk Matahari | 11

Temaram di Ujung Timur


Arsanti Qodariyah

Wajahku pucat pasi membuka gulungan kertas


dari panitia penyelenggara kegiatan. Ingin rasanya aku
memutar kembali waktu untuk merubah tulisan indah
dalam kertas itu. Di menit yang sama saat mata menatap
tajam dan mulut berbisik lirih mengeja kembali huruf-
huruf dalam tiga suku kata itu, lututku terasa longgar,
dadaku terasa begitu sesak, air mata begitu berat aku
menahannya. Suasana yang seakan tidak pernah ingin
terjadi, aku bahkan seolah ingin mengutuk waktu dan
kembali pada hari dimana aku membatalkan mengikuti
program ini. Ingin rasanya aku teriak dan menukar
nasibku, tapi apalah dayaku, jika aku ingat kembali
perjanjian-perjanjian yang sudah aku sepakati dan aku
tanda tangani bersama ratusan orang dari seluruh
nusantara ini. Sementara diujung sana aku tatap temanku
begitu bahagia membaca gulungan kertas yang
diperolehnya.
Nasi telah menjadi bubur, sia-sia kalau aku hanya
menangis. Tidak merubah semua yang sudah terjadi. Aku
pulang ke medan dengan senyum dan tawa yang biasa,
aku belajar mengikhlaskan takdir yang terjadi padaku,
belajar menguatkan diri untuk menghadapi masa depan
yang baru akan ku mulai. Ada satu minggu waktuku di
medan untuk meyakinkan orang tuaku bahwa aku akan
mampu.
“kamu batalkan saja kontrak kerja yang sudah
kamu tanda tangani, ini jauh dari jangkauan kita dan kita
Pesan untuk Matahari | 12

tidak pernah tau bagaimana kehidupan di ujung timur


sana. Jika memang harus membayar denda dari
pembatalan kontraknya papa akan usahakan” dadaku
semakin sesak mendengar ungkapan itu, aku menahan
segala ekspresi kejujuran dari tubuhku, meyakinkan diri
dengan menciptakan rasa tenang, sedang hatiku bertanya
ganti ruginya hampir mencapai angka 100 juta, bagaimana
mungkin sanggup aku bebankan semua ini pada papa yang
bahkan masih ada si Raja yang harus sekolah?
“aku berani kok pa, ini tidak semenakutkan yang
orang ceritakan. Aku akan baik-baik saja di sana.”
“lalu bagaimana jika kami rindu denganmu?”
pertanyaan mama yang membuat irisan-irisan dalam dada
Aku mendekat dan memeluk mama dengan
menahan tangis, “ini hanya 2 tahun ma, nanti kalau libur
cukup panjang aku pasti pulang”
Aku Aindrea dan inilah awal kisahku menemukan
cinta. Ditengah tugas negara sebagai tenaga medis di
tempat yang terpencil, jauh dari keramaian kota dan
tepatnya diujung timur indonesia, aku berusaha
menuntaskan tugas yang dibebankan padaku. Untuk
melalui ini aku harus punya hati yang kuat, fisik yang
sehat, mental yang matang dan tenaga yang tidak main-
main. Bahkan dihari pertama kedatanganku, ingin aku
putar arah. Tiba di salah satu daerah yang aku pikir itu
adalah tempat tujuan kita, namun ternyata salah, masih
ada lautan yang harus kita susuri dengan kapal kecil
dengan jarak tempuh hampir 5 jam. Saat itu jadwal
pesawat untuk kedaerah sudah tidak ada dan cara satu-
satunya adalah jalur laut, dan mulailah aku dan beberapa
Pesan untuk Matahari | 13

temanku menantang ombak diakhir desember yang cukup


mengerikan.
Satu jam pertama perjalanan terasa mulus dan
menyenangkan diiringi pemandangan indah sepanjang
lautan yang terbentang luas. Aku berusaha menikmati
perjalanan dengan menggigit sepotong roti yang sempat
mamak selipkan dalam ranselku, dari jarak beberapa
meter didepanku ada gulungan ombak yang cukup tinggi
dan pecah menabrak badan kapal itu, semburat airnya
menyambar bagian wajahku, kapal menjadi sedikit lebih
kencang bergoyang-goyang. Ini masih hal yang wajar
rasanya, ombak selanjutnya lebih besar lagi dan kembali
menghantam dengan kekuatan yang lebih besar, beberapa
teman mulai panik dan pengendali kapal itu meyakinkan
bahwa semua baik-baik saja. Kapal susah untuk maju
melawan arus hingga akhirnya kapal hanya terputar-putar
sekitar 1 jam dan kembali berjalan dengan tabrakan
ombak yang membuat jantung berdegup amat kencang.
Kepanikan rasanya hanya akan menambah beban dalam
situasi seperti itu, hanya doa yang komat-kamit aku
bacakan setiap kapal terhempas, bagaimana tidak aku
bahkan tidak bisa berenang, hanya pelampung masih tetap
dengan kuat aku gunakan di badan, aku meyakinkan diri
untuk baik-baik saja hingga kapal tiba di dermaga akhir.
Dua tahun, ya tugas negara ini akan selesai dalam
dua tahun, aku akan menikmati ini selama dua tahun.
Berada dalam wilayah yang cukup sulit dari jaringan,
rasanya smart phoneku tidak ada manfaatnya disini,
bahkan untuk memberi kabar keluargaku aku harus pergi
ke daerah-daerah yang sedikit lebih tinggi agar suara yang
Pesan untuk Matahari | 14

terdengar jelas. Untuk menelpon saja banyak perjuangan,


bagaimana mungkin aku mau manuntut jaringan internet
sepertinya aku terlalu serakah.
Jika kamu ingin mengetahui sikap asli seseorang
maka lakukanlah perjalanan dengannya atau tinggal
bersamanya. Aku pernah mendengar ungkapan itu dan
aku mencari jawaban atas pernyataan itu. Dan benar apa
yang terjadi, teman kelompok yang sejak awal aku pikir
akan menjadi penguatku dan saling memotivasi ternyata
salah. Sikap asli mereka satu per satu terbuka. Topeng-
topeng itu lepas. Didepan petugas-petugas puskesmas dan
perangkat desa mereka begitu rajin dan tidak mengenal
lelah, semua dikerjakan, semua disapu bersih tanpa sisa,
kalau aku tidak pandai menyeimbangkan mungkin
rasanya akulah yang tidak tahu bekerja. Tetapi semua
berbanding terbalik, tiba dalam petak rumah dinas yang
hanya aku dan mereka, semua berubah. Aku menjadi
mahluk yang selalu salah, aku masak mereka tidak suka,
aku diam dibilang pemalas dan banyak ucapan-ucapan
yang menyesakkan dada jika aku mengingatnya.
Namun satu hal yang sudah pasti tidak aku lupa, di
sanalah aku berjumpa dengan sesosok manusia yang kini
telah menjadi belahan jiwa. Jika bukan dia, mungkin badai
itu terasa berat aku melaluinya, cinta yang entah
bagaimana ada dan bertumbuh diantara kita. Karakter
dingin yang tidak aku impikan sebelumnya, hadir dan
menyapa karena terpaksa, tidak ada manusia lain di sana
yang bisa menjadi tempat kami mengucap sepatah kata.
“Mbak mau ke kota?” ucapan pertamanya yang mengubah
seluruh cerita.
Pesan untuk Matahari | 15

Dari kata “Mbak mau ke kota?” kini kami bersama.


Dialah penguat dalam segala ranah, di negeri yang tidak
ku mengerti segala kisahnya, kini aku bahkan tidak ingin
berpindah dari sana. Ada malaikat-malaikat kecil yang
menghampiriku, memaparkan kisah pilu hidupnya, dan
yang tidak seberuntung dengan apa yang ku punya, tetapi
mereka tetap bahagia.
Arti hidup sesungguhnya bukanlah tentang apa
yang kita terima, namun apa yang mampu kita beri.
Menjadi kaya itu mudah, namun menjadi bijaksana dalam
segala macam situasi tentu tidak semua orang dapat
melakukannya. Negeri timur mengajarkanku arti manfaat
kita dalam hidup dan kegunaan kita bagi orang lain.
Pesan untuk Matahari | 16

Batu Loncatan

Suatu hari ada seorang anak yang bernama Ayra


yang berumur 15 Tahun, dia tidak terlalu pintar ketika
Sekolah Dasar, sehingga ketika dia mengerjakan Ujian
Nasional, nilai akhir ujian Nasionalnya tidak terlalu bagus.
Akhirnya, oleh ayahnya dia dipaksa untuk masuk ke
sekolah mengenah pertama yang tinggi dan bergengsi.
Ayah dari Arya merupakan sosok yang sudah pensiun dari
pekerjaannya sebagai Tentara. Ayah Arya dipensiunkan
secara terpaksa karena pernah melakukan sesuatu yang
melanggar kode etik nya sebagai seorang tentara.
Sehingga dia dipensiunkan secara dini oleh konstitusinya.
Ayra dipaksa oleh ayahnya untuk memasukki
sekolah tersebut padahal nilai ujian nasionalnya saja
20,00 dimana normalnya nilai ujian nasional sekelas
sekolah dasar paling tinggi adalah 30,00. Sedangkan
sekolah yang dituntut oleh Ayah anya bersaing dengan
siswa yang rata rata mempunyai Nilai Ujian Nasional
paling rendah 25,90. Akhirnya Ayah Arya memasukkan
Arya dengan “Uang”. Dan dengan terpaksa Ayra harus
mengikuti kemauan ayahnya, dikarenakan Arya sudah
menahan malu karena nilai ujian nasionalnya yang rendah
dan tidak mempunyai kekuatan dalam menghadapi
ayahnya.
Ketika Ayra disana dia sangat tidak percaya diri
jika bermain kepada temannya, dan ketika dikelas dia juga
tidak berani terlalu banyak berinteraksi dengan
temannya, karena Ayra seperti merasa bersalah karena
sudah menyingkirkan anak-anak berbakat dan cerdas
Pesan untuk Matahari | 17

yang hendak memasukki sekolah tersebut dengan


bersusah payah. Suatu ketika, saat itu Ayra sedang
mengadakan Masa Orientasi Sekolah (MOS), para siswa
baru dikumpulkan di tengah aula besar dan mereka duduk
dilantai sambil menunggu untuk dipanggil oleh panitia,
namun hingga seluruh siswa tersebut habis. Ayra masih
belum dipanggil oleh panitia, hingga pada akhirnya panitia
berkata “untuk siswa yang belum dipanggil harap maju
kedepan dan keluar dari aula dan masuk dari sisi pintu
satunya” Ayra pun keluar dari aula dan menuju ke bagian
depan, dia ditanya oleh panitia tentang siapa namanya,
dan pada akhirnya Ayra mendapatkan kelas yang kelasnya
merupakan kelas terakhir dari angkatan tersebut. Ayra
dengan penuh rasa malu menatap teman-temannya yang
dilihatnya seperti seorang profesor yang sangat jenius.
Hari demi hari dilaluinya, dan dia merasa sangat
minder di kelas sewaktu dia kelas 7. Dia pasti
mendapatkan nilai yang terendah dikelas itu membuat
Ayra menjadi lebih malu dengan teman sekelasnya. Hingga
ketika tengah diadakan Ulangan Tengah Semester, dia
mendapatkan nilai 20 dari nilai bahasa Indonesia, seketika
ayah dari Ayra merasa sangat murka hingga melempar
rapornya kesamping. Hari hari terus berlalu seperti itu dia
menanggung malu, dan merasa paling bodoh di sekolah,
dia juga mengira bahwa teman temannya seperti orang
yang paling tidak bersalah dan paling “berwajah polos”
karena mereka seperti tidak melakukan kesalahan.
Hingga pada suatu ketika, Ayra naik ke kelas 8 dia
melihat beberapa temannya yang awalnya baik dan
merupakan orang yang tidak pernah melakukan kesalahan
Pesan untuk Matahari | 18

dan di muka mereka bagaikan pancaran seorang malaikat


karena tidak pernah berbuat dosa, seketika ketika mereka
kelas 8 tindakan mereka berubah menjadi nakal, Ayra pun
terrkejud dengan perubahan drastis yang dialami teman-
temannya, disamping itu Ayra merasa bisa memanfaatkan
teman teman yang sudah mulai nakal itu, Ayra
memanfaatkan mereka dengan selalu bekerja sama
dengan teman-temannya, hingga ketika waktu Ujian
Tengah Semster dia mendapatkan nilai yang bagus,
bahkan ketika itu temannya ada yang pernah membawa
buku untuk disimpan di dalam loker mejanya untuk
dijadikan bahan contekkan. Dan pernah ada salah satu
teman sekelas dari Ayra yang ketahuan mencontek. Ayra
merasa bahwa ternyata dia tidak sendirian lagi dan dia
merasa sudah diterima di lingkungan sekolahnya,
akhirnya dengan memiliki lingkungan yang baru Ayra
tidak terlalu terbuka dengan keluarganya lagi, dia
sekarang sudah memiliki teman teman yang lebih
menghargainya, salah satu teman dekatnya adalah Ilham.
Ayra mendapatkan banyak ilmu dari Ilham mereka sering
berkcengkrama dan selalu membahas tentang hal-hal yang
kritis, seperti mengapa kita harus sekolah, apa fungsi kita
hidup, dan mengapa orang orang ini bisa sangat
termotivasi untuk bersekolah, memang mereka sudah
mempunyai tujuan yang jelas..??. Seperti itu yang Ayra
bahas bersama temannya Ilham. Dan sering kali Ilham dan
Ayra tidak memperhatikan pelajaran dikelas karena sibuk
berbincang tentang hal itu, hingga ditegur oleh gurunya.
Setiap pulang sekolah, Ayra selalu berhenti dipinggir jalan
yang terdapat rumah mewah dan terkadang menatap
Pesan untuk Matahari | 19

langit dan berpikir hal hal seperti itu lagi hingga larut
malam.
Hal tersebut membuat Ayra menjadi pribadi yang
berbeda dengan sebelumnya, dia sudah mempunyai
pendirian sendiri dan menganggap bahwa setiap orang
jenius, namun mereka jenius pada bidangnya masing
masing dan tidak ada orang yang bodoh. Melalu
pertemanan dengan Ilham dikelas 8 akhirnya Ayra
mendapatkan seorang teman lagi bernama Levi, dia
merupakan teman dekat Ayra dikelas 9 dimana
sebenarnya Levi juga merupakan temannya dikelas 7
namun mereka tidak terlalu dekat. Dikelas 9 ini terkadang
Ayra dan Levi juga sering membicarakan hal-hal seperti
yagn dibicarakan dengan ilham, namun jika dengan Levi
pembicaraannya mengarah kepada ilmu pengetahuan
fisika ketimbang “filsafat”. Hingga pada akhirnya mereka
berdua selalu membuat pemikiran pemikiran yang berada
diluar mata pelajaran. Dan karena sangking seringnya
pemikiran itu dibicarakan, ketika UAS Ayra berada pada
urutan kedua terakhir dan Levi berada di urutan terakhir
setelah Ayra, namun hal tersebut tidak membuat Ayra
lengah mendekati Ujian Nasional Ayra sudah mempunyai
beberapa gambaran hidup dan pendirian yang kokoh,
sehingga apapun yang menghalangi Ayra dapat
menangkisnya dengan mudah, berkat lingkungan
pertemanan yang bagus pula. Akhirnya Ayra dapat fokus
dengan Ujian Nasional dan sudah muak akan perasaannya
ketika di Sekolah Dasar, hingga pada akhirnya dia
mendapatkan nilai Bahasa Indonesia tertinggi diantara
mata pelajaran ujian nasional yang lainnya, dan itu
Pesan untuk Matahari | 20

bagaikan tamparan bagi Ayah Ayra bahwa tiada orang


yang bodoh, namun semua orang jenius pada bidangnya.
Sehingga ketika beranjak SMA Ayra bisa mencari SMA
sendiri dengan hasil buah keringatnya dan usahanya
sendiri, itu menjadi kebanggan tersendiri bagi Ayra.
Pesan untuk Matahari | 21

Cita-Cita dari Tuhan

Ada seorang anak yang bernama Dugimar, dia


merupakan anak pelosok desa yang tidak mengetahui apa-
apa, ayahnya merupakan seorang tentara angakatan darat,
ibunya hanyalah seorang pedagang sayur, setiap hari
Dugimar membantu ibunya berdagang, namun ketika itu
ada sesuatu yang berbeda dari sebagian besar dari orang
tua yagn berprofesi sebagai tentara, dimana hal itu
merupakan peraturan dirumah seperti peraturan di sel
penjara, dan beberapa peraturan dan hal yang bersifat
perfeksionis yang harus dipenuhi oleh sang anak. Ayah
dari Dugimar ini memilih untuk tidak memberikan
peraturan kepada keluarganya, dia berpikir bahwa
pendidikan yang baik bagi seorang anak adalah
pendidikan yang “no rules”. Hal itu membuat Dugimar
menjadi seorang anak yang suka mengeksplorasi hal-hal
baru, dan dia selalu belajar tentag suatu hal-hal baru
berdasarkan inisiatifnya sendiri, tidak ada paksaan dari
orang tua sehingga membuat Dugimar menjadi sosok yang
belajar karena cinta, tidak belajar karena paksa. Sehingga
membuat Dugimar menjadi orang yang mempunyai
fundamental kekuatan otot-otot ilmu yang berbeda
dengan anak-anak seumurannya.
Dugimar tertarik kepada hal hal yang bersifat
kenegaraan, dia ketika itu membaca sebuah buku
National Geograpich, dimana pada salah satu buku itu
berjudul kenegaraan dan tentang geoekonomi dan
geostrategi, itu merupakan makanan sehari-hari dari
sosok Dugimar. Tidak hanya itu, Dugimar juga suka
Pesan untuk Matahari | 22

terhadap hal hal yang berbau agama, dia mengikuti sendiri


acara-acara pesantren yang diikuti oleh banyak santri, dan
orang tuanya juga tidak mempertanyakan bagaimana dia.
Suatu ketika dia SD Dugimar sedang duduk di sedang
duduk di tempat yang tidak terlalu jauh dari rumahnya,
dia duduk di temapt pos kampling yang terbuat dari
bambu. Suatu ketika dia melihat tetangganya membuang
secarik kertas ke tong sampah dan dia melihat bahwa
kertas tersebut bergambar gedung putih dari Amerika
Serikat. Dan ketika melihat gedung tersebut Dugimar
merasa bahwa dia harus bagaimanapun menjuju kesana
dan mengunjungi gedung tersebut.
Ketika Dugimar sudah beranjak besar, dia menjadi
seorang yang kaya, suka bersodaqoh, berpuasa senin-
kamis, dan sholat tahajud. Dugimar memiliki berbagai
perusahaan yang besar dan bermacam-macam, dia juga
memiliki kapal pesiar yang mewah. Namun, Dugimar
selalu menganggap pandangan pandangan orang lain
salah dan tidak benar, dia merasa bahwa dirinya paling
pintar walaupun dia menjadi seorang yang rajin sholat
tahajud, dan berpuasa. Dia membuktikannya dengan
banyaknya harta benda yang dia miliki, dan menganggap
bahwa pandangan orang lain yang dikeluarkan apabila itu
bertolak belakang dengan pandangan Dugimar maka hal
itu merupakan hal yang salah besar, seketika Dugimar
selalu membenci orang tersebut.
Suatu ketika, tiba tiba seluruh perusahaan yang
dimiliki dugimar collapse, dikarenakan adanya krisis
ekonomi yang membuat seluruh perusahaan yang dimilki
oleh dugimar harus gulung tikar, dan secara bersamaan
Pesan untuk Matahari | 23

hutang dugimar juga membengkak dikarenakan banyak


karyawan yang belum Dugimar bayar, namun usahanya
sudah Collapse, Secara bersamaan kapal pesiar yang
dimilki dugimar juga dicuri oleh orang lain. Dalam lima
hari harta sebanyak 3 Miliar yang dimiliki Dugimar satu
persatu hilang semua, dan dia terikat dengan hutang dari
usahanya sebanyak 10 Miliar. Hingga pada akhirnya dia
menjual seluruh rumah mewah, mobil, mewah, dan
seluruh pernak-pernik yang dimilki oleh istrinya.
Akhirnya istirnya kembali ke mertua dari Dugimar dan
Dugimar menanggung malu serta masih menanggung
hutang yang belum terlunaskan, dia berteriak dan marah
marah kepada Tuhan menyalahkan Tuhan kenapa dia
seperti ini, padahal selama ini yang dilakukan sudah benar
dan sudah menuruti ajarannya. Ketika itu kondisi tiba tiba
berubah drastis seperti ketika dia masih SD, dia duduk di
pinggir jalan dengan pakaian lusuh dan tinggal di kos yang
kebetulan sedang terhutang. Hingga pada akhirnya dia
melihat ada seorang tetangganya lagi yang membuang
secarik kertas yang memberi tahu pemikiran seorang kaya
dan sukses sebenarnya. Melalui bacaan tersebut dari
secarik kertas yang seadanya tersebut, tiba tiba Dugimar
tersadarkan akan kesalahannya, bahwa orang yang sukses
dan terus kaya akan selalu belajar karena dia merasa
bodoh, dengan dia merasa bodoh maka dia akan terus
belajar. Akhirnya dia mengunjungi kembali istrinya dan
meminta istrinya untuk meminjam mesin jahitnya dan
akhirnya dia membuka perusahaan mesin jahit, yang pada
akhirnya usaha tersebut sukses dan menjadi pabrik
konveksi yang besar serta dapat mengekspor ke berbagai
Pesan untuk Matahari | 24

belahan dunia, itu karena Dugimar terus belajar, karena


orang sukses adalah orang yang bodoh karena dia selalu
belajar, namun dibalik kebodohannya itu terbesit sesuatu
yang tersirat bahwa dia juga ingin mempertahankan
kekayaanya itu melalui kebodohannya.
Pesan untuk Matahari | 25

Si Hati Baja

”Eh Leta, ngapain lo disini sendirian aja, tumben


tumbenan banget lo keluar rumah” sambar Reta yang
sedang melihat Aleta duduk sendiri di ayunan taman
komplek, “gue pendiem bukan berarti ga bisa keluar
rumah kan? Dan lo ngapain kesini” jawab Leta sedikit
ketus, “ey ey santai dong bro, gue nanya baik baik loh”
sambar Reta yang ikut duduk di ayunan sebelah Leta , “iya
deh iya, ya terus lo ngapain kesini”, “eits gue yang nanya
duluan loh tapi karena gue baik yauda gue jawab, gue mau
jalan ketemu temen. Nah terus lo ngapain? Lo lagi sedih
ya?” Tanya Reta , “engga ko gue ga sedih, emangnya gue
gaboleh ya duduk di ayunan?” , “Gue kenal lo dari kecil ta,
gue tau raut muka lo waktu lagi sedih sama seneng
gimana, kalo lagi sedih tu cerita ta jangan diem aja, ada
gue kok, cerita sama gue yuk sini,” Reta meyakinkan Leta.
“Hm ketauan ya gue, iya gue lagi sedih.” Reta bertanya lagi
tentang alasan Leta sedih kenapa, lalu dijawab “karena
mereka.” Reta yang mendengar itu sedikit bingung, “hah
mereka” pikir Reta dalam hati lalu tersadar “mereka ya ta?
Chelsea dkk?” Aleta mengganguk setuju. Bisa dibilang Leta
dibully di sekolahnya tapi sedikit orang yang
membelanya.“ta lo lawan mereka dong ta, jangan diem aja,
gue gasuka lo digituin terus” Reta berbicara, “ya gue juga
mau lawan ret tapi mereka berlima dan gue sendiri, dan
juga ngelawan mereka itu bukannya ngebuat gue puas tapi
malah buat gue cape ati, emangnya kalo gue lawan mereka
terus gue menang itu akan membuat mereka berenti
gangguin gue? Ya pasti engga, mereka tu ibarat kucing liar
Pesan untuk Matahari | 26

yang minta makan, sekalinya minta makan mereka bakal


terus terusan dateng, ya sama kayak mereka, mereka
dilawan sekali ya gabakal berenti yang ada tambah gila.
Dan satu hal yang gue bingung banget, gue tuh salah apa si
sama mereka sampe sampe mereka ngebenci gue kayak
gitu, kalo gue ada salah tuh bilang, gue bakal minta maaf
kok, nah ini gue gaperna ngeggangu mereka tapi mereka
gangguin gue sampe kayak gitu bahkan gue gatau salah
gue apa ret.” Jawab Aleta panjang lebar sambil menunduk.
Reta yang melihat teman masa kecilnya berjuang begini
merasa sangat sedih dan merasa bersalah “ta...maaf ya gue
gabisa bantu banyak, bukan apa apa tapi--“ , “iya gapapa
Reta, lo ngebela gue waktu itu udah cukup kok, lebih dari
cukup malah, jangan merasa bersalah ya, senyum dong”
jawab Leta meyakinkan Reta. Reta tersenyum dan Leta
pun juga tersenyum.
Tidak sampai situ perbincangan mereka, Reta
bertanya lagi, “terus ta, bukannya lo deket sama Rine,
Rune sama Iden ya? Gue udah jarang banget ngeliat lo
bareng mereka lagi bahkan udah gapernah, gue mau
nanya lo tapi takut, mereka kenapa?” , “Mmmm, kalo itu
gue juga gatau ret, pas kelas 7 gue emang deket sama
mereka, kemana-mana bareng, apa apa juga bareng, tapi
waktu kelas 8 mereka makin lama makin menjauh,
maksudnya tuh kayak makin lama makin jauhin gue dan
gue gatau alesannya mereka kayak gitu kenapa tapi gue
yakin pasti karena Chelsea dkk,” jawab Aleta menjelaskan,
Reta hanya mengangguk angguk dengan raut wajah yang
sedih lalu ia bertanya lagi, “terus lo awal awal kek gitu ga
marah apa?” , “Engga kok gue ga marah, waktu awal awal
Pesan untuk Matahari | 27

gue sedih aja sih, sampe nangis waktu itu tapi makin lama
gue mikir kalo orang itu datang dan pergi, datang di waktu
ga tentu dan pergi di waktu yang ga tentu juga, bahkan
orang terdekat kita juga begitu, jadi sekarang gue udah
ikhlasin mereka, mereka jauhin gue yauda itu kemauan
mereka dan gue gamungkin kan mohon mohon, nangis
nangis buat temenan lagi, jatohnya malah gue yang gaada
harga diri kalo begitu. Tapi satu yang gue inget, fakta kalo
gue dan mereka dulu perna bertemen deket itu gabisa
diubah dan fakta kalo gue dan mereka pernah ngebuat
memori indah bareng, itu juga gabakal bisa gue lupain,
kayak lo aja ret kenangan kita main main waktu kecil juga
gabakal gue lupain.” , Reta yang mendengar perkataan
Aleta sangat tersentuh, Reta tersenyum bangga kepada
Aleta teman masa kecilnya itu. “Tapi Leta, lo kenapa
baikkkkkkkkk banget sihh sama orang, jangan terlalu baik
sama orang bahkan ke gue, gue takut lo dimanfaatin, plis
ta, jangan terlalu baik sama orang..” Reta bersuara lagi,
“ehei gue ga baik ko ret, buktinya tadi gue ketus ke lo pas
nanya gue lagi ngapain disini,” jawab Leta cengengesan,
Reta yang melihat Aleta ketawa tawa padahal lagi serius
malah kesal “ih gue serius Aleta!!!” , Aleta menjawab “iya
iya, gue itu bukan orang pinter ret, gue bukan anak yang
dibanggain guru, gue bukan anak aktif juga, gue dikelas aja
pendiem, jadi seengaknya kalo gue ga pinter, gue jadi
orang yang baik aja, walaupun orang orang banyak yang
gakenal gue tapi gue mau dan tetap berusaha untuk baik
ke semua orang.” AAAAAA, untuk kedua kalinya Reta
sangat tersentuh dengan jawaban Aleta, “tapi janji sama
gue jangan baik ke semua orang, setidaknya lo harus
Pesan untuk Matahari | 28

menganalisa orangnya dulu, pantes dibaikin atau engga,


janji ya Leta,” seru Reta , “iya iya ngerti ko gue.” Jawab
Leta senang. Reta lega dan bahagia, lalu merentangkan
tangannya sambil berkata “sini gue pelukkkk”, Leta yang
melihat itu berkata “idih ngapain lo” , Reta memakai
senyum manisnya dan berkata “udah sini aja, gue tau lo
lagi butuh pelukan.” Leta tersenyum dan membalas
pelukannya. Setelah kurang lebih 2 menit berpelukan,
Reta berbicara lagi “ah gue bangga deh punya temen
kayak lo, hati lo tuh kuat banget, kayak bajaa, mungkin
kalo gue jadi lo gue dah gakuat kali ya, lov banget
pokonya,” Leta membalas “jadi orang harus kuat dongg
hoho, eh udah gih jalan, katanya mau ketemu temen, nanti
temen lo kasian nungguin lama.” Karna Aleta berbicara
begitu, Reta jadi tersadar “oh iya aduh gue hampir lupa,
terus lo gimana dong, kita makan bareng aja yuk, gue
batalin ketemuan sama temen gue,” , “ih engga engga, gue
gapapa, lo ketemuan aja, serius gue gapapa, have fun ya.”
“Beneran ya gapapa, gue jalan nih, btw makasi ya ta, udah
cerita sama gue,” sambar Reta, lalu Leta menjawab “iya
gapapa, yang harusnya bilang makasih tu gue, makasi ya
udah nemenin gue cerita, gue bersyukur punya lo disaat
gue sendirian begini.” Dibalas dengan jawaban Reta “aaaa
santai aja, kalo mau cerita telepon gue aja ya, gue bakal
temeninnn” Leta tertawa dan membalas “iya iya, yauda
sekarang jalan gih, dadah.” Setelah itu mereka berpisah
berjalan di jalan masing masing sambil tersenyum
bahagia. - SELESAI –
Pesan untuk Matahari | 29

The Chaser

Di desa Taranet di sebelah barat tanah Alita,


hiduplah seorang remaja laki laki bernama Taremus,
penduduk desa sana mengenalnya sebagai “The Chaser”
karena dia selalu mengejar apa yang dia inginkan dan
pantang menyerah, taremus mempunyai satu mimpi yang
menurutnya sangat penting harus digapai, yaitu pergi ke
ibu kota tanah Alita, kota Arierity di pusat tanah Alita dan
menjadi ksatria disana, kota Arierity merupakan kota yang
paling maju diantara kota kota lain di tanah Alita.
Pagi pagi sekali taremus pergi menjelajah
menyusuri hutan Taranet, dia sudah sangat hafal hutan ini
karna hampir setiap hari ia menyusuri hutan tersebut,
tetapi pagi ini ia bertemu seorang perempuan yang
terbaring tidak sadarkan diri dengan luka ditubuhnya,
taremus mendekati perempuan dan melihat lukanya
cukup parah jadi ia berinsiatif untuk membawanya ke
rumah.
Taremus sedang menyiapkan teh saat perempuan
itu bangun dari tidurnya, taremus yang mengetahui hal
tersebut mendekati perempuan itu sambil menyodorkan
teh, perempuan itu hanya diam memandang kedepan
tanpa melirik, hanya diam tanpa bergerak, akhirnya
taremus menaruh teh yang dibuatnya di meja sebelah
tempat perempuan itu terbaring dan melanjutkan
pekerjaanya. Setelah beberapa menit hening tanpa suara
perempuan itu berusaha untuk berdiri tetapi ia meringis
kesakitan, “minum teh yang aku buatkan dulu, itu
membuat tubuhmu sembuh” taremus bersuara dengan
Pesan untuk Matahari | 30

santai, perempuan itu akhirnya meminumnya dan benar


saja tubuh perempuan itu jauh lebih baik dari yang tadi,
perempuan itu mengatakan terima kasih dengan suara
sendu dan berdiri, “aku tahu kau ingin cepat pergi dari
sini, tetapi makanlah sesuatu dulu, kau butuh energi untuk
pulang iyakan” sambar taremus, perempuan itu terdiam,
tetapi akhirnya ia duduk juga di meja penuh makanan itu.
Selama makan, taremus ngoceh tanpa henti, menanyakan
semua hal kepada perempuan itu, dari tempat asal, kenapa
bisa sampai desa Taranet, kenapa bisa sampai terluka, dan
masih banyak lagi, tetapi semua pertanyaan itu dibalas
dengan tatapan tajam yang mengisyaratkan perempuan
itu tidak suka dengan kebrisikan taremus, taremus diam
sejak balasan dingin itu, ia hanya diam dan makan
makanannya. “Aku dari kota Arierity, aku bisa kesini kare-
“, taremus yang mendengar kota Arierity langsung teriak
“WOAAHH” kurang lebih seperti itu, dan tentu saja
teriakan taremus membuat perempuan itu kaget, taremus
yang kegirangan dan mulai bertanya tanya tentang kota
impiannya itu tapi lagi lagi semua pertanyaan itu dibalas
dengan tatapan tajam si perempuan, taremus kembali
diam dan si perempuan melanjutkan kalimatnya, “aku bisa
sampai sini karena aku dan pasukanku sedang mendapat
tugas pertempuran kecil di perbatasan asgerald, tetapi aku
malah terluka dan tiba disini, dan setelah ini aku harus
mencari cara untuk kembali ke kota Arierity.” Setelah
perempuan itu selesai bicara taremus mulai angkat suara
dan kembali berbinar binar, orang orang seperti ini yang
membuat taremus kagum. “Jadi kau dari kota Arierity dan
kau adalah seorang kapten?! Wah itu sangat kerenn, aku
Pesan untuk Matahari | 31

juga ingin menjadi prajurit Arierity huee, tolong bantu aku


untuk pergi ke kota Arierity huee” rengek taremus, belum
juga 1 menit taremus berhenti, taremus sudah kembali
ngoceh lagi, “ dan astaga, kau pasti bisa melakukan sihir,
tolong ajari aku sihir juga huaa.” Kuping perempuan itu
panas sekarang, terlalu banyak pertanyaan membuat
kepalanya pusing, “STOP, tolong pelan pelan, aku akan
menjawab satu satu. Iya aku dari kota Arierity aku tinggal
dan besar disana, dan iya aku seorang kapten, kapten
pasukan 2 ksatria Arierity dan tentu saja aku bisa
menggunakan sihir karena salah satu syarat masuk
ksatria-an Arierity harus bisa menggunakan sihir” jelas si
perempuan itu. Taremus masih berbinar binar mendengar
ceritanya sampai si perempuan itu bertanya apa saja yang
bisa dia lakukan, tentu saja taremus bingung harus
menjawab apa karena untuk sihir ia belum bisa sama
sekali tetapi untuk skill bertarung, taremus cukup jago,
taremus menjelaskan apa saja yang bisa ia lakukan
termasuk bertarung kepada perempuan itu, dan karena
mendengar itu perempuan itu ingin melihat kemampuan
taremus bertarung sehingga perempuan itu membuat
arena kecil kecilan di depan rumah taremus dengan
sihirnya.
Esok paginya Taremus sudah siap bertarung
begitu juga perempuan itu, tubuh perempuan itu sudah
kembali sembuh dan sehat tentu saja karena teh yang
dibuat taremus ^^. Pertarungan ini menguji kekuatan fisik
dan kelincahan bertarung, dilarang menggunakan sihir
karena itu akan dianggap tidak adil, pertarungan
berlangsung seru, skill bertarung taremus benar benar
Pesan untuk Matahari | 32

hebat sampai sampai perempuan itu kaget dengan


pergerakannya, pertarungan berlangsung dari pagi sampai
sore tetapi pemenang belum ditentukan karena sejujurnya
tidak ada pemenang di pertarungan ini, kedua nya
bertarungan sampai lelah dan akhirnya mengakhiri
pertarungan hari ini. perempuan itu benar benar amazed
dengan kemampuan taremus, karena kemampuan
taremus yang sudah dibilang hebat, perempuan itu setuju
ingin mengajarkan sihir kepada taremus. “hei kau, kau
ingin belajar sihir kan, aku akan mengajarkanmu sihir
dasar saja dan untuk sisanya kau akan belajar di akademi
sihir Arierity, aku yang akan bertanggung jawab atas
namamu di akademi dan kalau kau ingin masuk akademi,
kau harus menjalani tes masuk akademi, makanya mulai
besok kita akan mulai latihan” sambar perempuan itu
yang membuat taremus kegirangan,”benarkah?! WAH,
terima kasih sekali, aku akan memanfaatkan kesempatan
ini, omong omong aku belum tau nama mu siapa” tanya
taremus, perempuan itu tidak ada niatan memberi tau
namanya sekarang sehingga ia hanya diam saja lalu pergi.
“Hei kau, sudah aku katakan berkali kali kau harus
membuat dirimu tenang, biarkan mana mu bertambah,
kalau begini caranya mana mu tidak akan bertambah dan
kalau tidak ada mana kau tidak akan bisa menggunakan
sihir” oceh perempuan itu gedeg dengan taremus yang
tidak ngerti ngerti, perempuan itu mengelus dadanya dan
berusaha sabar, “oke ayo ulagi sekali lagi, tarik napas dan
hembuskan, ulangi seperti itu dan biarkan tubuhmu
rileks,” pinta perempuan itu, taremus hanya mengangguk
lalu mengikuti arahan perempuan itu.
Pesan untuk Matahari | 33

“WOAHH, aku sudah bisa mengontrol mana, hei


Kareyaa! Aku bisa mengontrol mana” triak taremus ke
Kareya, Kareya adalah nama panggilan taremus kepada si
perempuan itu, Kareya yang mendengar itu langsung
datang dan melihat apakah benar atau tidak, Kareya
tersenyum dan menepuk kepala taremus, “kerja bagus
emus, sekarang ayo kita lanjut ke tingkat selanjutnya,”
taremus yang kepalanya ditepuk seperti itu malah tersipu.
Mereka melanjutkan latihannya dengan baik, semakin hari
kemampuan kontrol mana taremus semakin baik,
beberapa sihir dasar juga sudah dikuasai taremus, Kareya
merasa bangga karena berhasil mengajar taremus yang
tidak bisa sama sekali menggunakan sihir menjadi bisa,
begitu juga taremus yang bangga dengan diirnya sendiri
karena berhasil mencapai salah satu cita citanya. “tinggal
8 hari lagi, kau akan menjalani tes masuk, besok kita akan
mulai perjalanan ke kota Arierity, mungkin sekitar 2-3
hari dan setelah itu aku akan mengurus pendaftaran mu,
ingat apa yang sudah semua ku ajarkan okei, akan banyak
sekali orang seperti mu yang ingin masuk juga, jadi jangan
pakai rasa belas kasihan mu itu” Kareya menjelaskan.
Esoknya, pagi pagi sekali, mereka langsung pergi
meninggalkan desa Taranet, taremus sudah berpamitan
kepada semua penduduk desa, begitu juga Kareya, waktu
demi waktu mereka berdua berkelana, mengikuti arahan
Kareya yang memimpin jalan ke kota, dan akhirnya selama
3 hari 2 malam, mereka sampai ke kota Arierity, taremus
sangat sangat bersemangat saat sampai di kota impiannya
itu, berhasil pergi kesini apalagi mendaftar menjadi murid
akademi ksatris serasa dream come true baginya,
Pesan untuk Matahari | 34

akhirnya penantian selama 17 tahun tercapai. Sementara


itu Kareya langsung pergi ke akademi saat sampai sini,
mengurus pendaftaran Teramus.
“Emus, besok kau akan tes masuk, ingat apa saja
yang aku ajarkan dan terapkan itu, aku percaya kau akan
masuk, kau orang yang berbakat,” sambar Kareya, mereka
sedang bersantai di dekat sungai erendor, sungai yang
menyusuri kota Arierity, taremus mengangguk mendengar
kata kata semangat Kareya. Akhirnya hari yang ditunggu
telah tiba, Teramus sudah masuk ke ruang tes, taremus
merasa gugup tetapi bersemangat,”ayo emus, kamu bisa,”
kata Teramus dalam hati.
10 hari terlah berlalu sejak tes masuk Teramus,
dan tentu saja Teramus diterima, sekarang Teramus sudah
pindah ke asrama akademi Arierity dan sedang menjalani
pelatihan. “aku sudah bilang kau anak yang berbakat
emus,” puji Kareya, Teramus tertawa senang
mendengarnya lalu membalas “terima kasih kak Elanor,”
Kareya tentu saja kaget kenapa Teramus bisa tahu
namanya, lalu Kareya membalas dengan cubitan di pipi
Teramus dan berlanjut saling menjahili. Kejarlah mimpi
setinggi tingginya dan tentu saja jangan gampang
menyerah yaa. -The Chaser-
Pesan untuk Matahari | 35

CYCLE OF REVENGE
By: Cendra Samitri

Being an elementary school teacher is not an easy


job. Although it looks easy for many people—who think
that teaching children is easy—there are many challenges
that must be faced by teachers, especially for young
teacher like me who are less sensitive to the world of
children. Yes, I mean for a fresh graduate who has only
recently ventured into the world of children.
I work at a newly established private school in this
lonely old town about four months. There are not too
many students here. At least enough for 1 grade level with
1 classroom and 20 students in it. Teaching in fifth grade is
enough to keep me busy and often overwhelmed with
children who are starting to enter the threshold of
adolescence. Many heads with different temperaments
and I am required to be able to understand and treat them
one by one. In the end I began to understand that children
are extraordinary human being in many ways, which not
even everyone is able to understand with their hidden and
different backgrounds. It was then that I met Miles Henry
Muller, a calm and quiet boy in my class. He is a handsome
boy, his eyes are bright blue, his hair is blonde curls, his
body is neither thin nor fat. He always wears a jacket and
trousers that are a bit too big. But I understand that he is
comfortable with his appearance. Miles is not a
competitive kid like his other friends. He was a lonely boy,
didn't like to talk, and I don't know how else I should
describe him.
Pesan untuk Matahari | 36

At one time I met him on a street near a mini


market. He, along with his mother, brought several bags of
food ingredients which I think they had just bought from
the shop. The handsome Miles looked nothing like his
mother who had dark brown hair, gray eyes, and was a
little pale. Maybe Miles passed down the gene from his
father. The moment I passed him, Miles looked away. Then
I greeted her mother and asked each other how they were.
Mrs. Muller didn't say much either. After a small
talk they said goodbye to go home. Miles didn't greet me at
all, didn't even look at me. I noticed he was following his
mother empty-handed, while he carried the shopping bags
which looked quite heavy. Since then I started studying.
Yes, I learn how a teacher can understand quiet student
like Miles. I started to ask the teachers who had taught at
the school before, that I thought they must know some
things about Miles. I don't know why I started to be
interested in being close to that kid.
“Miles only transferred to this school when he was in third
grade. He recently moved to this city with his mother. If
you ask me where they live it is on Violet St. number 5,”
said Mr. Barry as a third grade teacher.
“Is he really that quiet? I mean, he's different. Unlike other
children his age who are supposed to be cheerful, playing
together, or…” I was confused.
“Communication is indeed necessary, but the mother and
son have the same habit, they do not like to communicate
with others,” Mr. Barry immediately answered my
question.
Pesan untuk Matahari | 37

I don't deny Mr. Barry's statement because I don't


think Mrs. Muller has said much either. I immediately
forgot the conversation with Mr. Barry and went into
teaching activities in class. Miles didn't show any change
in attitude. I thought about going to his house, or just
having small talks with his mother. I mean, I had
responsibilities for Miles growing up at school while he
didn't react positively to my support. He remained silent,
and was busy in his own world.
That day I taught storytelling lessons. I told Miles
to come to the front of the class and ask him to tell a story.
Without much reason, he complied.
“Once upon a time a woman had the heart to kill her own
husband because he had an affair and often abused her.
Then the husband's body is buried under the basement,
while she concludes that everyone has the right to end
their suffering from others. But the woman actually
became a terrible monster by venting…”
I was surprised to hear Miles' story. I told him to stop
because his friends were scared to hear that. “Where did
that story come from, Miles?? You can’t tell that story
here!” I asked while calming the other students. “I read
from a note book in my shed,” he replies. And that’s it. I
ended the class immediately.
During recess, several girls came to me. They
claimed yesterday that they saw Miles who was in the
school garden and brutally tortured a small bird to death. I
do not believe immediately so I called Miles. “The bird was
already dead when I saw it, I didn't kill it,” Miles said flatly.
Pesan untuk Matahari | 38

“But I saw your pen covered by blood, Miles! You must


have stabbed it with that!” Jessie screamed a little.
“That's a red marker, not blood,” Miles looked calm.
At that time, I asked him to hand over the marker.
But Miles refused because he said the marker was left at
home. Exactly the day after Miles missed school for two
weeks. I'm confused. I feel quite burdened because I feel
that I have failed to accompany Miles. I decided that
afternoon to go to his house. When I got to Miles' house, I
knocked on the door a few times without anyone
answering. The house looked deserted and empty. Not
long after, Miles opened the door. I calmly told him that I
wanted to meet his mother.
“Trust me, you won’t want to talk to my mom, she's a half-
crazy woman,” Miles' voice quivered. I was shocked to
hear that, why did he say his own mother was crazy?
“Is your mother at home? I promise I just want to talk for a
moment,” I said while looking at Miles' arms, which looked
bluish and had many dried scars. “What happen to your
arms?” I couldn't wait to realize he was no longer wearing
his usual jacket or long sleeved shirt. Miles looked a little
nervous and pale, then stepped a little into the house.
“My mom sleeping in the basement right now, I told you
she is a crazy woman, you don't need to say anything to
her,” that kid slowly backed away while closing the door
tightly.
“If there's something you want to tell me, just say it, Miles.
I'm willing to listen to your story!” I shouted a little. “I did.
I did it two weeks ago. But you didn’t even listen to me.”
Pesan untuk Matahari | 39

I returned home with nothing. I did not meet his


mother, but the child still leaves a big question for me.
That evening I decided to call a psychologist to accompany
me the next day to Miles' house, again. In the morning
when I was watching TV, a news broke with a headline
that made me shudder in horror.
[A 10-year-old boy with the initials MHM had the heart to
kill his own mother by stabbed her with a knife. He kept his
mother's body under the basement of the house. According
to the boy's statement, he killed his mother because he had
been subjected to violence that caused his mental, physical
and psychological damage. There is a possibility that this
young kid has a mental disorder while the case is still being
investigated further…]
“Oh my God, what have I done,” I thought, the tears
pouring down my cheeks. Miles Henry Muller, I
understand you too late.
Pesan untuk Matahari | 40

PULANG
Oleh: Cendra Samitri

Kali ini tepat saat liburan akhir tahun dan musim


hujan yang sedikit menyebalkan. Ranting-ranting pohon
cemara yang kupandang dari jendela rumah meneteskan
butiran embun pagi yang jatuh menghunjam tanah. Udara
sejuk pegunungan di kota kelahiranku yang sudah
kutinggalkan setelah sepuluh tahun lebih lamanya terasa
sedikit berbeda. Beberapa gedung dan ruko tampak
berdiri kokoh di tepi jalan besar, yang sepuluh tahun lalu
deretan jalan itu masih ditumbuhi oleh ilalang hijau
menjulang selutut dan rumput teki yang setiap menjelang
pukul lima menguning warnanya terkena siraman cahaya
matahari sore.
Tessa tergesa-gesa membawa secangkir teh hangat
dan sepiring pisang goreng dari arah dapur. Gadis Jakarta
itu mengaku tak tidur nyenyak semalaman. Udara kota
kecil itu terasa begitu mencengkeram urat nadinya. Pagi
itu ia meminjam sweater dan syalku karena hoodie yang
dipakainya tidak cukup menahan dinginnya udara subuh.
“Mama ada di dapur?” tanyaku pada Tessa. Ia mengangguk
perlahan sembari melumat sepotong pisang goreng
beraroma vanila buatan mama. Sebelumnya aku telah
meminta izin kepada mama agar aku dibolehkan
membawa sahabatku itu ketika pulang kampung. Tessa
sangat ingin jalan-jalan ke luar pulau Jawa karena hampir
seluruh pelosok Jawa sudah dikunjungi oleh anak orang
kaya Jakarta Selatan itu. Mama pun sangat setuju agar aku
tidak begitu bosan dan kesepian ketika berada di rumah.
Pesan untuk Matahari | 41

Setelahnya aku mengajak Tessa berjalan-jalan di


sekitar rumah agar ia dapat mengenali lingkungan rumah
tua ini dengan baik. Area rumah itu bisa dikatakan cukup
luas, bahkan sangat luas karena peninggalan nenekku
yang didapatkan dari warisan persukuan di tanah kami
berpuluh tahun silam. Ketika nenekku meninggal dunia,
rumah itu pun tidak serta merta dibagi rata sebagai
warisan kepada anak-anaknya karena mereka sudah
memiliki tempat tinggal masing-masing. Yang kebetulan
merawat nenek sejak dulu adalah mama dan pada
akhirnya mama-lah yang menempati rumah itu hingga
saat ini. Bangunan rumah itu bisa dikatakan masih berdiri
sangat kokoh meski di beberapa bagian temboknya sudah
hancur dan retak-retak serta warna catnya mulai
memudar. Ada beberapa ruang utama yang terpisah-pisah,
seperti bilik tamu di paling depan, lalu di sampingnya
disebut ruang tengah yang biasanya dulu dipakai untuk
tempat mengemas kue-kue kering yang diproduksi nenek
untuk dijual ke pasar dan setelahnya ada ruang utama
yang luas dan panjang dengan tiga kamar tidur yang
berderet. Masing-masing kamar tidur pun ada
sebutannya,yaitu bilik pangkal, bilik tengah dan bilik
ujung. Jika hendak ke dapur maka harus melewati sebuah
lorong dari pintu ruang utama yang ukuran lebarnya
sekitar 180 cm dengan panjang dua meter lebih.
Setelah berkeliling rumah aku memutuskan untuk
mandi. Meski waktu menunjukkan pukul 9 pagi, udara
pegunungan selalu dingin menusuk tulang terlebih airnya
yang tidak akan pernah terasa hangat meski cuaca dan
matahari bersinar terik sekalipun. Setelahnya aku kembali
Pesan untuk Matahari | 42

ke teras rumah menemui Tessa yang sedang menatap


pohon cemara yang bediri kaku di hadapannya.
“Tadi ada seorang kakek datang ke sini menanyakan
kepulanganmu,” ucap Tessa. “Siapa? Dia menyebutkan
nama?” tanyaku santai. Tessa hanya menggeleng dan
mengatakan kalau sang kakek berlalu begitu saja dan
berjalan ke arah utara. Pikiranku langsung tertuju pada
Datuk Kuniang, seorang kawan lama kakekku yang dulu
cukup dekat juga denganku dan arah rumahnya memang
ke utara. Tanpa menunggu lama kuajak Tessa untuk
bertandang ke rumah Datuk. Sesampainya di rumah
Datuk, kami disambut oleh anaknya yang jujur saja aku
telah lupa siapa namanya. Ia mengajak aku dan Tessa ke
dalam sebuah kamar. Di sana terbaring Datuk Kuniang
dengan tubuhnya yang kurus, jauh lebih kurus dari
sepuluh tahun silam ketika aku meninggalkan tempat
ini.Ternyata sudah dua tahun lamanya Datuk terkena
stroke dan hanya bisa terbaring lemah di tempat tidur.
“Bagaimana bisa seorang tua renta yang terkena stroke
berjalan-jalan ke depan rumahku menanyakan
kepulanganku?” ucapku lirih pada Tessa. “Mana aku tahu,
wajahnya tak terlihat jelas,” Tessa memelas namun juga
terlihat kebingungan. Ah, sepertinya aku salah tanggap.
Mungkin bukan Datuk Kuniang yang menanyakanku
padaTessa tadi.
Aku dan Tessa kembali pulang ke rumah setelah
mengunjungi Datuk tanpa berdialog apapun dengannya.
Datuk Kuniang mengingatkanku pada mendiang kakekku
yang meninggal ketika usiaku enam tahun. Masih teringat
jelas pada waktu itu bahwa akulah orang pertama yang
Pesan untuk Matahari | 43

menyadari kepergian kakek ketika ia terlihat tertidur


pulas dan mengadukannya pada ibuku. Malam harinya
setelah salat maghrib tangisku pecah mengingat tidak
akan lagi kulihat tubuh kakek di rumah ini. Kakek sangat
dekat denganku dan saudara-saudaraku yang lainnya. Ia
sering memberi kami hadiah kecil yang bagi kanak-kanak
kami hadiah tersebut adalah sesuatu yang sangat
berharga. Seketika aku merindukan kakekku.
Kulangkahkan kakiku ke bilik pangkal yang mana dulu
adalah kamar yang ditempati oleh kakek. Semua barang-
barang kakek disimpan dalam lemari tua di bilik itu
termasuk foto-fotonya. Kembali aku mengenang kakek
dari sebuah album foto usang yang telah berwarna buram.
“Wah, sedang apa, nih?” suara Tessa sedikit
mengagetkanku. Ia ikut duduk disebelahku memerhatikan
foto-foto usang kakek satu demi satu. “Kakekmu selalu
memakai kupluk ya kalau di foto? Unik juga, kakekmu
modish,” Tessa menderetkan foto kakek yang kesemuanya
memakai topi kupluk. “Entahlah, sudah jadi ciri khas
beliau sepanjang waktu memakai sebo. Entah kupluk atau
sebo tapi kakek selalu menyebutnya sebo,” ucapku.
Tiba-tiba saja Tessa menyambar sebuah foto kakek
yang tengah kupegang.
“Ini siapa? Sepertinya aku pernah melihatnya,” Tessa
memerhatikan lekat-lekat foto itu yang merupakan foto
kakek ketika masih muda.
“Itu kakekku ketika masih muda. Gimana, tampan, kan?
Tak heran kalau aku juga cantik karena keturunan seorang
pria tampan di foto itu,” balasaku meledek Tessa.
Pesan untuk Matahari | 44

“Bukan, bodoh! Wajahnya mirip dengan seorang kakek


yang kutemui di depan rumah. Ia juga menanyakan
kepulanganmu, apa dia saudara kakekmu?” Tessa
menatapku. “Kau bilang tadi wajahnya tak terlihat jelas,
sekarang kau malah mengingatnya” aku mengabaikan
Tessa.
“Bukan, bukan yang tadi pagi. Tapi barusan sebelum aku
masuk ke sini,” Tessa berusaha mengingat-ingat sesuatu,
“oh ya, kedua kakek yang kutemui itu juga memakai sebo
seperti punya kakekmu,” pungkasnya.
Aku terdiam sejenak. Kusadari bahwa di dusun ini
hanya kakekku yang paling ikonik menggunakan sebo
sepanjang waktu. Tanpa aba-aba langsung kutarik lengan
Tessa keluar dari bilik itu. Tessa pun tampak kebingungan
tetapi tidak mampu mengelak tarikanku.
“Kita mau ke mana?” Tessa akhirnya berhasil melepas
cengkeraman tanganku.
“Ayo, temani aku ziarah ke makam kakek. Kau tidak mau
dihantui arwah kakek terus-terusan selama di sini, kan?”
ucapku dengan nada meledek pada Tessa yang tiba-tiba
mematung dengan mulutnya yang menganga.
Pesan untuk Matahari | 45

Aku dan Isi Pikiranku

Aku cantik, aku pintar, dan aku percaya diri. Kata- kata
yang selalu didokrin terhadapku oleh kedua sahabat dan
orang tuaku. Yang sedang coba ku terima pada diriku
sendiri. Memang mudah diucapkan namun belum tentu
mudah untuk dilakukan. Sebisa mungkin aku mencoba
untuk mencintai diri sendiri dan mencoba untuk
menerima apa pun segala kekuranganku. Didokrin sebagai
pribadi yang baik di mata orang sekitar membuatku syok.
Terkadang ketika aku hanyut dalam lamunan dan dalam
benakku terbayang. Apakah benar sosokku seperti itu di
mata mereka?. Entah, aku pun merasa aku hanya
melakukan hal yang kurasa baik untuk dilakukan.
Ohhh.. iya perkenalkan namaku Delanna Kalayya biasa
dipanggil Kala ya begitulah teman-temanku memanggilku.
Aku seorang siswa SMK kelas 11 disalah satu sekolah
kejuruan teknik industri di kota pelajar kadang dikenal
dengan sebutan kota gudeg. Setelah beberapa tahun aku
tinggal kota yang baru ada suatu momen yang tak akan
pernah aku lupakan hingga kini aku kelas 11 SMK.
Pada Senin pagi tahun 2017 disitulah perjalananku
sebagai anak SMP dimulai, bersiap dari rumah dengan
seragam biru putih kukenakan dan rambut terikat rapi,
aku bergegas berangkat sekolah. Sesampainya di sekolah
aku langsung memarkirkan sepedaku dan menuju ke aula
untuk melihat daftar pembagian kelas. Di sana aku melihat
sahabatku sejak SD, ia juga sedang melihat papan
pembagian kelas. Ternyata kita terbagi dalam kelas yang
sama, aku begitu senang ia pun juga sama senangnya.
Pesan untuk Matahari | 46

Natali Kiiara atau biasa dipanggil Ara, ia anak yang baik


juga pintar sifatnya yang jujur membuat ia sering
dipercaya oleh orang-orang di sekitarnya.
Hari-hari ku di kelas 7 berjalan dengan lancar, mulai
dari lingkup pertemanan, mata pelajaran yang mudah aku
mengerti, nilai setiap tes yang aku dapat cukup
memuaskan terkadang mendapat nilai yang lebih. Namun
ketika mulai kelas 8 SMP semua menjadi terlihat lebih
jelas. Ketika sekolahku berencana untuk melakukan
jadwal study tour. Semua anak diminta untuk mencari
kelompok secara mandiri untuk penyusunan laporan
study tour. Pada saat ini lah aku dan Ara mencoba mencari
kelompok baru Ketika aku mencoba bertanya aku
langsung mendapat kata pedas yang ditujukan temanku
terhadapku “ Aku tidak mau satu kelompok dengan mu
karena kamu tidak punya kamera” setelah mendengar
kata itu aku langsung kaget dan mengiyakan lalu langsung
beranjak pergi. Pada penyusunan laporan study tour ini
diwajibkan untuk mendokumentasi berbagai tempat yang
akan dikunjungi . Aku dan Ara memang tidak punya
kamera tetapi kami memiliki kamera handphone yang
cukup baik untuk dokumentasi. Akhirnya kami mendapat
dua anggota lain dan ternyata sangat disayangkan kedua
temanku itu juga tidak diterima disemua kelompok
dengan alasan sudah terisi. Akhirnya kami berempat
menjadi satu kelompok dan mengerjakan laporan dengan
sungguh-sungguh agar kami mendapat nilai yang
maksimal.
Setelah study tour selesai menandakan bahwa semua
ujian kenaikan kelas telah usai dan kami akan naik ke
Pesan untuk Matahari | 47

kelas berikutnya yakni kelas 9. Pada kelas 9 ini adalah


masa-masa yang tidak pernah aku lupakan hingga saat ini.
Pada masa inilah aku memulai tahap pubertas yang lebih
tinggi selain pertambahan tinggi namun juga munculnya
permasalahan kulit yang biasa dialami oleh remaja putri
yaitu jerawat. Setiap aku beranjak dari rumah, muncul
rasa ketidakpercayaan diri. Terkadang tidak dianggap dan
dilihat dengan tatapan yang berbeda membuat aku sakit
hati. Mendengarkan ucapan mereka terkadang menyayat
hati membuat semakin down, namun anggap saja
perkataan seperti angin yang lalu lalang. Terkadang guru
juga tidak memberi suppor membangn namun justru
membuat lebih down,“Kenapa mbak jerawatnya tidak
sembuh-sembuh kamu sih pasti banyak coba-coba”
“kenapa mukanya seperti tomat merah-merah seperti itu”,
hanya guru bimbingan konseling dan guru Matematikaku
yang menyemangatiku untuk menjadi pribadi yang kuat
dan tabah. Beberapa perkataan dan ejekan yang
dilontarkan temanku terhadapku juga membuatku
terkadang merasa sedih. Mereka pernah berkata “Kala
kamu itu anak perempuan satu-satunya yang jarang
bercermin, apa kamu tidak punya cermin? atau kamu
takut dengan mukamu sendiri?”. Namun kujawab “Aku
jarang bercermin karena kupikir penampilan bukanlah
segalanya”. Sontak teman-temanku menunjukkan reaksi
tatapan yang cukup puas dengan jawaban yang
kulontarkan.
Suatu hari salah satu teman sekelasku juga berkata,
“La.. Kala.. tolong belikan aku jajan di kantin cepat!”
dengan nada angkuh dan terkesan memerintah, lalu ia
Pesan untuk Matahari | 48

melanjutkan perkataannya “Oh.. iya pasti kamu tidak mau


soalnya mukamu seperti itu nanti kamu malu sendiri di
kantin” setelah dia berucap seperti itu anak-anak lain
menanggapi dengan tawaan yang cukup keras, aku hanya
menanggapi dengan diam saja. Ara mencoba
menghiburkan dengan ia berkata bahwa semua itu ada
karma dan semua akan kembali seperti semula dan kamu
akan sembuh seperti dulu lagi, aku cukup terhibur dengan
kata yang keluar dari mulut Ara.
Sebelum ada ujian kelulusan pas ada berbagai tes yang
disediakan sekolah dan tes semacam try out yang dapat
kita cari secara mandiri. Suatu ketika aku dan Ara
mengikuti try out di salahsatu SMA negeri. Setelah
melewati tes kami semua dikumpulkan di lapangan besar
untuk mengikuti acara puncak. Pada saat itu aku tak
menyangka bertemu Nata salah satu sahabatku lain. Aku
dan Nata bertemu di acara keibadahan pada awal SMP
kelas 8 dan hubungan pertemanan kami cukup baik. Nata
ini seorang laki-laki yang cukup populer dikalangan anak
perempuan dan sifatnya yang baik dan ramahnya
memudahkan ia mendapat banyak teman. Pada saat itu
aku mendapati seseorang menatapku dengan aneh, aku
merasa kurang nyaman akan hal itu,pada saat itu aku
langsung menunduk kepala. Pada saat Nata mengetahui
hal itu ia berkat “Kala kamu kenapa?” dan aku menjawab
“Ta.. apa kamu tidak malu berteman denganku, secara
dengan aku yang seperti ini dan kamu yang seperti itu”.
Nata menjawab “Kamu yang seperti apa Kala, kamu ya
kamu, Kala ya Kala, aku mau berteman denganmu ya
karena kamu Kala dan sifatmu jauh-jauh lebih baik dari
Pesan untuk Matahari | 49

kalangan anak perempuan yang aku temui, kamu harus


percaya diri dan bersyukur atas apa yang kamu miliki”.
Setelah mendengar ucapannya membuatku menjadi
terhibur sedikit.
Sejujurnya aku paling malas jika meng hadiri
pertemuan keluarga besar, ya tak jarang dipertemuan
kelarga besar itu bukanlah ajang untuk melepas rindu dan
menanyakan kabar namun ajang untuk memamerkan
segala pencapaian yang didapat entah itu dari segi materi
dan akademik. Pertanyaan yang sering ditujukan
terhadapku entah itu soal jerawat yang tak kunjung
sembuh terkadang mereka juga mengomentari soal berat
badan. Biasanya orang seperti hanya berani berkomentar
tanpa memberikan solusi yang tepat. Terkadang
perkataan mereka terdengar hingga ke teliga bapak dan
ibukku. Sejak itu bapak ibukku selalu menyemangati
dengan berkata “Bahwa aku cantik dan inilah kamu, kamu
harus bersyukur atas apa yang Tuhan mungkin masih
banyak orang yang mengalami yang sama denganmu
bahkan bisa jadi lebih parah” setelah mendengar
perkataan kedua orang tua aku, aku merasa lebih terhibur
dan lebih bersyukur atas apa yang diberikan Tuhan.
Setelah mengalami pergulatan hebat dengan isi
pikiranku sendiri, aku menjadi memahami apa itu rasa
syukur dan terimakasih, ternyata masih banyak orang
yang mengalami hal sama denganku, aku termasuk
sabagian kecil dari mereka yang mengalami hal sama.
Sekarang aku sedang berusaha untuk sembuh dan
memperbaiki diri dengan segala usaha yang bisa aku
lakukan, dan untungnya di kelas 11 ini keadaanku
Pesan untuk Matahari | 50

membaik berkat mereka yang selalu mendukung dan


menyemangatiku. Sekarang tidak ada lagi rasa tidak
percaya diri dan malu hal, segala kekurangan yang dimiliki
dapat kita tutupi dengan perbuatan baik dan sifat yang
juga baik. Terimakasih semua atas segala dukungan dan
support yang ditujukan untukku.
Pesan untuk Matahari | 51

Menjadi Tangguh

Bagaimana perasaan kalian ketika mendengar kata


broken home, strict parent, over protektif, tiger parenting.
Jujur ketika mendengar kata tersebut membuatku menjadi
sedikit takut, was-was, sedih, dan terkadang ada rasa
kasihan. Aku bersyukur orang tua ku mendidik dan
merawatku dengan cara mereka sendiri tanpa membuat
anak merasa terkekang. Bukan berarti kedua orang tuaku
membebaskan dan melepasku namun kedua orang tuaku
masih mengawasi dengan semestinya. Broken home
.dialami olah salah seorang temanku, diumur masih sangat
belia dia sudah mengalami banyak cobaan dan kenyataan
pahit yang harus ia alami. Semua ini berawal dari
pertemuan kami sebagai siswa-siswi baru di salah satu
SMP / Sekolah Menengah Pertama.
Aku mengenalnya dengan sosok yang sangat ceria,
mudah tertawa, aktif ketika dikelas, dan sedikit manja,
mungkin karena dia anak tunggal alhasil segala kasih
sayang orang tua tertuju padanya. Aku mengenalnya
dengan nama Endaru Satria, biasa dipanggil dengan nama
Ndaru. Guru-guru menyebutnya dengan anak aktif karena
dia aktif bertanya ketika di kelas, aktif dalam kegiatan
ekstrakurikuler, dan aktif dalam organisasi sekolah yaitu
OSIS. Ia selalu menebarkan sisi positif ke semua orang, ia
juga sangat senang sekali karena ia akan memiliki adik,
jadi dia tidak akan menjadi anak tunggal lagi. Namun
ketika kami naik ke kelas 8, sikap dan perilakunya
berubah total seperti bukan pribadi yang kita kenal
selama ini. Dia menjadi anak yang suka membolos, keluar
Pesan untuk Matahari | 52

dari OSIS tanpa alasan yang jelas, tidak pernah


mengumpulkan tugas sekolah, dan sifatnya menjadi
mudah tersinggung dan mudah marah.
Pada setiap hari Kamis, sekolah kami selalu
mengadakan ujian, kami biasa menyebutnya Ulangan
Kamis Bersama. Karena nama kami yang berdekatan,
mengharuskan kami untuk duduk sebangku karena absen.
Ketika aku sedang mengerjakan ujian, aku mendengar dia
bergumam dan berkata “Aku benci banget sama ibuk”
karena hanya gumaman dan tak terdengar jelas kupikir
aku salah mendengar. Namun beberapa minggu kemudian
seisi sekolah dihebohkan dengan gosip bahwa adik Ndaru
bukan dari bapak kandungnya. Kami sekelas mencoba
untuk berpikir positif begitu juga denganku. Dia tidak
menanggapi gosip itu. Namun semakin hari gosip itu
semakin menjadi-jadi dan ada seorang teman yang
kebetulan tetangga Ndaru dan ia berkata bahwa gosip itu
sedang ramai dikalangan tetangga dan komplek
perumahan tempat Ndaru tinggal.
Suatu ketika kami ada tugas kelompok Bahasa Indonesia
yang mengharuskan kami melakukan presentasi. Kerja
kelompok itu diadakan di rumahku, pada saat itu Ndaru
yang kebetulan sekelompok denganku datang sangat
terlambat. Ketika datang pun ia langsung tidur di sofa
ruang tamu. Aku menanyakan kenapa ia datang terlambat
dengan badan yang terlihat, ia pun menjawab “Semalam
aku tidak tidur di rumah, ibu dan bapakku bertengkar, jadi
aku keluar malam hari dan langsung ke rumah nenekku
untuk tidur di sana” sontak kami semua kaget mendengar
pernyataan yang ia sampaikan. Lalu kami memutuskan
Pesan untuk Matahari | 53

untuk membiarkan dia tidur dan kami yang mengerjakan


tugas kelompok sementara ia mendapat tugas presentasi
di sekolah. Ketika kami sedang bekerja, tiba-tiba ia
berkata sesuatu kepadaku “ Ibu mu buka toko kelontong
ya?” aku menjawab “Iya.. karena sebelumnya ibuku juga
berjualan tetapi karena pindah jadi ibuku tidak
meneruskan usahanya dan akhirnya membuka toko
kelontong untuk mengisi waktu saja”. Ia menanggapi
jawabanku dengan berkata “Wah enak ya ibumu mengisi
waktu dengan berjualan kalau ibuku mengisi waktu
dengan melempar perabotan dan piring”, sontak kami
kaget dengan pernyataannya, kami tahu maksud dari
pernyataan Ndaru. Yang dimaksud yakni ibunya sering
bertengkar lalu melempar perabotan mau itu piring atau
gelas sehingga menimbulkan suara berisik dan dia merasa
sangat terganggu dengan pertengkaran ornag tuanya. Dan
aku menanggapi Ndaru dengan berkata “Mungkin kamu
melakukan kesalahan sehingga membuat ibumu marah,
mungkin ibumu ingin kamu menjadi anak yang menurut
dengan perkataan orang tua” aku berkata sambil
tersenyum dengan maksud untuk menghibur dia, ia pun
mengiyakan perkataanku sambil tersenyum.
Ternyata gosip yang beredar memanglah fakta,
selama bapaknya bekerja ternyata ibunya memiliki pria
lain. Bapaknya adalah seorang polisi yang cukup aktif
dalam menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi di daerah
tempat ia bertugas. Ndaru mengucapkannya sendiri
kepadaku dan teman dekatnya ketika kami melaksanakan
Ulangan Kamis Bersama. Sebetulnya aku bukan teman
dekat Ndaru, kami hanya sering mengobrol karena kami
Pesan untuk Matahari | 54

sebangku ketika ulangan. Sontak ketika mendengar hal itu


aku sungguh kaget dan mencoba menyemangati Ndaru.
Semenjak fakta gosip itu benar sikapnya menjadi
sangat-sangat berubah total. Ia pernah berangkat sekolah
dengan mata merah dan dengan berjalan seperti orang
tidak memiliki tenaga. Salah seorang temanku
menanyakan dan ternyata semalam ia meminum semacam
minuman keras, ia berkata bahwa ia lelah dengan
pertengkaran kedua orang tuanya yang tidak kunjung
usai. Kami sontak kaget karena dengan gaya seperti itu
tidak memungkinkan untuk belajar alhasil selama
pelajaran dia hanya tidur. Kami mendengar kabar bahwa
orang tuanya memutuskan untuk bercerai dan menjual
rumah di salahsatu perumahan elit. Kala itu Ndaru pernah
bercertia kepadaku setelah Ulangan Kamis Bersama
bahwa keduanya menjual rumah tersebut, namun rasa
kesalnya kepada ibunya semakin membuncah karena hasil
penjualan rumah itu tidak dibagi dengan adil. Bapaknya
mendapat pembagiaan yang sangat-sangat sedikit yakni
sekitar 5 juta dari hasil penjualan seluruhnya. Setelah itu
di hari-hari berikutnya hingga beberapa minggu Ndaru
tidak masuk sekolah, hingga beberapa temen mencoba
pergi ke rumahnya namun suasananya tampak lengang.
Setelah hari berganti minggu, minggu berganti bulan
kami mendapat kabar bahwa Ndaru berada di tempat
rehabilitasi. Bagaimana perasaan bapaknya ketika
anaknya tertimpa hal seperti ini padahal bapaknya adalah
seorang polisi. Sontak kami sekelas kaget, bagaimana ia
bisa mendapat dan mengonsumsi barang haram tersebut.
Jujur kami sedih dengan keadaan rumahnya yang menjadi
Pesan untuk Matahari | 55

berantakan karena ibunya dan kurangnya pengawasan


orang tua sehingga ia mudah terpengaruhi oleh orang lain.
Kami ikut berpikir bagaimana sekolahnya ketika ia berada
di sana. Salah satu temanku berkata bahwa di sana tetap
ada kegiatan belajar mengajar namun khusus. Kami
khawatir bagaimana masa depannya, tapi kami tidak bisa
berbuat banyak hanya doa dan semangat yang bisa kami
berikan kepada Ndaru.
Setelah kabar itu secara resmi ia mengundurkan diri
dari sekolah. Kami mendapat kabar bahwa beberapa bulan
setelah kabar itu ia boleh pulang dari tempat rehabilitasi,
ia memutuskan untuk tinggal bersama bapaknya dan
pindah ke daerah yang lebih sepi dan di desa. Akhirnya
mengambil sekolah paket agar memiliki ijazah yang
dikemudian hari bisa digunakan untuk bekerja. Untuk saat
ini ia masih mengunjungi ibunya untuk bertemu dengan
adiknya, karena ia beranggapan bahwa adiknya hanyalah
korban dan tidak tahu apa-apa tentang permasalahan
kedua orang tuanya.
Pesan untuk Matahari | 56

Jaga dan Pantaskan

Derap kaki telah terdengar disepanjang koridor


kampus. Hari ini, Ayana kembali disibukkan dengan
kegiatan rapat BEM yang seperti biasa rutin ia lakukan.
“Ay, kamu nanti pulang bareng siapa? Rapat lagi?” tanya
Nisya sahabat Ayana
“Betul sekali nona, kamu ga ada kegiatan lagi,Sya?”
tanya balik Ayana sambil masih terfokus pada ketikan di
ponselnya.
“Engga ada si, tapi bosen juga kalau pulang cepet. Aku
tungguin kamu aja deh”
“Dih, ngapain Sya? Mending mu pulang, istirahat
mumpung acara kepanitiaan kamu belum mulai”
“Yah tapi kan bosen di kosan, ngemall aja kali ya? Sekalian
cari jodoh”
“Mulai lagi ni anak ganjennya” tanggap Ayana
mengakhiri kesibukannya tadi dengan ponsel.
“Tapi Ay, kamu kenapa ga pernah si cerita ke aku gitu
tentang cowo? Kayak siapa gitu yang kamu taksir 5
semester ni. Kamu masih ga move on mantan ya, Ay?”
“Mantan apaan? Orang aku ga ada mantan”
“Ya terus kenapa?”tanya Nisya lagi kembali heran.
“Ya kenapa-kenapa, emang ga ada,Sya”
“Bohong banget aelah, kagak mungkin ga ada yang
ditaksir. Cerita ayo,Ay”
“Ya Allah ni anak ga percayaan banget. Gini ya Nisya
sayang, aku ni dah ga good looking, ga menarik, mau
naksir siapa juga nanti bertepuk sebelah tangan aja”
Pesan untuk Matahari | 57

“Ih engga gitu, Ay. Kok jadi insecure si, sini aku
bantu cariin gebetan ya. Biar nanti kamu hidupnya ga
mikirin kampus aja terus, bucin bisa kali”
Ayana hanya tersenyum melihat niat konyol
sahabatnya itu. Ayana bukan tidak suka sama siapapun di
kampus, tapi saat ini dia terlalu lelah berharap dengan
laki-laki yang bahkan kita ga tahu bakal jadi jodoh kita
atau ga.
“Dah pulang sana,Sya. Aku ke sekret dulu ya. Hati-
hati”
Di Sekret…
“Ayana, rundown buat acara minggu depan udah dibagi ke
grup belum?” tanya Raihan, ketua pelaksana.
“Udah han, Insya Allah udah bener. Oh iya, Haikal
kemana ya,Han? Aku ga liat dia dari pagi tadi. Biasanya
kan di sekret terus.”
“Ihiyy kenapa ni nyariin Haikal? Mencium bau-bau
cinlok satu divisi ga si” usil Raihan.
“Ga usah bikin rumor ya, Han. Aku tu ada perlu mau
revisian sama Haikal”
“Hahaha, canda Ay. Haikal lagi ke fakultas tetangga “
“Lah? Ngapain? Tumben kelayapan” tanya Ayana heran.
“Katanya tadi ada perlu aja, tapi ga tahu ngapain.
Kenapa ga coba chat aja,Ay?”
“Centang satu, Han. Ni anak tumben banget gini.” Ujar
Ayana sibuk kembali menghubungi Haikal lewat
Whatsapp.
“Hafal banget kayaknya mu sama kebiasaan Haikal ya,
Ay”
Pesan untuk Matahari | 58

“Dahla Han, aku ke kantin dulu ya. Kabarin aku kalau


Haikal dah ketemu.”
“Siap bu boss”
Karena belum makan siang, Ayana langsung saja
menuju ke kantin utuk menuntaskan rasa laparnya.
Keadaan kampus yang sudah sore membuat kantin
terlihat sepi, namun ia merasa mengenali orang yang
sedang menyantap makanannya di pojok kiri kantin
sendirian. Langsung saja Ayana menghampiri orang
tersebut sekalian memastikan penglihatannya.
“Haikal” panggil Ayana yang sudah berdiri di depan
meja orang itu.
“Lah Ayana? Ngapain Ay?” tanya Haikal menghentikan
suapannya sejenak.
“Ya mau makan lah, Kal. Kamu kemana aja si? Aku dari
tadi nyariin mau revisian laporan”
“Cie nyariin, udah nanti aja Ay revisian. Pesen aja dulu
makanan sana, temenin aku sekalian makan ni. Nitip
pesenin es jeruk satu ya,Ay”
“Ya udah, aku pesen dulu”
Saat ini hanya ada Haikal dan Ayana yang sedang
asik menyantap makanannya. Mereka memang kenal sejak
lama karena berasal dari SMA yang sama. Kebetulan sekali
sekarang mereka berdua berada di fakultas yang sama
walaupun berbeda jurusan dan di organisasi yang sama
juga, itulah sebabnya mereka menjadi semakin akrab.
Tidak jarang mereka berdua sering digosipkan
berpacaran.
“Ay, temenin aku beli kado buat mama dulu yok”
“Sekarang? Tunggu azan ashar dulu aja deh, salat dulu”
Pesan untuk Matahari | 59

“Iya Aya, aman tu. Mau ga?”


“Iya, tapi jangan sampe malam”
“Siap boss”
Pas sekali azan ashar berkumandang dan mereka segera
membereskan bekas makanan mereka dan menuju masjid
untuk salat terlebih dahulu.
Di parkiran, mereka pergi bersama dengan motor
masing-masing. Haikal juga paham dengan Ayana yang
menjaga jarak dengan laki-laki. Rumor tentang mereka
sebenarnya sering membuat Haikal merasa tidak enak
dengan Ayana. Namun Ayana selalu berkata tidak perlu
mendengarkan asumsi orang-orang itu. Setelah beberapa
menit di perjalanan, sampailah mereka di toko perhiasan.
“Ay, lebay banget ga kalau aku beliin mama gelang atau
kalung gitu?”
“Ya engga lah, bagus kok. Yokla”
Mereka pun masuk ke dalam toko tersebut.
“Permisi mba, saya mau cari kalung untuk ulang tahun
mama saya. Kira-kira ada rekomendasi apa aja ya, mba?”
“Kalau yang ini bagaimana,mas?” Pelayan itu
menunjukkan kalung dengan liontin berbentuk bintang.
“Ay, bagus ga?” tanya Haikal memastikan pendapat dari
sisi wanita.
“Bagus banget, ya udah ini aja Kal”
“Oke ini aja, nanti bilang mama dipilihin calon menantu”
usil Haikal ke Ayana
“Mulai menjamet, dah aku tunggu di depan ya Kal”
Ayana pun keluar toko sembari menunggu.
Sebenarnya Ayana keluar untuk menghirup oksigen lebih
banyak demi menetralkan detakan jantungnya sekarang.
Pesan untuk Matahari | 60

Ucapan Haikal tadi berhasil membuatkan salah tingkah


karena sebenarnya Ayana sudah lama menaruh hati untuk
Haikal. Terhitung menuju 6 tahun sejak SMP kelas 9. Hal
ini bukanlah yang tabu lagi di kalangan circle Ayana sejak
SMP, namun sejak kuliah mereka terpisah sehingga Ayana
tidak pernah lagi bercerita kepada orang lain selain
sahabat SMP nya itu. Untuk Haikal sendiri, ia tahu Ayana
menyimpan hati kepadanya. Tidak disangka juga takdir
mempertemukan mereka kembali dengan berada di satu
fakultas dan organisasi. Selama ini tidak ada hal yang
istimewa dari keakraban mereka. Haikal yang sadar
bahwa laki-laki dan perempuan itu ada batasan mejadi
lebih mengerti langkah apa yang harus ia lakukan saat
bersama Ayana.
“Alhamdulillah dah selesai kado mama, yok pulang”
Ayana yang masih melamun, jadi tidak mengiyakan
ucapan Haikal.
“Ay?”
“Ehh..hh udah ya? Yokla pulang”
Mereka pun menuju motor masing-masing lagi dan
pulang ke rumah. Namun, tentu Haikal mengantarkan
Ayana dulu sebelum ia melaju ke rumahnya. Tak lama dari
perjalanan, mereka pun sampai di rumah Ayana.
“Makasi ya Kal, salam buat mam kamu”
“Sama-sama Ay”
“Ayana, kalau emang berjodoh nanti pasti jadi kok.
Makasi buat selalu menjaganya kamu, sama-sama pantesin
diri ya,Ay. Aku pamit dulu, salam buat Bunda.”
Pesan untuk Matahari | 61

Bak Bunga Mawar


By : Delia Nurazizah

Hari senin, Seperti di kehidupan manusia, para


peri pun melakukan aktivitas umum seperti bersekolah,
bekerja, dan saling sapa menyapa sebagai tetangga. Aku
pergi bersekolah seperti biasanya di pagi hari.
“Selamat pagi ibu.” Kata aku
“Pagi nak, kamu tidak lupa nanti ada kelas
tambahan Sains kan?” tanya Ibu tanpa basa basi.
“Iya ibu, aku tidak lupa” kataku.
“Cepatlah berangkat, makan saja disana dan
jadikan bekal agar tidak terlambat. Ingat nak, kau sudah
memasuki musim ujian. Tingkat Sains mu tak boleh
menurun anakku dan jangan lupa selalu tersenyum serta
ramah dengan peri lain. Kamu tidak ingin diasingkan oleh
kepala desa kan” kata Ibu tiba-tiba nadanya merendah.
“Baik ibu aku berangkat” kataku dengan cukup
sedih, semakin kesini Ibu semakin ketat denganku.
Aturannya sangat banyak. Aku tau ini semua demi diriku,
Ibu ingin yang terbaik untukku. Tapi itu membuatku
semakin tak nyaman, aku merasa tidak bisa menjadi diriku
sendiri. Aturan di desa ini sangat banyak, bahkan di dalam
rumahku.
Ketika kembali dari sekolah dan aku masukke
rumah sudah ada tamu yaitu kawan ibu dari desa lain Bu
Dona dan Paman Brian, seperti biasa jika ada tamu aku
memberi salam sapaan kepada para kawan ibu itu. Lalu
aku merasakan hal yang tidak membuatku nyaman.
Pesan untuk Matahari | 62

“Anakku, kau sudah pulang. Mari beri salam


kepada kawan ibu” kata Ibu sambil mengulurkan
tangannya ke arahku.
“Selamat sore, paman, dan tante. Apa kabar?”
kataku sambil bersalaman.
“Sore anak cantik, ramah sekali kamu ya seperti
Ibumu” puji Paman Brian.
“Ibumu sangat berhasil mendidikmu dengan baik
ya” disusul pujian dari Tante Dona.
“Terima kasih Paman dan Tante, ini berkat desa
kami juga” kataku menjawab sesuai perintah Ibu dulu,
ketika ada yang memuji soal sikapku, aku cukup
merendah dan memuji desa ini. Aku tak tahu maksud Ibu,
mungkin memang harusnya begitu.
“Terima kasih Bu Dona, Pak Brian. Kalian ini bisa
saja” kata Ibu menanggapi pujian itu.
“Ayo nak bersihkan badanmu lalu jangan lupa
peri ke balai desa” kata Ibu.
“Maaf Bu Dona, Pak Brian anak saya ikut
sukarelawan remaja di balai desa untuk mengikuti ujian
Kedutaan Junior jadi harus selalu diingatkan” kata Ibu
sambil tertawa sedikit.
“Tidak diragukan lagi memang kau sangat
berhasil menjadi Ibu dan Duta desamu ya” Puji lagi Paman
itu.
“Mungkin anakmu sangat cocok menjadi
penerusmu ya” kata Tante Dona.
“Semoga saja ya, aku pun berfikir begitu Bu
Dona” kata Ibuku.
Pesan untuk Matahari | 63

Setelah lama berbincang, kawan-kawaan Ibu


pulang kembali ke desanya. Lalu ibu menghampiri
kamarku dengan memberi tanda ketukan untuk masuk ke
kamarku. Ternyata Ibu hanya ingin memastikan aku tidak
terlambat ke balai desa. Aku sangat tak ingin menjadi Duta
itu, itu bukan zona nyamanku. Tapi aku akan merasa
bersalah jika menolak permintaan Ibu, tapi untuk kali ini
aku benar-benar tak sanggup. Aku akan merencanakan
rencana untuk mengagalkan ujian besok.
Hari ini adalah hari Ujian tahap lanjut untuk
menjadi Duta Junior. Akupun berangkat dan terlihat Ibuku
sangat senang melihatku seperti ini tanpa ia tau bahwa
aku akan menggalkan rasa senangnya itu.
Ketika aku sudah sampai, aku berencana
membuat jawaban-jawaban yang melenceng atau bahkan
aku akan kabur untuk tahapan akhir. Aku menjalankan
aksiku, kemudian aku kabur ke rumah Sabahabatku. Aku
menceritakan kepadanya tentang aksiku, ia pun terkejut
dan sempat marah kepadaku. Tapi semakin aku jelaskan,
ia paham dan mau menghargai keputusanku. Akupun
kembali pulang, lalu diperjalanan aku tak berusaha ramah
karena aku sangat lelah, aku ingin mencobanya dan
melihat reaksi Ibu.
Akupun pulang ke rumah, lalu keesokannya hasil
ujian diumumkan. Ibu mengajak teman-teman
tetangganya menonton hasil ujian di balai desa. Aku tak
paham mengapa harus mengajak mereka, apakah Ibuku
ini ingin memamerkan jika aku lolos, sepertinya aku akan
merusak harinya di hari ini.
Pesan untuk Matahari | 64

Tak lama, pengumuman pun keluar, aku sudah


sesuai rencanaku. Benar saja aku tidak lolos, dan raut
wajah Ibunya seperti ingin mengasingkanku saat ini juga
dengan emnahan malu dari teman-temannya. Ibu
menyeretku terbang ke rumah kami meninggalkan rasa
malunyga.
“Ini tidak benar, bagaimana bisa kau tak lolos
Mayang” kata Ibuku yang berubah memanggl namaku
tanpa panggilan sayangnya kepadaku.
“Maaf Ibu” kataku.
“Ibu selama ini kurang apa Mayang. Mengapa kau
seperti ini, apa-apaan kau ini Mayang” kata Ibuku dengan
nada tinggi.
“Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri Ibu. Aku
tak tahu apakah ibu benar peri dari desa ini yang amat
suci? Aku tak melihat itu sekarang pada Ibu” katakku
menjawab dengan cukup emosi.
“Mayang !!! kau sekarang kurang hajar sekali
pada Ibu, kau ingin Ibu laporkan kepada Kepala Desa. Kau
ingat siapa aku ini Mayang. Aku pun bisa dengan mudah
mengasingkanmu dari desa ini” kata Ibu membentak.
“Iya Ibu, aku tau kau adalah Duta Tata Krama dan
Primadona yang sangat cantik dan Sangat Suci itu kan?
Apa sekarang kau pikir sikapmu bisa dibilang suci dengan
lebih memikirkan harga dirimu dibanding perasaana anak
angkatmu ini. Kau malu memiliki anak angkat? Sehingga
kau ingin aku dilihat sangat hebat oleh seluruh penduduk
peri ini? Itu tandanya kau ingin dipuji kan ibu, kau ingin
dipuji dengan keberhasilanmu mendidikku. Aku tak
menyangka Ibuku seorang Duta dan Primadona Desa yang
Pesan untuk Matahari | 65

terkenal ini sangat haus pujian” katakku mengeluarkan


semua unek-unekku yang tak terbendung lagi.
“Hei kau..” kata ibu
“Maaf Ibu biarkan aku menjadi diriku sendiri.
Aku akan pergi untuk sementara waktu dan Ibu jangan
cari aku samapai aku kembali” katakku memotong
pembicaraan ibu sambil mengemas sedikit barangku.
Akupun tanpa pamit langsung menerbangkan
sayapku dengan tas di pundakku. Ibukku tidak berbicara
sepatah katapun, aku tak tau apa yang sedang ia pikirkan
sampai ia merelakanku pergi begitu saja. Aku menginap di
rumah nenek Nana yang sangat baik hati mau
menerimaku sementara ini, lokasinya di desa tepat aku
dilahirkan sebelum aku diangkat jadi anak Ibuku. Sesekali
aku menjumpai Ibu untuk mengetahui kabarnya sebagai
rasa bersalahku. Ibu menjadi lebih pendiam sekarang.
Terkejutnya aku ketika aku mulai kembali ke rumah Ibu.
Ibu sudah tidak lagi menjadi Duta dan Primadona, ia
mengundurkan diri. Aku semakin merasa bersalah
padanya, tapi akupun ingin ibu memahamiku. Dan
sekarang mungkin aku yang telah egois kepada Ibu.
Pesan untuk Matahari | 66

Bunga, Ranti dan Sani


By : Delia Nurazizah

Hari ini adalah hari ulang tahun Bunga, Ranti pun


berencana menemui Bunga untuk memberikan kejutan. Di
waktu yang bersamaan Bunga membayangkan apa yang
akan dilakukannya pada hari ulang tahunnya. Ranti pun
menghampiri rumah bunga dengan kejutannya
membawakan kue buatannya.
“Wah apa itu Ranti?” tanya Bunga dengan rasa
gembira dan terkejut.
“Sudah nanti saja jika kau ingin tau apa ini, tiup
lilinnya dulu dong dan jangan lupa membuat harapan”
kata Ranti sambil mengulurkan tangan yang ditimpa
dengan kue buatannya.
“Baiklah, *semoga aku bisa menjadi lebih baik
lagi dan tidak terpisahkan dari Ranti” kata Bunga sambil
membuat harapan dalam hati lalu meniup lilin berapi
diatas kue itu.
“Apa harapan yang kau buat Bunga?” tanya Ranti
penasaran.
“Rahasiaaaa” jawab Bunga sambil sedikit
tertawa.
Tetapi anehnya, ketika Bunga menyebutkan
harapannya tadi, perasaannya tak setulus harapannya.
Rasanya ada yang mengganjal seolah-olah ia tak harus
berharap Ranti bersamanya selamanya. Ia langsung
membuang rasa penasaran anehnya itu dan berfikir positif
itu hanya perasaan saja.
“Wah keren sekali kau” kata Bunga bangga.
Pesan untuk Matahari | 67

“Apa kau tak ingin membuka hadiahnya


sekarang?” tanya Ranti mengalihkan.
“Baiklah aku buka ya, 1 2 3” jawab Bunga dengan
semangat sambil berhitung dengan nada canda.
Terkejut tidak, kecewa pun tidak ketika Bunga
membuka kotak hadiah pemberian dari ranti. Hanya ada
rasa bingung sekarang ini tentu dibarengi rasa senang dan
bersyukur. Hadiah pemberian Ranti berupa selembar
kertas yang berisikan satu kalimat yang menjadi penyebab
kebingungan Bunga. Kebingungan yang akan
terselesaikan.
Di siang harinya, Bunga mengajak Ratna untuk
membeli jajanan dekat rumahnya. Di tengah perjalanan
mereka bertemu dengan sosok yang tak asing bagi Bunga.
Setelah berpapasan sangat dekat, Bunga menyadari bahwa
itu adalah teman masa kecilnya yang telah lama sekali
mereka berpisah bernama Sani. Sani pun menyapa Bunga
dengan sangat senang setelah sekian lama tidak bertemu
Bunga. Tapi ada yang kurang enak disini, Ranti terlihat
cukup tidak suka akan kedatangan Sani dan berharap
seandainya tidak berpapasan dengan Sani.
Kemudian mereka bertiga pun mengobrol di
rumah Bunga untuk melepaskan rindu Bunga kepada Sani.
Tak terasa waktu yang mereka habiskan cukup panjang,
Ranti semakin terlihat ia tak menyukai Sani, akhirnya ia
memutuskan untuk menghentikan obrolan mereka
dengan alasan tidak enak dengan Orang Tua Bunga jika
berlama lama berbising di rumah Bunga. Lalu mereka pun
pulang ke tempat masing-masing. Tapi Sani mengajak
Pesan untuk Matahari | 68

Bunga ke rumahnya bertemu dengan Kakeknya, dan


Bunga pun setuju.
Ternyata Kakek Sani telah menyiapkan makan
malam untuk mereka berdua. Terlihat sekali suasanyanya
sangat hangat, nyaman dan Bunga terlihat menikmatinya.
Selesai makan malam Kakek membicarakan sesuatu
kepada Bunga. Hanya berdua dengan Bunga. Sani
diperintahkan untuk terlebih dahulu ke kamarnya.
“Ada apa Kek, apa ada hal serius yang ingin
dibicarakan pada Bunga?” tanya Bunga dengan sopan.
“Betul Bunga, sebelum itu, Kakek ingin
menanyakan satu hal padamu” kata Kakek.
“Bagaimana pandanganmu sekarang terhadap
orang-orang yang bertemu sapa denganmu?” Kata Kakek.
“Oh kalau itu, beberapa hari ini aku cukup sering
bertemu dengan orang-orang sekitarku lagi setelah aku
menjauhi mereka. Hm ya misalnya dengan sepupuny
Reyna waktu itu dan tadi di Wahana dengan kawan SD ku
Mina. Aku merasa mereka lebih berbeda, aku sempat
berfikir apa mereka menjadi lebih baik sekarang. Dulu aku
rasa mereka tak cukup baik padaku. Tapi mengapa
sekarang tatapan mereka terlihat tulus padaku” kata
Bunga.
“Coba kau ingat kembali, disaat itu dan disaat
kondisi apa kau merasa ada perubahan terhadap mereka?”
tanya Kakek.
“Yang aku ingat, setelah hari ulang tahunku saja
kek. Apa ini hadiah untukku” kata Bunga
“Ya, betul ini adalah hadiah mu. Tapi bukan
hadiah ulang tahunmu, ini hadiah atas kedewasaanmu
Pesan untuk Matahari | 69

yang semakin tumbuh. Umurmu semakin bertambah,


pikiranmu pun semakin berkembang Bunga. Kau perlu
menyadari itu. Coba kau pikirkan lagi dan lebih dipahami,
aku akan menunggumu befikir” kata Kakek
“Bolehkah aku bertanya sesuatu Kek?” tanya
Bunga.
“Boleh saja” jawab Kakek.
“Aku merasa Sani sangat membuatku bahagia
bahkan melebihi ketika Ayah, Bunda, dan Adikku
membuatkanku kejutan kemarin. Apa Sani benar adalah
hadiahku?” tanya Bunga.
“Itu karena kau telah menemukan Sani kembali,
perasaan positifmu terhadap orang lain, tehadap orang-
orang disekitarmu. Itu mengapa Ratna tidak bisa
bersamamu lagi, karena Posisinya telah didominasi oleh
Sani, perasaan positifmu terhadap orang-orang lain. Dan
itulah mengapa Ratna sangat membenci orang-orang
disekitarmu dan sangat mendukung dirimu untik
menjauhkan mereka. Itu juga yang menjadi penyebab
Ratna tidak suka Sani selalu disampingmu, karena Sani
adalah ancaman baginya. Ketika kau semakin dewasa ada
rintangan yang harus kau lalui untuk menuju kata Dewasa.
Ketika kau kecil perasaan positifmu mendominasi dirimu,
kau selalu berfikir poaitif terhadap orang-orang
disekitarmu. Anak-anak tak pernah berfikir negatif
terhadap orang lain, Anak kecil mungkin melakukan
kesalahan, tapi itu mengapa ketika anak-anak berbuat
kesalahan. Rata-rata orang dewasa mewajarkannya,
karena anak-anak tak sadar. Termasuk dirimu waktu kecil,
kau tidak tahu mana orang jahat dan orang baik yang bisa
Pesan untuk Matahari | 70

kau rasakan dari hatimu. Pikiranmu adalah kesenangan,


berfikir positif terhadap orang lain. Dan ketika kau harus
berjalan menuju kedewasaan rintangan itu adalah rasa
trauma, dan kau mulai bisa beragumen terhadap orang
lain dan menilai mereka. Tapi tanpa sadar kau
mendominasi Ratna, perasaan negatifmu, rasa dengki,
kecewa, amarah, dendam, dan egois yang menjadi
penyebab Sani meninggalkanmu beberapa waktu karena
Ratna mendominasi dirimu. Kau terlalu percaya dan yakin
dengan perasaan negatifmu” kata Kakek sangat panjang
menjelaskan kepada Bunga dengan nada yang halus.
“Jadi selama ini, aku salah langkah Kek?” kata
Kakek.
“Tidak, kau tidak salah langkah. Semua manusia
wajar memiliki semua perasaan itu, hanya saja kau perlu
mengontrolnya dan berusaha tidak mendominasi salah
satunya. Tiap manusia memerlukan perasaan positif dan
negatif itu untukmu bisa bersyukur menikmati
kehidupanmu dan belajar dari kehidupanmu. Jadi kau
hanya perlu menyeimbangkan mereka, menyeimbangkan
Ratna dan Santi. Sehingga ketika kau melihat sisi buruk
orang lain, kau akan melihat sisi baik mereka. Kau hanya
perlu memfokuskan dirimu agar nyaman dengan
kehidupanmu daripada menjauhkan semua orang. Tapi
tak ada salahnya kau menjauhi mereka untuk sementara
waktu dan tidak berlarut. Buatlah mereka baik padamu,
dan kaku pun sebaliknya” kata Kakek.
“Maaf Kek aku masih tidak percaya” kata Bunga
sangat bingung.
Pesan untuk Matahari | 71

“Kau akan percaya setelah kau bangun, cepatlah


kau tidur. Sani sudah menunggumu disana” kata Kakek.
“Tapi kek...” tidak lama kemudian, Bunga bangun
dari tidurnya. Setelah ia membuka matanya ia berada
diatas kasur kamarnya dan ini masih hari ulang tahunnya.
Ia menangis dan bersyukur telah mendapatkan kembali
perasan baiknya itu. Semua ini hanyalah mimpinya yang
sangat berarti.
Pesan untuk Matahari | 72

Assalamua’alaikum Baitullah

Kebahagiaan pemuda asal Mlangi yang akrab dipanggil


Ibnu terletak pada dua malaikat yang senantiasa menjaga,
merawat, dan menyayanginya tanpa batas. Saat mentari
pagi masih malu untuk menampakan sinarnya, Ibnu telah
disibukan dengan tungku di dapur yang sudah
mengeluarkan asap sedari tadi, malaikat hidup yang satu
ini selalu bangun lebih awal dari 7 orang yang ada di
gubuk sederhana ini. Tidak kalah dengan ibu, ayah sudah
menyiapkan beberapa peralatan yang siap untuk dibawa
menuju tempat kerjanya, sebelum itu ayah sudah
memastikan anak-anaknya terbangun dari mimpi tepat
pukul 03.30. Disela-sela waktu menjelang subuh ayah
selalu membimbing Ibnu, Ka Adam, dan 3 adik Ibnu yang
lain untuk membaca Al-Qur’an. Ibnu selalu membawa alat
pelindung berupa peci berlapis 3 untuk dikenakan
dibagian kepala karena setiap satu ayat yang salah keluar
dari mulut, maka satu pukulan menggunakan kayu akan
mendarat di kepala. Ayah sosok yang keras, Ibnu dan
keempat saudaranya dididik untuk tumbuh menjadi anak
yang tangguh dan pantang menyerah. Hingga tiba disuatu
masa Ibnu ingin melanjutkan pendidikan di Universitas
Gajah Mada seperti Ka Adam, semua tetangga dan teman-
teman meremehkan itu dan mulai mengolok-olok Ibnu.
Sampai pada satu hari sebuah amplop coklat mendarat di
depan pintu rumah Ibnu yang berisi bahwa Ibnu diterima
di UGM dengan prodi Sastra Arab, Ibnu sangat bahagia
dengan berita ini. Ibnu selalu berusaha untuk membuat
kedua malaikat hidupnya bangga, namun dihari itu pula
Pesan untuk Matahari | 73

Allah SWT memanggil ayah untuk kembali kepangkuan-


Nya.
Perjuangan Ibnu menjadi mahasiswa UGM tidak lah
mudah, hari-hari menjadi mahasiswa dilalui Ibnu dengan
tetesan keringat dan perjuangan. Sepulang kuliah Ibnu
harus bekerja membuat jaring bersama dua temannya di
desa sebelah, tidak hanya itu Ibnu juga melakukan
berbagai pekerjaan serabutan lainnya untuk menopang
hidupnya. Tak terkecuali menjadi loper koran, penjual
nasi uduk, sampai membantu mencuci piring di salah satu
rumah makan padang milik tetangganya. Berbagai cara
Ibnu tempuh untuk meraih cita-cita mulianya meneruskan
perjuangan keluarga untuk melestarikan ajaran sunnah
Rasullullah SAW. Namun hal tersebut tidak lantas
membuat Ibnu menjadi mahasiswa kupu-kupu, Ibnu tetap
aktif dalam kegiatan kampus, seperti yang saat ini
dilakoninya menjadi pemeran Joko Tingkir dalam
pagelaran budaya yang UKM teaternya selenggarakan
dalam rangka dies natalis fakultas sastra dan budaya.
Ditengah kesibukan organisasinya Ibnu akan mengikuti
ujian komprehensif sebagai tahap akhir dari serangkaian
proses belajar di UGM, memasuki ruangan 5 kali 5 meter
dengan suhu udara di atas 33 derajat celcius kakinya
sedikit gemetar. Bibir merah muda Ibnu mulai berkomat-
kamit mengharapkan ridho sang ilahi. Tiga dosen dengan
pakaian seragam berupa batik khas Jogja telah siap
dengan serangkaian pertanyaan. Hingga tiba saat
pertanyaan terakhir Ibnu dapat menjawab dengan
sempurna dan meraih IPK 3,97. Usai sidang di tengah
siang berteman terik mentari yang menyengat, Ibnu terus
Pesan untuk Matahari | 74

mengayuh sepeda ontelnya menuju biro keberangkatan


haji dan umrah. Sesampainya di sana Ibnu mendaftarkan
nama sang ibu terlebih dahulu. Setelah seluruh
administrasi beres Ibnu mendapatkan selembar kertas
rincian pembayaran ternyata uang itu hanya cukup untuk
satu orang. Tiga hari kemudian sepucuk surat datang ke
rumah, Ibnu membuka surat itu dan ternyata surat
tersebut berasal dari pihak Universitas yang
menginformasikan waktu pelaksanaan wisuda. Tepat di
waktu yang sama antara proses wisuda Ibnu dengan
keberangkatan sang Ibu ke Makkah.
“Bu, sepertinya Ibnu tidak bisa mendampingi ibu ke
Makkah karena hari itu pula Ibnu akan diwisuda”
Rutinitas bergunjing warga desa sudah menjadi jadwal
wajib saat berbelanja sayur-mayur, mereka memandang
sebelah mata Ibnu dan keluarganya. Namun, tidak sedikit
pula warga yang simpatik akan kesholehan dan
kecerdasan Ibnu. Menjadi seorang muadzin yang
dikarunia suara merdu membuat namanya termashur di
seluruh penjuru desa, namun begitulah kehidupan akan
ada saja seseorang yang membenci orang lain karena
keunggulannya. Keesokan harinya tepat di depan pintu
nan agung berwarna coklat Ibnu kembali memasuki
ruangan yang 4 tahun lalu menjadi saksi bisu
kedatangannya, Gelanggang Mahasiswa. Ibnu bersama
teman-temannya disibukan dengan berbagai persiapan
wisuda hingga dini hari. Keesokan harinya Ibnu harus
mengurus ketiga adiknya menggantikan sang ibu dan
segera berangkat menuju gelanggang, namun setibanya di
sana prosesi wisuda hampir usai, Ibnu dilarang masuk
Pesan untuk Matahari | 75

oleh satpam, dengan darah nekadnya Ibnu menerobos


lewat pintu belakang dan mengikuti prosesi terakhir
wisuda lewat atap gedung yang terbuka. Baru 3 menit
sampai di atap gedung, Ibnu harus bersusah payah untuk
turun dan berlari menuju belakang panggung. Beberapa
mahasiswa cantik, semampai, dengan slempang, bunga,
dan berbagai hadiah ditangannya melihat remeh ke arah
Ibnu yang menggunakan sepeda ontel, keringat
bercucuran, pakaian yang lusuh dan tangan kosong.
Segera Ibnu mengganti pakaiannya dan bersiap untuk
memberikan penampilan terbaiknya diatas panggung.
Pada kesempatan kali ini teater Gadjah Mada mengangkat
cerita Rumah Kaca karya Pramodya Ananta Toer dengan
tokoh Raden Mas Minke yang diperankan oleh Ibnu.
Seluruh hadirin dibuat terpesona dan gemetaran oleh aksi
para pemain, terutama saat Pangemanan berlaku licik
pada Raden Mas Minke, diujung penampilan grup Teater
Gadjah Mada menyanyikan sebuah lagu karya mereka
yang menyentuh kalbu seluruh hadirin. Ibnu kembali ke
rumah dengan sejuta kekhawatiran, di tengah rasa
malunya yang terus mendapat cibiran warga akibat
gagalnya menunaikan ibadah haji. Kali ini Ibnu harus
menanggung malu untuk kedua kalinya karena batal
mengikuti prosesi wisuda. Di tengah sunyinya malam Ibnu
masih disibukan dengan mushaf di kedua tangannya, Ibnu
khawatir akan kondisi Ibunya di Makkah. Ibnu tenggelam
dalam doa di dalam sujudnya mengharap lindungan sang
maha kuasa untuk sang ibunda. Keesokan harinya Ibnu
bersiap menuju Sleman untuk memenuhi undangan
bekerja oleh Uda Firman, tepat saat Ibnu bersiap dengan
Pesan untuk Matahari | 76

sepatu hitam bertali tampak beberapa orang mengetuk


pintu rumahnya
“Saudara Ibnu, uang ini merupakan warisan ibu Anda yang
dulu sempat mengalami sengketa dan kini sudah beres.
Dalam surat wasiat itu ibu Anda menuliskan nama Anda
sebagai pewarisnya”
Ibnu tercengang dengan setiap penjelasan yang pria tinggi
dengan kemeja biru itu tuturkan, tangannya gemetaran
memegang amplop coklat tebal. Setelah mengurus
berbagai administrasi Ibnu dengan cepat membawa uang
tersebut ke biro Haji dan melanjutkan administrasi
hajinya yang dulu sempat tertunda. Sang sinar hampir
tumbang dengan menyisakan semburat orange mesra di
langit Mlangi. Segala yang sudah menjadi milik kita tidak
akan tertukar dengan orang lain sedikit pun, jangan
pernah lelah untuk berencana dan bermimpi dengan
sejuta usaha yang mengiringi karena Tuhan tidak akan
pernah membiarkan hamba-Nya kecewa. Sebenarnya saat
seorang berencana sedemikian rupa Tuhan telah lebih
dahulu menyiapkan rencana yang lebih indah, lebih baik,
lebih sempurna, dan tentunya yang terbaik bagi hamba-
Nya. Burung besi dengan bertuliskan Garuda Indonesia
membawa pria jawa tulen itu menuju Tanah haram,
melewati luasnya samudra hingga awan-awan putih
berpadu biru yang memanjakan mata. Perjalanan jauh ini
tak terasa bagi Ibnu hingga Ibnu tiba di kota Makkah Al
Munawarah. Pakaian ihram berlandaskan kaki yang terus
berputar mengelilingi kabah menjadi pemandangan
terindah sepanjang hidup Ibnu, sesampainya disana Ibnu
terus mengawasi setiap jamaah haji hingga dilihatnya dari
Pesan untuk Matahari | 77

kejauhan seorang wanita yangg terduduk lemas dekat


tiang pintu keluar. Ibnu memutuskan untuk
menghampirinya dan benar dugaanya, wanita itu adalah
ibunya. Allah swt selalu mengabulkan doa-doa setiap
hamba-Nya ketika sang hamba telah siap dengan risiko
dari permohonannya bukan pada saat sang hamba
memintanya. Hidup ini penuh dengan warna-warni
mentari yang bersinar di pagi hari, kalau kita ingin
menikmati indahnya pelangi kita harus mau berusaha
mencarinya.
Pesan untuk Matahari | 78

NONA MUDA ASSARATANAKUL


Oleh: Dini Agustriani

Suasana makan malam dikeluarga Assaratanakul


berlangsung tegang, pasalnya tuan besar memimtak nona
muda untuk menghadiri pesta pertemuan dengan rekan
bisnisnya esok malam. ”Aku tidk mauh pah”, bentak lili
Tuan assaratanakul menghela nafas, alangkah susahnya
meminta sang anak untuk menghadiri pesta semacam
ini…Namun tuan assaratanakul sudah saatnya
memperkenalkan penerusnya kehadapan rekan-rekannya,
sudah saatnya ia pensiun dari pekerjaannya, dia tau
sangat sulit untuk mengatur putri tunggalnya yang sangat
keras kepala ini, 22 tahun, usia yang masih sangat muda
untuk seorang pewaris tahta assaratanakul, lili terkesan
arogan dan mau menang sendiri, namun lili bukan orang
yang sombong yang selalu memamerkan harta kekayaan
milik orang tua yang selalu dilakukan teman-temannya di
kampus, memakai tas atau barang-barang branded
lainnya, lili lebih nyaman memakai kaos, jeans, dan sepatu
cats, yahhh sedikit tomboy memang dengan kacamata
yang selalu bertengger di hidungnya membelah jalanan
dengan motor sport kesayangannya. Mobil???? Bukannya
tidak punya, jika lili menginginkannya pesawat pribadi
pun mampu diberikan tuan assaratanakul kepada putri
semata wayangnya ini. Tapi sayangnya lili tak mau
berlagak seperti tuan putri yang stiap hari naik mobil
diantar jemput supir,, ugh itu sangat tidak lili sekali.
sekalipun lili tidak pernah ia ikut kedua orang tuanya
untuk pertemuan bisnis seperti ini hingga tak ada satu
Pesan untuk Matahari | 79

temanpun yang menyangka lili adalah putri seorang


konglomerat terbesar di asia tenggara.
“lili, dengarkan papa, apa kamu tega melihat papa terus
terusan bekerja, papa sudah tua, sudah saatnya pensiun”
jawab tuan assratanakul
“lili malas harus menggunakan gaun dan membual dengan
mereka pa, sungguh membosankan”
“besok jam 8 malam” tuan assaratanakul beranjak dari
kursinya
“tapi paa”
“tidak ada tapi-tapian, sebentar lagi kamu harus
mengambil alih perusahaan, sudah saatnya kamu
memperkenalkan diri di hadapan mereka” tuan
assaratanakul menuju kamarnya, ia harus tegas terhadap
lili, ia menyayanginya, sangat, dan dia harus memastikan
bahwa anaknya mampu bertahan hidup di dunia sebelum
ia benar-benar meninggalkannya.
Keesokan malamnya
“tok tok tok” pelayan mengetuk pintu
“ada apa?” lili berteriak dari dalam kamarnya
“nona silahkan bersiap-siap sudah jam 6, kami
membawakan pakaian ganti” ada 6 pelayan yang berada di
depan pintu kamar lili, menunggu perintah selanjutnya
dari sang nona muda
Dengan menghela nafas Panjang lili bergumam “baiklah
lili, mari kita hadapi semua hal yang membosankan ini’
“masuk” teriaknya
……
Restoran oliver jam 8 malam, seorang gadis muda dengan
gaun maroon yang menampilkan kaki jenjang yang
Pesan untuk Matahari | 80

mengekspos punggung putih tanpa noda itu, highheels


dengan tinggi 12 cm serta bagian belakang gaun yang
menyeret lantai, jangan lupakan wajah cantik dengan
hidung mancung, bola mata coklat yang bersinar sindah
Mutiara, dan bibir sexy dibalut lipstick merah yang
menggoda setiap insan yang melihatnya, rambut Panjang
bergelombang yang disampirkan kedepan itu pun
menambah keindahan ciptaan tuhan yang pastas disebut
wajah anugerah surga yang mengalihkan semua atensi
para konglomerat yang hadir malam itu..
Yaa Kritslie Assaratanakul mampu membuat atensi yang
ada di malam itu menjadi miliknya. Dengan anggun lili
menuju meja bar dan duduk di salah satu kursi meja dan
memesan anggur disana, hal itu tak luput sedikitpun dari
pandangan Bilkin keristian, seorang pemuda yang tampan
dan kayarayan tidak hanya itu ia juga aktor yang terkenal
di negara ini. Dengan tatapan yang dalam bilkin
mendekatai meja dan duduk di kursi disamping lili.
“Hay….” Ucap bilkin
Lilipun hanya melihat kearah bilkin dengan tatapan yang
sinis sambil mengengam gelas angur yang berada
ditanganya, bilkin pun memesan segelas angur sambil
terus menatap lili yang acuh.
“Aku bilkin dan kamu?” bilkin sambal meminum angurnya
“Saya Kritslie Assaratanakul” ucap lili
Bahkan lili tidak tahu dengan bilkin sang aktor mudah nan
kayaraya, sangat berbanding terbalik dengan gadis-gadis
yang selalu mengejar-ngejar bilkin bahkan hanya untuk
memintak poto Bersama. Hal ini lah yang membuat bilkin
semakin tertarik dengan lili, malam semakin lalut bilkin
Pesan untuk Matahari | 81

dan lili pun terlihat semakin dekat disaat semua orang


sibuk dengan pesta pertemuan, mereka hanya duduk dan
membicarakan hal-hal yang menyenangkan, senyum
manis dengan gigi putih terlihat diwajah lili, pesta yang
sebelumnya diangap sangat membosankan oleh lili
berubah menjadi menyenangkan dengan kehadiran bilkin.
Siapa yang menyangka malam itu adalah awal dimulainya
kisa cinta antara nona muda Assaratanakul ” lili” dan sang
aktor muda “ Bilkin”.

Palembang, 5 September 2021


Pesan untuk Matahari | 82

KKN (Kuliah Kerja Ngebaper)


Oleh: Dini Pritantiani Pertiwi

Libur semester 6 ini diisi dengan kegiatan dari


kampus yaitu KKN atau biasa disebut dengan Kuliah Kerja
Nyata. KKN adalah pengabdian kepada masyarakat, yang
kelompok dan lokasinya ditentukan oleh pihak kampus.
Anggota kelompok KKN ini terdiri dari berbagai jurusan
dari fakultas yang berbeda. Pada bulan Juli, diumumkan
kelompok dan lokasi tempat pengabdiannya melalui grup
whatsapp angkatan. KKN pada tahun ini diadakan secara
online karena dampaak dari Covid-19 yang terus
meningkat. Setelah melihat pengumuman, aku senang
sekali karena aku mendapat lokasi KKN yang cukup dekat
dengan rumahku dan hanya sekitar 10 menit dari rumah.
Aku lalu membuat story whatsapp yang screen shoot
tentang kelompok dan lokasi KKN yang sudah dibagikan
untuk pengabdian nanti. Tak lama kemudian, panggilan
telepon masuk di handphone ku dan aku langsung
menjawabnya.
“Sal, titip Nathan, ya,” ucap temanku setelah aku
menjawab teleponnya.
“Siapa emang?” tanyaku.
“Temen aku, titip ya jangan sampai belok-belok mata nya,”
jawab temanku.
“Oke,” balasku, kemudian menutup sambungan telepon.
Setelah mengetahui itu, aku meminta teman nya
Nathan untuk memberi tau Nathan agar membuat
whatsapp group untuk kelompok KKN. Tak lama kemudian
ada undangan untuk bergabung ke grup yang sudah
Pesan untuk Matahari | 83

dibuat oleh Nathan. Namun, di waktu yang bersamaan,


ternyata teman kelompokku yang lain juga sudah
membuat grup whatsapp untuk kelompok kami. Aku lalu
keluar dari grup whatsapp yang berisi aku dan nathan
saja. Setelah semua masuk kedalam grup, satu persatu
dari kami memperkenalkan diri masing-masing. Hingga
tiba giliranku untuk memperkenalkan diri.
“Halo teman-teman, namaku Delmora Salsabila biasa di
panggil Salsa atau Sal, aku dari jurusan Pendidikan Biologi,
dan kebetulan aku tinggal di dekat lokasi KKN,” tulisku
dalam whatsapp group.
Setelah berkenalan, kami berdiskusi untuk
menentukan ketua KKN karena sudah ditagih oleh Dosen
Pembimbing Lapangan. Pada saat diskusi di whatsapp
sedang berlangsung, hanya Nathan saja yang aktif dalam
grup kelompok KKN itu. Hingga salah satu temanku
menunjuk Nathan untuk menjadi ketua kkm. Namun,
Nathan belum mau untuk menjadi ketua, dan laki-laki
yang lain pun belum ada yang mau untuk jadi ketua KKN.
Saat pemilihan ketua KKN, hampir saja aku menjadi ketua
KKN karena laki-laki tidak ada yang mau mengajukan diri.
Akan tetapi, selang beberapa waktu akhirnya Nathan mau
menjadi ketua.
Setelah Nathan menjadi ketua KKN, Nathan di
tugaskan oleh dosen untuk membuat struktur
kepengurusan untuk KKN ini. Di saat itu aku belum aktif
whatsapp karena ada beberapa kegiatan yang harus aku
urus terlebih dahulu. Ketika aku membuka whatsapp, tiba-
tiba chat grup sudah banyak sekali dan aku belum tau apa
yang sedang mereka bahas. Ternyata aku ditunjuk untuk
Pesan untuk Matahari | 84

menjadi sekretaris oleh teman-temanku. Awal nya aku


menolak, karena aku tau tugas sekretaris itu berat dan aku
adalah tipe orang pemalas. Hingga akhirnya ada chat
masuk dari Nathan.

Nathan

Sal, jadi sekretaris, ya.


Gak mau, Nat. Aku gak bisa jadi sekretaris.
Tenang aja, nanti aku bantu, ko.
Sambil belajar aja hehe.
Ya udah.
Makasih banyak, ya.
Boleh aku telpon?
Duh, maaf ya, Nat. Aku lagi di luar

Aku sengaja berbohong pada Nathan, padahal aku


sedang berada di rumah. Hal itu aku lakukan karena aku
enggan menerima telepon dari orang lain, apa lagi dari
lawan jenis. Kemudian malam itu kami berdiskusi melalui
whatsapp group terkait program yang akan kami berikan
kepada desa sasaran pengabdian kami. Setelah itu
mendapat beberapa program, kemudian diskusi di
hentikan.
***
Pada hari ini teman-temanku yang dari luar kota
akan melakukan survey ke lokasi KKM. Aku hanya
menunggu kepastian dari mereka karena lokasi rumahku
yang berada tak jauh dari lokasi pengabdian KKM kami,
dan aku yang bertugass untuk menjukkan jalan pada
Pesan untuk Matahari | 85

mereka. Di saat tengah menunggu kabar, handpone ku


bergetar, ada chat masuk dari Nathan.

Nathan

Sal, surveynya jadi?


Aku gak tau, terserah kamu aja.

Setelah itu, taka da balasan lagi dari Nathan.


Beberapa menit kemudian aku di kabari lewat whatsapp
group KKN yang memberitahu bahwa survey akan
dilakukan hari ini. Hingga beberapa jam kemudian mereka
datang, dan aku langsung mengajak mereka ke kantor
desa tempat KKN kami. Hal biasa yang dilakukan
setelahnya, yaitu kami berbincang-bincang dengan kepala
desa mengenai desa tersebut. Setelah urusan kami di
kantor desa selesai, aku mengajak teman-teman kelompok
KKN ke rumahku untuk istirahat sebentar dan makan.
Hari sudah mulai sore, langit sangat mendung dan
mulai gerimis. Awalnya aku mencegah mereka untuk
pulang karena aku merasa sebentar lagi hujan akan turun
dengan deras. Namun, mereka tetap memutuskan untuk
pulang. Hingga tak lama kemudian, benar saja hujan turun
dengan deras, dan aku langsung teringat dengan mereka
semua. Karena khawatir, aku langsung mengirim chat
pada Nathan.

Nathan

Nat, tadi kehujanan di mana?


Pesan untuk Matahari | 86

Kehujanan di sepanjang jalan, Sal.


Emang gak neduh dulu?
Maria gak mau, jadi aku terobos aja.

Setelah itu aku mendengar kabar dari Nathan, ia


sakit kurang lebih satu minggu. Aku khawatir, takut terjadi
apa-apa pada Nathan, dan untungnya Nathan mau minum
obat dan sehat lagi. Sejak kejadian itu, Nathan mulai
menunjukkan gelagat seeperti ada rasa padaku. Seperti
dia mulai mencari perhatianku, mulai memujiku. Dan
seiring berjalannya waktu, selama KKN itu nathan selalu
menemaniku mengerjakan tugas, dan selalu memberikan
masukan.
Setiap ada pertemuan di zoom meeting Nathan
selalu memberikan pesan kepada aku menyuruhku untuk
senyum, dan sikapnya selalu membuatku salah tingkah
dan membuat tersenyum sendiri seperti orang gila.
***
Waktu terasa berlalu begitu cepat hingga
pelaksanaan KKN selesai. Aku kira cukup sampai disini aja
pertemanan dan hubunganku dengan Nathan. Ternyata
aku salah, Nathan cukup sering mengirim chat padaku. Ia
mengatakan padaku agar tidak sombong Ketika kami tak
sengaja bertemu di luar nanti. Aku tak menyangka ia akan
mengatakan hal seperti itu padaku. Mungkin karena
selama KKN berlangsung, aku yang paling dekat dengan
Nathan. Semua pekerjaan ia tanyakan padaku, dan kami
saling membantu pekerjaan satu sama lain. Setelah KKN
benar-benar selesai, terlihatlah sikap Nathan yang benar-
benar menunjukkan bahwa ia menyukaiku. Namun, aku
Pesan untuk Matahari | 87

belum bisa memberikan perasaan yang sama untuknya,


karena teman-temanku sering mengatakan jangan dulu
memberikan harapan jika belum perasaan kita belum jelas
pada seseorang. Jangan terkesan memiliki perasaan yang
sama, dan berakhir dengan memberi harapan palsu.
End.
Pesan untuk Matahari | 88

Love At First Sight

Hujan membasahi jalanan Jakarta. Suara gemercik


air hujan dan awan yang berkabut menemani perjalan
kami kali ini. Malam ini, aku pergi bersama laki-laki yang
baru saja aku kenal melalui dating app yang cukup
booming. Ya begitulah bagaimana teknologi sekarang bisa
mempertemukan jodoh dan takdir kita. Kita belum lama
kenal, mungkin jika dihitung dari pertama kali kita
bertukar pesan, kami baru kenal sekitar 2 bulan. Namun,
karena letak kantor kita yang dekat, kita sering banget
pulang bersama. Dia selalu menjemputku di depan kantor
dengan mobil klasiknya berwarna merah. Sejujurnya, aku
juga nggak tahu apa aku akan memiliki perasaan atau
jatuh cinta dengan dia. Aku tidak mau merasakan sakit
hati lagi, aku belum tau apa dia akan menjadi laki-laki
yang hebat yang dapat membuatku jatuh cinta dan ingin
membuka hati kembali.
“Abel, aku laper deh.“gumam ku.
“Mau makan sekarang?.” tanyanya.
“Nggak usahm aku bisa nahan kok. Lagi pula kita masih
terjebak macet, gimana cari makannya?.”
“Kalau mau, di depan ada Rest Area, kita berhenti dulu
ya?.’’tanya Abel.
“Humm… nggak usah deh tunggu kita keluar dari tol ini
aja. Emang ya macet bikin laper sama badmood” cetus ku.
“Haha iya sabar ya Cantik” jawab Abel dengan ketawa.
Begitulah Abel, laki-laki yang baru saja kutemui,
tapi rasanya nyaman untuk deket dia terus. Sejujurnya,
aku juga kurang mengenali latar belakang dirinya, yang ku
Pesan untuk Matahari | 89

tahu hanyalah ia merantau dari Jogja ke Jakarta setelah


lulus kuliah.
“Van, gimana, kamu mau berhenti dulu disini?” tanya Abel
sembari menunjuk restoran cepat saji yang buka 24 jam.
“Boleh deh, aku sudah laper banget, tapi jangan lama-
lamaa ya” jawabku sambil melihat jam tangan ku yang
menunjukkan pukul 9 malam “Aduh dikunciin Ibu Kos deh
aku” batinku.
“Bel, kamu belom cerita deh, kamu asli Jogja, apa gimana
deh? Atau kamu udah cerita ya? Aku lupa.” tanyaku
dengan basa-basi, untuk mencairkan suasana.
“Aku?, aku asli Bandung, masa kecilku di Bandung, tapi
karena pekerjaan dinas papaku, jadinya aku pindah deh ke
Jogja dan udah jadi kaya orang sana aja.”
“Serius? Aku juga masa kecilnya di Bandung loh! Kamu
dimananya?” tanyaku dengan nada yang super excited.
Aku tinggal di bandung selama 15 tahun. Bagiku,
Bandung itu salah satu kota yang spesial bagi aku. Rasanya
nggak pernah bosan buat balik disana walaupun katanya
Ibu Kota lebih serba ada, tapi entah Bandung selalu punya
tempat tersendiri di hatiku. Banyak kenangan yang tidak
akan pernah bisa aku lupakan, masa dimana aku
merasakan gimana serunya menghabiskan waktu di sore
hari main sama teman-teman yang sekaligus tetangga-
tetangga aku. Pertama kali aku menang lomba menari di
tingkat kecamatan, bergabung dengan klub tenis lokal dan
juga pertama kali aku merasakan jatuh cinta pada
padangan pertama, Love At First Sight. Haha, aneh ya
ngerasain jatuh cinta waktu masih remaja, sama orang
yang kita tidak kenal pula.
Pesan untuk Matahari | 90

“Aku di Setiabudi! Kamu dimana?” tanyanya dengan nada


kaget, tidak mengira kalau kita sama-sama menghabiskan
masa kecil di kota yang sama.
“HAH? AKU JUGA IH!” jawabku dengan sangat kaget. Aku
mempunyai sebuah dugaan.
Setelah itu kami makan dan melanjutkan perbincangan
kita mengenai Bandung. Sesaat aku memandang
wajahnya, aku merasa seperti sudah mengenalnya sejak
lama. Pancaran sinar dari matanya mengingatkanku akan
sesosok laki-laki yang pernah aku kenali.
“Coba liat foto kecil kamu?” tanya Abel.
“Ini foto aku, lucu kan?” sembari menunjukkan foto ku
saat masa kecil di handphone ku.
“Ah lucu banget! beda banget kamu yang sekarang
nyebelin gini” saut Abel sambil mencubit pipi ku.
“Mana punya kamu?” tanya ku sembari menarik
handphonenya, karena dia enggan menunjukkan foto
dirinya.
Deg! suara detak jantungku. Aku kaget. Dia adalah laki-laki
yang menjadi cinta pertama ku, My Love At First Sight saat
aku masih berumur 15 tahun. Aku langsung terdiam, Abel
bingung.
“Van, kamu kenapa?” tanya Abel dengan heran. Menebak-
nebak apakah ada yang salah dari ucapannya.
“Kamu pernah les di Belajar Bersama ya? Saat smp?”
tanyaku dengan penuh harap bahwa aku benar.
Saat aku mengetahui dari teman-teman aku saat
itu, bahwa laki-laki yang aku sukai akan pindah kota, aku
termenung, belum sempat berkenalan dia sudah pergi
meninggalkan kota kembang ini.
Pesan untuk Matahari | 91

“Iya Van, Kamu juga?.” jawabnya dengan berseru.


“Iyah, aku sering liat mu dulu.” aku menjawab dengan
tersenyum,
‘’Wah aku terkenal juga ya!.” jawabnya dengan nada
tertawa dan meledek.
Kami tenggelam dalam perbincangan dan aku
terbawa suasana. Perasaanku campur aduk, antara senang
sekali karena bisa berkenalan setelah sekian lama aku
berandai-andai mengenai seseorang anak laki-laki yang
tampan, putih, dan tinggi. Peraan sedih muncul, karena
aku dengannya tidak akan pernah bersatu. Iya kami
mempunyai suatu perbedaan yang membuat kami
terhalang oleh tembok yang tinggi. Namun, apapun itu,
tetap kita jalani, karena kita merasa nyaman satu sama
lain.
“Pulang yuk” ajak Abel, “Nanti dimarahin Ibu Kos lho.’’
“Ayuk.” seruku
Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya melamun
menikmati malam, menyusuri Ibu Kota dengan perasaan
yang berbeda dari sebelumnya. Malam itu hatiku terasa
lega. Misteri penuh teka-teki bertahun-tahun akhirnya
terpecahkan. Malah, hubungan kami sekarang sangat
dekat, ah aku bersyukur bisa mengenali dia saat aku sudah
dewasa. Mungkin saat kami masih kecil, dia tidak mau
berteman denganku. Karena aku akui, aku merupakan
anak yang kuper dan cenderung pendiam.
Apa ini pertanda kami jodoh? Ah tak tahu, yang
jelas, sekarang aku yakin bahwa aku ingin menikmati hari-
hari dalam hidupku bersamanya.
Pesan untuk Matahari | 92

CEPATLAH BESAR MATAHARIKU


Karya Dwi Zulfikar Romadhoni

Pada Tahun 2004, lahirlah seorang bayi laki-laki


dari rahim Ibunya. Jerit tangis bayi membuat Ayah dan
Ibunya senang, bersyukur, dan lega. Setelah melewati
beberapa proses, diberikanlah bayi tersebut kepelukan
orang tuanya. Sang Bidan menyarankan untuk segera
mengadzani bayi tersebut, akan tetapi Ayah dan Ibunya
merupakan orang yang memiliki kelainan, yaitu bisu dan
tuli. Akhirnya dipanggilah salah satu Dokter laki-laki di
Rumah Sakit tersebut. Sang Dokter laki-laki ini mendadak
menangis ketika menggendong bayi tersebut, karena baru
kali ini beliau menyaksikan secara langsung Kebesaran
Tuhan bahwa ada bayi terlahir dengan fisik yang normal
dari orang tua yang memiliki kelainan. Dengan penuh
kasih sayang, Sang Dokter mengadzani bayi tersebut
dengan teruraikan air mata syukur.
Kehadiran bayi tersebut membuat kebahagiaan
yang murni bagi keluarga kecilnya. Bayi itu bernama Doni.
Dengan penuh kasih sayang, Sang Ibu senantiasa menjaga
dan menghibur bayinya, sedangkan Sang Ayah dengan
penuh semangat bekerja keras untuk keluarganya. Namun,
setahun kemudian Sang Ayah harus pergi menghadap
Sang Ilahi. Hal ini membuat Keluarga Doni terpukul,
karena banyak ujian dan ketetapan Tuhan yang harus
dijalani setelah kepergian Sang Ayah. Sang Ibu terpaksa
harus menjadi tulang punggung untuk mempertahankan
hidup keluarga kecilnya. Setiap Sang Ibu kerja, Doni
dititipkan ke kakaknya ibu yang merupakan Budhenya
Pesan untuk Matahari | 93

Doni. Dengan kelucuan dan keluguan Sang buah hati,


Budhe menyayangi dan mengasihi Doni selayaknya anak
kandung sendiri.
Pada tahun 2009, Doni tumbuh menjadi anak yang
lucu. Masa kanak-kanaknya, Doni dijejali dengan
keceriaan, kebahagiaan, keseruan, dan keberanian. Banyak
cerita seru, pengalaman menyatu dengan alam, hingga
cerita imajinasi dia jadi superhero yang menyelamatkan
bumi. Melihat tingkah laku Doni, membuat lelah Sang Ibu
hilang karena terhibur dengan kelucuan dan keluguan
anaknya. Namun, ketika Doni mulai duduk dibangku SD.
Ekonomi keluarganya menurun, karena banyak
pengeluaran untuk membiayai Doni sekolah. Hingga
akhirnya, Doni sekolah dibiayai oleh Budhenya karena
Sang Budhe tidak mau melihat keponakannya tidak
sekolah hanya karena tidak bisa bayar sekolah.
Selang 1 tahun kemudian, Doni mulai masuk SD
dan bergaul dengan teman-teman baru. Awalnya, Doni
malu-malu, akan tetapi lama-kelamaan Doni mulai akrab
dengan teman-teman barunya. Di masa SD, Doni memiliki
sifat aktif, percaya diri, mudah bergaul, berani, humoris,
jahil, dan solidaritas yang tinggi. Di masa SD juga banyak
cerita seru, lucu, sedih, hingga soal percintaan. Waktu SD
Doni terkenal dengan humor dan kejahilannya yang
membuat sebagian pihak marah dan sebagian pihak
tertawa. Doni juga merupakan anak yang berpengaruh
dalam gerakan sekolah, mulai dari olahraga, kesenian, dan
pramuka. Di bidang olahraga, Doni pernah mewakili
sekolah dalam rangka perlombaan lari sprint tingkat kota.
Kemudian di bidang pramuka, Doni bersama tim yang
Pesan untuk Matahari | 94

terpilih mengikuti lomba dan camping atau ekspedisi di


salah satu tempat di Surabaya, mewakili sekolah untuk
tingkat Jawa Timur. Namun di masa SD, ada juga masa-
masa menyedihkan. Salah satunya adalah Doni menjadi
terpukul dan membuat mentalnya menjadi sedikit
berubah, setelah Budhe memberi tahu bahwa Doni bukan
anaknya, Doni hanya dititipkan oleh Sang ibu karena
ekonomi yang memburuk. Doni menyangka bahwa orang
tua kandungnya adalah Pakdhe dan Budhenya, tetapi itu
salah. Mengetahui itu Doni menangis sejadi-jadinya,
karena dia berasal dari orang tua yang memiliki kelainan,
dan ia tidak pernah melihat wajah Sang ayahnya. Namun
dibalik badai pasti ada pelangi, itu yang diupayakan
Pakdhe Budhe untuk membentuk, mendidik, dan
menghibur Doni. Bukan menyerah dan larut dalam
kesedihan, akan tetapi Doni malah bersemangat dan ingin
membuktikan, bahwa ia adalah penyelamat dan
pembangga bagi orang tuanya.
Pada Tahun 2017, Doni duduk dibangku SMP. Kini
Doni sudah masuk masa remaja. Disinilah, Doni salah
pergaulan dan hingga membuatnya terjerumus ke lubang
penyesalan. Waktu kelas 1 SMP, Doni masih terlihat baik-
baik saja. Ia bergaul dengan siapa saja yang melakukan
kontraksi dengannya. Masa SMP merupakan masa awal
karir Doni, ia mengikuti seleksi pencarian personil Band
baru di sekolahnya. Hingga akhirnya terpilihlah Doni
menjadi gitaris di Band barunya. Dari panggung ke
panggung Doni menampilkan skilnya ke publik, hingga
membuat Doni terlena dalam pupolaritasnya. Semenjak
Doni jadi anak Band, kehidupannya menjadi kacau karena
Pesan untuk Matahari | 95

Doni menjadi nakal, suka mainin cewek, hingga


melakukan tindak kriminal di sekolah. Akan tetapi ada
segi positif dari Doni yang semakin meningkat, mulai dari
pupolaritasnya, jiwa keseniannya, rasa respect terhadap
sesama, mental keberanian dan kepercayaan dirinya
semakin meningkat. Menurut Doni, Band dan cewek
adalah pelampiasannya ketika dia sedang stres, galau, dan
sedih. Doni tidak pernah lari ke minuman keras, narkoba,
dan bentuk kerusakan remaja lainnya.
Dengan kepupolaritasnya, Doni menjadi lupa diri.
Pernah suatu waktu, Doni mengajak kekasihnya ke Studio
untuk menemaninya latihan. Tentu hal ini membuat Doni
tidak fokus, hingga terjadi konflik antara Doni dengan
Bandnya, dan Doni memutuskan untuk keluar. Momen
inilah, Doni menjadi stres dan ingin melampiaskan diri
kepada kekasihnya. Esok pagi yang cerah, terbangunlah
Doni dari tidurnya. Doni kaget karena dia tidak tau ada
dimana. Kemudian Doni hendak ke kamar mandi untuk
membasuh muka, tiba-tiba terdengar suara wanita sedang
menangis dibalik pintu kamar mandi, kemudian dibukalah
pintu itu. Dengan rasa terkejut, ternyata wanita itu adalah
Sang Kekasih. Dengan penuh kemarahan Sang Kekasih
manampar wajah Doni dan pergi. Doni pun terdiam dan
bingung, mengapa ia ada ditempat itu, mengapa Sang
Kekasih menamparnya, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Sampai akhirnya Doni menyesal atas apa yang ia perbuat,
Doni sadar bahwa tak seharusnya Doni meninggalkan
Bandnya yang membuatnya besar. Segeralah Doni ke
Studio latihannya untuk meminta maaf dan meminta
untuk bergabung kembali dengan Bandnya. Syukurlah
Pesan untuk Matahari | 96

teman-teman Bandnya memaklumi dan memaafkan Doni.


Salah satu personil Bandnya mengatakan bahwa semenjak
Doni keluar, rasanya ada yang kurang dan ia berharap
Doni bisa kembali.
Setelah meminta maaf ke teman-temannya
Bandnya. Doni menghampiri Kekasihnya untuk meminta
maaf atas apa yang ia perbuat. Doni siap jika Sang Kekasih
ingin putus atau menyakitinya untuk membayar apa yang
ia perbuat. Namun dengan cinta, Sang Kekasih tersenyum
dan memeluk Doni dengan erat. Kini Doni pun sadar dan
ingin memperbaiki diri.
Pada Tahun 2020, Doni sudah duduk dibangku
SMA. Disini Doni mulai lebih dewasa, ia tidak memikirkan
godaan dalam sekitarnya, tetapi ia memikirkan masa
depan yang lebih cerah dan ingin mengubah nasib
Keluarganya. Terkadang ia menangis melihat Keluarga
dan foto ayahnya. Hal ini membuat Doni menjadi
berenergi, semangat, dan ambis dalam mengejar
mimpinya. Doni harus sukses dunia dan akhirat, agar bisa
mengubah nasib keluarganya, agar bisa menyelamatkan
orang tuanya, agar bisa menolong sesama. Doni ingin
melihat Ibunya tidur di kasur yang nyaman dirumah yang
mewah, Doni ingin melihat Ibunya Bahagia melihat
menantu dan cucu-cucunya. Dalam kubur Sang Ayah
berdoa “Cepatlah Besar Matahariku”
Pesan untuk Matahari | 97

Band Flawless
Fathimah Azka Yusuf

Band musik itu dinamakan Flawless. Ada empat orang


pemuda yang mendirikan band itu.
Steve, vokalis utama dalam band itu. Penutup mata yang
unik itu terpasang, menyembunyikan mata bernetra
putihnya, sudah lama dia tidak melihat indahnya dunia.
Meski begitu, suaranya sangat merdu jika di dengar,
membuat hati tenteram dan terasa damai.
Kemudian pemuda dengan sebuah earmuff ditelinganya,
hoodienya yang berwarna hitam itu menambah kesan
keren dirinya, namanya adalah Wira. Ia ahli dalam
memainkan gitar, meski ia sendiri tak bisa mendengar
indahnya musik yang ia mainkan.
Lalu ada Brian, kakinya lumpuh karena kecelakaan, lihat
saja keadaannya yang mengharuskan dirinya duduk di
kursi roda. Tapi itu tidak menghentikan langkahnya untuk
menjadi pemain Drum.
Terakhir adalah Xio, ada sebuah masker di mulutnya,
mulut yang terkunci sejak lahir membuatnya
menggunakan kertas dan pulpen untuk berbicara. Ia juga
memiliki bakat seperti yang lainnya, seorang pemain
keyboard handal.
Entah dimana mereka bertemu satu sama lain. Yang jelas
persahabatan yang mereka jalin sangatlah kuat, lihat saja
betapa cerianya mereka ketika bermain musik bersama-
sama. Mereka benar-benar terlihat kompak, selalu
bersama dalam suka dan duka.
Pesan untuk Matahari | 98

“Nama band musik kita adalah Flawless! Meski kita tidak


sempurna, tetapi musik yang kita buatlah yang akan
membuat band ini terasa sempurna!” itulah yang Steve
katakan ketika band musik itu dibuat.
Mereka bertiga bertekad bulat untuk membangun band
itu untuk mencapai cita-cita mereka. Mereka pasti bisa!
Meskipun mereka adalah disabilitas, mereka akan
membuktikan pada dunia, bahwa mereka bisa mencapai
cita-cita mereka.
Yah, setidaknya harapan itu ada sebelum mereka
berpecah.
Ini dimulai dari Xio yang mengalami kecelakaan, meski ia
tidak koma, tetapi kondisinya membuatnya tidak bisa
bergabung bersama teman-temannya untuk bermain
musik. Ini tidak bisa dianggap remeh, sebentar lagi
mereka akan berlomba di kompetisi musik.
Kemudian Brian dan Wira bertengkar. Brian
menginginkan untuk mundur dari kompetisi, ia tidak mau
Xio merasa terasingkan jika mereka hanya berlomba
bertiga. Berbeda dengan Wira. Wira memilih untuk terus
maju tanpa Xio, ia menganggap jika mereka tidak
mengikuti kompetisi, Xio akan merasa bersalah karena
dirinya.
Dan beginilah jadinya, pertengkaran Wira dan Brian
membuat band Flawless terbengkalai. Ini membuat Steve
pusing, ia tidak tahu harus berbuat apa, ia merasa putus
asa, haruskah ia mengubur mimpinya sekarang?
“Aku ingin kalian bermain musik di kompetisi,” itulah
yang tertulis di teks huruf braille yang Xio berikan, Steve
Pesan untuk Matahari | 99

yang merabanya di sana. “Aku mohon padamu, Steve,” itu


lanjutan kata-kata yang berada di teks huruf braille.
Steve kemudian bertekad. Ia akan membawa kembali
band Flawless dan teman-temannya. Ia tidak boleh
berhenti di sini! Mereka sudah jauh-jauh berjuang
bersama-sama, itu tidak boleh berakhir seperti ini!
“Kalian berdua harus berbaikan!” Steve berucap, meski
ia tidak bisa melihat, ia bisa merasakan Brian dan Wira
ada di sekitarnya, pelayan yang selalu menuntun Steve
berjalan yang membantunya mempertemukan mereka
bertiga. “Aku mohon! Kompetisi akan dimulai malam ini!
Xio ingin kita ikut, aku mohon berhenti bertengkar!” Steve
kembali menyeru. Hening, kenapa tidak ada yang
menjawab?
Steve mendengar sebuah langkah kaki. “Aku tidak mau,
aku sudah tidak peduli,” itu Wira, meski ia tidak
mendengar omongan Steve, ia bisa melihat pergerakan
mulut Steve. Nada dinginnya menusuk hati Steve, dia
sudah tidak peduli?
“Jangan terlalu berharap, Steve. Band ini sudah
berakhir,” Brian berucap, suara roda dari kursi rodanya
terdengar di telinga Steve.
Steve bisa merasakan mereka masih ada di sana. “Tidak
peduli kah kalian dengan, Xio?! Ini juga cita-cita kita!
Kemana musik sempurna yang akan kita ciptakan
bersama?!” meski Steve berteriak hingga ruangan itu
menggema, Brian dan Wira mengabaikannya, bahkan
mereka meninggalkan Steve setelah Steve mengatakan itu.
Steve menggeram, mata yang bersembunyi di balik
penutup mata itu berair, Steve jatuh terduduk. “Hiks,
Pesan untuk Matahari | 100

kumohon ...” Steve menangis, ia membiarkan dirinya di


sana, di tatap oleh pelayan yang selalu menemaninya.
“Tuan, anda tidak boleh seperti ini!” pelayan itu berucap,
ia membantu Steve berdiri. “Anda satu-satunya yang bisa
membuat band musik kalian kembali!” seru pelayannya.
Steve terdiam sejenak, ia mencerna kata-kata
pelayannya. Pelayannya benar, ia tidak boleh seperti ini, ia
tidak boleh terpuruk di saat seperti ini. Meski tanpa ketiga
temannya, ia harus berusaha untuk band Flawless dan
cita-citanya! Steve kembali bertekad, menyuruh
pelayannya untuk mengantarkannya kompetisi musik, ia
tidak boleh mundur begitu saja!
Dan di sinilah Steve sekarang, siap dengan seragam
bandnya dan sebuah mikrofon. Bandnya tampil terakhir,
Steve kadang mengharapkan ada suara tapak kaki datang
dari arah pintu masuk, ia berharap teman-temannya
datang.
“Dan untuk peserta terakhir! Band Flawless!” suara dari
speaker besar itu terdengar, membuat harapan Steve yang
ingin tampil bersama teman-temannya hancur.
Steve menghela nafas, ia bisa mendengar gaduhnya
panggung yang di siapkan untuknya. Begitu Steve akan
naik ke panggung, seseorang memberhentikannya di
tangga. “Steve! Kami ikut!” Wira menarik Steve sekencang
mungkin, bahkan pemuda dengan tutup mata itu hampir
terjatuh.
“Maaf, Steve! Kami ... kami benar-benar minta maaf!”
seru Brian di dekat Wira. “Seharusnya kami tidak
bertengkar, gara-gara kami, band Flawless jadi berantakan
Pesan untuk Matahari | 101

... kami benar-benar minta maaf!” meski dalam keadaan


duduk, Brian membungkukkan badannya sebisa mungkin.
Wira memeluk Steve. “Hiks, aku juga! Maaf! Aku benar-
benar minta maaf! Hiks, aku ... aku ...” tidak bisa
menjelaskan dengan kata-kata, Wira menangis dalam
pelukannya.
Tidak ketinggalan, air mata ikut menetes di kedua
kelopak mata Steve. “Hiks, Aku pikir kalian tidak datang!”
Steve melonggarkan pelukannya, agar Wira bisa tahu apa
yang dia ucapkan. “Hiks, aku benar-benar putus asa!” seru
Steve membuka sedikit penutup matanya, ia tidak ingin itu
basah.
Wira dan Brian saling menatap Steve. “Hiks, kami minta
maaf!” keduanya saling menyeru diantara sesenggukan.
Steve menghapus cepat air matanya, ia meraba-raba
kedua tangan temannya. “Ayo! Masih ada kompetisi yang
menunggu kita! Dan ... aku memaafkan kalian, kok!” sahut
Steve dengan sebuah senyuman, ia menurunkan penutup
matanya.
Wira dan Brian saling bertatapan, kemudian masing-
masing tersenyum. “Ayo! Kita buat musik sempurna dan
kita banggakan Xio!” seru keduanya menarik Steve ke atas
panggung
Begitulah pada akhirnya, mengguncang panggung
dengan lagu mereka dan kembali dengan membawa piala
besar.
Pesan untuk Matahari | 102

Ibu
Fathimah Azka Yusuf

Libra namanya, remaja laki-laki itu dengan sengaja


mendobrak pintu rumahnya, itu cukup membuat
tetangganya tersentak kaget. Dirinya berjalan sambil terus
mengoceh, tak peduli dengan orang yang menatapnya
aneh.
Libra berdecak kesal, menggaruk tengkuknya dengan
kasar. “Apaan sih, Ibu? Aku kan anak cowok, masa iya
ketemu temen aja nggak boleh?” oceh Libra. Ya, dirinya
baru saja bertengkar dengan ibunya, pasalnya ibunya
khawatir dengan Libra yang tiap hari pergi ke luar
menjelang malam, tapi Libra membentak dan ngeyel
untuk tetap pergi.
Libra kini masuk ke sebuah kafe, di sana ia bisa melihat
seseorang yang ia kenali duduk di salah satu kursi kafe.
Libra beranjak, duduk di dekat orang bernama Hidra.
“Yang lain belum datang?” tanya Libra.
Seusai menyeruput minumannya, Hidra menjawab.
“Belum, katanya masih on the way.”
Libra menghela nafas, padahal ia membentak-bentak
ibunya demi janji ini, nyatanya teman-temannya belum
datang. Jelek sudah mood Libra.
“Ra, kamu kenapa?” tanya Hidra, ia tahu raut wajah Libra
tak begitu baik.
Libra berdecak kesal. “Ck, teman-teman kita pada telat,
padahal tadi aku udah ngebentak ibu buat janji ini, aku
kan jadi tambah kesal,” jawab Libra, menyilangkan
tangannya di depan dada.
Pesan untuk Matahari | 103

Hidra terdiam sejenak, kemudian tersenyum kikuk.


“Kamu berantem sama ibumu?”
Libra mengangguk cepat. “Iya, ibuku nggak ngebiarin
kita ketemu, katanya keseringan main di luar, maksudku,
ayolah, aku kan udah besar, udah bisa jaga diri, ngapain
khawatir dan ngelarang-larang aku?” jelas Libra.
Hidra terdiam, pemuda itu menundukkan kepalanya.
“Harusnya kamu nggak gitu sama ibumu Ra, ibumu kan
khawatir,” lirihnya tetapi masih bisa didengar oleh Libra.
Libra mengerutkan alisnya. “Maksudmu aku salah?”
Hidra tersentak, mengibas-ngibaskan tangannya. “B-
bukan! Bukan begitu, Ra! A-aku tahu kamu memang udah
besar, u-udah bisa jaga diri,” Hidra menjeda kalimatnya,
memain-mainkan tangannya, takut dengan Libra yang
marah. “H-hanya saja, seharusnya kamu jangan ngebentak
atau ngelawan ibumu, i-ibumu kan khawatir,” lanjutnya
dengan nada gagap.
Raut wajah Libra semakin kesal, Hidra tidak
membelanya. “Kalau aku salah, bilang, nggak usah di
perhalus lagi kata-katamu itu,” kesal Libra,
Hidra panik. “B-bukan! Ra, jangan marah! A-aku hanya
mau kamu tahu kalau ngebentak ibu sendiri itu nggak
baik-“
Brak!
Meja itu menjadi pelampiasan amarah Libra, sebagian
orang menoleh ke arah mereka, mulai berbisik-bisik. Kini
Libra menatap tajam pada Hidra yang terlihat ketakutan.
“Lalu kenapa, huh? Kenapa kau malah menyalahkanku?!
Padahal aku sudah bela-belain janji ini buat ketemu
kalian!” gertak Libra.
Pesan untuk Matahari | 104

Hidra menunduk, tubuhnya gemetaran. “B-bukan, de-


dengar dulu-“
“Iya aku anak yang nakal! Aku menentang ibuku-“
“Bukan begitu, Ra!” Hidra memotong, menyeru dengan
nada emosi, bibirnya berkedut-kedut. “Yah, aku memang
harga in kamu bela-belain janji ini, tapi tetap saja kan
ngebentak ibumu itu salah?” Hidra mengepalkan
tangannya, menatap wajah Libra dengan penuh amarah.
“Setidaknya perlakukan ibumu dengan baik selagi dia
masih ada!” teriak Hidra.
Tampang Libra semakin marah, dirinya baru saja di
ceramahi? “Hei! Memangnya kau tahu apa soal ibuku-“
“Ibuku meninggal kemarin, Ra,” lagi-lagi Hidra
memotong, kini nadanya sedikit menurun. “Aku nggak
mau kamu sama kayak aku,” kelopak mata milik Hidra
berair, air matanya mengalir deras. “Hiks, bukankah
mengerikan? Hiks, ibuku meninggal saat aku lagi marahan
ama dia,” isakan mulai terdengar dari Hidra, anak itu
memegang kedua tangan Libra. “Aku nyesel Ra, please
jangan berakhir kayak aku ...”
Libra berdecak, menepis tangan Hidra dengan kasar.
“Persetan sama omonganmu!” Libra berdiri, beranjak
pergi dari sana. “Nggak usah sok nasihati!” Libra
mendorong pintu kafe itu, sempat ia bertemu dengan
teman-temannya yang baru datang. Libra
mengabaikannya, berjalan menjauh dari kafe itu, dia
sudah tidak peduli dengan janjinya bersama teman-
temannya.
Libra berjalan, pandangannya fokus pada trotoar di
depannya, remang-remang lampu jalan menemaninya,
Pesan untuk Matahari | 105

emosinya sedikit reda, Libra melamun. Sempat ia


memikirkan kejadian di kafe tadi. Libra menghela nafas
panjang. “Aku kasar banget ke Hidra, yah?” tanyanya pada
dirinya sendiri.
Terdiam, tangan Libra tiba-tiba bergerak, mengelus-elus
puncak kepalanya sendiri. Libra mengulas senyum kecil.
“Ibu ...” Libra bergumam, mengingat jika ibunya dulu suka
mengelus rambutnya.
Tap, tap, tap!
Kaki yang tadinya melangkah kecil, kini menjadi langkah
yang besar. Libra yang awalnya berjalan santai kini
berlari. Dia ingat kata-kata Hidra tadi, itu membuat semua
perhatiannya menuju ibunya yang ia tinggalkan sendiri di
rumah.
Terbayang-bayang di benak Libra. Apa ibunya masih ada
di rumahnya? Sedang apa ibunya sekarang? Pernahkah dia
memperhatikan ibunya? Apa dia pernah peduli? Kapan ia
terakhir kali makan bersama ibunya?
Libra panik, dia takut dengan ibunya yang sekarang
berada di rumah. Ibunya tidak akan meninggalkannya,
kan? Libra takut, ia tidak mau ibunya tiba-tiba hilang, dia
bahkan belum pernah mengucapkan ‘maaf dan terima
kasih’ pada ibunya.
Kini Libra sampai di depan pintu rumahnya, nafasnya tak
beraturan, pikirannya berantakan. Baru saja ia akan
memutar gagang pintunya, seseorang terlebih dulu
membuka pintu itu dari arah berlawanan. Ada seseorang
di sana.
Netra yang sama-sama berwarna cokelat itu saling
bertatapan. Ibu Libra sedikit kaget melihat anaknya ada di
Pesan untuk Matahari | 106

depan pintu, keadaannya berantakan. “Nak? Kenapa?


Janjian ama teman-temannya gimana? Ngomong-ngomong
ibu minta maaf untuk yang tadi, harusnya ibu ngertiin
kamu, ibu janji nggak bakal larang-larang kamu lagi,”
ocehan itu diakhiri seulas senyuman hangat.
Libra terdiam di sana, menatap wajah ibunya. Apa Libra
baru sadar sekarang? Ia baru saja melihat ibunya yang
penuh kerutan di wajahnya, ibunya sudah tua. Tangannya
bergetar, matanya memanas, perasaannya bercampur
aduk. “Hiks, ibu .. maaf ...” isakan terdengar, nada Libra
lirih, kepalanya tertunduk. “Hiks, Libra sayang ibu!” seru
Libra diantara isakannya.
Ibunya Libra tersentak kaget, setitik air mata berada di
sudut kelopak matanya, ibunya menarik Libra ke dalam
pelukan. “Nak ... udah, yah? Jangan nangis, kamu nggak
salah apa-apa, kok. Ibu juga sayang kamu,” nada yang
hangat, membuat Libra sedikit tenang. Perlahan pelukan
itu longgar. “Masuk, yuk! Ibu masakin makanan
kesukaanmu,” ajak ibu Libra tersenyum.
Libra menahan tangisnya, dia tersenyum lebar
senyumnya. “Iya!”
Pesan untuk Matahari | 107

Peduli
Fathimah Azka Yusuf

Remaja laki-laki itu berjalan, jalannya tegas, wajahnya


datar, sebuah buket bunga berada dalam genggamannya.
Tak lama kemudian, ia berhenti berjalan, menjatuhkan
buket bunga itu di atas gundukan tanah, ada batu nisan
yang tertanam di sana.
Dialah Melvin, ketua yang memimpin pasukan perang.
Anak bungsu dari dua bersaudara. Kini, ia tidak punya
keluarga lagi. Kedua orang tuanya sudah lama tiada, dan
sekarang, kakak perempuannya ikut menyusul. Ini karena
kakaknya diam-diam ikut di medan perang.
Melvin duduk di sana, menundukkan kepalanya dan
mulai berdoa di sana. Semua orang yang berada di sana
menatapnya, menyaksikan bagaimana remaja itu tidak
menangis di depan makam kakak perempuannya.
Semuanya bergosip, membicarakan remaja yang
bernama Melvin itu, dia masih berdoa di depan makam
adiknya. Beda ketika Melvin selesai berdoa, semua orang
bungkam melihat wajahnya yang tampak menakutkan dan
tegas.
Melvin menghela nafasnya. “Kali ini pun banyak yang
gugur dalam perang, termasuk kakakku,” ucap Melvin,
wajahnya tetap datar dan tegas. “Kalau kalian sudah
selesai berdoa untuk yang gugur, pulanglah, aku akan
memikirkan rencana lagi untuk penyerangan wilayah
barat nanti,” Melvin berjalan, meninggalkan area
pemakaman.
Tap, tap, tap!
Pesan untuk Matahari | 108

“Melvin!” seseorang berteriak memanggil Melvin, ia


berlari mendekati ketuanya itu.
Melvin berbalik, ia bisa melihat salah satu anggota
pasukan sekaligus temannya itu mendekat. “Ada apa? Kau
tidak perlu lari-lari begitu,” tutur Melvin diiringi dengan
tawa kecilnya.
Pemuda laki-laki yang bernama Villa itu berhenti di
depan Melvin, buru-buru ia mengambil oksigen dengan
rakus, nafasnya tak teratur karena berlari. “I-itu ...” Villa
membuat nafasnya normal terlebih dahulu. “A-apa ada
yang bisa aku bantu? Untuk rencana penyerangan, ketua
tidak perlu memikirkannya sendiri!” tawar Villa.
Melvin terdiam, kemudian dia tertawa. “Haha! Jadi kau
lari-lari seperti dikejar iblis untuk menawarkan itu
padaku?” Melvin bisa melihat, wajah Villa merona
menahan malu. “Tapi Vil, ini tugasku, bukan tugasmu,”
lanjut Melvin menepuk-nepuk pundak Villa.
“T-tapi-“
“Sudah yah, tidak usah pikirkan aku, dadah,” Melvin
berbalik, meninggalkan Villa yang terdiam di sana.
Kini Melvin berada di atas kuda hitam miliknya, sekilas
ia melihat ada seseorang yang mendekatinya. Melvin
tersenyum. “Hai Rio, ada apa? Lukamu sudah sembuh?”
sapa Melvin begitu anggota pasukan sekaligus temannya
mendekatinya.
Rio, lelaki itu sebenarnya sedang dalam kondisi yang
tidak baik, lihat saja perban luka yang ada di kepalanya,
itu akibat perang yang baru saja terjadi. “M-Melvin, aku
dengar semuanya! Kakakmu Sora ... hiks,” Rio berhenti
berucap, air matanya jatuh begitu saja.
Pesan untuk Matahari | 109

Melvin tersenyum di atas kuda. “Sudah-sudah, aku baik-


baik saja, kok.”
“Melvin, aku-“
Melvin mengangkat jari telunjuknya di atas bibirnya,
menyuruh Rio untuk diam. “Sudah, yah? Aku baik-baik
saja, kembali ke rumahmu, oke? Lukamu masih belum
sembuh,” Melvin menarik tali yang berada di leher kuda
itu, dia mulai berjalan. “Dadah!” pamit Melvin.
Melvin mulai menjauh dari sana. Menunggangi kudanya
yang berjalan ke arah rumahnya. Jujur Melvin tidak
merasa baik, apalagi setelah kehilangan satu-satunya
keluarga yang ia punya. Dadanya sesak, kepalanya sakit.
Dia merasa kosong.
Sakit, tidak cukupkah kepergian orang tuanya?
Kini Melvin sampai di rumah, ia sempat termenung
sebentar, kemudian mulai menggeser pintu rumahnya.
Semuanya terasa sunyi dan sepi. Tidak ada lagi kakaknya
yang selalu menyambutnya dengan hangat, tidak ada lagi
pelukan, tidak ada lagi suara cempreng yang menggema di
sana.
Hampa, Melvin merasa dirinya seperti sebuah cangkang
kosong. Tubuhnya merosot turun, kakinya terasa lemas,
tubuhnya bergetar. “Hiks, kakak ...” Melvin tidak tahan,
sudah lama ia menahan tangisnya sejak ia tahu kalau
kakaknya sudah tidak ada. Dia adalah seorang ketua, dia
tidak boleh menangis di depan para anggota pasukannya.
Dia harus kuat.
Melvin berusaha menghentikan air matanya. Tetapi
semakin ia berusaha, semakin deras air matanya mengalir.
Pesan untuk Matahari | 110

Dia tidak boleh menangis, dia seorang laki-laki, dia juga


seorang ketua pasukan!
Tidak bisa, dia tidak bisa menahan air matanya. Dia
kehilangan kakaknya, dia sudah tidak punya keluarga.
Terasa kosong, semuanya seperti menghilang. “Hiks, aku
tidak punya apa-apa lagi ...” isak Melvin, ia meremas
dadanya yang sesak.
Grep.
Melvin tersentak di antara isak tangisnya, ia bisa
merasakan tubuhnya di tempeli sesuatu, sesuatu yang
hangat.
“Sudah kuduga, tidak seharusnya kamu
menyembunyikannya dari kami, Melvin!” itu suara Rio,
anak itu seperti ingin menangis. “Hiks, lagi pula kenapa
bicara seperti itu?! Kamu masih punya kami!”
Ada Villa juga di sana, isakan terdengar darinya. “Hiks,
aku akan bantu, Ketua! Hiks, jangan bekerja sendiri!”
Ada tiga orang lagi di sana, semuanya adalah sahabat
dari Melvin. Axel, Joel dan William.
“Kau bisa menangis juga, yah?” Axel ikut memeluk
Melvin.
Joel yang biasanya berlaku dingin itu tersenyum. “Dasar,
jangan sok kuat begitu,” sahutnya, patah-patah ia ikut
memeluk Melvin.
Terakhir William, anak itu menyambar Melvin secepat
kilat. “Huwaa! Jahat! Kenapa main sembunyi begitu? Kita
nggak main petak umpet!” rengek William dengan pelukan
paling erat.
Melvin mengedip-ngedipkan matanya, melihat teman-
temannya yang memeluknya. Melvin tersenyum, air mata
Pesan untuk Matahari | 111

haru jatuh di kedua kelopak matanya, ia mengusap-usap


rambut teman-temannya. “Seenaknya saja masuk rumah
orang!” seru Melvin, kemudian membalas pelukan teman-
temannya. “Terima kasih, kalian sudah menghiburku,”
gumam Melvin.
Seseorang bergerak dalam pelukan itu, membuat
pelukan itu longgar seketika. “Huek! Kalian semua bau
tahu!” seru William menutup hidungnya.
Satu jitakan mendarat di puncak kepala William. “Jangan
asal bicara, aku sudah mandi! Kau saja yang bau! Haha!”
tawa Joe.
Axel menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku bawa buah,
ada yang mau?” tepat setelah Axel mengangkat setumpuk
buah-buahan, semuanya menjadi gaduh.
Melvin tersenyum, menatap teman-temannya yang mulai
berisik itu. “Iya, aku masih punya mereka,” batin Melvin. Ia
kembali ceria dan ikut membuat kegaduhan bersama
teman-temannya.
Pesan untuk Matahari | 112

Suatu Saat Nanti


Oleh Fildzah Shabrina

Namaku Pelangi, aku biasanya dipanggil angi. Hari ini aku


akan menceritakan kisahku, yang membuatku bisa sampai
pada situasi saat ini. Hari ini pada bulan lalu, menjadi hari
yang sangat menyedihkan bagiku, keluargaku, teman,
sahabat, semua yang aku miliki harus berpisah denganku,
sekarang hanya ada aku dan Bintang si anak istimewa.
Sebelumnya akan ku ceritakan bagaimana aku bisa ada di
situasi ini.
***
Sejak kecil aku tak pernah tau siapa orang tuaku, dari
mana aku berasal, dan siapa aku. Sejak lahir aku telah
dititipkan di panti asuhan Kasih Ibu milik Bu Umi, Bu Umi
adalah seorang janda yang tidak memiliki anak, dia
mengadopsi dan mengurus anak-anak yang di
terlantarkan seperti kami. Meskipun bukan orang yang
berada, namun Bu Umi rela bekerja keras siang dan
malam demi menghidupi kami. Dia melakuan semua ini
dengan tulus dan ikhlas, bagi kami Bu Umi adalah malaikat
pelindung kami.
Kami tinggal berlima di panti asuhan ini, anak-anak lain
sudah diadopsi dan dipindahkan ke panti asuhan lain yang
lebih layak, hanya kami berlima yang memilih untuk tetap
tinggal di sini untuk mengurus bu umi, sudah setahun
belakangan ini Bu Umi sakit-sakitan dan tidak ada yang
mengurus. Bang Mata, dia merupakan anak tertua di panti
ini, dia memiliki postur tubuh yang tinggi dan kurus, dia
terlihat sangat cuek, namun sebenarnya dia sangat
Pesan untuk Matahari | 113

perhatian kepada kita semua. Kemudian ada Langit, anak


yang baik, murah senyum, ceria, bijaksana. Aku dan Langit
yang seumuran dan tahun ini merupakan tahun terakhir
kami di sekolah menengah. Lalu ada Bintang yang usianya
dua tahun lebih muda dari aku dan Langit, ia si anak
istimewa, ia sangat cerdas dan cerdik, namun ia tidak bisa
mendengar dan berbicara, ia divonis tunarungu dan tuna
wicara sejak lahir, sehingga ia di buang orang tuanya ke
panti asuhan ini. Terakhir ada Bulan, yang sangat
menggemaskan dia yang paling bungsu diantara kita
berusia dua belas tahun, wajahnya bulat seperti bulan,
selalu ceria dan tersenyum, dia yang manja dan ceria.
Dengan segala yang kami miliki, kami percaya kami kuat
jika terus bersama-sama dan saling menguatkan, karena
kami keluarga.
***
Pagi itu, langit sangat gelap, hujan turun dengan deras, Bu
Umi kondisinya semakin parah, kami bingung harus
bagaimana, kami juga sudah tidak punya uang untuk
membawa ibu umi ke dokter. Ku lihat Langit berjalan
bolak balik dengan perasaan yang amat resah dia takut
akan terjadi sesuatu pada Bu Umi.
“Apa yang harus kita lakukan,” ujar Langit, “apa harus kita
bawa saja ibu ke dokter, aku takut jika akan terjadi
sesuatu padanya, kondisinya terlihat semakin lemah.”
Wajah langit tampak sangat panik dan pucat, “tapi kita
sudah tidak punya uang,” ujar Bang Mata.
“Sudah tidak usah ibu di rumah saja, ibu tidak apa apa
kok,” ujar Bu Umi. Dia tidak ingin anak-anaknya merasa
khawatir padanya. Namun, esok harinya, kulihat Langit
Pesan untuk Matahari | 114

segera bangkit dari tempat tidurnya, ia segera berlari ke


kamar Bu Umi, pagi itu dia mendengar suara gaduh dari
luar kamar, ramai sekali di rumah pada pagi itu. Langit
terdiam ia berusaha untuk mencerna apa yang terjadi di
hadapannya kini. Seorang wanita yang sudah di anggap
ibunya sendiri kini sudah tiada dan tidak pernah kembali
selamanya.
Kulihat langit tertunduk lemah dengan perasaan yang
hancur, dia menjadi lebih pendiam semenjak kejadian itu,
ia yang sebelumnya selalu cerah dan ceria, kini langit
menjadi mendung dan murung. Semenjak kejadian itu kita
tidak pernah sama lagi, semua berubah, aku selalu
mencoba membuat suasana tetap ceria, namun rasanya
sekarang semua sudah tidak bisa kembali seperti dulu.
Setelah Bu Umi tiada, rumah ini sekarang sudah tidak
terasa seperti rumah lagi seperti dulu, dan rumah ini
sekarang sudah menjadi hak milik Bu Ira, adik tiri Bu Umi.
Kami terpaksa untuk pergi dari rumah ini. “Tapi kita mau
ke mana bang? kita tidak punya uang? kita mau tinggak di
mana?” ujar ku yang terus-menerus bertanya
padanya.“Halah sudahlah kita pergi saja, urusan itu
gampang,” ujar bang mata. Akhirnya pada malam itu kita
semua pergi dari rumah yang penuh kenangan itu, kami
pasti akan merindukan rumah itu dan juga Bu Umi. Malam
itu hujan turun dengan sangat deras, seakan alam pun tau
perasan kami malam itu, baju kita semua basah kuyup.
“Bagaimana kita berteduh di sana dulu” ujar Langit. Kami
menemukan sebuah gubuk tua yang sepertinya kosong di
dekat tempat pembungan akhir, segera Langit berbegas
Pesan untuk Matahari | 115

untuk mengecek tempat itu, kami pun bermalam dan


tinggal sementara di tempat itu.
Semejak hari itu kami bahu-membahu untuk memenuhi
kebutuhan hidup kami, mencari uang dengan segala cara.
Aku dan Bintang yang setiap hari mengamen di lampu
merah, Bang Mata yang bekerja sebagai kuli panggul di
pasar, dan Langit yang bekerja serabutan, apa saja dia
lakukan agar kami semua bisa makan. Sementara Bulan,
terjadi kejadian buruk yang menimpanya, pada malam itu
aku, Bintang dan Bulan pergi untuk mengamen hingga
larut malam, Bulan sudah merasa lelah dan tidak enak
badan memutuskan untuk izin pulang terlebih dahulu
sendirian. Namun, malam itu Bulan di lecehkan dan
diperkosa oleh para preman saat di jalan pulang,
bayangkan saja seorang gadis berusia dua belas tahun ini
mengalami hal yang sangat membuatnya traumatik dan
menderita. Hingga saat ini Bulan masih sangat trauma dan
tidak mau berbicara, ia terus menangis sepanjang malam,
kami tidak tau harus bagaimana. Bang Mata juga masuk
penjara, dia tertangkap basah saat sedang mencopet di
pasar. Kami semua ingin mendapatkan uang dengan
segala cara yang cepat untuk menyembuhkan adik bungsu
kami ini, kami tidak ingin Bulan bernasib sama seperti Bu
Umi yang tidak bisa tertolong.
***
Malam itu Langit datang, dia bilang dia habis dari penjara
menjenguk Bang Mata, ia membawa kresek berwarna
hitam dan memberikannya kepadaku, betapa terkejutkan
aku ketika membuka kresek hitam itu yang berisi segepok
uang, hatiku bergumam dan bertanya-tanya tentang
Pesan untuk Matahari | 116

banyak hal, dari mana Langit bisa memperoleh uang


sebanyak ini. Langit menatapku dengan wajah datar,
“sudah cepat kalian bereskan barang kalian, kita akan
pindah sekarang juga, aku tidak tega melihat kita tinggal di
sini” ujar langit.
Kami semua saling berpandangan dan keheranan, “Pelangi
tolong panggil Bulan, kita akan bawa dia ke rumah sakit
dahulu,” Baiklah ujarku, segera kita semua berkemas pada
malam itu juga. Saat di rumah sakit dokter bilang bahwa
Bulan harus di rawat di rehabilitasi untuk menyembuhkan
traumanya. Kami pun sekarang tinggal di sebuah
kontrakan mungil, hanya kami bertiga aku, Langit dan
Bintang.
Pagi ini aku tersentak bangun dari tidurku, ku dengar
suara ketukan pintu yang sangat kuat, segera ku berlari
untuk membukakannnya, namun betapa terkejutnya aku
ketika melihat empat orang berseragam polisi di depan
pintu, ia mencari Langit. Segera ku berlari ke kamar
Langit, ku bangunkan Langit yang masih tertidur pulas
bersama Bintang. “Langit, bangun-bangun, ada polisi
diluar mencarimu,” Langit langsung tersentak terbangun,
begitu pula dengan Bintang, raut wajah Langit berubah
menjadi sangat pucat. Tiba-tiba saja para polisi itu
menerobos masuk ke kamar Langit, saat itu Langit tak
sempat menjelaskan apa yang terjadi, yang ku ingat hanya
satu kalimat yang diucapkan oleh Langit. “Suatu saat nanti,
kita semua akan bertemu lagi Angi, tenanglah,”
Hanya kata kata itu yang terucap dari bibirnya, hingga ini
aku dan Bintang masih tinggal di kontrakan mungil ini,
dan kami masih bertanya apa sebenarnya yang terjadi, aku
Pesan untuk Matahari | 117

berharap Langit bisa menepati janjinya untuk kembali


bertemu, suatu saat nanti……
Pesan untuk Matahari | 118

Kita Semua Teman

Namaku Yura Anindya Putri panggil saja aku Yura aku saat
ini kelas 3 SMA dan aku memilki teman bernama
Salsha,Anisa, Ella,dan Sabrina mereka satu sekolah
denganku di SMA Angkasa kami satu kelas. dikelas kami
selalu bersama-sama dalam hal dan kegiatan apapun kami
dianggap teman-teman sebagai geng padahal kami pun
tidak membedakan yang lainnya akan tetapi mereka
beranggapan kami ini pilih teman pada suatu hari ada
teman kami bernama Poppy dia izin tidak masuk kelas
dikarenakan sakit Aku, Salsha, Anisa, Ella dan Sabrina
mengusulkan untuk menjenguk Poppy dikelas kami
mengumumkan jika kami ingin pergi menjenguk Poppy
"Apakah ada yang mau ikut dengan kami untuk
menjenguk Poppy" kataku
lalu mereka terdiam heran karena tidak menyangka
bahwa kami mempunyai inisiatif untuk menjenguk Poppy
akhirnya mereka bersedia "Iya kami akan ikut dengan
kalian"kata mereka dan pada akhirnya kami
mengumpulkan dana untuk membelikan Poppy buah
tangan untuk dibawa kerumah Poppy.
Pada saat itulah mereka meminta maaf dan tidak
menganggap aku, Salsha, Anisa, Ella dan Sabrina pilih
teman dan saat kami mengikuti lomba antar kelas mereka
mendukung kami agar kelas kita menang dan pada
akhirnya kelas kami mendapat juara 1 dan kami semua
merayakannya dengan makan bersama direstoran.
By : Fitri Nur
Pesan untuk Matahari | 119

Sebuah Cita-Cita

aku adalah seorang yang mempunyai banyak cita-cita


panggil saja namaku Fina salah satu cita-cita ku adalah aku
ingin menjadi seorang dokter,dalam mewujudkan cita-cita
ku itu aku banyak berjuang dan berkorban dimana aku
harus rela berjuang untuk terus belajar dengan giat dan
berkorban dalam urusan waktu agar tercapainya cita-cita
ku walau banyak orang yang beranggapan bahwa aku
terlalu keras terhadap diri sendiri terutama orang tua ku
tetapi aku berfikir jika tidak begini maka hasilnya tidak
akan maksimal seperti yang aku lakukan sekarang dengan
giat belajar menekuni bidang yang sedang aku jalani
sebagai seorang mahasiswi kedokteran di universitas UIN
Jakarta saat ini aku sudah semester akhir dan kemampuan
yang aku miliki agar aku bisa mewujudkan cita-cita ku
menjadi seorang dokter.
Dahulu memang orang tua ku tidak mendukung karena
tidak ada biaya akan tetapi demi masa depan yang cerah
mereka tersadar bahwa pendidikan setinggi mungkin dan
mewujudkan cita-cita itu lebih penting maka dari itu
ayahku bekerja keras banting tulang sebagai karyawan
swasta untuk dapat membiayai ku kuliah sejak saat itulah
aku sekarang dapat kuliah di universitas yang aku
dambakan.sampai detik dimana saat ini aku sedang
menyusun skripsi dan menunggu sidang jantungku
berdegup kencang karena hari ini tiba lah waktu ku sidang
untuk menentukan apakah aku lulus atau mengulang.
Dan pada akhirnya tiba aku selesai sidang dan mendapat
nilai cumlaude mendapatkan gelar S.Ked keluargaku
Pesan untuk Matahari | 120

bangga denganku terutama kedua orang tuaku mereka


sangat terharu bangga dan aku sangat berterimakasih
kepada mereka karena aku dapat mewujudkan cita-cita ku
maka dari itu aku tanamkan di hatiku bahwa sebuah
kesuksesan berawal dari diri kita sendiri dengan selalu
beribadah berdoa kepada sang pencipta agar apa yang kita
inginkan tercapai disamping itu ada orang tercinta yakni
orang tua kita yang selalu mendoakan anaknya agar
sukses aku bersyukur akhirnya cita-cita ku tercapai
dengan hasil yang sangat memuaskan.
By : Fitri Nur
Pesan untuk Matahari | 121

No Rain, No Rainbow
Fitrotun Nadha Ar Rosyid

Hai, perkenalkan, ini Aku gadis kurus yang selalu


merasa kalah dalam meraih mimpi. Aku selaku merasa
menjadi juara kedua dalam hal ini, terlebih di hadapan
Ayahku. Namaku Pelangi. Aku bukan Pelangi yang selalu
ceria dan membuat hari-hari orang menjadi berwarna.
Sebelum bisa sukses meraih mimpi, bagiku aku hanyalah
Pelangi monokrom yang hanya memiliki dua warna dalam
hidupku, hitam dan putih.
Hari ini aku wisuda. Menjadi lulusan terbaik President
University dan menyandang gelar sarjana hubungan
internasional di belakang namaku adalah sebuah
kebanggaan. Ibu, kak Biru, mereka sangat senang saat
menghadiri acara ini. Dan yang membuatku sangat
terkejut adalah saat ayah hadir menghampiriku bersama
senyum semringahnya sambil membawa sebuah buket
besar. Saat kami berhadapan ayah segera memelukku erat.
“Selamat nak. Kamu hebat. Anak ayah yang paling
hebat.” Ujarnya, mempererat dekapan.
Seketika mataku membulat mendengar kata-katanya.
Lalu sedetik kemudian air mataku turun membasahi pipi.
Kenapa aku begitu terkejut sekaligus terharu saat ayah
melakukan ini padaku? Karena ayah tak pernah
melakukannya padaku.
Dulu sejak aku duduk dibangku SMA ayah selalu
membandingkan nilai-nilaiku dengan Awan, adik
kembarku. Aku akui bahwa nilaiku selalu berada di bawah
Awan. Ayah selalu membandingkan walaupun terkadang
Pesan untuk Matahari | 122

selisih nilaiku dan Awan hanya dua atau tiga nomor. Ayah
selalu menggemblengku untuk bisa menjadi seperti Awan.
Sehingga sejak saat itu aku selalu jatuh sakit saat
mendekati ulangan semester, karna terlalu lelah belajar
terus-menerus. Bagaimana jika nilaiku tak pernah bisa
melebihi yang Awan dapatkan juga banyak lagi
overthinking-overthinking yang lain yang selalu
menghantu pikiranku. Ibu selalu mengingatkan ayah
untuk berhenti membandingkanku dengan Awan karena
tentunya kemampuan kita berbeda. Namun ayah tetap
saja membandingkanku.
Jika kalian pikir ayahku itu sesosok manusia kejam
yang selalu menekan anaknya untuk menjadi seperti apa
yang ia inginkan, kalian salah. Sebenarnya keinginan ayah
sama saja dengan keinginanku. Namun entah mengapa
sangat sukar bagiku untuk mendapatkan keinginan-
keinginan itu. Itulah yang sering membuat ayah geram dan
membuatku semakin membenci diriku sendiri.
Hingga pada akhirnya aku dan Awan lulus dari SMA
dan kami berdua mengikuti tes seleksi masuk ke
Universitas Istanbul. Walaupun sebenarnya sebelum itu
aku sudah mendaftar di President University. Aku kembali
jatuh sakit saat itu. Ibu selalu mendampingiku belajar.
Sesekali ia mengingatkanku untuk jangan terlalu keras
dalam belajar agar aku tidak drop. Namun karena aku tak
ingin mengecewakan ayah juga diriku sendiri jadi aku
tetap belajar segiat mungkin.
Hari yang ditunggu-tunggu datang. Aku dan Awan
sedang menunggu hasil tes seleksi. Aku benar-benar takut.
Jika Awan diterima sedang aku tidak apa yang akan ayah
Pesan untuk Matahari | 123

katakan padaku? Singkat cerita hasil tes yang


diselenggarakan secara online itu sampai pada ponselku
via Email. Aku tidak diterima di universitas impianku itu.
Dan Awan? Dia juga tidak terdaftar sebagai mahasiswa di
sana.
Dari fase kegagalan itu selang beberapa hari aku dan
Awan kembali mengikuti tes seleksi yang diadakan oleh
Universitas Melbourne. Dan hasil tesnya akan diumumkan
tiga minggu kemudian.
Kembali pada hari paling menegangkan, kak Biru
akhirnya mengajakku ke sebuah kafe di pinggiran kota.
Hasil tes seleksi akan diumumkan beberapa menit lagi.
Kak Biru terus saja mengajakku untuk membicarakan hal-
hal positif agar aku tidak gugup.
Ting!
Notifikasi berbunyi. Ada Email yang masuk. Aku
segera membukanya. Benar saja itu Email dari Universitas
Melbourne. Aku masih belum siap untuk membukanya.
Baru saja jari jempolku akan menyentuh layar ponsel yang
sedang menampilkan beberapa pesan di Email, tiba-tiba
ada panggilan masuk dari... Awan.
Mataku melebar mendengar apa yang Awan katakan
di seberang telepon. Tubuhku membeku. Awan diterima di
Universitas Melbourne. Bagaimana denganku? Cukup lama
diriku mengumpulkan keberanian untuk membuka pesan
yang sudah masuk ke akun Emailku sejak tujuh menit
yang lalu. Kakak meyakinkanku.
Jariku yang bergetar pelan-pelan mulai mendekati
layar ponsel, membuka pesan itu. Aku membaca kata demi
kata dengan saksama. Rasanya jantungku seperti mau
Pesan untuk Matahari | 124

pergi dari tempatnya. Karena apa yang kudapatkan lagi-


lagi tak sesuai dengan harapanku. Aku tidak diterima.
Untuk kesekian kali aku gagal lagi. Aku menangis di
hadapan kak Biru. Dengan hangat ia menenangkanku.
“Buat apa sih, kita menangisi apa yang belum tentu
terbaik buat kita? Padahal tuhan itu maha tahu. Dan tuhan
sudah pasti akan memberikan yang terbaik buat kita.”
Begitu ujarnya. Kata-kata yang cukup membuatku
tenang. Yah... semua orang memang punya suksesnya
sendiri-sendiri dengan jalannya masing-masing. Mungkin
suksesku bukan disini. Benar kalau definisi sukses setiap
orang itu berbeda. Jadi jangan samakan sukses kita
dengan sukses orang lain.
“Kenapa sih aku gagal terus?” Tanyaku setelah reda
tangisku.
“Hidup kan memang begitu. Nggak bisa senang terus
isinya. Harus ada sedihnya juga. Kalau tidak bukan hidup
namanya. Kamu itu Pelangi. Nggak akan ada Pelangi kalau
Cuma ada sinar matahari tanpa adanya rintik hujan yang
turun.” Kakak kembali menenangkanku.
Benar kata kakak. Kita tidak akan bisa merasa
bahagia jika tidak pernah menghadapi kerasnya ujian.
Tidak akan bisa menikmati indahnya pelangi jita tak
merasakan dinginnya hujan. No Rain No Rainbow.
Dan kini aku benar-benar menikmati pelangi indahku
setelah sekian juta derai hujan yang dengan kejam
menghujam diriku.
Pesan untuk Matahari | 125

Pesan Untuk Matahari


Fitrotun Nadha Ar Rosyid

Entah apa yang membuat pandemi ini tak kunjung


reda. Sudah satu tahun lebih orang-orang bosan
dikarantina. Begitu juga denganku. Terkadang aku sedikit
kesal, karena aktivitasku menjadi tak terjadwal. Banyak
rencana yang sudah kubuat diawal terpaksa harus
dibatalkan.
Pandemi ini merugikan banyak orang. Korban PHK
juga berhamburan. Para tulang punggung keluarga
menganggur tanpa penghasilan. Namun dari segi positif
pandemi memberikan kebebasan semesta untuk kembali
bernafas leluasa.
Terkadang aku ingin, sangat ingin memaksakan diri
untuk keluar dari rumah seperti biasa, mengabaikan
semua protokol yang ada. Namun aku kembali berpikir,
sepertinya hanya manusia-manusia tak berakal yang akan
bertindak seperti itu. Jadi aku selalu berusaha untuk
menaati apa yang sekarang menjadi peraturan, karena aku
sadar. Aku sadar bahwa banyak orang di luar sana yang
sedang berjuang. Entah itu paramedis ataupun para
relawan yang memiliki hati seperti malaikat. Mereka
hanya memiliki doa sebagai bekal. Mereka bagaikan
pahlawan yang selalu berdiri gagah di garda terdepan.
Beberapa hal yang membuatku salut pada jajaran
mereka adalah kesediaan, ketulusan, keberanian dan
keikhlasan mereka untuk membantu meringankan
penyebaran pandemi ini. Selalu mengingatkan yang sehat,
dan merawat yang sakit. Padahal berani ikut serta dalam
Pesan untuk Matahari | 126

menangani pasien-pasien Covid-19 secara langsung itu


sama saja seperti menyandingkan nyawa ke hadapan
malaikat maut.
Dengan tulus mereka merawat siapa pun yang
terinfeksi. Entah itu pasien yang mereka kenal atau tidak,
tua atau muda, maupun kaya atau miskin. Mereka juga
bekerja secara sukarela, benar-benar tulus menolong,
tanpa meminta balasan.
Mereka bekerja seperti matahari yang selaku
menyinari tanpa meninta untuk disinari. Seperti matahari
yang tak pernah memilih siapa yang harus diberi sinar.
Untuk kalian yang tengah berjuang digaris paling
depan, aku bersama tulisanku ingin mewakili seluruh
manusia di bumi pertiwi untuk meminta maaf yang
sebesar-besarnya karena sering kali kami mengecewakan
kalian. Maafkan kami yang masih sering mengabaikan
segala peraturan walau kalian selalu mengingatkan,
padahal kami sudah melihat banyak orang di luar sana
yang sudah terinfeksi.
Untuk kalian, tetap semangat! Terima kasih karena
telah melakukan hal-hal luar biasa demi kami.
Pesan untuk Matahari | 127

LA ROSA
Oleh : Gabriel Kristiawan Suhassatya

Satu tahun telah berlalu, peristiwa waktu itu masih


menancap kuat dan abadi kuingat. Aku diajak oleh seorang
lelaki tampan dengan perawakan tinggi dan penuh
wibawa. Ia menawariku pekerjaan dan kehidupan yang
mapan dengan banyak uang. Ia mengajakku dengan
lembut dan sopan, kemudian membawaku ke sebuah hotel
mewah di perkotaan, La Rosa namanya. Hotelnya indah
sekali kan, nanti kau akan bekerja di sini – kata lelaki itu
ramah, membuatku semakin terkesima dengannya. Aku
diajaknya ke sebuah ruangan yang harum wangi,
berukuran 4x5 meter, dihiasi rangkaian bunga-bunga
mawar dan lilin di sekeliling. Di sana sudah ada seorang
perempuan dan seorang lagi lelaki yang menanti. Barulah
aku tau, kalau perempuan itu adalah pemilik hotel La Rosa
dan lelaki itu manajernya. Hatiku semakin tenang dan
bahagia, seolah ini adalah ucapan selamat yang romantis
untuk menyambutku datang.
Mereka mengelilingiku dengan senyuman. Lalu, pemilik
hotel itu mulai menyentuh pipiku kemudian membuka
bajuku, melepas rokku, dan pakaian dalamku. Perlahan
namun pasti. Aku telanjang. Ia menelanjangiku di
hadapannya dan dua orang lelaki itu. Apakah ini yang
namanya ucapan selamat datang. Ia mulai meraba
tubuhku. Tangan kirinya perlahan mulai menyentuh
kuncup mawarku. Telunjuknya mulai ia masukkan, lalu
keluarkan, masuk lalu keluar lagi, berulang kali seakan
menikmati. Tangan kanannya mulai menggelayuti dadaku.
Pesan untuk Matahari | 128

Tubuhku mulai bergetar, keringat mulai membasahi


sekujur tubuhku, guyuran air mulai keluar dari kuncup
mawarku. Aku mulai ketakutan. Tak sanggup lagi aku
menahan desahanku dan terus mendesah. Indah sekali
tubuhmu, kau akan jadi primadona para pelanggan di
tempat ini – kata pemilik hotel sebelum ia menciumi
dadaku lalu bibirku.
Aku menangis dan berdiam dalam tangis. Setelah puas
memainkan jarinya, perempuan itu meninggalkan ruangan
seraya memberikan uang kepada lelaki yang mengajakku
ke tempat ini. Sejak saat itu barulah aku tahu, kalau lelaki
yang membuatku terkesima itu adalah mucikari yang
menjualku ke pemilik hotel ini. Sialan! Manajer hotel itu
menghampiriku, lalu membuka seluruh pakaiannya dan
menindih tubuhku. Kemudian dilanjutkan mucikari sialan
itu yang meminta giliran untuk menindihku bergantian.
Mereka semakin mengerang selayaknya para anjing di
musim kawin. Aku pingsan dengan rambut berantakan
dan darah mulai berlumuran di sekitar paha. Kuncup
mawarku rusak, aku tak lagi perawan. Setelah aku
tersadar karena nyeri dan kesakitan, aku terkejut melihat
lelaki di hadapanku yang melihat tubuh telanjangku. Aku
takut kalau ia juga akan menindihku.
***
Saya berada di dalam ruangan itu. Ruangan yang biasa
digunakan pemilik hotel La Rosa untuk menyambut
kedatangan para perempuan untuk dijadikan pelacurnya.
Saya berhadapan dengan seorang perempuan. Ia terkejut
dan ketakutan. Kamu siapa? – Ia lontarkan pertanyaan
sembari meneteskan air mata. Saya masih terdiam
Pesan untuk Matahari | 129

sembari membersihkan sekitar ranjangnya. Kamu siapa,


mau apa kamu di sini? – tanyanya lagi, mungkin ia mengira
saya akan memperkosanya seperti yang dilakukan
manajer dan mucikari hotel ini. Saya Bhima, pelayan hotel
di sini – jawab saya pelan. Saya memberinya minuman,
makanan, handuk, serta pakaian. Saya kasihan dengannya,
sebab hari itu ialah hari pertamanya sebagai pekerja seks
di hotel La Rosa. Saya menangis karena merasa sedih
ketika melihat wajah sendunya mirip Naya kekasihku
yang mati karena pandemi menjangkiti. Lima tahun sudah
saya bekerja di sini sebagai office boy, namun setahun
terakhir ini, pandemi mengubah pekerjaan saya menjadi
penghantar handuk dan pakaian untuk para pelacur yang
baru selesai melayani para pelanggan. Ingin saya keluar
dari pekerjaan ini, namun tak bisa. Kalau kau berani pergi
dari sini nyawamu taruhannya – begitu kata pemilik hotel.
Saya memperhatikan perempuan itu. Saya terpana
dengannya. Dia cantik, tubuhnya indah, kulitnya putih
langsat, matanya lentik, alisnya tipis seperti sutra,
rambutnya hitam terurai. Sekalipun ia menangis, merah
wajahnya bersinar cerah. Ia perempuan kelima belas yang
akan menjadi pemuas nafsu para lelaki yang menyewa.
Pantas pemilik hotel memberinya nama Mawar, sebab ia
akan menjadi maskot dan primadona para pelanggan di
hotel pelacuran ini.
***
Namaku Mawar. Itu adalah nama baruku di sarang
pelacur ini. Nama yang diberikan pemilik hotel untukku.
Tak penting apa maksudnya, yang pasti aku membenci
nama itu. Mungkin karena hotel ini dipenuhi bunga mawar
Pesan untuk Matahari | 130

atau karena nama hotel ini, La Rosa. Namaku sebenarnya


ialah Ani. Nama yang diberikan oleh Bapak dan Ibu.
Mereka kini telah tiada, karena virus korona yang
menggerogoti tubuhnya. Kini aku sebatang kara. Satu
bulan lalu, aku baru saja di-PHK perusahaan tempatku
bekerja yang bangkrut karena dampak ekonomi di masa
pandemi. Lima hari sudah aku tinggal di hotel ini. Sudah
banyak lelaki yang membayarku, untuk menjadi pemuas
nafsu. Birahinya seumpama singa yang mengaum-ngaum
mencari mangsa. Entah berapa jumlahnya, yang pasti lebih
banyak lelaki yang membeli tubuhku daripada perempuan
lain di tempat ini. Aku selalu menangis diliputi rasa
bersalah, berdosa, dan menyesal, kenapa waktu itu aku
mudah sekali percaya pada orang yang tak kukenal hanya
dengan tawaran pekerjaan, banyak uang, dan hidup
mapan secara instan. Tubuhku mereka hargai 450 ribu
hingga 1 juta sekali sewa. Semuanya itu dibagi untuk
pemilik hotel, manajer, dan mucikari tak berakhlak itu.
Setelah melayani lelaki yang kesepuluh di hari itu, aku
berniat mengakhiri hidupku dengan tubuh masih
telanjang. Pisau sudah di tangan kanan dan telah
kusayatkan di nadi tangan kiri. Namun semuanya itu gagal
ketika Bhima masuk. Aku menangis ketika melihatnya.
***
Jangan Mawar !!! – bentak saya keras. Saya langsung
menyergap Mawar dan mengambil pisau di tangannya.
Darah sudah mengalir deras dan ia menangis keras. Saya
buka baju saya untuk mengusap darah yang ada di
tangannya dan mengikatnya supaya tidak mengucur. Saya
mengajak Mawar berdiri, lalu ia menahanku dan
Pesan untuk Matahari | 131

memelukku erat sambil terus menangis. Tubuhku dan


tubuhnya yang telanjang saling bersentuhan. Entah
mengapa, celanaku mulai sesak, sesuatu yang ada di
dalamnya mulai mengeras. Bhima, kau bawa apa dalam
celanamu, kenapa celanamu seperti itu? – tanyanya. Saya
malu ketika Mawar tahu celana saya timbul dan sesuatu di
dalamnya mengeras. Saya langsung cepat-cepat
memberinya pakaian dan menutup luka di tangannya.
Mucikari dan manajer hotel itu melihat saya sedang
menutup luka di tangan Mawar. Mereka mengira saya
mengambil jatah mereka untuk menindih tubuh Mawar.
Manajer hotel langsung menusuk lengan kanan saya
dengan pisau, kemudian lengan kiri saya dan terus
memukuli saya. Secara tiba-tiba Mawar menusuk kaki
mereka dan saya rebut pisau itu kemudian menusuk perut
mereka.
“Aku tetap di sini, aku tak punya siapa-siapa lagi. Cepat
lari saja dan selamatkan dirimu!” bentaknya dengan nada
tinggi.
“Saya mau menyelamatkanmu Mawar.”
“Tidak, kau selamatkan nyawamu dulu, nanti kau bawa
aku keluar dari sini. Ini ada kalung emas dan liontin merah
delima, jimat warisan leluhurku. Bawalah saja, itu akan
menyelamatkan nyawamu dan memberimu umur panjang.
Cepatlah lari dan selamatkan nyawamu!”
“Zaman sekarang, kau masih percaya semacam ini? Aku
tidak percaya!”
Saya pun berlari cepat meninggalkan Mawar dan hotel
La Rosa. Saya akan ke kantor polisi dan melaporkan segala
kebusukan di hotel La Rosa. Mawar memberi saya kalung
Pesan untuk Matahari | 132

emas dan liontin merah delima warisan leluhurnya.


Katanya itu adalah jimat yang membuat umur panjang dan
memberi keselamatan. Saya berjanji akan kembali dan
menjemput Mawar. Saya sangat menyayanginya dan akan
menjadikannya kekasih saya sebagai pengganti Naya, dan
kami hidup bahagia bersama.
***
Hotel La Rosa berada tepat di belakangku. Kini aku dan
keempat belas perempuan pekerja seks di hotel La Rosa
telah keluar dari sana. Kami dijemput oleh aparat
kepolisian. Sejak peristiwa penusukan itu hingga kini tak
kujumpai kabar Bhima lagi. Aparat kepolisian dan tenaga
kesehatan menyerahkan kalung emas dan liontin merah
delima seraya memberi informasi kalau ia memintaku
menemuinya di pemakaman Bapak dan Ibu. Aku ke sana
dan kujumpai dia berada tepat di samping kanan pusara
Ibu. Lelaki yang baik hati. Lelaki yang menolongku saat
aku terus menangis di hotel itu. Kuambil kalung emas dan
liontin merah delima dari sakuku dan kukalungkan
untuknya. Bhima, lelaki baik hati, yang kini tengah tertidur
pulas dalam pusara abadi.
Untuk 15 korban bisnis prostitusi online di masa
pandemi
Pesan untuk Matahari | 133

Dia Juga Anakmu, Ibu


Galuh Ayunda Dwiyana Putri

Pecahan piring berwarna putih dengan corak


bunga di pinggir membawa Hesa dalam kebingungan serta
rasa takut yang luar biasa. Dalam benaknya, sebenarnya
Hesa hendak makan sesuatu, namun entah kenapa
pandangan Hesa menjadi kurang fokus seketika. Tanpa
sengaja dirinya tersandung kursi yang berjejer rapi
mengelilingi meja makan. Kejadian itu membuat piring
yang dipegang anak laki-laki berusia lima belas tahun itu
meleset dari genggamannya.
“Ibu akan marah,” gumamnya sembari mencoba
mengambil pecahan piring tersebut.
Diraihnya pecahan piring itu satu persatu. Jika
ibunya melihat hal ini, mungkin saja Hesa tidak akan bisa
makan hingga esok hari. Tanpa kehati-hatian penuh, jari
telunjuknya terkena pecahan piring itu, menggoreskan
sebuah luka memanjang dari ujung jari hingga ruas
pertama. Hesa kebingungan, kepalanya terasa sangat
pusing sekarang.
“HESA!” Sebuah teriakan melengking keluar dari
mulut perempuan dewasa yang berada di ambang pintu
dapur menyaksikan kondisi Hesa saat ini. “DASAR ANAK
NAKAL!!”
Tubuh mungil anak itu menegang. Menatap takut
wanita di sana. Dirinya lantas mencoba kembali
memunguti pecahan piring meski tak bisa ia pungkiri
jemarinya semakin terasa perih. Tiba-tiba sebuah
tonyoran mendarat di kepala Hesa. Ibunya telah
Pesan untuk Matahari | 134

memasang raut amarah dalam wajahnya. Hal itu membuat


nyali Hesa kian menciut.
“Kenapa kamu itu selalu ngerepotin, hah?! Ini
piring mahal. Ibu belinya pakai uang, bukan daun!”
Hesa hanya bisa terdiam, mendengarkan omelan
ibundanya dengan air mata yang hendak meluruh ke
tulang pipi. “Udah bodoh, nggak bisa ngapa-ngapain. Ibu
capek tahu nggak ngurus kamu.”
Ibu berdecak malas sembari memutar bola
matanya. Lantas memukul punggung kurus Hesa. “Nyesel
Ibu ngelahirin kamu!”
“IBU!”
Wanita itu kini menolehkan kepalanya. Ada
seorang perempuan berdiri kaku menyaksikan sang ibu
yang tengah memarahi adiknya. Selalu seperti ini setiap
hari. Tak jarang dirinya dan sang ibu selalu beradu mulut
sepanjang waktu. Dan hari ini, hal itu akan dimulai.
“Dia anak Ibu!” Raut penuh kekecewaan terpancar
dari wajah Rey—kakak kandung Hesa.
“Kenapa Ibu bisa setega ini sama dia?! Hesa butuh
dukungan bukan kekerasan macam ini!”
Urat leher wanita yang berumur setengah abad itu
kontan ketara. Wajahnya merah padam, balik menatap
putri sulungnya. “Berani kamu bentak Ibu?!” gertaknya
dengan tangan menunjuk ke arah Rey. “Ibu nggak pernah
ajarin kamu jadi anak nakal kayak gini, Rey.”
“TAPI IBU SELALU NGELAKUIN HAL BURUK
KEPADA HESA!”
“DIA PANTAS DAPAT ITU!” balas Ibu tak kalah
keras.
Pesan untuk Matahari | 135

“Ibu, Mbak, udah. Jangan berantem lagi,” lerai Hesa


dengan suara lirih. Dia tertunduk di pojok. Tak mampu
menatap dua wanita yang tengah berdebat hebat. Hesa
hanya memeluk lututnya dan mengabaikan darah yang
masih mengucur di telunjuknya.
Melihat adiknya yang seperti itu, Rey meletakkan
tasnya sembarangan, berlari secepat mungkin ke arah
sang adik. Bahkan Rey tidak memedulikan lagi keadaan
buku yang tadinya ia tenteng. Kini, Rey lantas menatap
Hesa nanar. Ditelisiknya setiap jengkal tubuh adik
kecilnya. Ada rasa menyayat ketika pandangannya berada
di telunjuk Hesa. Tanpa pikir panjang lagi, Hesa kini telah
berada dalam dekapan perempuan yang ia sebut Mbak.
“URUS SENDIRI ANAK IDIOT ITU!” bentak Ibu yang
langsung pergi dari dapur. Rey tak ambil pusing lagi soal
itu. Hanya Hesa sekarang yang ada di pikirannya.
“IYA! BAKAL REY URUS! BAKAL REY BAWA PERGI
SEKALIAN DARI RUMAH INI!”
Perlahan, Rey mencoba menenangkan pikiran dan
hatinya. Masih memeluk adiknya erat. Mencoba memberi
rasa aman dan nyaman kepada saudara kandungnya itu.
“Ayo obati tanganmu dulu. Nanti Mbak ambilin
makanannya.”
Hesa menggeleng dalam pelukannya, “Nggak usah.
Takut ngerepotin.” Selesai mengatakan itu, Hesa
menguraikan pelukan keduanya, berjalan menuju keran
dan membasuh lukanya sendiri. Rey hanya mengusap
wajah kasar, menghapus jejak air mata yang berada di
pipinya. Lantas beranjak dan menuju kamarnya. Luka
Pesan untuk Matahari | 136

Hesa tidak boleh dibiarkan begitu saja. Ia akan mengambil


plester di kamarnya.
Hesa tidaklah seperti anak berumur lima belas
tahun kebanyakan. Dia lebih istimewa, Hesa adalah anak
yang pintar, rajin, dan ceria. Namun semua itu selalu
tertutup dengan kekurangan kecil yang ia miliki. Bahkan
tak jarang Hesa selalu mendapat celaan dari anak lain atau
mungkin para tetangga. Bukan Hesa namanya jika dia
akan marah atau sedih mendengar itu, Hesa selalu
tersenyum dan jarang membalas ucapan buruk dari
orang-orang.
Adiknya tak pantas mendapat perlakuan seperti
itu. Dia juga manusia biasa. Hanya karena Hesa adalah
seorang tuna grahita, bukan berarti dia dapat
diperlakukan semena-mena. Hati Rey selalu teriris tatkala
melihat cemooh dan hinaan yang keluar dari mulut
manusia yang merasa diri mereka begitu sempurna.
Bahkan Rey siap menggertak siapapun yang mengganggu
adiknya itu, tapi ia rasa semuanya sia-sia. Hesa akan dapat
perlakuan itu keesokan harinya lagi.
“Hesa,” panggil Rey pelan. Dirinya telah membawa
sebuah plester dari kamarnya. Secara lembut dan telaten,
Rey membalut luka adiknya dengan pandangan sendu.
“Mbak, nggak usah sedih. Hesa nggak apa-apa
kok.”
Tangan kanannya terulur mengusap pipi kurus
adik tersayangnya. “Iya, Mbak percaya. Hesa tahu nggak,
Mbak sayang banget sama Hesa.”
“Hesa juga,” katanya dengan semangat. Seolah
melupakan rasa sakitnya tadi. “Hesa juga sayang Ibu.
Pesan untuk Matahari | 137

Sayang banget. Walau Ibu nggak sayang,” lanjutnya pelan.


Kepalanya tertunduk.
Air mata Rey tak lagi dapat ia bendung. Semuanya
luntur bersamaan dengan jemari Hesa yang langsung
mengusap pipi Rey. Kepala Hesa menatap hal lain, meski
tangannya masih tetap berada di pipi Rey. “Jangan nangis,
nanti jadi nggak cantik lagi.”
“Kita pergi jalan-jalan yuk,” ajak Rey setelah
beberapa saat.
“Kemana?”
“Ke Bandung.”
“Ibu nanti gimana?”
Rey menghela napas. Hati adiknya memang selalu
seputih salju. Di saat seperti ini, ia masih sempat
memikirkan ibu yang telah sering membuat dirinya
sendiri terluka dan menangis. Keterbatasan bukan alasan
untuk membeci seseorang. Semoga ibunya dapat segera
melihat sisi malaikat dari putra kecilnya itu. Hesa pantas
mendapat kebahagiaan layaknya anak seusianya.
Pesan untuk Matahari | 138

RENJANA
Oleh: Gita Novi Hastari

Penutupan PKKMB di kampusku akan dimulai dalam


waktu kurang dari 1 jam. Sama seperti dulu, menjadi
peserta kemudian sekarang menjadi panitia. Tidak ada
kisah cinta yang katanya akan hadir ketika kita menjadi
peserta apalagi panitia. Bukan, aku tidak mendaftar
panitia hanya untuk kisah cinta yang bahkan belum tentu
terjadi. Hanya saja, aku sedikit ingin tahu bagaimana
rasanya.

“Itaaaaa!” Panggil seseorang dari arah belakang. Ternyata


itu Kak Reyhan, Koordinator Umum kami.

“Bisa minta tolong kasih tau pendamping yang lain untuk


handle anak-anak mereka dulu ngga? Ada kendala teknis
nih jadi belum bisa mulai, gue susah jelasinnya.” Lagi-lagi
seperti ini. Aku tidak menyalahkan sie perlengkapan juga
sie acara. Mereka juga keluargaku, hanya saja sedikit
menyayangkan mengapa hal ini lagi-lagi terjadi.

Aku bersama Jeno, partnerku dalam memandu gugus.


Kami mulai ikut duduk dan mengobrol. Mencoba
memberikan pengertian lalu berusaha mencairkan
suasana dengan bercerita hal kecil. Sampai pada dimana
notifikasi handphone berbunyi, menampilkan cuplikan
pesan WhatsApp atas nama Athala Akbar IKOR’21 pada
notif bar. “Kak, maaf. Boleh ngobrol sebentar?” Kemudian
muncul lagi dibawahnya “Diluar kak.”
Pesan untuk Matahari | 139

Kami sudah berada di luar gedung. Berdiri berhadapan


dengan Atha yang sedikit menunduk. “Kak, maaf saya
lancang. Saya sangat tahu, tidak seharusnya saya
mengatakan ini. Tapi, saya juga tidak tahu kapan lagi saya
bisa mengatakannya, karena setelah ini kakak dan saya
akan sibuk dengan urusan masing-masing.”

“Kak, saya suka dengan Kak Ita. Semuanya, yang ada di


dalam diri kakak. Kalau Kak Ita tanya sejak kapan, saya
tidak bisa menjawab. Tapi saya yakin, sejak saya bertemu
Kak Ita, saya sudah jatuh pada saat itu.” Lanjut Atha
dengan mata yang terfokus padaku.

Jujur, aku bingung harus merespon seperti apa. Atha


merupakan salah satu anak gugusku yang aktif, tepat
waktu menyelesaikan tugas, dia tinggi dan memiliki
perawakan yang menurutku seperti mahasiswa Ilmu
Keolahragaan pada umumnya. Bodoh jika aku bilang
bahwa aku tidak menyukainya, mengingat bagaimana
sikap dia selama PKKMB berlangsung. Namun tetap saja,
rasa sukaku dengannya sama dengan rasa sukaku pada
anak gugusku yang lain.

“Kak Ita ngga perlu jawab apa-apa. Saya hanya ingin


menyampaikan isi hati saya kak, takut kalau nanti Kak Ita
sibuk. Maaf kak, saya permisi.” Ucapnya sebelum berniat
pergi.

“Mau nunggu saya?” Ucapku setelah sekian menit diam.


Pesan untuk Matahari | 140

“Rasa suka saya ke kamu masih sama dengan rasa suka


saya dengan anak gugus yang lain. Kamu mau nunggu
sampai rasa suka saya sebesar milik kamu atau lebih?”
Entah kerasukan apa, aku malah memintanya untuk
menunggu. Tidak tahu diri memang.

Melihat Atha yang hanya diam memandangiku, aku


tersenyum singkat. “Engga ya? Maaf ya saya malah suruh
kamu nunggu.”

“Nggak kak, apapun itu. Saya mau nunggu, sampai Kak Ita
mau.” Jawabnya pasti.

Sudah 6 bulan sejak penutupan PKKMB. Aku juga Atha,


masih sering bertemu. Ia semakin menunjukan rasa
sukanya padaku. Terlihat dari caranya dalam
menghargaiku, dan menjagaku. Namun, sudah hampir 4
hari dia tidak menghubungiku lagi. Hari ini, aku ingin
mencarinya di kontrakan. Khawatir rasanya jika belum
tahu kabar Atha. Namun, bukan Atha yang aku jumpai di
kontrakan. Melainkan Dean, teman 1 kontrakan Atha.

“Atha belum pulang kak dari pagi. Ini aja aku ambil kunci di
parkiran fakultas. Kayanya sih pergi sama Rachel.” Jelas
Dean. Aku tersenyum dan menjawab singkat penjelasan
Dean lalu pergi meninggalkan bangunan sederhana dan
tidak terlalu besar itu.
Pesan untuk Matahari | 141

Aku sudah sampai di rumah. Berniat membaca buku, juga


untuk menghilangkan hal-hal yang menganggu pikiranku
sejak sore tadi. Panggilan telepon menyadarkan fokusku.
Tertulis nama Atha dengan emoticon bunga matahari
muncul pada layar hpku.

“Halo? Kak? Aku di depan nih.” Dia kembali memanggilku


kak.

Aku lantas turun ke bawah, mencari keberadaan sosok itu.


Dia disana, berdiri di luar pagar, dengan celana jeans
panjang bewarna hitam yang sedikit sobek dibagian lutut,
kaos putih polos yang terbalut jaket jeans warna biru laut,
juga sepatu Adidas warna putih favoritnya. Atha
tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang sedikit
tidak terlihat.

“Hai, apa kabar?” Begitu kalimat pertama yang keluar


darinya.

“Kayak yang kamu lihat sekarang. Kemana aja?” Tanyaku.

“Maaf.” Aku hanya diam. Bingung mengapa dia justru


mengucapkan maaf padaku.

“Kak, udah sebesar apa sekarang?” Tanya Atha. Aku masih


diam, tidak mengerti maksud perkataan Atha.

“Sayangmu sama aku, kak. Udah sebesar apa sekarang?”


Pesan untuk Matahari | 142

“Jangan dipaksain lagi, kak. Enam bulan bukan waktu yang


singkat untuk aku. Selama itu, rasaku selalu bertambah
tiap harinya. Kak Ita gimana? Enggak kan?” Lanjutnya.

“Aku… aku sayang sama kamu, kok.” Jawabku.

“Kamu cuma terbiasa, kak. Bukan sayang. Sampai disini aja


ya kak? Sampai disini aja aku nunggunya. Bukan menyerah,
tapi melepaskan. Mau selama apa aku berusaha, yang ada
di hati Kak Ita cuma Kak Jeno, kan? Hehe nggak usah kaget
gitu, aku tahu kok.”

Aku menunduk, tidak berani menatap matanya yang


terfokus padaku. “Maaf…..”

“Jangan minta maaf, kak. Aku yang terlalu maksa hehe.


Jangan nangis ya cantik. Oiya, Rachel cuma temenku, dia
udah punya pacar kok. Tadi aku temenin dia cari kado
untuk pacarnya.”

Sejatinya, kamu telah jatuh Ita, hanya tidak mau


mengakuinya saja. Selamat, atas rasa sakit yang kamu
ciptakan sendiri. Lagi, selamat Ita, atas kehilangan yang
kembali kamu alami berkat kesalahanmu sendiri.
Tamat.
Pesan untuk Matahari | 143

Cinta Di Tolak Tuhan Bertindak

”Ditolak oleh wanita mungkin wajarlah, apa lagi dia


memang aku akui paling cantik di sekolah. Tidak heran
kalau aku ditolak, melihat memang banyak pria di sekolah
yang suka padanya.” Pikir safan yang ingin mengurangi
rasa kepada Citra siswa kelas 11 IPS. Citra adalah
perempuan tercantik disekolah, tidak sedikit pria yang
suka dengannya karena kecantikannya, pandai bergaul,
percaya diri, dan ceria. Sehingga membuat banyak pria
disekolah melirik dirinya.
Melihat dirinya seorang perempuan tercantik, tidak
banyak pria yang berani meyatakan suka kepadanya.
Hingga ada salah satu pria yang berani namun, ditolak
olehnya dengan alasan. ‘kita temanan saja.' Dia adalah
safan kelas 11 IPA pria yang tidak banyak tingkah di
sekolah di bilang pendiam nggak dan dibilang petakilan
juga nggak, safan pria yang terlihat biasa saja di sekolah.
Safan juga banyak disukai cewek-cewek walau hanya di
kelasnya, karena kepintarannya yang selalu masuk
peringkat 3 besar.
Setelah ditolak cintanya oleh citra, ketika saling bertemu
mereka jarang menyapa menegur atau sekedar basa-basi.
Safan lebih jaim, namun bukan berarti acuh dia bertanya
kalau hanya ada sesuatu yang benar-benar ingin di
pertanyaakan kepadanya, ”Ditolak oleh perempuan
mungkin wajarlah, apa lagi dia memang aku akui paling
cantik di sekolah. Tidak heran kalau aku ditolak, melihat
memang banyak pria di sekolah yang suka padanya.”
Pesan untuk Matahari | 144

Sesekali pikir safan seperti itu yang ingin mengurangi rasa


kepadanya.
Citra memang telah menyukai pria dari kakak kelasnya,
akhir-akhir ini dia selalu berbareng saat datang dan
pulang sekolah, ternyata citra memang sudah jadian dua
hari yang lalu dengan adit kakak kelasnya. Aku tahu itu
teman-temannya bersahut menyeru, ciee… pada saat
mereka sedang berdua. Dia memang pasangan yang ideal
di sekolah sama-sama cantik ganteng dan pandai bergaul
citra terlihat sangat mencintainya.
Akhir-akhir ini Citra terlihat lebih pendiam tidak terlihat
keceriaan diwajahnya, ia juga sudah tidak berbarengan
lagi dengan adit kalau pergi dan pulang sekolah. Waktu
istirahat Citra lebih suka diam di kelas, tidak seperti
biasanya Citra yang banyak menghabiskan waktu istirahat
di kantin hingga bel masuk berbunyi. Citra sekarang lebih
memilih mengahabiskan waktu istirahat di kelas dengan
gadgetnya dan sesekali menaruh kepala diatas meja
ditutupnya buku ke wajahnya, citra terlihat pemurung
akhir-akhir ini.
Menaruh rasa penasaran melihat perubahan Citra. Safan
pun ingin menanyakan kepadanya yang selalu
memperhatikan dirinya melihat telah ada perubahan,
tampak keceriaan citra hilang. Melihat Citra keluar pada
saat jam pelajaran melewati kelas safan arah toilet
sekolah. Safan lantas izin keluar begegas supaya
berpapasan. Citra sudah sampai dan masuk toilet. Ketika
hendak ingin keluar dan membuka pintu, Citra
terperanjat. Ada Safan dibalik pintu berdiri dengan satu
jari ditaruh dimulut, seperti mengisyartkan jangan berisik.
Pesan untuk Matahari | 145

Citra hanya diam dan tidak berbicara sedikit kata pun


bahwa ia kaget.
Lantas Safan membuka obrolan mencoba dan langsung
menanyakan “Cit, aku mau tanya, kamu kenapa?” Sambil
menghalangi jalan Citra.
Citra tidak menjawab hanya diam. Safan mengulang
pertanyaan itu kepadanya “Cit, aku mau tanya. Kamu
kenapa?” lagi-lagi Citra hanya diam tidak menghiraukan
dan pergi berjalan kembali ke kelas.
Bel berbunyi nyaring tanda pulang sekolah. Safan masih
semakin penasaran dengan sikapnya tadi. Safan
menghampiri Citra ke kelas. Safan tidak lagi
mempertanyakan peryataan tadi. Dihampirinya “Cit, mau
pulang bareng aku nggak?” Ajak Safan yang ingin pulang
bareng dengan Citra. “Nggak kita doang berdua, aku
nganterin kamu nanti rame tapi cuma sampai gang aja.
Kita naik angkot.” Susul Safan.
Safan memang setiap pergi dan pulang sekolah selalu naik
angkot atau naik sepeda, ia lebih suka seperti itu padahal
ia ada motor di rumah milik ayahnya yang memang
dibelikan untuk Safan sekolah. Tetapi ia lebih memilih
naik sepeda dan sesekali naik angkot untuk ke sekolah.
Berkata Safan kepada teman yang menanyakan hal itu
kepadanya “Aku, memilih naik angkot untuk ke sekolah
Kamu tahu kenapa, Bal. karena di angkot aku bisa bertemu
banyak cewek didalamnya, bal.” Jawab Safan bercanda
kepada Iqbal. “Tapi lebih dari itu sebenarnya, Bal. aku
merasa lebih menikmati seperti itu, menikmati perjalanan
belajarku ke sekolah. Dari pada aku memilih untuk bawa
motor, aku nggak bisa menikmati disetiap moment
Pesan untuk Matahari | 146

perjalanan ke sekolah, justru malah membuat aku semakin


menunggu waktu untuk pergi ke sekolah dipikir akan
cepat sampai karena naik motor, dan di jalan aku malah
tergesa untuk buru-buru. Lagi juga dengan aku memilih
seperti ini kalau telat aku memiliki alasan yang lebih
spesifik, bal. ‘Safan kenapa kamu tela?’ maaf Pak, saya
nunggu angkot mangkalnya lama. Pasti akan diterima oleh
guru.”
“Aku udah dijemput” Jawab Citra buru-buru merapikan
memasukan buku ke dalam tas dan beranjak
meninggalkan Safan. Safan tidak mengahalangi jalan Citra,
ia hanya diam sesaat setelah Citra pergi. Melihat ada
selembar kertas terkepal di meja tempat Citra, membuat
dia penasaran akan kertas itu, Safan mengambil membuka
dan membaca kertas kepalan tulisan itu, yang di duga
Safan, itu adalah tulisan Citra.
Sejak diketahui itu, Safan terlihat menghindar dari Citra
tidak lagi saling menyapa ketika berpapasan atau
mencoba untuk menegur basa-basi. Citra melihat itu
seolah merasa. ‘Safan kenapa tidak menyapaku tadi saat
berpapasan ditangga. Tidak seperti biasanya’ Diketahui
sejak saat itu Safan telah mencoba untuk mnghindar
melupakan dan menghilangkan rasa kepada Citra, Saat
setelah Safan membaca tulisan selembar kertas terkepal di
meja Citra. Berisi tulisan itu ;
Cinta benar memang buta
Bisa membuatku hilang akal
Dia tidak cinta, karena bukan menjagaku
Sekarang, Aku… sia-sia
Pesan untuk Matahari | 147

Safan tahu maksud dari tulisan itu. "Tuhan memang lebih


tahu yang pantas untuk hambanya" lirih safan Dalam hati.
Pesan untuk Matahari | 148

Diperbatasan Kota Aku Berada

Aku memang sudah kecanduan minuman kental berwarna


pekat dari warung. Aku duduk di depan teras malam ini
ditemani kopi hangat di gelas aqua. Mataku memandang
sekeliling, Aku. Memang selalu seperti ini, kulihat di depan
kos-ku tembok rumah yang membelakangi bertuliskan
nama sekolah diperkirakan berusia satu tahun. Sesekali
sepeda motor berseliweran di jalan setapak depan kos-ku.
Jauh dari jalan raya, tak terdengar keras bunyi klakson
kendaraan terburu-buru. Sunyi masih bisa aku rasakan,
hingga mataku tertarik untuk memandangi bintang di
langit malam ini. Jangan menilai dulu! Aku tak habis putus
cinta, kok. Yang memilih melamun meratapi nasib cinta.
Ya. Lagi-lagi aku bertanya-tanya kepada diriku sendiri.
Kenapa aku pergi dari kota tempat asalku? Kenapa aku
begitu ingin keluar dari tempat kelahiranku? Kenapa aku
bisa berada disini! tidak ada saudara, atau teman dekat
disini.
Hampir lupa! Namaku Aditya Saputra, suka dipanggil, Adit.
Asal Kabupaten Bogor. Mataku mulai terbuka tentang
perguruan tinggi setelah dua tahun lulus dari SMK,
disinilah datang pikiran untuk pergi ke Kota Tangerang
Selatan. Kota sebagai pintu untuk aku melanjutkan
Pendidikan. Bisa juga ini adalah bagian dari alasanku
untuk menjauh dari rumah dan mendapatkan pergaulan
baru. Aku ingin sekali tumbuh dan bergaul luas di dunia
luar, terasa akan sempit di alam cakrawala yang luas, jika
terus berada disini.
Pesan untuk Matahari | 149

“Darimana uangnya? Kuliah itu butuh banyak uang, dek.


Ibu sama Bapak sudah nggak bekerja, dan nggak mampu
untuk biayain sekolah kamu lagi” itulah jawaban yang aku
ajukan tiap kali aku sampaikan niatku untuk kuliah. Ibu
memanggilku adek karena aku anak terakhir dari tiga
bersaudara kedua kakakku laki-laki yang masing-masing
mengenyam hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar.
Beruntung Kakak keduaku sempat merasakan seragam
SMP. Tetapi berhenti saat menaiki kelas dua. Sebab sejak
UTS sampai UAS kakakku sepulang sekolah selalu
membawa amplop isi surat untuk Ibu.
“Kak, aku ingin melanjutkan kuliah, yang aku tahu di
Tangerang Selatan ada Universitas Swasta yang biayanya
terjangkau untuk masuk pertama itu kan Cuma Rp3,5 juta
hingga Rp4 juta. Mungkin nggak aku pinjam dulu dari
beberapa saudara yang kita kenal, nanti sambil kuliah aku
akan cari kerja disana, sambil mengembalikan uang itu.
Bagaimana?” aku memakai kata ‘Cuma’ agar terdengar
tidak terlalu berat dan meyakini bahwa aku bisa untuk
mengembalikannya.
”Bagiku pendidikan adalah sebuah kebutuhan bagi orang
yang ingin maju. Karena itu aku ingin kuliah Kak.”
Sambungku meyakini Kak Adi.
“Kamu benar yakin mau kuliah, Dit? Kakak tahu kuliah itu
penting dan bisa jadi nggak penting jika tujuanmu hanya
untuk gaya-gayaan” jawab Kak Adi. Mempertanyakan
ideku, persis seperti yang terlintas dibenakku.
Lantas hingga membuat aku bertanya kepada diriku
sendiri. Apa tujuanku untuk kuliah? Untuk sebuah cita-
cita! Apa karena gengsi dan untuk sekedar gaya-gayaan?
Pesan untuk Matahari | 150

Kalau hanya karena gengsi keadaan itu pasti akan


membuat aku berhenti ditengah kuliahku. Gimana?
Kebayang kalau aku berhenti ditengah-tengah kuliahku
dan tidak berlanjut.
Aku terdiam sesaat, kulihat tatapan Kak Adi memelas,
seolah mengatakan ‘kamu harus benar-benar kuliah
adikku. Cuma kamu satu-satunya harapan dikeluarga’
“Aku ingin sekali punya mimpi yang sama seperti orang
lain, punya cita-cita besar! Aku ingin sekali belajar, Kak.
Aku ingin sekali jadi sarjana. Aku ingin sekali bisa sekolah
yang tinggi” aku berusaha penuh meyakini Kak Adi dan
juga diriku.
”Tapi… kamu kan tahu! Kalau keadaan sekarang terus
berlanjut, gimana? Kebayang nggak kalau ditambah biaya
kuliah? Mau makan apa nanti kamu disana. Memang kamu
yakin, bisa kuliah sambil kerja?” tampak sekali Kakakku
seperti takut aku akan berhenti kuliah hanya karena
masalah biaya. Meyakini aku kalau terus-terus pulang
pergi hal itu akan membuat cape juga menambah
pengeluaran ongkos.
“Jangan memikirkan tentang makanku, Kak. Aku yakin
untuk saat ini kita bukan tidak mampu, tetapi hanya
belum… belum mampu. Kalau kita nggak sambil jalan,
gimana kita bisa ketemu jalannya, kita harus optimis. Aku
yakin, insya Allah akan selalu ada jalan. Dalam saudara
kita sama-sama harus saling bantu, kalau saat ini memang
nggak bisa bantu materi, ya bantu doa. Tapi harus juga
dibarengin dengan usaha. Nah Kakak mau kasih apa yang
bisa Kakak kasih buat aku” aku berusahan meracuni
pikiran Kak Adi untuk membantu ideku.
Pesan untuk Matahari | 151

Hanya Kak Adi yang aku harapkan menyetujui ideku ini


dalam keluarga, Nggak ada yang bisa aku sandarkan lagi
untuk minta membantu keinginanku ini, selain Kak Adi
Kakakku kedua. Kakakku yang pertama sudah berkelurga,
rasanya nggak mungkin kalau aku minta bantu kepadanya,
pasti juga akan membuat Kakakku menjadi berat. Kemana
akan lebih diprioritaskan keluarga kecilnya atau adiknya.
Kepada Bapak yang jarang sekali aku berbicara
kepadanya, bahkan sekedar ngobrol pun kalau memang
nggak ada yang benar-benar ada sesuatu yang ingin
dipertanyakan nggak akan ada obrolan.
Aku ingat, hari itu adalah hari pertama aku beranjak
berjalan menuju calon kampusku. Universitas Pamulang
dengan jurusan yang aku inginkan, Sastra Indonesia.
Ternyata kampusku ini besar sekali. Karena yang aku
masuki adalah Fakultas Sastra maka letak kampusnya
terpisah dari kampus pusatnya.
Mendengar Aku akan pegi ke Tangerang Selatan, Ibu
terpengarah. Terakhir sebelum aku pamit “Bu. Terima
kasih karena telah menjaga aku selama ini, aku nggak tahu
bagaimana balas jasa Ibu. Izinkan Aku pergi untuk
mengejar mimpiku, Bu. Hanya ini yang aku bisa untuk
melanjutkan Pendidikan. Tunggu, aku akan pulang dengan
togaku Bu. Tapi tetaplah sehat seperti ini. Aku pasti akan
baik-baik disana. Doakan saja aku, Bu.”
Berkat usaha dan bantuan kakakku, selama awal kuliah
aku banyak meminjam uang untuk sebuah ideku ini untuk
kuliah sebagai bagian dari masa depanku.
Berjalan sudah disemester 2 kuliah. Lingkunganku hanya
dikelas, tempat kerja, dan kamar kos tempat aku
Pesan untuk Matahari | 152

merebahkan badan saat malam. Aku mulai merasa


tertumpu dengan keadaan sepert ini terlebih beban SKS di
semester dua kuliahku bertambah.
Aku senang dosen waliku menawarkan tentang beasiswa.
Dalam persyaratan IP Harus diatas 3.00. melihat IP-ku
terakhir 3.48. Aku diberikan selembar kertas beasiswa.
Aku bawa nilai transkrip sebelum waktu yang diberikan.
Tetapi beasiswa itu tidak diperuntukan bagi program
kelas karyawan, karena, semua mahasiswa diprogram itu
kebanyakan pekerja dianggap mampu membayar uang
kuliah mereka sendiri. Ini harapan bagiku karena aku
tidak mengambil program itu, awalnya aku sempat ingin
mengambil kelas karyawan yang hanya sekali masuk
kuliah dalam satu minggu jadi aku bisa dengan bekerja. Ini
benar-benar jawaban untukku. Ini adalah episode tuhan
mengabulkan doa-doaku dan lebih gembiranya lagi
namaku ada masuk dalam penerima beasiswa.
Mengetahui itu dosen waliku mengucapkan selamat. Aku
mendaptkan guru seperti keluarga. Pernah waktu itu aku
cerita semua tentang kehidupanku kepadanya. “Kuliah
yang rajin ya. Tapi yang lebih penting dari seorang
mahasiswa adalah bukan hanya sekedar IP. Yang lebih
penting lagi adalah kemampuan berorganisasi, percaya
diri, integritas, dan motivasi. Semua itu penting untuk
kamu miliki.” Kata dosen waliku.
Pesan untuk Matahari | 153

Jalur Misteri
Karya: I Veni

Hari ini adalah hari untukku pulang ke kampung halaman.


Aku beserta adik perempuanku—Lili—sepakat
menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor.
Pada pukul tiga sore aku dan Lili memulai perjalanan
dengan aku pengemudi dengan Lili di boncenganku. Tak
banyak barang yang kami bawa, mengingat esok harinya
kami harus kembali ke kota perantauan. Kami sengaja
berangkat sore hari, mengingat ini bulan Ramadhan agar
bisa berbuka di Rest Area nantinya. Jarak yang harus kami
tempuh memakan waktu kurang lebih empat jam
ditambah satu jam untuk waktu berbuka sekaligus
istirahat.
Aku memacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang.
Kami tiba di Rest Area tepat 15 menit sebelum azan
magrib berkumandang dan akan melanjutkan perjalanan
satu jam setelahnya.
“Mbak, bensinnya masih banyak?” tanya Lili sesaat
sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
“Masih cukup kok, Dek, tadi sudah mbak cek,” jawabku
sambil menaikkan resleting jaket yang kukenakan.
Selepas meninggalkan Rest area tadi perjalanan kami
masih terasa baik-baik saja sampai akhirnya kami pun
mulai memasuki ruas jalan yang sepi dengan pepohonan
di kedua sisinya. Selang tak berapa lama perasaan tidak
enak pun muncul saat aku mulai menyadari bahwa sedari
tadi ada sebuah mobil yang beberapa kali melewati kami
dari arah berlawanan.
Pesan untuk Matahari | 154

Aneh.
Berbeda dariku yang lebih memilih bungkam akan
kejanggalan itu, Lili justru memilih untuk
menyuarakannya, “Mbak, apa cuma perasaanku. Kok
kayaknya mobil putih itu bolak-balik terus ya?” bisik Lili
takut-takut.
“Dek, kamu banyak-banyak berdoa saja ya,” ujarku
mencoba menenangkan keadaan.
Di tengah keanehan itu, entah dorongan dari mana
kepalaku menengadah menatap langit malam yang indah
bertabur kilauan bintang.
“Dek, coba deh kamu lihat langitnya indah kan?”
Lili pun ikut menengadah bersamaku. Setelah puas
menatap langit malam Lili kembali berujar, “Kok tiba-tiba
aku haus ya, Mbak.”
“Eh, iya, Dek. Mbak juga."
Tidak lama berselang dari ucapanku tadi tampak sebuah
warung beberapa meter di depan sana. Langsung saja aku
menepikan motor. Di sana kami menjumpai seorang Ibu
dan Bapak yang sedang duduk-duduk di balai depan
warung sambil memandang kami dengan tatapan aneh,
juga ada seorang Nenek berambut panjang terurai agak
bergelombang memberi kesan berantakan yang ternyata
pemilik warung tersebut.
Kami hanya membeli dua botol air mineral dan bergegas
melanjutkan perjalanan. Air di botol milikku dan Lili
masih tersisa setengah, jadi kami membawanya dalam
perjalanan.
Sebenarnya aku merasa aneh ketika melihat ada warung
tersebut. Kenapa si Nenek tadi lebih memilih membuka
Pesan untuk Matahari | 155

warung di pinggir jalan yang dikelilingi hutan alih-alih di


area pemukiman warga dan lagi aku sama sekali tidak
melihat kendaraan apa pun yang terparkir di sekitar
warung. Lalu, Ibu dan Bapak yang kulihat tadi ke sana
menggunakan apa?
Namun, lagi-lagi muncul keanehan lainnya. Aku merasa
dari tadi hanya berputar-putar di jalur yang sama dan
selama itu pula aku yakin bahwa warung tadi terus
kulewati.
“Mbak, kok kayaknya kita cuma muter-muter sih. Terus
Mbak sadar gak sih kalo kita ngelewatin warung yang
sama, mana si Ibu warungnya senyumin kita terus dan
rambutnya itu loh mbak, makin panjang dan mengembang
setiap kita lewat.”
Dan dengan polosnya, ketika sekali lagi motorku melewati
warung tersebut, Lili malah menyapa si Nenek pemilik
warung.
“Buk,” ucapnya diiringi senyum sopan.
Spontan kepalaku menoleh. Benar, nenek itu masih di sana
dengan senyum mengembang dan rambut yang entah
bagaimana seingatku tadi tidak sepanjang saat ini, dan hal
itu sukses membuat penampilannya semakin
menyeramkan. Aku naikkan kecepatan motorku dan
meninggalkan warung aneh itu. Lagi.
Syukurnya tidak lama berselang kami melihat masjid yang
cukup megah dengan para warga yang memasuki area
Masjid bersiap untuk salat. Baru saja aku menghembuskan
napas lega seraya mengucap syukur. Tiba-tiba Lili kembali
bersuara, “Eh mbak, kok itu orang-orang baru pada salat?
Kan sudah jam sembilan ini loh.”
Pesan untuk Matahari | 156

Aku alihkan pandanganku ke arah jam tangan di


pergelangan, dan ternyata benar yang diucapkan Lili.
Namun, aku tetap mencoba untuk tidak peduli akan hal
itu.
Setelah Masjid tadi kami lewati, di depan terlihat tempat
pengisian bensin. Begitu sampai, Lili bergegas turun
menuju toilet. Selagi aku menunggu Lili, aku edarkan
pandangan dan aku mendapati keberadaan mobil putih
yang di awal tadi terus melewati motorku, lengkap dengan
seorang Kakek yang juga menatapku di samping pintu
mobil sambil tersenyum. Melihat itu, aku pun bergidik
ngeri, untungnya Lili segera menyadarkanku, dan kami
pun meneruskan perjalanan.
Sepanjang jalur yang kami lalui hanya ada kami yang
berkendara. Sampai tiba-tiba tepat di sebelah kanan
motor kami secara mengejutkan muncul dua motor
lainnya yang berisikan tiga orang laki-laki yang tampak
sama terkejutnya dengan kami.
Seolah telah ada kesepakatan di antara kami, baik kami
maupun dua motor laki-laki tadi pun menepi. “Aduh, Mas,
kok bisa sih masnya tiba-tiba muncul di sebelah motor
kami?” tanyaku.
“Loh, Mbak, justru Mbaknya loh yang tiba-tiba muncul.
Padahal saya yakin tadinya enggak ada pengendara lain
selain saya sama teman saya.”
Setelah sama-sama mengungkapkan keterkejutan atas
keanehan barusan, kami pun terus melanjutkan
perjalanan beriringan sampai akhirnya berpisah di
persimpangan. Untungnya setelah itu kami sudah
memasuki kawasan padat penduduk. Pada pukul dua dini
Pesan untuk Matahari | 157

hari, kami baru tiba di rumah orangtua kami. Keesokan


harinya, kami pun menceritakan semua yang kami alami
semalam. Lalu, Kakek kami—Mbah Joko—pun
memberitahu bahwa ternyata jalur yang kami lalui itu
ternyata terkenal angker, dan menurut Mbah, kami
dibawa ke dimensi lain oleh ‘mereka’ sesaat setelah kami
memandang langit malam itu, dan baru kembali saat
bertemu dengan sekelompok laki-laki bermotor itu.
Baik aku maupun Lili akhirnya sepakat hari itu untuk
pulang siang harinya agar kami tidak lagi mengalami hal
aneh seperti semalam. Di perjalanan, ketika kami sampai
di titik yang kami yakini sebagai lokasi berdirinya masjid
yang kami lihat semalam ternyata tidak ada masjid di
sana, begitu pun titik di mana harusnya warung yang
semalam berulang kali kami lalui itu pun tidak kami
temukan sepanjang perjalanan. Tetapi aku bersyukur
kami sampai ke rumah dengan selamat tanpa gangguan
apa pun lagi.
Tamat
Pesan untuk Matahari | 158

Kata Petra
Jasmawarni

Hani beberapa kali mendengus. Setelah jam pulang


sekolah tadi, gadis itu diharuskan untuk ikut rapat akhir
bulan yang kerap dilaksanakan OSIS. Sampai akhirnya dia
baru bisa keluar dari ruangan panas tersebut sekitar puku
15.30 WIB. Lebih menyebalkannya lagi, sore ini hujan dan
dia sama sekali tidak membawa jas hujan.
“Kenapa juga dulu bisa daftar OSIS?” gumam gadis
itu pelan.
Tatapannya jatuh pada tanaman hias di depannya
yang tersiram deras air hujan. Mungkin tanaman itu
sangat senang, karena selama hampir satu bulan tidak
turun hujan. Tapi masalahnya, di dalam pot tanaman itu
hanya tersisa tunas kecil, sedangkan yang lain tampak
layu. Apa tanaman itu masih bisa bertahan hidup ketika
dia terancam kehilangan induknya?
Hani menggeleng, suasana yang sangat rawan ini
benar-benar membuatnya merasa semakin tidak waras.
Hujan, sore hari, sekolah yang sepi, dan emosi yang
kurang stabil. Lagi-lagi Hani hanya dapat menghela napas.
Hingga seorang lelaki berjalan ke arahnya. Awalnya Hani
pikir lelaki itu berniat jahat, namun ternyata lelaki itu
hanya ingin duduk di bagian tepi bangkunya yang lain.
“Abis rapat?”
Hani tercengang, untuk beberapa saat dia hanya
menatap lelaki itu dan berkali-kali melihat sekeliling
mereka. Dia merasa perlu memastikan bahwa yang
berbicara adalah lelaki itu, lantaran suaranya sangat serak
Pesan untuk Matahari | 159

dan pelan, selain itu Hani ragu jika lelaki tersebut


berbicara padanya. Terus terang saja Hani bahkan tidak
mengenal lelaki itu, sekali pun mereka satu sekolah.
“Kamu, saya ngomong sama kamu.”
Mulutnya membulat, “Oh, iya.”
“Gimana rasanya?”Tanya cowok itu lagi.
Sebenarnya Hani malas menanggapi, hujan sore ini
cukup deras dan dia hanya ingin menghabiskan waktu
dengan menunggu hujan reda sembari memikirkan ibunya
di rumah. Tapi mungkin tidak ada salahnya menanggapi
sebentar, setelah itu Hani akan bergegas pindah ke bangku
lain.
“Nggak enak. Rasanya bener-bener nyesel kenapa
dulu milih jadi anggota tim babu sekolah.”
Hani berjanji, jika lelaki itu kembali menimpali, dia
akan segera beranjak menuju bangku paling ujung dekat
pohon mangga, walaupun resiko tersambar petir bisa jadi
lebih besar.
“Saya punya saudara,” ucap lelaki itu kembali. Hani
sudah bersiap membereskan tasnya. “Saudara saya
meninggal karena gila organisasi, dia menghembuskan
napas terakhirnya ketika rapat kepanitiaan, padahal dia
dipilih menjadi ketua.” Hani yang hendak berdiri menjadi
terpaku mendengar lanjutan lelaki itu.
Separah itukah?
Hani meringis kala membayangkan bahwa itu
adalah dirinya. Akan sangat kasihan ayah dan ibunya
kehilangan anak sematawayang hanya karena organisasi.
Tapi jika dipikir kembali kematian karena organisasi
sangat aneh dan terkesan janggal. Pasti ada sebab lain
Pesan untuk Matahari | 160

yang mendukung saudara lelaki itu bisa sampai meregang


nyawa ketika sedang rapat.
“Dia punya penyakit maag kronis, karena sering
telat makan dan suka begadang untuk tugas kuliah
dibarengi tugas organisasi itu, penyakit saudara saya
tersebut semakin parah. Berulang kali keluar masuk UGD,
tapi dia nggak pernah jera. Dia tetap mempertahankan
keinginannya untuk ikut organisasi itu sampai akhir masa
kuliahnya.”
Hani mengernyit, “Kenapa?”
Cukup lama lelaki itu terdiam dan hanya menatap
Hani. Entah matanya yang kabur karena tidak
mengenakan kacamata atau memang lelaki itu tersenyum
padanya. Hanya sesaat.
"Saya nggak tau kenyataan sebenarnya seperti apa,
tapi saya ingat waktu itu pernah bertanya alasan dia
masih bertahan sampai saat ini.” Lelaki itu menyandarkan
punggung, terlihat mencoba rileks sebelum kembali
bercerita. “Ketika itu dia masih terbaring di rumah sakit
pasca operasi, dia bilang, ‘Aku mau ketika memutuskan
untuk memulai suatu hal, aku bisa menyelesaikannya
hingga akhir, karena aku bisa tau manfaat hal itu dan
pengaruhnya pada hidupku. Aku capek kuliah, tapi semua
itu selalu hilang ketika aku bergabung dengan mereka,
orang-orang yang percaya bahwa aku bisa melakukannya.
Hal yang belum tentu aku dapat ketika di luar sana.
Lagipula ketika aku masuk, aku sadar bahwa selalu ada
resiko di setiap keputusan.’ Ketika itu saya melihat
matanya berbinar. Dia dengan bangga menceritakan
organisasinya. Lalu sebelum pergi, dia berpesan pada
Pesan untuk Matahari | 161

saya, ‘Jika merasa kurang cocok, kamu bisa mengganti


baju lain. Terkadang yang lebih penting itu nyaman, bukan
untuk membuat orang lain terkesan.’ Saudara saya itu
paham bahwa ketika mengunjunginya, saya baru saja
menerima pengumuman bahwa saya gagal masuk SMA
favorit.”
Bersamaan dengan berakhirnya cerita lelaki itu,
hujan reda. Sejak satu detik yang lalu, Hani menahan
napas. Mendadak pikirannya buntu, dia belum
sepenuhnya bisa mencerna maksud dari cerita lelaki itu.
“Sudah reda. Saya duluan. Hati-hati, dan semoga
harimu ke depannya lebih menyenangkan,” ucap lelaki itu
sambil berdiri. “Jangan lupa, ganti baju yang lain jika
merasa kurang nyaman,” tutupnya.
Hani mengerjap cepat. Bergegas menahan lelaki
itu, ada sesuatu yang ingin dia tanyakan.
“Tunggu.” Lelaki itu berbalik dan menatap Hani.
“Apa sekarang kamu merasa bebas dengan baju yang
nyaman itu? Lalu siapa namamu?”
“Iya, aku merasa jauh lebih baik dengan bajuku
yang sekarang. Dan namaku Petra, salam kenal Hani.”
Kemudian dia kembali berjalan.
Sebentar, Hani merasa janggal. Sejak mengajaknya
mengobrol tadi, lelaki bernama Petra itu menggunakan
bahasa formal, lalu tadi dia bahkan dengan santai
mengubahnya jadi informal. Lalu hal lain yang tak kalah
membuatnya terkejut, Petra tahu namanya bahkan
sebelum dia sempat menyebutkan.
Siapa sebenarnya Petra? Dan apa maksud lelaki
itu?
Pesan untuk Matahari | 162

ASIKNYA BERMAIN TELEPON KALENG


Penulis: Kisthinnisa

Langit yang gelap penuh bintang perlahan berubah


menjadi terang, “Allahu akbar…Allahu Akbar, azan subuh
terdengar di kompleks perumahan permai asri. Pak roni
bergegas pergi ke masjid. Istri pak Roni bernama Sarah, ia
membangunkan anak-anaknya, “tok-tok, tok-tok” suara
pintu diketuk “Ana, Ara bangun sayang”, sahut ibu sambil
mengetuk pintu kamar Ana dan Ara. Ana adalah, anak
pertama pak Roni dan ibu Sarah. Ia anak yang cerdas,
peduli dengan teman dan patuh terhadap perintah orang
tua, ia kakak Ara yang penyayang. Usianya 8 tahun. Ara
adalah Anak kedua pak Roni dan ibu Sarah, ia adik Ana, ia
Anak yang selalu cerita, berani dan suka bercerita. Usianya
5 tahun. Ia bersekolah di PAUD Mentari.
Ana dan Ara masih tertidur, ibu kemudian
membuka pintu dan masuk ke kamar Arad an Ana. “Ana
Ara, bangun yuk nak, sholat subuh”, bujuk ibu
membangunkan Ana dan Ara. Ana terbangun “iya bu” kata
Ana dan bergegas ke kamar mandi untuk mengambil air
wudhu sedang Ara masih tertidur “Ara bangun yuk nak,
kita sholat subuh, teh Ana udah bangun tuh, yuk sayang
bangun” bujuk ibu ke Ara yang masih setengah sadar, “Ara
masih ngantuk bu” kata Ara dengan suara bernada
ngantuk, “Ara sayang itu godaan syaitan, Ara kan Anak
yang sholehah, ayo sayang bangun kita shalat subuh” kata
ibu memberikan semangat ke Ara. “iya bu ara bangun”,
jawab Ara dengan nada suara yang masih mengantuk.
“Ayo sayang kita baca doa bangun tidur dulu
Pesan untuk Matahari | 163

bismillahirrohmanirrohim alhamdulillahi ladzi ahyana


ba’da maa amaatana wailaihinnusyur” ibu membimbing
Ara membaca doa bangun tidur sambil menuntun Ara
bangun dan Ara mengikutinya, bismillahirrohmanirrohim
alhamdulillahi ladzi ahyana ba’da maa amaatana
wailaihinnusyur kata Ara sambil merenggangkan
tubuhnya.
Ara dan ibu mengambil air wudhu dan bersiap
untuk sholat berjama’ah. Ana sudah menungu sejak tadi
untuk shalat subuh berjama’ah. Kemudian mereka sholat
subuh berjama’ah. Setelah sholat berjama’ah ibu dan Ana
berdo’a dengan khusyu, “teh Ana dan ibu do’a apa sih
lama sekali”, gumam Ara dalam hatinya. Ana selesai
berdoa Ara bertanya “teteh doa apa, kenapa lama ibu juga
belum selesai?” tanya Ara, “teteh tadi berdo’a dan
berdzikir”, jawab Ana, “ooh dzikir” kata Ara “dzikir itu
apa?” Ara bertanya “dzikir itu seperti bacaan yang dibaca
ibu dengarkan ibu baca subhanallah sebanyak 33 kali”
jawab teh Ana, Ara pun berdoa dan mulai mengikuti
dzikir. “Ara lupa dengan hitungan dzikirnya, udah berapa
ya tadi?” tanya Ara dalam hatinya. Ara melihat teh Ana
menggunakan jari, “oh dengan jari” gumam Ara. Ara mulai
dzikir kembali. Jari mulai habis Ara bingung, “Udh
dzikirnya ah” kata Ara. Ara melihat lagi Ana, Ana masih
berdzikir. Tak lama kemudian Ana dan ibu selesai dzikir,
Ara bertanya “ibu tadi bacaan do’anya apa aja sih, lama
banget kita udh selesai berdoa ibu belum”, tanya Ara. “Dek
ibu doanya banyak Ara” kata Ana, “ibu pasti dzikir juga
kan?” Tanya Ana ke ibu “iya sayang” jawab ibu, “bacaan
dzikirkan harus lengkap” jelas ibu, “oh” kata Ara, “ada
Pesan untuk Matahari | 164

tasbih, takbir dan tahmid”, lanjut ibu menjelaskan “bacaan


dzikir itu apa aja bu”, tanya Ara, “teh Ana ingatkan kan
bacaan dan artinya?” tanya ibu ke Ana. Ara
memperhatikan teh Ana, “Ana ingat bu, tasbih bacaannya
subhanallah maha suci Allah, takbir bacaannya
Allahuakbar artinya maha besar Allah dan tahmid
bacaannya Alhamdulillah artinya segala puji bagi Allah”,
jelas Ana menyebutkan bacaan dzikir. “Iya itu sayang
dibaca sebanyak 33 kali”, jelas ibu Ara memperhatikan
jarinya tapi “jari kita cuman 10 bu” kata Ara dengan nada
suara bertanya, Ana juga bingung. “Kalau dibaca 33 kali
jari kita kan gak cukup bu, caranya gimana?” tanya Ana,
“caranya fokus di sini” kata ibu sambil mengambil tangan
Ara dan mengarahkan ke hati. “Dalam hati? emang bisa
bu?” Tanya Ara, “bisa, jangan terburu-buru bacanya minta
sama Allah dikhusyukan dalam berdzikir dan berdoa
supaya dijauhkan dari was-was dan bisikan syaitan” kata
ibu “ooh” kata Ana dan Ara. “Abdullah bin Amr
radhiyallahu berkata : aku melihat nabi menghitung
bacaan tasbih dengan jari-jari tangan kanannya”. jelas ibu,
“bu cuman jari tangan kanannya emang bisa?” tanya Ana,
“bisa dibaca setiap ruas jari tangan kanan, coba lihat jari-
jari kalian dan hitung ruas jari tangan kanan kalian” kata
ibu. ibu memberikan contoh menghitungnya, dan serentak
Ana dan Ara menghitung ruas-ruas jari tangan kanan
mereka.
Setelah berdzikir Ana dan Ara mengaji bersama di
bimbing oleh ibu. Kemudian terdengar suara
“Assaamu’alaikum warahmatullahi wabarrakatuh” salam
pak Roni yang pulang dari masjid. ”Wa’alaikum salam
Pesan untuk Matahari | 165

warahmatullahi wabarrakatuh” serentak Ana dan Ara


menjawab, “wa’alaikum salam warahmatullahi
wabarrakatuh” ibu menjawab dengan suara yang lembut.
“Ayah” panggil Ara dan berlari ke arah ayah kemudian
memeluknya. Ara mengambil tangan ayah dan
menciumnya. “Ayah pulang dari solat ya?” tanya Ara “iya
sayang” jawab Ayah. “Ara dan teh Ana sedang mengaji, yuk
yah” ajak Ara dan menarik tangan ayah. Ayah
menghampiri Ana dan ibu yang sedang mengaji, lalu Ana
menghampiri ayah dan mencium tangannya, ibu yang
merapihkan al-quran juga menghampiri ayah.
Langit mulai terlihat jelas kebiruannya dan sinar
matahari yang terik membakar semangat di pagi hari. Jam
menunjukkan waktu pukul 06.30 pak roni bersiap untuk
berangkat kerja. Ara yang sedang bermain di depan
televisi kemudian melihat ayahnya yang sedang bersiap-
siap berangkat kerja. Ara menghampiri ayah dan bertanya
“ayah, mau berangkat kerja ya?” tanya Ara dengan muka
sedih, “iya sayang”, jawab ayah dan mencium keningnya.
“Ara boleh ikut?” tanya Ara, “boleh ya ayah,” minta Ara.
Ayah tersenyum dan berkata “Ara di rumah aja ya, Ara
belajar yang rajin biar jadi dokter”, jawab ayah
menasihatinya. Ana yang sejak tadi mengerjakan tugas
sekolah selesai dan menghampiri Ara dan ayah. “Ayah
pulangnya jangan lama ya”, pinta Ara, “iya yah pulangnya
jangan lama” kata Ana, “kita ingin mendengar dongeng
dari ayah seperti kemarin malam”, minta Ana “iya yah, Ara
juga pengen” kata Ara juga meminta. Iya insyaAllah ayah
pulang cepat”, jawab ayah, “tapi ayah minta teh Ana dan
Ara harus rajin belajarnya”, minta ayah “iya ayah”, jawab
Pesan untuk Matahari | 166

Ara dan Ana. Lalu Ana dan Ara membantu ayah


merapihkan barang-barang kerja ayah. Kemudian ibu
datang membawa bekal dan botol minum ayah, “ini bekal
dan minumnya yah” kata ibu sambil menaruh bekal dan
botol minum ke dalam tas ayah. Setelah siap ibu, Ana dan
Ara mengantar ayah ke depan rumah, “ayah berangkat
ya”, kata ayah kemudian Ana dan Ara mencium tangan
ayah begitu juga ibu dan memberikan pesan ke ayah.
Kemudian ayah pergi ke mobil dan siap mengendari mobil,
“Assalamu’alaikum waahmatullahi wabarakatuh” kata
ayah “walaikum salam waahmatullahi wabarakatuh”
jawab Ana dan Ara, ibu juga menjawab dengan nada yang
lembut “walaikum salam waahmatullahi wabarakatuh”.
“Dadah ayah” kata Ara sambil melambaikan tangan. Ayah
mengendarai mobil dan meninggalkan rumah.
Pagi berganti siang semua orang sibuk dengan
aktivitasnya masing-masing yang hanya dilakukan di
rumah saja begitu juga Ana dan Ara yang sedang
melakukan sekolah daring. “Hari ini sampai disini dulu
belajarnya ya” kata bu guru lewat aplikasi zoom meeting
yang ada di hp ibu. “iya bu”, serentak Ara dan teman-
teman Ara menjawab. “sampai bertemu besok,
wassalam’alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, lanjut
bu guru berpamitan. “walaikum salam waahmatullahi
wabarakatuh “ jawab Ara dan teman-temannya. Kemudian
ibu guru keluar dari zoom meeting dan diikuti oleh Ara
dan teman-temannya. “Ibu boleh pinjam hpnya Ara mau
main hp”, minta Ara. “Ara sayang tadi kata bu guru apa?”
Kata ibu mengingatkan pesan bu guru, Ara terdiam “gak
boleh main hp harus belajar jadi sekarang Ara belajar ya”,
Pesan untuk Matahari | 167

lanjut ibu menasihati Ara. Ana juga sudah selesai


melakukan sekolah daring. Ibu memanggil Ana, “teteh Ana
sini nak”. “Iya bu” jawab Ana. Ana menghampiri ibu dan
Ara. “Ada apa bu?” tanya Ana, “ajarin Ara belajar ya” kata
ibu, “ibu mau masak” lanjut ibu. “Iya bu”, jawab Ana. Ibu
pergi ke dapur Ana mengajari Ara menulis dan membaca.
kemudian Ana membuka hpnya. Ara yang melihat Ana
main hp juga ingin main hp, “teh Ara boleh pinjam hpnya
buat nonton youtube”, minta Ara “gak boleh” jawab Ana
sambil meberikan isyarat dengan menggerakan jari
telunjuknya “Ara harus belajar” kata Ana. Dengan muka
yang sebel Ara pergi melanjutkan tugasnya. Selesai
mengerjakan tugas Ara melihar ke arah jendela dan
bertanya ke Ara, “teh Ana bosan gak?” Ana terdiam “Ara
bosan, pengen main sama teman di sekolah” lanjut
perkataan Ara, “teteh juga pengen sekolah seperti dulu”
jawab Ana. Ibu yang melihat Ana dan Ara yang merasa
bosan mengambil 2 kaleng susu beruang dan
membawanya beserta cemilan, “kalian bosan ya?” tanya
ibu, “iya bu bosan” kata Ara dan Ana, “ibu punya
permainan” kata ibu, “nanti ibu ambil dulu bahannya”
lanjut perkataan ibu. Lalu ibu pergi mengambil 2 kaleng
bekas dan benang serta peralatan lainnya dan
membawanya ke Ara dan Ana. Ana bertanya “ini buat apa
bu?” Ara juga bertanya “mana permainannya?. “Kata ibu,
ibu punya permainan” kata Ara bertanya. “Ini
permainannya, kita mau buat telpon kaleng” kata ibu,
“emang bisa? Telpon dari kaleng” kata Ara. “Ana dan Ara
tolong bantu ibu ya” minta ibu dan kemudian ibu
membuat satu lubang di setiap bawah kaleng. Lalu ibu
Pesan untuk Matahari | 168

meminta Ana untuk memasuki benangnya kemudian ibu


mengikatnya. “Udah jadi telpon kalengnya” kata ibu
sambil menunjukkan telpon kaleng yang sudah jadi.
“Sekarang teh Ana pegang kaleng ini dan rentangkan
talinya” pinta ibu, Ana pergi menjauh sejauh benang itu.
“Ara pegang kaleng ini sayang” kata ibu meminta Ara dan
memberikan kaleng yang dipegang ibu, Ara
memegangnya. “Sekarang Ara coba letakkan telingannya”,
kata ibu dan Ara melakukannya. “sekarang teh Ana panggil
Ara dari kaleng” kata ibu. Ana pun melakukannya, “Ara”
panggil Ana dari kaleng suara itu terdengar dari kaleng
yang dipegang Ara. Ara tersenyum, “ibu suara teh Ana
terdengar dari kaleng” kata Ara dengan gembira. Akhirnya
mereka tidak bosan dan bermain telpon kaleng. Ibupun
senang. Lalu Ana mempunyai ide “gimana kalau kita hias
telpon kalengnya?” kata Ana mengajak Ara menghias
telpon kaleng, “iya teh” jawab ara, “ayo kita hias telpon
kalengnya” kata Ara. Mereka pun menghias telpon kaleng.
Malam hari Ara menceritakan keseruan tadi
membuat telpon kaleng kemudian Ara dan Ana
menunjukkan telpon kaleng hiasnya dan bermain telpon
kaleng bersama ayah. Ana dan ara senang bermain telpon
kaleng.
Pesan untuk Matahari | 169

A glimmer of light

I often sat alone in the corner of the school looking for a


quiet place. I prefer to be alone and away from anyone.
Yes, after that incident I was more often alone and many
people even isolated me. Stay away from me because they
think I'm weird and a bearer of death according to them.

Two months ago I had a family accident and caused both


my parents to die and fortunately at that time I only
suffered some pretty severe injuries but was still
salvageable and was in a coma for more than a month. Yes
I fell asleep unconscious for more than a month people
say.

There were other things that were scarier after I woke up


from the coma than hearing the news that my parents had
died. There's something different about me. I can now see
a light in everyone's life. There is a light of its own in
every human head that I can see. If the light is bright, it
means that the person will still be alive until the light dims
and then goes out. Of course if the person's light goes out
then he is no longer alive.

First I accept this oddity I can not fully accept. Like when I
first went back to school, I saw the light of my homeroom
teacher's life was very dim and about to go out. I
immediately told my friends at that time that we were
going to lose our homeroom teacher because he would die
Pesan untuk Matahari | 170

soon. Many of my friends thought I was just joking and


they all just responded with laughter.

The next day when I just entered school class all my


friends away from me and many are looking cynically
while whispering incoherently about me. It was true, my
homeroom teacher died because last night he had a traffic
accident. From that moment on, I started to be shunned
by my friends and I understood all of that and started
learning on my own.

I never take care of those whose light of life is starting to


dim. I have often warned all of them who at that time the
light of their lives began to dim. But I can not fight the fate
that has been made.
At that time, my best friend, the light of his life was almost
extinguished and I panicked to death when I saw it. I
warned him to be more careful because there is a danger
that is threatening him right now. For two days I
accompanied him in his room and did not go to school
because I was worried that the light of his life was very
dim. For two more days that dim light lasted, but
suddenly the light of life went out when the third day he
suddenly fell from the tenth floor of his apartment. I
didn't know at the time why he fell. Yes, maybe because of
fate, fate had required him to die immediately because the
light of his life was very dim.

The fate of death has been determined and cannot be


changed no matter how much we try. And sometimes I
Pesan untuk Matahari | 171

can't accept the advantages that I have. If I may, I don't


want to be able to see the light of human life. I don't want
to know when someone lives and dies. I want to go back
to normal again like before and live everything as usual.

One night I woke up from a bad dream. I think it was the


worst dream I've ever had. I was asleep in a dark room
and couldn't move at all. What I know at that time beside
me a lot of people closest to me who have died.

I wash my face and for a moment I feel the freshness erase


all the fears that exist. However, all the fear from the
dream had not disappeared, now I am even more afraid
when I see in the mirror the light of my life is getting
dimmer and even going out soon. I really didn't notice
because I didn't look in the mirror all day. I panicked and
scared at that time when I had to accept the fact that I was
going to die soon.

I couldn't hold back the tears that came out of my eyes. I


can't imagine at my young age I'd have to leave life so
soon. I can't even fulfill my small dreams like graduating
from school, going to college, working, getting married,
having kids… Arghh all those dreams now have to
disappear because of this light of life.

I immediately left the room and ran because I was really


really frustrated. I have to find a place that is really very
safe that can keep this light of my life from being
extinguished. A place where there is no danger at all. I
Pesan untuk Matahari | 172

kept running until I didn't realize a truck was going really


fast when I was about to cross a big road.

I thought I was dead at that time because the distance


between me and the truck was very close and I must have
been hit by the truck. However, I'm still alive and I keep
running away from all kinds of dangers. The streets are
not good for me right now, too many dangers lurk in the
dim light of my life.

I kept running and running until I came to an empty house.


The empty house where I used to live with my parents
because after the accident I lived with my grandmother
and grandfather and my house, which was intentionally
empty and not taken care of.

I entered the house and into my old room. My room is still


the same, there is still a mattress, cupboard and other
things. I went straight to my bed which was a little dusty
and cried profusely. Shouting why all this could be like
this and then raging ruffled the contents of my room until I
finally tired and fell asleep on the floor of my room.

When I woke up I was no longer in my old room but at my


grandmother's house. It was strange that it was still this
early in the morning but it sounded like a lot of people's
voices. There was also a lot of crying which made me even
more curious. I was surprised when I went into the living
room that many of my family and friends were there.
They were crying while taking turns hugging a corpse.
Pesan untuk Matahari | 173

I'm getting confused, who died and why I wasn't woken up


and notified if someone died. I looked closer and closer to
the figure of the corpse and I couldn't believe it was me. I
became the corpse and the light of his life was
extinguished, different from the light of the lives of the
people present today, which is still bright.

I was stunned to see my grandmother crying while


hugging my corpse tightly. Some people whispered to
explain that last night I was hit by a truck on the road and
died on the spot. No way, I think this is a dream. Yes, I'm
having another nightmare like last night. No… there's no
way I'm dead. I screamed as loud as I could until I lost my
voice and then everything turned dark and silent forever.
Pesan untuk Matahari | 174

Datang Untuk Pergi

Jam menunjukan pukul 5 sore, yang artinya lima belas


menit lagi perpustakaan akan ditutup. Semburat senja
sudah mulai memancarkan keindahannya hingga
mengenai gadis manis yang sedang duduk di pojok ruang
baca perpustakaan tersebut.
Maikha namanya. Gadis yang kerap mendapat julukan
kutu buku, gadis yang sangat menyukai novel sastra, dan
si pecinta hujan. Hobinya mendengarkan musik klasik saat
hujan jatuh.
Menyudahi kegiatannya membaca, ia pun melihat jam
yang menempel di dinding. Lantas mengemasi barang-
barangnya untuk segera pulang. Saat hendak berdiri dari
duduknya, matanya tak sengaja melihat seorang laki-laki
yang sedang mencari-cari buku di rak ujung ruangan.
Tersenyum senang saat mengetahui siapa laki-laki
tersebut, ia pun langsung bergegas untuk pulang.
Berjalan kaki menuju rumahnya adalah hal yang selalu ia
lakukan setiap kali pulang dari perpustakaan. Selain
karena jarak menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh,
menikmati senja juga menjadi alasannya. Namun tiba-tiba
semesta sedang tidak berpihak kepadanya, hujan turun
secara tiba-tiba dengan sangat deras membuatnya mau
tak mau harus menepi di salah satu toko yang sudah tutup.
Suasana menjadi dingin, angin yang berhembus cukup
kencang membuat Maikha memeluk tubuhnya sendiri.
Kaos lengan pendek yang ia pakai ternyata tak mampu
menahan dinginnya sore ini. Jalanan menjadi sepi, tak
banyak kendaraan yang berlalu lalang. Ia juga tak
Pesan untuk Matahari | 175

menemukan taksi yang lewat. Hingga sebuah motor


terparkir didepannya. Sang pemilik motor pun turun,
bajunya terlihat basah terkena air hujan. Membuat Maikha
terkejut setelah melihat wajah laki-laki tersebut.
Memilih untuk diam dan menikmati suasana dingin,
hingga sebuah pertanyaan membuatnya mengalihkan
pandangan,
“Dingin ya?”
“Ah, engga kok. Hehehe,”
“Lo yang tadi di perpustakaan kan?” tanya laki-laki
tersebut.
“Iya,”
“Gue kaya pernah liat lo. Lo anak SMA Padjajaran, kan?”
“Iya,” balas Maikha sambil tersenyum.
“Kenalin, Alan,” ucap Alan seraya mengulurkan tangannya.
“Maikha,” jawab Maikha sambil membalas jabatan tangan.
Alan namanya, laki-laki yang membuat Maikha jatuh hati.
Laki-laki incaran kaum hawa di sekolah. Laki-laki dingin
yang selalu mengabaikan sekitarnya. Terkadang Maikha
berpikir bahwa mana mungkin primadona sekolah
menyukainya atau sekedar mengenalnya yang notabenya
gadis tertutup dan tidak terkenal, gadis penyendiri yang
bahkan teman sekelasnya saja tidak pernah berbicara
dengannya. Gadis yang selalu dan selalu membaca tulisan
sastra dimanapun ia berada. Maikha hanya mengagumi
Alan yang kemudian berubah menjadi jatuh hati.
Pertemuannya dengan Alan sore itu membuatnya
mengenal sang primadona lebih dekat. Alan tidak sedingin
apa yang Maikha pikirkan, tidak juga se-cuek apa yang
Maikha lihat saat laki-laki tersebut bersama temannya.
Pesan untuk Matahari | 176

Alan mungkin tipe orang yang humble, itu yang Maikha


pikirkan.
Saling berteman, memulai kisah dan hal baru membuat
Maikha jatuh pada semua pesona yang Alan miliki.
Mungkin Maikha berpikir bahwa hanya dia yang jatuh
cinta pada Alan. Tetapi, tanpa Maikha sadari, Alan sudah
lebih dulu jatuh pada kepribadian Maikha.
Sudah sedari dulu, sebelum mereka bertemu di suatu toko
saat terjebak hujan. Sejak dulu, diam-diam Alan
memperhatikan Maikha, mengamati kegiatan apa saja
yang Maikha lakukan, walaupun hanya berdiam diri
sambil membaca buku. Diam-diam Alan juga jatuh hati
pada Maikha.
Apa yang Alan cari pada diri Maikha? Sedangkan di
sekitarnya banyak perempuan yang jauh lebih cantik
dibandingkan Maikha. Hampir semua perempuan yang
mendekati Alan terbilang sempurna, berwajah cantik,
terkenal, bahkan ada yang kaya raya. Mungkin jika
dibandingkan, Maikha tidak ada apa-apanya dibandingkan
para gadis yang selalu mencoba mendekati Alan. Maikha
hanya gadis pendiam yang suka membaca buku, bukan
gadis cantik banyak orang yang tahu.
Alan berkali-kali berkata kepada Maikha, “Gue suka
senyum lo, Mai.”
Berkali-kali Maikha bertanya alasan mengapa Alan mau
berteman dengannya, berkali-kali juga Alan akan
menjawab, “Ga ada alasan buat perempuan sebaik lo, Mai.”
Berkali-kali Maikha mencoba menghentikan rasa di
hatinya, namun berkali-kali Alan akan selalu mengejar
Pesan untuk Matahari | 177

Maikha. Alan akan selalu mengajak Maikha untuk berjalan


bersama. Selalu.
Bukan Maikha yang meminta, tetapi Alan yang selalu
memaksa dirinya untuk terus berada di sisi Maikha.
Berteman dengan saling memendam rasa bukanlah suatu
hal mudah. Mereka berdua terlalu takut untuk
mengatakan yang sebenarnya. Mereka terlalu takut untuk
saling kehilangan, karena nyaman dan bahagia sudah
terlalu abadi di dalam diri mereka masing-masing.
Hingga suatu ketika semuanya berubah, menghancurkan
hati Maikha. Selalu bersama bukan berarti selamanya,
bukan?
Sore itu,
“Ga kerasa ya kita udah lulus,” ucap gadis dengan rambut
dikuncir tersebut.
“Nanti malam jadi kan?” tanya Alan pada gadis manis di
sampingnya.
“Jadi dong,”
“Nanti malam kita berangkat bareng ya?” ajak Alan.
“Gapapa?” tanya Maikha tidak yakin.
“Gapapa, lah,”
“Oh iya, Mai. Besok pagi bisa tunggu gue di taman
biasanya?”
“Kenapa emangnya? Tumben,”
“Gapapa. Lo masih inget kan, janji dan rencana yang kita
buat sama-sama?” tanya Alan sambil merapikan rambut
Maikha yang terkena angin.
“Masih,”
Pesan untuk Matahari | 178

Sore itu semuanya terucap, membuat Maikha percaya


bahwa laki-laki yang berada di sampingnya tersebut
memang ingin menepati janjinya.
Hingga semuanya hancur. Membuat Maikha merasa
bahwa dirinya adalah orang paling tersakiti. Pagi itu, Alan
tanpa kabar menginggalkan Maikha begitu saja. Tiga jam
Maikha menunggu, namun ternyata tak kunjung datang.
Bukan seperti biasa, Alan yang Maikha kenal bahkan dia
yang akan menunggu Maikha. Bukan sebaliknya. Membuat
Maikha berpikir apa yang dimaksud Alan untuk
menunggunya selama ini, tetapi tak kunjung datang.
Hingga Maikha teringat ucapan Alan sore itu,
“Gue ga tau bisa apa engga, Mai,” ucap Alan yang
membuatnya bingung.
Ternyata, Alan pergi meninggalkan Maikha tanpa
pemberitahuan dan tanpa kabar. Perginya yang secara
tiba-tiba membuat Maikha merasa bahwa Alan
mengingkari semuanya. Semua janji yang ia janjikan pada
Maikha. Masih teringat jelas, kata-kata yang Alan ucapkan
dulu. Semua yang Alan janjikan semuanya hancur begitu
saja. Begitu pun dengan banyaknya rencana yang Alan
buat bersama Maikha. Membuat semuanya berubah.
Perginya Alan yang tak tahu pasti membuat Maikha
merasa kehilangan dan kecewa. Terlalu tiba-tiba. Dan
terlalu banyak kenangan yang tidak bisa dilupakan secara
tiba-tiba. Ternyata penantiannya selama 4 tahun sia-sia.
Alan tak kunjung datang ataupun sekedar memberi kabar,
membuat Maikha berhenti. Berhenti untuk semuanya.
Berhenti menunggu kabar dan datangnya Alan, berhenti
Pesan untuk Matahari | 179

mengingat-ingat kenangan masa lalu mereka, dan berhenti


berharap.
Nyatanya, waktu tidak benar-benar bisa menyembuhkan
luka. Empat tahun yang sia-sia cukup membuat Maikha
menderita. Hingga terlintas dipikirannya jika mana
mungkin Alan juga memikirkan dirinya. Alan cukup
membuat hati dan pikiran Maikha berantakan.
Ternyata sesakit itu mencintai sesorang dalam diam. Dan
sesakit itu rasanya jika diberi harapan, tetapi malah
dipatahkan. Jujur mungkin bukan salah satu cara untuk
menghentikan perpisahan, tetapi jika jujur mungkin tidak
akan ada terciptanya cerita dan kenangan. Semuanya
serba salah. Terlalu rumit hanya untuk memikirkan kisah
cinta, apalagi secara diam-diam. Perpisahan memang
selalu menyakitkan. Akan selalu begitu.
Pesan untuk Matahari | 180

Losing U

Suara rintik hujan terdengar begitu jelas di sore ini. Tidak


seperti biasanya, kali ini hujan turun tidak begitu deras
namun terhitung lama. Matahari pun masih setia
memancarkan sinarnya walaupun bersamaan dengan
turunnya ciptaan Tuhan yang membuat jalanan menjadi
basah. Langit masih mau diajak bekerja sama untuk
membuat indah sore ini hingga memunculkan karya
Tuhan yang luar biasa. Semburat sinar cahaya muncul
menimbulkan warna jingga yang sangat cantik jika dilihat.
Sore ini Tuhan menurunkan hujan dengan perasaan
bahagia hingga membuat siapapun yang melihatnya
terpana.
Sudah sekitar 20 menit namun belum ada tanda-tanda
berhentinya hujan membuat Nada terjebak di salah satu
halte. Hanya ada dirinya yang berteduh di halte tersebut.
Jalanan kali ini tidak terlalu ramai, mungkin karena hari
Minggu ditambah lagi hujan membuat orang-orang
berpikir lebih baik dirumah sambil menikmati secangkir
teh hangat.
Mengabaikan sekitarnya, Nada lebih memilih menikmati
suara rintik hujan dan aroma tanah yang basah sambil
menatap senja yang sangat rugi jika dilewatkan begitu
saja. Hingga seseorang yang memarkirkan motor di
depannya mengalihkan perhatiannya. Laki-laki tersebut
lantas turun dan berlari menuju halte untuk berteduh,
mengabaikan motornya yang basah terkena air hujan.
Laki-laki tersebut tampak mengusap-usap pakaiannya
Pesan untuk Matahari | 181

untuk menghilangkan sedikit air yang telah mengenai


pakaiannya walaupun percuma tidak bisa kering.
Memilih untuk menikmati sore, Nada menghiraukan laki-
laki yang duduk disebelahnya tersebut. Hingga sebuah
pertanyaan membuatnya mengalihkan atensinya.
“Udah lama, Mba?” tanya laki-laki tersebut berniat untuk
memecah keheningan.
“Udah, Mas,”
“Sendirian aja dari tadi?” ucap laki-laki tersebut sambil
mengusap-usap kedua tangannya agar hangat.
“Iya. Mas,” jawab Nada seadanya.
“Habis dari mana?” tanya laki-laki tersebut setelah melihat
sebuah kantung kresek yang Nada pegang.
“Dari toko buku,” ucap Nada yang dibalas anggukan oleh
laki-laki tersebut.
“Kenalin, Arka,” ucap laki-laki tersebut bernama Arka
sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Udah anget kok. Hehehe,” ucap Arka karena tangannya
hanya ditatap.
“Nada,” balas Nada sambil menerima jabatan tangan Arka.
“Kuliah dimana?”
“Masih SMA,” balas Nada sambil terkekeh pelan.
“Oh maaf. Gatau,” ucap Arka sambil menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal.
“Sekolahnya dimana?” lanjutnya bertanya.
“Di SMA Djuanda,”
“Mas-nya, kuliah?” tanya Nada balik.
“Ah enggak. Masih SMA juga kok,”
Pesan untuk Matahari | 182

“Ngomong-ngomong, jangan manggil mas. Berasa tua,”


ucap Arka terkekeh yang hanya dibalas anggukan dan
senyuman oleh Nada.
Hingga akhirnya mereka pun saling berbicara sampai tak
menyadari bahwa hujan sudah tidak turun lagi dari
beberapa menit yang lalu.
Pertemuannya dengan Arka sore itu masih berlanjut
hingga ia mengetahui banyak tentang laki-laki tersebut.
Mereka berdua memutuskan untuk berteman, hingga kata
teman berubah menjadi ‘sahabat’.
Dua tahun mengenal Arka membuat Nada tahu bahwa
hidup masih terus berjalan. Arka memberikan banyak hal
tentang apa itu ‘hidup’ versi dirinya. Bagi Nada, Arka
adalah pelindungnya. Arka selalu ada setiap ia
membutuhkannya, Arka selalu datang saat ia berkata ingin
bertemu, dan Arka selalu ada disisinya setiap ia
melakukan apapun. Bagi Nada, Arka seperti sayap
untuknya, yang ia akan jatuh jika laki-laki tersebut tidak
ada disampingnya.
Menurut Arka, Nada selalu ada untuknya. Nada yang
mengajarkannya apa itu ‘hidup’ dan bagaimana cara
menjalankannya. Nada yang memberi tahunya bahwa
hidup masih terus berjalan. Nada yang memberikan
kehidupan untuknya. Nada yang selalu ada saat ia merasa
hilang, Nada yang selalu ada saat ia mulai kehilangan arah,
dan Nada yang selalu ada saat ia merasa bahwa semuanya
begitu jahat. Nada akan selalu ada untuknya.
Jika bagi Nada, Arka adalah sayapnya. Maka bagi Arka,
Nada adalah rumahnya. Tempat ia pulang sesungguhnya.
Tempatnya merasakan apa arti kehidupan. Tempat dan
Pesan untuk Matahari | 183

tujuan akhirnya dalam hidup. Hingga ia lupa kalau kata


‘rumah’ hanyalah sementara.
Jahat jika Arka memaksa Nada untuk terus menjadi
rumahnya. Jahat jika Arka menjadikan Nada landasan
untuknya hidup. Karena katanya,
“Aku ga akan pernah bisa hidup kalau tanpa kamu. Ga
akan, Nad,”
Terlalu menganggapnya menjadi rumah, membuat Arka
melupakan hal jika Nada juga manusia. Nada juga manusia
yang sewaktu-waktu akan pergi. Entah itu keinginan atau
takdir Tuhan.
Arka hanya tertuju dengan kalimat,
“Jangan pernah pergi ya, Nad. Aku ga bisa hidup tanpa
kamu,”
Sampai ia lupa jika kalimat,
“Aku akan berusaha hidup tanpa kamu,”
Ternyata lebih penting dari apapun itu.
Arka melupakan hal jika mereka hanya sebatas ‘sahabat’.
Arka masih mengingat dengan jelas kalimat yang keluar
dari bibir mungil milik gadis manis itu.
“Tunggu ya, Ar. Tunggu aku sembuh. Nanti kita lihat senja
bersama lagi,”
Hingga kalimat tersebut hanya sebatas kalimat yang tak
kunjung menjadi kenyataan.
Arka masih mengingat dengan jelas hal yang selalu
mereka bicarakan setiap sore, setiap senja ingin
berpamitan pada semesta. Di tempat yang selalu sama,
dan dengan orang yang selalu sama.
Pesan untuk Matahari | 184

“Nad, kamu kenapa suka banget sama senja? Padahal


kalau diliat-liat cuma warnanya aja yang bagus,” tanya
Arka pada gadis berambut hitam legam tersebut.
“Kamu salah satu dari banyaknya orang yang suka lihat
dari sampulnya aja, tanpa tau makna dari sebuah sesuatu,”
jawab Nada dengan mata yang masih setia menatap
goresan indah Tuhan.
“Emang senja punya cerita?”
“Punya. Senja mengajarkan kita bahwa yang indah hanya
sementara. Senja juga menyadarkan kita kalau setiap
pertemuan pasti ada sebuah perpisahan. Perpisahan
seperti saat cahaya Tuhan yang paling indah itu perlahan
hilang dan tak terlihat lagi di bumi, seperti mengatakan
perpisahan pada semesta,”
“Senja juga mengajarkan kita bahwa jika kehilangan itu
menyakitkan. Seperti hal-nya kita akan sedih ketika sudah
melihat senja tenggelam dan tak terlihat lagi. Dibalik
indahnya senja, ternyata juga menyakitkan jika sudah
menghilang,”
“Kalau kata-kata yang cocok dari kisah senja untuk kita,
mungkin seperti ini, ‘kita selalu merasa senang saat
bertemu sampai lupa jika perpisahan akan lebih terasa
menyakitkan’.”
Kisah senja yang diceritakan oleh perempuan yang tak
kalah indah dari senja untuk lelaki yang selalu
bersamanya. Namun, kata selalu bukan berarti selamanya,
bukan?
Jahat jika Arka mengatakan bahwa Nada telah
menghianatinya. Nyatanya gadis tersebut tidak pernah
menjanjikan hal apapun kepada Arka.
Pesan untuk Matahari | 185

Jahat jika Arka mengatakan bahwa Nada telah berbohong.


Karena nyatanya gadis manis tersebut pun tidak tahu
kapan kisah hidupnya akan usai.
Nada meninggalkannya sendirian di tengah orang-orang
yang bahkan menganggapnya tidak ada. Nada yang ia
anggap rumah dan tujuan untuknya hidup sudah tidak
ada. Lantas bagaimana Arka melanjutkan hidupnya tanpa
tujuan? Tanpa rumah sebenarnya? Dan tanpa ada seorang
Nada?
Kehilangan Nada menjadi hal yang paling Arka hindari dan
takuti. Tapi nyatanya, ingin seberapa keras Arka meminta
dan berdoa, takdir memang tidak dapat diubah. Takdir
dan semesta memang tak mengizinkan mereka untuk
terus bersama selamanya. Hingga membuat Arka harus
kehilangan separuh nyawanya. Takdir memang
sebercanda itu.
Pesan untuk Matahari | 186

The Tricky Tragedy of Mind


Author: Mahdavi Alireza Nezarati

The day went by so fast. It's always this way. The


moment fate gives me something to stress about, time just
suddenly decides to move faster. Or me slower. On top of
that, I am a literal slow mover to begin with. All the
workshops, seminars, and motivational video about being
an effective person, those are all nonsense. The process is
just so unrealistic, it's preposterous. From zero to hero in
a single seminar, that's some straight out of a movie stuff.
Hate to break it to anyone, this is real life. Nothing
amazing is going to happen here. Just like how I walk
through these school corridors to go home after school,
nothing amazing is happening. I live pretty close to school,
so walking is an option for me. I always admire my friends
who actually make the effort of riding so far away from
home to just be served facts from books they all have.
Regardless, it was the real high school experience and I do
feel kind of left out on that. The feeling of riding together
even though you're not actually interacting, it's pretty
nice. But today, I’m glad I’m not riding to school.
The clouds are trolling. Feels like the universe is
holding me at bay in the school lobby. Rain just keeps
coming and going. I'm forced to contemplate all my actions
today. The haha, the huhh, and the mehh. But of course,
the one thing that keeps popping up is the one that I am
desperately trying to forget. Who would've thought a
single text can got me stunned this hard? How funny
Pesan untuk Matahari | 187

would it be if the one I’m trying to avoid actually shows up


behind me?
The rain stops. For good, I think. Time to wet my
shoes and head for sanctuary. Just as I about to make my
first step, the scent of cheap yet classy perfume marks its
presence in my nervous system. My first reaction to this is
of course play dumb and head straight out of the school
gate.
"Riyan," shout the cheap classy perfume girl
I am forced to turn around and face reality.
"Anien," me reacting with the first thought that
come to my head.
"Where are you heading?" Anien asks with a smile
on her face.
"Ummmm, Home," I answer.
She approaches me, I can feel her disappointment.
But somehow, the smile on her face refuses to fade. In fact,
it was getting neater.
"Azer didn't tell you we're going to hangout
today?" she asks
"Umm no, you mean now?" I respond.
"Yeah, so are you coming?" she asks with a curious
face
I'm cornered. I don't really have any excuse right
now and she can see that. Sometimes I wonder what's
happening behind that innocent looking face. Does she
know what I’m processing right now? Poor girl doesn't
know what she's walking into.
"Are you coming or not?" she repeats herself with
a more annoyed tone and her smile is no longer.
Pesan untuk Matahari | 188

"Ummmmm," me trying to annoy her even more.


"See, you're such a sloucher. If only you actually
work just a little bit for the Olympiad, you would've been
on a billboard right now" she responds with a very hurtful
jab.
"If only we didn't hangout and actually study when
we planned to study together," me trying to cover my pain
from her previous respond.
A smile broke out of her face again. The curves, the
wrinkles, the asymmetry, nothing is unworthy of my sight
and memory.
"Don't you dare put your failures on me, so are you
coming or not?" she asks again
"Maybe, but I’ll go home first to bring my laptop
back" I respond
"Okay, we'll be waiting at Mythic" she says with an
excited voice
"See you then" me smiling and ending our
conversation
That was a lie. All of it is. I don't plan to see her at
Mythic, the infamous spot for bad boys and popular kids. I
don’t even carry a laptop with me. My plan is to just go
home and make some urgent stuff up as an excuse. I also
got a text from Azer to hang out with the Olympiad team
and he said something is going to happen, but I chose to
ignore it. Had I been riding a motorcycle, Anien would
have had an excuse to go with me and I don't think I can
cope with the feeling of being so close to her.
The roads are shorter than usual. As if the feeling
of temporal warp is not enough to fuel my stress. I can’t
Pesan untuk Matahari | 189

feel the wet atmosphere caused by the rain. I can’t feel the
wind that’s causing the sight of dancing trees. Nothing is
coming to my avail, not even the roads I hold most dear.
The same roads I navigate through with her for a thousand
times. With the girl that magically appeared and put a
permanent disturbance in me. I was a nobody to anyone.
Then this girl swooped in out of nowhere, like she knew
me from a past life, like she knew I was meant to be in her
life. I hated it. I remembered all my thoughts were “I don’t
want this”, “I don’t ask for this”, “I don’t ask for you.”
However, even the firmest of all will fail. I guess I was no
exception. Never would’ve thought the perceived eternal
feeling of annoyance can transform into something so
curious and beautiful. The girl who has everything and me.
Why? We were so different, but we were each other. I
know her like I know all the bones in my body. She never
told me how She feels for me. I never did, we just connect.
Besides, all is well.
All was well. Now, as I reach home the only
thought I have is “Now or never.” Taking off my jacket and
letting go off my backpack never felt more relieving. All is
well. As much as I want that to be the case, it’s not. All was
well, before He showed up. The brilliant transfer, Farhan.
Automatically assigned to the Olympiad Team by the
teachers without a selection process. Automatically
causing a shift in the team. The shear amount of time we
spent as a team was enough for him to develop something
for Anien. It got me thinking, maybe I don’t deserve to feel
this way to her. Nobody knows the connection between
me and her. Cause apparently you need to put a status in
Pesan untuk Matahari | 190

everything to express it. Farhan is about to state his status


to her. That’s what Azer told me and all the team members
in the text. Well, except her.
For some reason, the house doesn’t feel like home.
I’m longing for something and it’s not here. I mindlessly
grab my jacket and make my first step towards Mythic.
Now or never. The thought that mainly drives all my
current movement. I still don’t know what I am supposed
to do. I don’t know what I am going to do now or never
going to do. After a quick wet walk, Mythic is finally in
sight. I stopped myself. Wondering why I didn’t want to go
here at first. A quick glance towards the café reveals
nothing. I can’t see my teammates through the window,
they must have seated themselves in the back. I still have
no idea what to do. The more I think about it, the more
clueless I become. While I endlessly search for answers, a
pair of high schoolers came out the front door. One is
ready for a declaration, the other a response. I hide myself.
Observing from a far, wondering what’s going on behind
that innocent looking face of hers. Now or never. I guess
it’s never, whatever it is.
The roads to my house are going back to normal. I
can feel the wind passing through me very strongly. But
then, it feels like I’m returning home with more questions
than when I left. What was I so afraid of? What did she
say?
Who am I kidding? I know exactly what she said. I
know her like I know all the bones in my body. She’s
someone that holds a person very dearly. She’s someone
that knows exactly what she wants and actually work for
Pesan untuk Matahari | 191

it. And with me, she worked for it. I always know that. I
know that all along. Then, if it’s something so absolute,
why did I even go? This is how it all began. The endless
meaningless thought process that never actually came to
be. The unfathomable emergence of questions
accompanied by the wet atmosphere really intensifies the
sight of dancing trees. The scent of wet leaves slowly
switches to a vague scent of cheap classy perfume. I stop
and turn around. And there she stands. Frozen. I can
finally see her the way she deserves to be seen. I can see
her asking a lot of me. She approaches with eyes so clear
and intentions so firm.
“All I want is You.”
Pesan untuk Matahari | 192

Bittersweet
Mariana Putri

Aku berterima kasih pada semuanya, terlepas dari apa


agamaku. Mulai dari direk ambis yang memperalat bocah
ini 17 tahun lalu, hingga pada usia yang
mendewasakakanku, untuk banyak kesempatan yang
telah mengizinkannku memasuki Aristoteles, juga untuk
kakekku disurga yang mengajarkanku bagaimana hidup
sebagai mana manusia, dan untuk kehaluan yang menjadi
bahuku, serta untuk keluarga yang menjadi curam dasar
pengakuan, aku menyangimu.
****
Aku lahir pada keluarga kecil yang hidup ditengah hiruk
pikuk ibu kota. Terlahir sebagai anak ketiga dari 2
bersaudara. Tumbuh dewasa bersama setengah manusia
yang menganggap aku dan Irene tak seharusnya bersama.
Aku juga bukan orang yang taat pada Tuhan, namun aku
percaya bahwa setiap tindakakan akan membawa balasan.
Aku percaya apa hukum alam, karena menurutku setiap
kata menyimpan perubahan.
Irene dan aku terlahir tak terpaut jauh, karena aku terlahir
ketika Irene terjatuh. Sejujurnya Irene adalah inpirasi dari
setiap resiko yang terlampaui.
Aku meyakini bahwa didunia ini terdapat seseorang yang
terlahir pintar seperti Irene dan seseorang yang berjuang
untuk pintar sepertiku. Bukan salahku jika aku terlahir
bodoh, karena juga aku tak pernah memilih bagaimana
orang tua yang akan menemaniku mengarungi dunia.
Pesan untuk Matahari | 193

Terkadang aku berpikir kenapa aku sedikit berbeda dari


gen keluarga ini. Ayahku adalah dokter yang pernah
menjadi lulusan terbaikan fakultasnya yang menyadangan
banyak gelar, Ibuku adalah dosen favorit pada fakultas ia
bekerja, dan Irene yang nyaris sempurna.
Senin, 27 maret adalah kekalahan telak yang ku terima.
Kita, aku dan Irene duduk pada sebuah bangku
menghadiri acara relasi dengan gaun selaras yang terlihat
beda kelas. Hari ini Irene menerima penghargan untuk
olimpiade matematika, bahasa serta kesempatan
berpidato yang disaksikan langsung oleh aparatur negara.
Irene adalah topic utama malam panjang ini. Aku?
Aeryline Gentas Mahadikari.
Aku dan Irene selalu berada dikelas tambahan yang sama,
namun bakat yang dimiliki sangat berbeda. Hanya satu
kelas yang membuatku berpisah dari Irene, aku untuk
sastra korea dan Irene untuk sastra inggris. Sejak Irene
kecil, saat ia marah ataupun bahagia maka piano adalah
mediator emosionalnya, dan untukku tidur adalah obat
terbaik.
****
Kurir itu datang lagi dengan dua paket yang serupa namun
tak sama, satu berisi buku materi dan satu lagi berisi buku
album. Memiliki harga dan makna yang berbeda untuk
kedua pemiliknya, jika bagi Irene buku itu adalah kunci
kesuksesannya maka untukku buku itu adalah sumber
bahagia.
Bahkan saat dinding kamar Irene dipenuh foto
penerimaan penghargaan, sertifikat, dan piala. Dinding
kamarku yang penuhi poster, album box dan meerchandis
Pesan untuk Matahari | 194

itu adalah kegagalan bagi keluarga. Jika Irene menghafal


seluruh filsafat dan penemu dunia mungkin aku menghafal
apapun yang berhubungan dengan korea. Saat Irene
bertekad untuk mendapat beasiswa kedokterannya, yang
ku lakukan hanya menonton serial drama.
Saat itu musim ujian berlangsung melelahkan. Banyak hal
yang sedang dipertaruhkan, mulai dari hasil ujian hingga
pada mentalitas akan angka penilaian. Bahkan jika aku
mendapat hasil lebih dari sebelumnya itu akan terlalu sia-
sia bagi seseorang yang menganggap matematika, fisikia,
kimia dan biologi adalah definisi pintar sesungguhnya.
Dari ribuan orang tua, orang tuaku adalah satu dari sekian
orang yang menghendakkan sebagaimana keinginannnya,
bukan bedasarkan kemampuan anak-anaknya.
****
Jika kalian berfikir aku benar-benar bodoh dan beban bagi
keluarga, tolong cermati setiap ilusi ini. Dan dalam laman
ini aku tak akan banyak membawa nama Irene karena aku
juga kesal dengannya, bahkan jika diizinkan untuk
menggunjing aku akan melakukannya.
Aku menyukai hal yang berbeda, aku melawan keras kata
pintar matematika, fisika, kimia, biologi dan segala hal
yang berhubungan dengannya karena kalian harus tau
bahwa banyak cara menuju Antartika. Aku menyukai
sejarah dan teori tapi juga tak menyukainya saat harus
menumpang tindahkan segala hal. Aku lebih berpikir
secara logis dari pada terpaku pada buku. Aku lebih suka
mengutarakan pendapat secara harfiah dari pada
gramatikal. Dan aku akan menyukainya saat aku
menyukainya.
Pesan untuk Matahari | 195

Aku bahagia saat menyelesaikan series atau film dengan


banyak kosa kota dan pemikiraan yang terbuka. Aku
bangga pada hasil akhir lukisan yang dianggap tak
berguna tetapi memilik filosofis sebuah karya. Aku
tentram saat menikmati music diujung jendela dengan
terpaan angin halus seakan berkata semua baik-baik saja
karena apapun yang terjadi adalah bagian puzzle yang
berkelana mencari tempatnya.
Aku tak tau mengapa banyak orang mengansumsikan
bahwa membeli apapun yang berhubungan dengan kpop
adalah hal tak berguna, karena bagi kita itu adalah
investasi tanpa resiko yang pernah ada. Jika kalian
menganggap itu hanya kertas mungkin kalian harus
membaca skala lima tahun kebelakang tentang
perkembangan kpop, aku melas menampar dengan visual
karena aku yakin kalian bisa membaca pada google yang
kalian percaya.
Hari-hari panjang yang ku lalui pasti akan menentukan
kearah mana aku berjalan. Saat aku menyukai kpop aku
berpegang teguh pada apapun yang berhubungan dengan
sebuah perusahaan sesuai kemampuan.
Saat merasionalkan ekonomi, aku belajar tentang
akuntasi berharap akan posisi manajer keuangan. Saat aku
mengisi sebagian waktuku untuk menggambar, saat itu
aku mengulik fashion designer berharap menjadi bagian
styles atau perancang busana ternama. Saat aku menyukai
music, saat itulah aku mulai menulis lirik, mengenal nada,
instrument, dan vocal berharap menjadi bagian music
kpop entah debut sebagai idol atau writer. Saat sebagian
besar bertanya mengapa korea, aku akan menjawab
Pesan untuk Matahari | 196

mungkin sama hal saat aku bertanya mengapa Indonesia


adalah paru-paru dunia.
****
Hari ini aku menceritakan kisah ini sebagai guest erline
company owner. Mengatakan banyak hal seakan hidupku
memang penuh lika liku dan tantangan, tetapi aku disini
sebagai owner dengan hal tak berguna yang menjadi
kenyataan. Aku jadikan semua gambar itu sebagai fashion
sketsa, ku jadikan musikku sebagai lebel music ternama,
ku realisasikan akuntanku untuk membangun kerja sama
dan ku gunakan sastra korea untuk menggaet lelaki manis
berparas yang duduknya saja terlihat sempurna diujung
sana.
Kalian bebas bermimpi sejauh mata memandang bahkan
sesuatu yang tak terlintas pada pikiran. Kalian boleh
membuat rencana sesempurna mungkin. Kalian boleh
berharap setinggi yang kalian ingin. Selagi kalian mampu
membuat keinginan itu menjadi kenyataan kalian bebas
mengharapkannya, yang kalian perlukan hanya tekad, niat
dan usaha. Semua itu dapat tergapai kecuali jika kamu
berharap mendapat sapaan lewat real live bukan vlive itu
adalah pemaksaan kehendak Tuhan. Hidup ini tak selama
menyedihkan dan tentang kesendirian kita hanya perlu
menunggu sejauh mana kita mempertahankan.
Last but not least untuk tujuh pangeran dan empat
bidadari yang meski hadirnya tak nyata, tetapi
karakternya mampu menyembuhkan semangat yang
nyaris punah, terimakasih.
Pesan untuk Matahari | 197

MUARA
Oleh: Muhammad Ghoni Hakiki

Hawa panas di kota ini tidak pernah lelah singgah. Selalu


ada. Di pasar, sekolah, jalan, lorong gang sempit, di
manapun kau berada, panas ini juga akan selalu ada.
Mungkin juga ada pada jiwa yang semangat, atau mungkin
di dalam diri yang sedang sekarat.

Di kejauhan terlihat seorang bocah berjalan tanpa alas
kaki, terseok-seok, aku mendatanginya.
“Siapa namamu, Nak?”
“Christal Balad, Paman. Bolehkah aku meminta segelas air
untuk minum, hawanya panas sekali.”
Aku tahu bahwa hawa panas yang ia tanamkan dalam
kalimatnya hanya alibi. Ia sebenarnya sangat kelelahan.
Sebagai laki-laki, harga dirinya akan tercoreng jika
menggunakan lelah sebagai alasan. Tapi aku suka sikap
dan tatapan matanya. Raganya mungkin terlihat sangat
ringkih dan kelelahan, namun matanya menyerukan
keangkuhan dan keteguhan hati. Seolah berkata “Aku
tidak akan kalah darimu, dunia.” Dan kelak Ia akan
membuktikannya. Sebagai seorang pria perkasa, yang
tidak pernah kalah.
Ku sodorkan sebotol anggur merah oplosan yang baru saja
ku curi dari toko Haji Taslim.
“Aku cuma punya ini, bagaimana?”
“Anak seusiaku tidak boleh meminumnya, paman.”
“Omong kosong.”
Pesan untuk Matahari | 198

“Seseorang yang aku hormati mengatakannya padaku,


tidak mungkin itu omong kosong belaka.”
“Oh, oke. Jika kau tidak meminumnya, mungkin kau akan
mati kehausan. Dan kau tidak akan pernah bertemu
dengan orang itu lagi.”
Tanpa pikir panjang,
“Aku tidak akan mati!”
Botol anggur yang tadinya ku genggam, pindah ke
tangannya. Kehidupan dalam botol, mengalir ke dalam
darahnya. Aku memandang langit, “Lelucon apalagi ini
Tuhan?”

Suasana warung kopi Pak Kodrat waktu itu ramai seperti
biasanya. Cuaca yang selalu panas, pengeras suara tua
yang sejak pagi mengulang-ulang lagu itu-itu saja, ocehan
orang-orang udik, dan aroma kopi tubruk khas Jawa
berbaur menjadi satu, seperti biasanya. Lalu tiba-tiba,
“Grobyak!” Chris terkapar di lantai. Pingsan. Entah apa
yang membuatnya lari seperti kesurupan, ngawur
mengadu kakinya dengan kaki meja, dan dengan
serampangan menghantam tubuh kokoh meja yang lain
dengan kepalanya. Membuat segala bangunan non-
permanen, sepeti: gelas, botol, dan piring yang ada di
atasnya berhamburan jatuh ke lantai. Dan cukup untuk
membuat Chris tersungkur tak sadarkan diri.
Pesan untuk Matahari | 199

TUHAN, BANTU AKU MENAHAN


Oleh: Muhammad Ghoni Hakiki

Sudah empat tahun kulalui hidup tanpa ada lagi


satupun napas lelaki yang akan hangat menggerayangi
raga ini. Sejak saat awal mula empat tahun lalu,
perkataannya yang kuanggap hanya suatu bualan, kian
nyata besar dampaknya bagiku kini. Keluargaku, keluarga
macam apa ini? Putra semata wayangku, ia begitu berbakti
hingga tiada perlu aku hadirkan saudara baginya. Ia juga
pernah berkata padaku saat kami di ruang keluarga.
“Cukup aku Bu. Aku akan merawat Ibu sampai akhir hayat.
Janji.” Perkataannya cukup membuatku puas. Kurasa
suatu keberhasilan awal dalam mendidik anak nampak
begitu jelas muncul melalui lisan lelaki berusia empat
tahun itu, putraku. Namun, dalam perjalanan empat tahun
masa sialku. Ragam resahku kian mengakar dalam
keluargaku. Aku ingin punya bayi lagi. Rahimku ingin kuisi
kembali. Tapi bagaimana?
Suamiku seorang juru tulis di suatu perusahaan.
Tak ada yang lebih tekun darinya hingga mampu
mencukupi hidup kami. Tak ada yang lebih sederhana
darinya hingga kecukupannya tak berani kucampuri
dengan mauku. Tak ada lagi yang lebih sabar darinya
hingga tak berani lagi kubantah dengan egoku. Tak ada
yang lebih teguh darinya hingga terasa meresahkanku.
Tak ada yang lebih cinta darinya hingga cukup kujaga
segala hal untuknya. Ia akan selalu tau bahwa aku begitu
mencintainya. Ia akan selalu rasa bahwa aku tak akan
pergi melewati batas-batas larangan dan akan senantiasa
Pesan untuk Matahari | 200

menuruti titahnya. Ia akan terus menjagaku, menjaga


keluarganya dari segala ancaman. Namun, kini, yang
kurasa justru ialah yang mengancam keharmonisan
keluarga kami. Janji yang terucap oleh lisannya pada suatu
pagi, pada momen pernikahan kami, memang benar tak
terpatahkan. Ia membisikkan janji padaku bahwa ia tak
akan pernah memutus ikatan kami dengan kalimat talak.
Namun, sikapnya yang bermula sejak empat tahun lalu,
kini kian membuatku resah setiap hari, resah di setiap
malam.
Aku yang salah, namun saat rasa bersalahku
muncul—ia justru mengambil sikap dan melanjutkannya
hingga kini. Dulu ia begitu tergila-gila dengan tubuh ini.
Matanya seakan tak pernah melihat wanita lain selain aku.
Matanya seakan selalu terjaga dari melihat wanita selain
aku dan keluarganya. Bahkan saat kami dikaruniai
seorang putra, suamiku tak sedikitpun berubah kala
memandangku. Aku yakin, ia begitu mencintaiku.
Melayani hasrat seksualnya merupakan suatu
kewajiban bagiku, namun salahkah aku mengungkapkan
kekesalanku padanya karena ia seakan tak pernah lelah di
setiap harinya. Sedangkan aku, tubuhku tak cukup
tangguh. Kupikir ikatan antara kami tidak hanya perihal
hubugan badan. Mengapa ia tak pernah mengambil jeda
ketika aku berkata bahwa aku lelah? Hingga tiada lagi
pilihan kecuali menggungkapannya dengan tegas yang
melebihi suara ajakannya. Kini, setiap aku mengingatnya,
selalu muncul pertanyaan dalam kepalaku, “Masihkah aku
yang salah?”. Kemarahannya waktu itu tampak dari raut
mukanya. Nampak rasa kecewa dan amarahnya tersimpan
Pesan untuk Matahari | 201

dalam diamnya. Hingga ia tetapkan suatu jeda untuk


waktu yang tiada pernah kuduga.
“Istriku, akan ku talak engkau bila aku kembali
menggaulimu.”
Aku percaya ia akan membatalkannya suatu saat
nanti. Melihat kesetiaannya, aku percaya bahwa
perceraian tidak sebanding dengan memilikinya dalam
suatu ikatan dan dengan melayaninya dalam keseharian.
Aku yakin masih akan ada fajar bagiku usai mata hariku
tenggelam.
Pesan untuk Matahari | 202

Perjalananku ke Loa Kumbar

Hari ini teman ku ingin datang untuk bertamu dan


bermain bersamaku. Nama Ardana hampir sama dengan
namaku, yaitu Perdana. Kami sudah berteman sejak masa
putih biru yang sudah kami lalui sekitar 5 tahun yang lalu,
mungkin dia rindu ingin bertemu dan bermain bersamaku.
Aku suruh dia untuk mengabariku apabila sudah di depan
rumah.
"Hallo, Dan aku sudah didepan rumahmu nie!." Ujarnya
mengirim pesan melalui handphone,
"Oke siip, sebenter aku keluar." Balasku pesannya sambil
berjalan keluar rumah.
"Widih bro, sampai juga akhirnya. Udah lama kh sampai."
Ucapku dengan rasa gembira.
"Yoi bro, gak baru aja!." Jawabnya dengan senyuman
gembira.
"Oke siap, ayo silahkan masuk kita ngobrol didalam"
ujarku dengan keramah-tamahan. Kami berdua masuk ke
dalam rumah untuk mengobrol, banyak sekali cerita yang
ceritakan dan prihal yang kami bicara kan. Tapi ada suatu
tempat dalam ceritanya yang belum ku ketahuai dan
membuaku tertarik ingin mengunjunginya, yaitu Loa
Kumbar. Selamat ini aku tidak tau dimana Loa Kumbar itu,
bagaimana daerahnya, bagaimana masyarakat
didalamnya, apa usaha penduduknya, seperti apakah Loa
Kumbar itu.
"Dan, aku mau tanya kamu tadi ada menyebutkan nama
Loa Kumbar. Dimana itu?." Ujarku dengan rasa ingin tahu.
Pesan untuk Matahari | 203

"Lah kmu gak tahu kah?, besok aku mau ke Loa Kumbar
mau ikut nggak?. Ujarnya bertanya kembali kepadaku.
"Nggak tau!, ayok gass... aku mau ikut!." Jawabku dengan
penuh semangat dan rasa ingin tahu.
"Ayok besok ya gaskan, besok kesana sama Hikmah juga
temanku. Dia tinggal disana jadi enak kita ke Loa Kumbar
ada orang dalam!, hahaha... " ucapnya sambil tertawa
bercanda bersamaku.
"Ahsiap ada orang dalam enak tu puas keliling Loa
Kumbar, hahaha.. " Jawabku sambil tertawa membalas
candaan Ardana. Kami sangat gembira bisa bercerita
banyak hal dan bercanda tawa bersama, rasanya sudah
lama kami tidak seperti ini. Ardana pun menginap
dirumahku untuk malam ini dan kami dapat melakukan
banyak hal yang ingin kami lakukan.
Keesokkan harinya, kami pun berangkat menuju
Loa Kumbar. Ternyata untuk ke Loa Kumbar kami harus
menyeberangi sungai Mahakam, tidak memerlukan
banyak waktu untuk menyeberang hanya butuh waktu 5
menit kami sudah tiba di Loa Kumbar. Setibanya disana
kami langsung disambut dengan hangat oleh Hikmah.
Hikmah adalah gadis cantik yang ramah dan ramah selalu
tersenyum dan kalau ditanya sangat sopan dalam
menjawab. Dia gadis asli Loa Kumbar, Hikmah lah yang
akan mengajak kami jalan-jalan keliling Loa Kumbar.
"Hai! teman-teman, gimana kabar?" ucapnya dengan
senyuman hangat ekpresi ceria.
"Hai juga!, alhamdulillah baik mah. Kalo kamu gimana
kabarnya?." jawab kami dan bertanya kembali dengan
membalas senyumannya.
Pesan untuk Matahari | 204

"Alhamdulillah baik juga, katanya kalian hari ini mau


keliling Loa Kumbar ya ." Tanyanya kepada kami.
"Iya Mah, kami mau keliling Loa Kumbar!. Oya Mah ini aku
kenalin temanku namanya Perdana!. " jawab Ardana
sambil memperkenalkanku kepada Hikmah.
"Iya kenalin nama aku Perdana!." ucapku dengan sedikit
malu.
"Iya kenalin juga nama aku Hikmah, senang bisa
berkenalan sama kamu." ucapnya sambil terseyuman
manis.
"Aku senang bisa berkenalan sama kamu. Aku mau tanya
Mah!." balas dengan senyuman dan ingin bertanya
kepadanya.
"Iya silahkan, mau tanya apa?." jawabnya dengan ramah.
"Loa Kumbar ini desa atau kampung, terus mayoritas
disini penduduk nya suka apa?." Tanya ku dengan rasa
ingin tahu.
"Baik aku jawab ya, tapi sambil jalan kita keliling. Jadi Loa
Kumbar itu adalah sebuah Desa dan mayoritasnya suku
Bugis!." jawabnya dengan santai sambil berjalan untuk
berkeliling.
"Oya jangan heran ya kalau kalian banyak dilihatin orang,
karena kalian orang baru yang berkunjung kesini!."
ujarnya memberitahukan kepada kami.
"Oke siap, ayo kita keliling Desa Loa Kumbar!." jawab kami
sambil berjalan dengan penuh semangat.
Kami bertiga berjalan mengelilingi Loa Kumbar
dengan berjalan kaki. Ternyata Loa Kumbar adalah Desa
yang daerahnya tidak terlalu luas, tapi lumayan lama
waktu untuk mengelilinginya. Orang-orang disini
Pesan untuk Matahari | 205

kebanyakan menggunakan bahasa Bugis karena rata-rata


mereka suku Bugis, jiwa kekeluargaan disini masih sangat
hangat sekali. Orang-orang banyak berkumpul didepan
rumah dan ngobrol satu sama lain, suasananya sangat
ramai banyak anak-anak yang bermain di sepanjang desa.
Banyak sekali pohon pisang disini dan itulah usaha
mereke disini sebegai perkebun pisang, setiap pagi
mereka menjual hasil panen pisang mereka ke pasar yang
ada diseberang desa. Kami diajak Hikmah berkeliling
hingga naik gunung yang lumayan tinggi, dari situ kami
dapat melihat daerah sekitar yang sangat ini dan masih
hijau. Kami juga bisa melihat pemandangan sampai
keseberang sungai yang sangat indah. Loa Kumbar adalah
tempat yang indah dan memiliki penduduknya yang
ramah-tamah.
Pesan untuk Matahari | 206

Takdir Ilahi

"Ingat, kalian itu hanya kawin kontrak!"


Kata-kata mertuaku itu sering kali mengingatkanku,
bahwa pernikahanku dengan Mas Aryo hanya di atas
kertas, dan akan berakhir 3 bulan ke depan.
Walaupun hanya sebatas kontrak, tetapi aku tetap
istrinya, dan harus tetap menjalani tugasku sebagai
seorang istri. Aku tidak pernah berhenti memberikan
perhatian ke suamiku, Mas Aryo. Diriku tidak pernah
dipedulikan olehnya, tetapi aku tetap mencintai suamiku,
ya aku mencintainya walaupun dia tidak pernah
mencintaiku.
'Kali ini aku sedang menghadapi takdir sepahit jamu
tradisional. Kapan badai ini berakhir? Akankah akan ada
seberkas cahaya pelangi? Yang selalu hatiku idam-idamkan
selama ini? Aku mencintai dia... Aku tidak ingin
pernikahanku hanya sebatas tanda tangan 1 tahun...
Mungkin saat ini takdir pahit sedang kujalani. Tetapi aku
yakin takdir manis sedang menunggu di ujung jari
manisku.’
Aku memang suka menulis buku harian, karena dengan
menulis, aku bisa meluapkan semua rasa, mulai dari sedih,
marah, hingga kecewa. Jam berganti hari, hari berganti
minggu, dan minggu berganti bulan. 2 bulan sudah berlalu,
kini usia pernikahanku dengan Mas Aryo hanya tinggal
satu bulan. Mas Aryo masih sama, tidak ada perubahan
sikap, ia masih dingin terhadapku.
"Mas Aryo, mari sarapan.”
Pesan untuk Matahari | 207

"Enak sekali masakanmu. Aku suka, tolong siapkan


untuk kubawa ke kantor," jawabnya sambil terus makan
masakanku.
Hari itu, pertama kalinya Mas Aryo memuji masakanku,
biasanya ia selalu menolak untuk sarapan denganku. Aku
bahagia, dan terus optimis, karena aku tidak ingin
pernikahanku hanya di atas kertas. Aku ingin
mempertahankannya.
Suatu hari, saat usia pernikahan kami hanya tinggal
satu minggu, Mas Aryo sering keluar malam. Ibu mertuaku
juga mulai memperkenalkan calon istri barunya.
"Usia pernikahanmu tinggal satu minggu. Ibu telah
mempersiapkan calon istri baru untukmu, dia anak teman
ibu. Dia itu cantik, fashionable, model pula. Dia lebih cocok
sama kamu, daripada anak rumahan itu,"
Kata-kata mertuaku menusuk hati, tak terasa air bening
asin berjatuhan dari mata ke ujung pipi.
'Apakah tidak pantas untukku mempertahankan
cintanya? Memang pernikahan ini, hanya sebatas kerja
sama, tetapi akankah memang hanya sebatas tanda tangan
di atas kertas putih? Mas... Aku ingin mempertahankan
pelangiku agar tetap berwarna di ujung langit walaupun
kadang harus hilang di telan badai dan redum, tetapi aku
yakin pelangi itu tetap setia menanti badai berlalu.’
Tanpa terasa air asin ini kembali mengalir membasahi
pipiku. Sebenarnya, aku heran dengan tingkah laku Mas
Aryo akhir-akhir ini, ia selalu pergi saat hari menjelang
malam. Aku resah, dan khawatir. Ada apa sebenarnya?
Setiap malam, aku selalu menunggu kepulangan suamiku
di teras rumah.
Pesan untuk Matahari | 208

"Mas Aryo darimana?" tanyaku setiap kali ia baru pulang.


Mas Aryo tidak pernah menjawab pertanyaanku, ia
berlalu meninggalkan diriku dan segera ke kamarnya
untuk istirahat.
Usia pernikahanku tinggal dua hari, selama ini aku
belum pernah memperlihatkan auratku kepada Mas Aryo,
walaupun kami tinggal satu atap, tetapi kami tetap
berbeda kamar. Aku pun selalu memakai hijabku saat
keluar kamar. Satu hari telah selesai, dan berganti hari
baru. Besok adalah hari terakhir pernikahanku. Malam
harinya, disaat aku tengah sibuk menulis buku harian,
tiba-tiba Mas Aryo masuk ke dalam kamarku. Aku yang
kaget langsung mengambil selimut untuk menutupi
rambutku.
"Are you okay, Ayra?" tanyanya setelah melihat
tingkahku.
"Yes, why?"
"Ayra, kamu adalah istriku. Buka selimut itu, aku ingin
bicara denganmu,"
Aku pun membuka selimutku, betapa terkejutnya Mas
Aryo melihat rambutku yang selama ini kusembunyikan
darinya.
"You're beautiful,"
"Thanks, my husband," jawabku tersipu.
"Kamu tau besok hari apa?" tanyanya.
Aku membalikkan daksaku, mencoba menahan tetesan
air mengalir ke permukaan pipi. Aku menghela napas, dan
menjawab.“I know, besok adalah hari yang kau tunggu-
tunggu."
Pesan untuk Matahari | 209

"Tatap aku, Ayra. Aku ingin melihat wajah cantikmu,"


ucapnya.
Aku menghela napas panjang, dan membalikkan badan
menatap suamiku. Betapa terkejutnya diriku, saat mataku
melihat Mas Aryo merobek kertas perjanjian pernikahan
itu.
"Aku ingin kau tau, Ayra. Mulai malam ini dan
seterusnya, kamu adalah istriku, bukan lagi istri
perjanjianku," ucapnya sambil meremas potongan kertas
itu.
"What did you say?” jawabku mulai salah tingkah.
"Aku setiap hari pergi menjelang malam, karena aku
menemui Ustadz Haris, beliau yang membuka jalan
pikiranku," jelasnya.
"Aku mencintaimu istriku, Ayra Atsna Humairah,"
lanjutnya sambil memeluk tubuhku.
Tak terasa air mata bahagia ini keluar, mengalir dengan
rasa bahagia di ujung hatiku.
"Aku juga mencintaimu, suamiku," kataku terbata.
Mas Aryo melepas pelukannya dan mencium keningku.
Sungguh bahagia aku malam itu.
"Pakailah kalung ini, Humairahku. Kalung berinisial A
untukmu. A untuk Aryo, dan A untuk Ayra," ucapnya
penuh kasih sayang.
'Sekarang aku percaya, takdir Illahi itu bahagia. Kita
terkadang hanya kurang mensyukurinya, karena Allah
tidak akan memberikan badai, kecuali Ia telah menyiapkan
seberkas cahaya untuk meneranginya melewati badai
kehidupan.'
Pesan untuk Matahari | 210

Monolog

Jika aku bisa menggenggammu, akan kulakukan.


Jika aku bisa memelukmu sekarang, akan kupeluk dikau
seakan ini adalah hari terakhirku untuk menatapmu. Tapi,
aku bisa apa? Aku hanyalah seorang antagonis di mata
dunia, sedang engkau protagonis yang selalu mereka puja.
***
“Cut!”
Sorak sorai memenuhi ruangan, sedang kedua
insan yang disoraki menghembuskan nafas berat, melepas
penat juga melepas karakter yang mereka mainkan. Sang
“Raja” turun dari panggung dengan seru, sedang sang
“Ratu” menuruni panggung perlahan untuk menghilang.
Tak ada percakapan lagi setelah itu.
“Luna kemana?”tanya sang “Raja”. Teman-
temannya yang sedari tadi bersorak dan bersiul
mengernyitkan dahi. “Aria,”koreksinya, membuat
temannya ber-oh ria. “Dia memang begitu, kan? Hanya
nimbrung saat proses. Tapi saat prosesnya selesai, wus!
Hilang begitu saja.”
Benarkah begitu? Aiden tidak tahu. Ia kembali
menatap singgasana yang ia duduki bersama gadis itu tadi.
Sekelebat memori mengenai improvisasi yang dilakukan
gadis itu menyerang jantungnya dengan hebat. Senyum
gadis itu masih terngiang walau gadis itu telah menghilang
dari pandangnya.
***
Pujian terus berdatangan setelah pagelaran
bertajuk “Raja dan Ratu” mulai ditayangkan. Tentu saja
Pesan untuk Matahari | 211

pemeran utama mendapat pujian yang melimpah, bahkan


dari pihak luar sekolah. Malam ini adalah acara nobar dan
tasyakuran, dan Aiden bisa melihat Aria lebih memilih
untuk memandang jutaan bintang di langit daripada
merayakan kesuksesannya.
“Kalila yang bukan aktor saja sedang berpesta
dengan anggota teater yang lain. Kenapa sahabat dan
pemeran utamanya malah mengasingkan diri?” Aria
menoleh, mendapati Aiden yang sedang menyulut
selinting tembakau di tangannya. “Kau juga pemeran
utama, kenapa malah di sini?”balas gadis itu sinis,
membuat Aiden tertawa di tengah asap yang ia keluarkan.
“Raja tidak pernah meninggalkan ratunya
sendirian.”
“Aiden dan Aria,”koreksi gadis itu. “Peran kita
sudah usai.”
Aiden lagi-lagi tersenyum samar, sedang gadis di
depannya masih saja membuang muka, tak bergeming.
Gadis itu terlihat menggigil, namun masih menahan diri.
Tanpa diperintah, Aiden segera memasangkan jaket
kulitnya, membuat gadis itu menoleh dan tak menyadari
seberapa dekat wajah mereka karena Aiden lagi-lagi
pintar dalam mengunci pandangannya.
“Pementasannya sudah usai, tetapi cut tidak bisa
menghentikan debaran yang kurasakan.”
Aiden sudah benar-benar gila. Semilir angin
berubah menjadi alunan melodi romantis terlebih ketika
Aria lagi-lagi membuang muka. Senyumnya lagi-lagi
muncul ketika menyadari warna merah muda
mendominasi pipi gadis itu. Apakah berlebihan jika ia
Pesan untuk Matahari | 212

mengatakan bahwa Jibril sedang mengangkatnya ke langit


dengan kedua pucuk sayapnya? Menerbangkannya
diantara sejuta bintang hanya karena nama sederhana
yang selalu membuatnya berdebar meski orang lain yang
menyebut nama itu.
“Itu masalahmu.”
“Masalah kita,”tukas Aiden, “Tak perlu
bersandiwara denganku, Lunaria. Aku sudah kenyang
dengan aktingmu.”sambungnya. “Tidak bisakah kau jujur
sekali saja? Gengsimu hanya akan menenggelamkanmu.”
“Apa kau tak paham soal profesionalisme, Aiden
Baskara?”
“Yang kutahu, jatuh cinta itu bukan tindakan ilegal,
Lunaria.”
Aria hanya mendesah geram menghadapi manusia
batu di depannya. Aiden tidak akan pernah paham
bagaimana jika isi kepalanya hanya soal kenapa. Aiden
adalah matahari yang selalu membangkitkan senyuman
saat orang melihatnya, sedang ia adalah bulan yang selalu
membuat orang diam seribu bahasa.
“Kita terlalu berbeda”jawab Aria penuh penegasan.
“Karena kita berbeda atau kau hanya takut?” Hening, Aria
tak lagi mau menatap mata Aiden lekat.
“Yang selama ini brengsek kepadamu adalah laki-
laki yang kau inginkan, bukan laki-laki yang
membutuhkanmu.”
Setelahnya Aiden kembali, berusaha
menghilangkan kegusaran dan mengabaikan sayap-
sayapnya yang kini patah. Aria termenung, memegang erat
jaket yang bahkan tak diminta kembali oleh pemiliknya.
Pesan untuk Matahari | 213

***
Teruntuk Aiden, si mentari
Sejak awal aku sudah terpikat dengan senyummu.
Aku terkagum dengan keberanianmu mendekat, ketika
orang-orang selalu bilang kalau malam itu berbahaya. Dan
kau mengejek mereka karena menurutmu, bukan malam
yang berbahaya tetapi mereka saja yang penakut.
Terimakasih selalu menyediakan bahu walau tidak
kuminta. Terimakasih untuk uluran tanganmu meski
bibirku selalu kaku dan bisu untuk mengatakan tolong
terlebih dahulu. Jaketmu sudah kucuci dan kulipat rapi,
akan kukembalikan bersamaan dengan surat ini. Maaf aku
hanyalah seorang pengecut, jadi aku akan menitipkannya
pada Kalila.
Dua bulan yang kita lalui sangatlah indah dan tak
tergantikan. Entah sejak kapan sandiwara menjadi nyata
ketika aku kembali menatap matamu untuk kesekian
kalinya. Aku tahu kau pasti tertegun dengan senyumku di
akhir pementasan. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, aku
melakukannya dengan tulus. Aku harap, para peri dalam
pementasan benar-benar membuatnya menjadi lebih indah,
setidaknya di matamu.
Terimakasih karena kau selalu membawa jaket
semenjak tahu aku mudah kedinginan dan selalu lupa
untuk membawanya. Terimakasih untuk selalu siaga meski
aku tak berkata-kata. Kamu terlalu baik untuk lukaku,
Aiden. Bagaimana bisa matahari bersanding dengan bulan
yang selalu mengemis akan cahayanya supaya bisa
terlihat?
Pesan untuk Matahari | 214

Jika aku bisa menggenggammu, akan kulakukan.


Jika aku bisa memelukmu sekarang, akan kupeluk dikau
seakan ini adalah hari terakhirku untuk menatapmu. Tapi,
aku bisa apa? Aku hanyalah seorang antagonis di mata
dunia, sedang engkau protagonis yang selalu mereka puja.
Lunaria, rembulan yang menunggu maafmu
***
oleh : Noora
Pesan untuk Matahari | 215

DUNIAKU ADA DALAM MATAMU


NOVIA WULANDARI

Pagi itu Ziyan pergi ke kampus dengan menggunakan


mobilnya. Dalam perjalanan dia tidak sengaja menabrak
seorang perempuan.
"Hey, kalau jalan itu pakai mata!"
Ziyan pergi meninggalkan gadis itu. Sesampainya di
rumah, Ziyan melihat seorang perempuan yang sedang
membersihkan kamarnya. Ternyata dia adalah gadis yang
ditabrak Ziyan tadi pagi.
"Apa yang kau lakukan disini? Gadis itu terdiam tanpa
sepatah kata pun.
"Keluar dari kamarku sekarang juga!" Setelah
mendengar teriakan Ziyan, Ibu gadis itu datang.
"Maaf jika putriku telah membuatmu kesal, aku akan
membawanya keluar."
Ketika malam tiba, Shakil duduk di taman menghilangkan
rasa lelahnya karena bekerja seharian. Ziyan tidak sengaja
melihat Shakil dan menghampirinya.
"Malam yang cerah bukan? Kau lihat, disana banyak
sekali bintang yang bersinar."
"Kau bisa melihat semua itu, tapi aku tidak."
"Kenapa?"
"Karena aku ini buta."
Ziyan terdiam setelah tahu bahwa gadis itu buta. Dia
meminta maaf karena telah berbuat kasar padanya tadi
pagi.
"Oh, aku sudah melupakan kejadian itu."
Pesan untuk Matahari | 216

Keesokan paginya Ziyan meminta Shakil untuk


menemaninya ke kampus. Awalnya Shakil menolak, tapi
karena Ziyan terus memaksanya, akhirnya dia setuju.
Sesampainya di kampus, Ziyan menceritakan pada Shakil
detail mengenai kampusnya. Shakil bisa membayangkan
apa yang dikatakan Ziyan padanya.
Pagi itu Ziyan harus mengikuti kelas matematika, dia
menyuruh Shakil untuk menunggunya di halaman
kampus. Ketika Shakil sedang duduk, tiba-tiba beberapa
mahasiswi datang dan mengganggunya. Ketika Shakil akan
menghindar, mereka mendorong tubuh Shakil sampai
terjatuh. Salah satu dari mereka menginjak tangan Shakil.
"Lepaskan! Tanganku kesakitan,"
Kelas telah selesai. Ziyan melihat teman kampusnya
sedang mengganggu Shakil. Dia pergi untuk menolongnya.
Ziyan melihat tangan Shakil terluka, dia segera
mengobatinya. Shakil merintih kesakitan. Ziyan meniup
tangan Shakil perlahan. Saat itu Shakil merasakan ada
sesuatu yang aneh dalam hatinya. Dia mulai memiliki
perasaan suka terhadap Ziyan. Semakin hari mereka
semakin dekat. Ziyan membawa Shakil ke semua tempat
yang ada di kota. Ziyan menceritakan seluruh keindahan
tempat itu pada Shakil. Sang ibu melihat kebahagiaan di
wajah putrinya.
"Kau sangat senang hari ini. Ada apa?"
Shakil menceritakan semua yang Ziyan lakukan untuknya.
Walau Shakil buta, dia bisa merasakan keindahan dunia
hanya melalui mata Ziyan.
Pesan untuk Matahari | 217

"Ibu harap kau tidak menyukainya. Ibu tidak ingin


hatimu terluka. Kau harus tahu jika dia sudah memiliki
seorang kekasih, namanya Aleyna."
Shakil sangat sedih mendengar semua itu. Dia tidak jadi
mengatakan kalau dia sangat menyukainya.
"Ibu tidak perlu khawatir, aku tidak menyukainya.
Lagi pula, bagaimana mungkin seseorang seperti dia
menerima perempuan buta seperti ku."
Malam itu Ziyan mengundang Aleyna untuk makan
malam di rumahnya. Ziyan menyuruh Ibu Shakil untuk
mengambil beberapa minuman di gudang. Dia tidak
sengaja melihat mobil milik Aleyna, mobil itu sama persis
dengan mobil orang yang telah menabrak putrinya. Sang
ibu menyuruh Shakil untuk membantunya di dapur. Tidak
sengaja Shakil memecahkan gelas yang ada di dapur.
Semua orang pergi untuk melihatnya. Aleyna sangat
terkejut ketika melihat Shakil.
"Kenapa perempuan ini ada disini?"
"Kau mengenalnya?" Tanya Ziyan.
"Yang benar saja, tidak mungkin aku mengenal
perempuan buta sepertinya." Dia menyuruh Shakil untuk
pergi dari hadapannya. Dia mendorong Shakil sampai
terjatuh. Sang ibu datang untuk membela putrinya. Dia
mengatakan pada semua orang bahwa Aleyna lah yang
telah menabrak Shakil sampai dia buta. Semua orang
terkejut mendengarnya.
"Jangan bicara sembarangan! Apa kau memiliki bukti
atas ucapan mu itu pelayan?"
Pesan untuk Matahari | 218

"Aku masih ingat dengan jelas mobil yang menabrak


putriku, dan pelat mobil itu sama dengan pelat mobil
milikmu."
Ziyan sangat marah pada Aleyna dan memutuskan
hubungan dengannya. Aleyna pergi setelah semua
kebenarannya terungkap. Sang ibu menyuruh Shakil untuk
menjauhi Ziyan. Dia memutuskan untuk membawa Shakil
kembali ke kampung halamannya di Bukit Tinggi. Sangat
sulit untuk Shakil menjauhi Ziyan. Sore itu Ziyan mengajak
Shakil ke sebuah pantai. Ziyan tidak tahu besok pagi dia
tidak akan lagi melihat Shakil di rumahnya. Shakil sama
sekali tidak memberitahu Ziyan akan kepergiannya itu.
Sore itu pantai terlihat begitu menawan, dibalut dengan
kilauan senja penuh pesona, dengan sekelompok kawanan
burung yang terbang di atasnya.
“Entah kapan aku merasakan ini, tapi aku ingin
mengatakan kalau aku menyukaimu!" Perkataan Ziyan
membuat jantung Shakil berdegup kencang. Shakil
mengalihkan pembicaraan. Dia meminta Ziyan untuk
membawanya pulang karena sang ibu telah menunggunya.
Pagi itu Ziyan baru tahu kalau Shakil telah pergi dari
rumahnya. Dia sangat kesal karena Shakil tidak
memberitahunya. Hari demi hari, bayangan Shakil masih
terus muncul dalam pikiran Ziyan. Pagi itu sebuah surat
datang untuk Ziyan.
"Terima kasih untuk semuanya. Aku memang buta,
tapi karena mu duniaku seakan ada dalam matamu. Tuhan
mempertemukan ku dengan mu, tapi dia tidak
mengizinkanku untuk memilikimu. Aku sangat bersyukur
bisa bertemu denganmu, dan mengenalmu ku rasa itu
Pesan untuk Matahari | 219

sudah cukup." Ziyan sadar pertemuan dengan seseorang


bukan berarti kita harus memiliki orang itu, mungkin
sebatas mengenalnya saja itu sudah cukup.
Pesan untuk Matahari | 220

PERMATA BERHARGA
NOVIA WULANDARI

Satu tahun yang lalu, setelah Zahirah Maisyah lulus


kuliah, sang ayah langsung menjodohkannya dengan Saka
Fatih Sagara, seorang dokter yang selama ini telah
menangani penyakitnya. Sang ayah ingin setelah dia
meninggal akan ada seseorang yang bisa menjaga
putrinya. Tanpa menolak, Zahirah mengikuti apa yang
menjadi keinginan terakhir sang ayah. Walau tidak
mencintai Saka, Zahirah tetap melakukan kewajibannya
sebagai seorang istri. Dia begitu perhatian pada Saka, dia
mengurus Saka dengan sangat baik. Ketika Saka sakit
Zahirah begitu sigap dalam merawatnya. Saka melihat
semua itu sebagai keterpaksaan bukan karena Zahirah
mencintainya. Dia menahan diri agar tidak tertipu dengan
semua sikap manis Zahirah padanya. Hari itu Saka
mendapat kabar bahwa mantan kekasihnya Illa, telah
kembali dari London. Saka mengajak Illa untuk menjadi
kekasihnya kembali. Mereka menjalin hubungan kembali
tanpa sepengetahuan Zahirah. Mereka sering
menghabiskan waktu bersama. Setelah larut malam, Saka
baru saja tiba di rumah. Dia melihat Zahirah yang
ketiduran di sofa karena menunggunya. Saka membawa
Zahirah ke kamarnya. Keesokan paginya, Zahirah
menyiapkan sarapan untuk Saka. Mereka sarapan
bersama.
"Apa semalam kau tidak tidur?" Tanya Saka.
"Memang kenapa?"
"Matamu terlihat seperti mata panda."
Pesan untuk Matahari | 221

Zahirah hanya diam. Ketika Saka akan berangkat, Zahirah


menanyakan sesuatu pada Saka, "Apa ada yang ingin kau
katakan?" Saka heran dengan pertanyaan Zahirah. Dia
pergi tanpa menjawab pertanyaan itu.
Malam itu adalah hari utang tahun pernikahan
Zahirah dan Saka yang ke pertama. Zahirah menyiapkan
sebuah kejutan untuk suaminya. Jam sudah menunjukkan
pukul 12 malam, tapi Saka belum juga kembali. Dia terus
menghubungi Saka tapi teleponnya mati. Dia pergi ke
rumah sakit tempat Saka bekerja. Dia bertanya pada
perawat yang ada disana.
"Aku ingin bertemu Dokter Saka Fatih Sagara, tapi
dia tidak ada di ruangannya. Apa kau tahu kemana dia
pergi?"
"Maaf Bu, Dokter Saka telah dipecat dari rumah sakit
ini karena telah lalai dalam melaksanakan pekerjaannya
sebagai seorang dokter."
Zahirah sangat terkejut mendengarnya. Sebelum pergi
perawat itu mengatakan bahwa Saka sangat dekat dengan
Illa. Zahirah meminta alamat Illa kepada perawat itu. Illa
tinggal di sebuah apartemen yang sangat mewah. Zahirah
pergi menuju kamar dimana Illa menginap. Ketika lama
menunggu, akhirnya seorang perempuan keluar dari
kamar itu.
"Kau siapa? Apa kau mencari seseorang?" Zahirah
langsung masuk ke dalam. Dia tidak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Saka ternyata ada bersama Illa di
apartemennya.
"Lancang sekali kau masuk tanpa izin dariku!"
Pesan untuk Matahari | 222

"Apa aku harus meminta izin untuk membawa


suamiku pergi dari tempat ini?"
Illa sangat terkejut mengetahui bahwa Saka telah
menikah. Terjadi pertengkaran diantara mereka yang
membuat Saka akhirnya terbangun. Saka terkejut ketika
melihat Zahirah ada di apartemennya.
"Sedang apa kau disini?" Tanya Saka pada Zahirah.
"Aku sangat menghawatirkan mu!"
"Pergilah! Saka tidak butuh seorang istri sepertimu,
yang sama sekali tidak mencintainya." Illa mengusir
Zahirah dari apartemennya. Saka hanya diam mendengar
Illa mengatakan hal buruk tentang Zahirah.
"Kenapa kau diam? Kenapa kau tidak membelaku
dihadapan perempuan ini?"
"Bukankah semua yang dikatakan itu benar? Kau
tidak pernah mencintaiku, dan tidak akan pernah bisa."
Perkataan Saka sangat melukai hati Zahirah.
"Ketika aku mencintaimu, apa aku harus
mengatakannya padamu? Apakah sikapku belum bisa
menunjukkan bahwa aku mencintaimu?" Zahirah pergi
meninggalkan Saka.
Setelah memikirkan semua perkataan Zahirah
padanya, Saka yakin bahwa Zahirah memang
mencintainya. Saka pergi untuk menemui Zahirah.
Sesampainya di rumah, Dia melihat ada sebuah kue ulang
tahun yang sudah Zahirah siapkan khusus untuk malam
ini. Dalam kue itu tertulis, ‘Selamat hari ulang tahun
pernikahan'.
Saka tidak menyangka bahwa Zahirah telah menyiapkan
semua ini untuknya. Saka sangat menyesal dengan apa
Pesan untuk Matahari | 223

yang telah dia lakukan pada Zahirah. Dia pergi menemui


Zahirah di kamarnya.
"Buka pintunya! Aku ingin bicara denganmu."
"Kau tahu, aku sudah mengetahui ini sejak lama.
Kenapa setiap pagi mataku terlihat seperti mata panda, itu
karena aku sering menangis atas apa yang kau lakukan di
belakang ku. Kau ingat dengan pertanyaanku, apa ada
yang ingin kau katakan?"
"Aku ingin kau jujur dengan apa yang sudah kau
lakukan di belakang ku. Aku sangat mempercayaimu, tapi
kau menghianati kepercayaanku itu.”
Saka meminta maaf dan berjanji akan memperbaiki
semuanya. Dia sangat menyesal karena telah melukai
perasan Zahirah selama ini. Dia meminta Zahirah untuk
memaafkannya. Dia ingin menjalankan kehidupan baru
bersama Zahirah.
Zahirah terketuk pintu hatinya dan membukakan pintu
untuk Saka.
"Selamat hari pernikahan!" Saka memeluk istrinya
itu.
Zahirah tidak bisa menahan air matanya, dia
mengungkapkan apa yang selama ini ingin dia ungkapkan.
"Mungkin hari itu kau orang asing bagiku, tapi hari
ini kau sangat berarti bagiku. Kau milikku, hanya menjadi
milikku. Aku mencintaimu, sampai kapan pun aku akan
terus mencintaimu."
Mereka membuka kembali lembaran baru dalam
pernikahannya. Masa lalu hanya bisa dijadikan sebuah
pelajaran untuk ke depan yang lebih baik. Tidak akan kau
dapatkan ketulusan dalam diri wanita lain yang setulus
Pesan untuk Matahari | 224

istrimu. Mereka ada hanya sesaat, tapi istrimu akan selalu


ada untukmu setiap saat.
Pesan untuk Matahari | 225

POTRET WAJAH
NOVIA WULANDARI

Namaku Kinanti Armydjaya, putri dari seorang


Jenderal TNI Angkatan Udara. Kehidupan yang aku miliki
saat ini mungkin menjadi impian setiap orang di luar sana.
Tapi tidak dengan ku, aku merasa sangat kesepian, hampa,
sunyi, duniaku bagai malam yang tak berjumpa siang. Aku
melihat diriku dalam cermin, apa yang salah dengan diriku
ini? Sampai ayah dan ibu tidak pernah menganggap aku
dalam keluarga ini. Sore itu tiba-tiba Ibu meneleponku,
"Malam ini akan ada acara yang sangat penting.
Jangan keluar kamar sebelum aku perintahkan!" Ibu
langsung menutup teleponnya.
Malam telah tiba. Aku melihat sejumlah pers datang
ke rumah. Aku pergi untuk menemui mereka.
"Siapa kau?" Tanya mereka sambil melihat ku dari
atas sampai bawah. Ketika aku akan mengatakan bahwa
aku putri dari keluarga ini, tiba-tiba ibu datang dan
membawaku ke kamar lalu mengunciku di dalam. Setelah
selesai pemotretan ibu membawaku ke hadapan semua
orang.
"Sudah aku bilang jangan keluar dari kamarmu
sebelum aku perintahkan!" Ibu sangat marah padaku.
"Kalian melakukan pemotretan itu tanpa diriku.
Bahkan kalian tidak memberitahu pada pers bahwa aku
ini putri kalian!"
"Apa yang salah dengan diriku? Kenapa kalian
menyembunyikan identitas ku dari semua orang?" Nada
bicaraku sedikit tinggi pada ibu.
Pesan untuk Matahari | 226

"Jaga bicaramu!" Bentak ayah padaku.


Perasanku sangat hancur atas sikap semua orang padaku.
Ketika semua orang tertidur lelap aku pergi dari rumah
secara diam-diam. Di luar sana malam sangat mengerikan.
Aku berjalan tanpa arah tujuan. Aku berhenti di depan
sebuah toko bunga, karena merasa sangat lelah aku pun
tertidur disana.
Pagi itu Ibu dan ayah baru menyadari bahwa aku
pergi dari rumah. Mereka menyuruh para bodyguard nya
untuk mencari keberadaanku. Setelah beberapa hari
akhirnya aku mendapat pekerjaan. Aku menjadi seorang
pelayan di salah satu toko bunga. Kehidupanku menjadi
lebih baik setelah keluar dari rumah itu.
Pagi itu aku melihat sebuah surat kabar. Disana
terdapat potret keluargaku tanpa aku. Tidak terasa air
mataku menetes begitu saja. Mereka terlihat sangat
bahagia tanpa aku. Mungkin mereka memang tidak pernah
menginginkan ku. Aku mencoba melupakan foto itu dan
fokus pada kehidupanku yang sekarang. Aku akan
membuktikan pada mereka bahwa aku bisa tanpa mereka.
Siang itu sebuah mobil mewah berhenti di depan toko.
Ketika dilihat itu ternyata ibu dan ayah. Manajer toko dan
seluruh pelayan menyambut baik kedatangan mereka.
"Selamat datang, Tuan! Apa kau membutuhkan
sesuatu?" Tanya manajer toko.
"Aku ingin menjemput putriku!" Semua terkejut
ketika tahu bahwa aku adalah putri mereka.
"Pulanglah! Jangan mempermalukan ayahmu dengan
pekerjaan rendahan seperti ini!"
Pesan untuk Matahari | 227

"Aku senang dengan pekerjaanku, jika kau tidak


menyukainya kau bisa pergi dari sini!"
"Apa yang kau inginkan? Bukankah aku telah
memberikan semuanya untukmu?"
"Kalian memberikan apa pun untuk ku, tapi kalian
tidak pernah bertanya apa yang sebenarnya aku
inginkan!" Perdebatan ku dan ayah seperti sebuah drama
pertunjukan yang disaksikan banyak orang.
"Hargai aku sebagai putrimu, bersikaplah sebagai
seorang ayah dan ibu bagiku!"
"Sudah hentikan! Kau membuat ayahmu malu di
hadapan semua orang."
Ayah memaksaku untuk ikut bersamanya, tapi aku
melarikan diri darinya. Ketika aku akan menyeberang
tiba-tiba saja sebuah mobil menabrakku dengan sangat
kencang.
"Kinanti!" Ibu berteriak histeris melihat tubuhku yang
berlumuran banyak darah. Ayah dan Ibu segera
membawaku ke Rumah sakit.
"Putrimu kehilangan banyak darah, sekarang dia
koma. Stok darah di rumah sakit ini sedang kosong. Hanya
keajaiban yang bisa menolong putrimu."
Ibu sangat terpukul mendengar pernyataan dokter. Dia
pergi menemui ku di UGD.
"Bangunlah sayang, ibu disini untukmu!" Bisik ibu
pelan di telingaku.
Ayah dan ibu sangat menyesal karena telah menyia-
nyiakan diriku selama ini. Ayah berjanji jika aku sadar
nanti dia akan memperbaiki semua kesalahannya padaku.
Pesan untuk Matahari | 228

Sepertinya doa ayah terkabul. Aku mulai membuka


mataku perlahan.
"Ibu," lirihku pelan.
Ibu langsung memelukku. Satu minggu aku di rumah sakit
akhirnya dokter mengizinkanku pulang. Selama aku koma
semua telah berubah. Ibu sekarang lebih perhatian dan
selalu ada di sampingku. Ayah dia menyiapkan semua
yang aku butuhkan, dan kakak dia mencarikanku kampus
terbaik untuk pendidikan ku tahun depan. Air mataku
menetes melihat perubahan sikap semua orang padaku.
ibu dan ayah meminta maaf karena telah melukai
perasaanku selama ini.
Pagi itu ibu datang ke kamarku, dengan membawa
sebuah gaun yang sangat indah untuk aku pakai. Ibu
membawaku menuju ruang keluarga. Disana sudah
banyak pers yang sengaja ibu undang untuk pemotretan
keluarga sekaligus memberitahu mereka bahwa aku
adalah putri mereka, Kinanti Armydjaya. Mereka
melakukan beberapa pemotretan, potret mereka beredar
di beberapa surat kabar. Akhirnya semua orang tahu akan
potret wajah dari seorang putri Jenderal itu. Kini malam
yang panjang akhirnya menemukan titik terang.
'kekayaan bukan jaminan kebahagiaan seseorang.
Cinta dan kasih sayang dari orang terdekat lah yang
membuat hidup menjadi lebih bermakna. Hargailah setiap
sesuatu yang kau punya, sebelum sesuatu itu hilang
darimu,' itu lah kutipan manis dari seorang Kinanti
Armydjaya, putri dari seorang Jenderal TNI yang selama
ini tersembunyi akan potret wajahnya.
Promo
TERBIT GRATIS
CV EMN Media
1. ISBN gratis (terdaftar di perpusnas,
1. Kami menerima semua jenis buku KDT, dan barcode).
fiksi maupun non fiksi, baik 2. Apabila penulis tidak bisa mendesain
terjemahan atau bukan, buku lepas cover, kami juga menyediakan layan
atau berjilid. desain, editing, dan layout (silakan
2. Pengajuan dapat dilakukan oleh hubungi admin)
individu (buku ditulis sendiri) atau 3. Promosi gratis melalui sosial media
kami.
antologi (buku hasil tulisan
4. Dijual di akun shopee kami. Lebih
bersama).
aman.
3. Kami tidak menerima buku 5. Royalti 10% dari harga buku untuk
plagiat, pornografi, tutorial setiap buku yang terjual.
kejahatan seperti hacking dan 6. Royalti dapat ditukarkan dengan
sebagainya. potongan harga buku.
4. Siapa saja boleh ikut serta tanpa 7. Gratis ongkir dengan ketentuan
batas usia, pengalaman, profesi, tertentu.
8. Penulis berkesempatan menjadi
maupun latar belakang.
pemateri webinar yang kami adakan.
5. Tidak ada ketentuan jumlah
9. E-Sertifikat penulis buku.
minimal dan maksimal halaman 10. Harga buku cetak disesuaikan
buku. dengan jumlah halaman buku.

Narahubung: 0822 8905 3107


i

Anda mungkin juga menyukai