Anda di halaman 1dari 3

Resume

THEOLOGY AND SOCIAL THEORY


Beyond Secular Reason
John Milbank

Tugas Mata Kuliah Motede Penelitian Teologi


Dosen Pengampu: Rm. Fransiskus Purwanto SCJ
Rm. Stephanus Gito Wiratmo Pr

STEPHANUS LISDIYANTO
206312006

PROGRAM MAGISTER TEOLOGI


FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS SANTA DHARMA
FAKULTAS TEOLOGI WEDABHAKTI
2020
Bagi John Milbank, berbicara tentang sekular sebelum abad pertengahan merupakan sesuatu yang
problematis. Hal ini dikarenakan pengertian sekuler tidak seperti yang dipahami pada masa ini. Sekuler
dipahami sebagai ruang, tempat atau cara-cara tertentu, tetapi merujuk pada temporalitas waktu. Secara
konseptual dan etimologis kata “sekuler” bersal dari baha Latin “saeculum” yang muali dipakai pada
abad keempat Masehi, masa Kerajaan Romawi. Saeculum mengacu pada waktu atau era yang
menunjukkan tentang kehidupan seseorang, sebuah kota, atau sekelompok masyarakat. Selain itu
saeculum juga dipakai untuk menunjuk pada periode satu abad. Setelah ababd kelima, kata saeculum
diartikan berbeda. Pertama, untuk membedakan kehidupan duniawi yang bersifat sementara dengan
kehidupan akhirat yang kekal; kedua, membedakan ruang secular (profan, biasa) dari kehidupan dunia
monastic; dan ketiga, pembedaan normatif tentang gaya hidup yang menyimpang dariu kehendak Tuhan
dengan kehidupan yang sesaui dengan ajaran agama kristen. Dengan kata lain pengertian kata saeculum
menyangkut pembagian dua dunia (langit dan bumi) dan pembedaan kehidupan manusia dunia antara
kehidupan keagaam (gereja) dengan kehidupan sekular (saculum).

Pada abad pertengahan terdapat pembagian antara sacerdotim (gereja) dengan regnum (semua
Lembaga kekuasaan non-gereja). Pembagian ini bukanlah pembagian antara yang menyangkut
keagamaan dan sekular atau antara yang kekal dan temporal, tetapi lebih mengacu pada tugas-tugas yang
berkaitan dengan kehidupan duniawi yang bersinggungan dengan pertanian, aktivitas ekonomi dan
tatanan sosail. Gereja pada saat itu adalah suatu masyarakat yang sangat kompleks dan bukan mesin
administrasi yang mengurusi jiwa-jiwa seperti pada masa-masa selanjutnya. Pada situasi ini jabatan dan
kekuasaan (para pemimpin dan raja) dipandang sebagai sesautu yang diberkati oleh Tuhan. Yesus (Nabi
Isa) dipandang sebagai model dan teladan dalam menjalankan tugas-tugas sebagai raja, imam dan nabi,
sehingga para penguasa dan pemimpin seolah-olah telah memiliki tugas yang sama (seperti Kristus).
Akibatnya, sacerdotium (gereja) dapat melakukan paksaan terhadap regnum (Lembaga kekuasaan
duniawi). Tidak ada pemilahan yang tegas (secara fungsional dan institusi) antara kehidupan secular dan
keagamaan.

Sekularisme yang berkaitan dengan politik berarti merupakan prinsip-prinsip pemisahan otoritas
agama dan politik, dalam arti: netralitas negara dari campur angan semua agama, perlindungan kebebasan
beragama untuk setiap individu dan memberikan perlakuan yang sama kepada semua warga negara tanpa
memandang latar belakan keyakinannya untuk berpartisipasi dalam setiap proses politik. Dengan
demikian sekularisme tidak mengasumsikan adanya pandangan tertentu pada “agama”, baik secara positip
maupun negatip. Dalam sitem politik, sekularisme memiliki mitos-mitos tentang kehidupan manusia yang
humanis, bebas, dan bermartabat. Menurut Pippa Norris dan Ronald Inglehart hubungan antara kemajuan
ekonomi suatu negara dengan kepercayaan kepada agama berbanding terbalik. Ketika suatu negara
mengalami tingkat kemajuan ekonomi yang baik dan makmur maka kepercayaan kepada agama
mengalami kemunduran, begitu yang terjadi sebaliknya.

Selanjutnya, menurut John Milbank, dikarenakan adanya perkembangan antrophologi yang baru
maka muncul pengertian sekular tentang ekonomi kekuasaan yang baru yang mempengaruhi sitem politik
dan pemerintahan. Antrophologi yang beru itu memandang bahwa manusia sebagai individu yang
memiliki keinginan, kemampuan untuk membedakan dan memilih antara kebaikan dan keburukan serta
memiliki dorongan untuk menjaga diri sendiri. Dengan perspektif itulah manusia mulai membedakan
dirinya dengan benda-benda alam lainnya. Mereka mulai membedakan antara yang sakral yang bersifat
pribadi, spiritual dan transcendental, dengan yang sekular dipahami sebagai ruang otonom, bersiafat
public karena tempat perbutan kekuasaan. Grotius, Hobbes dan Spinoza menyatakan bahwa teori politik
mencapai sebuah otonomi yang ambigu sehubungan dengan teologi. Menurut Grotius, hukum alam yang
mengatur hak milik dan kedaulatan bisa disebut etsi Deus non daretur (seolah-olah Allah tidak ada).
Grotius, Hobbes dan Spinoza yakin bahwa conatus (upaya) untuk melestarikan diri menjadi kunci
hermeneutik universal bagi alam dan masyarakat.

Dengan teologi politik, maka gereja tidak hanya mengurusi persoalan ke dalam saja
“sacerdotium” tetapi juga bertanggung jawab dalam bidang sosial kemasyarakatan “regnum”
Gereja masuk dalam pergumulan kemasyarakatan, untuk mengatasi aspek-aspek
ketidakseimbangan akibat dosa yang masuk ke dalam masyarakat, sesuai dengan kondisi zaman
di mana ia hadir. Warga negara adalah juga warga gereja, sehingga teologi politik lebih di
mengerti sebagai bentuk penataan terhadap kehidupan, bagaimana warga gereja ataupun warga
negara hidup dalam gereja sekaligus hidup dalam masyarakat secara baik.

Istilah “Ekonomi Politik” digunakan pada abad 18 dan abad 19. Ekonomi Politik
dibutuhkan sebagai kelemahan penjelasan dalam teori politik hukum kodrat diakhir abad 17 yang
berpendapat bahwa perspektif hak-hak kodrati tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah
yang dihadapi oleh manusia secara spontan. Menurut John Milbank, ekonomi politik dimulai
diantara para pemikir Hobbesian yang mengabaikan pemeliharaan Ilahi. Ekonomi politik
dianggap muncul dari wacana yang mencari kebenaran dari pengamatan realitas dan diklaim
untuk menunjukkan kehadiran kekuasaan spiritual yang mengisi sebuah celah kosong antara niat
pribadi manusia dan kehidupan sosial. Économy politique pertama kali digunakan dalam bahasa
Prancis oleh L. de Mayerne- Turquet dan A. de Montchrétien pada dekade kedua abad ketujuh
belas.

Anda mungkin juga menyukai