PERENCANAAN BANGUNAN.
VI.1 . BANGUNAN UKUR. .....................................................................................................................................117
BAB VI.
PERENCANAAN BANGUNAN.
Rumus Pengaliran.
Q Cd Cv 1,50
2/3 g bc h1
2/3
dimana :
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit Gambar V.1. Bangunan ukur ambang lebar.
= 0,93 + 0,10 H1/L untuk 0,1 < H1/L < 1,0
Cv = Koeffisien kecepatan datang.
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Harga koeffisien kecepatan datang dapat dicari dari gambar V.2 berikut ini. Untuk Bangunan Ukur
ambang lebar dengan pengontrol segiempat digunakan garis yang penuh.
Besarnya debit.
Perbandingan H2/H1.
117
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
Contoh Perhitungan.
Sebagai contoh perhitungan berikut ini adalah perhitungan perencanaan untuk bangunan ukur BTU
Kr. 1a pada saluran induk Tebudak Kiri Ruas 1 Daerah Irigasi Sanggau Ledo.
Data saluran induk Ruas 1 tersebut adalah sebagai berikut :
Q b h k I A P R V
Q normal 1.354
hulu 1.95 0.92 30.00 0.00060 2.64 4.55 0.58 0.51
hilir 1.95 0.78 30.00 0.00109 2.13 4.16 0.51 0.64
Qmax 1.489
hulu 1.95 0.97 30.00 0.00060 2.83 4.69 0.60 0.53
hilir 1.95 0.82 30.00 0.00109 2.28 4.28 0.53 0.65
Qmin 0.149
hulu 1.95 0.26 30.00 0.00060 0.57 2.68 0.21 0.26
hilir 1.95 0.22 30.00 0.00109 0.47 2.56 0.18 0.32
Dalam kondisi Q normal :
Kedalaman muka air hulu ambang diambil 1,12 meter yang lebih besar 0,20 meter dibanding dengan
kedalaman air dihulu bangunan yaitu 0,92, sehingga pada awal bangunan terjadi penurunan 0,20 meter.
Tinggi air diatas ambang direncanakan 0,62 meter. Panjang ambang diambil 1,20 meter, lebar ambang
diambil lebih kecil dari lebar saluran yaitu = 1,55 meter.
Muka air hulu = + 154,90 + 0,92 = + 155,82 meter.
Muka air hilir = +154,64 + 0,78 = 155,42 meter.
Dalam keadaan Q maksimum ( Q diambil 10 % diatas debit normal ) :
Muka air hulu = + 154,90 + 0,97 = + 155,87 meter.
Muka air hilir = +154,64 + 0,78 = 155,42 meter.
Diperkirakan Cd = 0,98 dan Cv = 1,07, maka :
Q C d C 2/3 2/3 g b h 1,50 0,98 x 1,07 x 2/3 2/3 . 9,8 . 1,55 . h 1,489
c 1 1
1,50
v x
Dengan nilai ini maka elevasi ambang adalah = + 155,87 – 0,62 = + 155,25 meter.
Karena nilai maksimum H2/H1 = 0,70, maka H2 maksimum = 0,70 x 0,62 meter = 0,43 meter.
Q Cd C v 2/3 2/3
h g bc 1,50
0,98 x 1,07 x 2/3 x
1
2/3 . 9,8 . 1,55 . h
1,50
0,1 49
Karena nilai ini lebih rendah dari kondisi maksimum, maka elevasi ambang hasil perhitungan
kondisi maksimum yang digunakan.
Kontrol :
V2 0, 532
H1 h1 0,62 0,63 meter
2g 2 . 9,8
2 2
H2 h2 V 0, 64
0,17 0,19 meter
2g 2 . 9,8
H1/L = 0,63/1,20 = 0,53 ----> Cd = 0,93 + 0,10 H1/L = 0,98 --- > sesuai perkiraan.
Koreksi terhadap h1 :
Gambar V.3. Bangunan Ukur Ambang Lebar BTU Kr 1a pada DI Sanggau Ledo
VI. 1.2 Pintu Ukur Romijn.
Gambar V.4. Tiga kedudukan pintu Romijn. Gambar V.5. Dimensi pintu ukur
Romijn.
Rumus Pengaliran.
Rumus pengaliran pintu ukur Romijn ini pada dasarnya sama dengan pada alat ukur ambang lebar
dengan bagian pengontrol segi empat kerena meja Romijn itu pada dasarnya adalah ambang lebar yang
dapat dinaik turunkan.
Q Cd Cv 1,50
2/3 g bc h1
2/3
dimana :
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit
= 0,93 + 0,10 H1/L untuk 0,1 < H1/L < 1,0
Cv = Koeffisien kecepatan datang.
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Harga koeffisien kecepatan datang dapat dicari dari gambar V.2 terdahulu.
Karena pintu Romijn ini dibuat di pabrik, maka untuk effisiensinya dibuat standar pi9ntu Romijn,
dengan karakteristik seperti pada daftar berikut ini .
Daftar V. Standar Pintu Ukur Romijn.
5 Elevasi dasar dari m.air rencana 0,81 + V 1,15 + V 1,15 + V 1,15 + V 1,15 + V 1,15 + V
Q Cd Cv 2/3 g bc h1
1,50
2/3
Untuk pintu Romijn Type I, perhitungan debit menurut rumus tersebut diambil 7 % diatas debit
maksimum padamuka air rencana seperti pada butir 3 daftar diatas, sehingga untuk type I adalah Q = 1,07 x
160 = 171 liter/detik.
Untuk mendapatkan nilai Cd = 0,93 + 0,10 H1/L , H1 diambil sama dengan kedalaman maksimum
aliran pada muka air rencana seperti pada butir 2 daftar diatas ( = 0,33 ), sedangkan besarnya L = 1,2 H 1
maksimum diambil besarnya = 1,2 x H1 dengan nilai H1 juga seperti pada butir 2 tersebut. Sehingga L
didapat = 1,2 x 0,33 = 0,40 meter. Dengan demikian didapat nilai Cd = 1,01
Besarnya Cv diambil dari grafik yang besarnya tergantung dari besarnya A*, A dan C d. Besarnya A*
dihitung berdasar rumus = b x h = 0,50 x 0,33 = 0,167 m2. Sedangkan besarnya A = b x ( h + p ), dimana p =
0,81 + V = 0,81 + 0,18 h = 0,81 + 0,18 x 0,50 = 0,87 meter. sehingga A = 0,50 x 0,87 = 0,602 m2. Nilai C d = 1,01
seperti dihitung diatas sehingga Cd . A* /A = 1,01 x 0,167/0,602 = 0,28 Dengan nilai ini dari Grafik didapat
nilai Cv sebesar 1,03.
Q C d C v 2/3 2/3 g b h 1,50 1,01. 1,03 . 2/3 2/3 . 9,8 . 0,50 . 0,171 m3/detik.
c 1
1,50
. 0,33
Perhitungan kehilangan energi didasarkan atas batas moduler 0,76, sehingga h2/h1 = 0,76 dan karena
h1 = 0,33, maka h2 = 0,76 x 0,33 = 0,25 meter. Dengan demikian kehilangan energi adalah 0,33 – 0,25 = 0,008
meter.
Untuk type lain, perhitungan dilakukan dengan cara yang sama hanya dengan nilai Q yang
diperhitungkan diambil 5 % diatas debit maksimum aliran pada muka air rencana seperti pada butir 3 daftar
diatas. Sedangkan untuk kehilangan energi didasarkan atas batas moduler = 0,78.
Contoh perhitungan.
Contoh perhitungan untuk pintu Romijn ini akan digabung dengan contoh perhitungan bangunan
bagi yang akan dibahas kemudian, karena pintu ukur Romijn ini umumnya menjadi bagian dari bangunan
bagi, yaitu untuk memngukur aliran air ke saluran tersier.
VI. 1.3 Pintu Ukur Cipoletti.
Rumus Pengaliran.
Q Cd Cv 2/3 g bc h1
1,50 Gambar V. 6.Dimensi Pintu Ukur Cipoletti.
2/3
dimana :
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit ( harganya mendekati 0,63 )
Cv = Koeffisien kecepatan datang.
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Harga koeffisien kecepatan datang dapat dicari dari gambar V.2 terdahulu, namun biasanya nilai
koeffisien ini diperkirakan mendekati 1.
Ini berarti dengan lebar ambang tetap ( dalam gambar diatas dinyatakan dengan notasi B ), maka
besarnya debit tergantung dari besarnya h1.
8 θ
Q Ce 2 . g tan . h12,5
15 2
Alat ukur ini adalah alat ukur yang sudah diuji secara laboratoris untuk mengukur aliran dalam
saluran terbuka. Berdasar percobaan dari U.S. Soil Conservation Service, disusun 12 type pintu ukur Parshall
seperti pada daftar berikut ini. Notasi huruf dalam daftar tersebut adalah nitasi huruf pada gambar berikut
ini.
Catatan : dikutip dari Hidrolika Saluran Terbuka dengan mengkonversikan satuan Inggris ke satuan metrik.
Gambar V.9. Dimensi pintu Ukur Parshall.
Rumus Pengaliran.
Rumus pengaliran untuk pintu ukur Parshall berikut ini merupakan persamaan yang dikalibrasikan
secara pendekatan :
III - XI 12” – 8’
Q 4.w .
0.026
1,552w
H
Karakteristik bangunan.
Pintu Ukur Parshall merupakan bangunan pengukur yang teliti dan andal serta memiliki kelebihan –
kelebihan sebagai berikut :
1. mampu mengukur debit dengan kehilangan tinggi energi yang relatif kecil.
2. mampu mengukur berbagai besaran debit aliran bebas dengan air hilir yang relatif dalam dengan satu
alat ukur kedalaman air.
3. pada dasarnya bangunan ini dapat bebas dengan sendirinya dari benda-benda yang hanyut, karena
bentuk geometrinya dan kecepatan air pada bagian leher.
4. tak mudah diubah-ubah oleh petani untuk mendapatkan air diluar jatah.
5. tidak terpengaruh oleh kecepatan datang yang dikontrol secara otomatis jika flum dibuat sesuai dengan
dimensi standar serta hanya dipakai bila aliran masuk seragam, tersebar merata dan bebas turbulensi.
2. tak dapat dikombinasi dengan baik dengan bangunan sadap karena aliran masuk harus seragam dan
permukaan air relatif tenang.
3. agar dapat berfungsi dengan memuaskan, pintu ukur ini harus dibuat dengan teliti dan seksama.
Pintu sorong ini umumnya digunakan sebagai pintu pengatur pada bangunan bendung maupun
pada bangunan bagi, serta bangunan air lainnya. Aliran melalui pintu sorong secaraskematis adalah seperti
pada gambar berikut ini.
Perencanaan hidrolis.
Q=KP ab 2.gh1
dimana :
Q = debit, m3/detik.
K = faktor aliran tenggelam.
P = koeffisien debit
a = bukaan pintu, m. Gambar V. 10. aliran melalui pintu sorong.
b = lebar pintu, m.
g = percepatan gravitasi, m/dt2 ( | 9,8
)
h1 = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
Besarnya koeffisien K dapat diambil dari grafik V. berikut ini.
Dari grafik tersebut
besarnya faktor aliran
tenggelam, tergantung
dari besarnya perbandi-
ngan h2 dengan a serta h1
dengan a.
Contoh perhitungan.
Contoh perhitungan untuk pintu sorong akan digabung dengan contoh perhitungan bangunan bagi
yang akan dibahas kemudian, karena pintu sorong ini umumnya menjadi bagian dari bangunan bagi atau
bangunan sadap, yaitu untuk mengatur aliran air ke saluran sekunder/tersier.
Rumus Pengaliran.
Q Cd Cv 2/3 g bc h1
1,50
2/3
Ketinggian muka air dihulu pintu akan sangat tergantung dari tinggi sebuah balok sekat. Tinggi
yang umum dipakai untuk irigasi adalah 20 cm. Dalam hal diperlukan kenaikan muka air kurang dari 20 cm,
maka balok paling atas tidak perlu dipasang rapat sehingga masih ada air yang mengalir dibawah balok
paling atas sehingga muka air dihulu dapat sisesuaikan dengan keperluan.
Besarnya koeffisien kecepatan datang dapat diambil dari grafik ..... terdahulu, dimana nilai C v
tergantung pada nilai Cd . A*/A = Cd . ( b . h1 ) /{( h1 + p1 ) . b } = Cd . h1 / ( p1+h1 ).
Contoh perhitungan.
Contoh perhitungan untuk balok sekat akan digabung dengan contoh perhitungan bangunan bagi
yang akan dibahas kemudian, karena balok sekat ini umumnya menjadi bagian dari bangunan bagi atau
bangunan sadap, yaitu untuk mengatur aliran air ke saluran sekunder/tersier.
Bentuk mercu.
Pada mercu tetap denganb mercu bulat ( kiri ) Gambar V.15. Bentuk – bentuk mercu tetap
berlaku hubungan : H1 /r = 5,0 dan Cd = 1,48. yang umum dipakai.
Sedangkan pada ambang lebar ( kanan ) berlaku
hubungan : H1/L = 1,0 dan Cd = 1,03.
Rumus Pengaliran.
dimana :
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
127
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
Gambar V. 16aliran melalui mercu bulat.
128
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
H1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Besarnya H2/H1 tidak boleh melebihi 0,33 agar tidak terjadi aliran tenggelam.
Seperti yang telah diuraikan dalam babterdahulu. perbedaan antara bangunan bagi, bangunan sadap
dan bangunan bagi – sadap adalah pada fungsinya serta pencabangan dari saluran hulu ke saluran-saluran
hilirnya. Dalam perencanaan bangunan berikut ini yang dibahas adalah bangunan bagi – sadap dimana
perencanaan bangunan bagi – sadap ini sudah mencakup pula perencanaan bangunan bagi atau bangunan
sadap.
Dalam perencanaan bangunan bagi – sadap ada 4 bagian dari bangunan yang perlu kita tinjau
perencanaannya, yaitu :
x bagian hulu,
x bagian pengaturan muka air,
x bagian hilir,
x bagian peralihan.
Pada bagian hulu, yang terdiri dari saluran masuk dan kolam pengatur, merupakan ujung dari
saluran hulu. Untuk itu kedalaman bagian hulu ini umumnya diambil sama dengan kedalaman saluran
bagian hulu. Kalau bagian hulu ini penampangnya dirubah menjadi persegi, maka pada bagian hulu ini
terdapat sayap saluran yang menghantar perubahan penampang dari trapesium menjadi persegi. Kolam
pengatur merupakan kolam yang berhadapan dengan pintu – pintu pengatur, sehingga luasnya tergantung
dari jumlah saluran hilirnya.
Bagian pengaturan muka air, merupakan bagian yang fungsinya mengalirkan debit yang
direncanakan dengan tetap memperhartikan ketinggian muka air dihulu maupun dihilir. Muka air dihulu
pintu harus sama dengan muka air di kolam pengatur, sedangkan muka air dihilir pintu harus dapat
menjamin berfungsinya pintu pengatur dengan baik.
Bagian hilir, umumnya terdiri dari kolam olakan ( kecuali kalau dari hasil perhitungan
kolam olakan ini tidak diperlukan ) serta saluran bagian hilir. Ketinggian muka air dihilir kolam olakan
harus sama dengan ketinggian muka air di saluran hilir, sednagkan muka air hulu harus disesuaikan dengan
muka air dihilir pintu pengatur.
Bagian peralihan diperlukan kalau antara pintu pengatur dengan bagian hilir dipisahkan oleh
gorong- gorong atau saluran pasangan terbuka, sesuai tuntutan lokasi/lapangan. Kalau ada jalan inspeksi
atau jalan kampung yang melintasi bangunan, maka umumnya jalan ini diletakkan antara pintu pengatur
dengan bagian hilir dengan memasang gorong- gorong jalan.
Pintu ukur harus ditempatkan pada setiap pintu sadap, yaitu pintu dimana saluran tersier
berpangkal. Penempatan pintu ukur untuk saluran tersier dapat menggunakan pintu ukur yang sekaligus
mengatur aliran seperti pintu Romijn. Kalau digunakan pintu ukur yang tidak sekaligus mengatur, maka
dihulu pintu ukuir harus dipasang bangunan pengatur muka air sperti pintu sorong atau balok sekat.
Untuk saluran sekunder atau induk dihilir bangunan bagi, maka kalau saluran induk atau sekunder
dihilir itu hanya satu ( yaitu pada bangunan sadap ), maka pada saluran induk atau sekunder tersebut tidak
perlu ditempatkan pintu ukur. Tapi kalau saluran induk atau sekunder dihilir bangunan lebih dari satu buah
( pada bangunan bagi atau bangunan bagi – sadap ), maka salah satu saluran tidak ditempatkan bangunan
ukur dan yang lainnya tetap ditempatkan pintu ukur.
Dalam contoh berikut ini yang akan dibahas termasuk contoh perhitungan bangunan pengatur,
serta penerapan perencanaan pintu ukur pada bangunan bagi – sadap. Sebagai contoh kasus akan dilakukan
perhitungan perencanaan bangunan bagi dengan data sebagai berikut :
Data Sekunder hulu Sekunder kiri Sekunder kanan Tersier kiri Tersier kanan
Elevasi muka air, meter. + 76.53 + 76.03 + 75.97 + 74.16 + 73.23
Debit, meter3/detik 2.232 1.237 0.616 0.149 0.232
Pengatur -- P.sorong P.sorong Balok sekat Romijn
Pintu Ukur -- Mercu -- Thomson Romijn
Kemiringan 0.000328 0.000133 0.000080 0.000970 0.000510
Untuk menghitung dimensi saluran ini kita menggunakan cara seperti yang telah diuraikan dalam
bab IV dimana karakteristik saluran tanah yang disarankan penggunaannya oleh Direktorat Irigasi. Seperti
129
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
yang tercantum dalam daftar IV.4, kemiringan talut, perbandingan b/h serta faktor kekasaran Stickler
disesuaikan dengan debit yang harus dialirkan saluran.
Sesuai dengan daftar tersebut untuk saluran yang masuk atau keluar dari bangunan bagi - sadap
tersebut adalah sebagai berikut :
Data Sekunder hulu Sekunder kiri Sekunder kanan Tersier kanan Tersier kiri
Debit, meter3/detik 2,232 1,237 0,616 0,095 0,232
Kemiringan talut 1 : m 1,5 1,0 1,0 1,0 1,0
perbandingan b/h 1,8 – 2,3 1,5 – 1,8 1,3 – 1,5 1,0 1,0
Koeffisien kekasaran Stickler 40 40 35 35 35
(k)
Sekunder Hulu.
Untuk sekunder hulu ini dicoba dengan lebar saluran b = 2,00 meter dengan b/h = 2,0. Dengan
demikian maka h = 2,00 / 2,0 = 1,00 meter.
h b I b/h A P R k v Q
1.00 2.00 0.000328 2.00 3.50 5.61 0.62 40 0.53 1.852
1.05 2.00 0.000328 1.90 3.75 5.79 0.65 40 0.54 2.038
1.10 2.00 0.000328 1.82 4.02 5.97 0.67 40 0.56 2.234
1.15 2.00 0.000328 1.74 4.28 6.15 0.70 40 0.57 2.440
1.20 2.00 0.000328 1.67 4.56 6.33 0.72 40 0.58 2.656
Dari daftar tersebut dapat dilihat bahwa nilai h yang mendekati adalah h = 1,10 meter.
Untuk mendemensi saluran-saluran tersebut, digunakan cara yang sama dan hasilnya akan didapat
hasil seperti pada daftar berikut ini :
130
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
Perhitungan perencanaan untuk bangunan pengatur, pintu ukur dan kolam olakan pada suatu
bangunan bagi harus dilakukan dalam satu perencanaan karena saling terkait. Dalam kasus ini pintu ukur
ditempatkan pada setiap outlet kecuali pada sekunder kanan yang tidak dilengkapi dengan pintu ukur.
Banyaknya air yang dialirkan oleh saluran sekunder ini adalah debit yang dialirkan oleh sekunder hulu
dikurangi dengan debit yang dialirkan melalui 3 saluran lainnya.
Sekunder kiri.
Bangunan pengatur yang digunakan pada saluran ini pintu sorong dan pintu ukur adalah mercu
tetap jenis ambang lebar. Kolam olakan direncanakan menggunakan kolam olakan Vlughter.
Sebagai pintu pengatur disini digunakan pintu sorong, dimana kedalaman hulu ( h1 ) diambil sama
dengan kedalaman saluran sekunder hulu yaitu 1,10 meter. Kedalaman air dihilir pintu ( h 2 ) diambil 20 cm
lebih rendah atau = 0,90 meter. Bukaan pintu diambil 0,40 meter. Dengan demikian didapat h 1/a = 2.89 dan
h2/a = 2,37. Dengan nilai ini dari grafik didapat nilai K = 0,60 dan nilai P = 0,59.
Q=KP ab 2.gh1
dimana :
Q = debit, m3/detik.
K = faktor aliran tenggelam.
P = koeffisien debit
a = bukaan pintu, m.
b = lebar pintu, m.
g = percepatan gravitasi, m/dt2 ( | 9,8 )
h1 = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
maka lebar pintu yang diperlukan dihitung menurut rumus :
Q 1, 249
b 1,98 meter dibulatkan 2,00 meter.
K.P.a. 2.g.h 0,60 . 0,59 2 . 9,8 . 1,10
1
.0,15.
131
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
Perhitungan mercu.
132
Fasdarsyah, ST, MT--Æ Jurusan Teknik Sipil.
Untuk mengukur debit digunakan mercu ambang lebar, dimana debit yang dialirkan dihitung
menurut rumus sebagai berikut :
dimana :
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
H1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Dalam perencanaan ini lantai udik mercu diturunkan 0,80 meter, sehingga kedalaman air hulu
menurut kedalaman saluran sekunder hulu adalah 0,90 meter menjadi 1,70 meter akibat penurunan ini.
Penurunan ini dilakukan sebelum gorong-gorong, sedangkan mercu ambang lebar di letakkan dihilir
gorong-gorong.
Tinggi muka air hulu ( h1 ) diambil sebesar 0,50 meter diatas mercu.Kecepatan aliran menuju mercu
adalah : v = Q/(b.h) = 1,237/( 2,00 . 1,70 ) = 0,36 meter/detik. Dengan demikian tinggi kecepatan v 12/2g =
0,01 meter, sehingga H1 menjadi 0,51 meter.
Besarnya koeffisien debit untuk mercu bulat dengan ambang lebar adalah Cd = 1,03 sehingga :
Q C d 2/3 2/3 . g b H 1,50 1,03 . 2/3 2/3 . 9,8 . b . 0,52 1,50 1,237 m3/detik.
c 1
. c
Kalau dihitung akan didapat bc sebesar 1,958 meter atau dibulatkan menjadi 2,00 meter dan lebar ini
sama dengan lebar bawah saluran sekunder kiri.
Sekunder kanan.
Saluran sekunder kanan ini menggunakan pintu sorong sebagai pintu pengatur.
Bangunan Pengatur.
Sebagai pintu pengatur disini digunakan pintu sorong, dimana kedalaman hulu ( h1 ) diambil sama
dengan kedalaman saluran sekunder hulu yaitu 1,10 meter. Dengan demikian ketinggian dasar pintu adalah
76,53 – 1,10 = 75,43 meter.
Muka air di hilir pintu diambil sama dengan muka air di saluran sekunder kanan yaitu + 75,68
meter, sehingga kedalaman air dihilir pintu ( h2 ) = 75,68 – 75,43 = 0,25 meter.
Bukaan pintu diambil 0,16 meter. Dengan demikian didapat h1/a = 6,88 dan h2/a = 1,56. Dengan
nilai ini dari grafik didapat nilai K = 1,00 ( nilai maksimal K ; pertemuan garis h1/a dan h2/a diluar gambar )
sedangkan nilai P = 0,59.
Q=KP ab 2.gh1
dimana :
Q = debit, m3/detik.
K = faktor aliran tenggelam.
P = koeffisien debit
a = bukaan pintu, m.
b = lebar pintu, m.
g = percepatan gravitasi, m/dt2 ( | 9,8 )
h1 = kedalaman air didepan pintu diatas ambang, meter.
Q 0, 616
b 1,479 meter dibulatkan 1,50 meter.
K.P.a 2.g.h 1,00 . 0,56 2 . 9,8 . 1,10
. 1
.0,16.
Gambar V.19. Aliran pada saluran sekunder kanan.
Karena muka air hilir pintu sorong diambil sama dengan ketinggian muka air di saluran sekunder
kanan, maka pada dasarnya sudah tidak diperlukan kolam olakan lagi karena z = 0. Namun untuk amannya
lantai pasangan bagian ujung di turunkan 20 cm, seperti pada gambar diatas.
Tersier kanan.
Pintu pengatur yang digunakan pada saluran tersier kiri ini adalah balok sekat, sedangkan pintu
ukurnya menggunakan pintu Cipoletti. Karena penampang saluran pada pintu Cipoletti ini berbentuk
trapesium dan ditempatkan pada aliran yang tenang, maka pintu ukur Cipoletti ditempatkan agak kehilir
dihilir kolam olakan balok sekat.
Pintu Pengatur.
Muka air dihulu balok sekat diambil sama dengan muka air pada saluran sekunder hulu, yaitu +
76,53 dengan kedalaman air di saluran sekunder hulu setinggi 1,10 meter. Kedalaman air dihulu balok sekat
diambil sama dengan kedalaman saluran tersier kiri yaitu 0,45 meter. Dengan demikian terjadi kenaikan
dasar pintu dibanding dengan ketinggian dasar saluran sekunder hulu. Tebal balok sekat ( L ) diambil 0,10
meter dan tinggi muka air diatas balok ( h1 ) diambil 0,25 meter.
Q Cd Cv 2/3 g bc h1
1,50
2/3
dimana :
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit
Cv = Koeffisien kecepatan datang.
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
x kecepatan aliran di saluran : v = 0,29 meter/detik, besarnya v2/2g = 0,004, maka H 1 dapat diambil sama
dengan h1.
x Untuk L = 0,10 meter dan h1 = 0,18, didapat H1/L = 1,80.
x Dari grafik didapat besarnya Cd = 1,10.
x Cd . A*/A = Cd . h1 . b / ( h . b ) = 1,10 . 0,18 / 0,45 = 0,44.
x Dengan nilai tersebut didapat Cv = 1,05.
Berdasar nilai tersebut, lebar pintu adalah sebagai berikut :
Q 0,149
bc 0,989 meter dibulatkan 1,00 meter.
C d C v 2/3 2/3 g h 1,50
1 1,10. 1,05 . 2/3 2/3 . 9,8 . 0,181,5
.
Karena dihilir kolam olakan masih terdapat bangunan ukur Cipoletti, yang memerlukan perbedaan
tinggi muka air, maka ketinggian muka air di hilir kolam olakan diambil 0,30 meter lebih tinggi dari muka
air disaluran tersier kanan. Ketinggian muka air di saluran tersier kanan = + 75,16 meter, sehingga muka air
dihilir kolam olakan = + 75,46 meter. Kolam olakan menggunakan bentuk kolam olakan Vlughter.
Gambar V.20. Aliran pada tersier kanan.
Dengan demikian didapat z = 76,53 – 75,46 = 1,07 meter. Besarnya debit per meter saluran = Q/b =
0,096 / 1,00 = 0,096, sehingga besarnya hc adalah :
2
q 0, 0962 z 1, 07 z
hc 3 3 0,10 sehingga 11,09 o 2,0 15,0
q 9,8 hc 0,10 hc
hc 0, 10
a 0,28 h c 0,28 . 0,03 m mengingat kecilnya nilai a dan dihilir masih ada pintu
z 1,07
0,10
ukur, maka ambang setinggi 3 cm ini diabaikan. Sehingga ketinggian dasar kolam olakan = ketinggian muka
air hilir – t = 75,46 – 0,40 = 75,06 meter. D = Ketinggian atas balok sekat – ketinggian kolam olakan = 76,08 –
75,06 = 1,02 meter. Dengan demikian panjang kolam olakan L = D = R = 1,64 meter. Namun dalam kasusu ini
kolam olakan diambil lebih panjang disesuaikan dengan kedudukan pintu ukur.
Q Cd Cv 2/3 g bc h1
1,50
2/3
Gambar V.21. Pintu Ciploetti pada tersier
dimana : kanan.
Q = Debit dalam m3/detik.
Cd = Koeffisien debit ( harganya mendekati 0,63 )
Cv = Koeffisien kecepatan datang.
g = percepatan gravitasi ( = 9,8 m/dt2 )
bc = lebar mercu, meter.
h1 = kedalaman air hulu terhadap ambang bangunan ukur, meter.
Besarnya debit yang harus dialirkan : Q = 0,096 m3/detik, lebar mercu b c =1,00 meter.
Q 0, 096
h 1,5
1 akan didapat h1 0,20 meter.
Cd.Cv 2.g.b 0,63 . 1 2 . 9,8 . 1,00
.2/3 c .2/3
karena kedalaman air dihulu = 0,40 ( sesuai dengan besarnya t ), maka dengan nilai h1 = 0,20, maka
nilai p = 0,20. Menurut syarat p t 0,30, sehingga lantai diturunkan 0,10 meter agar didapat p = 0,30 meter.
Sehingga nilai Cd.A*/A = 0,63 . 0,21 / 1,023 = 0,129. Dari grafik didapat nilai Cv mendekati 1,
sehingga perkiraan diatas benar.
Kolam olakan untuk pintu ukur ini juga menggunakan bentuk Vlughter dengan besarnya z = 75,46 –
75,16 = 0,30 meter. Besarnya debit per meter saluran = Q/b = 0,096 / 1,00 = 0,096, sehingga besarnya hc
adalah :
2
q 0, 0962 z 0, 30 z
hc 3 3 0,10 sehingga 3,00 o 2,0 15,0
q 9,8 hc 0,10 hc
hc 0, 10
a 0,28 h c 0,28 . 0,03 m
z 0,3007
0,10
Ketinggian dasar kolam olakan = kedalaman air hilir – t = 75,16 – 0,32 = 74,84 meter. Namun kalau
ditinjau dasar sungai sebelah hilir kolam olakan, sebesar : 75,16 meter dan kedalaman air di saluran tersier
kanan 0,45 meter, maka ketinggian dasar saluran di hilir kolam olakan = 75,16 – 0,45 = 74,71 meter. Ini lebih
rendah dari dasar kolam olakan dari perhitungan tersebut. Untuk ketinggian kolam olakan diambil 0,10 m
lebih rendah dari dasar saluran menjadi : 74,71 – 0,10 = 74,61 meter.
Tersier kiri.
Untuk mengatur maupun mengukur aliran yang masuk ke saluran tersier kiri ini digunakan pintu
Romijn.
Oleh karena itu pada tersier kiri ini hanya terdapat 2 bagian : pintu ukur Romijn yang terletak
sebelum gorong-gorong jalan dan kolam olakan sesudah gorong-gorong jalan.
Karena debit yang dialirkan oleh tersier kiri ini adalah sebesar 0,239 m3/detik, maka dipakai pintu
Romijn Type II, dengan data sebagai berikut :
dimana V = varian = 0,18 x H maksimum = 0,18 x 0,50 = 0,09 meter, sehingga elevasi dasar dari muka
air rencana : p = 1,15 + 0,09 = 1,24 meter. Karena h1 + p = 0,50 + 1,24 meter = 1,74 meter lebih besar dari
kedalaman muka air di saluran sekunder hulu, maka dasar pintu Romijn harus diturunkan sebesar 0,64
meter. sehingga kedudukan pintu Romijn seperti pada gambar diatas.
Kolam olakan.
Untuk perhitungan kolam olakan ini besarnya z = 76,42 – 73,23 = 3,19 meter.
Q 0, 239 q
2
0, 463
2
Sedangkan besarnya q 0,463 dan besarnya hc 3 3 0,36 meter.
b 0,50 g 9,8
z
Dengan demikian 3, 19
hc 8,82 sehingga t 3,0 h c 0,1 z 3,0 . 0,36 0,1 . 1,40 meter.
0,36 3,19
hc 0, 36
a 0,28 0,28 0,03 meter
z 3,19
Ketinggian kolam olakan = muka air hilir – t = 73,23 – 1,43 = 71,33 meter.
D = 74,79 – 71,33 = 3, 46 meter. Jadi panjang kolam olakan juga = 3,46 meter | 3,50 meter.
Karena antara pintu Romijn dan kolam olakan dipisahkan oleh gorong-gorong, maka kedalaman air
di gorong-gorong sama dengan kedalaman air dihilir pintu Romijn yaitu 1,63 meter.
Catatan :
Walaupun dalam contoh perhitungan diatas dicoba berbagai pintu pengatur, itu semata-mata
untuk memberi gambaran penerapan rumus-rumus yang telah diuraikan sebelumnya. Dalam
pelaksanaan yang sebenarnya, agar pengaturan air lebih adil, sebaiknya digunakan penggunaan
pintu yang sama. Dalam kasus diatas, pada waktu air rendah, maka air akan masuk ke saluran
sekunder kanan dulu karena begitu pintu diangkat setinggi 16 cm, sudah mencapai debit penuh.
Sedangkan pada sekunder kiri sebelum muka air belum naik 0,35 meter dari dasar , maka air belum
akan melewati ambang lebar. Begitu pula untuk saluran tersier.