Kami berangkat dari pertanyaan pekerjaan paling berbahaya. Pertanyaan dari wanita tua di sebrang sana. Bukan materi yang dia ajarkan, melainkan sebuah pertanyaan pengantar sebelum pelajaranlah yang malah nyangkut di otak kami. Seringkali kami diberi pertanyaan yang dekat dengan kehidupan. Pertanyaan yang membuat kami berpikir lebih lambat. Hakikat sosial yang sebenarnya dapat ditemukan jika kami mengontrol pikiran untuk berjalan lebih pelan. Dengan begitu kami akan menyadari hal-hal yang tidak kami sadari sebelumnya. Kami tidak dibimbing untuk menemukan jawabannya. Wanita itu hanya menulis pertanyaan, kemudian meninggalkan kami selama 10 menit. Usai kami berdiskusi, ia kembali dan langsung mulai menyampaikan materi pelajaran. Kami benar-benar memegang kendali atas 10 menit itu. Tak ada paksaan, hanya bertukar pikiran. “Kau tidak ingat? Tiga ratus banding lima ratus kasus pembunuhan di negeri ini dialami polisi. Sudah jelas pekerjaan ayahku yang paling berbahaya! Ini sudah bukan rahasia umum lagi. Ini fakta!,” tegas Jaki. Ia anak seorang polisi berpangkat tinggi. Kami lebih nyaman memanggilnya dengan Cak ketimbang Jak. “Ayahku harus siaga menghadapi orang- orang gila! Seperti kejadian barusan, aksi pengeboman teroris di kantor polisi. Bagaimana jika saat sedang buang air besar kau di bom oleh teroris?,” lanjutnya dengan nada tinggi pertanda percaya diri. “Kamu belum merasakan bahayanya jadi nahkoda. Laut saja baru sepertiganya yang diteliti manusia. Terbayang tidak jika kau ditelan makhluk aneh di kedalaman sana?,” tanyaku santai dan tidak kalah percaya diri. “Berbicara soal laut, aku anak nelayan. Aku tidak tahu banyak soal nahkoda yang tenggelam bersama kapalnya. Hanya saja aku tahu sedikit soal Kapten Edward Smith. Dia bunuh diri saat kapal Titanic tenggelam. Bukankah itu berbahaya?” timpal Bayu dengan nada polosnya. Semacam takut namun berusaha berani. “Hei! Kebenaran mengenai Kapten itu masih tumpang tindih! Memang kau melihat dengan kepala kau sendiri kalau dia melompat pasrah ke laut saat Titanic tenggelam!” balas Jaki dengan geram. “Tapi setelah kupikir-pikir pekerjaan paling berbahaya adalah nelayan. Pernah dengar cerita sosok nelayan yang pertama kali mati saat tsunami Aceh? Aku rasa dia hidup dengan ketidakpastian setiap harinya. Bisa saja kapalnya terbalik, tidak dapat ikan, atau malah bertemu Izrail? Gajinya juga tidak tinggi. Tidak bisa menghidupinya lima hari kedepan,” timpalku. “Kalau begitu sama saja dengan pilot! Dia garda terdepan di balik ratusan penumpangnya. Untung-untung jika pilot menerima sinyal kalau ada yang tidak beres. Jika tidak? Kemungkinan dia selamat dari entah kecelakaan pesawat yang bagaimana sangat kecil. Kasarnya dia bisa nyaris tewas setiap hari kan?,” ucap Jaki berlagak memperagakan dialog drama. “Semakin kesini ternyata semakin berbahaya ketika pekerjaanmu menitikberatkan profesionalitas. Tapi kalian sadar tidak? Ada satu pekerjaan yang kita kira aman-aman saja, padahal tidak. Mereka mati saja kita bisa tidak tahu,” ucap Adnan. Ketua kelas kami. “Sudah menjadi tuntutannya untuk mengerti berbagai bahasa dan menerjemahkannya kepada orang lokal. Tapi bagaimana jika kau dilibatkan dalam perjanjian berbahaya antar negara? Bagaimana jika hanya kau yang harus menjadi perantara dalam mengkomunikasikan masalah pribadi orang-orang kaya yang tidak ingin masalah mereka diketahui siapapun. Hanya kau yang bisa. Keadaan menuntutmu. Kau bisa menjadi translator paling dipuja-puja dalam sehari, namun juga bisa menjadi incaran pembunuhan.” Jawaban Adnan mampu membuat seisi kelas terdiam. Kami memikirkan resiko menjadi translator adalah mati usai pekerjaannya selesai. “Hei! Kita realistis saja lah kawan. Sekolah kita tidak jauh jaraknya dengan rumah sakit jiwa. Kau tidak perlu masuk ke dalam sana. Berdirilah di pinggir gerbang mana saja! Kau akan dengar teriakan, umpatan, kekerasan, dan barang pecah setiap harinya. Bagaimana jika kau yang jadi penjaga keamanan di sana? Atau bisa saja kau jadi dokter di rumah sakit itu. Bukan hanya fisik yang tersiksa! Mental dan batin mu bisa tewas jika kau payah menghadapi orang-orang yang tidak waras itu!” ucap Jaki dengan lantang, mengambil alih perhatian kelas. “Apa kau pernah mendengar ada lima orang uji coba obat yang pernah tewas akibat kegagalan obat atau vaksin? Siapapun orang miskin yang tidak punya harapan hidup pasti mau saja jika disuruh menjadi objek uji coba. Mereka tidak punya penghasilan serta belum menemukan keahliannya, pastilah mereka rela menjadi kelinci percobaan. Sudah bisa disimpulkan kalau pekerjaan ini paling berbahaya, Cak” pancingku lagi agar Jaki naik pitam kembali. “Hei! Lalu kau pikir siapa yang membersihkan dinding kaca pada gedung-gedung pencakar langit di Jakarta! Siapa yang membuat tower setinggi itu! Siapa yang berkewajiban memperbaiki kerusakan listrik dan harus memanjat menara di atas awan! Resiko terburuk mereka adalah jatuh dari ketinggian itu kan!” jawabnya nyolot, tak mau kalah. “Aku pernah dengar Bandung Bondowoso yang bangun seribu candi dalam waktu sehari untuk mendapatkan pujaan hatinya? Kalau kita direkrut jadi karyawannya pada masa itu, kita bisa mati konyol, Kawan.” Ucap Bayu dengan pertanyaan anehnya. Wanita tua itu kembali masuk ke dalam kelas kami. Seperti biasa, ia langsung memulai pelajaran inti setelah membuat kami panas. Matahari kali ini seperti Jaki. Suka cari perhatian, selalu ingin jadi pusat, tidak mau kalah, dan tukang pamer. Hobi sekali dia memerkan ayahnya yang buncit itu. Aku melihat penjual cilok di seberang jalan. Banyak sangat siswa tertarik mengantri panjang demi cilok yang ia jual. Satu pertanyaan terlintas di otakku. Kurasa jadi penjual cilok tidak berbahaya. Lagipula pekerjaan paling berbahaya identik dengan perenggutan nyawa. Ketimbang cilok, aku lebih tertarik dengan pentol bakar disampingnya. Aku melangkah cepat sebelum siswa yang mengantri bertambah banyak. BRUKKKKKK! Semua siswa berteriak histeris seperti melihat kecelakaan besar. Kepanikan melanda sekolahku pada siang itu. Siang yang seharusnya mengantarku kembali ke rumah, bukan berpulang. Kudapati tubuhku tergeletak di jalan itu. Cucuran darah menyelimuti wajahku. Aku tidak melihat kaki kananku. Kususuri tempat ini hingga ternyata kakiku terpotong. Lokasi sekolah kami sering dikritik karena letaknya di sebrang jalan. Banyak truk pengangkut barang yang melewati sekolah kami dengan kecepatan laju. Sekolah kami dikhawatirkan akan melahirkan korban tabrakan. Namun ternyata korban pertama, adalah aku. “Kalian ini lucu. Semua pekerjaan pasti beresiko. Siapa pula yang mau mati? Mendekatlah dan akan kuberitahu pekerjaan paling berhaya di dunia ini,” “Kau dipaksa melakukan pekerjaan ini. Tidak ada pilihan untuk menolak mengerjakannya. Pimpinanmu sangat egois. Ia menuntutmu untuk jangan pernah melupakannya. Pekerjaan ini sudah jelas ujungnya. Mati. Karena tidak ada pilihan untuk tidak menjalankannya, maka siapapun yang terpilih untuk menjadi pekerjanya harus siap dengan masalah. Pada intinya pekerjaan ini adalah masalah. Kau dituntut kuat menjalaninya hingga menjemput batas akhir yang sudah ditentukan atasanmu,” “Bagaimana rasanya jadi manusia?” pandanganku mulai menggelap, jiwaku ditarik perlahan. Aku titip salam untuk para kawan, termasuk Jaki yang paling kubenci.