Anda di halaman 1dari 5

LEMBAR KERJA PESERTA DIDIK (LKPD)

KELAS IX, SEMESTER 1

TEKS CERITA PENDEK


TUGAS 3

Nama peserta didik : Kelompok 1


- Afa Keysha
- Alivino SNS
- Ariel Rayhans W
- Fathan Arfian
- Damar M
- Ibrahim Pharel
- Naufal Dzaki
Kelas : 9F

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengamati video tentang pidato teks cerita pendek, peserta didik mampu menentukan unsur
intrinsik cerita pendek.

B. Petunjuk
1. Cermati paparan berikut: https://youtu.be/-BHRAAWcijw
2. Bacalah kembali cerpen berikut:
a. https://www.youtube.com/watch?v=zte4BKPA5yY (Yang Berdiri di Muka Cermin)
b. https://www.youtube.com/watch?v=F8b32w4LmrQ (Wajah)
c. https://www.youtube.com/watch?v=_QQAkVMjZFc (Tak Bisa Pulang)
d. https://www.youtube.com/watch?v=FG2s woRBk (Sebotol Mineral)
e. https://www.youtube.com/watch?v=QNmYMdgQRtY (Seorang Ibu Menunggu)
3. Pilihlah 1 cerpen di atas untuk dianalisis struktur dan ciri kebahasaannya!
4. Tulislah hasil analisis unsur intrinsik tersebut di LKPD 3 Teks Cerita Pendek!
5. Simpan LKPD 3 ini di Ms Office dengan format nama file (Nama Lengkap_Kelas_LKPD 3 Teks
Cerita Pendek)!
6. Kirim melalui Google Classroom!

B. Lembar
Kerjas

Judul : Wajah
Karya : Sides Sudyarto D.S.

Hasil analisis:

1) Orientasi

Durma mempunyai kesadaran yang luar biasa atas kesadarannya sendiri. Ia tahu bagaimana
menghadapi orang bodoh, pintar, orang culas, orang jujur, orang miskin, atau kaya. Ia bisa jadi
orang gila dan gagu, ketika harus naik oplet karena tidak mampu membayar.

Ketika muda ia merantau ke Yogya. Di sana ia membeli buku loakan. Pada halaman awal buku
stensilan itu terbaca kalimat: filsafat tidak menanak nasi. Dan kini, dalam hidupnya di perantauan
ia mencatat sendiri: ijazah tidak menanak nasi. Ia jadi penarik becak saat baru masuk Jakarta.
Posisinya meningkat, saat ia jadi penjual koran.

Lompatan jauh ke depan, yang paling spektakuler, terjadi ketika ia dari tukang koran menjadi
wartawan surat kabar paling berpengaruh di Jakarta. Tidak banyak orang tahu proses
metamorfosis dahsyat itu. Ia menutup ketat masa lalunya itu. Puncak kariernya, ia menjadi
penasihat seorang politikus muda yang sedang naik daun. Ketika kemudian tokoh flamboyan itu
menghalalkan semua cara, ia pilih mundur. Antiklimaks terjadi, ia jadi pengangguran, hidup
lontang-lantung.

Berbeda dengan mereka semua, Durma memilih warna lain. Ia memberikan beban berat kepada
mukanya sendiri. Kepada wajahnya. Ia selalu siap menjadikan wajahnya sebagai alat
penyamaran, alat berpura-pura, atau sebagai topeng perasaan dan pikirannya. Doktrin hidup
pribadinya sekarang ialah: selama aku mampu merendahkan diri, siap dihina orang, aku masih
bisa mendapatkan sedikit uang untuk hidup!

Wajahnya selalu menengadah, siap dimaki, dihina, disiksa, dianiaya, ditampar, atau bahkan juga
diludahi. Karena wajah baginya adalah satu penampang dan simbol kehormatan, maka Durma
siap menelan risiko menjadi manusia yang tidak terhormat.

“Mengapa kau memilih bunglon sebagai mahagurumu?” tanya Paron.

“Karena saya tidak punya mahaguru dari universitas. Toh ada bedanya. Bunglon berubah warna
kulit untuk menyelamatkan dirinya, tanpa sadar. Ketika saya mengubah taktik saya, itu saya
lakukan dengan sadar,” jawab Durma.

“Apa kau tidak mampu mencari mahaguru yang lebih bermutu?” ejek Paron.

“Ada, bahkan jauh lebih bermutu.”

“Siapa?”

“Kemiskinanku. Penderitaan hidupku adalah guruku yang nomor satu.”

“Coba kasih contoh untukku salah satu bentuk penderitaanmu!”

“Saya pernah disuruh menagih utang oleh seseorang, kepada seseorang. Karena aku menagih di
pinggir jalan, orang itu marah dan ia meludahi wajahku.”

“Lalu, selanjutnya?”

“Selanjutnya aku menarik garis lurus kesimpulanku. Ternyata dengan bersedia diludahi wajahku,
aku dapat uang. Artinya aku bisa bertahan hidup!”

“Apa tidak ada bisnis lain? Pekerjaan apa yang kau lakukan itu?”

“Aku bisnis muka. Bisnis wajah! Bisnis lain juga banyak kulakukan. Aku mengurus SIM, STNK,
BPKB, calo tanah, calo onderdil mobil.”

“Dan hasilnya membuat kau bahagia?”

“Walah! Walah! Mas Paron, untuk saya kebahagiaan itu tidak pernah ada!”

Sudah tiga tahun terakhir ini Durma bekerja sebagai sopir pribadi Bu Jonoamijoyo. Ia akrab
dipanggil Bu Ami, dikenal sebagai perempuan yang paling galak, kasar, tetapi baik hati. Ia suka
memberi uang kepada siapa saja. Tentang Bu Ami orang-orang mengatakan: ia menghidupi
orang dengan uangnya, sekaligus membunuh orang dengan kata-katanya. Semula Durma tidak
percaya semua omongan orang itu. Setelah ia bekerja cukup lama barulah ia tahu apa yang
sebenarnya.
2) Komplikasi
Sebenarnya, Bu Ami perempuan yang cantik paras mukanya, pikir Durma. Selalu. Rambutnya yang
hanya sebahu panjangnya, bergelombang alami. Memang sudah mulai memutih, tetapi menambah
indah parasnya. Wajahnya selalu bersih, tanpa mengenakan bedak. Bibir pun merah asli tanpa gincu.
Di zaman anggaran kecantikan mengalahkan anggaran pertahanan, ia sama sekali tidak berdandan.

Sayangnya, badannya terlalu besar karena gemuknya. Hebatnya, meskipun gemuk dengan bokong
yang terlalu besar, ia selalu bergerak cekatan dan tidak ada segannya naik turun tangga dalam
rumahnya yang berlantai tiga. “Durma, sebulan ini kau bekerja baik sekali. Kau tidak mangkir sehari
pun. Kau pantas menerima bonus satu juta rupiah! Ingat, jangan sampai dicuri binimu di rumah.
Perempuan kebanyakan hanya bisa mencuri uang suaminya. Rata-rata mereka tidak lebih dari komodo-
komodo penghisap darah daging suaminya. Perempuan, juga istrimu, pastilah komodo yang pura-pura
setia sebagai modal utamanya,” ujar Bu Ami.

Sering kali, Bu Ami dimaki-maki orang di depan rumahnya, karena ia sendiri menghamburkan makian
yang luar biasa kotornya. Dua musuh utama Bu Ami adalah pemulung dan peminta sumbangan yang
terus tumbuh bagai cendawan di musim hujan.

“Hai maling jahat! Rapikan kembali sampah-sampah itu. Kamu makan dari sampah, tetapi tak tahu
aturan. Sampah kau obrak-abrik, berantakan. Baunya ke mana-mana. Jika tidak kau rapikan lagi,
makan semua sampah busuk itu biar kenyang perutmu!” maki Bu Ami menghardik pemulung.

Suatu hari, datang seorang pemuda gondrong membawa daftar sumbangan. Jumlah sumbangan sudah
ditentukan.

“Sumbangan itu suka rela. Jangan maksa begini! Aku tak mau dipaksa. Kalau maksa, namanya
rampok! Garong! Kau pikir cari uang mudah?” ujar Bu Ami bergetar.

Penarik sumbangan marah luar biasa. Ia menghunus goloknya, lalu mengejar perempuan gembrot yang
menghinanya. Durma terpaksa tampil sebagai pahlawan.

3) Resolusi
Akhir-akhir ini Bu Amijoyo sakita-sakitan. Keluhannya, seringkali kakinya merasa pegal-pegal dan
ngilu, terutama pada bagian-bagian persendiannya. Dia bilang itu penyakit asam urat. Maka secara
periodik ia pun harus ke dokter dan apotek untuk beli obat. Langganannya: voltaren, silorit. Hingga
bosan ia membayar dokter dan membeli obat, tidak juga sembuh. Rasa sakit, nyeri dan ngilu
memang lenyap setelah makan obat. Tetapi begitu obat habis, kambuh lagi rasa sakitnya yang sangat
menyiksa.

“Durma, sudah seminggu kau tidak bekerja, lantaran aku sakit. Kau makan gaji buta! Sekarang aku
sakit, kau tidak peduli. Sekarang kau mau berbuat apa?”

“Apa yang bisa saya lakukan, Ibu?”

“Kau punya otak atau tidak? Mestinya kau berpikir, bagaimana aku cepat sehat. Molor saja kerjamu
itu!”

“Saya sudah antar Ibu ke dokter. Saya sudah ke apotek beli obat,” jawab Durma.

“E, apa matamu buta? Sudah berapa juta uang dihamburkan untuk beli obat? Dokter mahal, obat
mahal. Tidak menyembuhkan! Penipu! Coba cari obat lain, Durma!”

Durma pergi mencari obat tradisional.

Di jalan, ia jumpa Mas Paron lagi. “Kau masih bekerja pada Bu Gendut itu?” tanya Mas Paron.
“Masih, Mas. Orangnya baik sekali!”

“Baik sekali katamu? Sopir lain hanya tahan tiga hari! Kau sudah tiga tahun!”

“Dia itu orang yang sangat kaya harta, tetapi sangat miskin bahasa. Ia banyak memberi uang kepada
orang. Bukan hanya kepada saya saja, Mas!”

“Kau mau ke mana sekarang?”

“Majikan saya sakit asam urat. Sudah lama. Dokter dan obat tidak menyembuhkan, Mas. Kalau
kumat, ia nangis jejeritan.”

“Dia orang baik, katamu. Harus kita tolong. Nah cari obat tradisional, ini merknya. Adanya di
warung jamu Pasar Lama. Harganya hanya seribu perak sebungkus,” ujar Mas Paron.

Durma pulang dengan sepuluh bungkus jamu.

“Luar biasa. Seperti orang main sulap saja. Sayang langsung sembuh!” ujar Bu Amijoyo kepada
Durma. Ia sangat kagum, sebab minum jamu sore, pagi harinya ia langsung bisa jalan normal lagi.
Hari itu juga Bu Amijoyo minta diantar ke supermarket, untuk membeli keperluan sehari-hari.

4) Koda/Ending
Beberapa waktu kemudian terjadi peristiwa yang paling mengejutkan dalam hidup Durma. Bu
Amijoyo menyerahkan surat rumah, surat mobil kepadanya. “Ini mesti saya apakan, Ibu?”

“Pegang saja, simpan. Barang-barang itu semua akan jadi milikmu.”

“Saya tidak berhak menerima warisan dari Ibu. Maafkan saya, Ibu!”

“Diam, Durma. Aku tak punya anak, tak ada sanak saudara. Aku akan ke notaris. Itu semua
untukmu.” ujar Bu Ami. “Tidak lama lagi saya masuk panti jompo. Di sana orang-orang tua
yang tidak mau terlantar seperti aku, bakal dirawat dengan baik.”

Beberapa bulan kemudian Bu Amijoyo menuju panti jompo, diantarkan Durma dengan mobil
mewahnya. Di sana ia menunjukkan nomor kamarnya, tempat untuk menerima jengukan dan
sebagainya.

“Saya yakin, Ibu masih punya kerabat dekat,” ujar Durma memberanikan diri.

“Jangan membuat aku berpikir mundur! Aku hanya ingin hidup bebas. Kebebasan adalah
segalanya dalam hidupku!” ujar Bu Ami.

Durma terdiam saja.

“Baiklah kalau kau mau pulang. Tengok aku sehari sekali. Jika tidak, seminggu sekali atau
sebulan sekali. Jangan lupa, kau akan mengatur pembayaran panti sebulan sekali. Terima kasih,
Durma,” ujar Bu Ami sambil tegak berdiri.

Durma mohon diri, untuk dengan berat hati meninggalkan majikannya. Bu Amijoyo
memeluknya beberapa lama. Setekah renggang rangkulannya, Bu Ami menyeka air matanya.
Begitu juga dengan Durma. Ia tak tahan membendung tangisnya yang tanpa suara. Perempuan
tambun berwajah cantik dan bersih itu terus menatap langkah-langkah Durma, hingga tak
tampak lagi dari pandangannya.

Anda mungkin juga menyukai