Anda di halaman 1dari 23

PERATURAN DIREKTUR

TENTANG PANDUAN
PELAYANAN PASIEN ANAK DAN
LANSIA DENGAN
KETERGANTUNGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG


DINAS KESEHATAN, PENGENDALIAN
PENDUDUK, DAN KELUARGA BERENCANA
UOBK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASIRIAN
Jalan Raya Pasirian Nomor 225A Kecamatan Pasirian
Telp (0334) 5761044, iE-mail : rsud.pasirian@gmail.com
L U M A J A N G - 67372
PERATURAN DIREKTUR TENTANG
PANDUAN PELAYANAN PASIEN
ANAK DENGAN KETERGANTUNGAN

LEMBAR PENGESAHAN

PENGESAHAN DOKUMEN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASIRIAN


Panduan Pelayanan Pasien Anak Dengan Ketergantungan
TANDA
KETERANGAN TANGGAL
TANGAN
dr. Mohammad Zainul Arifin
Pembuat Dokumen
NIP.19830103 200903 1 007

Enny Kurniawati, S.Kep., Ns., MMRS.


Authorized Person
NIP. 19750822 199803 2 003

dr. WAWAN ARWIJANTO


Direktur
NIP. 19700930 200212 1 006

ii
PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG
DINAS KESEHATAN, PENGENDALIAN
PENDUDUK, DAN KELUARGA BERENCANA
UOBK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASIRIAN
Jalan Raya Pasirian Nomor 225A Kecamatan Pasirian
Telp (0334) 5761044, E-mail : rsud.pasirian@gmail.com
L U M A J A N G - 67372

PERATURAN DIREKTUR
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PASIRIAN
NOMOR: 445/932/427.78/2018
TENTANG

PANDUAN PELAYANAN PASIEN ANAK DENGAN KETERGANTUNGAN

Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Pasirian,

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan


rumah sakit, maka diperlukan pelayanan pasien anak
dengan ketergantungan dalam penyelenggaraan
pelayanan pasien yang bermutu tinggi dan menjamin
keselamatan pasein;
b. Bahwa agar pelayanan pasien anak dengan
ketergantungan dapat terlaksana dengan baik, perlu
adanya Panduan Pelayanan Pasien Anak dengan
Ketergantungan sebagai landasan bagi
penyelenggaraan pelayanan pasien;
c. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu
ditetapkan berdasarkan Peraturan Direktur Rumah
Sakit Umum Daerah Pasirian.
Mengingat : 1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran;
2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
2009 tentang Kesehatan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit;
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran;

iii
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar
Instalasi/Unit Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 812/Menkes/Per/VII/2010 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis pada fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1778/Menkes/SK/XII/2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan ICU di Rumah Sakit;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 519/Menkes/Per/III/2011 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi
Intensif di Rumah Sakit;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik
Kedokteran;
11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2052/Menkes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik
Kedokteran;
12. Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 4
Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata
Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Pasirian Kabupaten
Lumajang;
13. Peraturan Bupati Nomor 20 Tahun 2017 tentang
Peraturan Internal Rumah Sakit Umum Daerah
Pasirian;
14. Keputusan Bupati Lumajang Nomor
821/71/427/61/2016 tentang Pengangkatan dr. Wawan
Arwijanto sebagai Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
Pasirian.

MEMUTUSKAN
M PERATURAN
en DIREKTUR
et RUMAH SAKIT
ap TENTANG
ka PANDUAN

iv
n PELAYANAN
PASIEN ANAK
DENGAN
KETERGANTUN
GAN
P Panduan
er Pelayanan
ta Pasien Anak
m
dengan
a
Ketergantunga
n sebagaimana
dimaksud
dalam diktum
kesatu
sebagaimana
tercantum
dalam
Lampiran
Peraturan ini
K Panduan
ed Pelayanan
ua Pasien Anak
dengan
Ketergantunga
n di Rumah
Sakit Umum
Daerah
Pasirian
sebagaimana
dimaksud
dalam diktum
kedua wajib
dijadikan acuan
dalam
pemberian
pelayanan
pasien sesuai
dengan

v
kebutuhan
pasien oleh
para
profesional
pemberi
pelayanan di
Rumah Sakit
Umum Daerah
Pasirian.
K Peraturan ini
eti berlaku sejak
ga tanggal
ditetapkan dan
apabila di
kemudian hari
ternyata
terdapat
kekeliruan
dalam
Peraturan ini
akan diadakan
perbaikan
sebagaimana
mestinya.

Ditetapkan di :LUMAJANG
Pada Tanggal : 1 Januari 2022

DIREKTUR
RSUD PASIRIAN

dr. WAWAN ARWIJANTO


NIP 19700930 200212 1 006

vi
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.....................................................................................................V
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................6
A. LATAR BELAKANG.........................................................................................6
B. DEFINISI..........................................................................................................6
C. TUJUAN..........................................................................................................6
BAB II RUANG LINGKUP...............................................................................8
A. INSTALASI/UNIT KERJA TERKAIT................................................................8
B. PERUBAHAN FISIK PADA USIA LANJUT......................................................8
BAB III TATA LAKSANA..............................................................................17
A. REHABILITASI ANAK TUNADAKSA.............................................................17
BAB IV DOKUMENTASI...............................................................................21
A. PENCATATAN REKAM MEDIS....................................................................21
B. PENCATATAN DATA DAN EVALUASI.........................................................21

vii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang paling sempurna.
Di antara makhluk lainnya manusialah yang memiliki bentuk dan struktur
yang paling sempurna. Maka dari itu sebagai manusia yang bersyukur kita
wajib menggunakan pemberian itu dengan sebaik-baiknya dengan cara
merawat serta mengembangkan potensinya semaksimal mungkin pada
kenyataannya masih banyak manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal
fisik maupun mental, salah satunya penyandang tunadaksa disekitar kita.
Tunadaksa (cacat tubuh) adalah salah satu bentuk keterbatasan manusia
yang  terjadi pada fisiknya, seperti pada sistem otot, tulang dan persendian
akibat dari adanya penyakit dari kecelakaan, bawaan sejak lahir atau
kerusakan di otak. Kelainan atau kecacatan yang disandang oleh seseorang
memiliki dampak langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder) baik
terhadap diri anak yang memiliki kecacatan itu sendiri maupun terhadap
keluarga dan masyarakat. Karena itu masalah tersebut perlu memperoleh
penanganan sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya penyandang
tunadaksa dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu, kebutuhan untuk
memperoleh pelayanan medis guna mengurangi permasalahan yang
dialami anak di bidang medis. Kebutuhan untuk memperoleh pelayanan
rehabilitasi dan habilitasi guna mengurangi gangguan fungsi sebagai
dampak dari adanya kecacatan tunadaksa dan kebutuhan untuk
memperoleh pendidikan khusus.

B. DEFINISI
Anak tunadaksa adalah seseorang yang mengalami kerusakan atau
kelainan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya secara normal
sehingga mengakibatkan gangguan pada komunikasi, bersosialisasi, dan
berkembang bagi dirinya.

C. TUJUAN
Adapun maksud dan tujuan pelayanan pasien anak dengan ketergantungan
adalah:
1. Mengetahui perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada pasien
anak dengan ketergantungan,

8
2. Melakukan antisipasi dan perlakuan khusus terkait keterbatasan dan
penurunan fungsi tubuh terkait dengan keterbatasan kondisi fisik.

9
BAB II RUANG LINGKUP

Ruang lingkup Panduan Pelayanan Pasien Anak dengan Ketergantungan


adalah Instalasi/Unit kerja yang memberikan pelayanan kepada pasien,
meliputi:

A. INSTALASI/UNIT KERJA TERKAIT


1. Tempat Pendaftaran Pasien
2. Instalasi Gawat Darurat
3. Instalasi Rawat Jalan
4. Instalasi Rawat Inap
5. Instalasi Radiologi
6. Instalasi Laboratorium
7. Instalasi Farmasi

B. PERUBAHAN FISIK PADA USIA LANJUT


1. Klasifikasi Tunadaksa
Menurut Frances G. Koening, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan
keturunan, meliputi:
1) Club-foot (kaki seperti tongkat).
2) Club-hand (tangan seperti tongkat).
3) Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing
tangan atau kaki).
4) Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu
dengan yang lainnya).
5)  Torticolis (gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke
muka).
6) Spina-bifida (sebagian dari sumsum tulang belakang tidak
tertutup).
7) Cretinism (kerdil/katai).
8) Mycrocephalus (kepala yang kecil, tidak normal).
9) Hydrocepalus (kepala yang besar karena berisi cairan).
10) Clefpalats (langit-langit mulut yang berlubang).
11) Herelip (gangguan padabibir dan mulut).
12) Congenital hip dislocation (kelumpuhan pada bagian paha).

10
13)  Congenital amputation (bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh
tertentu).
14) Fredresich ataxia (gangguan pada sumsum tulang belakang).
15) Coxa valga (gangguan pada sendi paha, terlalu besar).
16) Syphilis (kerusakan tulang dan sendi akibat penyakit syphilis).
b. Kerusakan pada waktu kelahiran:
1) Erb’s palsy (kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau
tertarik waktu kelahiran).
2) Fragilitas osium (tulang yang rapuh dan mudah patah).
c. Infeksi:
1) Tuberkulosis tulang (menyerang sendi paha sehingga menjadi
kaku).
2) Osteomyelitis (radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang
karena bakteri).
3) Poliomyelitis (infeksi virus yang mungkin menyebabkan
kelumpuhan).
4) Pott’s disease (tuberkulosis sumsum tulang belakang).
5) Still’s disease (radang pada tulang yang menyebabkan kerusakan
permanen pada tulang).
6) Tuberkulosis pada lutut atau pada sendi lain.
d. Kondisi traumatik atau kerusakan traumatik:
1) Amputasi (anggota tubuh dibuangakibat kecelakaan).
2) Kecelakaan akibat luka bakar.
3) Patah tulang.
e. Tumor:
1) Oxostosis (tumor tulang).
2) Osteosisfibrosa cystica (kista atau kentang yang berisi cairan di
dalam tulang).

2. Ketunadaksaan dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:


a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran, yaitu faktor keturunan,
trauma dan infeksi pada waktu kehamilan, usia ibu yang sudah lanjut
pada waktu melahirkan anak, pendarahan pada waktu kehamilan,
dan keguguran yang dialami ibu.
b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran, yaitu penggunaan
alat-alat pembantu kelahiran (seperti tang, tabung, vacum, dll.) yang
tidak lancar, serta penggunaan obat bius pada waktu kelahiran..
c. Sebab-sebab sesudah kelahiran, yaitu infeksi, trauma, tumor.[2]

11
3. Karakteristik Anak Tunadaksa
a. Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa
Aspek fisik merupakan potensi yang berkembang dan harus
dikembangkan oleh individu. Pada anak tunadaksa, potensi itu tidak
utuh karena ada bagian tubuh yang tidak sempurna. Potensi itu tidak
utuh karena ada bagian Secara umum perkembangan fisik anak
tunadaksa dapat dikatakan hampir sama dengan anak normal kecuali
bagian-bagian tubuh yang mengalami kerusakan atau bagian-bagian
tubuh lain yang terpengaruh oleh kerusakan tersebut.
b. Perkembangan Kognitif Anak Tunadaksa
Implikasi dalam konteks perkembangan kognitif menurut Gunarsa
dalam Efendi (2006:124)  ada empat aspek yang turut mewarnai,
yaitu:
1) Kematangan, kematangan merupakan perkembangan susunan
saraf misalnya mendengar yang diakibatkan kematangan
susunan sarat tersebut.
2) Pengalaman, yaitu hubungan timbal balik antara organism
dengan lingkungan dan dunianya.
3) Transmisi sosial, yaitu pengaruh yang diperoleh dalam
hubungannya dengan lingkungan sosial.
4) Ekuilibrasi, yaitu adanya kemampuan yang mengatur dalam diri
anak.

Untuk mengembangkan fungsi kognitif sebagai alat adaptasi terhadap


lingkungan, dapat dilakukan melalui dua proses yang saling
memengaruhi. Proses tersebut yakni asimilasi (integritas elemen-elemen
dari luar terhadap struktur yang sudah lengkap pada organism) dan
akomodasi (proses dimana terjadi perubahan pada subjek agar bisa
menyesuaikan terhadap objek yang ada di luar dirinya).
Tunadaksa dibagi menjadi dua yaitu tunadaksa ortopedi dan tunadaksa
saraf, meski keduanya termasuk dalam tunadaksa yang memiliki gejala
kesulitan yang sama, namun jika ditelaah lebih lanjut terdapat perbedaan
yang mendasar. Dari segi kognitif misalnya, wujud konkretnya dapat
dilihat dari angka indeks kecerdasan (IQ). Kondisi ketunadaksaan pada
anak sebagian besar menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan
kognitif. Khususnya anak cerebral palsy, selain mengalami kesulitan
dalam belajar dan perkembangan fungsi kognitifnya, mereka pun

12
seringkali mengalami kesulitan dalam komunikasi, presepsi, maupun
control geraknya, bahkan beberapa penelitian sebagian besar diketahui
terbelakang mental (tunagrahita).
a. Klasifikasi Cerebral Palsy
Menurut Bakwin-Bakwin, cerebral palsy dapat dibedakan sebagai
berikut:
1) Spasticity, yaitu kerusakan pada cortex cerebri yang
menyebabkan hiperactive reflex dan stretch
reflex. Spasticity dapat dibedakan menjadi:
a) Paraplegia, apabila kelainan menyerang kedua tungkai.
b) Quadriplegia, apabila kelainan menyerang kedua lengan dan
kedua tungkai.
c) Hemiplegia, apabila kelainan menyerang satu lengan dan satu
tungkai yang terletak pada belahan tubuh yang sama.
2) Athetosis, yaitu kerusakan pada basal banglia yang
mengakibatkan gerakan-gerakan menjadi tidak terkendali dan
tidak terarah.
3) Ataxia, yaitu kerusakan pada cerebellum yang mengakibatkan
adanya gangguan pada keseimbangan.
4) Tremor, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang berakibat
timbulnya getaran-getaran berirama, baik yang bertujuan maupun
yang tidak bertujuan.
5) Rigidity, yaitu kerusakan pada basal ganglia yang mengakibatkan
kekakuan pada otot-otot.
4. Penyebab Tunadaksa
Ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kerusakan di dalam otak
pada anak-anak yang kemudian mengakibatkan cacat cerebral palsy. Hal
itu bisa terjadi sebelum anak dilahirkan, pada saat dilahirkan, maupun
setelah dilahirkan.
a. Sebab-sebab yang timbul sebelum kelahiran:
1) Faktor kongenital ketidaknormalan sel kelamin pria.
2) Pendarahan waktu kehamilan.
3) Trauma atau infeksi pada waktu kehamilan.
4) Kelahiran prematur.
5) Keguguran yang sering dialami Ibu.
6) Usia Ibu yang sudah lanjut pada waktu melahirkan anak.
b. Sebab-sebab yang timbul pada waktu kelahiran:

13
1) Penggunaan alat-alat pada waktu proses kelahiran yang sulit,
misalnya: tang, tabung, vacum, dll.
2) Penggunaan obat bius pada waktu proses kelahiran.
c. Sebab-sebab yang timbul setelah kelahiran:
1) Penyakit tuberculosis.
2) Radang selaput otak.
3) Radang otak.
4) Keracunan arsen atau karbon monoksida.

5. Keadaan Intelegensi Anak Tunadaksa


Untuk mengetahui tingkat intelegensi anak tunadaksa dapat digunakan
tes yang telah dimodifikasi agar sesuai dengan anak tunadaksa. Tes
tersebut antara lain Hausserman Test (untuk anak tunadaksa
ringan), Illinois Test (The Psycholinguistis Ability), dan Peabody Picture
Vocabulary Test. Lee dalam Soemantri (2007:129) mengungkapkan hasil
penelitian yang menggunakan tes Binet untuk mengukur tingkat
intelegensi anak tunadaksa yang berumur antara 3 sampai 16 tahun
sebagai berikut:
a. IQ tunadaksa berkisar (range) antara 35-138
b. Rata-rata (mean) mereka adalah IQ 57
c. Klasifikasi tunadaksa yang lain yaitu:
1) Anak polio mempunyai rata-rata intelegensi yang tinggi yaitu IQ
92
2) Anak yang TBC tulang rata-rata IQ 88
3) Anak yang cacat kongenital rata-rata IQ 61
4) Anak yang spastis rata-rata IQ 69
5) Anak cacat pada pusat syaraf rata-rata IQ 74[3]
Pada anak cerebal palsy, kelainan yang mereka derita secara langsung
menimbulkan kesulitan belajar dan perkembangan intelegensi. Mereka
lebih banyak mengalami kesulitan daripada anak tunadaksa pada
umumnya. Mereka banyak mengalami kesulitan baik dalam komunikasi,
persepsi, maupun kontrol gerak. Hasil pengukuran intelegensi anak
cerebral palsy tidak menunjukkan kurva normal, semakin tinggi IQ
semakin sedikit jumlahnya.

6. Perkembangan Bahasa/Bicara Anak Tunadaksa 


Setiap manusia memilki potensi untuk berbahasa, potensi tersebut akan
berkembang menjadi kecakapan berbahasa melalui proses yang

14
berlangsung sejalan dengan kesiapan dan kematangan sensori
motoriknya. Pada anak tunadaksa jenis polio, perkembangan
bahasa/bicaranya tidak begitu anak normal, lain halnya dengan anak
cerebral palsy. Terjadinya kelainan bicara pada anak cerbral palsy
disebabkan oleh ketidakmampuan dalam kondisi motorik organ bicaranya
akibat kerusakan atau kelainan sistem neumotor. Gangguan bicara pada
anak cerebral palsy biasanya berupa kesulitan artikulasi, phonasi, dan
sistem respirasi.
Adanya gangguan bicara pada anak cerebral palsy mengakibatkan
mereka mengalami problem psikologis yang disebabkan kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran, keinginan, atau kehendaknya. Mereka biasanya
menjadi mudah tersinggung, tidak memberikan perhatian yang lama
terhadap sesuatu,  merasa terasing dari keluarga dan temannya.

7. Perkembangan Emosi Anak Tunadaksa


Banyak masalah yang muncul sehubungan dengan sikap dan perlakuan
anak-anak normal yang berinteraksi dengan anak-anak tunadaksa.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa usia ketika ketunadaksaan
mulai terjadi turut mempengaruhi perkembangan emosi anak tersebut.
Anak tunadaksa sejak kecil mengalami perkembangan emosi sebagai
tunadaksa secara bertahap. Sedangkan anak yang mengalami
ketunadaksaan setelah besar mengalaminya sebagai suatu hal yang
mendadak, disamping anak yang bersangkutan pernah menjalani
kehidupan sebagai orang yang normal sehingga keadaan tunadaksa
dianggap sebagai suatu kemunduran dan sulit untuk diterima oleh anak
yang bersangkutan. Dukungan orang tua dan orang-orang di
sekelilingnya merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kehidupan emosi anak tunadaksa. Orang tua anak
tunadaksa sering memperlakukan anak-anak mereka dengan sikap
terlalu melindungi, misalnya dengan memenuhi segala keinginannya dan
memenuhi secara berlebihan. Di samping itu ada juga orang tua yang
menyebabkan anak-anak tunadaksa merasakan ketergantungan
sehingga merasa takut serta cemas dalam menghadapi lingkungan yang
tidak dikenalnya.

8. Perkembangan Sosial Anak Tunadaksa 


Keanekaragaman pengaruh perkembangan yang bersifat negatif
menimbulkan resiko bertambah besarnya kemungkinan munculnya

15
kesulitan dalam penyesuaian diri pada anak tunadaksa. Sebenarnya
kondisi sosial yang positif menunjukkan kecenderungan untuk
menetralisasi akibat keadaan tunadaksa tersebut. Nampak atau tidak
nampaknya keadaan tunadaksa itu merupakan faktor yang penting dalam
penyesuaian diri anak tunadaksa dengan lingkungannya, karena hal itu
sangat berpengaruh terhadap sikap dan perlakuan anak-anak normal
terhadap anak-anak tunadaksa.
Sikap orang tua, keluarga, teman sebaya, teman sekolah, dan
masyarakat pada umumnya sangat berpengaruh terhadap pembentukan
konsep diri anak tunadaksa. Dengan demikian akan mempengaruhi
respon sebagian terhadap lingkungannya. Ejekan dan gangguan anak-
anak normal terhadap anak tunadaksa akan menimbulkan kepekaan
efektif pada anak tunadaksa yang tidak jarang mengakibatkan timbulnya
perasaan negatif pada diri mereka terhadap lingkungan sosialnya.
Keadaan ini menyebabkan hambatan pergaulan sosial anak tunadaksa.
Di jaman yang sudah demikian maju seperti sekarang ini, keberhasilan
seseorang sering diukur dari prestasinya dan di dalam masyarakat
dikenal norma tertentu bagi prestasi individu. Keterbatasan kemampuan
anak tunadaksa seringkali menyebabkan mereka menarik diri dari
pergaulan masyarakat yang mempunyai prestasi yang jauh di luar
jangkauannya.
Secara umum anak-anak normal menunjukkan sikap yang berbeda
terhadap anak-anak tunadaksa bila dibadingkan dengan sikap mereka
terhadap anak-anak normal. Demikian pula hanya sikap guru. Perbedaan
perlakuan ini nampaknya berkaitan dengan refrence group yang berbeda
antara anak normal dan anak tunadaksa.

9. Perkembangan Kepribadian Anak Tunadaksa


Terdapat hal yang tidak menguntungkan bagi perkembangan kepribadian
anak tunadaksa, antara lain:
a. Terhambatnya aktivitas normal sehingga menimbulkan perasaan
frustasi.
b. Timbulnya kekhawatiran orang tua yang berlebihan yang justru akan
menghambat terhadap perkembangan kepribadian anak karena
orang tua biasanya cenderung over protective.

16
c. Perlakuan orang sekitar yang membedakan terhadap anak
tunadaksa menyebabkan anak merasa bahwa dirinya berbeda
dengan orang lain.
Hal-hal sebagaimana dijelaskan diatas, efek tidak langsung akibat
ketunadaksaan yang dialami seseorang dapat menimbulkan sifat
hargadiri rendah, kurang percaya diri, kurang memiliki inisiatif, atau
mematikan kreatifitasnya. Faktor dominan yang memengaruhi
perkembangan kepribadian atau emosi anak adalah lingkungan. Atas
dasar itulah presepsi sosial yang dapat menjatuhkan perasaan anak
tunadaksa akan berpengaruh terhadap self concept-nya. Hal ini
disebabkan sikap belaskasihan dari orang lain sering digunakan oleh
tunadaksa.
Hal lain yang menjadi problem penyesuaian anak tunadaksa adalah
perasaan bahwa orang lain terlalu membesar-besarkan
ketidakmampuannya. Ketiadaan kesempatan untuk berpartisipasi praktis
menyebabkan anak tunadaksa sukar untuk mengadakan penyesuaian
sosial yang baik. Demikian juga sikap masyarakat, secara langsung atau
tidak langsung memiliki pengaruh yang besar terhadap penyesuaian
anak tunadaksa. Sikap masyarakat terhadap anak kondisi ketunaan yang
dialami anak tunadaksa seringkali bertentangan dengan penilaian
penderita sendiri. Konfrontasi antara sikap masyarakat dengan penilaian
anak sendiri terhadap ketunaan, dalam mencari penyelesaiannya
terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
 Anak tunadaksa mungkin sekali menolak respons lingkungan
terhadap dirinya.
 Mungkin pula anak tunadaksa meninggalakan sama sekali  penilaian
terhadap dirinya.
 Atau mungkin pula anak tunadaksa mencari jalan tengah antara
kedua respons di atas.
Berdasarkan latar belakang anak tunadaksa yang mengalami kesulitan
dalm proses penyesuaian sosialnya, berikut ini beberapa petunjuk yang
dapat digunakan anak tunadaksa dalam mencapai proses penyesuaian
sosial yang sehat antara lain:
 Hendaknya penderita menghadapi kenyataan secara objektif.
 Menyadari masalah yang dihadapi di dalam interaksi sosial.
 Mengusahakan mendapatkan pengobatan atau terapi semaksimal
mungkin.

17
 Mencari alat bantu atau prothese yang akan membantu meringankan
hambatan yang disebabkan oleh kenetraannya.
 Berusaha mendapatkan pendidikan.
 Berupaya memberikan bimbingan dan penyuluhan.
 Berusaha memusatkan perhatian pada kemampuan yang dimiliki.

18
BAB III TATA LAKSANA

A. REHABILITASI ANAK TUNADAKSA


Maksud rehabilitasi disini adalah suatu upaya yang dilakuakan pada
penyandang kelainan fungsi tubuh atau tunadaksa, agar memiliki
kesanggupan untuk berbuat sesuatu yang berguna baik bagi dirinya
maupun orang lain. Sebagaimana telah di singgung pada bagian
sebelumnya bahwa kelainan pada fungsi anggota tubuh, baik yang
tergolong pada tunadaksa ortopedi maupun neurologis akan berpengaruh
terhadap kemampuan fisik, mental, dan sosial dalam meniti tugas
perkembangannya. Oleh karena itu, tekanan rehabilitasi penderita
tunadaksa hendaknya menitikberatkan kepada aspek-aspek tersebut. Jenis
rehabilitasi bagi penyandang tunadaksa menurut kebutuhannya antara lain:
1. Rehabilitasi Medis
Dalam rehabilitasi medis ada beberapa teknik yang dapat digunakan,
antara lain operasi ortopedi, fisioterapi, actives in daily
living (ADL), occupational therapy atau terapi tugas, pemberian
pemberian protease, pemberian alat-alat ortopedi, dan bantuan teknis
lainnya.
a. Operasi ortopedi dilakukan sebagai usaha untuk memperbaiki salah
bentukdan salah gerak dengan mengurangi atau menghilangkan
bagian yang menyebabkan terjadinya kesalahan bentuk atau gerak. 
b. Fisioterapi adalah melatih otot-otot bagian badan yang mengalami
kelainan, yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan tindakan
medis. Dalam latihan ini melibatkan otot atau gerak secara aktif
melalui berbagai kegiatan fisik, latihan berjalan, latihan
keseimbangan, dan lain-lain. Untuk latihan fisioterapi ini sarana dan
metode yang digunakan sangat bervariasi, meliputi pengunaan air
(bydrotherapy), penggunaan panas sinar (thermotherapy),
penggunaan listrik (electric therapy), penggunaan gerak-gerak
(kinesiotherapy), atau melalui pemijatan (massage).
c. Activities daily living adalah latihan berbagai kegiatan sehari-hari,
dengan maksud untuk melatih penderita agar mampu melakukan
gerakan atau perbuatan menurut keterbatasan kemampuan fisiknya.
Latihan kegiatan sehari-hari dapat dikaitkan dengan aktivitas di
lingkunganrumah maupun dalam hubungannya dengan pekerjaan
dan kehidupan sosialnya.

19
d. Occupational therapy adalah bentuk usaha atau aktifitas bersifat fisik
dan psikis dengan tujuan membantu penderita tunadaksa agar
menjadi lebih baik dan kuat dari kondisi sebelumnya melalui
sejumlah tugas atau pekerjaan tertentu. Sarana yang dapat
digunakan dalam kegiatan terapi tugas ini antara lain melukis,
memahat, membuat kerajinan tangan, menyulam, merajut, untuk
melatih kemampuan tangan. Pemberian protease adalah pemberian
perangkat tiruan untuk mengganti bagian-bagian dari tubuh yang
hilang atau cacat, misalnya kaki tiruan, tangan tiruan, mata tiruan,
gigi tiruan, dan sebagainya. Dilihat dari kegunaannya protease bagi
penyandang tunadaksa dapat bersifat fungsional (mampu
menggantikan funfsi tubuh lain) dan bersifat kosmetik (sebagai
pelengkap untuk menambah kepantasan atau keindahan).
e. Perangkat ortopedi adalah perangkat yang berfungsi untuk
menguatkan bagian-bagian tubuh yang lemah atau layu. Perangkat
tersebut dapat berupa brance dan spint. Dilihat dari fungsinya
perangkat ortopedi dapat dibagi menjadi:
1) Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian tulang
punggung dan badan.
2) Perangkat yang berfungsi sebagai penguat bagian-bagian
anggota gerak atas.
3) Perangkat yang berfungsi sebagai penguat anggota gerak bawah.
Adapun fungsi kedua dari alat tersebut antara lain:
a. Menguatkan dan mengembalikan fungsi.
b. Mencegah agar tidak menimbulkan salah bentuk.
c. Pembatasan gerak.
d. Perbaikan salah bentuk.

2. Rehabilitasi Vokasional
Rehabilitasi vokasional atau karya adalah rehabilitasi penderita kelainan
fungsi tubuh bertujuan member kesempatan anak tunadaksa untuk
bekerja. Metode atau pendekatan yang lazim digunakan dalam
rehabilitasi vokasi ini antara lain:
a. Counseling, adalah penyuluhan yang bertujuan untuk menumbuhkan
keberanian atau kemauan penderita tunadaksa yang diperoleh
setelah lahir, sebeb ada kalanya mereka tidak memahami jalan
keluarnya setelah menderita ketunaan, untuk bangkit kembali.

20
b. Revalidasi, merupakan upaya mempersiapkan fisik, mental, dan
sosial anak tunadaksa untuk memperoleh bimbingan jabatan dan
latihan kerja.
c. Vocasional guide, adalah pemberian bimbingan kepada penderita
tunadaksa dalam kaitannya pemilihan jabatan yang sesuai dengan
kondisinya.
d. Vocasional assessment, merupakan penialian terhadap kemampuan
penyandang kelainan melalui sebuah bengkel kerja dalam
melakukan berbagai aktivitas keterampilan.
e. Team work, adalah kerjasama antar berbagai ahli yang tergabung
dalam tim rehabilitasi, seperti kedokteran, ahli terapi fisik, pekerja
sosial, konselor, psikolog, ortopedagog, dan tenaga ahli lainnya.
f. Vocasional training, adalah pemberian kesempatan latihan kerja agar
penyandang tunadaksa mandiri dan produktif, serta berguna bagi
masyarakat di sekitarnya.
g. Selective placement, adalah penempatan para penyandang
tunadaksa pada jabatan setelah selesai menjalani pendidikan dan
latihan selama rehabilitasi.
h. Follow up, adalah tindak lanjut yang dilaksanakan setelah
penyandang tunadaksa menempati jabatan pekerjaan.

3. Rehabilitasi Psikososial
Rehabilitasi psikososial adalah rehabilitasi yang dilakukan dengan
harapan mereka dapat mengurangi dampak psikososial yang kurang
menguntungkan bagi perkembangan dirinya. Pelaksanaan rehabilitasi
psikososial dalam kaitannya dengan program rehabilitasi yang lain
dilakukan secara bersamaan dan terintegrasi. Sasaran yang hendak
dicapai dalam program rehabilitasi psikososial ini secara khusus yaitu:
a. Meminimalkan dampak psikososial sebagai akibat kelainan yang
dideritanya, seperti rendah diri, putus asa, mudah tersinggung,
cemas, lekas marah, dan lain-lain.
b. Meningkatkan kemampuan dan kepercayaan diri, memupuk
semangat juang dalam meraih kehidupan dan penghidupan yang
lebih baik, serta menyadarkan pada tanggungjawab diri sendiri,
keluarga, masyarakat dan Negara.
c. Mempersiapkan mental penyandang kelainan kelak setelah terjun di
masyarakat sehingga dapat berperan aktif tanpa harus merasa
canggung atau terbebani oleh ketunaan atau kelainannya.

21
22
BAB IV DOKUMENTASI

A. PENCATATAN REKAM MEDIS


Mendokumentasikan pemeriksaan pasien merupakan langkah kritikal dan
penting dalam proses asuhan pasien. Hal ini umumnya dipahami pelaksana
praktek kedokteran bahwa “ jika anda tidak mendokumentasikannya, anda tidak
melakukannya”. Dokumentasi adalah alat komunikasi berharga untuk
pertemuan di masa mendatang dengan pasien tersebut dan dengan tenaga ahli
asuhan kesehatan lainnya. Alasan lain mengapa dokumentasi sangat kritikal
terhadap proses asuhan pasien didaftarkan pada Gambar 1-2. Saat ini,
beberapa metode berbeda digunakan untuk mendokumentasikan asuhan
pasien dan PCP, dan beragam format cetakan dan perangkat lunak komputer
tersedia untuk membantu dokter, perawat, farmasis dan profesi lainnya dalam
proses ini. Dokumentasi yang baik adalah lebih dari sekedar mengisi formulir;
akan tetapi, harus memfasilitasi asuhan pasien yang baik. Ciri-ciri yang harus
dimiliki suatu dokumentasi agar bermnanfaat untuk pertemuan dengan pasien
meliputi: Informasi tersusun rapi, terorganisir dan dapat ditemukan dengan
cepat.

B. PENCATATAN DATA DAN EVALUASI


Pelayanan pasien lanjut usia perlu dicatat dan dikumpulkan pada buku
tersendiri, untuk selanjutnya data tersebut dievaluasi. Temuan-temuan khusus
dalam pemberian pelayanan pasien lanjut usia seyogyanya dianalisis sebagai
bahan evaluasi penyusunan dan atau perubahan sistem pelayanan, baik medis,
keperawatan, maupun professional lainnya, sehingga pelayanan pasien lanjut
usia dapat ditingkatkan dan terjamin Keselamatan Pasien lanjut usia di Rumah
Sakit.

Rumah Sakit Umum Daerah Pasirian


Direktur,

dr. WAWAN ARWIJANTO


NIP 19700930 200212 1 006

23

Anda mungkin juga menyukai