Anda di halaman 1dari 10

BAB IV

PEMBAHASAN

1. Bagaimana diagnose pada kasus ini ?


Diagnose dapat di tegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
a) Berdasarkan teori, Abses Submandibular

Anamnesis dan pemeriksaan fisik, di dapatkan : asimetris leher, trismus, torticolis


dan penyempitan, riwayat tonsillitis dan peritonsil abses, riwayat trauma
retrofaring contoh intubasi, dental caries dan abses.
Menurut Smeltzer dan Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada lokasi
dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejala tersebut dapat berupa :
Nyeri, Teraba hangat, Pembengkakan, Kemerahan dan Demam. Pada abses
submandibular didapatkan pembengkakan dibawah dagu atau dibawah lidah baik
unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok dan trismus.
Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan dapat
berfluktuasi atau tidak.

 Pemeriksaan penunjang di dapatkan:


1. Roentgen leher posisi lateral
Terdapat gambaran tissue swelling, tampak sebagai bayangan
radioopak.
2. CT-scan

 Dengan menggunakan kontras, merupakan gold standar untuk


mengevaluasi infeksi pada daerah leher dalam.
 Abses akan tampak sebagai bangunan atau lesi, air fluid level, dan
lokulasi.
 Pemerksaan fisik yang ditunjang CT-scan memiliki sensitivitas 95%.

Pada foto polos jaringan lunak leher anteroposterior dan lateral


didapatkan gambaran pembengkakan jaringan lunak, cairan di dalam
jaringan lunak, udara di subkutis dan pendorongan trakea. Pada foto polos
toraks, jika sudah terdapat komplikasi dapat dijumpai gambaran
pneumotoraks dan juga dapat ditemukan gambaran pneumomediastinum.
Jika hasil pemeriksaan foto polos jaringan lunak menunjukkan kecurigaan
abses leher dalam, maka pemeriksaan Tomografi Komputer idealnya
dilakukan.
Tomografi Komputer (TK) dengan kontras merupakan standar untuk
evaluasi infeksi leher dalam. Pemeriksaan ini dapat membedakan antara
selulitis dengan abses, menentukan lokasi dan perluasan abses. Pada
gambaran TK dengan kontras akan terlihat abses berupa daerah hipodens
yang berkapsul, dapat disertai udara di dalamnya, dan edema jaringan
sekitar. TK dapat menentukan waktu dan perlu tidaknya operasi.

Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan pencitraan


resonansi magnetik (Magnetic resonance Imaging/MRI) yang dapat
mengetahui lokasi abses, perluasan dan sumber infeksi. Sedangkan
Ultrasonografi (USG) adalah pemeriksaan penunjang diagnostik yang tidak
invasif dan relatif lebih murah dibandingkan TK, cepat dan dapat menilai
lokasi dan perluasan abses.
Foto panoramik digunakan untuk menilai posisi gigi dan adanya
abses pada gigi. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada kasus abses leher
dalam yang diduga sumber infeksinya berasal dari gigi. Pemeriksaan darah
rutin dapat melihat adanya peningkatan leukosit yang merupakan tanda
infeksi. Analisis gas darah dapat menilai adanya sumbatan jalan nafas.
Pemeriksaan kultur dan resistensi kuman harus dilakukan untuk mengetahui
jenis kuman dan antibiotik yang sesuai

Pada kasus ini :


 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik di di dapatkan : adanya pembengkakan
pada mandibula, asimetris leher, Nyeri, Teraba hangat, Kemerahan dan
Demam 1 minggu, Riwayat sakit gigi sebelumnya.
 Pemeriksaan penunjang pada kasus ini, tidak di lakukan. Baik itu rongsen
leher posisi lateral pada abses mandibula bilateral dalam kasus ini dan CT
Scan pada kasus ini pun tidak di lakukan.
b) Berdasarkan teori Covid 19
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan : gejala saluran pernapasan,
seperti demam >38⁰C, batuk, pilek, sakit tenggorokan yang disertai dengan
riwayat bepergian ke daerah dengan transmisi lokal atau riwayat kontak
dengan kasus suspek atau kasus konfirmasi COVID-19.

 Pemeriksaan penunjang di dapatkan:


 Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien COVID-19 tidak spesifik,
tetapi limfopenia, peningkatan laktat dehidrogenase, dan peningkatan
aminotransferase, umumnya sering ditemukan,
 Penemuan ground glass opacification (GGO) bilateral, multilobar dengan
distribusi periferal atau posterior merupakan karakteristik penampakan
COVID-19 pada pemeriksaan pencitraan CT scan toraks nonkontras
 Walaupun kurang spesifik, ultrasonography (USG) dan Rontgen
toraks juga dapat membantu menegakkan diagnosis COVID-19. Diagnosis
COVID-19 dapat dikonfirmasi dengan dideteksinya viral RNA pada
pemeriksaan nucleic acid amplification test (NAAT), seperti RT-PCR dari
spesimen saluran pernapasan, tes antigen, dana tes serologi.1,4,5

Pada kasus ini :


 Anamnesis di dapatkan : adanya batuk, dan demam kurang lebih 2 minggu
 Pemeriksaan penunjang : di lakukan pemeriksaan Sweb TCM dan di temukan
SARS Cov 2 Positif.

c) Berdasarkan teori Pneumonia


 Anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan : batuk berdahak, demam, dan
sesak napas,menggigil, kelelahan.
Pada kasus ini :
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan : adanya batuk dan demam ± 2
minggu
 Pemeriksaan penunjang: di lakukan foto rongsen dada dan di dapatkan adanya
Slight Pneumonia
d) Berdasarkan teori HIV AIDS
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik di dapatkan :
a. Infeksi akut ringan hingga berat : Demam hingga menggigil, Muncul
ruam di kulit, Muntah, Nyeri pada sendi dan otot, Pembengkakan
kelenjar getah bening, Sakit kepala, Sakit perut, Sakit tenggorokan dan
sariawan.
b. Gejala tahap laten : Berat badan turun, Berkeringat di malam hari,
Demam, Diare, Mual dan muntah.Herpes zoster, Pembengkakan kelenjar
getah bening, Sakit kepala. Tubuh terasa lemah.
c. Tahap laten yang terlambat di tangani : Berat badan turun tanpa
diketahui sebabnya, Berkeringat di malam hari, Bercak putih di lidah,
mulut, kelamin, dan anus, Bintik ungu pada kulit yang tidak bisa
hilang. Keluhan ini kemungkinan menandakan adanya sarkoma KaposI,
Demam yang berlangsung lebih dari 10 hari, Diare kronis, Gangguan
saraf, seperti sulit berkonsentrasi atau hilang ingatan, infeksi jamur di
mulut, tenggorokan, atau vagina, Mudah memar atau berdarah tanpa
sebab, Mudah marah dan depresi, Ruam atau bintik di kulit, Sesak napas,
Tubuh selalu terasa lemah.

 Pemeriksaan penunjang di dapatkan:

 Tes antibodi. Tes ini bertujuan mendeteksi antibodi yang dihasilkan


tubuh untuk melawan infeksi HIV. Meski akurat, perlu waktu 3-12
minggu agar jumlah antibodi dalam tubuh cukup tinggi untuk terdeteksi
saat pemeriksaan.

 Tes antigen. Tes antigen bertujuan mendeteksi p24, suatu protein yang


menjadi bagian dari virus HIV. Tes antigen dapat dilakukan 2-6 minggu
setelah pasien terinfeksi.

 Hitung sel CD4. CD4 adalah bagian dari sel darah putih yang dihancurkan
oleh HIV. Oleh karena itu, semakin sedikit jumlah CD4, semakin besar
pula kemungkinan seseorang terserang AIDS. Pada kondisi normal, jumlah
CD4 berada dalam rentang 500-1400 sel per milimeter kubik darah.
Infeksi HIV berkembang menjadi AIDS bila hasil hitung sel CD4 di
bawah 200 sel per milimeter kubik darah.

 Pemeriksaan viral load (HIV RNA). Pemeriksaan viral load bertujuan


untuk menghitung RNA, bagian dari virus HIV yang berfungsi
menggandakan diri. Jumlah RNA yang lebih dari 100.000 kopi per
mililiter darah, menandakan infeksi HIV baru saja terjadi atau tidak
tertangani. Sedangkan jumlah RNA di bawah 10.000 kopi per mililiter
darah, mengindikasikan perkembangan virus yang tidak terlalu cepat.
Akan tetapi, kondisi tersebut tetap saja menyebabkan kerusakan perlahan
pada sistem kekebalan tubuh.

 Tes resistensi (kekebalan) terhadap obat. Beberapa subtipe HIV


diketahui kebal pada obat anti HIV. Melalui tes ini, dokter dapat
menentukan jenis obat anti HIV yang tepat bagi pasien.

Pada kasus ini :


 Anamnesisdan Pemeriksaan fisik di dapatkan : Demam dan batuk.
 Pemeriksaan penunjang di dilakukan adalah test antibody dan di dapatkan
hasilnya antibody HIV reaktif.

e) Berdasarkan teori TB Paru


 Anamnesis di dapatkan :
a. Penurunan nafsu makan dan berat badan, Perasaan tidak enak (malaise),
lemah, Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya
dirasakan malam hari disertai keringat malam, Kadang-kadang serangan
demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
b. Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak.
c. Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
 Pemeriksaan fisik:
 tergantung luas dan kelainan struktural paru
 Pada lesi minimal, pemeriksaan fisik dapat normal atau dapat ditemukan
tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru.
 Tanda pemeriksaan fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus
meingkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi
terutama di apeks paru 7 . Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda
seperti : deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara
napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura.

 Pemeriksaan penunjang:
 Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari
kunjungan yang berurutan sewaktu-pagisewaktu (SPS)

1) S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis datang


berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot
dahak untuk mengumpulkan dahak pada pagi hari kedua.
2) P(pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera
setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas.
3) S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada hari kedua, saat menyerahkan
dahak pagi hari. Pemeriksaan mikroskopisnya dapat dibagi menjadi dua
yaitu pemeriksaan mikroskopis biasa di mana pewarnaannya dilakukan
dengan Ziehl Nielsen dan pemeriksaan mikroskopis fluoresens di mana `
pewarnaannya dilakukan dengan auramin-rhodamin (khususnya untuk
penapisan)

 Pemeriksaan Bactec
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah
metode radiometrik. Mycobacterium tuberculosa memetabolisme asam
lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth
indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis
dan melakukan uji kepekaan.Bentuk lain teknik ini adalah dengan
memakai Mycobacteria Growth Indicator Tube (MGIT)

 Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan indikator yang
spesifik untuk Tb paru. Laju Endap Darah ( LED ) jam pertama dan jam
kedua dibutuhkan. Data ini dapat di pakai sebagai indikator tingkat
kestabilan keadaan nilai keseimbang an penderita, sehingga dapat
digunakan untuk salah satu respon terhadap pengo batan penderita serta
kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderi ta.
Demikian pula kadar limfosit dapat menggambarkan daya tahan tubuh
pende rita. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi LED yang
normal juga tidak menyingkirkan diagnosa TBC

 Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi ialah foto lateral, top lordotik, oblik, CT-Scan. Pada kasus dimana
pada pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak diperlukan lagi.
Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks
bila
 Curiga adanya komplikasi (misal : efusi pleura, pneumotoraks)
 Hemoptisis berulang atau berat
 Didapatkan hanya 1 spesimen BTA +

Pemeriksaan foto toraks memberi gambaran bermacam-macam


bentuk. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi Tb paru aktif :

 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas


dan segmen superior lobus bawah paru.
 Kaviti terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi Pleura
 Pada gambaran paru TB di dapatkan :
 Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas
dan atau segmen superior lobus bawah.
 Kalsifikasi.
 Penebalan pleura.

Pada kasus ini :


 Anamnesis dan Pemeriksaan fisik di dapatkan adanya batuk dan demam.
 Pemeriksaan penunjang masih sementara menunggu hasil.

2. Bagaimana Penatalaksanaan pada kasus abses mandibula ?


a. Abses mandibula Bilateral
 Menurut teori :
Penatalaksanaan abses submandibula umumnya adalah dengan
evakuasi abses, dengan anestesi lokal maupun dengan anestesi umum serta
dengan pemberian antibiotik intravena dosis tinggi. Antibiotika dosis tinggi
terhadap kuman aerob dan anaerob diberikan secara parenteral. Hal yang
paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang adekuat dan drainase
abses yang baik.
Infeksi leher dalam sering disebabkan campuran bakteri (gram positif,
gram negatif, aerob dan anaerob) sehingga diberikan antibiotik kombinasi
secara empiris menunggu hasil kultur keluar. Antibiotik yang dapat
diberikan yaitu seftriakson dan metronidazole.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan antibiotik
adalah efektifitas obat terhadap kuman target, risiko peningkatan resistensi
kuman minimal, toksisitas obat rendah, stabilitas tinggi dan masa kerja
yang lebih lama.
Insisi dibuat pada tempat yang paling berfluktuasi atau setinggi os
hyoid, tergantung letak dan luas abses. Eksplorasi dilakukan secara tumpul
sampai mencapai ruang sublingual, kemudian dipasang salir. Pasien dirawat
inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
 Pada Kasus : dilakukan evakuasi abses dengan anestesi umum dan di
berikan IVFD RL:D5 (1.000 : 500), antibiotic ceftriaxone 2 gr (iv) /12 jam,
Metronidazole 500 mg (iv)/8 jam, Antrain 1 g (iv)/8 jam,drainase di
pertahankan sampai hari ke-3, Ovservasi Vital Sign dan Perdarahan.

b. Covid 19
 Menurut teori, Sampai saat ini, belum terdapat terapi antiviral spesifik dan
vaksin dalam penanganan COVID-19. Akan tetapi, beberapa terapi,
seperti remdesivir, dexamethasone, lopinavir-ritonavir, dan tocilizumab
ditemukan memiliki efikasi dalam penanganan COVID-19 dan sudah
masuk dalam uji coba klinis obat. Pada awal pandemi, beberapa
medikamentosa lain, seperti chloroquine, hydroxychloroquine, dan
oseltamivir telah diteliti tetapi tidak menunjukkan efektivitas terhadap
COVID-19.
Pasien COVID-19 dengan infeksi ringan umumnya hanya
disarankan isolasi di rumah dan menggunakan obat yang dijual bebas untuk
meredakan gejala. Pada pasien dengan infeksi berat, disarankan untuk
dirawat inap dan terkadang diperlukan tindakan intubasi dan ventilasi
mekanik apabila terjadi gagal napas atau acute respiratory distress
syndrome.

 Pada Kasus : Pasien di obati remdesivir. dan isolasi,


BAB V

PENUTUP

Simpulan

 Berdasarkan anamnesa, Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan penunjang maka pasien


dalam kasus ini sudah tepat didiagnosa sebagai Abses mandibula bilateral dengan
infeksi covid 19 + HIV ADS + Pneumonia + Suspek TB Paru.

 Penatalaksanaan abses mandibula bilateral dan infeksi covid 19 pada kasus ini sudah
tepat.

Anda mungkin juga menyukai