Anda di halaman 1dari 2

Artikel Ecoprint

Anggota Kelompok:
1. Achmad Aril Prakoso(02)
2. Achmad Haydar(03)
3. Firman Andika Putra (17)
4. Hanif Fakhriya Muhammad (19)
5. Muhamad Rendi F (26)
6. Singgih sujiarto (33)

Gaya hidup yang ramah lingkungan semakin digemari dan meluas ke berbagai sektor usaha,
seperti alat-alat rumah tangga dan pakaian. Khusus untuk dunia busana, kini berkembang
batik ecoprint.
Sesuai namanya, ecoprint berasal dari kata eco atau ekosistem yang berarti lingkungan hayati
atau alam dan print artinya cetak. Sistem dengan menjiplak dedaunan dan kemudian
merebusnya, mirip seperti proses pembuatan batik, maka sering juga disebut batik ecoprint.
Namun, motif yang dihasilkan oleh wsistem ecoprint ini lebih kontemporer dibandingkan
batik yang digambar ataupun dicetak dengan motif batik yang klasik.
Perbedaan lainnya, ecoprint tidak menggunakan alat seperti canting (alat seperti pena untuk
membatik) dan bahan malam, namun menggunakan bahan yang terdapat di alam sekitar,
seperti aneka dedaunan yang menghasilkan warna alami.

Gambar hasil kerajinan ecoprint

Istilah ecoprint mungkin masih sedikit asing di telinga sebagian orang. Akan tetapi di industri
fesyen, istilah ini sudah tidak asing lagi. Ecoprint sendiri berasal dari dua kata yaitu ‘eco’ dan
‘print’. Kata eco atau ekosistem dapat diartikan sebagai lingkungan hayati, dan print
memiliki arti mencetak. Berdasarkan asal katanya, maka ecoprint adalah teknik mencetak
atau menciptakan produk yang memiliki unsur hayati.
Ecoprint dalam fesyen merupakan teknik memberikan warna dan motif pada kain dengan
menggunakan bahan alami. Pada prosesnya, pembuatan kain ecoprint membutuhkan media berupa
tumbuhan, baik itu daun maupun bunga. Tumbuhan tersebut nantinya digunakan sebagai pewarna
dan media membuat motif kain. Dalam membuat motif, bagian dari tumbuhan tersebut ditempel
pada kain hingga timbul motif.
Linna Emanuel Paendong, 42 tahun, mulai mencoba sistem ecoprint ini pada tahun 2016.
Kepada VOA ia mengatakan:

“Saya ingin membuat terobosan baru. Kalau batik kan sudah diakui sebagai warisan budaya.
Maka kita ingin menggunakan bahan-bahan alam yang bisa diperbarui. Seperti di India dan
beberapa negara sudah ada. Mungkin jenis daunnya saja yang berbeda, tetapi kalau di
Indonesia kita memanfaatkan daun jati, yang sudah tidak diragukan lagi kalau daun jati itu
menghasilkan pewarnaan alam yang baik.”
Linna mengambil daun-daun jati dari penduduk di Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama di
Kabupaten Bantul. Banyak penduduk menanam pohon jati yang menghasilkan daun
berlimaph. Selain Linna, banyak perajin lain dari Banyumas, Padang Panjang (Sumatra
Barat) dan Madura juga menggunakan daun jati untuk bahan membuat kain dengan sistem
ecoprint. Tetapi bagaimana dengan daun-daun dari pohon lain yang tidak sebanyak pohon
jati?

“Intinya, untuk ecoprint itu kita pakai daun yang jatuh, kalau bisa petik seperlunya, dan kalau
bisa menanam lagi, jadi tidak merusak lingkungan," kata seorang pegiat lingkungan dan
ekoprint, Elis Kumara Djati
Teknik ecoprint di Amerika tidak begitu populer. Tapi yang pasti para perajin di Indonesia
telah memproduksi tekstil yang ramah lingkungan, tidak menimbulkan pencemaran air, tanah
atau udara, dengan memanfaatkan lingkungan sambil melestarikan alam.

Anda mungkin juga menyukai