Anda di halaman 1dari 23

Makna, Nilai, dan Fungsi Rumah Adat Dayak Tomun

di Kelurahan Kudangan Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau


Provinsi Kalimantan Tengah

Tim Peneliti
Dr. Yophie Septiady, S.T., M.Si (NIDN: 0328097108)
Prof. Dr. Ir. James Erich D. Rilatupa, M.Si (NIDN: 0320115804)
Dra. Yanni Rosalin, M.Sn. (NUP: 9903262828)
Mahasiswa Magister Arsitektur UKI

Proposal Penelitian Kelompok


Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi/
Hibah Perguruan Tinggi

Program Studi Magister Arsitektur


Program Pascasarjana
Universitas Kristen Indonesia
2022
1
Makna, Nilai, dan Fungsi Rumah Adat Dayak Tomun
di Kelurahan Kudangan Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau
Provinsi Kalimantan Tengah

Tim Peneliti
Dr. Yophie Septiady, S.T., M.Si (NIDN: 0328097108)
Prof. Dr. Ir. James Erich D. Rilatupa, M.Si (NIDN: 0320115804)
Dra. Yanni Rosalin, M.Sn. (NUP: 9903262828)
Mahasiswa Magister Arsitektur UKI

Proposal Penelitian Kelompok


Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi/

Program Studi Magister Arsitektur


Program Pascasarjana
Universitas Kristen Indonesia
2022

2
Daftar Isi

Proposal Penelitian:
Makna, Nilai, dan Fungsi Rumah Adat Dayak Tomun
di Kelurahan Kudangan Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau
Provinsi Kalimantan Tengah

halaman
RINGKASAN 6

I. PENDAHULUAN 7
I.1 Latar Belakang Masalah 7
I.2 Tujuan Penelitian dan Ruang Lingkupnya 9
I.3 Lokasi Penelitian 10
I.4 Data dan angka Kabupaten Lamandau 11

II. TINJAUAN PUSTAKA 11

III. METODE PENELITIAN 13

IV. PEMAHAMAN LOKASI PENELITIAN 14


IV.1 Letak dan Topografi Kabupaten Lamandau 12
IV.2 Kependudukan Kabupaten Lamandau dan Coraknya 12

V. RENCANA LUARAN PENELITIAN 15

DAFTAR PUSTAKA (SEMENTARA) 17

3
Daftar Gambar

halaman

1. Proses tampilan budaya Nota garung pantang 9


2. Kedudukan Kota Nanga Bulik atas wilayah Indonesia
dan Provinsi kalimantan Tengah 10

Daftar Tabel

1. Jadwal kegiatan penelitian 14

4
RINGKASAN
MAKNA, NILAI, DAN FUNGSI RUMAH ADAT DAYAK TOMUN
DI KELURAHAN KUDANGAN KECAMATAN DELANG KABUPATEN LAMANDAU
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Penelitian ini merupakan penelitian Arsitektur Tradisional. tata ruang budaya tradisi yang
berada pada tingkat kabupaten/kota yang akan dikembangkan wilayahnya menjadi daerah
penunjang pariwisata daerah. Pada penelitian ini diharapkan karya-karya budaya tradisi
yang khas dan melimpah yang ada di Kabupaten Lamandau dapat diperkenalkan dan
ditampilkan sebagai unggulan wisata Kabupaten Kota Lamandau secara khusus, dan
Provinsi Kalimantan Tengah secara umum/luas. Permasalahan pada penelitian ini terletak
pada: (1) Tata ruang kota Kabupaten Lamandau yang masih bercorak kota berkembang,
dengan penataan kota yang masih belum tertata dan terkonsep dengan rapih; (2) Pemetaan
budaya di Kabupaten Lamandau yang terkendala karena kondisi lingkungan yang rawan
bencana banjir; (3) Penyesuaian kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau
dengan rencana penelitian - termasuk masalah OPK (Objek Pemajuan Kebudayaan).
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan penelitian, metode kualitatif digunakan
agar peneliti memiliki kedekatan dengan konteks penelitiannya, baik dari sisi ruang Kota
Lamandau maupun budaya Suku Dayak Tomun yang mendiami wilayah Kabupaten
Lamandau. Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan Kota Lamandau yang
berdasarkan konsep “Kota Budaya” guna penunjang kegiatan pariwisata, dengan sasaran
kepada pemberdayaan masyarakat adat dan budayanya. Untuk itu diperlukan ruang
lingkup perencanaan kota yang “siap dan terpadu” untuk menunjang kegiatan pariwisata
yang berlandaskan kebudayaan lokal. Termasuk perencanaan tata ruang untuk masyarakat
lokal, masyarakat tradisi, fasilitas-fasilitas penunjang wisata, dan tempat-tempat di mana
kebudayaan khas Lamandau itu berada sebagai living tradition. Harapannya, dengan
perencanaan ini, kebudayaan Lamandau dapat memberikan multiplier effect kepada
masyarakat, stakeholders, dan pihak-pihak lainnya yang berpartisipasi menanamkan
modalnya untuk menunjang program ini. Tentunya tidak hanya untuk menambah
penghasilan daerah, tetapi juga mensejahterakan masyarakatnya, khususnya masyarakat
adat yang dilibatkan untuk menunjang kegiatan pariwisata.

5
PROPOSAL PENELITIAN:
MAKNA, NILAI, DAN FUNGSI RUMAH ADAT DAYAK TOMUN
DI KELURAHAN KUDANGAN KECAMATAN DELANG
KABUPATEN LAMANDAU
PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Tim Peneliti
Dosen:
Dr. Yophie Septiady, S.T., M.Si
Prof. Dr. James Rilatupa
Prof. Uras Siahaan
Mahasiswa Magister Arsitektur UKI

I. PENDAHULUAN
Kalimantan Tengah memiliki keragaman budaya yang luar biasa, khususnya yang
ada di Kabupaten/Kota Lamandau. Adat istiadat yang dipegang oleh suku Dayak Tomun di
Kabupaten Lamandau begitu kompleks dan kaya akan tampilan budaya (cultural
performances). Ritualnya tersedia berawal sejak seseorang dalam kandungan, hingga ia
meninggal dunia. Sehingga adat yang dipegang oleh suku Dayak Tomun di Kabupaten
Lamandau meliputi “adat hidup” dan “adat mati” – oleh van Gennep disebut dengan the rites
of passages (2013). “Adat Hidup” adalah segala kegiatan adat yang berhubungan dengan
orang yang masih hidup, baik untuk kepentingan dirinya sendiri, maupun yang berkaitan
dengan masyarakat secara umum di lingkungannya. “Adat mati” adalah segala kegiatan adat
yang berhubungan dengan orang yang sudah mati (meninggal dunia).
Nota garung pantang, banai’ banaki, dan penggolaran merupakan bagian dari “adat
hidup”. Nota garung pantang merupakan ritual yang dikhususkan untuk tamu kehormatan,
atau orang yang baru datang ke wilayah Dayak Tomun. Bagi tuan rumah dan tamu itu sendiri,
mereka akan merasa sama-sama asing atau kurang bisa mengenal satu sama lain. Dalam hal
ini, mengakibatkan akses di antara tamu (kehormatan) dengan tuan rumah menjadi dibatasi.
Fungsi perlindungan akhirnya menjadi pertimbangan yang layak untuk dikedepankan.
Perlindungan terhadap tamu dan tuan rumahnya, agar mereka bisa saling menjaga nilai-nilai
yang ada di antara keduanya. (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lamandau,
2016a, 2016b).
Banai’ banaki, merupakan penjamuan bagi tamu yang dianggap terhormat dan
berjasa untuk lingkungan tersebut. Penjamuan dilakukan di dalam rumah adat yang
berbentuk panggung, oleh karena itu ritualnya diberi nama banai’ banaki. Arti dari banai’
banaki adalah berjalan naik ke tempat yang posisinya lebih tinggi. Penjamuan dilakukan

6
oleh tuan rumah penuh dengan nilai-nilai kesopanan. Dimulai dari menyajikan makan,
menyirih, hingga mengadakan ritual kotap bosi, kobat tongang, gugur boras. Ritual
penggolaran juga untuk tamu, biasanya dilakukan berdasarkan penilaian positif oleh para
tetua dan tokoh adat terhadap tamu yang berhubungan dengan kemajuan yang dibawa untuk
lingkungan yang didatanginya. Suku Dayak Tomun melakukan penggolaran ketika sedang
ada ritual yang berhubungan dengan kebaikan atau hal-hal yang menggembirakan. Pada
umumnya penggolaran dilakukan di dalam rumah adat, karena sebagian besar alat-alat untuk
ritual tersebut berada atau disimpan di dalam rumah adat.
Di luar “adat hidup” ada “adat mati”. Menurut kepercayaan keharingan, berunding
untuk menentukan waktu penguburan adalah hal yang sangat penting (disebut: minto arinye).
Berunding ini terkait apakah mayat perlu “ditahan” atau tidak. Jika mayat “ditahan” di
rumah, berapa lama waktunya. “Penahanan” mayat artinya penundaan waktu penguburan
yang berkaitan dengan siapa yang meninggal. Jika yang meninggal orang yang sangat
dihormati, mayat dapat “ditahan” pada waktu yang lebih lama daripada yang meninggal
berstatus sebagai orang biasa. Menahan mayat berarti “mempersiapkan roh” yang meninggal
untuk menuju pada “tempat yang baru”. Hal ini juga berlaku umum bagi masyarakat adat
yang masih memegang teguh kepercayaan adatnya, seperti yang juga disampaikan oleh
Deapati (2009:17), dalam kasus kematian Etnik Toraja.
Bagi orang Dayak Tomun berkepercayaan kaharingan di Kecamatan Delang, waktu
“penahanan” mayat mengikuti aturan “angka 7 dan kelipatannya”. 7 merupakan angka yang
dianggap sakral. Mayat dapat “ditahan” dalam waktu 1x7 (7 hari), 2x7 (14 hari), 3x7 (21
hari). Menurut Daud Dundai (mantir adat Desa Penyombaan, Kecamatan Delang) 1 ,
“Dahulu, jika yang mati ‘orang besar’, atas kesepakatan keluarga, mayat bisa ditahan 3 x
7. Tapi sekarang sudah hampir tidak ada.” Penjelasannya karena orang-orang saat ini
memiliki kegiatan hidup yang lebih beragam dibandingkan dengan orang-orang zaman
dahulu. Jika “menahan” mayat lebih lama, berarti meninggalkan kegiatan dan urusan-urusan
yang masih hidup. Alasan lainnya, biaya yang dibutuhkan sangat besar karena harus dengan
pesta adat yang panjang.
Dari ritual adat yang telah disebutkan di atas (nota garung pantang, banai’ banaki,
dan penggolaran, serta ritual tewah), yang sangat dikenal dalam kehidupan suku Dayak
Tomun, selalu berkaitan dengan konsep ruang, khususnya yang berkaitan dengan
pelaksanaannya di dalam rumah adat. Keberadaan rumah adat menjadi sangat penting bagi
suku Dayak Tomun, karena rumah selain dapat memberikan perlindungan akan keamanan,
juga mencakup fungsi kenyamanan, bahkan berhubungan dengan status sosial pemiliknya
(Rapoport, 2007).
Berawal dari Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Magister Arsitektur
Universitas Kristen Indonesia (UKI) di Kabupaten Lamandau tahun 2021, tentang:
Perencanaan Tata Ruang Kota Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah Berdasarkan
Konsep Kota Budaya Penunjang Kegiatan Pariwisata, mengharuskan tim peneliti
mengunjungi beberapa desa adat suku Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau. Salah satu
lokasi yang sangat dikenal adalah Kelurahan Kudangan Kecamatan Delang yang masih
berpegang pada living tradition. Selain masih melaksanakan upacara adat, karya budaya

1
Informasi ini didapatkan ketika Tim melakukan penelitian: Perencanaan Tata Ruang Kota Lamandau Provinsi
Kalimantan Tengah Berdasarkan Konsep Kota Budaya Penunjang Kegiatan Pariwisata, tahun 2021–2022.

7
yang identik sebagai jatidiri suku Dayak Tomun adalah rumah adatnya. Bentuknya
sederhana, namun memiliki ciri yang khas. Kedua sisi dindingnya tidak tegak lurus 90º,
namun memiliki kemiringan tertentu yang seolah-olah saling tarik-menarik. Bagian puncak
atap yang terletak pada tampak muka bangunan terdapat ornamen burung; sementara hanya
beberapa rumah yang memiliki ragam hias berbentuk naga di pintu utama rumahnya.
Menurut Dinas Pendidikan, Riset dan Kebudayaan Kabupaten Lamandau, pemetaan
dan program-program perbaikan melalui proyek Cagar Budaya sudah dilakukan. Di luar itu,
beberapa artikel di media internet, ada yang membahas mengenai rumah adat ini.
Permasalahannya adalah belum ditemukannya penelitian yang mendalam. Dalam tulisan
yang sudah ada, hanya mendeskripsikan dimensi dan ciri khasnya sebagai suatu “benda”,
belum menjelaskan pola-pola perilaku manusia yang menempatinya. Oleh karena itu,
penelitian ini bertujuan untuk menggali makna, nilai, dan fungsi rumah adat Dayak
Tomun sebagai hunian dengan pola-pola perilaku budaya yang menempatinya. Hal ini
berkaitan dengan world view suku Dayak Tomun itu sendiri.
Penelitian ini memiliki urgensi yang sangat penting dalam memahami nilai, makna,
dan fungsi terhadap tata ruang suku Dayak Tomun, khususnya pola-pola perilaku di dalam
rumahnya. Hal ini menjadi penting karena secara umum nantinya diharapkan juga berfungsi
sebagai pedoman bagi pihak-pihak terkait seperti: penelitian berikutnya/lanjutan, pekerjaan
Cagar Budaya (seperti: renovasi, revitalisasi, penataan wilayah, dan sebagainya),
pengembangan daerah objek wisata, pemberdayaan masyarakat melalui households, dan
sebagainya. Secara khusus, manfaat dari penelitian ini untuk memperkenalkan secara luas
kekhasan rumah adat suku Dayak Tomun yang belum banyak diketahui di Indonesia. Bagi
masyarakat, hal ini bermanfaat sebagai pengakuan akan identitas karya budaya suku Dayak
Tomun melalui rumah adatnya.
Luaran dari penelitian berupa tulisan ilmiah mengenai makna nilai, makna dan
fungsinya, serta kemungkinan perubahan tata ruangnya sejalan dengan perkembangan
zaman dan kebutuhan penghuninya. Selain itu, agar hasil penelitian ini lebih mendalam, Tim
Peneliti akan melakukan kerjasama dengan pihak Cagar Budaya (Dinas Pendidikan, Riset
dan teknologi) Kabupaten Lamandau, sebagai pihak yang terlebih dahulu pernah
mempelajari rumah adat ini. Kerjasama ini juga sebagai bukti bahwa MOU yang pernah
dibuat pada tahun 2021 – antara Magister Arsitektur UKI dengan Dinas Pendidikan, Riset
dan kebudayaan Kabupaten Lamandau bersifat operasional. Dalam hal ini dapat dibuktikan
bahwa Magister Arsitektur UKI, berkomitmen memajukan pembangunan di Kabupaten
Lamandau melalui konsep living tradition.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Dikaji dari sisi sejarah, menurut Riwut (1979:212), asal-usul orang Dayak dimulai
pada kurang-lebih 200 tahun sebelum Kristus, di mana terjadi perpindahan bangsa Malayu
yang pertama ke Indonesia dari daerah Yunan, yang datangnya secara bergelombang.
Mereka mulai mendiami bagian pantai. Tetapi karena datang Melayu Muda, bangsa Melayu
Tua (Proto Melayu) terdesak ke pedalaman. Sebelum datangnya bangsa Melayu Tua ke
nusantara, menurut penyelidikan, sudah ada bangsa yang mendiaminya terlebih dahulu, yaitu
bangsa Negrito dan bangsa Wedda yang mempunyai tanda-tanda fisik sebagai berikut:

8
Tabel 5. Perbandingan suku bangsa Negrito dan Wedda

Bangsa Negrito Bangsa Wedda

Bertubuh kecil Bertubuh lebih tinggi dari Negrito

Warna kulit kehitam-hitaman Warna kulit tidak terlalu hitam

Rambut keriting Rambut ikal berombak

Bentuk kepala bundar dan menengah Bentuk kepala menengah

- Mata agak masuk ke dalam

Sumber: Riwut, 1979:212 (diolah).

Dalam mempelajari penyebaran suku dayak di Pulau Kalimantan, menurut Riwut


(1979:213), pada zaman dahulu, antara suku kalangan bangsa Dayak sendiri saling
berperang untuk mencari kepala manusia, sehingga ini yang menjadi salah satu faktor
menyebabkan suku Dayak tersebar di seluruh Kalimantan. Mereka mencari tempat-tempat
yang aman dari serangan suku lain, mengisolasikan diri dari pergaulan suku-suku lain;
sehingga karena perbedaan tempat dan faktor isolasi yang sangat lama, memungkinkan
adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan di antara suku Dayak.
Suku Dayak di Kalimantan kebanyakan bertempat tinggal bukan di daerah pesisir,
tetapi di daerah pedalaman. Walaupun kebanyakan tinggal di derah pedalaman, bahasa yang
digunakan oleh suku-suku Dayak sangat beragam, padahal dari sisi tempatnya sangat
berdekatan. Menurut Riwut (1979:213), di daerah Kahayan dan Kapuas – dari muara sungai
sampai kurang lebih 2/3-nya sungai tersebut menggunakan bahasa Ngaju, sedangkan bagian
hulunya menggunakan bahasa Ot Danum. Tiap-tiap suku dapat dibagi atas suku-suku yang
sedatuk, dan yang sedatuk dapat dibagi lagi atas suku-suku kekeluargaan. Dapat diambil
kesimpulan bahwa suku Dayak terbagi menjadi: suku asal (rumpun), suku atau anak suku,
suku yang sedatuk, dan suku yang sekeluargaan. Pemahamannya, beberapa keluarga
merupakan suku sekeluargaan, yang merupakan cabang dari suku yang sedatuk; beberapa
suku yang sekeluargaan merupakan suku yang sedatuk (cabang anak). Beberapa suku atau
anak suku merupakan rumpun suku asal (disarikan dari Riwut, 1979:213).
Suku Dayak Tomun sendiri merupakan suku Dayak yang cukup menarik, karena
menurut silsilahnya ada keterkaitannya dengan suku Minang dari Sumatera Barat. Informasi
ini didapatkan ketika Tim Peneliti melakukan penelitian sebelumnya pada tahun 2021,
dengan hasil sebuah laporan penelitian (Septiady & Rilatupa & Uras, 2022). Informasi ini
didapatkan dari Culo Linyar yang merupakan “pewaris kampung” di Kelurahan Kudangan.
Ia merupakan generasi ke-21 dari Patih Nan Sebatang. Silsilah keluarga Culo Linyar dan
suku Dayak Tomun ini juga telah diakui keberadaannya oleh Raja Pagaruyung. Pengakuan
ini ditandai dengan pernah berkunjungnya Raja Pagaruyung ke kediaman Culo Linyar –
tepatnya sekitar setahun sebelum wafatnya Raja Pagaruyung. Waktu kunjungan itu kira-kira
antara tahun 2010–2015.

9
Gambar 1. Peta suku-suku Dayak
Sumber: Riwut (1979:232) (diolah).

10
Menurut Riwut (1979:213-218), suku Dayak di Kalimantan terdiri dari 7 suku, 18
anak suku yang sedatuk, dan 405 suku kekeluargaan. Agar mudah dalam memahaminya,
dilakukan pembagian, yaitu: suku asal (Dayak), suku besar, suku kecil, dan suku
kekeluargaan. Ketujuh suku-suku besar itu adalah:
1) Dayak Ngaju,
2) Dayak Apu Kayan,
3) Dayak Iban/Heban atau Dayak Laut,
4) Dayak Klemantan atau Dayak Darat,
5) Dayak Murut,
6) Dayak Punan,
7) Dayak Ot Danum.

Menurut Culo Linyar, suku Dayak Tomun memang memiliki kedekatan dengan
Kerajaan Pagaruyung. Bahkan menurutnya, beberapa budaya Dayak Tomun sedikit banyak
dipengaruhi oleh budaya Minang dari Kerajaan Pagaruyung. Culo Linyar membuktikan
dengan contoh. Bahasa Dayak Tomun yang disebut dengan Baso Delang (bahasa Delang)
memiliki kata dan penyebutannya yang sangat mirip dengan bahasa Minang. Selain itu,
sebagian besar budaya Dayak Tomun, baik ritual maupun seni pertunjukan menggunakan
kata-kata layaknya orang yang sedang bersyair – orang Dayak Tomun menyebutnya dengan
istilah “bekato”. Menurut Culo Linyar, usia baso Delang sudah sekitar 21 generasi, terhitung
sejak Patih Nan Sebatang masuk Kalimantan.
Pernyataan Culo Linyar di hadapan para tokoh dan tetua adat, dapat disimpulkan
bahwa nama Dayak Tomun memang ada di Pulau Kalimantan, khususnya di Kalimantan
Tengah, namun keberadaannya belum terdata oleh Riwut (1979). Keberadaan Dayak Tomun
di Kalimantan Tengah, khususnya di Kabupaten Lamandau terus kami gali, untuk
kepentingan identitas suku Dayak Tomun dan budaya yang terkait dengannya. Berdasarkan
rekaman wawancara Sigit Kristianto (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten
Lamandau) dengan Silverius Yamaha (mantan Domang Kecamatan Delang), terkait
keberadaan suku Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau menurut versi tokoh adat di
Kecamatan Delang, hasilnya sama, yaitu sejalan denga napa yang disampaikan informasinya
oleh Culo Linyar.
Meskipun mendapatkan pengaruh silsilah dari suku Minang, budaya komuniti
masyarakat adat Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau adalah berlatar belakang
kepercayaan kaharingan. Kepercayaan ini memiliki filosofi budaya yang sangat kuat,
sehingga berpengaruh pada ritme kehidupan dalam berhubungan antar-individu, masyarakat,
dan alam semesta (Paembonan, 1994). Kepercayaan kaharingan merupakan sistem
keyakinan dalam suatu religi, oleh Koentjaraningrat (2007:81, yang mengacu kepada Rudolf
Otto) disebutkan bahwa sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan
manusia, yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan,
tentang wujud dari alam gaib (kosmologi), tentang terjadinya alam dan dunia (kosmogoni),
tentang zaman akhirat (esyatologi), tentang wujud dan ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek
moyang, roh alam, dewa-dewa, roh jahat, hantu, dan mahluk halus lainnya. Kecuali itu,

11
sistem keyakinan juga menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran
kesusilaan, dan ajaran doktrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia.
Kepercayaan kaharingan, yang merupakan kepercayaan kuno yang dianut oleh
beberapa suku Dayak di Kalimantan. Seiring berjalannya waktu, hal ini mengalami
akulturasi budaya, antara budaya lokal suku Dayak Tomun pada saat itu dengan pendatang
yang tinggal dan menikahi perempuan dari Suku Dayak Tomun, bahkan sampai dengan
sekarang keturunannya bisa membentuk sebuah laman (perkampungan besar). Hal ini
berlanjut dengan perkembangan syiar agama Kristen, Katolik dan Islam yang demikian
gencarnya, kemudian membuat warga lokal yang berasal dari suku Dayak Tomun
mengalami “distorsi” dalam pelaksanaan obyek pemajuan kebudayaan, yang semula murni
dilatarbelakangi oleh kepercayaan kaharingan kuno menjadi penyesuaian-penyesuaian yang
disepakati. Corak utama obyek pemajuan kebudayan di Kabupaten Lamandau adalah
Kebudayaan Dayak Tomun di Wilayah Kabupaten Lamandau, yang berbeda dengan Dayak
Tomun di wilayah lain; apalagi dengan Kebudayaan suku dayak lainnya di Pulau
Kalimantan. Kebudayaan Dayak Tomun di Wilayah Kabupaten Lamandau ini penuh dengan
muatan simbol dan tanda, yang lekat sekali dengan fisofofi kepercayaan kaharingan.
Mengacu dari pemikiran akan sistem keyakinan tersebut, penelitian ini mendalami wujud
dan tata laku masyarakatnya terhadap makna, nilai, dan fungsi rumah adat Dayak Tomun.
Rumah (adat) lebih dari sekedar tempat tinggal, tetapi juga mempelajari atau
menganalisa simbol. Makna pada rumah adat Dayak Tomun tersimpan dalam simbol-simbol
yang salah satu wujudnya berbentuk ornamen-ornamen pada rumah adat, sebagai bagian dari
artefak budaya penunjuk identitas komuniti masyarakatnya. Kennerly (2005:36) yang
mengutip dari Babcock (1992:206-216) disebutkan bahwa fungsi penting dari artefak adalah
sebagai alat komunikasi. Babcock (1992:204) sendiri menjelaskan bahwa artefak (artifact)
dibagi ke dalam bermacam-macam golongan berdasarkan fungsi atau tujuan dari
pembentukannya, seperti: peralatan, perlengkapan, senjata, ornamen atau ragam hias,
perkakas domestik, objek religius, barang antik, benda-benda milik bersama, model pakaian,
dan sebagainya. Di mana semua artifak selalu memiliki dimensi (cara pandang) estetis dan
muatan nilai-nilai dari estetika itu sendiri yang saling berhubungan. Dengan demikian,
artifak sebagai bagian dari hasil kebudayaan manusia digunakan sebagai “tempat
penyimpanan” makna-makna, yang mewujudkan makna-makna objek budaya untuk sarana
komunikasi dan berinteraksi antar-sesama manusia.
Di sisi lainnya, fungsi simbol pada rumah dalam permukiman yang diwujudkan pada
pola tata letak, orientasi dan hubungan ruang untuk mengakomodasi kegiatan sehari-hari dari
penghuninya. Rumah ditempatkan pada pusat analisa organisasi sosial, kategori sosial dari
masyarakatnya, tempat kegiatan perekonomian, upacara adat dan ritual-ritual (Cunningham
1964:13,35,226; Septiady 2001:6 dalam Septiady 2002:1). Ritual-ritual yang dilakukan
terhadap rumah mengacu pada sebuah keselarasan terhadap alam serta simbol kosmologi
(Waterson, 1997:112). Ritual-ritual tersebut di antaranya mengandung pemahaman utama
dalam pola tingkah laku masyarakatnya agar dapat “menyatu dengan alam”. Dengan kata
lain, rumah, alam, dan pola tingkah laku masyarakatnya merupakan rangkaian hubungan
dalam suatu ekosistem yang saling terkait, agar manusia mendapatkan suatu kenyamanan
dari tempat huniannya.

12
Konsepsi kenyamanan dalam permukiman dibahas oleh Amos Rapoport (1969:47
dalam Salipu, 2021:29-35), pola perilaku yang berkaitan dengan budaya, nilai, simbol,
status, gaya hidup dan kosmologi dapat ditemukan dalam permukiman sebagai wujud fisik.
Selanjutnya Rapoport (1969:61), menyebutkan beberapa aspek yang lebih penting dalam
berbagai kehidupan terkait kenyamanan, yang mempengaruhi bentuk bangunan yaitu: (1).
Beberapa kebutuhan dasar, (2). Keluarga, (3). Posisi wanita, (4). Privasi dan (5). Hubungan
sosial. Masing-masing aspek tersebut di atas, memberikan banyak pilihan definisi dan
bentuk yang digunakan untuk menyediakannya, yang bergantung pada nilai-nilai, makna,
dan fungsi budaya atau subkultur. kaitan antara arsitektur dengan kebudayaan pada
masyarakat tradisional, mengarah pada rumah tinggal yang dalam konteks masyarakat adat
yang disebut sebagai permukiman tradisional dari konsep ruang yang memiliki makna-
makna yang terkandung dalam simbol budaya. Makna-makna tersebut bisanya mengandung
unsur kepercayaan dan mitologi. Makna-makna memiliki nilai-nilai tersendiri yang diyakini
oleh masyarakat pemilik budayanya, di mana setiap nilai memberikan fungsi yang mengatur
pola tingkah laku anggota komunitinya untuk menempati ruang-ruang budayanya, baik di
dalam maupun di luar rumah adatnya.
Pada gambar kerangka teori dapat dijelaskan bahwa rumah adat Dayak Tomun
mengacu kepada 4 konsep dasar yang melandasinya, yaitu: (1) kepercayaan, (2) Sosial, (3)
Bentuk dan tata ruang, dan (4) Artefak. Berikut pembahasannya. Dalam sistem kepercayaan
yang terkait dengan perilaku sosial, terdapat 3 unsur yang berkaitan dengan pembentukan
wujud rumah adat, seperti: nilai, makna, dan fungsi. Dalam setiap ajaran kepercayaan, nilai
memegang peranan penting untuk mengatur pola tingkah laku penganutnya – mana yang
benar mana yang salah; mana yang baik mana yang buruk. Sementara makna berkaitan
dengan apa yang terkandung dalam setiap nilai para penganutnya dalam menempati suatu
ruang. Oleh karena itu, makna kadang terlihat secara implisit maupun eksplisit dalam
gerakan-gerakan atau tindakan-tindakan dari individu-individu di dalam komunitinya,
tepatnya ketika mereka berada pada tempat-tempat khusus (seperti di dalam rumah adat).
Ada ruang maupun tempat-tempat di dalam rumah adat yang digunakan untuk menyimpan
benda-benda yang dianggap sakral, sehingga ruang atau tempat-tempat itu tidak boleh
diakses oleh semua orang, bahkan oleh salah satu anggota keluarga pemilik rumah adat
tersebut. Fungsi yang berhubungan dengan sistem kepercayaan pada rumah adat adalah suatu
pola pikir masyarakat pemilik budayanya, untuk berperilaku sesuai dengan kepercayaannya
agar terhindar dari hal-hal yang buruk dan mendapatkan hal-hal yang baik dalam kehidupan
sehari-harinya.
Berikutnya sistem sosial. Dalam pelaksanaannya, sistem sosial juga berkaitan dengan
makna, nilai, dan fungsi yang berkaitan dengan pola kehidupan sosial masyarakat dalam
memandang dan berperilaku di rumah adatnya. Mengacu kepada Septiady (2021:65-66)
kunci dari ketertiban dalam sistem sosial masyarakat adalah adanya kesepahaman para
individu dalam bertindak terhadap individu-individu lainnya pada suatu situasi tertentu,
termasuk ketika berada di dalam rumah adat. Kesepahaman perilaku yang “dituntun atau
tertuntun” dalam makna, nilai, serta fungsi yang berkaitan dengan ruang yang tidak akan
pernah lepas dari pembahasan kekuasaan (power) dan pengaturan/penguasaan (control) yang
masing-masing mereka miliki.

13
FUNGSI
SISTEM
KEPERCAYAAN

MAKNA
NILAI

ARTEFAK RUMAH ADAT DAYAK TOMUN BENTUK DAN


TATA RUANG

NILAI

MAKNA
SISTEM
SOSIAL

FUNGSI

Gambar 1. Kerangka teori unsur-unsur pembentuk rumah adat


Sumber: Septiady (2019) yang dikembangkan berdasarkan kasus.

Pembahasan berikutnya adalah bentuk dan tata ruang. Bentuk dan tata ruang pada
rumah adat sangat berkaitan dengan unsur budaya. Besarnya luasan rumah tergantung
kepada siapa yang memiliki dan menghuninya. Rumah adat yang besar dan berbeda ukuran
dari rumah adat lain di sekitarnya menjelaskan adanya perbedaan stratifikasi pemiliknya
dalam masyarakat. Begitu juga dengan penggunaan ornament-ornamen atau ragam hias
tertentu. Rumah yang memiliki ornamen atau ragam hias tertentu biasanya berhubungan
dengan tingkatan statusnya di masyarakat. Begitu pula dengan tata ruang di dalamnya. Tata

14
ruang rumah adat dibentuk dan dibangun bukan semata-mata untuk kepentingan
penghuninya. Tata ruang juga dikaitkan dengan pengaturan posisi jika ada tamu yang datang
ke rumah mereka. Di mana tamu “diperbolehkan” duduk, atau di mana tuan rumah
“seharusnya” duduk ketika menerima tamu tersebut. Menurut Fox (1980:333 dalam Septiady
2001:6), disebutkan bahwa rumah (adat) memiliki sistem yang menjelaskan dasar dari
penggolongan dan nilai-nilai dari klasifikasi, baik pengertian dari kesatuan maupun
perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakatnya.
Pada gambar terlihat adanya garis arah yang menghubungkan antara fungsi sistem
kepercayaan dengan fungsi yang ada dalam sistem sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pada
umumnya dalam masyarakat tradisi dijumpai adanya hubungan antara fungsi tersebut.
Fungsi dalam sistem kepercayaan kadang digunakan untuk memperkokoh kekuatan “hukum
adat” yang terdapat dalam fungsi sistem sosial. Orang-orang yang sangat dihormati
kedudukannya dalam sistem kepercayaan biasanya juga akan dihormati kedudukannya
dalam sistem sosial. Ketakutan terhadap adanya perbuatan individu yang dalam kehidupan
sosialnya dianggap melanggar, kadang dikaitkan dengan “hukuman” yang juga ada atau
berlaku di dalam sistem kepercayaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa memang pada
kenyataannya, setiap kepercayaan juga berisi tentang pengetahuan untuk mengatur pola
tingkah laku bagi komuniti yang ada di dalamnya. Seperti apa yang dijelaskan oleh Septiady
(2021:6, yang mengacu dari Levi-Strauss, 1987; Nagata, 1999:37) bahwa untuk beberapa
wilayah di Indonesia, rumah (adat) menyatakan tingkatan dari struktur dasar dalam
masyarakatnya. Struktur dasar tersebut oleh Fox (1993:1-23) disebut sebagai kategori
klasifikasi dari sistem lokal, yang berfungsi untuk menyatakan tingkatan hubungan dan
interaksi antara komponen bagian dari suatu tingkatan komuniti yang juga berkaitan dengan
pelaksanaan ritual dan mitos (myth).
Terakhir, pembahasan artefak. Pada masyarakat tradisi, artefak berhubungan dengan
sistem kepercayaan, sistem sosial, dan bentuk tata ruang – bahkan pembahasan keempat
bagian tersebut saling berkaitan/berhubungan dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam
artefak terdapat makna yang dapat “disampaikan” untuk mengatur sistem sosial yang ada di
masyarakatnya. Artefak juga dapat dikreasi melalui benda-benda yang berhubungan dengan
sistem kepercayaan dalam bentuk simbol-simbol. Makna yang terkandung dalam simbol
artefak biasanya juga dikaitkan dengan totem 2 yang melekat pada latar belakang sejarah
sukunya. Kadang totem ini juga sebagai lambang identitas dari suatu suku. Totem juga
berfungsi untuk memperlihatkan secara implisit tentang apa yang telah dipelajari individu-
individu dalam suatu kominiti yang menyangkut sistem kepercayaannya, seperti:
menumbuhkan sikap saling menghormati atas dasar ajaran dalam kepercayaannya, mengatur
tempat-tempat atau daerah-daerah mana yang dapat digunakan untuk berbagai macam
kegiatan dengan pembagian suci–kotor. Totem juga berguna untuk menunjukkan secara
eksplisit tentang kedudukan atau status individu-individu di dalam masyarakatnya, sehingga
dalam perletakan totem dibutuhkan tempat-tempat khusus sesuai dengan nilai kesakralan
yang ingin ditunjukkan pada totem tersebut. Dengan kata lain, simbol-simbol yang ada
dalam sistem kepercayaan kadang juga mempengaruhi pola perilaku masyarakatnya dalam
bertingkah laku di dalam sistem sosialnya.

2
Totem adalah hewan yang dianggap suci karena berkaitan dengan leluhur suatu suku. Totem biasanya dipercaya
sebagai bagian dari sejarah suku tersebut, dan agar totem dapat dipahami maknanya, biasanya dibantu oleh suatu
folklor dalam jenis cerita prosa rakyat, khususnya yang berbentuk mite maupun legenda (lihat: Danandjaja, 1999:I,4-
6,18-20).

15
Dari 4 konsep dasar yang melandasi keberadaan rumah adat, semuanya bertujuan
untuk menjaga keselarasan lingkungan alam. Dengan kata lain, rumah adat maupun
perkampungannya adalah mikrokosmos yang harus dijaga keberlangsungan ekosistemnya
untuk “melindungi” makrokosmos. Hal ini dapat kita temukan bahwa dalam pembangunan
rumah adat, yang berkaitan dengan bahan bangunan, struktur, dan konstruksinya sangat
memperhitungkan ekologi lingkungan di sekitarnya. Mengacu kepada Sidik & Daniel (2016)
disebutkan bahwa konsep ekologi merupakan suatu gagasan penataan lingkungan dengan
memanfaatkan potensi atau sumberdaya alam dan penggunaan teknologi berdasarkan
manajemen etis yang ramah lingkungan. Dari kutipan ini, dipahami bahwa penggunaan
teknologi struktur dan konstruksi bangunan memperhitungkan keberadaan bahan bangunan
yang terdapat pada ekosistem lingkungannya.

Gambar 2. Posisi Kota Nanga Bulik atas wilayah Indonesia, dan Provinsi Kalimantan Tengah
Sumber peta Kota Nanga Bulik: dpulamandau, diunggah Https://lamandau.wordpress.com, 2012.

16
Jika dikaitkan antara pembangunan rumah adat dan ekosistem lingkungannya,
terlebih dahulu harus ditelusuri kondisi lokasi di mana penelitian ini dilakukan. Lokasi
penelitian di Desa Kudangan Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Kabupaten Lamandau merupakan hasil pemekaran wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat
berdasarkan UU nomor 5 Tahun 2002. Kabupaten Lamandau berada di daerah khatulistiwa,
terletak pada 1°9'–3°36' Lintang Selatan, dan 110°25'–112°50' Bujur Timur. Secara
administratif, Kabupaten Lamandau memiliki luas wilayah 6.414 Km². Luas wilayah
Kabupaten Lamandau sebesar 6.414 km2 atau hanya sekitar 4,18 persen dari luas Provinsi
Kalimantan Tengah. Keadaan topografi Kabupaten Lamandau terdiri dari rawa, dataran
rendah, dataran tinggi dan perbukitan dengan ketinggian daratan dari permukaan laut
berkisar antara 90,08 m hingga 153,2 m. Selain itu, terdapat beberapa sungai besar maupun
kecil yang menjadi urat nadi perekonomian daerah, enam di antaranya dapat dilayari yaitu
Sungai Bulik, Sungai Lamandau, Sungai Belantikan, Sungai Matu, Sungai Batangkawa dan
Sungai Delang (Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamandau, 2019a).
Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten
Seruyan; sebelah Timur berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat; sebelah
Selatan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukamara dan Provinsi Kalimantan Barat;
dan sebelah Barat juga berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukamara dan Provinsi
Kalimantan Barat. (PPKD Kabupaten Lamandau, 2017:1). Luas masing-masing kecamatan
di Kabupaten Lamandau berdasarkan BPS Kabupaten Lamandau (2019b:5):
- Kecamatan Bulik, seluas 665,55 Km²
- Kecamatan Sematu Jaya, seluas 86,85 Km²
- Kecamatan Menthobi Raya, seluas 620,88 Km²
- Kecamatan Bulik Timur, seluas 1.074,72 Km²
- Kecamatan Lamandau, seluas 1.333,00 Km²
- Kecamatan Belantikan Raya, seluas 1.263,00 Km²
- Kecamatan Delang, seluas 685,00 Km²
- Kecamatan Batangkawa, seluas 685,00 Km²

Sampai saat ini komoditas kelapa sawit dan karet masih menjadi komoditas unggulan
di Kabupaten Lamandau. Kedua Komoditas ini mempunyai nilai produksi paling tinggi dan
luas areal paling besar dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Pada tahun
2018, luas areal kelapa sawit mencapai 30.074,8 hektar dengan produksi sebanyak 89.767,5
ton. Produksi komoditas perkebun terbanyak lainnya, yaitu karet sebanyak 1.659 ton. Padi
merupakan komoditas tanaman pangan utama Kabupaten Lamandau. Budidaya padi
Kabupaten Lamandau didominasi oleh padi ladang. Pada tahun 2018, persentase produksi
padi terbesar dibandingkan tanaman pangan lainnya yaitu lebih dari 50 persen dari total
produksi tanaman pangan Kabupaten Lamandau. (BPS Kabupaten Lamandau, 2019a:10).
Kabupaten Lamandau termasuk daerah yang beriklim tropis Type A berdasarkan
zona iklim, yaitu jumlah bulan basah lebih banyak dibandingkan dengan bulan kering.
Musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Juni sampai bulan September, sedangkan
musim hujan terjadi pada bulan Oktober sampai dengan Mei. Curah hujan berkisar antara
2.000–2.500 mm/tahun. Curah hujan tertinggi pada bulan Maret dan terendah pada bulan
Juli. Suhu udara antara 23°-32°C dengan suhu rata-rata 27,48°C, dengan suhu maksimum
berkisar antara 31°-33°C dan minimum antara 21,9°-23,4°C. Kelembaban udara berkisar

17
antara 81% - 89%, yang berarti tergolong daerah yang memiliki udara yang cukup lembab.
Kecepatan angin berkisar antara 0,4–0,7 knot. (BPS Kabupaten Lamandau, 2019a:10).

Tabel 2. Luas wilayah Kabupaten Lamandau berdasarkan Jenis lahan

No. Jenis Lahan Luas (ha)


1 Pertanian tanaman pangan 11.100
2 Perkebunan 17.468
3 Kehutanan 585.292
4 Perumahan/Danau/Sungai/Rawa 23.900
5 Hutan Tanaman Industri 3.640
Sumber: PPKD Kabupaten Lamandau, 2017 – halaman 3 (diedit).

Sepanjang tahun 2018, jumlah hari hujan di Kabupaten Lamandau adalah sebanyak
238 hari dengan rata-rata per-bulannya sebanyak 19–20 hari. Kemudian, rata-rata curah
hujan perbulan mencapai 156,6 mm³. Kondisi tersebut mengakibatkan beberapa kecamatan
di Kabupaten Lamandau sempat terendam banjir hingga melumpuhkan akses jalan antar-
desa dan kecamatan (BPS Kabupaten Lamandau, 2019a:1). Kondisi banjir ini juga akan
menjadi bahan kajian kami, apakah mempengaruhi struktur dan bentuk rumah adat di Desa
Delang – hal ini tentu saja berkaita dengan pembahasan fungsi pada rumah adatnya.

III. METODE PENELITIAN


Untuk dapat memahami budaya suku Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau,
khususnya mengenai makna, nilai, dan fungsi pada rumah adatnya, kami menggunakan
penelitian penelitian kualitatif. Mengacu kepada Suparlan (1994:6), penelitian kualitatif
memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-
satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-polanya. Satuan-satuan gejala
yang ada dalam kehidupan Dayak Tomun yang dilandasi nilai-nilai yang ada pada
masyarakatnya. Oleh karena itu, dengan penelitain kualitatif diharapkan nilai-nilai yang ada
tersebut dapat tergambarkan sebagaimana adanya. Dengan demikian, langkah pertama yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah memperkenalkan diri dengan masyarakat yang
menjadi pemilik budaya, yaitu Suku Dayak Tomun. Kemudian melakukan inventarisasi
mengenai kebudayaan yang ada di lingkungan (hidup) mereka yang bersifat tradisi, dan
tentunya mempelajari juga nilai-nilai sakral akan karya budaya tersebut, agar jangan sampai
kajian mengenai rumah adat suku Dayak Tomun menjadi polemik di kemudian hari.
Selanjutnya, menurut Salim (2001:8), yang mengutip buku Handbook of qualitative
research dari Denzin & Lincoln (1994) dan The paradigm dialog dari Guba (1990),
menyatakan bahwa pendekatan kualitatif adalah mengenai multi-metodologi. Maksudnya,
penelitian kualitatif sebagai perangkat interpretatif terhadap fenomena sosial tidak
memberikan hak istimewa kepada suatu metodologi di atas yang lain. Model penelitian

18
kualitatif digunakan dalam banyak disiplin secara terpisah, pendekatannya tidak memiliki
seperangkat metode tertentu yang seluruhnya menjadi miliknya. Mengacu kepada kutipan
ini, dalam penelitian ini terbentuk Tim Peneliti yang masing-masing memiliki latar belakang
pengetahuan yang beragam, untuk mengulik sudut pandang arsitektur dan kebudayaan dari
pengetahuan arsitektur-antropologi, pengetahuan bahan bangunan - terkait dengan struktur
dan konstruksinya, dan ekosistim lingkungan Desa Kudangan. Berdasarkan penjelasan
tersebut, penelitian ini merupakan penelitian rumah adat yang dikaji berdasarkan sudut
pandang pengetahuan penelitinya yang beragam, sehingga membentuk suatu kesatuan hasil
penelitian yang saling terkait secara sistematik. Menurut Suparlan (1994) disebutkan bahwa
penelitian adalah metode berpikir untuk kegiatan menemukan dan mengumpulkan
informasi; yang kemudian dipilah-pilah, diseleksi, digabungkan sesuai dengan tujuannya,
dihubung-hubungkan untuk menemukan hakekat yang digunakan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan.
Dengan pendekatan kualitatif, perilaku dan setting manusia dilihat sebagai suatu
kesatuan yang saling berhubungan, sementara penelitiannya lebih menekankan pada proses
dibandingkan hasil penelitian untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang
kehidupan sosial (Suparlan, 1997). Pendekatan kualitatif dapat diterapkan dalam penelitian
ini, dikarenakan salah satu tujuan di penelitian yaitu menggali makna, nilai, dan fungsi
rumah adat suku Dayak Tomun di Desa Delang Kabupaten Lamandau. Dengan padatnya
data yang ingin dicapai, bentuk strategi penelitiannya dilakukan dengan pendeskripsian
secara terinci dan mendalam. Seperti yang dijelaskan oleh Sutopo (2006) dalam PDDI3 LIPI
(2013), bahwa penggalian data kualitatif mengarah pada kondisi dan proses – khususnya
rumah adat Dayak Tomun; dan hubungan atau saling keterkaitannya dengan hal-hal pokok
yang menjadi temuan pada sasaran penelitian. Metode kualitatif dipilih karena adanya
ketepatan strategi dengan hasil yang ingin dicapai, dan kesesuaiannya dengan paradigma
yang digunakan. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berjenis etnografi,
dengan pengamatan pada benda-benda karya budaya suatu komuniti tertentu, yang memiliki
kekhasan cara pandang dalam pembuatannya. Benda-benda ciptaan tersebut – dalam hal ini
rumah adat – kemudian menjadi identitas bagi komunitinya sebagai latar dalam bagian
terbesar ekosistim yang ada dalam lingkungan mereka.
Langkah proses penelitian dilakukan berdasarkan panduan prosedur yang sistematik,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Creswell (2018) bahwa dalam metode kualitatif juga
dilakukan review penelitian-penelitian yang sudah ada, hal ini juga merupakan bagian awal
dari penelitian. Dalam hal ini melakukan review bertujuan untuk mendalami topik-topik
yang telah ada dan terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Selanjutnya, keseluruhan
perspektif dari berbagai sumber data akan dilihat dalam sudut pandang tahapan penelitian
yang saling bertautan dan memiliki keterhubungan yang kuat dengan sumber data utama
penelitian, yaitu masyarakat pemilik budayanya (khususnya para tokoh adat dan para pemilik
rumah adat di Desa Delang). Tujuannya untuk mendapatkan justifikasi yang koheren.
Dengan kata lain, dalam pelaksanaanya, metode penelitian kualitatif ini menggunakan model
perbedaan triangulasi, dalam mengartikan komponen-komponen utama dalam pembentukan
nilai, makna, dan fungsi rumah adat suku Dayak Tomun di Desa Delang, seperti yang terlihat
pada gambar diagram di bawah ini:

3
PDDI = Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah.

19
Gambar 3. Trangulasi data dalam penelitian kualitatif
Sumber: Sutopo (2006) dalam PDDI LIPI (2013),

Penelitian ini banyak dilakukan pada rumah adat yang pada umumnya dihuni secara
aktif oleh para pemiliknya. Oleh karena itu, dalam mengakses dan dan menggali data yang
terkait dari benda (rumah adat itu sendiri) dan manusia (para pemilik dan penghuninya), Tim
Peneliti wajib menggunakan etika kesopanan dan menjunjung tinggi nilai-nilai privasi yang
ada di masyarakat. Berdasarkan Septiady (2021b), terhadap informan, seorang peneliti miliki
etika yang mencakup 4 faktor tanggung jawab, di antaranya:
1) Bertanggungjawab terhadap subjek yang mereka teliti, dilakukan dengan cara:
- Peneliti bertanggungjawab menjaga perilakunya di lingkungan masyarakat yang
diteliti sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang ditelitinya. Hal ini menjadi
keharusan, karena dalam penelitian kualitatif, penelitinya harus berada di daerah
penelitian (fields).
- Seorang peneliti harus melindungi keselamatan dan kesejahteraan fisik, sosial
dan kejiwaan, serta menghormati harga diri dan privacy informan maupun
narasumbernya.
- Hal-hal di atas tersebut secara lebih khusus dapat dimulai dengan cara
menjelaskan tujuan penelitian; dan kalau penelitiannya untuk tujuan aplikasi
(penerapan), harus dijelaskan manfaat dan kemungkinan-kemungkinan lainnya
dari penelitian yang dilakukannya tersebut terhadap kehidupan warga/kelompok
masyarakat/satuan kehidupan sosial yang diteliti.
- Bila informan atau narasumber tidak menginginkan identitasnya diketahui atau
dipublikasikan, maka peneliti berkewajiban menuliskan identitas
narasumbernya dengan istilah “anonim” atau singkatan nama dalam laporan
hasil penelitiannya.
- Peneliti juga tidak diperkenankan mengeksploitasi informan maupun
narasumbernya untuk kepentingan pribadinya. Di sini, seorang peneliti harus
memperhitungkan akibat-akibat yang dapat merugikan mereka yang diteliti.

2) Bertanggungjawab terhadap hasil penelitiannya.


Dalam hal ini, setiap data (baik berupa tulisan maupun gambar) yang dirujuk dan
diacu atau digunakan harus menyebutkan sumbernya untuk menghindari plagiasi.
Selanjutnya, hasil penelitian merupakan kenyataan di lapangan (reliable) pada saat

20
dilakukannya penelitian, yang digali secara langsung di lokasi penelitian (field), dan
bukan merupakan rekayasa kehadiran dari peneliti. Dengan kata lain, hasil dari
penelitian ini memiliki kemungkinan untuk direvisi atau dikembangkan oleh peneliti
sendiri maupun peneliti lainnya di waktu yang akan datang (selanjutnya). Terakhir,
hasil penelitian juga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan dibuat atas
tanggungjawab peneliti berdasarkan kemampuan akademik yang dimilikinya. Secara
keseluruhan, penelitian ini dilakukan berlandaskan etika ilmiah dan moral yang
bertanggungjawab, karena tidak hanya menyangkut masalah “nama” tim peneliti,
namun juga institusi yang “memayungi” tim peneliti.

Daftar Pustaka (Sementara)

Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamandau (2019a). Kabupaten Lamandau Dalam Angka –
2019: Katalog 1102001.6207. Penerbit: BPS Kabupaten Lamandau.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamandau (2019b). Statistik Daerah Kabupaten Lamandau –
2019: Katalog 1101002.6207. Penerbit: BPS Kabupaten Lamandau.
Creswell, John W. & Creswell, J. David (2018). Research Design Qualitative, Quantitative, and
Mixed Methods Approaches - Fifth Edition. California: Sage Publications Inc.
Danandjaja, James (1999). Cerita Prosa Rakyat. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka Jakarta.
Deapati, Andi Karina (2009). Ruang dan Ritual Kematian: Hubungan Upacara dan Arsitektur
Kelompok Etnis Toraja [Skripsi]. Jawa Barat, Depok: Unversitas Indonesia.
Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lamandau (2016a). Revitalisasi Adat Hidup Adat
Mati Kecamatan Delang. Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah: dicetak oleh Dinas
Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lamandau.
Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lamandau (2016b). Revitalisasi Adat Hidup Adat
Mati Kecamatan Belantikan Raya. Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah: dicetak
oleh Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Lamandau.
Kennerly, Rebeca Marie (2005). Cultural Performance of Roadside Shrines: A Poststructural
Postmodern Ethnography. Louisiana State University: LSU Digital Commons, LSU
Doctoral Dissertations. https://digitalcommons.lsu.edu/gradschool_dissertations.
Koentjaraningrat (2007). Sejarah Teori Antropologi 1. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI
Press).
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lamandau (2017). Pokok Pikiran Kebudayaan
Daerah Di Kabupaten Lamandau. Kalimantan Tengah: Buku Laporan Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Lamandau.
Fox, james J. (1993). Inside Austronesian Houses: Perspectives on Domestic Designs for Living.
Canberra, Australian National University: Research School Pacific Studies.
Paembonan, Taya (1994). Batang Garing. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Rapoport, Amos (2007). House Form and Culture: Foundation of Cultural Geography Series.
Prentice-Hall Press, Michigan University Digital Press. ISBN: 0133956733,
9780133956733.

21
Rapoport, Amos. (1969). House Form and Culture: USA: Prentice Hall, Inc, Engleewood Cliffs,
New Jersey.
Riwut, Tjilik (1979). Kalimantan Membangun. Penerbit: S.n., s.l.
Salim, Agus (2001). Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Dari Denzin Guba dan
Penerapannya). Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana Yogya.
Salipu, Amir (2021). Permukiman Silimo Sebagai Simbol Perwujudan Sistem Keamanan dan
Kenyamanan Suku Hubula di Lembah Baliem Kabupaten Jayawijaya (Disertasi).
Jayapura, Papua: Program Pascasarjana Program Doktor Ilmu Sosial Konsentrasi
Antropologi – Universitas Cenderawasih.
Septiady, Yophie & Rilatupa, James Erich D. & Uras Siahaan (2022). Perencanaan Tata Ruang
Kota Lamandau Provinsi Kalimantan Tengah Berdasarkan Konsep Kota Budaya
Penunjang Kegiatan Pariwisata. Jakarta: Universitas Kristen Indonesia, Penelitian
Kelompok Hibah Perguruan Tinggi 2021–2022.
Septiady, Yophie (2021a). “Assessing the Egocentric Territoriality Concept of Erving Goffman
on Social Interactions in the Public Space in the Covid-19 Pandemic Period,” Proceeding
of International Webinar – May 30 and June 1, 2021 (pp.65–79): The Impact of Covid-
19 on Sustainable Development of Cities and Settlements. Jakarta: UKI Press Publisher.
ISBN: 978-623-6963-46-3.
Septiady, Yophie (2021b). “Pemahaman Dasar Bahasa Kualitatif Dalam Kajian Arsitektur
[Makalah],” Seminar Nasional Metodologi Penelitian Untuk arsitektur. Jakarta, Program
Sudi Magister Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia.
Septiady, Yophie (2002), “Ritual-ritual pada rumah adat dalam Kajian Proses,” Jurnal Teknik
Volume 15 Nomor 1, Februari 2002. Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat, Fakultas
Teknik Universitas Pancasila, Jakarta.
Septiady, Yophie (2001). Hubungan Antara Cerita Prosa rakyat Dengan Makna Simbol pada
Rumah Adat karo di Desa Lingga – Sumatera Utara (Tesis). Depok, Jawa Barat:
Universitas Indonesia, Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Program
Studi Antropologi.
Sidik & Daniel (2016). “Implementasi Konsep Arsitektur Ekologi pada Rancang Bangun Rumah
Minimalis,” Jurnal Techno Nusa Mandiri, Vol.XIII, No.1 Maret 2016, hlm. 23-31.
Suparlan, Parsudi (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Program Kajian Wilayah
Amerika – Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
Suparlan, Parsudi (1997). Metode Antropologi. Diktat, Tp.
Van Gennep, Arnold (2013). The Rites of Passage – Edisi Revisi. Routledge: Psychology Press.
ISBN: 1136538925, 9781136538926.
Waterson, Roxana (1997), The Living House An Anthropology of Architecture in South - East
Asia. Singapure, Tuttle Publishing.

Sumber Referensi Lainnya (Sementara)


https://pddi.lipi.go.id. Triangulasi pada Penelitian Kualitatif. Diunggah pada tanggal 4 April 2013,
dan diunduh pada tanggal 15 April 2022, 01:22 WIB.

22
Jadwal Penelitian

Tabel 1. Rencana Kegiatan Penelitian

April Mei Juni Juli Agusts


Uraian Kegiatan
No 2022 2022 2022 2022 2022
Minggu ke- 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
1 Borang penelitian
2 Data statistik lokasi
3 Data survey
4 Kompilasi data
5 Pengolahan dan analisa
6 Penyusunan laporan
7 Penyerahan laporan

Berdasarkan jadwal penelitian di atas, rencana luaran penelitian ini diharapkan akan
menghasilkan beberapa hal penting hal yang terkait dengan masalah dan tujuan penelitian, yang
berupa:
○ Pemetaan lokasi rumah adat di Desa Delang
○ Dimensi rumah adat suku Dayak Tomun di Desa Delang
○ Bentuk detail struktur rumah adat
○ Tampak bangunan rumah adat
○ Interior atau tata ruang dalam rumah adat
○ Identifikasi ornament-ornamen maupun ragam hias pada rumah adat (jika ada)
○ Penggalian makna, nilai, dan fungsi rumah adat secara sosial dan budaya

23

Anda mungkin juga menyukai