Anda di halaman 1dari 31

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karet Alam


Karet alam merupakan karet yang diperoleh dari proses penyadapan dan
harganya relatif lebih murah. Wujud dari karet ini berwarna putih kesusuan dalam
fasa emulsi. Fasa ini biasa disebut lateks yang diperoleh dari pohon karet Hevea
brasiliensis. Proses mendapatkan lateks dilakukan dengan melukai atau menyadap
bagian batang secara melingkar kemudian disediakan penampungan dibagian
bawah.
Karet merupakan salah satu material organik yang banyak digunakan
akhir-akhir ini. Berbicara mengenai karet, tidak bisa dilepaskan begitu saja
dengan sejarah penemuan hingga penggunaan material tersebut. Awalnya sendiri,
karet merupakan tumbuhan yang hanya tumbuh liar dan tidak dimanfaatkan
hingga kemudian dijadikan salah satu komoditi tanaman perkebunan. Seiring
dengan perkembangan karet sebagai tanaman perkebunan, dikembangkan pula
industri pengolahan karet menjadi bahan-bahan yang dapat diaplikasikan ke
berbagai bidang.
Penemuan karet berawal dari pelayaran dan ekspedisi seorang ilmuwan
bernama Michelle de Cuneo pada tahun 1943. Ekpedisi Michelle de Cuneo ketika
singgah di benua Amerika melihat suatu jenis pohon yang mengeluarkan getah
berwarna putih. Orang-orang dibenua Amerika pada waktu memanfaatkan getah
karet yang berwarna putih dengan menebang pohon tersebut. Selanjutnya getah-
getah yang diperoleh dari proses penebangan tersebut dibentuk seperti bola-bola
yang kemudian dijadikan mainan untuk dipantul-pantulkan. Selain itu penduduk
asli Amerika menggunakan getah karet sebagai alas kaki pada waktu itu. Atas
dasar observasi dan pengamatan tersebut, Michelle de Cuneo beberapa tahun
mempublikasikan apa yang ia temui saat singgah dibenua Amerika tersebut.
Perkembangan dan pemanfaatan material karet sudah berlangsung sejak
Belanda singgah dan menjajah Indonesia. Awalnya tanaman karet banyak ditanam
di Kabupaten Bogor tepatnya di Kebun Raya Bogor. Pada waktu Belanda banyak

II-1
mengembangkan karet di Indonesia dengan menciptakan atau membuat banyak
perkebunan karet karena beberapa komoditi yang menjadi andalan Belanda waktu
itu seperti kopi cengkeh dan tembakau mengalami kelesuan minat. Sejarah karet
di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1956. Hingga pada tahun 1957
kedudukan Indonesia digeser oleh Malaysia, salah satu penyebabnya adalah
rendahnya mutu produksi karet alam di Indonesia (Anonim-1, 2011).
Karet merupakan polimer rantai panjang dan memiliki berat molekul
kurang lebih 20.000 hingga 40.000. karet sendiri memiliki monomer yakni cis
1,4-poliisoprena dan trans poliisoprena. Gambar 2. Merupakan struktur monomer
karet cis 1,4 Poliisoprena dan trans 1,4 poliisoprena.

Gambar II.1Struktur monomer karet Cis-1,4 Poliisoprena dan Trans-1,4 Polisoprena


Sumber: http://polymerdatabase.com [7 Februari 2018]

2.2 Mixing dan Milling


Mixing merupakan salah satu proses terpenting dalam pembuatan produk
karet. Pada tahap ini, bahan-bahan aditif dicampurkan bersama dengan karet
dengan kondisi operasi tertentu. Proses mixing sendiri merupakan proses mekanis
dan biasanya dibantu dengan pemanasan hingga suhu 150oC. Pada proses mixing
inilah, biasanya dilanjutkan dengan proses vulkanisasi dengan menggunakan
bahan curative belerang (sulfur) agar karet meningkat kelenturan dan
kekuatannya. Tahap mixing umumnya adalah sebalah berikut:
1. Tahap Pertama biasanya dilakukan dengan mencampurkan karet sebagai
bahan utama dengan bahan bahan aditif non vulkanis seperti homogenizer,
activator, filler, processing oil, dan antioxidant/antiozonant hingga
terbentuklah masterbatch (lembaran karet yang belum tervulkanisasi)

II-2
2. Tahap Kedua yaitu dilakukan proses vulkanisasi (pembentukan ikatan silang)
antar karet dengan menggunakan sulfur. Pada proses vulkanisasi biasanya
juga dibantu dengan bahan pemercepat (accelerator).

Gambar II.2. Internal mixer (banburry type)


Sumber: NIIR Board of Consultant and Engineers (2006)

Proses mixing karet dengan menggunakan internal mixer biasanya


digunakan untuk kebutuhan otomotif, seperti ban kendaraan yang melibatkan dua
hingga tiga kali proses mixing, dengan bahan yang cukup beragam dan kecepatan
mixing yang tinggi. Pada tahap pertama karet mengalami proses mastikasi
(pemutusan rantai karet). Proses mastikasi dibantu dengan rubber homogenizer
agar pemutusan rantai lebih merata dan lebih homogen. Setelah proses pemutusan
dilanjutkan dengan proses penambahan bahan aditif berupa filler, proceesing oil,
activator, antioxidant dan antiozonant. Kemudian ditahap terkahir biasanya
ditambahkan curative berupa sulfur. Menurut NIIR Board of Consultant and
Engineers (2006) internal mixer memiliki beberapa keunggulan diantaranya:
1. Tingkat keberulangan dengan produk yang sama tinggi.
2. Tidak dipengaruhi oleh kempuan operator.
3. Kapasitas output yang cukup besar.
4. Membutuhkan waktu yang relatif singkat.
5. Operasionalnya minim sisa limbah.

Sedangkan proses milling merupakan proses yang dilakukan setelah proses


mixing. Pada proses milling yang pertama dilakukan terhadap masterbatch
(precured rubber). Proses milling dilakukan dengan membuat masterbatch

II-3
menjadi berbentuk lembaran. Pada proses milling yang kedua dilakukan setelah
karet mengalami proses vulkanisasi. Proses milling biasanya dilakukan beberapa
kali hingga terbentuk lembaran yang siap untuk diuji dengan kondisi temperatur
tertentu.

Gambar II 3. Two Roll Mill


Sumber: NIIR Board of Consultant and Engineers (2006)

2.3 Vulkanisasi
Proses pencetakan pematangan/vulkanisasi kompon karet menjadi bakal
specimen yang akan diuji menggunakan alat hotpress. Penggunaan hotpress
biasanya dilakukan setelah kompon karet mengalami uji kematangan
menggunakan Moving Die Rheometer yang menghasilkan kondisi waktu, suhu,
dan tekanan yang diibratkan sudah tepat untuk kompon karet matang. Setelah
proses vulkanisasi ini kemudian dilanjutkan dengan pemotongan specimen untuk
berbagai macam uji mekanik, fisika dan kimia. Adanya parameter suhu dan
tekanan sangat berpengaruh pada saat lembaran kompon karet mengalami
vulkanisasi.

2.4 Aging
Aging adalah suatu proses yang terjadi terhadap suatu material pada
periode waktu tertentu, yang mengakibatkan perubahan sifat fisika dan struktur
kimia pada material tersebut (Robert, Hastie and Morris, 1993). Selain itu juga,
proses aging merupakan proses yang cenderung lambat dan bersifat irreversible
(tidak dapat kembali), pada strukur molekul dan morfologi. Beberapa parameter
yang dapat diamati untuk melihat efek dari aging ini adalah kekerasan, kekuatan
sobek, perpanjangan saat putus, densitas pemampatan serta perubahan struktur
kimia pada karet tersebut (White, 2006).

II-4
Perubahan sifat pada material polimer yang diakibatkan oleh interaksi
fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan terpotongnya rantai makromolekul
dan perubahan struktur kimia, disebut sebagai degradasi polimer. Adanya
degradasi polimer menghasilkan perubahan sifat pada material polimer seperti
sifat mekanik, optik, dan elektrikal (Fyan, 2013). Perubahan tersebut ada dalam
keadaan yang tidak diinginkan, seperti pada saat material tersebut digunakan
ataupun diinginkan. Sebagai contoh pada saat pemutusan rantai polimer seperti
pada karet yang disengaja untuk tujuan tertentu (Pielichowski “ageing and
Njuguna 2005; Speight 2010).
Aging dibagi menjadi dua yaitu physical aging dan chemical aging.
Physical aging biasanya dilakukan dengan perlakuan panas pada material. Hal ini
biasanya membuat parameter fisika seperti density, britlleness, tensile strength
dan dimensi material mengalami perubahan. Selain itu juga, adanya physical
aging dapat menyebabkan perpindahan atau penguapan pada suatu zat, water
absorption dan swelling.

Gambar II.4. Ilustrasi dari efek Physical Aging


Sumber : Fyan (2013)

Sedangkan untuk chemical aging biasanya melibatkan beberapa reaksi


kimia pada material seperti pemotongan, oksidasi, dehalogenasi, hidrolisis, dan
reaksi kimia lainnya (Robert, Hastie and Morris, 1993). Untuk chemical aging
sendiri seperti adanya panas dan kehadiran oksigen, kontak dengan reagen kimia.
Selain itu juga interaksi dengan radiasi dapat mengakibatkan perubahan struktur
kimia pada polimer (Ehrenstein, 2001).

II-5
Gambar II.5. Efek Chemical Aging terhadap Material
Sumber : Enrehstein (2001)

Terdapat efek/tipe aging yang ditimbulkan serta agen/parameter yang


ditimbulkan.
Tabel II 1. Jenis Agen Pendegradasi dan Efek/Tipe Aging yang Ditimbulkan
No Agen Pendegradasi Efek/Tipe Aging yang ditimbulkan

1. Suhu/Temperatur Thermo-Oksidasi, Perpindahan Bahan


Aditif, Crosslink, Crosslink loss
(reversion)

2. Cahaya/Sinar UV Foto-Oksidasi
3. Ionizing Radiation Radio-Oksidasi, Crosslink
4. Kelembaban Hidrolisis
5. Fluida (Gas, Cairan, Uap) Degradasi kimia, Swelling, Additive
Extraction, Pemutusan (Cracking)

6. Mikroorganisme/ Bio- Dekomposisi, Bio-Degradasi oleh


Organisme mikroba
7. Mekanikal Stress Kelelahan bahan, Creep, Stress
Relaxation, Set Abrasi, Kegagalan
perekatan
8. Interaksi Elektrik Perputusan local
Sumber : Fyan (2013)

II-6
2.5 Cushion Gum
Cushion gum yang biasa digunakan pada proses retread dan perbaikan ban
adalah semacam karet lembaran yang dapat merekatkan antara lembaran karet
dengan karet maupun karet dengan kanvas. Material karet sebagai cushion gum
sendiri merupakan salah satu elemen penting dalam proses pembuatan atau
manufaktur industri ban baik ban kendaraan seperti ban mobil, motor maupun ban
pesawat. Dalam pembuatan cushion gum ini memang berusaha untuk mengacu
pada beberapa sumber–sumber baik sumber paten maupun sumber-sumber yang
digunakan oleh beberapa perusahaan industri ban pesawat.

Gambar II.6. Contoh Retread pada Ban


Sumber: Rodriguez (2016)

Literatur yang digunakan pada penelitian ini lebih mengacu pada standar
yang sudah ada, seperti pada ban kendaran baik sepeda motor atau mobil dari
beberapa negara. Dari semua parameter yang ada, diharapkan produk cushion gum
untuk perekatan karet dengan kanvas, dapat memenuhi nilai parameter yang
dipersyaratkan sesuai dengan tabel. Semua parameter yang terdapat dalam tabel
merupakan parameter penting yang harus minimal dapat terpenuhi, namun
pengujian peel test merupakan parameter yang paling menentukan, karena sesuai
dengan aplikasi cushion gum nantinya yaitu sebagai tack/perekat pada proses
retread ban pesawat.

II-7
Tabel II.2. Targetan nilai Parameter Fisik dan Mekanik Cushion Gum dngan mengacu beberapa
standar
Nocil
1
Parameter Indian Standar Handbook(For PTM-BPPT
2
Truck Tyre)
Hardness 45-60 Shore A 62 Shore A 60-70 shore A
Rebound - - 45-70%
Density 1.13 g/cm3 (max) - -
Tensile Strength min 17 MPa max 26 MPa 20 MPa (min)
Elongation At
Break 450 % min 600% max 600 %max
Tear Strength - - 200 N/mm(max)
Compression - - 20% (max)
Peel test - - 50-100 %

Sumber :
1The institute of road Transport.” TENDER CONDITIONS for SUPPLY OF RETREADING MATERIALS LIKE
PRECURED TREAD RUBBER, BONDING GUM , AND BLACK VULCANISING CEMENT. TENDER No.
02/RT/CP/IRT/2015.
2
Nocil handbook Compounder’s from Nocil Limited Company, India

Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan cushion gum yaitu:


2.5.1 Bahan Utama Karet RSS-1
Karet Lembaran Asap atau biasa disebut dengan Ribbed Smoke Sheet
(RSS) adalah jenis produk karet olahan dari getah tanaman karet Hevea
brasiliensis. Karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) merupakan salah satu jenis karet
alam yang diklasifikasikan oleh The Internasional Standards of Quality and
Packing for Natural Rubber Grades atau dikenal dengan Green Book berdasarkan
mutu dan sifat visual.
Proses pembuatan Karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) diolah secara mekanis
dan kimiawi melalui proses penerimaan lateks kebun, pengenceran, pembekuan,
penggilingan, pengasapan dan sortasi. Pada proses produksi tersebut tahapan yang
paling penting adalah proses sortasi dimana menghasilkan pembagian kualitas

II-8
produk karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) pada beberapa kelompok sesuai SNI 06-
0001-1987.
Tabel II.3. Syarat Mutu Kelas RSS-1
Kelas Mutu Penampakan Cacat yang
Visual Diperkenankan
 Kering, bersih,  Sedikit
kekar, liat gelembung udara
 Warna cerah dan sebesar kepala
seragam jarum dengan
 Bebas dari letak tersebar
RSS-1
gelembung
udara, bintik
putih, jamur,
bercak, karat dan
bahan lainnya
Sumber: Badan Penelitian Teknologi Karet Bogor (2000)

Penentuan mutu karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) ini dapat dilakukan
melalui pengamatan visual permukaan lembaran karet secara konvensional atau
dengan sistem pengolahan citra. Penggunaan RRS-1 pada penelitian disebabkan
kualitasnya cukup bagus untuk mendukung hasil produk penelitian. Tampilan
fisik karet RSS-1 dapat dilihat pada lampiran I (Dokumen) Gambar I.1.
2.5.2 Homogenizer
Bahan tambah yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi mastikasi
melalui pendekatan molekul, terutama pada karet alam disebut dengan
homogenizer atau peptizers (pelunak). Apabila kompon karet tidak ditambahkan
pelunak, maka akan mengalami pengerasan yang akan mengakibatkan kualitas
produk barang jadi karet menurun. Dimana pada penelitian kali ini ditambahkan
dua jenis peptizers yaitu peptizer kimia merupakan aktiplast 8 yang diproduksi
oleh Rhein Chemie Aditives dan peptizer fisika yang digunakan yaitu proccessing
oil berupa parafinic oil berdasarkan hasil dari penelitian PTM-BPPT sebelumnya
mengenai Pengaruh Paraffinic oil dan Minarex Sebagai Processing Oil terhadap

II-9
Sifat Fisika Kompon Karet untuk Cushion Gum Karet-Canvas (Saputra, dkk,
2017). Tampilan fisik Aktiplast 8 dan parafinic oil terdapat pada lampiran I
(Dokumen) Gambar I.2 dan Gambar I.3.
2.5.2.1 Peptizer Kimia
Penambahan peptizer kimia akan menurunkan nilai viskositas karena
terputusnya rantai polimer karet, yang menyebabkan berat molekul karet menjadi
rendah dan viskositasnya menurun (Wisojodhamo, 2016). Aktiplast 8 yang
berperan sebagai homogenizer atau peptizers dapat digunakan dalam mixer
dengan suhu rendah ataupun tinggi, selain itu juga aktiplast 8 mudah menyebar
pada bahan baku karet yang sedang dimastikasi sehingga aktiplast 8 merupakan
bahan aditif yang sangat efektif untuk depolimerisasi karet alam.
2.5.2.2 Peptizer Fisika
Dalam menurunkan nilai viskositas kompon karet, jenis peptizer fisika akan
berada diantara rantai polimer dan menjaga agar rantai polimer tersebut saling
terpisah, sehingga mengurangi interaksi antar rantai polimer karet dengan cara
memutuskan rantai molekul karet, mengurangi ikatan antara molekul karet, serta
menurunkan gesekan antar molekul karet (Puspitasari dan Cifriadi, 2014).

3.
Gambar II.7. Pembentukan radikal pada rantai isopren pada penambahan peptizer fisika
Sumber: Wisojodhamo (2016)

Gambar II.8. Mekanisme pemecahan rantai isoprene pada peptizer fisika


Sumber: Wisojodhamo (2016)

II-10
Polimer karet akan terpotong menjadi monomer isoprena karena proses
mastikasi. Penambahan peptizer fisika akan membentuk suatu unsur radikal pada
rantai isoprene. Selanjutnya terjadi pemecahan rantai isoprene yang terbagi
menjadi dua jenis, yaitu jika adanya kehadiran oksigen maka akan terjadi
rekombinasi pembentukan polimer karet, namun jika adanya oksigen maka radikal
akan terlarut dan stabil yang menyebabkan rantai molekul isoprene menjadi
pendek dan berat molekulnya menurun, sehingga menyebabkan nilai viskositas
yang rendah (Wisojodhamo, 2016).
Bahan peptizer fisika pada kompon karet, saat ini banyak digunakan
berasal dari minyak bumi (petroleum oil) yaitu jenis minyak mineral seperti
parafinik, naftenik dan aromatik. Bahan pelunak yang berasal dari minyak bumi
mempunyai kelemahan, antara lain tidak ramah lingkungan, menyebabkan iritasi,
korosif dan bersifat karsinogenik (Rahmaniar, 2011).
2.5.3 Bahan Pengisi (Filler)
Untuk memperbaiki sifat fisika kompon karet dibutuhkan filler yang akan
meningkatkan kekerasan, ketahanan sobek, ketahanan kikis, dan tegangan putus.
Salah satu jenis filler aktif yaitu carbon black, terjadinya interaksi antara carbon
black dan karet, interaksi tersebut dipengaruhi oleh seberapa baik carbon black
tersebar merata pada setiap bagian karet. Bahan pengisi carbon black memberikan
efek penguatan terhadap sifat fisik vulkanisat terutama yang ukuran butirannya
kecil (Omafuma dkk, 2001). Tampilan fisik dari carbon black terdapat pada
lampiran I (Dokumen) Gambar I.4.

Gambar II.9. Interaksi Carbon Black pada Karet


Sumber: Rodriguez (2016)

Akan tetapi penambahan carbon black sebagai filler memiliki kelemahan


yaitu menjadikan daya lekat kompon akan berkurang (Nuyah, 2014). Sehingga

II-11
perlu ditambahkan filler aktif lain seperti silika yang dapat meningkatkan kinerja
wet traction (daya tarik), dan wear resistance (ketahanan aus) serta mengurangi
dampak rolling resistance (ketahanan abrasi) permukaan ban (Hamzah, 2012).
Silika merupakan senyawa dengan rumus rantai SiO4 tetrahedral dengan
formulasi umum SiO2. Di alam silika ditemukan dibeberapa bahan alam seperti
pasir kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika yang banyak terdapat di alam mayoritas
berbentuk kristalin dan silika yang bersifat sintetis biasanya bersifat amorf
(Sulastri, dan S. Kristianingrum, 2010). Salah satu produk silika adalah silika gel,
yang biasanya digunakan sebagai penjerap uap pada bahan makanan. Hal ini
dilakukan karena silika gel memiliki beberapa keunggulan diantaranya sangat
bersifat inert, sangat hidrofilik, cenderung memiliki kestabilan termal dan
mekanik yang tinggi relative, tidak mengembang dalam pelarut organik jika
dibandingkan dengan padatan resin polimer organik.
Walaupun memiliki beberapa keunggulan, silika gel ternyata memiliki
kelemahan yakni aktif hanya berupa gugus silanol (-SiOH) dan siloksan (Si-O-Si).
Gugus silanol ini mempunyai sifat keasaman yang rendah, disamping mempunyai
oksigen sebagai atom donor yang sifatnya lemah. Walaupun demikian gugus
silanol (≡Si-OH ) dan siloksan (≡Si-O-Si≡ ) ini juga menguntungkan, karena
memungkinkan proses modifikasi. Proses modifikasi ini dilkukan dengan
merubah gugus fungsi aktif dengan suatu pereaksi ataupun dengan perlakuan fisis.

Gambar II.10. Struktur Kimia Silika gel


Sumber: Sulastri, dan S. Kristianingrum (2010)

Filler silika pada saat ditambahkan pada pembuatan barang jadi karet juga
harus dimodifikasi dengan penambahan senyawa silane untuk coupling agent.
Apabila silika ditambahkan tanpa menggunakan coupling agent, maka silika tidak

II-12
bisa berikatan dengan rantai polimer karet yang bersifat hidrofobik (Kralevich,
1997). Salah satu coupling agent yang digunakan adalah TESPT (Triethoxysilyl
Propyl Tetrasulfide). Modifikasi ini merubah gugus fungsi aktif hidroksil (-OH)
dengan dengan senyawa silane. Reaksi ini dikenal dengan reaksi silanisasi yang
akan mengubah sifat silika dari hidrofilik menjadi hidrofobik. Sifat hidrofobik
inilah yang dapat menyebabkan silika termodifikasi dapat bereaksi dengan karet
alam karena memiliki sifat hidrofobik (Brinke, 2002). Interaksi ini ditandai
dengan adanya ikatan kuat silika termodifikasi dengan rantai polimer karet yang
dapat meningkatkan (reinforcement) beberapa parameter fisik dan mekanik
barang jadi karet (Kralevich, 1997).

Gambar II.11. Modifikasi Silika dengan Coupling Agent (TESPT) dan Formasi Reaksinya antara
Silika sebagai Filler dengan Karet Alam
Sumber: Brinke (2002)

II-13
2.5.4 Bahan Penggiat (Activator)
Dalam mempercepat proses vulkanisasi kompon karet memerlukan bahan
penggiat (Activator) untuk mengaktifkan accelerator yang dengan menggunakan
ZnO dan Asam Stearat. Sudah menjadi standar bahwa accelerator harus
diaktifkan dengan ZnO antara 3-5 phr dan Asam Stearat sebanyak 1-2 phr (Arizal,
2013). Tampilan fisik ZnO dan Asam Stearat terdapat pada lampiran I (Dokumen)
Gambar I.5 dan Gambar I.6.
Asam Stearat merupakan asam lemak yang memiliki molekul rantai
hidrokarbon panjang dan terdapat asam karboksilat pada gugus akhir. Asam
stearat merupakan emulsifier yang memiliki sifat hirofobik pada rantai
hidrokarbon dan sifat hidrofilik pada gugus asam karboksilatnya.

Gambar II.12. Struktur Kimia Asam Stearat


Sumber: Anonim-2 (2013)

Hal tersebut menjadikan asam stearat dapat membantu ZnO yang memiliki
sifat polar dapat bercampur dengan karet.

Gambar II.13. Permukaan Polar ZnO


Sumber: Anonim-6 (2013)

II-14
2.5.5 Antidegradasi
Antidegradasi terdiri dari antioksidan dan antiozonan, dimana alam
memiliki banyak ikatan rangkap yang tidak tahan terhadap oksigen, cahaya, ozon,
dan panas. Antioksidan ditambahkan pada suatu kompon karet bertujuan untuk
mencegah terjadinya proses oksidasi pada kompon karet. Antioksidan karet jenis
Trimetyl Quinon (TMQ) yang memiliki struktur kimia Polymerized 2,2,4-
trimethyl-1,2-dihydroquinoline, mengandung gugus fenol dan mempunyai sifat
sebagai antioksidan yang kuat dan dapat melindungi karet dengan baik
(Phrommedetch dan Pattamaprom, 2010).

Gambar II.14. Struktur Kimia TMQ


Sumber: Phrommedetch dan Pattamaprom (2010)

Antioksidan yang ditambahkan dapat melengkapi kekurangan elektron


yang dimiliki radikal bebas sehingga menjadikannya lebih stabil, serta
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang
dapat menimbulkan sifat oksidatif pada produk karet. Selain itu juga, antioksidan
dapat melindungi barang jadi karet dari ion-ion peroksida, yaitu ion tembaga, ion
mangan, dan ion besi sehingga barang jadi karet akan memiliki ketahanan
terhadap suhu tinggi, sinar matahari, keretakan, dan mempunyai sifat lentur
(Fachry dkk,2012).
Konsentrasi ozon (O3) yang terdapat di lingkungan mengharuskan
dilakukan perlindungan terhadap permukaan karet, karena dapat menyebabkan
keretakan yang mendalam pada karet, dimana hal tersebut dapat mengurangi
kualitas karet saat digunakan. Pemutusan ikataan oleh penyerangan ozon dapat
terjadi pada ikatan ganda (C = C) yang sensitif. Ketika diberi beban tarik disudut
yang tepat maka retakan akan cepat menjalar. Sehingga perlu ditambahkan zat
antiozonan seperti 6PPD yang akan berada di permukaan vulkanisat sehingga

II-15
dapat melindungi karet dari serangan ozon. Struktur kimia dari 6PPD (N-(1,3-
Dimethylbutyl)-N'-phenyl pphenylenediamine).

Gambar II.15. Struktur Kimia 6PPD


Sumber: Phrommedetch dan Pattamaprom (2010)

6PPD sangat mudah larut dalam karet sehingga tidak akan terjadi
blooming yang merupakan perubahan warna atau tampilan permukaan karet
disebabkan oleh adanya perpindahan zat padat atau cair. Menurut Anonim-2
(2013) Blooming dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:
1. True Bloom terjadi karena suatu zat yang memiliki kelarutan terbatas di
dalam karet berada di atas batas kelarutannya sehingga zat tersebut muncul ke
permukaan karet yang telah dilakukan proses curing melalui kristalisasi
setelah mengalami pendinginan.
2. Modified Bloom terjadi karena zat kimia dalam vulkanisat karet bereaksi
dengan unsur lingkungan.
3. Pseudo Bloom terjadi karena degradasi permukaan karet disekitar filler.
4. Surface Contamination adanya lapisan permukaan yang tidak diinginkan pada
bagian karet akibat adanya kontaminan (seperti debu maupun kontaminan
organik dan anorganik dari bekas cairan pencuci alat)

2.5.6 Tackifier
Tack adalah suatu sistem ketahanan pengkupasan diantara dua lembaran
karet setelah kontak atau gaya yang dibutuhkan untuk memisahkan dua lembaran
karet. Dalam pembuatan ban, pemasangan kompon karet sebelum proses
pemasakan (curing) dengan lapisan jenis karet lainnya membutuhkan daya rekat
(tack) yang bagus. Tackifier merupakan suatu zat perekat yang ditambahkan
dalam karet dengan tujuan mengikat bahan-bahan dalam kompon karet selama
pemprosesan sampai terjadinya curing (Anonim-3, 2014). Tackifier bekerja pada
permukaan kompon melalui berbagai jenis interaksi kimia yang berikatan satu

II-16
sama lain ketika dua lembar karet disatukan. Kuat ikatan tackifier bergantung
pada sifat tackifier yang superior berdasarkan struktur crosslinker dan sifatnya,
seperti sebagai berikut:
1. Ketahanan daya rekat yang lama bahkan dalam kondisi panas dan lembab.
2. Memfasilitasi dispersi filler yang baik untuk pengaruh softening dan
plasticizing selama kompon karet diproses.
3. Polimer linier yang memiliki kemudahan dispersi dan pelarutan dalam karet.
4. Poli fungsional hidroksil aromatik menghasilkan ikatan hidrogen.
Pada umumnya interaksi kimia yang terjadi pada tackifier menurut
Anonim-4 (2012), antara lain:
1. Pembentukan ikatan kimia (crosslinker) yang terjadi saat proses vulkansisasi.
2. Ikatan hidrogen (O-H) yang terbentuk dari intermolekuler phenol tackifier.
3. Gaya Van der wall resin tackifier. Contoh dari tackifier adalah rosin dan rosin
ester, hidrokarbon resin dan phenolic resin.

2.5.6.1 Resin Tackifier


Resin adalah suatu polimer dengan berat molekul rendah serta mempunyai
fase cair yang dapat yang mengeras menjadi padatan. Berdasarkan sumbernya
resin tackifier dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yakni resin tackifier yang
berasal dari alam dan sintetik. Tackifier alam dapat berasal dari rosin dan terpen.
Sedangkan tackifier sintetik dapat berasal dari resin petroleum resin, batu bara dan
fenol (Megson, 1958). Resin Phenolic merupakan jenis resin tackifier yang biasa
digunakan dalam pembuatan ban.

II-17
Gambar II.16. Klasifikasi tackifier
Sumber: Durairaj (2005)

2.5.5.2 Resin Phenolic


Phenolic resin dibagi menjadi dua yakni resol resin dan novolak resin.
Adanya pembagian ini berdasarkan karakteristik gugus fungsi penghubung
monomer satu dengan yang lain. Novolak resin memiliki berat molekul rata-rata
500-3000 g/mol dengan bentuk fisik padatan dan struktur penghubung methylene
bridge (–CH2–). Resin ini membentuk struktur crosslinker dengan methylene
donor (curing agent) berupa Hexamethylnetetramine (HMT) atau
Hexamethoxymethylmelamine (HMMM). Resol resin merupakan jenis resin
phenolic yang memiliki berat molekul rata-rata 500-1500 g/mol dimana struktur
resin ini dihubungkan dengan methylol end groups (-CH2OH). Resol resin akan
membentuk struktur crosslinker melalui pemanasan.

II-18
Gambar II.17. Reaksi Resin Phenolik
Sumber: Durairaj (2005)

2.5.6.3 Sistem Polimerisasi Tackifier/ Adhesive


Hidrogen yang terikat pada struktur benzena pada posisi para dan orto
terhadap gugus hidroksil dapat bereaksi dengan methylene donor dan membentuk
struktur crosslinker jaringan tiga dimensi (Durairaj, 2005). Sistem
perekat/tackifier terdiri atas dua komponen yaitu methylene (-CH2-) akseptor dan
methylene (-CH2-) donor. Dalam tackifier senyawa phenolic dan turunannya biasa
digunakan sebagai ethylene (-CH2-) akseptor dapat berupa rhenogran resorcin-80
SBR.
Rhenogran resorcin-80 merupakan bahan kimia tambahan untuk
pendispersi karet dan pengikat senyawa langsung dalam sistem pengikat
formaldehid. Rhenogran resorcin-80 SBR terdiri atas 80% Resorcinol dan 20%
SBR binder dan dispersing agent. Dalam sistem komponen pengikat Rhenogran
resorcin 80 SBR dikombinasikan dengan donor formaldehid seperti Hexa-80.
Resorcinol bekerja sebagai sistem adhesive diantara karet dngan material penguat
yang dibentuk selama proses curing. Sistem pengikat ini sesuai untuk mengikat
karet dengan material penguat sperti serat gelas, baja dan lain-lain. Spesifikasi
dari bahan Rhenogran resorcin-80 dan Hexa-80 dapat dilihat pada lampiran K
(Spesifikasi Bahan) dan untuk tampilan fisiknya terdapat pada lampiran I
GambarI.9 dan Gambar I.10.
Senyawa resorcinol memiliki nama IUPAC 1,3-benzenediol (Anonim-5,
2017). Pembuatan resorcinol (1,3-benzenediol) dapat melalui reaksi sulfonasi
benzena dengan tambahan gas SO3 dan NaOH (Dessler, 1994).

II-19
Gambar II 18. Reaksi Pembuatan Resorcinol melalui Sulfonasi Benzena dengan Tambahan Gas
SO3 dan NaOH
Sumber : Dessler (1994)

Methylene (-CH2-) sebagai donor dalam tackifier dapat menggunakan


curing agent seperti Hexamethylnetetramine (Hexa) atau
Hexamethoxymethylmelamine (HMMM). Rhenogran Hexa-80 merupakan donor
methylene yang memiliki komposisi utama 80% Hexamethylenetetramine dan
20% elastomer. Rhenogran Hexa-80 merupakan akselerator untuk vulkanisasi
lambat. Penambahan Hexa-80 ini mempercepat proses curing hampir ketika
ditambahkan. Hexa-80 menghasilkan derajat crosslingker yang tinggi dengan
resorcinol yang digunakan sebagai methylene donor dalam sistem pengikat karet-
logam. Dosis yang digunakan untuk sistem pengikat yaitu 1,3-1,6 phr dengan 2,5-
3,2 phr rhenogran resorcinol (Anonim-5, 2017). Hexamethylenetetramine dibuat
melalui reaksi kondensasi formaldehid dengan amonia dengan suasana asam.

Gambar II.19. Mekanisme Reaksi Pembentukan HMT


Sumber: Eller (2000)

II-20
2.5.6.4 Reaksi Resorcinol dengan Hexamtehylenetetraamine sebagai Resorcinol
Formaldehide Novolak Resin Serta Reaksinya dengan Karet
Tackifier dari phenolic resin jenis novolak akan membentuk struktur
crosslinker dari reaksi resorcinol sebagai aseptor methylene dan hexa sebagai
donor methlene. Hexa akan menyumbang gugus methylene pada resorcinol.
Dalam struktur resorcinol, benzene yang tersubtitusi gugus hidroksil pada 1,3
akan tersubtitusi methylene pada posisi orto dan para membentuk struktur
crosslinker. Struktur crosslinker tersebut akan bereaksi dengan karet
menghasilkan interaksi berupa dua ikatan kima yaitu chroman ring dan methylene
bridge (Durairaj, 2005).

Gambar II.20. Reaksi Pembuatan Resorcinol Formaldehide Novolak Resin melalui proses
kondensasi serta pembentukan ikatan chroman ring dan methylene bridge pada karet
Sumber: Durairaj (2005)

II-21
Gambar II. 21. Reaksi Kimia Antara Resorcinol Modifikasi Autokatalis dan
(Hexamthylentetraamine) HMTA Modifikasi dengan Autokatalis, Serta Terbentuknya Ikatan
Methylene Bridge dan Chroman Ring antara RF Novolak Resin dengan Karet
Sumber: Durairaj (2005)

Tackifier dalam hal ini adalah fenol formaldehide novolak resin


diharapkan dapat langsung terpolimerisasi dan membentuk ikatan kimia pada saat
proses curing tanpa melalui proses kondensasi. Hal ini dimaksudkan agar
menyesuaikan dengan kebutuhaan di Industri. Selain dapat langsung
terpolimerisasi pada saat proses curing, adanya keberadaan bahan aditif tackifier
selain sebagai pembentuk sistem tack/adhesive juga dapat memberikan kontribusi
perbaikan kualitas/reinforce agent produk barang jadi karet pada parameter fisik
dan mekanik karet (Bhuvaneswara, 2010).

2.5.7 Curatives
Belerang merupakan salah zat penting dalam industri karet. Metode
vulkanisasi karet bertujuan untuk membentuk ikat silang. Setelah kompon karet
mengalami vulkanisasi maka karet tersebut, akan membentuk sebuah jaringan
yang berwujud tiga dimensi pada struktur molekul karet sehingga karet berubah
sifat dari termoplastik menjadi stabil terhadap panas dengan diikuti adanya
perbaikan sifat elastisnya (Mark etal., 2005 dalam Cifriadi, 2013). Pada saat

II-22
proses vulkanisasi sulfur menjadi perantara atau penjembatan atau pembentuk
ikatan silang antar molekul karet dengan karet yang lainnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses vulkanisasi adalah karena
kondisi lingkungan pematangan (curing condition), waktu, suhu, jumlah bahan
kimia dalam kompon serta tipe vulkanisasi. Dengan mengatur jumlah belerang
yang digunakan dalam sistem vulkanisasi akan mengatur proses laju vulkanisasi,
serta jumlah ikatan silang yang nantinya dihasilkan. Proses vulkanisasi karet
dengan sulfur terdiri dari tiga sistem yakni sistem konvensional, sistem efisisen,
dan sistem semi-efisien. Ketiga sistem ini merupakan sistem vulkanisasi yang
dikenal berdasarkan perbedaan parameter konsentrasi belerang dengan bahan
pencepat (accelerator) (Cifriadi, Adi dan Asron F, 2013). Peran sulfur dalam
proses vulkanisasi digambarkan pada reaksi sepeeti pada Gambar 15.

Gambar II.22. Reaksi Vulkanisasi dengan Melibatkan Sulfur dan Adanya Accelerator
Sumber: Cifriadi, Adi C dan Asron F (2013)

2.5.8 Accelerator
Salah satu bahan yang ditambahakan juga pada saat pembuatan kompon
karet adalah akselerator. Beberapa akselerator yang ditambahakan seperti CBS,
TBBS, MBS, DCBS. Akselerator yang ditambahkan ini bertujuan untuk
memepercepat adanya proses vulkaniasi yang dilakukan pada saat pembuatan
kompon karet.
Akselerator dikelompokkan menjadi kelompok sekunder ataupun tersier
berdasarkan perannya dalam menghasilkan senyawa akhirnya. Biasanya golongan
thiazole dan sulfenamide merupakan golongan primer dan paling banyak

II-23
digunakan. Hal ini disebabkan karena keamanan prosesnya cukup bagus, cakupan
vulkanisasi yang cukup luas, dan mampu membantu untuk mencapai kondisi
optimum untuk crosslink density.
Selanjutnya untuk accelerator dari golongan seperti guanidin, thiuram,
dithiocarbamats digunakan sebagai accelerator sekunder dan biasanya diaktifkan
untuk mengaktifkan accelarator primer. Penggunaan dari accelerator primer
biasanya akan menambah kecepatan vulkanisasi dan ditambahkan kurang lebih
10-40% dari jumlah accelerator primer.

Gambar II.23. Klasifikasi Akselerator


Sumber : www.Nocil.com [24 Februari]

II-24
2.6 Prinsip Pengujian Karakterisasi Produk Cushion Gum
Pengujian pada suatu barang jadi karet dapat berupa pengujian mekanik,
fisika maupun kimia. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kualitas dari suatu produk jadi barang karet yang dihasilkan.

2.6.1 Prinsip Dasar Karakterisasi Mekanik

1. Pengujian Kekuatan Tarik (Tensile Strength)


Kekuatan tarik didefinisikan sebagai gaya per satuan luas penampang awal
yang diperlukan untuk meregangkan penampang awal sampel hingga terjadi
perputusan. Dari proses pengujian tarik inilah muncul Elongation At Break.
Elongation At Break (perpanjangan saat putus) merupakan perpanjangan
maksimum yang dimiliki oleh suatu material melebihi panjang aslinya hingga
terjadi perputusan. Pengukuran dilakukan berdasarkan ASTM D-412, spesimen
yang biasa digunakan dalam pengujian tensile ini adalah spesimen berbentuk
dumbbell. Spesimen kemudian ditempatkan pada penjepit pada mesin pengujian
kemudian ditarik dengan laju konstan. Rumus perhitungannya adalah sebagai
berikut;
.............................................................................................................(2.1)

Dimana:
F = Beban gaya pada spesimen (N)
Ao = Luas bidang permukaaan yang belum mengalami beban (m2),
Unit yang digunakan adalah Megapascal, (MPa) dimana 1 MPa= 106
N/m2)

2. Pengujian Kekuatan Sobek (Tear Strength)


Hampir sama dengan pengujian tensile, pengujian tear didefinisikan
sebagai gaya persatuan luas bidang spesimen yang dibutuhkan untuk
menyebabkan terjadinya sobek pada karet, ketika spesimen karet ditarik pada laju
konstan sesuai dengan arah bidang potong. Pengujian ini dilakukan berdasarkan
ASTM D624.

II-25
3. Pengujian Kekerasan (Hardness)
Pengujian kekerasan dilakukan berdasarkan ASTM D2240 dengan
mengukur kedalaman sebuah indentor berbentuk bola pejal dengan dimensi yang
telah ditentukan, baik dengan penerapan bobot mati ataupun menggunakan pegas
pada spesimen uji karet. Ukuran spesimen yang digunakan dalam pengujian
kekerasan ini berupa spesimen berbentuk bulat dengan tebal 6 mm dengan luas
permukaan yang dapat memungkinkan mengukur pada tiga titik dengan jarak tiap
titik yaitu 5 mm dengan 13 mm dari tepi.
Skala yang biasa digunakan dalam pengukuran kekerasan suatu material
adalah Shore-A dan mikro IRHD. Pada durometer sebuah indentor berbentuk
kerucut runcing ditekankan kepada sampel, semakin keras kekerasan suatu
material maka semakin tinggi pembacaan numeric pada skalanya. Untuk IRHD
Tester beban mati diterapkan pada identor pada waktu tertentu dan kekerasan
diperoleh berdasarkan kedalaman indetansi (Arizal, 2013).
4. Pengujian Pantul (Rebound Resilience Test)
Sama seperti pengujian kekerasan, berdasarkan ASTM D2632 pengujian
pantul pada suatu material adalah mengukur kekerasan suatu material dengan
menggunakan semacam beban pantul yang dihantamkan pada permukaan benda
uji. Apabila kekerasan suatu material meningkat maka nilai daya pantul biasanya
cenderung menurun karena material tersebut semakin rigid dan getas.
5. Pengujian Pemampatan (Compression Set)
Material seperti karet diberi beban berupa tekanan dengan cara
pemampatan, jarang kembali sepenuhnya pada bentuk semula. Pengujian ini
berdasarkan ASTM D395, dimana perbedaan antara bentuk ukuran awal dengan
ukuran setelah dilakukan pemapatan dikenal dengan set kompresi atau
compression set. Uji kompresi dilakukan dengan menggunakan piringan dengan
diameter 13 mm dan ketebalan 6 mm atau dapat digunakan dengan diameter 29
mm dengan ketebalan 9,5 mm. Pengujian compression set ini dilakukan pada
suhu 70 oC selama 22 jam. Perhitungan untuk nilai parameter ini adalah:

...................................................................................(2.2)

II-26
Dimana:
To = Tebal Awal (mm)
Ti = Tebal Akhir (mm)
Tn = Tebal Spacer (mm)

6. Pengujian Ketahannan Kikis (Abrasion Test)


Pengujian ketahanan kikis atau abrasion set test, biasanya digunakan
untuk mengukur ketahanan suatu bahan polimer ketika diberikan suatu
aktivitas/kontak fisik seperti menggosok, grinding atau gores. Pengujiannya
dilakukan berdasarkan ASTM D5963 dengan menekan spesimen uji terhadap
drum berputar ditutupi dengan semacam kain kasar. Adanya pengurangan jumlah
volume sebelum dan sesudah abrasi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
.................................................….............................................(2.3)

Dimana
ARI = Abrasion Resisten index (%)

mr = massa yang terkikis (gram)


mt = masa sebelum terkikis (gram)
pt = massa jenis karet (1,348 gram/cm3)
pr = massa rata-rata jenis karet

7. Pengujian Kerekatan Material Karet (Peeling test)


Pengujian peel test ini berdasarkan ASTM D1867 yang bertujuan untuk
menguji suatu substrat/material yang dapat merekatakan suatu komponen dengan
komponen yang lain. Pengujian ini akan menentukan seberapa besar kekuatan
suau material dengan sifat “lengket” dalam merekatkan material tersebut.

II-27
Gambar II.24. Speciment Peel Test
Sumber: ASTM D1876

Gambar II.25. Berbagai model Grafik hasil Pengujian peel test (a), Substrat terekat sempurna, (b)
dan (c) substrat tidak terekat sempurna dan muncul debonding
Sumber : Alimudin (1999)
2.6.2 Prinsip Dasar Karakterisasi Fisika
1. Penentuan Densitas/Berat Jenis (Density)
Penentuan dari berat jenis suatu bahan karet berdasarkan ASTM D297-15
pada prinsipnya adalah menentukan beratnya di udara terlebih dahulu kemudian
ditimbang kembali di dalam air. Berat contoh uji di dalam air akan lebih kecil dari

II-28
pada berat contoh di dalam air, karena adanya udara tekan ke atas yang besarnya
sesuai dengan jumlah air yang dipindahkan.
2. Pengujian Rheometer
Pengujian ini dilakukan berdasarkan ASTM D6601. Pada prinsipnya
rheometer merupakan instrumen untuk mengukur cairan yang mengalir terhadap
respon tekanan dan kecepatan pengadukan yang diberikan. Rheometer mengukur
tegangan geser cairan yang akan diukur viskositasnya. Terdapat suatu wadah
untuk penyimpanan sampel dan adanya spindle (alat untuk mengaduk) yang
berputar pada kecepatan tertentu, dimana akan menentukan tingkat kemampuan
geser dalam wadah. Sampel cenderung akan menyeret putaran silinder, sehingga
torsi putaran spindle dapat diukur dan kemudain akan dikonversi menjadi
tegangan geser. Besarnya kemampuan berputarnya spindle dalam sampel,
ditampilkan sebagai nilai viskositas sampel yang diuji (Anonim-8, tt)

3. Pengujian Carbon Dispersion


Prinsip pengukuran carbon dispersion yaitu untuk menentukan tingkat
persebaran filler carbon black pada matriks karet. Pengujian dilakukan
berdasarkan ISO 11345:2006. Sampel dialiri sinar yang kemudian dapat
membaca tingkat persebaran filler carbon black yang akan dibandingkan hasil
pembacaannya dengan standar yang terdapat pada alat. Sehingga didapatkan
persen persebaran filler carbon black pada matriks karet.
2.6.3 Prinsip Dasar Karakterisasi Kimia
1. Atenuated Total Reflactance-Fourier Transform-InfraRed (ATR-FT-IR)
Salah satu analisa kimia barang jadi karet adalah menggunakan
instrumentasi karet adalah dengan menggunakan Infra merah/FT-IR/ATR-FT-IR.
Pengujian ini dilakukan berdasarkan ASTM E1252-98. Prinsip dari Infra-merah
sendiri mengukur vibrasi molekul yang terjadi pada suatu ikatan karena adanya
perbedaan momen dipol tersebut. Sedangkan untuk inframerah pada prinsipnya
adalah pengukuran untuk mengumpulkan spektrum inframerah. Energi yang
diserap sampel pada berbagai frekuensi sinar inframerah direkam, kemudian

II-29
diteruskan ke interferometer. Sinar pengukuran sampel diubah menjadi
interferogram.
Mekanisme yang terjadi pada alat FT-IR yaitu dimana sinar yang datang
dari sumber sinar, diteruskan dan kemudian akan dipecah oleh pemecah sinar
menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan
oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan
kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling
berinteraksi. Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan
dan sebagian menuju sumber.

Gambar II.26. Skema FT-IR


Sumber Silverstein, dkk (2005)

Sedangkan Prinsip dari intrumentasi ATR-FT-IR yaitu mengukur


perubahan yang terjadi dalam proses pemantulan sinar inframerah datang
melewati suatu sampel. Adanya proses refleksi pada sampel mengakibatkan
terbentuknya gelombang tipis yang terdapat dipermukaan sampel, disebut
gelombang evanescent. Pada bagian di mana sampel menyerap spektrum
inframerah, gelombang evanescent akan dilemahkan atau diubah. Energi yang
diubah dari gelombang ini akan dikembalikan pada sinar inframerah yang keluar
dari kristal dan kemudian diteruskan menuju detektor. Setelah itu, energi akan
diubah menjadi spektra inframerah.

II-30
Gambar II.27. Skema Instrumentasi ATR terintegrasi FT-IR
Sumber: Anonim-7 (2015)

2. Thermal Gravimetric Analysis (TGA)


Thermal Gravimetric Analysis (TGA) merupakan salah satu intrumen kimia yang
digunakan untuk menganalisa produk barang jadi karet. Pengujian ini dilakukan
berdasarkan ASTM D6370. Prinsip kerja dari peralatan ini adalah mengukur jumlah dan
laju dari perubahan berat suatu material, seiring dengan perubahan temperatur. TGA
dapat memberikan informasi tentang fenomena fisik, seperti orde kedua fase transisi,
termasuk penguapan, sublimasi, penyerapan, adsorpsi, dan desorpsi. dekomposisi dan
reaksi kimia (misalnya, oksidasi atau reduksi). Teknik analisa menggunakan TGA
sangat membantu untuk studi polimer bahan termasuk termoplastik, termoset,
elastomer, komposit, film plastik, serat, pelapis dan cat.

Gambar II.28. Skema Instrumentasi TGA


Sumber: http://www.perkinelmer.com [3 Februari 2018]

II-31

Anda mungkin juga menyukai