II-1
mengembangkan karet di Indonesia dengan menciptakan atau membuat banyak
perkebunan karet karena beberapa komoditi yang menjadi andalan Belanda waktu
itu seperti kopi cengkeh dan tembakau mengalami kelesuan minat. Sejarah karet
di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 1956. Hingga pada tahun 1957
kedudukan Indonesia digeser oleh Malaysia, salah satu penyebabnya adalah
rendahnya mutu produksi karet alam di Indonesia (Anonim-1, 2011).
Karet merupakan polimer rantai panjang dan memiliki berat molekul
kurang lebih 20.000 hingga 40.000. karet sendiri memiliki monomer yakni cis
1,4-poliisoprena dan trans poliisoprena. Gambar 2. Merupakan struktur monomer
karet cis 1,4 Poliisoprena dan trans 1,4 poliisoprena.
II-2
2. Tahap Kedua yaitu dilakukan proses vulkanisasi (pembentukan ikatan silang)
antar karet dengan menggunakan sulfur. Pada proses vulkanisasi biasanya
juga dibantu dengan bahan pemercepat (accelerator).
II-3
menjadi berbentuk lembaran. Pada proses milling yang kedua dilakukan setelah
karet mengalami proses vulkanisasi. Proses milling biasanya dilakukan beberapa
kali hingga terbentuk lembaran yang siap untuk diuji dengan kondisi temperatur
tertentu.
2.3 Vulkanisasi
Proses pencetakan pematangan/vulkanisasi kompon karet menjadi bakal
specimen yang akan diuji menggunakan alat hotpress. Penggunaan hotpress
biasanya dilakukan setelah kompon karet mengalami uji kematangan
menggunakan Moving Die Rheometer yang menghasilkan kondisi waktu, suhu,
dan tekanan yang diibratkan sudah tepat untuk kompon karet matang. Setelah
proses vulkanisasi ini kemudian dilanjutkan dengan pemotongan specimen untuk
berbagai macam uji mekanik, fisika dan kimia. Adanya parameter suhu dan
tekanan sangat berpengaruh pada saat lembaran kompon karet mengalami
vulkanisasi.
2.4 Aging
Aging adalah suatu proses yang terjadi terhadap suatu material pada
periode waktu tertentu, yang mengakibatkan perubahan sifat fisika dan struktur
kimia pada material tersebut (Robert, Hastie and Morris, 1993). Selain itu juga,
proses aging merupakan proses yang cenderung lambat dan bersifat irreversible
(tidak dapat kembali), pada strukur molekul dan morfologi. Beberapa parameter
yang dapat diamati untuk melihat efek dari aging ini adalah kekerasan, kekuatan
sobek, perpanjangan saat putus, densitas pemampatan serta perubahan struktur
kimia pada karet tersebut (White, 2006).
II-4
Perubahan sifat pada material polimer yang diakibatkan oleh interaksi
fisika, kimia dan biologi yang mengakibatkan terpotongnya rantai makromolekul
dan perubahan struktur kimia, disebut sebagai degradasi polimer. Adanya
degradasi polimer menghasilkan perubahan sifat pada material polimer seperti
sifat mekanik, optik, dan elektrikal (Fyan, 2013). Perubahan tersebut ada dalam
keadaan yang tidak diinginkan, seperti pada saat material tersebut digunakan
ataupun diinginkan. Sebagai contoh pada saat pemutusan rantai polimer seperti
pada karet yang disengaja untuk tujuan tertentu (Pielichowski “ageing and
Njuguna 2005; Speight 2010).
Aging dibagi menjadi dua yaitu physical aging dan chemical aging.
Physical aging biasanya dilakukan dengan perlakuan panas pada material. Hal ini
biasanya membuat parameter fisika seperti density, britlleness, tensile strength
dan dimensi material mengalami perubahan. Selain itu juga, adanya physical
aging dapat menyebabkan perpindahan atau penguapan pada suatu zat, water
absorption dan swelling.
II-5
Gambar II.5. Efek Chemical Aging terhadap Material
Sumber : Enrehstein (2001)
2. Cahaya/Sinar UV Foto-Oksidasi
3. Ionizing Radiation Radio-Oksidasi, Crosslink
4. Kelembaban Hidrolisis
5. Fluida (Gas, Cairan, Uap) Degradasi kimia, Swelling, Additive
Extraction, Pemutusan (Cracking)
II-6
2.5 Cushion Gum
Cushion gum yang biasa digunakan pada proses retread dan perbaikan ban
adalah semacam karet lembaran yang dapat merekatkan antara lembaran karet
dengan karet maupun karet dengan kanvas. Material karet sebagai cushion gum
sendiri merupakan salah satu elemen penting dalam proses pembuatan atau
manufaktur industri ban baik ban kendaraan seperti ban mobil, motor maupun ban
pesawat. Dalam pembuatan cushion gum ini memang berusaha untuk mengacu
pada beberapa sumber–sumber baik sumber paten maupun sumber-sumber yang
digunakan oleh beberapa perusahaan industri ban pesawat.
Literatur yang digunakan pada penelitian ini lebih mengacu pada standar
yang sudah ada, seperti pada ban kendaran baik sepeda motor atau mobil dari
beberapa negara. Dari semua parameter yang ada, diharapkan produk cushion gum
untuk perekatan karet dengan kanvas, dapat memenuhi nilai parameter yang
dipersyaratkan sesuai dengan tabel. Semua parameter yang terdapat dalam tabel
merupakan parameter penting yang harus minimal dapat terpenuhi, namun
pengujian peel test merupakan parameter yang paling menentukan, karena sesuai
dengan aplikasi cushion gum nantinya yaitu sebagai tack/perekat pada proses
retread ban pesawat.
II-7
Tabel II.2. Targetan nilai Parameter Fisik dan Mekanik Cushion Gum dngan mengacu beberapa
standar
Nocil
1
Parameter Indian Standar Handbook(For PTM-BPPT
2
Truck Tyre)
Hardness 45-60 Shore A 62 Shore A 60-70 shore A
Rebound - - 45-70%
Density 1.13 g/cm3 (max) - -
Tensile Strength min 17 MPa max 26 MPa 20 MPa (min)
Elongation At
Break 450 % min 600% max 600 %max
Tear Strength - - 200 N/mm(max)
Compression - - 20% (max)
Peel test - - 50-100 %
Sumber :
1The institute of road Transport.” TENDER CONDITIONS for SUPPLY OF RETREADING MATERIALS LIKE
PRECURED TREAD RUBBER, BONDING GUM , AND BLACK VULCANISING CEMENT. TENDER No.
02/RT/CP/IRT/2015.
2
Nocil handbook Compounder’s from Nocil Limited Company, India
II-8
produk karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) pada beberapa kelompok sesuai SNI 06-
0001-1987.
Tabel II.3. Syarat Mutu Kelas RSS-1
Kelas Mutu Penampakan Cacat yang
Visual Diperkenankan
Kering, bersih, Sedikit
kekar, liat gelembung udara
Warna cerah dan sebesar kepala
seragam jarum dengan
Bebas dari letak tersebar
RSS-1
gelembung
udara, bintik
putih, jamur,
bercak, karat dan
bahan lainnya
Sumber: Badan Penelitian Teknologi Karet Bogor (2000)
Penentuan mutu karet Ribbed Smoke Sheet (RSS) ini dapat dilakukan
melalui pengamatan visual permukaan lembaran karet secara konvensional atau
dengan sistem pengolahan citra. Penggunaan RRS-1 pada penelitian disebabkan
kualitasnya cukup bagus untuk mendukung hasil produk penelitian. Tampilan
fisik karet RSS-1 dapat dilihat pada lampiran I (Dokumen) Gambar I.1.
2.5.2 Homogenizer
Bahan tambah yang berfungsi untuk meningkatkan efisiensi mastikasi
melalui pendekatan molekul, terutama pada karet alam disebut dengan
homogenizer atau peptizers (pelunak). Apabila kompon karet tidak ditambahkan
pelunak, maka akan mengalami pengerasan yang akan mengakibatkan kualitas
produk barang jadi karet menurun. Dimana pada penelitian kali ini ditambahkan
dua jenis peptizers yaitu peptizer kimia merupakan aktiplast 8 yang diproduksi
oleh Rhein Chemie Aditives dan peptizer fisika yang digunakan yaitu proccessing
oil berupa parafinic oil berdasarkan hasil dari penelitian PTM-BPPT sebelumnya
mengenai Pengaruh Paraffinic oil dan Minarex Sebagai Processing Oil terhadap
II-9
Sifat Fisika Kompon Karet untuk Cushion Gum Karet-Canvas (Saputra, dkk,
2017). Tampilan fisik Aktiplast 8 dan parafinic oil terdapat pada lampiran I
(Dokumen) Gambar I.2 dan Gambar I.3.
2.5.2.1 Peptizer Kimia
Penambahan peptizer kimia akan menurunkan nilai viskositas karena
terputusnya rantai polimer karet, yang menyebabkan berat molekul karet menjadi
rendah dan viskositasnya menurun (Wisojodhamo, 2016). Aktiplast 8 yang
berperan sebagai homogenizer atau peptizers dapat digunakan dalam mixer
dengan suhu rendah ataupun tinggi, selain itu juga aktiplast 8 mudah menyebar
pada bahan baku karet yang sedang dimastikasi sehingga aktiplast 8 merupakan
bahan aditif yang sangat efektif untuk depolimerisasi karet alam.
2.5.2.2 Peptizer Fisika
Dalam menurunkan nilai viskositas kompon karet, jenis peptizer fisika akan
berada diantara rantai polimer dan menjaga agar rantai polimer tersebut saling
terpisah, sehingga mengurangi interaksi antar rantai polimer karet dengan cara
memutuskan rantai molekul karet, mengurangi ikatan antara molekul karet, serta
menurunkan gesekan antar molekul karet (Puspitasari dan Cifriadi, 2014).
3.
Gambar II.7. Pembentukan radikal pada rantai isopren pada penambahan peptizer fisika
Sumber: Wisojodhamo (2016)
II-10
Polimer karet akan terpotong menjadi monomer isoprena karena proses
mastikasi. Penambahan peptizer fisika akan membentuk suatu unsur radikal pada
rantai isoprene. Selanjutnya terjadi pemecahan rantai isoprene yang terbagi
menjadi dua jenis, yaitu jika adanya kehadiran oksigen maka akan terjadi
rekombinasi pembentukan polimer karet, namun jika adanya oksigen maka radikal
akan terlarut dan stabil yang menyebabkan rantai molekul isoprene menjadi
pendek dan berat molekulnya menurun, sehingga menyebabkan nilai viskositas
yang rendah (Wisojodhamo, 2016).
Bahan peptizer fisika pada kompon karet, saat ini banyak digunakan
berasal dari minyak bumi (petroleum oil) yaitu jenis minyak mineral seperti
parafinik, naftenik dan aromatik. Bahan pelunak yang berasal dari minyak bumi
mempunyai kelemahan, antara lain tidak ramah lingkungan, menyebabkan iritasi,
korosif dan bersifat karsinogenik (Rahmaniar, 2011).
2.5.3 Bahan Pengisi (Filler)
Untuk memperbaiki sifat fisika kompon karet dibutuhkan filler yang akan
meningkatkan kekerasan, ketahanan sobek, ketahanan kikis, dan tegangan putus.
Salah satu jenis filler aktif yaitu carbon black, terjadinya interaksi antara carbon
black dan karet, interaksi tersebut dipengaruhi oleh seberapa baik carbon black
tersebar merata pada setiap bagian karet. Bahan pengisi carbon black memberikan
efek penguatan terhadap sifat fisik vulkanisat terutama yang ukuran butirannya
kecil (Omafuma dkk, 2001). Tampilan fisik dari carbon black terdapat pada
lampiran I (Dokumen) Gambar I.4.
II-11
perlu ditambahkan filler aktif lain seperti silika yang dapat meningkatkan kinerja
wet traction (daya tarik), dan wear resistance (ketahanan aus) serta mengurangi
dampak rolling resistance (ketahanan abrasi) permukaan ban (Hamzah, 2012).
Silika merupakan senyawa dengan rumus rantai SiO4 tetrahedral dengan
formulasi umum SiO2. Di alam silika ditemukan dibeberapa bahan alam seperti
pasir kuarsa, gelas, dan sebagainya. Silika yang banyak terdapat di alam mayoritas
berbentuk kristalin dan silika yang bersifat sintetis biasanya bersifat amorf
(Sulastri, dan S. Kristianingrum, 2010). Salah satu produk silika adalah silika gel,
yang biasanya digunakan sebagai penjerap uap pada bahan makanan. Hal ini
dilakukan karena silika gel memiliki beberapa keunggulan diantaranya sangat
bersifat inert, sangat hidrofilik, cenderung memiliki kestabilan termal dan
mekanik yang tinggi relative, tidak mengembang dalam pelarut organik jika
dibandingkan dengan padatan resin polimer organik.
Walaupun memiliki beberapa keunggulan, silika gel ternyata memiliki
kelemahan yakni aktif hanya berupa gugus silanol (-SiOH) dan siloksan (Si-O-Si).
Gugus silanol ini mempunyai sifat keasaman yang rendah, disamping mempunyai
oksigen sebagai atom donor yang sifatnya lemah. Walaupun demikian gugus
silanol (≡Si-OH ) dan siloksan (≡Si-O-Si≡ ) ini juga menguntungkan, karena
memungkinkan proses modifikasi. Proses modifikasi ini dilkukan dengan
merubah gugus fungsi aktif dengan suatu pereaksi ataupun dengan perlakuan fisis.
Filler silika pada saat ditambahkan pada pembuatan barang jadi karet juga
harus dimodifikasi dengan penambahan senyawa silane untuk coupling agent.
Apabila silika ditambahkan tanpa menggunakan coupling agent, maka silika tidak
II-12
bisa berikatan dengan rantai polimer karet yang bersifat hidrofobik (Kralevich,
1997). Salah satu coupling agent yang digunakan adalah TESPT (Triethoxysilyl
Propyl Tetrasulfide). Modifikasi ini merubah gugus fungsi aktif hidroksil (-OH)
dengan dengan senyawa silane. Reaksi ini dikenal dengan reaksi silanisasi yang
akan mengubah sifat silika dari hidrofilik menjadi hidrofobik. Sifat hidrofobik
inilah yang dapat menyebabkan silika termodifikasi dapat bereaksi dengan karet
alam karena memiliki sifat hidrofobik (Brinke, 2002). Interaksi ini ditandai
dengan adanya ikatan kuat silika termodifikasi dengan rantai polimer karet yang
dapat meningkatkan (reinforcement) beberapa parameter fisik dan mekanik
barang jadi karet (Kralevich, 1997).
Gambar II.11. Modifikasi Silika dengan Coupling Agent (TESPT) dan Formasi Reaksinya antara
Silika sebagai Filler dengan Karet Alam
Sumber: Brinke (2002)
II-13
2.5.4 Bahan Penggiat (Activator)
Dalam mempercepat proses vulkanisasi kompon karet memerlukan bahan
penggiat (Activator) untuk mengaktifkan accelerator yang dengan menggunakan
ZnO dan Asam Stearat. Sudah menjadi standar bahwa accelerator harus
diaktifkan dengan ZnO antara 3-5 phr dan Asam Stearat sebanyak 1-2 phr (Arizal,
2013). Tampilan fisik ZnO dan Asam Stearat terdapat pada lampiran I (Dokumen)
Gambar I.5 dan Gambar I.6.
Asam Stearat merupakan asam lemak yang memiliki molekul rantai
hidrokarbon panjang dan terdapat asam karboksilat pada gugus akhir. Asam
stearat merupakan emulsifier yang memiliki sifat hirofobik pada rantai
hidrokarbon dan sifat hidrofilik pada gugus asam karboksilatnya.
Hal tersebut menjadikan asam stearat dapat membantu ZnO yang memiliki
sifat polar dapat bercampur dengan karet.
II-14
2.5.5 Antidegradasi
Antidegradasi terdiri dari antioksidan dan antiozonan, dimana alam
memiliki banyak ikatan rangkap yang tidak tahan terhadap oksigen, cahaya, ozon,
dan panas. Antioksidan ditambahkan pada suatu kompon karet bertujuan untuk
mencegah terjadinya proses oksidasi pada kompon karet. Antioksidan karet jenis
Trimetyl Quinon (TMQ) yang memiliki struktur kimia Polymerized 2,2,4-
trimethyl-1,2-dihydroquinoline, mengandung gugus fenol dan mempunyai sifat
sebagai antioksidan yang kuat dan dapat melindungi karet dengan baik
(Phrommedetch dan Pattamaprom, 2010).
II-15
dapat melindungi karet dari serangan ozon. Struktur kimia dari 6PPD (N-(1,3-
Dimethylbutyl)-N'-phenyl pphenylenediamine).
6PPD sangat mudah larut dalam karet sehingga tidak akan terjadi
blooming yang merupakan perubahan warna atau tampilan permukaan karet
disebabkan oleh adanya perpindahan zat padat atau cair. Menurut Anonim-2
(2013) Blooming dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, yaitu:
1. True Bloom terjadi karena suatu zat yang memiliki kelarutan terbatas di
dalam karet berada di atas batas kelarutannya sehingga zat tersebut muncul ke
permukaan karet yang telah dilakukan proses curing melalui kristalisasi
setelah mengalami pendinginan.
2. Modified Bloom terjadi karena zat kimia dalam vulkanisat karet bereaksi
dengan unsur lingkungan.
3. Pseudo Bloom terjadi karena degradasi permukaan karet disekitar filler.
4. Surface Contamination adanya lapisan permukaan yang tidak diinginkan pada
bagian karet akibat adanya kontaminan (seperti debu maupun kontaminan
organik dan anorganik dari bekas cairan pencuci alat)
2.5.6 Tackifier
Tack adalah suatu sistem ketahanan pengkupasan diantara dua lembaran
karet setelah kontak atau gaya yang dibutuhkan untuk memisahkan dua lembaran
karet. Dalam pembuatan ban, pemasangan kompon karet sebelum proses
pemasakan (curing) dengan lapisan jenis karet lainnya membutuhkan daya rekat
(tack) yang bagus. Tackifier merupakan suatu zat perekat yang ditambahkan
dalam karet dengan tujuan mengikat bahan-bahan dalam kompon karet selama
pemprosesan sampai terjadinya curing (Anonim-3, 2014). Tackifier bekerja pada
permukaan kompon melalui berbagai jenis interaksi kimia yang berikatan satu
II-16
sama lain ketika dua lembar karet disatukan. Kuat ikatan tackifier bergantung
pada sifat tackifier yang superior berdasarkan struktur crosslinker dan sifatnya,
seperti sebagai berikut:
1. Ketahanan daya rekat yang lama bahkan dalam kondisi panas dan lembab.
2. Memfasilitasi dispersi filler yang baik untuk pengaruh softening dan
plasticizing selama kompon karet diproses.
3. Polimer linier yang memiliki kemudahan dispersi dan pelarutan dalam karet.
4. Poli fungsional hidroksil aromatik menghasilkan ikatan hidrogen.
Pada umumnya interaksi kimia yang terjadi pada tackifier menurut
Anonim-4 (2012), antara lain:
1. Pembentukan ikatan kimia (crosslinker) yang terjadi saat proses vulkansisasi.
2. Ikatan hidrogen (O-H) yang terbentuk dari intermolekuler phenol tackifier.
3. Gaya Van der wall resin tackifier. Contoh dari tackifier adalah rosin dan rosin
ester, hidrokarbon resin dan phenolic resin.
II-17
Gambar II.16. Klasifikasi tackifier
Sumber: Durairaj (2005)
II-18
Gambar II.17. Reaksi Resin Phenolik
Sumber: Durairaj (2005)
II-19
Gambar II 18. Reaksi Pembuatan Resorcinol melalui Sulfonasi Benzena dengan Tambahan Gas
SO3 dan NaOH
Sumber : Dessler (1994)
II-20
2.5.6.4 Reaksi Resorcinol dengan Hexamtehylenetetraamine sebagai Resorcinol
Formaldehide Novolak Resin Serta Reaksinya dengan Karet
Tackifier dari phenolic resin jenis novolak akan membentuk struktur
crosslinker dari reaksi resorcinol sebagai aseptor methylene dan hexa sebagai
donor methlene. Hexa akan menyumbang gugus methylene pada resorcinol.
Dalam struktur resorcinol, benzene yang tersubtitusi gugus hidroksil pada 1,3
akan tersubtitusi methylene pada posisi orto dan para membentuk struktur
crosslinker. Struktur crosslinker tersebut akan bereaksi dengan karet
menghasilkan interaksi berupa dua ikatan kima yaitu chroman ring dan methylene
bridge (Durairaj, 2005).
Gambar II.20. Reaksi Pembuatan Resorcinol Formaldehide Novolak Resin melalui proses
kondensasi serta pembentukan ikatan chroman ring dan methylene bridge pada karet
Sumber: Durairaj (2005)
II-21
Gambar II. 21. Reaksi Kimia Antara Resorcinol Modifikasi Autokatalis dan
(Hexamthylentetraamine) HMTA Modifikasi dengan Autokatalis, Serta Terbentuknya Ikatan
Methylene Bridge dan Chroman Ring antara RF Novolak Resin dengan Karet
Sumber: Durairaj (2005)
2.5.7 Curatives
Belerang merupakan salah zat penting dalam industri karet. Metode
vulkanisasi karet bertujuan untuk membentuk ikat silang. Setelah kompon karet
mengalami vulkanisasi maka karet tersebut, akan membentuk sebuah jaringan
yang berwujud tiga dimensi pada struktur molekul karet sehingga karet berubah
sifat dari termoplastik menjadi stabil terhadap panas dengan diikuti adanya
perbaikan sifat elastisnya (Mark etal., 2005 dalam Cifriadi, 2013). Pada saat
II-22
proses vulkanisasi sulfur menjadi perantara atau penjembatan atau pembentuk
ikatan silang antar molekul karet dengan karet yang lainnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses vulkanisasi adalah karena
kondisi lingkungan pematangan (curing condition), waktu, suhu, jumlah bahan
kimia dalam kompon serta tipe vulkanisasi. Dengan mengatur jumlah belerang
yang digunakan dalam sistem vulkanisasi akan mengatur proses laju vulkanisasi,
serta jumlah ikatan silang yang nantinya dihasilkan. Proses vulkanisasi karet
dengan sulfur terdiri dari tiga sistem yakni sistem konvensional, sistem efisisen,
dan sistem semi-efisien. Ketiga sistem ini merupakan sistem vulkanisasi yang
dikenal berdasarkan perbedaan parameter konsentrasi belerang dengan bahan
pencepat (accelerator) (Cifriadi, Adi dan Asron F, 2013). Peran sulfur dalam
proses vulkanisasi digambarkan pada reaksi sepeeti pada Gambar 15.
Gambar II.22. Reaksi Vulkanisasi dengan Melibatkan Sulfur dan Adanya Accelerator
Sumber: Cifriadi, Adi C dan Asron F (2013)
2.5.8 Accelerator
Salah satu bahan yang ditambahakan juga pada saat pembuatan kompon
karet adalah akselerator. Beberapa akselerator yang ditambahakan seperti CBS,
TBBS, MBS, DCBS. Akselerator yang ditambahkan ini bertujuan untuk
memepercepat adanya proses vulkaniasi yang dilakukan pada saat pembuatan
kompon karet.
Akselerator dikelompokkan menjadi kelompok sekunder ataupun tersier
berdasarkan perannya dalam menghasilkan senyawa akhirnya. Biasanya golongan
thiazole dan sulfenamide merupakan golongan primer dan paling banyak
II-23
digunakan. Hal ini disebabkan karena keamanan prosesnya cukup bagus, cakupan
vulkanisasi yang cukup luas, dan mampu membantu untuk mencapai kondisi
optimum untuk crosslink density.
Selanjutnya untuk accelerator dari golongan seperti guanidin, thiuram,
dithiocarbamats digunakan sebagai accelerator sekunder dan biasanya diaktifkan
untuk mengaktifkan accelarator primer. Penggunaan dari accelerator primer
biasanya akan menambah kecepatan vulkanisasi dan ditambahkan kurang lebih
10-40% dari jumlah accelerator primer.
II-24
2.6 Prinsip Pengujian Karakterisasi Produk Cushion Gum
Pengujian pada suatu barang jadi karet dapat berupa pengujian mekanik,
fisika maupun kimia. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kualitas dari suatu produk jadi barang karet yang dihasilkan.
Dimana:
F = Beban gaya pada spesimen (N)
Ao = Luas bidang permukaaan yang belum mengalami beban (m2),
Unit yang digunakan adalah Megapascal, (MPa) dimana 1 MPa= 106
N/m2)
II-25
3. Pengujian Kekerasan (Hardness)
Pengujian kekerasan dilakukan berdasarkan ASTM D2240 dengan
mengukur kedalaman sebuah indentor berbentuk bola pejal dengan dimensi yang
telah ditentukan, baik dengan penerapan bobot mati ataupun menggunakan pegas
pada spesimen uji karet. Ukuran spesimen yang digunakan dalam pengujian
kekerasan ini berupa spesimen berbentuk bulat dengan tebal 6 mm dengan luas
permukaan yang dapat memungkinkan mengukur pada tiga titik dengan jarak tiap
titik yaitu 5 mm dengan 13 mm dari tepi.
Skala yang biasa digunakan dalam pengukuran kekerasan suatu material
adalah Shore-A dan mikro IRHD. Pada durometer sebuah indentor berbentuk
kerucut runcing ditekankan kepada sampel, semakin keras kekerasan suatu
material maka semakin tinggi pembacaan numeric pada skalanya. Untuk IRHD
Tester beban mati diterapkan pada identor pada waktu tertentu dan kekerasan
diperoleh berdasarkan kedalaman indetansi (Arizal, 2013).
4. Pengujian Pantul (Rebound Resilience Test)
Sama seperti pengujian kekerasan, berdasarkan ASTM D2632 pengujian
pantul pada suatu material adalah mengukur kekerasan suatu material dengan
menggunakan semacam beban pantul yang dihantamkan pada permukaan benda
uji. Apabila kekerasan suatu material meningkat maka nilai daya pantul biasanya
cenderung menurun karena material tersebut semakin rigid dan getas.
5. Pengujian Pemampatan (Compression Set)
Material seperti karet diberi beban berupa tekanan dengan cara
pemampatan, jarang kembali sepenuhnya pada bentuk semula. Pengujian ini
berdasarkan ASTM D395, dimana perbedaan antara bentuk ukuran awal dengan
ukuran setelah dilakukan pemapatan dikenal dengan set kompresi atau
compression set. Uji kompresi dilakukan dengan menggunakan piringan dengan
diameter 13 mm dan ketebalan 6 mm atau dapat digunakan dengan diameter 29
mm dengan ketebalan 9,5 mm. Pengujian compression set ini dilakukan pada
suhu 70 oC selama 22 jam. Perhitungan untuk nilai parameter ini adalah:
...................................................................................(2.2)
II-26
Dimana:
To = Tebal Awal (mm)
Ti = Tebal Akhir (mm)
Tn = Tebal Spacer (mm)
Dimana
ARI = Abrasion Resisten index (%)
II-27
Gambar II.24. Speciment Peel Test
Sumber: ASTM D1876
Gambar II.25. Berbagai model Grafik hasil Pengujian peel test (a), Substrat terekat sempurna, (b)
dan (c) substrat tidak terekat sempurna dan muncul debonding
Sumber : Alimudin (1999)
2.6.2 Prinsip Dasar Karakterisasi Fisika
1. Penentuan Densitas/Berat Jenis (Density)
Penentuan dari berat jenis suatu bahan karet berdasarkan ASTM D297-15
pada prinsipnya adalah menentukan beratnya di udara terlebih dahulu kemudian
ditimbang kembali di dalam air. Berat contoh uji di dalam air akan lebih kecil dari
II-28
pada berat contoh di dalam air, karena adanya udara tekan ke atas yang besarnya
sesuai dengan jumlah air yang dipindahkan.
2. Pengujian Rheometer
Pengujian ini dilakukan berdasarkan ASTM D6601. Pada prinsipnya
rheometer merupakan instrumen untuk mengukur cairan yang mengalir terhadap
respon tekanan dan kecepatan pengadukan yang diberikan. Rheometer mengukur
tegangan geser cairan yang akan diukur viskositasnya. Terdapat suatu wadah
untuk penyimpanan sampel dan adanya spindle (alat untuk mengaduk) yang
berputar pada kecepatan tertentu, dimana akan menentukan tingkat kemampuan
geser dalam wadah. Sampel cenderung akan menyeret putaran silinder, sehingga
torsi putaran spindle dapat diukur dan kemudain akan dikonversi menjadi
tegangan geser. Besarnya kemampuan berputarnya spindle dalam sampel,
ditampilkan sebagai nilai viskositas sampel yang diuji (Anonim-8, tt)
II-29
diteruskan ke interferometer. Sinar pengukuran sampel diubah menjadi
interferogram.
Mekanisme yang terjadi pada alat FT-IR yaitu dimana sinar yang datang
dari sumber sinar, diteruskan dan kemudian akan dipecah oleh pemecah sinar
menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan
oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan
kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling
berinteraksi. Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan
dan sebagian menuju sumber.
II-30
Gambar II.27. Skema Instrumentasi ATR terintegrasi FT-IR
Sumber: Anonim-7 (2015)
II-31