Anda di halaman 1dari 50

LAPORAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER DI

BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN


(BBPOM) BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Praktik Kerja Profesi


Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Achmad Yani

WARDAH AULIA, S.Farm.


3351211224

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha


Esa yang telah memberikan hikmat dan anugerah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi Apoteker
di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandung. Laporan ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian pada Program
Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Jenderal
Achmad Yani
Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker berlangsung dari
tanggal 6 april 2022 sampai dengan 28 April 2022. Dalam
melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini penulis banyak
mendapat bantuan, baik berupa bimbingan maupun informasi dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada Ibu apt. Yenny Nina Febriyanti., S.Si.,M.Si
selaku pembimbing dan Sub Koordinator Pengujian Mikrobiologi
yang telah memberikan kesempatan bimbingan dan pengarahan
selama Praktik Kerja Profesi Apoteker di Balai Besar Pengawas Obat
dan Makanan Bandung. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan
kepada Ibu apt. Marina Susanti., S.Farm selaku pembimbing Praktik
Kerja Profesi Apoteker atas bimbingan, petunjuk dan arahan yang
telah diberikan selama penyusunan laporan ini. Ucapan terima kasih
yang tulus juga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak apt. Sukriadi Darma.,S.Si sebagai Kepala Balai Besar
POM di Bandung yang telah memberikan kesempatan untuk
melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker.
2. Ibu dr. Dewi Ratih Handayani.,M.Kes selaku Dekan Fakultas
Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani.
3. Segenap staf dan karyawan Balai Besar POM di Bandung yang
dengan sukarela memberikan ilmu pengetahuan, bantuan,
kerjasama dan perhatiannya.
4. Segenap staf pengajar dan karyawan Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Achmad Yani atas bantuan dan
perhatiannya.
5. Keluarga tercinta yang selalu senantiasa memberikan doa, kasih
sayang, serta dukungan baik moril maupun materil.
6. Rekan-rekan profesi apoteker Universitas Jenderal Achmad
Yani untuk kerja sama dan solidaritasnya.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas
bantuan dan dukungan yang diberikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung.

Dengan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki,


Penulismenyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan dan jauh
dari sempurna. Untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan demi
perbaikan laporan ini. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Cimahi, April 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
1.2 Tujuan PKPA ............................................................................................ 1
1.3 Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker ............................................ 2
BAB II PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA PROFESI APOTEKER
2.1 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ......................................... 3
2.1.1 Sejarah BPOM ................................................................................... 3
2.1.2 Visi dan Misi BPOM ......................................................................... 4
2.1.3 Kedudukan BPOM ............................................................................ 4
2.1.4 Tugas BPOM ..................................................................................... 4
2.1.5 Fungsi BPOM .................................................................................... 5
2.1.6 Kewenangan BPOM .......................................................................... 5
2.1.7 Budaya Organisasi BPOM................................................................. 5
2.1.4 Struktur Organisasi BPOM ................................................................ 5
2.1.5 Kerangka Konsep SiSPOM ............................................................... 6
2.1.6 Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM ................................................ 7
2.2 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandung ................................ 8
2.2.1 Kedudukan Balai Besar POM Bandung ............................................ 9
2.2.2 Visi dan Misi Balai Besar POM Bandung ......................................... 9
2.2.3 Wilayah Kerja Balai Besar POM Bandung ....................................... 9
2.2.4 Tugas dan Fungsi Balai Besar POM Bandung ................................ 10
2.2.5 Struktur Organisasi dan Tata Kerja
Balai Besar POM Bandung ............................................................. 11
2.3 Tinjauan Umum Bidang Pengujian Balai Besar
POM Bandung ........................................................................................ 11
2.3.1 Tugas Pokok dan Fungsi Bidang Pengujian
Obat dan Makanan .......................................................................... 12
2.3.2 Sarana dan Peralatan Pengujian ....................................................... 14
2.3.3 Alur Sampel dan Alur Pelaporan ........................................................... 14

BAB III TUGAS KHUSUS


3.1 Tugas Khusus ......................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21
LAMPIRAN ......................................................................................................... 22
LAMPIRAN
Lampiran Halaman

1. Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan…................... 38


2. Struktur Organisasi Balai Besar POM Bandung… ................................. 39
3. Struktur Organisasi Loka POM ............................................................... 40
4. Denah Gedung Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
Bandung… ............................................................................................... 41
5. Peta Sebaran Unit Pelaksana Teknis Badan Pengawas Obat dan
Makanan… .............................................................................................. 42

vii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang


cepat dan signifikan pada profesi farmasi, obat asli Indonesia,
makanan, kosmetika dan alat kesehatan. Dengan dukungan kemajuan
teknologi maka produk-produk dapat menyebar ke berbagai negara
dengan jaringan distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau
seluruh strata masyarakat. Sementara itu pengetahuan masyarakat
masih belum memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk
secara tepat, benar dan aman. Untuk itu telah dibentuk Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) .
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan salah
satu lembaga pemerintah non departemen yang dibentuk untuk
melaksanakan tugas pemerintah tertentu dari presiden. Badan POM
mempunyai tugas melaksanakan pengawasan obat dan makanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan pengawasan, pemeriksaan, dan pengujian obat dan
makanan dilakukan oleh sumber daya manusia yang unggul berupa
tenaga profesional yang berkualitas. Salah satu tenaga profesional
yang berperan adalah apoteker.
Dalam bidang pengawasan obat dan makanan yang
dilaksanakan oleh pemerintah melalui Badan POM, seorang apoteker
memiliki peran yang penting dan terlibat langsung di dalam
melakukan fungsi pengawasan tersebut. Untuk mendidik dan
melatih calon apoteker yang profesional dan handal di bidang farmasi
dalam melaksanakan tugas pokok di bidang pengawasan obat,
makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya, Balai Besar
POM Bandung telah dipilih menjadi tempat pelaksanaan Praktik Kerja
Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Jenderal Achmad Yani
yang dilaksanakan di bulan April 2022. Pelaksanaan praktek kerja
profesi apoteker ini diharapkan dapat membantu calon apoteker untuk
mengetahui tugas, fungsi, kedudukan dan program kerja serta kegiatan
Balai Besar POM khususnya di bidang Pengujian Kosmetik.

1.2 Tujuan PKPA

Tujuan dari Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Balai


Besar POM Bandung adalah:
1. Meningkatkan pemahaman calon apoteker tentang peran, fungsi,
posisi, dan tanggung jawab apoteker dalam lembaga
pemerintahan
2. Membekali calon apoteker agar memiliki wawasan,
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman praktis untuk
melakukan pengawasan pekerjaan kefarmasian di lembaga
pemerintahan.
3. Mempersiapkan calon apoteker dalam memasuki dunia kerja
sebagaitenaga farmasi yang profesional.
4. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan pengawas
pekerjaankefarmasian di lembaga pemerintahan.

1.3 Pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker


Praktik Kerja Profesi Apoteker dilaksanakan secara luring pada
tanggal 6 April sampai dengan 28 April 2022 di Balai Besar POM
Bandung yang beralamat di Jl. Pasteur No.25, Pasir Kaliki, Kec.
Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat.
BAB II
PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA PROFESI
APOTEKER

2.1 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

2.1.1 Sejarah BPOM

BPOM terbentuk sejak zaman Belanda dulu dengan nama De


Dient De Valks Gezonheid (DVG) di bawah naungan perusahaan
farmasi milik Belanda. DVG sendiri berperan sebagai lembaga yang
bertugas memproduksi obat-obatan kimia sekaligus sebagai pusat
penelitian farmasi kala itu. Pada tahun 1964, DVG yang merupakan
cikal bakal terbentuknya BPOM ini resmi menjadi milik pemerintah
Indonesia dan berubah nama menjadi Inspektorat Farmasi. Setelah tiga
tahun berselang, Inspektorat farmasi berubah nama lagi menjadi
Inspektorat Urusan Farmasi.
Dalam perkembangannya hingga 1976, Inspektorat Urusan
Farmasi diubah menjadi Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan (Ditjen POM). Pada saat itu, Ditjen POM bekerja sama
dengan berbagai pihak dalam mengurusi pengawasan obat dan
makanan, yakni Lembaga Farmasi Nasional, Departemen Kesehatan,
serta Industri Farmasi Negara.
Pada tahun 2000, melalui Keppres 166/2000, pemerintah
Indonesia membentuk 24 lembaga pemerintah nondepartemen
(LPND). Salah satu LPND yang dibentuk adalah Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM). Pada saat dibentuk, BPOM diberi tugas
untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat
dan makanan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Keppres 166/2000 mengatur pula fungsi dan kewenangan
BPOM dalam menjalankan tugasnya.
Keppres tersebut disempurnakan dengan Keputusan Presiden
Nomor 103 tahun 2001 (Keppres 103/2001). Keputusan tersebut
mengatur kedudukan, tugas, fungsi,kewenangan, susunan organisasi,
serta tata kerja LPND. Terdapat 26 LPND yang diatur dalam Keppres
103/2001, termasuk BPOM.
Untuk melengkapi Keppres 103/2001, pemerintah menetapkan
Keputusan Presiden Nomor 110 tahun 2001 (Keppres 110/2001).
Keppres ini mengatur unit organisasi dan tugas eselon I LPND. Dalam
Keppres tersebut, diatur struktur berbagai LPND, termasuk BPOM.
Struktur BPOM pada saat itu terdiri atas unsur Kepala, Sekretariat
utama, dan empat deputi. Kempat deputi tersebut adalah Deputi
Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif,
Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan,
dan Kosmetik, Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan dan Deputi
Bidang Penindakan.
Saat ini, BPOM diatur oleh Peraturan Presiden Nomor 80 tahun
2017 (Perpres 80/2017) tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Dalam aturan terbaru tersebut, BPOM bertugas
menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan
makanan. Selain itu, disebutkan pula bahwa BPOM berada di bawah
dan bertanggung jawab kepada presiden yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

3
4

2.1.2 Visi dan Misi BPOM

BPOM telah menetapkan visi dan misinya sejalan dengan Rencana


Strategis 2020 – 2024. Visi BPOM adalah Obat dan Makanan aman,
bermutu, dan berdaya saing untuk mewujudkan Indonesia maju yang
berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong royong.

Untuk mewujudkan visi tersebut, maka BPOM telah menetapkan misi


diantaranya adalah:

1. Membangun SDM unggul terkait Obat dan Makanan dengan


mengembangkan kemitraan bersama seluruh komponen bangsa
dalam rangka peningkatan kualitas manusia Indonesia;
2. Memfasilitasi percepatan pengembangan dunia usaha Obat dan
Makanan dengan keberpihakan terhadap UMKM dalam rangka
membangun strukturekonomi yang produktif dan berdaya saing
untuk kemandirian bangsa;
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan serta
penindakan kejahatan Obat dan Makanan melalui sinergi
pemerintah pusatdan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
guna perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa
aman pada seluruh warga;
4. Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya
untuk memberikan pelayanan publik yang prima di bidang Obat
dan Makanan.

2.1.3 Kedudukan BPOM

BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang


menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan. BPOM berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
kesehatan, dan BPOM dipimpin oleh seorang Kepala.
5

2.1.4 Tugas BPOM

BPOM memiliki tugas, diantaranya:


1. BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas
pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud terdiri atas obat,
bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

2.1.5 Fungsi BPOM

Dalam menyelenggarakan tugasnya BPOM memiliki beberapa fungsi, yaitu:


1. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
2. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
3. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan
kriteria di bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan
Pengawasan Selama Beredar;
4. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan
Selama Beredar;
5. Koordinasi pelaksanaan pengawasan Obat dan Makanan
dengan instansi pemerintah pusat dan daerah;
6. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
7. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan per
aturan perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
8. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan BPOM;
9. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
6

tanggung jawab BPOM;


10. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan
11. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh
unsur organisasi di lingkungan BPOM.
2.1.6 Kewenangan BPOM

Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan Makanan,


BPOM mempunyai kewenangan, diantaranya:
1. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu,
serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
3. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

2.1.7 Budaya Organisasi BPOM

Budaya Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk


membangun organisasi yang efektif dan efisien, budaya organisasi
Badan POM dikembangkan dengan nilai-nilai dasar sebagai berikut:
1. Profesional
Menegakkan profesionalisme dengan integritas, objektivitas,
ketekunan dan komitmen yang tinggi.
2. Integritas
Konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam
menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan.
7

3. Kredibilitas
Dapat dipercaya, dan diakui oleh masyarakat luas,
nasional dan international.
4. Kerjasama Tim
Mengutamakan keterbukaan, saling percaya dan komunikasi yang
baik.
5. Inovatif
Mampu melakukan pembaruan dan inovasi-inovasi
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan
teknologi terkini.
6. Responsif/Cepat Tanggap
Antisipatif dan responsif dalam mengatasi masalah.

2.1.4 Struktur Organisasi BPOM

BPOM dipimpin oleh Kepala Badan yang bertugas memimpin


dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas, fungsi, dan
kewenangan BPOM. Sekretariat Utama berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala, dan dipimpin oleh Sekretaris
Utama. Sekretariat Utama terdiri dari Biro Perencanaan dan Keuangan,
Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat, Biro Umum, Biro Hukum
dan Organisasi bertugas menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan
tugas, pembinaan, dan Biro Sumber Daya Manusia. Inspektorat Utama
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala, dan dipimpin
oleh Inspektur Utama. Inspektorat Utama mempunyai tugas
menyelenggarakan pengawasan intern di lingkungan BPOM.
Dalam Struktur Organisasi BPOM, terdapat 4 deputi yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala, yaitu :
1. Deputi I Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika,
Prekursor,dan Zat Adiktif;
2. Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen
Kesehatan, dan Kosmetik;
8

3. Deputi III Bidang Pengawasan Pangan Olahan;


4. Deputi IV Bidang Penindakan.
Masing-masing bertugas menyelenggarakan penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan pengawasan produk sesuai bidang masing-
masing, yang meliputi standardisasi, registrasi, pengawasan produksi
dan pengawasan distribusi. Deputi IV bertugas menyelenggarakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan penindakan terhadap
pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang
pengawasan Obat dan Makanan.

2.1.5 Kerangka Konsep SiSPOM


Pengawasan Obat dan Makanan memiliki aspek permasalahan
yang berdimensi luas dan kompleks, sehingga dibutuhkan sistem yang
komprehensif untuk menunjang penjaminan keamanan, manfaat/khas
iat, dan mutu suatu produk. Pengawasan tersebut dapat dimulai dari
pengawasan dan penilaian pre-market hingga pengawasan dan
penilaian post-market. Selain itu dapat pula dilakukan dengan
sertifikasi sarana produksi, sampling dan pengujian produk, serta
melakukan pengamanan peredaran produk Obat dan Makanan yang
ilegal atau produk yang tidak memenuhi standar di pasar dalam negeri.
Untuk mencegah atau mengurangi berbagai kemungkinan risiko yang
dapat terjadi, Badan POM menerapkan 3 kerangka konsep dari
SiSPOM, yaitu :
9

1. Sub-sistem pengawasan Produsen


Sistem pengawasan internal oleh produsen yang didasarkan oleh
tahap produksi yang baik atau Good Manufacturing Practices
(GMP) yang bertujuan untuk mendeteksi segala bentuk
penyimpangan standar mutu dapat sejak dini. Secara hukum,
produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk
yang dihasilkan. Segala bentuk penyimpangan dan pelanggaran
yang terjadi dan tidak sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan maka akan dikenakan sanksi, baik sanksi
administratif maupun melalui jalur hukum.
2. Sub-sistem pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat sebagai konsumen
dilakukan secara mandiri dengan peningkatan kesadaran dan
pengetahuan mengenai kualitas suatu produk serta cara
penggunaannya yang benar. Pengawasan oleh masyarakat secara
mandiri sangat penting dilakukan karena masyarakat memiliki
kewenangan dalam mengambil keputusan untuk membeli dan
menggunakan suatu produk. Masyarakat yang memiliki
kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu
dan kegunaan suatu produk, diharapkan dapat melindungi
dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak
memenuhi syarat dan dapat mendorong produsen untuk lebih
berhati-hati dalam menjaga kualitas produknya.
3. Sub-sistem pengawasan Pemerintah/BPOM
Sistem pengawasan oleh pemerintah yang bertanggung jawab
dalam penerapan pengaturan dan standardisasi; penilaian
keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar
di Indonesia; inspeksi secara berkala, pengambilan sampel dan
pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan
kepada publik yang didukung penegakan hukum. Peningkatan
kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap
10

mutu, khasiat dan keamanan produk dapat dilakukan dengan


melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi
kepada masyarakat.

2.1.6 Unit Pelaksana Teknis (UPT) BPOM


Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan
Makanan (UPT BPOM) merupakan satuan kerja yang bersifat mandiri
yang melaksanakan tugas teknis operasional tertentu atau tugas teknis
penunjang tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.
Berdasarkan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor 22 Tahun 2020 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit
Pelaksana Teknis Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan
Makanan, Klasifikasi UPT BPOM terdiri atas:
1. Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya
disebut Balai Besar POM
2. Balai Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut Balai
POM
3. Loka Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut Loka
POM.
Jumlah UPT BPOM terdiri atas:
1. 21 (dua puluh satu) Balai Besar POM;
2. 13 (tiga belas) Balai POM; dan
3. 39 (empat puluh) Loka POM.
Balai POM dibagi berdasarkan 2 (dua) Tipologi, yaitu:
1. Balai POM Tipe A, yang terdiri dari: Kepala; Subkelompok
Substansi Pengujian Kimia; Subkelompok Substansi Pengujian
Mikrobiologi; Kelompok Substansi Pemeriksaan; Kelompok
Substansi Penindakan; Kelompok Substansi Informasi dan
Komunikasi; Bagian Tata Usaha; dan Kelompok Jabatan
Fungsional.
2. Balai POM Tipe B, yang terdiri dari: Kepala; Kelompok
Substansi Pengujian; Kelompok Substansi Pemeriksaan;
Kelompok Substansi Penindakan; Kelompok Substansi
11

Informasi dan Komunikasi; Bagian Tata Usaha; dan Kelompok


Jabatan Fungsional.

UPT BPOM mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis


operasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan, yang secara teknis
dibina oleh Deputi dan secara administratif dibina oleh Sekretaris
Utama. Dalam melaksanakan tugas UPT BPOM menyelenggarakan
fungsi:
1. Penyusunan rencana dan program di bidang pengawasan Obat
dan Makanan;
2. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi Obat
dan Makanan;
3. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas distribusi Obat dan
Makanan dan/atau sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian;
4. Pelaksanaan sertifikasi produk dan sarana/fasilitas produksi
dan/atau distribusi Obat dan Makanan;
5. Pelaksanaan pengambilan contoh (sampling) Obat dan Makanan;
6. Pelaksanaan pengujian Obat dan Makanan;
7. Pelaksanaan intelijen dan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
8. Pengelolaan komunikasi, informasi, edukasi, dan pengaduan
masyarakat dibidang pengawasan Obat dan Makanan;
9. Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
10. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
11. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga; dan
12. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Badan.
12

2.2 Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandung

2.2.1 Kedudukan Balai Besar POM Bandung


Balai Besar POM Bandung merupakan salah satu Unit
Pelaksana Teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
berkedudukan di Provinsi Jawa Barat dan dipimpin oleh seorang
Kepala Balai. Berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 22 tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Balai Besar POM Bandung memiliki kedudukan di bawah
dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan, yang secara teknis
dibina oleh Deputi dan secara administratif dibina oleh Sekretaris
Utama.

2.2.2 Visi dan Misi Balai Besar POM Bandung


Visi Balai Besar POM Bandung adalah Obat dan Makanan
aman, bermutu, dan berdaya saing untuk mewujudkan Indonesia maju
yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong
royong.
Untuk mewujudkan visi tersebut, maka Balai Besar POM
Bandung telah menetapkan misi diantaranya adalah:
1. Membangun SDM unggul terkait Obat dan Makanan dengan
mengembangkan kemitraan bersama seluruh komponen bangsa
dalam rangka peningkatan kualitas manusia Indonesia;
2. Memfasilitasi percepatan pengembangan dunia usaha Obat dan
Makanan dengan keberpihakan terhadap UMKM dalam rangka
membangun strukturekonomi yang produktif dan berdaya saing
untuk kemandirian bangsa;
3. Meningkatkan efektivitas pengawasan Obat dan Makanan serta
penindakan kejahatan Obat dan Makanan melalui sinergi
pemerintah pusatdan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan
13

guna perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa


aman pada seluruh warga;
4. Pengelolaan pemerintahan yang bersih, efektif, dan terpercaya
untuk memberikan pelayanan publik yang prima di bidang Obat
dan Makanan.

2.2.3 Wilayah Kerja Balai Besar POM Bandung


Menurut Surat Keputusan Kepala Balai Besar POM di Bandung
Nomor HK.02.03.103.05.20.1124A Tahun 2020 tentang Rencana
Strategis Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Bandung Tahun
2020-2024, wilayah kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Besar POM di
Bandung meliputi 19 wilayah kerja yaitu 5 Kota (Bandung, Bekasi,
Cimahi, Sukabumi, dan Cirebon) serta 14 Kabupaten (Subang,
Cianjur, Garut, Bandung Barat, Majalengka, Sumedang, Bandung,
Karawang, Bekasi, Sukabumi, Purwakarta, Cirebon, Indramayu, dan
Kuningan) dengan jumlah sarana produksi dan sarana distribusi Obat
dan Makanan yang harus diawasi lebih kurang sebanyak 39.204
sarana. Secara administratif pemerintahan, wilayan Provinsi Jawa
Barat terbagi sebagai berikut:
Luas Wilayah : 37.089,42 km²
Jumlah Penduduk : 48.673.800 jiwa
Jumlah Pembagian Daerah : 9 wilayah
Kabupaten : 18 wilayah
Total : 27 wilayah
14

2.1.1 Tugas dan Fungsi Balai Besar POM Bandung

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan POM di wilayah kerja


Provinsi Jawa Barat yaitu Balai Besar POM di Bandung, Loka POM
di Kota Tasikmalaya, dan Loka POM di Bogor. BBPOM di Bandung
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan teknis operasional di
bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Dalam melaksanakan tugas tersebut, Balai Besar POM Bandung


menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:
1. Penyusunan rencana dan program di bidang pengawasan Obat
dan Makanan;
2. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi Obat dan
Makanan;
3. Pelaksanaan pemeriksaan sarana/fasilitas distribusi Obat dan
Makanan dan/atau sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian;
4. Pelaksanaan sertifikasi produk dan sarana/fasilitas produksi
dan/atau distribusi Obat dan Makanan;
5. Pelaksanaan pengambilan contoh (sampling) Obat dan Makanan;
6. Pelaksanaan pengujian Obat dan Makanan;
7. Pelaksanaan intelijen dan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
8. Pengelolaan komunikasi, informasi, edukasi, danpengaduan
masyarakat dibidang pengawasan Obat dan Makanan;
9. Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama di bidang pengawasan
Obat dan Makanan;
10. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan;
11. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga; dan
12. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Badan.
15

Loka POM di Kota Tasikmalaya dan Loka POM di Kabupaten Bogor,


mempunyai tugas melakukan inspeksi dan sertifikasi sarana/fasilitas
produksi dan/atau distribusi Obat dan Makanan dan sarana/fasilitas
pelayanan kefarmasian, sertifikasi produk, pengambilan contoh
(sampling), dan pengujian kimia dan mikrobiologi, intelijen dan
penyidikan pada wilayah kerja masing-masing, pengelolaan
komunikasi, informasi, edukasi, pengaduan masyarakat, dan kerja sama
di bidang pengawasan Obat dan Makanan, serta pelaksanaan urusan tata
usaha dan rumah tangga. Dalam rangka efektivitas dan efisiensi
pelaksanaan tugas dan fungsi antar UPT Badan POM, maka Balai Besar
POM di Bandung ditunjuk untuk mengkoordinasikan Loka POM di
Kota Tasikmalaya dan Loka POM di Kabupaten Bogor.

2.1.2 Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar POM Bandung
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar POM di
Bandung disusun berdasarkan Peraturan BPOM Nomor 29 Tahun
2019 tentang Perubahan atas Peraturan BPOM Nomor 12 Tahun 2018
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan, yaitu sebagai
berikut:
1. Kepala
2. Bagian Tata Usaha, yang bertugas melaksanakan koordinasi
penyusunan rencana, program, dan anggaran, pengelolaan
keuangan dan barang milik negara, teknologi informasi
komunikasi, evaluasi dan pelaporan, urusan kepegawaian,
penjaminan mutu, tata laksana, kearsipan, tata persuratan serta
kerumahtanggaan.
3. Kelompok Jabatan Fungsional
a. Kelompok Substansi Pengujian bertugas melaksanakan
penyusunan rencana dan program, evaluasi dan penyusunan
laporan pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian
dan penilaian mutu di bidang produk terapetik, narkotika,
16

obat tradisional, kosmetik, dan produk komplemen, pangan


hingga pengujian dan penilaian secara mikrobiologi.
b. Kelompok Substansi Pemeriksaan bertugas melaksanakan
kebijakan operasional di bidang inspeksi dan sertifikasi
sarana/fasilitas produksi dan/atau distribusi Obat dan
Makanan dan sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian, serta
sertifikasi dan pengambilan contoh (sampling) produk Obat
dan Makanan. Dalam melaksanakan tugas yang dimaksud,
Kelompok Substansi Pemeriksaan menyelenggarakan
fungsi:
i. Penyusunan rencana dan program di bidang inspeksi dan
sertifikasi sarana/fasilitas produksi dan/atau distribusi
Obat dan Makanan dan sarana/fasilitas pelayanan
kefarmasian, serta sertifikasi dan pengambilan contoh
(sampling) produk Obat dan Makanan;
ii. Pelaksanaan inspeksi sarana/fasilitas produksi dan/atau
distribusi Obat dan Makanan dan sarana/fasilitas
pelayanan kefarmasian;
iii. Pelaksanaan sertifikasi sarana/fasilitas produksi dan/atau
distribusi dan produk Obat dan Makanan;
iv. Pelaksanaan pengambilan contoh (sampling) Obat dan
Makanan; dan
v. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di
bidang inspeksi dan sertifikasi sarana/fasilitas produksi
dan/atau distribusi Obat dan Makanan dan
sarana/fasilitas pelayanan kefarmasian, serta sertifikasi
dan pengambilan contoh (sampling) produk Obat dan
Makanan.
c. Kelompok Substansi Penindakan bertugas melaksanakan
kebijakan operasional di bidang penindakan terhadap
pelanggaran ketentuan peraturan perundangundangan di
bidang pengawasan Obat dan Makanan. Dalam
17

melaksanakan tugas yang dimaksud, Bidang Penindakan


menyelenggarakan fungsi:
i. Penyusunan rencana dan program di bidang intelijen dan
penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang- undangan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
ii. Pelaksanaan intelijen dan penyidikan terhadap
pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pengawasan Obat dan Makanan; dan
iii. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di
bidang intelijen dan penyidikan terhadap pelanggaran
ketentuan peraturan perundangundangan di bidang
pengawasan Obat dan Makanan.
Kelompok Substansi Informasi dan Komunikasi bertugas
melaksanakan kebijakan operasional di bidang pengelolaan
komunikasi, informasi, edukasi, dan pengaduan masyarakat serta
penyiapan koordinasi pelaksanaan.
2.2 Tinjauan Umum Kelompok Substansi Pengujian Balai Besar
POM Bandung
Kelompok Substansi pengujian terbagi menjadi pengujian kimia
dan pengujian mikrobiologi. Pengujian Mikrobiologi dilakukan
terhadap sampel produk mikrobiologi Obat danMakanan. Produk yang
diuji merupakan hasil sampling yang dilakukan oleh Bidang
Pemerikasaan dan Penyidikan. Pengambilan sampel dibedakan
menjadi sampel rutin, sampel khusus atau sampel kasus terjadi
keracunan, sampel pihak ketiga yang berasal dari permintaan
perorangan atau perusahaan dan sampel dari Pelayanan Kesehatan
Dasar (PKD) Tingkat I dan II yaitu puskesmas atau rumah sakit.
Tujuan dilakukan pengujian terhadap sampel adalah untuk memeriksa
keamanan dan mutu dari produk yang dapat membahayakan kesehatan
masyarakat.
Jenis sampel yang diuji berupa produk terapeutik, kosmetik,
18

obat tradisional, suplemen makanan, produk pangan, alat kesehatan


dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Laboratorium BBPOM di
Bandung telah mendapat sertifikat akreditasi sebagai laboratorium
penguji dari Komite Akreditasi Nasional dengan nomor sertifikat LP-
173-IDN.

2.2.1 Tugas Pokok dan Fungsi Kelompok Substansi Pengujian Obat


dan Makanan
Bidang Pengujian menyelenggarakan fungsi diantaranya sebagai berikut:
1. Penyusunan rencana dan program di bidang pengujian kimia dan
mikrobiologi Obat dan Makanan;
2. Pelaksanaan pengujian rutin kimia dan mikrobiologi Obat dan
Makanan pada wilayah kerja masing-masing;
3. Pelaksanaan pengujian kimia dan mikrobiologi Obat dan
Makanan dalam rangka investigasi dan/atau penyidikan pada
wilayah kerja masing-masing;dan
4. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan di bidang
pengujiankimia dan mikrobiologi Obat dan Makanan.

SubKelompok Substansi Pengujian Kimia mempunyai tugas


melakukan pengujian kimia rutin dan pengujian kimia dalam rangka
investigasi dan/atau penyidikan Obat dan Makananpada wilayah kerja
masing-masing.

SubKelompok Substansi Pengujian Mikrobiologi mempunyai


tugas melakukan pengujian mikrobiologi rutin dan pengujian
mikrobiologi dalam rangka investigasi dan/atau penyidikan Obat dan
Makanan pada wilayah kerja masing-masing.
19

2.2.2 Sarana dan Peralatan Pengujian

Laboratorium pengujian berada di Gedung C lantai 2 untuk


laboratorium mikrobiologi dan lantai 3 untuk laboratorium kimia
bagian pangan, pada Gedung D terdapat laboratorium pengujian
bagian kimia (kosmetik dan OTSK). Balai Besar POM di Bandung
mempunyai Laboratorium pengujian kimia yang terdiri dari
laboratorium obat dan NAPPZA, laboratorium obat tradisional dan
kosmetik dan laboratorium pangan. Laboratorium pengujian
mikrobiologi terdiri dari laboratorium obat, obat tradisional, suplemen
kesehatan, produk pangan, kosmetik, dan kasus keracunan.
1. Area laboratorium: Ruang preparasi dan pengujian obat, obat
tradisional, kosmetik dan produk pangan, ruang instrumen,
ruang penyimpanan reagen, ruang penyimpanan baku
pembanding, ruang timbang, ruang uji disolusi, ruang
penyimpanan sampel, ruang pengujian produk NAPPZA.
2. Area Penunjang: Ruang tamu, ruang koordinator, ruang
penyelia, ruang staf, ruang ganti, mushola, dapur, dan toilet.
3. Peralatan: Peralatan yang terdapat di laboratorium pengujian
secara berkala dilakukan kalibrasi guna menjamin hasil
pengujian akurat dansesuai dengan kondisi nyata.
Laboratorium kimia memiliki instrumen diantaranya adalah
KCKT, GC/GCMS, AAS, spektrofotometri, spektrofotodensitometri,
spektroskopi IR, ELISA. Peralatan yang termasuk non instrumen
adalah Titrimetri, reaksi warna, reaksi pengendapan, reaksi nyala,
KLT, KK.
Laboratorium mikrobiologi memiliki alat-alat diantaranya
adalah oven, autoclave, inkubator, alat penghitung koloni (digital
colony counter dan acolyte colony counter), pengocok bakteri
(stomacher dan vortex), laminar air flow (LAF), spektrofotometri UV.
20

2.2.3 Alur Sampel dan Alur Pelaporan

pemeriksaan

Gambar II.1 Alur Sampel dan Alur Pelaporan

Sampel dari customer atau hasil sampling oleh Sampel dari


konsumen atau hasil sampling oleh Kelompok Substansi Pemeriksaan
dan Penyidikan (Pemdik) diserahkan ke TPS Kelompok Substansi
Pengujian dilengkapi dengan dokumen, dicatat dan didokumentasikan.
Kelompok Substansi Pemdik melakukan pemeriksaan penandaan dan
pemberian kode sampel serta membuat surat permintaan pengujian.
Selanjutnya, sampel diserahkan ke tim penerima sampel pada
laboratorium pengujian. Sampel diberikan kepada Koordinator
Kelompok Substansi Pengujian untuk diteruskan kepada
SubKelompok Substansi Pengujian Kimia/Mikrobiologi beserta Surat
Perintah Kerja (SPK) untuk Penyelia.
Kemudian Penyelia membuat Surat Perintah Pengujian (SPP)
ke penguji. Penguji melakukan pengisian Catatan Pengujian (CP),
kemudian melakukan pengujian sesuai dengan surat perintah
pengujian. Setelah pengujian selesai, dilakukan pengisian Lampiran
Catatan Pengujian (LCP) dan Laporan Hasil Pengujian (LHP).
Laporan ini kemudian diserahkan ke penyelia untuk dilakukan
pemeriksaan dan penetapan kesimpulan. Laporan kemudian diteruskan
21

ke Subkoordinator Substansi Pengujian Kimia/Mikrobiologi dan


Koordinator Kelompok Substansi Pengujian, selanjutnya oleh
Koordinator Kelompok Substansi Pengujian dilaporkan ke Kepala
Balai Besar POM. Kepala Balai Besar POM melaporkan hasil
pengujian kepada PPPOMN dan Deputi terkait di Badan POM.
BAB III
TUGAS KHUSUS

3.1 Dasar Tugas Khusus

Kosmetik menjadi salah satu bagian dunia usaha. Bahkan


sekarang teknologi kosmetik begitu maju dan merupakan paduan
antara kosmetik dan obat (pharmaceutical) atau yang disebut kosmetik
medik (cosmeceutical). Produk-produk kosmetik dipakai secara
berulang setiap hari dan di seluruh tubuh, mulai dari rambut sampai
ujung kaki, sehingga diperlukan persyaratan aman untuk dipakai
(trenggono, 2017)
Selain itu produk-produk kosmetik harus bisa menjamin
pemakainya dari dampak negatif kesehatan yang ditimbulkan. Oleh
karena itu, ketika akan menggunakan kosmetik perlu diteliti lebih
dahulu kandungan bahan aktifnya. Mengingat sering sekali
perlengkapan kosmetik seperti bedak, pewarna alis, pewarna bibir
(lipstik), dan kelopak mata (eye shadow) maupun pewarna pipi terbuat
dari bahan kimia yang memiliki sifat karsinogenik (Jaelani, 2009).
Adapun bahan kimia berbahaya yang sering terdapat pada
sediaan kosmetik yaitu asam retinoat. Asam retinoat adalah bentuk
asam dan bentuk aktif dari vitamin A (retinol) atau disebut juga
tretinoin. Bahan ini sering dipakai pada preparat kulit terutama untuk
pengobatan jerawat, dan sekarang banyak dipakai untuk mengatasi
kerusakan kulit akibat paparan sinar matahari (sundamage) dan untuk
pemutih (Andriyani, 2011). Dosis asam retinoat dalam sediaan topikal
yaitu 0,025 – 0,1% (Draelos dan Thaman, 2006).
Asam retinoat dapat menimbulkan risiko berbahaya antara lain
dapat menimbulkan peradangan pada kulit seperti rasa terbakar,
menyengat, kemerahan, eritema dan pengerasan kulit. Potensi sebagai
zat karsinogen dibuktikan melalui penggunaan asam retinoat pada
mencit albino dan mencit berpigmen terbukti dapat meningkatkan
potensi karsinogen akibat radiasi UV-A dan UV-B (National
Toxicology Program, 2012). Asam retinoat juga memiliki efek
samping sebagai zat teratogen atau menyebabkan cacat pada janin.
Efek asam retinoat ini tidak langsung melalui penghambatan
pigmen melanin seperti beberapa senyawa pemutih lainnya, tetapi
diduga karena terjadinya peningkatan poliferasi sel-sel keratin dan
percepatan pergantian epidermis (lapisan kulit paling luar), sehingga
memberikan efek mencerahkan kulit.Pada penggunaan topikal, asam
retinoat dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit seperti terbakar,
terutama buat yang berkulit sensitif.Sedangkan pada penggunaan
sistemik (misalnya peroral/diminum) asam retinoat memiliki efek
teratogenik, yaitu menyebabkan abnormalitas perkembangan janin
dalam kandungan. Paparan yang paling kritis selama 3-5 minggu
kehamilan, bahkan sebelum sang ibu ketahuan hamil. Penggunaan
asam retinoat ini dapat menyebabkan berbagai bentuk
malformasi/kecacatanpada janin.Walaupun efek yang paling nyata
adalah pada penggunaan sistemik, tetapi pada penggunaan topikal jika
dilakukan dalam jangka waktu lama juga dikuatirkan akan
menyebabkan terserapnya asam retinoat ke dalam tubuh dan akan
mempengaruhi janin apabila digunakan oleh wanita hamil (Ikawati,
2010).
Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
mengidentifikasi zat berbahaya asam retinoat pada sediaan kosmetik.
Adapun pengujian dilakukan selama penulis melakukan Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
(BBPOM) di Bandung. Pengidentifikasian zat berbahaya asam retinoat
pada sediaan kosmetik dilakukan dengan metode Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT).

15
24

3.1.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari identifikasi ini adalah untuk mengetahui adanya


kandungan asam retinoate dalam sampel kosmetik day cream,
whitening cream, moisturizer cream dan sabun kecantikan.

3.1.2 Tinjauan Pustaka


Definisi kosmetika menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI
No. 1175/MENKES/PER/VIII/2010, tentang Izin Produksi
Kosmetika, kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan
untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut,
kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran
mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik (Permenkes, 2010).

a) Persyaratan Memproduksi dan Mengedarkan Kosmetika

Memproduksi dan mengedarkan kosmetika produsen harus


memenuhi persyaratan sebagai berikut (BPOM, 2015):

1. Menggunakan bahan yang memenuhi standar dan persyaratan mutu


serta persyaratan lain yang ditetapkan.
2. Diproduksi dengan menggunakan cara pembuatan kosmetika yang
baik. Terdaftar dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan
3. Terdaftar dan mendapat izin edar dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan
25

b) Keamanan Kosmetika

Kehadiran berbagai macam produk kosmetika sering kali


ditemukan tidak mencantumkan bahan aktif yang digunakan. Selain itu
banyak kosmetika beredar di pasaran tanpa nomor izin edar (TIE) atau
menggunakan nomor izin edar fiktif (palsu). Tidak hanya itu
kosmetika yang tidak terdaftar banyak ditemukan mengandung bahan
kimia berbahaya bagi kulit seperti : merkuri (Hg), pewarna sintetis
(K10 dan K3), hidrokinon, dan asam retinoat (BPOM, 2008). Bahan
berbahaya tersebut telah dilarang untuk ditambahkan pada kosmetika
sejak tahun 1998 dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan
RI No.445/Menkes/Per/V/1998. Penggunaan kosmetika yang
mengandung bahan- bahan berbahaya dapat menyebabkan iritasi kulit
seperti kulit terkelupas, kemerahan dan rasa terbakar, kerusakan otak
permanen, gangguan fungsi ginjal, dan kanker (Ajose, 2005).

c) Asam Retinoat

Asam retinoat atau yang disebut juga dengan tretinoin


merupakan bentuk asam dan bentuk aktif dari vitamin A (retinol) (10).
Asam retinoat adalah turunan vitamin A dalam bentuk asam yang
dibentuk dari all-trans retinol (retinoid dalam bentuk alkohol). Asam
retinoat sering digunakan dalam bentuk sedian vitamin A topikal yang
hanya dapat diperoleh dengan resep dokter(1). Asam retinoat
mengandung tidak kurang dari 97,0 % dan tidak lebih dari 103 %
C20H28O2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Berdasarkan
Dirjen POM (1995), sifat fisika dan kimia asam retinoat adalah sebagai
berikut(11):

Gambar III.1 Struktur Kimia Asam Retinoat


26

1. Rumus Molekul : C20OH28O2


2. Berat Molekul : 300,44 g/mol
3. Pemerian : Serbuk hablur, kuning sampai jingga muda
4. Kelarutan : Tidak larut dalam air, sukar larut dalam etanol dan
dalam klorofom.

d) Mekanisme Efek Pemutih Asam Retinoat

Reseptor asam retinoat pada kulit dinamakan retinoic acid


receptor (RAR) yang berlokasi di dalam sel (intraseluler). Apabila
asam retinoat mengikat reseptornya, maka akan mengaktifkan
transkripsi gen yang akan menstimulasi replikasi dan diferensiasi sel
rutama adalah sel-sel kreatin (sel-sel tanduk) penyusun kulit paling
luar (epidermis). Hal akan menyebabkan efek berkurangnya keriput
dan memperbaiki sel-sel kulit yang rusak,misalnya karena paparan
sinar matahari. Asam retinoat yang biasanya dimasukkan dalam
komposisi krim pemutih karena dipercaya dapat memberikan efek
pemutih. Efek pemutih didapatkan secara tidak langsung melalui
penghambatan pigmen melanin seperti beberapa senyawa pemutih
lainnya, tetapi diduga karena terjadinya peningkatan proliferasi sel-sel
kreatin dan percepatan turnover epidermis (lapisan kulit paling luar),
sehingga memberikan efek mencerahkan kulit) (Depkes RI, 1995)

e) Efek Samping Asam retinoat

Asam retinoat memiliki efek yang berbahaya pada penggunaan


topikal yang diantaranya dapat menyebabkan iritasi kulit, kulit seperti
terbakar, terutama buat yang memiliki kulit sensitif. Pada penggunaan
sistemik, asam retinoat dapat menyebabkan abnormalitas
perkembangan janin dan kandungan. Efek yang paling nyata pada
gangguan sistemik, tetapi pada gangguan topikal (dioleskan dikulit
dalam jangka waktu lama yang dikuatirkan akan menyebabkan
terserapnya asam retinoat ke dalam tubuh dan akan mempengaruhi
27

janin apabila digunakan oleh wanita hamil (Depkes RI, 1995)

f) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem


pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Hal ini
didukung oleh sistem pompa tekanan tinggi, kemajuan dalam
teknologi kolom, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam.
KCKT mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif
maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran
(Ditjen POM, 1995). KCKT merupakan teknik pemisahan yang
diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu
dalam suatu sampel pada berbagai bidang, antara lain: farmasi,
lingkungan dan industri-industri makanan (Gandjar & Rohman, 2007).
Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa
organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis
ketidakmurnian (impurities), analisis senyawa-senyawa yang tidak
mudah menguap (nonvolatil), penentuan molekul-molekul netral,
ionik, maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa, pemisahan
senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama, pemisahan
senyawa-senyawa dalam jumlah sedikit (trace elements), dalam
jumlah banyak, dan dalam skala proses industri. KCKT merupakan
metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan untuk analisis
kualitatif dan kuantitatif (Gandjar & Rohman, 2007).

g) Instrumen KCKT
Instrumen KCKT tersusun atas 6 bagian dasar, yakni wadah fase
gerak (reservoir), pompa (pump), tempat injeksi sampel (injector),
kolom (coloumn), detector (detector), dan perekam (recorder)
(McMaster, 2007).

- Wadah fase gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan inert. Wadah pelarut kosong
28

atau labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak.


Wadah ini biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2
liter pelarut. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing
(penghilangan gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan
berkumpul dengan komponen lain terutama dipompa dan detektor
sehingga akan mengacaukan analisis (Gandjar & Rohman, 2007).

- Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang


mempunyai syarat yakni: pompa harus inert terhadap fase gerak.
Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, teflon, baja
tahan karat, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu
memberikan tekanan sampai 6000 psi dan mampu mengalirkan fase
gerak dengan kecepatan alir 0,1 - 10 ml/menit. Aliran pelarut dari
pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang
pada detektor (Gandjar & Rohman, 2007).

- Tempat Injeksi Sampel

Ada 3 jenis injektor, yakni syringe injector, loop valve dan


automatic injector (autosampler). Syringe injector merupakan bentuk
injektor yang paling sederhana (Meyer, 2010).

- Kolom

Kolom kinerja tinggi yang dapat meminimalkan pelebaran


puncak sampel adalah jantung dari sistem kromatografi cair modern.
Efisiensi kolom tertinggi dapat dicapai dengan menggunakan kolom
yang dikemas dengan padat, seragam, dan berdiameter 5 - 10 μm.

- Detektor

Detektor pada KCKT dikelompokkan menjadi 2 golongan, yaitu


detektor universal (yang mampu mendeteksi zat secara umum, tidak
bersifat spesifik, dan tidak selektif) seperti detektor indeks bias dan
29

detektor spektrometri massa; dan golongan detektor yang spesifik dan


selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi dan
elektrokimia (Gandjar & Rohman, 2007).

- Pengolahan Data

Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat


sebagai puncak-puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai
kromatogram (Johnson & Stevenson, 1991). Alat pengumpul data
seperti komputer, integrator, atau rekorder, dihubungkan dengan
detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan
oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu kromatogram yang
selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis atau pengguna
(Gandjar & Rohman, 2007).

3.1.3 Pelaksanaan
● Identifikasi Asam Retinoat
i. Ruang Lingkup
Metode ini digunakan untuk identifikasi Asam Retinoat dalam
produk kosmetik
ii. Pustaka
Anonim. 2015. Identifikasi Asam Retinoat dalam produk kosmetik
secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). MA PPOMN
iii.Prinsip
Asam Retinoat diidentifikasi secara Kromatogafi Cair Kinerja
Tinggi – Photo Diode Array berdasarkan perbedaan kelarutan dan
polaritas
iv.Bahan dan baku pembanding
a. Bahan
- Sampel sunscreen
- Sampel whitening cream
- Sampel night cream
- Sampel day cream
30

b. Baku Pembanding
- Asam Retinoat BPFI
v. Pereaksi
Pereaksi : Asam Formiat 0,1 %, Metanol Derajat KCKT, air bebas
mineral
Pelarut : Metanol
vi.Peralatan
- Seperangkat alat KCKT dengan detector PDA, kolom fenil, penyaring
membran, dan penyaring vakum.
- Sonikator
- Sentrifuge
- vortex
vii. Prosedur
1. Pembuatan larutan uji
a. Disiapkan masing – masing sampel
b. Disiapkan tabung sentrifugasi 50 ml untuk menimbang sampel
c. Ditimbang sampel masing – masing sebanyak 1 gram
d. Catat hasil penimbangan
e. Dilarutkan sampel dalam tabung sentrifugasi menggunakan
methanol sebanyak masing – masing 20 mL
f. Disonikasi selama 30 menit hingga larut
g. Divortex selama kurang lebih 1 menit hingga homogen
h. Disentrifugasi pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit
i. Diambil supernatant lalu saring menggunakan penyaring
membrane
j. Hasil dari penyaringan dimasukan ke dalam vial 1,5 mL untuk
selanjutnya sampel siap diuji menggunakan KCKT
2. Pembuatan Larutan Baku Asam Retinoat
a. Ditimbang baku standar asam retinoate sebanyak 5 mg
b. Dimasukkan ke dalam labu ukur 5 mL
c. Dilarutkan menggunakan pelarut methanol hingga tanda kalibrasi.
31

(larutan b1)
d. Dilakukan pengenceran dengan cara dipipet sebanyak 0,5 ml
larutan b1 lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL.
e. Ditambahkan methanol hingga tanda kallibrasi lalu disaring
menggunakan penyaring membrane berukuran 0,45 mm

3. Pembuatan larutan spiked sample


a. Dimasukan salah satu larutan sampel sebanyak kurang lebih 0,75
ml ke dalam vial 1,5ml (disaring dengan penyaring membrane)
b. Ditambahkan larutan baku asam retinoate sebanyak 0,75ml
(disaring dengan penyaring membrane) lalu sonikasi kurang lebih
15 menit hingga tercampur
c. Sampel spiked siap digunakan.

4. Cara identifikasi Asam Retinoat


- Larutan sampel sebanyak 5 sampel diinjektor kedalam KCKT dengan
kondisi sebagai berikut :
a. Kolom ukuran 250 mm dengan diameter 4,6 mm
b. Kolom yang digunakan yaitu kolom fenil (L11)
c. Fase gerak yang digunakan yaitu asam formiat 0,1 % : Metanol (90 :
10)
d. Suhu kolom yaitu 40°C
e. Laju alir 0,8 mL / menit
f. Detector PDA (photo diode array)
g. Panjang gelombang identifikasi asam retinoate 353 nm
h. Rentang pengukuran Panjang gelombang tidak boleh >5% dari 353
nm
i. Volume penyuntikan sampel 20µL
32

viii. Persyaratan
Hasil uji dinyatakan positif apabila waktu retensi, Panjang
gelombang maksimum, dan profil spektrum puncak kromatogram
dari larutan uji sama dengan larutan baku dan larutan spiked sampel.

3.1.4 Hasil dan Pembahasan


Pada analisis asam retinoat pada beberapa krim wajah ini,
sampel ditimbang lalu dilarutkan dengan metanol digunakan pelarut
methanol karena pelarut tersebut merupakan pelarut universal dan
dapat melarutkan senyawa yang bersifat polar dan non polar seperti
asam retinoat ( salamah dan widyasari, 2015). Kemudian dilakukan
sentrifugasi dengan mesin sentrifuge selama 15 menit yang diharapkan
dapat memisahkan asam retinoat dari basis sehingga terjadi pemisahan
yang baik antara fase basis dengan fase metanol. Setelah fase basis dan
fase metanol terpisahkan, fase metanol diambil untuk dilakukan
pengujian dengan KCKT. Fase metanol tersebut perlu dilakukan
penyaringan menggunakan penyaring membrane 0,45 µm untuk
memisahkan larutan sampel dari komponen lain yang dapat
mengganggu proses analisis.
Selanjutnya yaitu penyiapan untuk analisis identifikasi asam
retinoat dengan KCKT. Setelah dilakukan penyaringan sampel,
dilakukan penyiapan alat KCKT yang terdiri dari terdapat 4 tahap,
yaitu tahap pengkondisian menggunakan system pada komputer,
pembilasan, uji kesesuaian system dan pengujian sampel, lalu tahap
elusi dengan fase gerak yang sesuai. Pada tahap pengkondisian sistem,
pelarut yang digunakan adalah metanol. Cartridge dialiri dengan
metanol yang bertujuan untuk menciptakan kondisi sistem yang sama
dengan pelarut sampel yang digunakan. Tahap selanjutnya adalah
dilakukan pembilasan dengan metanol dengan tujuan untuk
mengeluarkan atau menghilangkan komponen lain yang tidak tertahan
selama proses retensi oleh penjerap (sorben), dan tahap pembilasan
33

digunakan pelarut metanol dan alpaki.


Analisis asam retinoat ini dilakukan dengan sistem kromatografi
fase terbalik, yaitu polaritas dari fasa gerak lebih polar daripada fasa
diam yang digunakan (fenil). Dengan sistem ini akan membuat analit
yang sifat polaritasnya lebih non polar akan tertahan lebih lama pada
fasa diam. Asam retinoat memiliki cincin aromatik, ikatan rangkap
terkonjugasi dan ausokrom anion -O sehingga dapat dideteksi dengan
detektor UV pada panjang gelombang 353 nm dengan fase gerak
campuran antara metanol dan asam formiat 0,1 %.
Sebelum dilakukan analisis perlu dilakukan uji kesesuaian
sistem kondisi KCKT dengan tujuan untuk mengetahui apakah kondisi
KCKT sudah dapat memberikan hasil yang optimum dalam pengujian.
Uji kesesuaian sistem ini dilakukan pada larutan baku asam retinoat
yang disuntikkan ke dalam sistem KCKT sebanyak 6 kali pengulangan
kemudian dihitung % RSD, waktu retensi dan luas area dari baku asam
retinoat. Dari pengujian ini dihasilkan bahwa kromatogram yang
didapatkan simetris dan tidak terbentuk tailing untuk dapat
memberikan hasil analisis yang baik. Metanol digunakan karena asam
retinoat memiliki kelarutan yang baik pada metanol sehingga
diharapkan asam retinoat dapat terelusi, selain itu juga metanol
merupakan pelarut polar yang umum digunakan dalam kromatografi
fase balik. Asam formiat berfungsi untuk mengendalikan keasaman
sistem sehingga dapat menahan ioniasi analit (Munson, 1991).
Setelah itu dilakukan pengujian sampel dengan KCKT pada 3
jenis sampel (A, B, dan C) yang telah dipilih. Dari uji kesesuaian
system, parameter uji yang diperoleh yaitu :
Nama Waktu retensi Luas area Tailing
faktor
UKS 4.661 7520.019 1.0557
UKS 4.705 7528.6963 1.0558
UKS 4.692 7527.2188 1.0499
34

UKS 4.673 7530.0874 1.0798


UKS 4.667 7530.4072 1.0561
UKS 4.670 7550.3901 1.0699
Rata-rata 4.68 7531.14 1.06
Standar Deviasi 0,02 10.17 0.01
RSD 0,36 0.14 1.04

Berdasarkan table diatas, hasil uji kesesuaian system yang


dilakukan sebanyak 6 kali injeksi diperoleh waktu retensi asam retinoat
dari masing masing replikasi penyuntikan larutan baku sehingga dapat
disimpulkan bahwa luas area yang keluar pada waktu retensi tersebut
memang merupakan luas area dari asam retinoate. Sedangkan nilai
%RSD yang diperoleh 0,36, hasil tersebut dibawah nilai %RSD yang
dipersyaratkan oleh USP yaitu <2%. Hasil uji kesesuaian system
menunjukkan bahwa metode analisis yang digunakan sesuai dan alat
KCKT tersebut dapat digunakan.
Selanjutnya dilakukan uji identifikasi asam retinoate
menggunakan 3 sampel yang akan dianalisis. Hasil uji menunjukkan
bahwa sampel negative mengandung asam retinoate karena tidak
menunjukkan hasil adanya peak area pada waktu retensi tertentu
sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel tidak mengandung retinoat,
lalu diuji dengan beberapa parameter lainnya untuk menyimpulkan
disimpulkan bahwa produk tersebut layak di edarkan atau tidak. Hal
ini menunjukkan bahwa dugaan sampel tersebut mengandung asam
retinoate adalah tidak benar, namun diluaran sana masih terdapat
banyak sekali jenis kosmetik yang perlu diuji keamanan nya dan
dipastikan bahwa tidak mengandung zat yang tidak diperbolehkan di
dalam kosmetik.
Berdasarkan penjelasan dari hasil uji identifikasi asam retinoate
maka BPOM perlu melakukan pengawasan terhadap produk kosmetik
baik secara pre market maupun post market. Upaya pengawasan pre
market terkait dengan keperluan registrasi, meliputi audit sertifikasi
35

sarana, pelayanan konsultasi, serta sosialisasi peraturan di bidang obat


dan makanan, termasuk cara pembuatan yang baik dan uji produk
sebelum diedarkan. Sedangkan pengawasan post market dilakukan
secara rutin terhadap produk setelah diedarkan guna menjamin
kemanan mutu produk selama produk diedarkan kepada masyarakat.
Kosmetik- kosmetik yang diproduksi diharapkan benar benar
memiliki mutu yang baik dan memenuhi persyaratan sesuai BBPOM
maupun perundang- undangan kosmetik terutama dalam penggunaan
zat berbahaya pada kosmetik maupun zat yang sangat dibatasi
penggunaannya seperti asam retinoat agar aman digunakan
masyarakat. Menurut BPOM RI (2008) melalui Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 445/MENKES/PER/V/1998, asam retinoat
termasuk bahan yang telah dilarang penggunaannya sejak tahun 1998.
Asam retinoat juga merupakan obat keras yang hanya boleh dibeli
dengan resep dokter (Fatimawali, 2013).
37

3.1.5 Kesimpulan

Berdasarkan uji identifikasi asam retinoat yang telah dilakukan pada 3 jenis
sampel kosmetik yang berbeda dengan metode (kromatografi cair kinerja tinggi)
KCKT dapat disimpulkan bahwa sampel memperoleh hasil negatif, yaitu tidak
mengandung asam retinoat.
38

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan (2019). PerKaBPOM Nomor 29 Tahun 2019
tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor
12 Tahun 2018 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di
Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (2019). PerKaBPOM Nomor 30 Tahun 2019
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Pusat
Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional Badan Pengawas Obat
dan Makanan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (2020). PerKaBPOM Nomor 9 Tahun 2020
tentang Rencana Strategis Badan Pengawas Obat dan Makanan Tahun 2020-
2024.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2020). PerKaBPOM Nomor 21 Tahun 2020
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Badan Pengawas Obat dan Makanan, (2020). PerKaBPOM Nomor 22 Tahun 2020
tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di LingkunganBadan
Pengawas Obat dan Makanan.

Depkes, (2009). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tentang


Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Pemerintah RI.

Peraturan Presiden, (2017). PerPres Nomors 80 Tahun 2017 tentang Badan


Pengawas Obat dan Makanan.

Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014


tentang Jaminan Produk Halal. Jakarta: Pemerintah RI.

Widayat., Winarni., Suzery M., Al-Baarri A.N., Putri S.R., Kurdianto (2019):
Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) sebagai Alat Deteksi DNA
Babi dalam Beberapa Produk Non-Pangan. Indonesian Journal of Halal, 2(1),
26-33.
39

LAMPIRAN 1

STRUKTUR ORGANISASI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

Gambar III.4 Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan


40

LAMPIRAN 2

STRUKTUR ORGANISASI BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN


MAKANAN BANDUNG

Gambar III.5 Struktur Organisasi Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
Bandung
41

LAMPIRAN 3

STRUKTUR ORGANISASI LOKA POM

KEPALA

KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL

Gambar III.6 Struktur Organisasi Loka POM


42

LAMPIRAN 4

DENAH GEDUNG BALAI BESAR PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN


BANDUNG

Gambar III.7 Denah Gedung Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Bandung
43

LAMPIRAN 5

PETA SEBARAN UNIT PELAKSANA TEKNIS BADAN PENGAWAS


OBAT DAN MAKANAN

Gambar III.8 Peta Sebaran Unit Pelaksana Teknis Badan Pengawas Obat dan
Makanan

Keterangan:

● (titik berwarna merah) = Balai Besar POM

● (titik berwarna oranye) = Balai POM Tipe A

● (titik berwarna hijau) = Balai POM Tipe B

● (titik berwarna biru) = Loka POM

Anda mungkin juga menyukai