Anda di halaman 1dari 6

Masyarakat budaya rumah sakit dan kebudayaan

A. Pengertian Kebudayaan dan Rumah Sakit

1. Konsep Kebudayaan

Konsep budaya telah menjadi arus utama dalam bidang antropologi sejak awal mula dan
memperoleh perhatian dalam perkembangan awal studi perilaku organisasi. Bagaimanapun juga,
baru-baru ini saja konsep budaya timbul ke permukaan sebagai suatu dimensi utama dalam
memahami perilaku organisasi (Hofstede 1986). Schein (1984) mengungkapkan bahwa banyak karya
akhir-akhir ini berpendapat tentang peran kunci budaya organisasi untuk mencapai keunggulan
organisasi. Mengingat keberadaan budaya organisasi mulai diakui arti pentingnya, maka telaah
terhadap konsep ini perlu dilakukan terutama atas berbagai isi yang dikandungnya.

Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara
pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti
penari atau pelukis dll juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan
pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh
Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang
sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-
pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropolgi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah
tersebut. Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat
mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari
sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang
arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli
bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian
kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari:

“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai
sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan”. Jadi, kebudayaan
menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan-
kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat
atau kelompok penduduk tertentu.

2. Pengertian Rumah Sakit

Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang pelayanannya disediakan
oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya. Berikut ini ialah beberapa jenis-jenis rumah
sakit yang akan dijelaskan untuk memberikan gambaran mengenai kebudayaan rumah sakit.

• Rumah sakit umum

Rumah sakit umum biasanya merupakan fasilitas yang mudah ditemui di suatu negara,
dengan kapasitas rawat inap sangat besar untuk perawatan intensif ataupun jangka panjang.
Rumah sakit jenis ini juga dilengkapi dengan fasilitas bedah, bedah plastik, ruang bersalin,
laboratorium, dan sebagainya. Tetapi kelengkapan fasilitas ini bisa saja bervariasi sesuai
kemampuan penyelenggaranya. Rumah sakit yang sangat besar sering disebut Medical Center
(pusat kesehatan), biasanya melayani seluruh pengobatan modern. Sebagian besar rumah sakit
di Indonesia juga membuka pelayanan kesehatan tanpa menginap (rawat jalan) bagi
masyarakat umum (klinik). Biasanya terdapat beberapa klinik/poliklinik di dalam suatu rumah
sakit.

• Rumah sakit terspesialisasi

Jenis ini mencakup trauma center, rumah sakit anak, rumah sakit manula, atau rumah
sakit yang melayani kepentingan khusus seperti psychiatric (psychiatric hospital), penyakit
pernapasan, dan lain-lain. Rumah sakit bisa terdiri atas gabungan atau pun hanya satu
bangunan. Kebanyakan 5 mempunyai afiliasi dengan universitas atau pusat riset medis
tertentu. Kebanyakan rumah sakit di dunia didirikan dengan tujuan nirlaba.

• Rumah sakit penelitian/pendidikan

Rumah sakit penelitian/pendidikan adalah rumah sakit umum yang terkait dengan
kegiatan penelitian dan pendidikan di fakultas kedokteran pada suatu universitas/lembaga
pendidikan tinggi. Biasanya rumah sakit ini dipakai untuk pelatihan dokter-dokter muda, uji
coba berbagai macam obat baru atau teknik pengobatan baru. Rumah sakit ini
diselenggarakan oleh pihak universitas/perguruan tinggi sebagai salah satu wujud pengabdian
masyararakat / Tri Dharma perguruan tinggi.

• Rumah sakit lembaga/perusahaan

Rumah sakit yang didirikan oleh suatu lembaga/perusahaan untuk melayani pasien-
pasien yang merupakan anggota lembaga tersebut/karyawan perusahaan tersebut. Alasan
pendirian bisa karena penyakit yang berkaitan dengan kegiatan lembaga tersebut (misalnya
rumah sakit militer, lapangan udara), bentuk jaminan sosial/pengobatan gratis bagi karyawan,
atau karena letak/lokasi perusahaan yang terpencil/jauh dari rumah sakit umum. Biasanya
rumah sakit lembaga/perusahaan di Indonesia juga menerima pasien umum dan menyediakan
ruang gawat darurat untuk masyarakat umum.

• Klinik

Fasilitas medis yang lebih kecil yang hanya melayani keluhan tertentu. Biasanya
dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau dokterdokter yang ingin menjalankan
praktek pribadi. Klinik biasanya hanya menerima rawat jalan. Bentuknya bisa pula berupa
kumpulan klinik yang disebut poliklinik.

B. Kebudayaan Rumah Sakit

Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena ia merupakan institusi
yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri-ciri serta fungsifungsi yang khusus dalam
proses menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayanan
penderita. Di samping melaksanakan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat, rumah sakit
juga mempunyai fungsi pendidikan dan penelitian (Boekitwetan 1997).

Rumah sakit di Indonesia pada awalnya dibangun oleh dua institusi. Pertama adalah
pemerintah dengan maksud untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat umum
terutama yang tidak mampu. Kedua adalah institusi keagamaan yang membangun rumah sakit
nirlaba untuk melayani masyarakat miskin dalam rangka penyebaran agamanya. Hal yang
menarik akhir-akhir ini adalah adanya perubahan orientasi pemerintah tentang manajemen
rumah sakit dimana kini rumah sakit pemerintah digalakkan untuk mulai berorientasi
ekonomis. Untuk itu, lahirlah konsep Rumah Sakit Swadana dimana investasi dan gaji
pegawai ditanggung pemerintah namun biaya operasional rumah sakit harus ditutupi dari
kegiatan pelayanan kesehatannya (Rijadi 1994). Dengan demikian, kini rumah sakit mulai
memainkan peran ganda, yaitu tetap melakukan pelayanan publik sekaligus memperoleh
penghasilan (laba) atas operasionalisasi pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
masyarakat.

Mengingat adanya dinamika internal (perkembangan peran) dan tuntutan eksternal yang
semakin berkembang, rumah sakit dihadapkan pada upaya penyesuaian diri untuk merespons
dinamika eksternal dan integrasi potensi-potensi internal dalam melaksanakan tugas yang
semakin kompleks. Upaya ini harus dilakukan jika organisasi ini hendak mempertahankan
kinerjanya (pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekaligus memperoleh dana yang
memadai bagi kelangsungan hidup organisasi). Untuk itu, ia tidak dapat mengabaikan sumber
daya manusia yang dimiliki termasuk perhatian atas kepuasan kerjanya. Pengabaian atasnya
dapat berdampak pada kinerja organisasi juga dapat berdampak serius pada kualitas
pelayanan kesehatan. Dalam konteks tersebut, pemahaman atas budaya pada tingkat
organisasi ini merupakan sarana terbaik bagi penyesuaian diri anggota-anggotanya, bagi
orang luar yang terlibat (misalnya pasien dan keluarganya) dan yang berkepentingan (seperti
investor atau instansi pemerintah terkait) maupun bagi pembentukan dan pengembangan
budaya organisasi itu sendiri dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang dan akan
dihadapi. Namun sayangnya penelitian atau kajian khusus tentang persoalan ini belum banyak
diketahui, atau mungkin perhatian terhadap hal ini belum memadai. Mengingat kondisi
demikian, maka tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan berbagai aspek dan
karakteristik budaya organisasi rumah sakit sebagai lembaga pelayanan publik.

Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan sosial


ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan dibidang transportasi dan komunikasi,
majunya IPTEK serta derasnya arus sistem informasi mengakibatkan sistem nilai
dalam masyarakat berubah. Masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang
lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan. Pelayanan rumah sakit yang baik
bergantung dari kompetensi dan kemampuan para pengelola rumah sakit. Untuk
meningkatkan kemampuan para pengelola rumah sakit tersebut selain melalui program
pendidikan dan pelatihan, juga diperlukan pengaturan dan penegakan disiplin sendiri
dari para pengelola rumah sakit serta adanya yanggung jawab secara moral dan hukum
dari pimpinan rumah sakit untuk menjamin terselenggaranya pelayanan yang baik.
Kepercayaan dan pengobatan berhubungan sangat erat. Institusi yang spesifik untuk
pengobatan pertama kali, ditemukan di India.

Rumah sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Sri Lanka pada tahun 431 SM, kemudian
Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada 230 SM dengan dilengkapi
tenaga medis dan perawat yang dibiayai anggaran kerajaan. Perubahan rumah sakit menjadi
lebih sekular di Eropa terjadi pada abad 16 hingga 17. Tetapi baru pada abad 18 rumah sakit
modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan 8 pelayanan dan pembedahan medis.
Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini. Guy's Hospital didirikan di London pada
1724 atas permintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta
seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika
kemudian berdiri Pennsylvania General Hospital di Philadelphia pada 1751. setelah
terkumpul sumbangan £2,000. Di Eropa Daratan biasanya rumah sakit dibiayai dana publik.
Namun secara umum pada pertengahan abad 19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika
Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit.

Selain itu dalam perkembangan teknologi dan berbagai bidang yang lainnya tercipta sebuah
istilah yang menandakan sebagai suatu Budaya dalam lingkup kesehatan istilah tersebut ialah
Komite Etik Rumah Sakit (KERS), dapat dikatakan sebagai suatu badan yang secara resmi
dibentuk dengan anggota dari berbagai disiplin perawatan kesehatan dalam rumah sakit yang
bertugas untuk menangani berbagai masalah etik yang timbul dalam rumah sakit. KERS dapat
menjadi sarana efektif dalam mengusahakan saling pengertian antara berbagai pihak yang
terlibat seperti dokter, pasien, keluarga pasien dan masyarakat tentang berbagai masalah etika
hukum kedokteran yang muncul dalam perawatan kesehatan di rumah sakit.

Ada tiga fungsi KERS ini yaitu pendidikan, penyusun kebijakan dan pembahasan kasus. Jadi
salah satu tugas KERS adalah menjalankan fungsi pendidikan etika. Dalam rumah sakit ada
kebutuhan akan kemampuan memahami masalah etika, melakukan diskusi multidisiplin
tentang kasus mediko legal dan dilema etika biomedis dan proses pengambilan keputusan
yang terkait dengan permasalahan ini.

C. Karakteristik Kebudayaan Rumah Sakit (Organisasi)

1. Pertama,

asumsi karyawan tentang keterkaitan lingkungan organisasi yang menunjukkan bahwa


organisasi mereka didominasi dan sangat dipengaruhi oleh beberapa pihak eksternal, yaitu
pemilik saham, Departemen Kesehatan sebagai pembina teknis, dan masyarakat pengguna
jasa kesehatan sebagai konsumen. Peran masyarakat kini begitu dirasakan sejak RS menjadi
institusi yang harus mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa mengandalkan subsidi lagi dari
PTPN XI. Pada situasi seperti ini, karyawan menyadari betul fungsi yang harus dimainkan
ketika berhadapan dengan konsumen, yaitu mereka harus memberikan pelayanan terbaik
kepada pasien dan keluarganya, serta para pengunjung lainnya.

Nilai-nilai yang sudah ditanamkan kepada karyawan dalam memberikan pelayanan kepada
konsumennya tadi dapat terungkap dari pandangan mereka bahwa justru konsumenlah orang
terpenting dalam pekerjaan mereka. Pasien adalah raja yang mana semua karyawan
bergantunga padanya bukan pasien yang bergantung pada karyawan. Pasien bukanlah
pengganggu pekerjaan karyawan namun merekalah tujuan karyawan bekerja. Karyawan
bekerja bukan untuk menolong pasien, namun keberadaan pasienlah yang menolong
karyawan karena pasien tersebut telah memberikan peluang kepada karyawan untuk
memberikan pelayanan. Oleh karena itu jika terdapat perselisihan antara karyawan dan pasien
maka karyawan haruslah mengalah karena tidak ada yang pernah menang dalam berselisih
dengan konsumen. Dengan melihat nilai yang ditanamkan pada setiap karyawan tersebut
maka dapat dijelaskan tentang berlakunya asumsi fungsi pelayanan di RS.

2. Kedua,

tentang pandangan karyawan mengenai bagaimana sesuatu itu dipandang sebagai fakta atau
tidak (kriteria realitas) dan bagaimana sesuatu itu ditentukan sebagai benar atau tidak (kriteria
kebenaran). Kriteria realitas yang dominant berlaku di RS X adalah realitas sosial yang berarti
bahwa sesuatu itu dapat diterima sebagai fakta bila sesuai dengan kebiasaan yang telah ada
atau opini umum yang berkembang di lingkungan RS X. Sementara itu, karyawan RS X juga
berpandangan dominan bahwa kebenaran lebih ditentukan oleh rasionalitas. Dengan kata lain,
sesuatu itu dapat dipandang sebagai benar bergantung pada rasioanalitas kolektif di
lingkungan RS X dan bila telah ditentukan melalui proses yang dapat diterima dalam saluran
organisasi.

3. Ketiga,

tentang pandangan karyawan berkenaan dengan hakikat sifat dasar manusia. Sebagian besar
karyawan rupanya berasumsi bahwa manusia atau teman sekerja mereka itu memiliki sifat
yang pada dasarnya baik, yaitu rajin bekerja, sangat memperhatikan waktu kerja (masuk dan
pulang kerja tepat waktu), siap membantu pekerjaan rekan-rekan lainnya. Namun demikian
mereka juga berpandangan bahwa sifat ini tidak selamanya berlaku konsisten. Akan ada
selalu godaan atau kondisi yang dapat mengubah sifat manusia. Mereka percaya betul bahwa
tidak ada sifat yang kekal, sifat baik dapat saja berubah menjadi buruk, begitu pula sifat buruk
bisa berubah menjadi baik.

4. Keempat,

mengenai asumsi karyawan tentang hakikat aktivitas manusia yang menunjukkan bahwa
aktivitas manusia itu harmoni atau selaras dengan aktivitas organisasi. Tidak hanya aktivitas
manusia saja yang mampu menentukan keberhasilan organisasi. Namun mereka juga menolak
bahwa aktivitas organisasi semata yang menentukan keberhasilan organisasi karena mereka
memandang bahwa aktivitasnya juga memberikan kontribusi atas keberhasilan organisasi.
Pada intinya, mereka memandang bahwa aktivitasnya yang meliputi curahan waktu, tenaga,
dan pikiran harus selaras dengan aktivitas organisasi secara keseluruhan yang berupa kinerja
sumber daya manusia, keuangan, aktiva tetap, infra dan supra struktur organisasi.

5. Kelima,

berkenaan dengan asumsi hakikat hubungan manusia yang hasilnya menunjukkan bahwa
hubungan antar karyawan lebih bersifat kekeluargaan. Kekeluargaan tidak dipahami sebagai
nepotisme atau usaha keluarga, namun kekeluargaan dipahami sebagai hubungan antar
inidividu dalam suatu kelompok kerja sebagai suatu kerja sama kelompok yang lebih
berorientasi pada konsensus dan kesejahteraan kelompok. Dalam suatu kelompok kerja
seorang karyawan terkadang tidak hanya menjalankan tugas hanya pada bidang tugas yang
tertera secara formal karena ia harus siap membantu bidang tugas yang lain yang dapat
ditanganinya. Seorang perawat di unit bedah dengan tugas khusus sterilisasi tidak hanya
menangani tugasnya saja. Ia harus siap membantu karyawan lainnya untuk juga menangani
instrumen dan pulih sadar. Semua pekerjaan itu dilakukan sebagai suatu kerja sama kolektif
dalam mencapai efektivitas organisasi. Hubungan antar karyawan tidak sebatas hubungan
kerja, kerapkali mereka jauh lebih terikat secara pribadi dan saling mengerti tentang
karakteristik pribadi lainnya. Suasana guyub terlihat dalam suasana saling membantu tidak
hanya dalam konteks kerja tetapi juga di luar pekerjaan.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Kombinasi karakteristik dari asumsi dasar memunculkan budaya organisasi yang bersifat
integral. Kombinasi ini bisa dikategorikan sebagai budaya adaptif sehingga mampu
mendukung organisasi memenangkan adaptasi eksternal. Pada saat yang sama konfigurasi
atas asumsi dasar juga menunjukkan tipologi budaya organisasi yang kuat. Dengan
demikian memudahkan organisasi mencapai integrasi internal jika terdapat kesesuaian
antara karakteristik budaya dengan praktek manajemen.
B. Saran
Pelayanan kesehatan yang baik dan bermutu serta berkualitas penting dalam
pembangunan karena akan menimbulkan pelayanan kesehatan yang prima sehingga
kepuasan dapat dirasakan oleh setiap masyarakat olehnya itu pelayanan kesehatan harus
dikelola secara maksimal bukan saja oleh tenaga kesehatan tetapi seluruh masyarakat

Anda mungkin juga menyukai