Anda di halaman 1dari 10

Jangan Marah, Kamu Akan Masuk Surga

bin ‘Abdul Qadir Jawas

َ   ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأ َّن َر ُجاًل قَا َل لِلنَّبِ ِّي‬


ُ ‫صلَّى هَّللا‬ ِ ‫ َر‬  َ‫َع ْن َأبِ ْي هُ َر ْي َرة‬
‫ فَ َر َّد َد ِم َرارًا ؛‬.)) ْ‫ضب‬ َ ‫ (( اَل تَ ْغ‬: ‫ قَا َل‬، ‫صنِ ْي‬ ِ ‫ َأ ْو‬: ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ُّ‫اري‬ ِ ‫ َر َواهُ ْالبُ َخ‬.)) ْ‫ضب‬ َ ‫ (( اَل تَ ْغ‬: ‫قَا َل‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu  bahwa ada seorang laki-laki berkata
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Berilah aku wasiat”. Beliau
menjawab, “Engkau jangan marah!” Orang itu mengulangi permintaannya
berulang-ulang, kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Engkau jangan marah!” [HR al-Bukhâri].

SYARAH HADITS
Sahabat yang meminta wasiat dalam hadits ini bernama Jariyah bin
Qudamah rahimahullah . Ia meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah
wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara
kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi
berwasiat kepadanya agar ia tidak marah. Kemudian ia mengulangi
permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban
yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai
kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.
Marah  adalah bara yang dilemparkan setan ke dalam hati anak Adam
sehingga ia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang,
wajahnya memerah, dan terkadang ungkapan dan tindakannya tidak
masuk akal.

DEFINISI MARAH Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk


menolak gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas
dendam kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.
Marah banyak sekali menimbulkan perbuatan yang diharamkan seperti
memukul, melempar barang pecah belah, menyiksa, menyakiti orang, dan
mengeluarkan perkataan-perkataan yang diharamkan seperti menuduh,
mencaci maki, berkata kotor, dan berbagai bentuk kezhaliman dan
permusuhan, bahkan sampai membunuh, serta bisa jadi naik kepada
tingkat kekufuran sebagaimana yang terjadi pada Jabalah bin Aiham, dan
seperti sumpah-sumpah yang tidak boleh dipertahankan menurut syar’i,
atau mencerai istri yang disusul dengan penyesalan. Al-Hafizh Ibnu Hajar
al-‘Asqâlani rahimahullah berkata, “Adapun hakikat marah tidaklah dilarang
karena merupakan perkara tabi’at yang tidak bisa hilang dari perilaku
kebiasaan manusia.”
[1] Yang dimaksud dengan hadits di atas adalah marah yang dilakukan
karena menuruti hawa nafsu dan menimbulkan kerusakan. Di dalam Al-
Qur`ân Karim disebutkan bahwasanya Allah marah. Adapun marah yang
dinisbatkan kepada Allah Ta’ala Yang Mahasuci adalah marah dan murka
kepada orang-orang kafir, musyrik, munafik, dan orang-orang yang
melewati batas-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
َ ِ‫ َو َغض‬ ۖ ‫اِئرةُ الس َّْو ِء‬
‫ب‬ َ َ‫ َعلَي ِْه ْم د‬ ۚ ‫ين ِباهَّلل ِ َظنَّ الس َّْو ِء‬ َّ ‫ت‬
َ ‫الظا ِّن‬ ِ ‫ِين َو ْال ُم ْش ِر َكا‬
َ ‫ت َو ْال ُم ْش ِرك‬
ِ ‫ِين َو ْال ُم َنافِ َقا‬ َ ‫َوي َُع ِّذ‬
َ ‫ب ْال ُم َنافِق‬
ْ ‫ َو َسا َء‬ ۖ ‫هَّللا ُ َعلَي ِْه ْم َولَ َع َن ُه ْم َوَأ َع َّد لَ ُه ْم َج َه َّن َم‬
‫ت مَصِ يرً ا‬
Dan Dia mengadzab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan
(juga) orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang berprasangka
buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (adzab) yang buruk,
dan Allah murka kepada mereka dan mengutuk mereka, serta
menyediakan neraka Jahannam bagi mereka. Dan (neraka Jahannam) itu
seburuk-buruk tempat kembali. [al-Fath/48 : 6].

[2] Di dalam hadits yang panjang tentang syafaat disebutkan bahwa Allah
sangat marah yang belum pernah marah seperti kemarahan saat itu baik
sebelum maupun sesudahnya.[3] Setiap muslim wajib menetapkan sifat
marah bagi Allah, tidak boleh mengingkarinya, tidak boleh ditakwil, dan
tidak boleh menyamakan dengan sifat makhluk-Nya. Allah Ta’ala
berfirman:
‫ۖ َوه َُو ال َّسمِي ُع ْالبَصِ ي ُر‬ ‫ْس َكم ِْثلِ ِه َشيْ ٌء‬
َ ‫… لَي‬
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar, Maha Melihat. [asy-Syûrâ/42 : 11].
Sifat marah bagi Allah merupakan sifat yang sesuai dengan keagungan
dan kemuliaan bagi Allah, dan ini merupakan manhaj Salaf yang wajib
ditempuh oleh setiap muslim. Adapun marah yang dinisbatkan kepada
makhluk; ada yang terpuji ada pula yang tercela. Terpuji apabila dilakukan
karena Allah Azza wa Jalla dalam membela agama Allah Azza wa
Jalladengan ikhlas, membela hak-hak-Nya, dan tidak menuruti hawa nafsu,
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau
marah karena ada hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya yang dilanggar,
maka beliau marah. Begitu pula marahnya Nabi Musa Alaihissallam [4] dan
marahnya Nabi Yunus Alaihissallam .[5]  Adapun yang tercela apabila
dilakukan karena membela diri, kepentingan duniawi, dan melewati batas.
Dalam hadits di atas disebutkan larangan marah karena marah mengikuti
emosi dan hawa nafsu yang pengaruhnya membawa kepada kehancuran
dan kebinasaan. Ja’far bin Muhammad rahimahullah mengatakan, “Marah
adalah pintu segala kejelekan.” Dikatakan kepada Ibnu Mubarak
rahimahullah , “Kumpulkanlah untuk kami akhlak yang baik dalam satu
kata!” Beliau menjawab, “Meninggalkan amarah.” Demikian juga Imam
Ahmad rahimahullah dan Ishaq rahimahullah menafsirkan bahwa akhlak
yang baik adalah dengan meninggalkan amarah. Sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau jangan marah “ kepada orang yang
meminta wasiat kepada beliau mengandung dua hal. Pertama : Maksud
dari perintah beliau ialah perintah untuk memiliki sebab-sebab yang
menghasilkan akhlak yang baik, berupa dermawan, murah hati, penyantun,
malu, tawadhu’, sabar, menahan diri dari mengganggu orang lain, pemaaf,
menahan amarah, wajah berseri, dan akhlak-akhlak baik yang semisalnya.
Apabila jiwa terbentuk dengan akhlak-akhlak yang mulia ini dan menjadi
kebiasaan baginya, maka ia mampu menahan amarah, pada saat timbul
berbagai sebabnya. Kedua : Maksud sabda Nabi ialah, “Engkau jangan
melakukan tuntutan marahmu apabila marah terjadi padamu, tetapi
usahakan dirimu untuk tidak mengerjakan dan tidak melakukan apa yang
diperintahnya.” Sebab, apabila amarah telah menguasai manusia, maka
amarah itu yang memerintah dan yang melarangnya. Makna ini tercermin
dalam firman Allah Ta’ala: ُ‫ضب‬َ ‫ُوسى ْال َغ‬ َ ‫َولَمَّا َس َك‬
َ ‫ت َعنْ م‬
Dan setelah amarah Musa mereda…  [al-A’râf/7 : 154]. Apabila manusia
tidak mengerjakan apa yang diperintahkan amarahnya dan dirinya
berusaha untuk itu, maka kejelekan amarah dapat tercegah darinya,
bahkan bisa jadi amarahnya menjadi tenang dan cepat hilang sehingga
seolah-olah ia tidak marah. Pada makna inilah terdapat isyarat dalam Al-
Qur`ân dengan firman-Nya Azza wa Jalla :
َ ‫ … َوِإ َذا َما َغضِ بُوا ُه ْم َي ْغفِر‬Dan apabila mereka marah segera memberi maaf.
‫ُون‬
[asy-Syûrâ/42 : 37].
Juga dengan firman-Nya Ta’ala:
َ ‫ َوهَّللا ُ ُيحِبُّ ْالمُحْ سِ ن‬ ۗ ‫اس‬
‫ِين‬ َ ‫ْظ َو ْال َعاف‬
ِ ‫ِين َع ِن ال َّن‬ َ ‫ِين ْال َغي‬
َ ‫… َو ْال َكاظِ م‬
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. [Ali
‘Imrân/3 : 134]. Nabi memerintahkan orang yang sedang marah untuk
melakukan berbagai sebab yang dapat menahan dan meredakan
amarahnya. Dan beliau memuji orang yang dapat mengendalikan dirinya
ketika marah. Diantara cara yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam meredam amarah adalah dengan mengucapkan:   ‫هلل م َِن‬ ِ ‫َأع ُْو ُذ ِبا‬
‫ان الرَّ ِجي ِْم‬ َ ‫ ال َّشي‬. Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad Radhiyallahu anhu, ia
ِ ‫ْط‬
berkata: Kami sedang duduk bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tiba-tiba ada dua orang laki-laki saling mencaci di hadapan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seorang dari keduanya mencaci temannya
sambil marah, wajahnya memerah, dan urat lehernya menegang, maka
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh, aku mengetahui
satu kalimat, jika ia mengucapkannya niscaya hilanglah darinya apa yang
ada padanya (amarah). Seandainya ia mengucapkan, ‫ان‬ ِ ‫ْط‬ ِ ‫َأع ُْو ُذ ِبا‬
َ ‫هلل م َِن ال َّشي‬
‫الرَّ ِجي ِْم‬. (Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk)”.
Para sahabat berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang dikatakan
Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Aku bukan orang gila”.[6]
Allah Ta’ala memerintahkan kita apabila kita diganggu setan hendaknya
kita berlindung kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman:
‫ ِإ َّن ُه َسمِي ٌع َعلِي ٌم‬ ۚ ِ ‫ان َن ْز ٌغ َفاسْ َتع ِْذ ِباهَّلل‬ َ ‫َوِإمَّا َي ْن َز َغ َّن َك م َِن ال َّشي‬
ِ ‫ْط‬
Dan jika setan datang mengodamu, maka berlindunglah kepada Allah.
Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. [al-A’râf/7 : 200]. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan agar orang yang marah untuk
duduk atau berbaring.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ‫ َوِإاَّل َف ْل َيضْ َط ِجع‬، ُ‫ضب‬ َ ‫ َفِإنْ َذ َه‬، ْ‫ب َأ َح ُد ُك ْم َوه َُو َقاِئ ٌم َف ْل َيجْ لِس‬
َ ‫ب َع ْن ُه ْال َغ‬ َ ِ‫ِإ َذا َغض‬. Apabila seorang
dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah ia duduk; apabila
amarah telah pergi darinya, (maka itu baik baginya) dan jika belum,
hendaklah ia berbaring.[7]
Ada yang mengatakan bahwa berdiri itu siap untuk balas dendam, sedang
orang duduk tidak siap untuk balas dendam, sedang orang berbaring itu
sangat kecil kemungkinan untuk balas dendam. Maksudnya ialah
hendaknya seorang muslim mengekang amarahnya dalam dirinya dan
tidak menujukannya kepada orang lain dengan lisan dan perbuatannya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan apabila seseorang
marah hendaklah ia diam,
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ ‫ب َأ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْس ُك‬
‫ت‬ ِ ‫ِإ َذا غ‬.
َ ‫َض‬
Apabila seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.[8] Ini juga
merupakan obat yang manjur bagi amarah, karena jika orang sedang
marah maka keluarlah darinya ucapan-ucapan yang kotor, keji, melaknat,
mencaci-maki dan lain-lain yang dampak negatifnya besar dan ia akan
menyesal karenanya ketika marahnya hilang. Jika ia diam, maka semua
keburukan itu hilang darinya. Menurut syari’at Islam bahwa orang yang
kuat adalah orang yang mampu melawan dan mengekang hawa nafsunya
ketika marah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫ْس ال َّش ِد ْي ُد‬ َ ‫لَي‬
‫ب‬ َ ‫ك َن ْف َس ُه عِ ْندَ ْال َغ‬
ِ ‫ض‬ ُ ِ‫ ِإ َّن َما ال َّش ِد ْي ُد الَّذِيْ َيمْ ل‬، ‫بالص َُّر َع ِة‬.
ِ Orang yang kuat itu bukanlah yang
pandai bergulat, tetapi orang yang kuat ialah orang yang dapat
mengendalikan dirinya ketika marah.[9]
Imam Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan bahwa melawan hawa nafsu
lebih berat daripada melawan musuh.[10]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang keutamaan
orang yang dapat menahan amarahnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ُ‫ِئق َي ْو َم ْالقِ َيا َم ِة َح َّتى ي َُخي َِّرهُ هللا‬
ِ َ‫س ْال َخال‬ ً ‫َمنْ َك َظ َم َغي‬
ِ ‫ْظا َوه َُو َقا ِد ٌر َعلَى َأنْ ُي ْنف َِذهُ دَ َعاهُ هللاُ َع َّز َو َج َّل َعلَى رُُؤ ْو‬
‫ْن َما َشا َء‬ ِ ‫م َِن ْالح ُْو ِر ْال ِعي‬.
Barangsiapa menahan amarah padahal ia mampu melakukannya, pada
hari Kiamat Allah k akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk,
kemudian Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia sukai.[11]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada seorang
sahabatnya, ‫ضبْ َولَ َك ْال َج َّن ُة‬
َ ‫الَ َت ْغ‬. Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk
Surga.[12]
Yang diwajibkan bagi seorang Mukmin ialah hendaklah keinginannya itu
sebatas untuk mencari apa yang dibolehkan oleh Allah Ta’ala baginya, bisa
jadi ia berusaha mendapatkannya dengan niat yang baik sehingga ia diberi
pahalanya karena. Dan hendaklah amarahnya itu untuk menolak gangguan
terhadap agamanya dan membela kebenaran atau balas dendam terhadap
orang-orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sebagaiman Allah
Ta’ala berfirman:
َ ‫ ََوي ُْذهِبْ َغي‬ ‫ور َق ْو ٍم مُْؤ ِمنِين‬
ِ ُ‫ْظ قُل‬
‫وب ِه ْم‬ ُ ِ‫ َقا ِتلُو ُه ْم ي َُع ِّذ ْب ُه ُم هَّللا ُ ِبَأ ْيدِي ُك ْم َوي ُْخ ِز ِه ْم َو َي ْنصُرْ ُك ْم َعلَي ِْه ْم َو َي ْشف‬ 
َ ‫ص ُد‬
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan
(perantaraan) tanganmu dan Dia akan menghina mereka dan menolongmu
(dengan kemenangan) atas mereka, serta melegakan hati orang-orang
yang beriman. Dan Dia menghilangkan kemarahan hati mereka (orang
Mukmin)… [at-Taubah/9 : 14-15].
Ini adalah keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau tidak
balas dendam untuk dirinya sendiri. Namun jika ada hal-hal yang
diharamkan Allah dilanggar, maka tidak ada sesuatu pun yang sanggup
menahan kemarahan beliau. Dan beliau belum pernah memukul pembantu
dan wanita dengan tangan beliau, namun beliau menggunakan tangan
beliau ketika berjihad di jalan Allah. ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya
tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia menjawab,
“Akhlak beliau adalah Al-Qur`ân.”[13] Maksudnya beliau beradab dengan
adab Al-Qur`ân, berakhlak dengan akhlaknya. Beliau ridha karena
keridhaan Al-Qur`ân dan marah karena kemarahan Al-Qur`ân. Karena
sangat malunya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghadapi siapa
pun dengan sesuatu yang beliau benci, bahkan ketidaksukaan beliau
terlihat di wajah beliau, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-
Khudri , ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu
daripada gadis yang dipingit. Apabila beliau melihat sesuatu yang
dibencinya, kami mengetahuinya di wajah beliau.”[14] Ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi tahu Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu
tentang ucapan seseorang, “Pembagian ini tidak dimaksudkan untuk
mencari wajah Allah.” Maka ucapan itu terasa berat bagi beliau, wajah
beliau berubah, beliau marah, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallamhanya bersabda: ‫ص َب َر‬ َ ‫لَ َق ْد ُأ ْوذ‬. Sungguh Musa disakiti
َ ‫ِي م ُْو َسى ِبَأ ْك َث َر مِنْ َه َذا َف‬
dengan yang lebih menyakitkan daripada ini, namun beliau bersabar.[15]
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat atau mendengar
sesuatu yang membuat Allah murka, maka beliau marah karenanya,
menegurnya, dan tidak diam. Beliau pernah memasuki rumah ‘Aisyah
Radhiyallahu anhuma dan melihat tirai yang terdapat gambar makhluk
hidup padanya, maka wajah beliau berubah dan beliau merobeknya lalu
bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling keras adzabnya pada hari
Kiamat ialah orang yang menggambar gambar-gambar ini.”[16] Ketika Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pengaduan tentang imam yang shalat
lama dengan manusia hingga sebagian mereka terlambat, beliau marah,
bahkan sangat marah, menasihati manusia, dan menyuruh meringankan
shalat (supaya tidak memanjangkan shalatnya).[17] Ketika Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat dahak di kiblat masjid, beliau marah,
mengeruknya, dan bersabda, “Sesungguhnya jika salah seorang dari
kalian berada dalam shalat, maka Allah ada di depan wajahnya. Oleh
karena itu, ia jangan sekali-kali berdahak di depan wajahnya ketika
shalat.”[18] Diantara do’a yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambaca
ialah: ‫ضى‬َ ِّ‫ب َوالر‬ َ ‫َأسْ َألُ َك َكلِ َم َة ْال َح ِّق فِي ْال َغ‬. Aku memohon kepada-Mu perkataan
ِ ‫ض‬
yang benar pada saat marah dan ridha.[19] Ini sangat mulia, yaitu seorang
hanya berkata benar ketika ia marah atau ridha, karena sebagian manusia
jika mereka marah , mereka tidak bisa berhenti dari apa yang mereka
katakan. Dari Jabir  , ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada satu peperangan, dan ada seorang laki-
laki berada di atas untanya. Unta orang Anshar itu berjalan lambat
kemudian orang Anshar itu berkata, ‘Berjalanlah semoga Allah
melaknatmu.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
orang itu, ‘Turunlah engkau dari unta tersebut. Engkau jangan menyertai
kami dengan sesuatu yang telah dilaknat. Kalian jangan mendo’akan
kejelekan bagi diri kalian. kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi anak-
anak kalian. Kalian jangan mendo’akan kejelekan bagi harta kalian.
Tidaklah kalian berada di satu waktu jika waktu tersebut permintaan
diajukan, melainkan Allah akan mengabulkan bagi kalian.”[20] Ini semua
menunjukkan bahwa do’a orang yang marah akan dikabulkan jika
bertepatan dengan waktu yang diijabah, dan pada saat marah ia dilarang
berdo’a bagi kejelekan dirinya, keluarganya, dan hartanya. Seorang ulama
Salaf  rahimahullah berkata, ”Orang yang marah jika penyebab marahnya
adalah sesuatu yang diperbolehkan seperti sakit dan perjalanan, atau
penyebab amarahnya adalah ketaatan seperti puasa, ia tidak boleh dicela
karenanya,” maksudnya ialah orang tersebut tidak berdosa jika yang keluar
darinya ketika ia marah ialah perkataan yang mengandung hardik, caci-
maki, dan lain sebagainya, seperti disabdakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , “Sesungguhnya aku hanyalah manusia, aku ridha seperti ridhanya
manusia dan aku marah seperti marahnya manusia. Orang Muslim mana
saja yang pernah aku caci dan aku cambuk, maka aku menjadikannya
sebagai penebus (dosa) baginya.”[21] Sedang jika yang keluar dari orang
yang marah adalah kekufuran, kemurtadan, pembunuhan jiwa, mengambil
harta tanpa alasan yang benar, dan lain sebagainya, maka orang Muslim
tidak ragu bahwa orang marah tersebut mendapat hukuman karena semua
itu. Begitu juga jika yang keluar dari orang yang marah adalah perceraian,
pemerdekaan budak, dan sumpah, ia dihukum karena itu semua tanpa ada
perbedaan pendapat di dalamnya.[22] Baca Juga  Bacaan Surat Yasin
Bukan Untuk Orang Mati Diriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas
bahwa seorang laki-laki berkata, “Aku mentalaq istriku dengan talak tiga
ketika aku marah.” Maka Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya Ibnu ‘Abbas
tidak bisa menghalalkan untukmu apa yang telah Allah haramkan atasmu,
engkau telah mendurhakai kepada Rabb-mu, dan engkau mengharamkan
istrimu atas dirimu sendiri.”[23] Diriwayatkan dengan shahih dari banyak
Sahabat bahwa mereka berfatwa sesungguhnya sumpah orang yang
marah itu sah dan di dalamnya terdapat kaffarat. Al-Hasan rahimahullah
berkata, “Thalaq yang sesuai Sunnah ialah suami mentalaq istrinya dengan
talaq satu dalam keadaan suci dan tidak digauli. Suami mempunyai hak
pilih antara masa tersebut dengan istrinya selama tiga kali haidh. Jika ia
ingin rujuk dengan istrinya, ia berhak melakukannya. Jika ia marah, istrinya
menunggu tiga kali haidh atau tiga bulan jika ia tidak haidh agar marahnya
hilang.” Al-Hasan rahimahullah berkata lagi, “Allah menjelaskan agar tidak
seorang pun menyesal dalam perceraiannya seperti yang diperintahkan
Allah.” Diriwayatkan oleh al-Qadhi Isma’il.[24] BAGAIMANA MENGOBATI
AMARAH JIKA TELAH BERGEJOLAK? Orang yang marah hendaklah
melakukan hal-hal berikut: Berlindung kepada Allah dari godaan setan
dengan membaca:  ‫ان الرَّ ِجي ِْم‬
ِ ‫ْط‬ ِ ‫ َأع ُْو ُذ ِبا‬Aku berlindung kepada Allah dari
َ ‫هلل م َِن ال َّشي‬
godaan setan yang terkutuk. Mengucapkan kalimat-kalimat yang baik,
berdzikir, dan istighfar. Hendaklah diam, tidak mengumbar amarah.
Dianjurkan berwudhu’.[25] Merubah posisi, apabila marah dalam keadaan
berdiri hendaklah duduk, dan apabila marah dalam keadaan duduk
hendaklah berbaring. Jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan.
Berikan hak badan untuk beristirahat. Ingatlah akibat jelek dari amarah.
Ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Wallâhu a’lam.  FAWA`ID HADITS Semangatnya para Sahabat untuk
memperoleh apa yang bermanfaat bagi mereka. Dianjurkan memberikan
nasihat dan wasiat bagi orang yang memintanya. Seorang muslim harus
mencari jalan-jalan kebaikan dan keselamatan yang sesuai dengan
Sunnah. Mengulangi nasihat memiliki manfaat yang banyak. Larangan dari
marah berdasarkan sabda beliau, “Engkau jangan marah!” Sebab, amarah
dapat menimbulkan berbagai kerusakan yang besar apabila seseorang
berbuat dengan menuruti hawa nafsu untuk membela dirinya. Agama Islam
melarang akhlak yang jelek, dan larangan tersebut mengharuskan perintah
berakhlak yang baik. Marah merupakan sifat dan tabi’at manusia.
Dianjurkan untuk menahan marah dan ini termasuk dari sifat seorang
mukmin. Melawan hawa nafsu lebih berat daripada melawan musuh.
Dianjurkan menjauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan. Marah
yang terpuji adalah apabila seseorang marah karena Allah, untuk membela
kebenaran, dan tidak menuruti hawa nafsu dan tidak merusak. Sabar dan
pemaaf adalah sifat orang yang beriman dan berbuat kebajikan. Apabila
seseorang marah hendaklah ia berlindung kepada Allah dari godaan setan
yang terkutuk, dan melakukan apa yang disebutkan di atas tentang obat
meredam amarah. MARAJI’: Al-Qur`ân dan terjemahnya. Al-Mu’jamul
Ausath lith-Thabrani. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr.
Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha. As-Sunanul Kubra lin-Nasâ`i.
Bahjatun-Nâzhirîn Syarh Riyâdhish-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-
Hilali. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqiq:
Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâ Kutubus Sab’ah. Mushannaf Ibni Abi
Syaibah. Mustadrak al-Hakim. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-
Nawawiyyah, karya Nazhim Muhammad Sulthan. Shahiih al-Jâmi’ish
Shaghîr. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala Shahîh Ibni
Hibban. Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
Sunan ad-Darimi. Sunan al-Baihaqi. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin. [Disalin dari majalah As-
Sunnah Edisi 06/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo
Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran
085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______ Footnote [1] Fat-hul Bâri, X/520. [2] Lihat juga QS. Thâhaa ayat
81 dan Qs. al-Mumtahanah ayat 13. [3] HR al-Bukhâri (no. 3162, 4435),
Muslim (no. 194), at-Tirmidzi (no. 2434), Ahmad (II/435), Ibnu Hibban (no.
6431 –at-Ta’lîqâtul Hisân), Ibnu Abi Syaibah (no. 32207), dan an-Nasâ`i
dalam As-Sunanul-Kubra (no. 11222). [4] Lihat Qs. al-A’râf/7 ayat 150. [5]
Lihat Qs. al-Anbiyâ` ayat 87. [6] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3282, 6048,
6115), Muslim (no. 2610). Penafsiran ucapan “Aku bukan orang gila”
silakan lihat Fat-hul Bâri (X/467). [7] Shahîh. HR Ahmad (V/152), Abu
Dawud (no. 4782), dan Ibnu Hibban (no. 5688) dari Sahabat Abu Dzarr
Radhiyallahu anhu. [8] Shahîh. HR Ahmad (I/239, 283, 365), al-Bukhâri
dalam al-Adabul Mufrad (no. 245, 1320), al-Bazzar (no. 152- Kasyful Astâr)
dari Sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma. Hadits ini dishahîhkan
oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish-Shaghîr (no. 693) dan
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 1375). [9] Shahîh. HR al-Bukhâri (no.
6114) dan Muslim (no. 2609) dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu. [10] Lihat Fat-hul-Bâri (X/518). [11] Hasan. HR Ahmad (III/440), Abu
Dawud (no. 4777), at-Tirmidzi (no. 2021), dan Ibnu Majah (no. 4286) dari
Sahabat Mu’adz bin Anas al-Juhani Radhiyallahu anhu. Dihasankan oleh
Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 6522). [12] Shahîh.
HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 2374) dari Sahabat Abu
Darda Radhiyallahu anhu. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 7374) dan Shahîh at-Targhîb wat-Tarhîb (no.
2749). [13] Shahîh. HR Muslim (no. 746), Ahmad (VI/54, 91, 111, 188,
216), an-Nasâ`i (III/199-200), Ibnu Majah (no. 2333), dan ad-Darimi (I/345-
346). [14] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6102) dan Muslim (no. 2320). [15]
Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 3150, 4336) dan Muslim (no. 1062). [16]
Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 5954, 6109) dan Muslim (no. 2107 (91)). [17]
Shahîh. HR Muslim (no. 466) dari Abu Mas’ud al-Anshari Radhiyallahu
anhu. [18] Shahîh. HR Mâlik dalam al-Muwaththa (I/194), al-Bukhâri (no.
406, 753, 1213, 6111), Muslim (no. 547), Abu Dawud (no. 479), dan an-
Nasâ`i (II/51) dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Diriwayatkan pula
oleh al-Bukhâri (no. 405, 413) dan Muslim (no. 551) dari Anas bin Mâlik
Radhiyallahu anhu. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhâri (no. 408, 409) dan
Muslim (no. 548) dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [19]
Shahîh. HR Ahmad (IV/264), an-Nasâ`i (III/54-55), dan Ibnu Hibban (no.
1968 –at-Ta’lîqâtul Hisân) dari Ammar bin Yasir Radhiyallahu anhuma [20]
Shahîh. HR. Muslim (no. 3009). [21] Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6361),
Muslim (no. 2601), dan Ibnu Hibban (no. 6481-6482 –at-Ta’lîqâtul Hisân)
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu. [22] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam
(I/375). [23] Shahîh. HR. Abu Dawud (no. 2197) dan ad-Daraquthni (IV/13-
14, no. 3862). [24] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam, I/377. [25] Ada riwayat
tentang hal ini tetapi riwayatnya dha’if.

Anda mungkin juga menyukai