Anda di halaman 1dari 11

Adapun ciri-ciri mampu mengendalikan diri dan syahwat ialah :

1. Mampu mengendalikan marah dan hawa nafsu.


2. Tidak memakan harta orang lain degan cara yang tidak halal.
3. Tidak merampas kehormatan orang lain.
4. Tidak menumpahkan darah orang lain kecuali dengan jalan yang
dibenarkan.
5. Tidak menzalimi orang lain.
6. Tidak dengki/hasad pada orang lain.
7. Lidah dan tangannya tidak menyakiti orang lain.
8. Menghindari gaya hidup berlebihan/berfoya-foya kendati
ekonominya sangat mapan (hidup sederhana dan berhemat).
9. Menghindarkan diri dari yang haram (terlarang) dan syubhat
(yang belum jelas halal atau haramnya).
Sedangkan ciri-ciri memiliki tanggung jawab sosial adalah :
1. Berinfak dalam keadaan lapang dan sempit, terang-terangan
ataupun sembunyi-sembunyi.
2. Menginfakkan harta yang dicintai.
3. Mencintai orang lain (sesama Mukmin) sebagaimana
mencintai diri sendiri.
4. Sedih ketika orang lain mendapatkan kesulitan dan
bahagia ketika orang lain mendapatkan kesenangan.

ْ‫ع‬
‫ن‬ َ ‫ث‬ ِْ ‫ار‬ِ ‫ن ال َح‬ ِْ ‫س َويدْ ب‬
ُ ْ‫عب ِْد َعن‬ َِْ ‫ل‬
َ ‫ّللا‬ َْ ‫ل قَا‬
َْ ‫ل قَا‬
ُْ ‫سو‬ َْ ‫صلَى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَ َْم‬
َْ ‫علَي ِْه‬ َ ‫َو‬
‫ع ْةَ تَعُدُّونَْ َما‬ ُّ ‫ل الَذِي قَالُوا فِي ُكمْ ال‬
َ ‫ص َر‬ َْ

‫ رواه ابو داود‬.‫ب‬ َ َ‫سهُ ِّع ْندَ ْالغ‬


ِّ ‫ض‬ َ ‫الر َجا ُل قَا َل ََل َولَ ِّكنَّهُ الَّذِّي َي ْم ِّلكُ نَ ْف‬
ِّ ُ‫عه‬
ُ ‫ص َر‬
ْ َ‫ي‬
Dari Abdullah bin Mas'ud (w. 32 H) berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Menurut kalian, siapa yang kalian anggap paling kuat?"
para sahabat menjawab, " orang yang tidak terkalahkan dalam adu gulat."
Beliau bersabda: "Bukan itu, orang yang kuat adalah orang yang mampu
menahan dirinya saat marah."
Hadis ini mengandung ajakan menahan dan mengontrol emosi disaat marah.
Orang yang kuat adalah orang yang bisa mengalahkan hawa nafsunya
sendiri, karena terkadang orang tersebut mampu mengalahkan orang lain,
namun terhadap dirinya sendiri betapa banyak orang yang tidak sanggup
menahan hawa nafsunya. Orang yang sebenarnya mampu melampiaskan
kemarahan, namun ia bersabar dan menahan dirinya dari kemarahan dalam
rangka mendapatkan pahala dari Allah, Maka Allah Subhanaahu wa Ta’aalaa
akan memberikan surga bagi siapa saja yang mampu menahan hawa
nafsunya, sebagaimana Firman-Nya:
‫ِّي ْال َمأ ْ َوى‬
َ ‫ع ِّن ْال َه َوى () فَإ ِّ َّن ْال َجنَّةَ ه‬ َ ‫ام َربِّ ِّه َونَ َهى النَّ ْف‬
َ ‫س‬ َ ‫َوأ َ َّما َم ْن خ‬
َ َ‫َاف َمق‬
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah
tempat tinggal(nya)” (QS. An Naazi’aat : 40-41).
Oleh karena itu menahan amarah adalah suatu perbuatan terpuji yang
menunjukkan pribadi yang dicontohkan oleh Rasullah Saw. dan akan
mendapatkan ganjaran pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt.[]

Salah satu senjata setan untuk membinasakan manusia adalah marah. Dengan cara ini,
setan bisa dengan sangat mudah mengendalikan manusia. Karena marah, orang bisa
dengan mudah mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, ngomong jorok,
mencaci habis, bahkan sampai kalimat carai yang membubarkan rumah tangganya.

Karena marah pula, manusia bisa merusak semua yang ada di sekitarnya. Dia bisa
banting piring, lempar gelas, pukul kanan-pukul kiri, bahkan sampai tindak
pembunuhan. Di saat itulah, misi setan untuk merusak menusia tercapai.

Tentu saja, permsalahannya tidak selesai sampai di sini. Masih ada yang namanya balas
dendam dari pihak yang dimarahi. Anda bisa bayangkan, betapa banyak kerusakan
yang ditimbulkan karena marah.

Menyadari hal ini, islam sangat menekankan kepada umat manusia untuk berhati-hati
ketika emosi. Banyak motivasi yang diberikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar manusia tidak mudah terpancing emosi. Diantaranya, beliau menjanjikan
sabdanya yang sangat ringkas,

‫َل تغضب ولك الجنة‬

“Jangan marah, bagimu surga.” (HR. Thabrani dan dinyatakan shahih dalam kitab
shahih At-Targhib no. 2749)

Allahu akbar, jaminan yang luar biasa. Surga..dihiasi dengan berbagai kenikmatan,
bagi mereka yang mampu menahan amarah. Semoga ini bisa memotivasi kita untuk
tidak mudah terpancing emosi.
Dapatkan Buku 22 Kiat Mengatasi Stres, Syaikh M. Shalih Al-Munajjid,
Harga Rp.16.000
Lebih lanjut KLIK GAMBAR

Bagaimana Cara Mengendalikan Diri Ketika Sedang


Emosi?
Agar kita tidak terjerumus ke dalam dosa yang lebih besar, ada beberapa cara
mengendalikan emosi yang diajarkan dalam Al-Quran dan Sunah. Semoga bisa menjadi
obat mujarab bagi kita ketika sedang marah.

Pertama, segera memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan, dengan
membaca ta’awudz:

‫جيم‬
ِّ ‫الر‬
َّ ‫ْطان‬
ِّ ‫شي‬َّ ‫أعوذ ُ باهلل ِّمنَ ال‬

A-‘UDZU BILLAHI MINAS SYAITHANIR RAJIIM

Karena sumber marah adalah setan, sehingga godaannya bisa diredam dengan
memohon perlindungan kepada Allah.

Dari sahabat Sulaiman bin Surd radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

Suatu hari saya duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu ada dua
orang yang saling memaki. Salah satunya telah merah wajahnya dan urat lehernya
memuncak. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ ذهب َع ْنهُ ما َيجد‬،‫جيم‬


ِّ ‫الر‬
َّ ‫ْطان‬
ِّ ‫شي‬َّ ‫ أعوذ ُ باهلل ِّمنَ ال‬:َ‫ لَ ْو قال‬،ُ ‫لذهب عنهُ ما يجد‬
َ ‫ِّإني ألعل ُم َك ِّل َمةً لَ ْو قالَ َها‬
Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini, marahnya akan
hilang. Jika dia membaca ta’awudz: A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim, marahnya
akan hilang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila


seseorang marah, kemudian membaca: A-‘udzu billah (saya berlindung kepada Allah)
maka marahnya akan reda.” (Hadis shahih – silsilah As-Shahihah, no. 1376)

Kedua, DIAM dan jaga lisan

Bawaan orang marah adalah berbicara tanpa aturan. Sehingga bisa jadi dia bicara
sesuatu yang mengundang murka Allah. Karena itulah, diam merupakan cara mujarab
untuk menghindari timbulnya dosa yang lebih besar.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ْ ‫ب أَ َحدُ ُك ْم فَ ْليَ ْس ُك‬


‫ت‬ ِّ ‫ِّإذَا غ‬
َ ‫َض‬

“Jika kalian marah, diamlah.” (HR. Ahmad dan Syuaib Al-Arnauth menilai Hasan
lighairih).

Ucapan kekafiran, celaan berlebihan, mengumpat takdir, dst., bisa saja dicatat oleh
Allah sebagai tabungan dosa bagi ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingatkan,

ِّ ‫ار أ َ ْب َعدَ ِّم َّما َبيْنَ ال َم ْش ِّر‬


‫ق‬ ِّ َّ‫ َي ِّز ُّل ِّب َها فِّي الن‬،‫ َما َيتَ َبيَّنُ فِّي َها‬،‫ِّإ َّن ال َع ْبدَ لَ َيت َ َكلَّ ُم ِّبال َك ِّل َم ِّة‬

Sesungguhnya ada hamba yang mengucapkan satu kalimat, yang dia tidak terlalu
memikirkan dampaknya, namun menggelincirkannya ke neraka yang dalamnya sejauh
timur dan barat. (HR. Bukhari dan Muslim)

Di saat kesadaran kita berkurang, di saat nurani kita tertutup nafsu, jaga lisan baik-
baik, jangan sampai lidah tak bertulang ini, menjerumuskan anda ke dasar neraka.

Ketiga, mengambil posisi lebih rendah

Kecenderungan orang marah adalah ingin selalu lebih tinggi.. dan lebih tinggi. Semakin
dituruti, dia semakin ingin lebih tinggi. Dengan posisi lebih tinggi, dia bisa
melampiaskan amarahnya sepuasnya.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan saran sebaliknya.


Agar marah ini diredam dengan mengambil posisi yang lebih rendah dan lebih rendah.
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menasehatkan,
‫ط ِّج ْع‬ ْ َ‫ضبُ َو ِّإ ََّل فَ ْلي‬
َ ‫ض‬ َ َ‫َب َع ْنهُ ْالغ‬ ْ ‫ب أ َ َحد ُ ُك ْم َوه َُو قَائِّ ٌم فَ ْليَجْ ِّل‬
َ ‫ فَإ ِّ ْن ذَه‬،‫س‬ ِّ ‫ِّإذَا غ‬
َ ‫َض‬

Apabila kalian marah, dan dia dalam posisi berdiri, hendaknya dia duduk. Karena
dengan itu marahnya bisa hilang. Jika belum juga hilang, hendak dia mengambil posisi
tidur. (HR. Ahmad 21348, Abu Daud 4782 dan perawinya dinilai shahih oleh Syuaib Al-
Arnauth).

Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadis ini, melindungi dirinya
ketika marah dengan mengubah posisi lebih rendah. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dalam Musnadnya, dari Abul Aswad Ad-Duali, beliau menceritakan kejadian yang
dialami Abu Dzar,

“Suatu hari Abu Dzar mengisi ember beliau. Tiba-tiba datang beberapa orang yang ingin
mengerjai Abu Dzar. ‘Siapa diantara kalian yang berani mendatangi Abu Dzar dan
mengambil beberapa helai rambutnya?’ tanya salah seorang diantara mereka. “Saya.”
Jawab kawannya.

Majulah orang ini, mendekati Abu Dzar yang ketika itu berada di dekat embernya, dan
menjitak kepala Abu Dzar untuk mendapatkan rambutnya. Ketika itu Abu Dzar sedang
berdiri. Beliaupun langsung duduk kemudian tidur.

Melihat itu, orang banyak keheranan. ‘Wahai Abu Dzar, mengapa kamu duduk,
kemudian tidur?’ tanya mereka keheranan.

Abu Dzar kemudian menyampaikan hadis di atas. Subhanallah.., demikianlah semangat


sahabat dalam mempraktekkan ajaran nabi mereka.

Mengapa duduk dan tidur?

Al-Khithabi menjelaskan,

‫ فيشبه أن يكون‬،‫ والمضطجع ممنوع منهما‬،‫ والقاعد دونه في هذا المعنى‬،‫القائم متهيئ للحركة والبطش‬

ُ‫سلَّ َم إنما أمره بالقعود لئال تبدر منه في حال قيامه وقعوده بادرة يندم عليها فيما بعد‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِّه َو‬
َ ‫النبي‬

Orang yang berdiri, mudah untuk bergerak dan memukul, orang yang duduk, lebih sulit
untuk bergerak dan memukul, sementara orang yang tidur, tidak mungkin akan
memukul. Seperti ini apa yang disampaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perintah
beliau untuk duduk, agar orang yang sedang dalam posisi berdiri atau duduk tidak
segera melakukan tindakan pelampiasan marahnya, yang bisa jadi menyebabkan dia
menyesali perbuatannya setelah itu. (Ma’alim As-Sunan, 4/108)

Keempat, Ingatlah hadis ini ketika marah

Dari Muadz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ق يَ ْو َم القيام ِّة حت َّى‬ ٌ ‫ظ َم َغيْظا ً َوه َُو‬
ْ ‫قادر على‬
َّ ُ‫أن يُنفذهُ دعاه‬
ِّ ِّ‫َّللاُ سبحانهُ وتعالى على رءوس الخَالئ‬ َ ‫َم ْن َك‬

‫الحور العين ما شا َء‬


ِّ َ‫يُخيرهُ ِّمن‬

“Siapa yang berusaha menahan amarahnya, padahal dia mampu meluapkannya, maka
dia akan Allah panggil di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, sampai Allah
menyuruhnya untuk memilih bidadari yang dia kehendaki. (HR. Abu Daud, Turmudzi,
dan dihasankan Al-Albani)

Subhanallah.., siapa yang tidak bangga ketika dia dipanggil oleh Allah di hadapan
semua makhluk pada hari kiamat, untuk menerima balasan yang besar? Semua
manusia dan jin menyaksikan orang ini, maju di hadapan mereka untuk menerima
pahala yang besar dari Allah ta’ala. Tahukah anda, pahala ini Allah berikan kepada
orang yang hanya sebatas menahan emosi dan tidak melampiaskan marahnya. Bisa kita
bayangkan, betapa besar pahalanya, ketika yang dia lakukan tidak hanya menahan
emosi, tapi juga memaafkan kesalahan orang tersebut dan bahwa membalasnya dengan
kebaikan.

Mula Ali Qori mengatakan,

َ‫ض َّم ْالعَ ْف ُو إِّلَ ْي ِّه أَ ْو زَ اد‬ َ ‫َظ ِّم ْالغَي ِّْظ فَ َكي‬
َ ‫ْف إِّذَا ا ْن‬ ْ ‫ب َعلَى ُم َج َّر ِّد ك‬
َ َّ ‫َو َهذَا الثَّنَا ُء ْال َج ِّمي ُل َو ْال َجزَ ا ُء ْال َج ِّزي ُل إِّذَا ت ََرت‬

‫ان َعلَ ْي ِّه‬


ِّ ‫س‬ ِّ ْ ِّ‫ب‬
َ ْ‫اْلح‬

Pujian yang indah dan balasan yang besar ini diberikan karena sebatas menahan emosi.
Bagaimana lagi jika ditambahkan dengan sikap memaafkan atau bahkan membalasnya
dengan kebaikan. (Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 6/140).

Satu lagi, yang bisa anda ingat ketika marah, agar bisa meredakan emosi anda:

Hadis dari Ibnu Umar,

‫من كف غضبه ستر هللا عورته ومن كظم غيظه ولو شاء أن يمضيه أمضاه مأل هللا قلبه يوم القيامة‬

‫رضا‬

Siapa yang menahan emosinya maka Allah akan tutupi kekurangannya. Siapa yang
menahan marah, padahal jika dia mau, dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan
penuhi hatinya dengan keridhaan pada hari kiamat. (Diriwayatkan Ibnu Abi Dunya
dalam Qadha Al-Hawaij, dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

Ya, tapi yang sulit bukan hanya itu. Ada satu keadaan yang jauh lebih sulit untuk
disuasanakan sebelum itu, yaitu mengkondisikan diri kita ketika marah untuk
mengingat balasan besar dalam hadis di atas. Umumnya orang yang emosi lupa
segalanya. Sehingga kecil peluang untuk bisa mengingat balasan yang Allah berikan
bagi orang yang bisa menahan emosi.

Siapakah kita dibandingkan Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Sekalipun demikian,
beliau terkadang lupa dengan ayat dan anjuran syariat, ketika sudah terbawa emosi.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang
minta izin kepada Khalifah Umar untuk bicara. Umarpun mengizinkannya. Ternyata
orang ini membabi buta dan mengkritik habis sang Khalifah.

‘Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu tidak memberikan pemberian yang banyak
kepada kami, dan tidak bersikap adil kepada kami.”

Mendengar ini, Umarpun marah, dan hendak memukul orang ini. Sampai akhirnya Al-
Hur bin Qais (salah satu teman Umar) mengingatkan,

‘Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah berfirman kepada nabi-Nya shallallahu


‘alaihi wa sallam (yang artinya): ‘Berikanlah maaf, perintahkan yang baik, dan jangan
hiraukan orang bodoh.’ dan orang ini termasuk orang bodoh.’

Demi Allah, Umar tidak jadi melampiaskan emosinya ketika mendengar ayat ini
dibacakan. Dan dia adalah manusia yang paling tunduk terhadap kitab Allah. (HR.
Bukhari 4642).

Yang penting, anda jangan berputus asa, karena semua bisa dilatih. Belajarlah untuk
mengingat peringatan Allah, dan ikuti serta laksanakan. Bisa juga anda minta bantuan
orang di sekitar anda, suami, istri, anak anda, pegawai, dan orang di sekitar anda, agar
mereka segera mengingatkan anda dengan janji-janji di atas, ketika anda sedang
marah.

Pada kasus sebaliknya, ada orang yang marah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Beliaupun meminta salah satu sahabat untuk mengingatkannya, agar membaca
ta’awudz, A-‘udzu billahi minas syaithanir rajim..

‫ اذْهَب‬،‫ون أَنَا‬ ٌ ْ ‫ أَت ُ َرى بِّي بَأ‬:َ‫ان» فَقَال‬


ٌ ُ‫ أ َ َمجْ ن‬،‫س‬ َ ‫ش ْي‬
ِّ ‫ط‬ َّ ِّ‫ له أحد الصحابة «تَعَ َّوذْ ب‬:َ‫َوقَال‬
َّ ‫اَّللِّ ِّمنَ ال‬

“Salah satu temannya mengingatkan orang yang sedang marah ini: ‘Mintalah
perlindungan kepada Allah dari godaan setan!’ Dia malah berkomentar: ‘Apakah kalian
sangka saya sedang sakit? Apa saya sudah gila? Pergi sana!’ (HR. Bukhari 6048).

Kelima, Segera berwudhu atau mandi

Marah dari setan dan setan terbuat dari api. Padamkan dengan air yang dingin.

Terdapat hadis dari Urwah As-Sa’di radhiyallahu ‘anhu, yang mengatakan,

ْ ‫ب أَ َحدُ ُك ْم فَ ْليَت ََوضَّأ‬ ِّ ‫اء فَإِّذَا غ‬


َ ‫َض‬ ُ َّ‫طفَأ ُ الن‬
ِّ ‫ار بِّ ْال َم‬ ْ ُ ‫ار َوإِّنَّ َما ت‬ َ ‫ش ْي‬
ِّ َّ‫طانَ ُخلِّقَ ِّم ْن الن‬ َّ ‫ان َوإِّ َّن ال‬ َ ‫ش ْي‬
ِّ ‫ط‬ َّ ‫ب ِّم ْن ال‬ َ َ‫إِّ َّن ْالغ‬
َ ‫ض‬
Sesungguhnya marah itu dari setan, dan setan diciptakan dari api, dan api bisa
dipadamkan dengan air. Apabila kalian marah, hendaknya dia berwudhu. (HR. Ahmad
17985 dan Abu Daud 4784)

Dalam riwayat lain, dari Abu Muslim Al-Khoulani, beliau menceritakan,

Bahwa Amirul Mukminin Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah di hadapan


masyarakat. Dan ketika itu, gaji pegawai belum diserahkan selama dua atau tiga bulan.
Abu Muslim-pun berkata kepada beliau,

‘Hai Muawiyah, sesungguhnya harta itu bukan milikmu, bukan milik bapakmu, bukan
pula milik ibumu.’

Mendengar ini, Muawiyah meminta hadirin untuk diam di tempat. Beliau turun dari
mimbar, pulang dan mandi, kemudian kembali dan melanjutkan khutbahnya,

‘Wahai manusia, sesungguhnya Abu Muslim menyebutkan bahwa harta ini bukanlah
milikku, bukan milik bapakku, bukan pula milik ibuku. Dan Abu Muslim benar. kemudian
beliau menyebutkan hadis,

‫ فإذا غضب أحدكم فليغتسل‬، ‫ والماء يطفئ النار‬، ‫ والشيطان من النار‬، ‫الغضب من الشيطان‬

Marah itu dari setan, setan dari api, dan air bisa memadamkan api. Apabila kalian
marah, mandilah.

Lalu Muawiyah memerintahkan untuk menyerahkan gaji mereka.

(HR. Abu Nuaim dalam Hilyah 2/130, dan Ibnu Asakir 16/365).

Dua hadis ini dinilai lemah oleh para ulama. Hadis pertama dinilai lemah oleh An-
Nawawi sebagaimana keterangan beliau dalam Al-Khulashah (1/122). Syuaib Al-Arnauth
dalam ta’liq Musnad Ahmad menyebutkan sanadnya lemah. Demikian pula Al-Albani
menilai sanadnya lemah dalam Silsilah Ad-Dhaifah no. 581.

Hadis kedua juga statusnya tidak jauh beda. Ulama pakar hadis menilainya lemah.
Karena ada perowi yang bernama Abdul Majid bin Abdul Aziz, yang disebut Ibnu Hibban
sebagai perawi Matruk (ditinggalkan).

Ada juga ulama yang belum memastikan kelemahan hadis ini. Diantaranya adalah Ibnul
Mundzir. Beliau mengatakan,

‫ وَل أعلم أحدا من أهل العلم يوجب الوضوء منه‬، ‫إن ثبت هذا الحديث فإنما األمر به ندبا ليسكن الغضب‬

Jika hadis ini shahih, perintah yang ada di dalamnya adalah perintah anjuran untuk
meredam marah dan saya tidak mengetahui ada ulamayang mewajibkan wudhu ketika
marah. (Al-Ausath, 1/189).
Karena itulah, beberapa pakar tetap menganjurkan untuk berwudhu, tanpa diniatkan
sebagai sunah. Terapi ini dilakukan hanya dalam rangka meredam panasnya emosi dan
marah. Dr. Muhammad Najati mengatakan,

‫ كما‬، ‫ فالماء البارد يهدئ من فورة الدم الناشئة عن اَلنفعال‬، ‫يشير هذا الحديث إلى حقيقة طبية معروفة‬

‫ ولذلك كان اَلستحمام يستخدم في الماضي في‬، ‫يساعد على تخفيف حالة التوتر العضلي والعصبي‬

‫العالج النفسي‬

Hadis ini mengisyaratkan rahasia dalam ilmu kedokteran. Air yang dingin, bisa
menurunkan darah bergejolak yang muncul ketika emosi. Sebagaimana ini bisa
digunakan untuk menurunkan tensi darah tinggi. Karena itulah, di masa silam, terapi
mandi digunakan untuk terapi psikologi.

(Hadis Nabawi wa Ilmu An-Nafs, hlm. 122. dinukil dari Fatwa islam, no. 133861)

‫ب‬ َ َ‫ضا َوالغ‬


ِّ ‫ض‬ َ ‫الر‬ ِّ ‫اَللَّ ُه َّم نَ ْسأَلُكَ َك ِّل َمةَ ال َح‬
ِّ ‫ق فِّي‬

Ya Allah, kami memohon kepada-Mu kalimat haq ketika ridha (sedang) dan marah

[Doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalatnya – shahih Jami’ As-Shaghir
no. 3039]

RASULULLAH Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah karena beberapa hal. Namun dapat
dipastikan, semuanya bermuara pada satu sebab; sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan
agama, bukan kepentingan pribadi.
Marah atau gembiranya Nabi dapat dibedakan dari rona wajahnya, karena kulitnya sangat bersih.
Bila marah, pelipisnya memerah. Bila marah dan saat itu sedang berdiri, ia duduk. Bila marah dalam
keadaan duduk, ia berbaring. Seketika, hilanglah amarahnya.
Bila Nabi sedang marah, tak ada seorang pun yang berani berbicara padanya, selain Ali bin Abi
Thalib. Lepas dari itu, ia sulit sekali marah, dan sebaliknya, mudah sekali memaafkan. Kesaksian ini
dikutip secara valid oleh Yusuf an-Nabhani dalam “Wasail al-Wushul ila Syamail al-Rasul”.
Bagaimana Nabi marah, padahal ia sendiri melarang umatnya untuk marah?
Dalam riwayat Abu Hurairah misalnya, Nabi mengatakan, “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam
bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR. Malik).
Dalam riwayat Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik orang adalah yang tidak
mudah marah dan cepat meridlai, sedangkan seburuk-buruk orang adalah yang cepat marah dan
lambat meridlai.” (HR. Ahmad).
Jawabannya, kemarahan Nabi itu memang disebabkan oleh beberapa hal. Namun dapat dipastikan,
kesemuanya bermuara pada satu sebab, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan
agama, bukan kepentingan pribadinya. Nabi perlu marah untuk memberikan penekanan bahwa hal
tertentu tak boleh dilakukan umatnya. Sebagai guru seluruh manusia dan pemberi petunjuk ke jalan
yang lurus, Nabi perlu marah agar mereka menjauhi segala perbuatan yang tidak elok.
Oleh karena itu, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassallam marah saat mendengar
laporan bahwa dalam medan peperangan, Usamah bin Zaid membunuh orang yang sudah
mengatakan la Ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah).
Sedang Usamah membunuhnya karena menyangka orang itu melafalkan kalam tauhid hanya untuk
menyelamatkan diri. Nabi menyalahkan Usamah dan berkali-kali mengatakan, “Apakah engkau
membunuhnya setelah dia mengatakan la Ilaha illallah?” (HR. al-Bukhari)
Raut wajah Nabi berubah karena marah, ketika sahabat merayu agar ia tak memotong tangan
seorang wanita yang mencuri. Alasan mereka, ia adalah wanita terpandang dari klan Bani Makhzum,
salah satu suku besar Quraisy. Nabi tegaskan, “Apakah layak aku memberikan pertolongan terhadap
tindakan yang melanggar aturan Allah?” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Di lain waktu, Nabi melihat seorang lelaki memakai cincin emas. Melihat pelanggaran agama itu,
Rasulullah marah. Ia lantas mencabut cincin lelaki itu dan melemparkannya ke tanah. “Salah
seorang di antara kalian dengan sengaja menceburkan diri ke jilatan api dengan menggunakannya
(cincin emas, penj) di tangannya,” sabda Nabi (HR. Muslim)
Pada kejadian lain, di pasar Madinah, terjadi perselisihan antara seorang sahabat Nabi dengan
pedagang Yahudi. Perselisihan itu sampai membuat si Yahudi bersumpah, “Demi Dzat yang telah
memilih Musa di antara manusia lainnya.” Ungkapan sumpah ini membuat sahabat Nabi Muhammad
itu marah. Ia menampar si Yahudi. “Kamu mengatakan ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa di
antara manusia lainnya’, sedang ada Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi Wassallam di tengah-tengah
kita?” ujarnya.
Orang Yahudi tersebut tak terima dengan perlakuan sahabat Nabi. Ia pun bergegas datang menemui
Nabi Muhammad untuk melaporkan kejadian itu. Mendengar aduan itu, Nabi Muhammad marah dan
mengatakan, “Janganlah kalian saling mengunggulkan nabi yang satu dengan lainnya.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Tidak hanya saat perintah Allah dilanggar, Nabi juga marah bila umatnya tak segera melakukan
kebaikan atau menangguhkan sesuatu yang seharusnya diutamakan. Hal itu sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Jarir bin Abdullah yang mengisahkan, “Rasulullah Shallahu
‘alaihi Wassallam berkhutbah dan mendorong kami untuk bershadaqah. Namun orang-orang lamban
sekali dalam melaksanakan dorongan itu, hingga terlihat raut kemarahan di wajah Nabi.”
Bila harus marah kepada seseorang, Nabi tak langsung menegurnya di depan umum. Nabi tak ingin
menjatuhkan harga diri orang yang bersalah itu. Oleh karenanya, ketika ia melihat seseorang
mengarahkan padangannya ke atas dalam shalat–dan hal itu dilarang, Nabi menegur perbuatan itu
dengan bahasa yang umum. Nabi tidak menyebutkan nama orang yang melakukan hal itu, untuk
menjaga perasaannya. Namun Nabi berkhutbah di depan para sahabat, kemudian menyampaikan,
“Apa yang menyebabkan segolongan orang mengangkat pandangannya ke langit dalam
shalatnya?” (HR. Bukhari)
Pertanyaan Nabi ini dalam retorika Arab disebut dengan istifham inkari, (bentuk pertanyaan untuk
mengungkapkan pengingkaran terhadap sesuatu). Dalam teguran ini, Nabi tak menyebut nama
orang yang berbuat salah di depan umum.
Saat marah, Nabi juga tak ‘bermain tangan’ atau menyakiti fisik. Dalam kesaksian sang istri tercinta
Aisyah, Nabi tak pernah sekalipun memukul wanita atau pembantu. Bahkan, ia tak pernah memukul
apapun, kecuali jika sedang berjihad. (HR. Muslim)
Aisyah menambahkan, Nabi tak pernah membalas dendam pada hal yang ditujukan pada dirinya,
kecuali bila kehormatan Allah yang dilanggar. Benang merah yang dapat kita simpulkan, Rasulullah
itu bergaul dengan akal, bukan hanya dengan sepengetahuan, atau bahkan perasaannya belaka
(baca: Antara Perasaan, Pemahaman, dan Akal)
Senarai riwayat menjelaskan, Rasulullah memang tak pernah marah saat dirinya dilecehkan.
Suatu saat, ia duduk di majelis penuh barakah, dikelilingi para sahabat. Tiba-tiba datang seorang
Arab udik. Ia meminta bantuan kepada Rasul untuk membayar kewajiban denda. Setelah
memberinya sejumlah harta, dengan lembut Rasul bertanya, “Apakah aku sudah berbuat baik
padamu?”
“Tidak, kamu masih belum berbuat baik,” jawab pria itu. “Kamu belum berbuat baik,” tambah dia
sekali lagi, seolah memancing kemarahan Nabi. Mendengar itu, amarah sahabat membuncah.
Namun dengan tenang Nabi memberi isyarat agar mereka menahan diri.
Selanjutnya Nabi mengajak orang itu masuk ke rumahnya yang terletak di samping masjid. Setelah
menambah pemberiannya, Nabi bertanya, “Apakah aku sudah berbuat baik padamu?”
Kini, orang itu menjawab, “Ya, semoga Allah membalasmu, keluarga, dan kerabatmu dengan
kebaikan.”
Nabi kagum dengan ucapan terakhir yang menyimbolkan kerelaan itu. Tapi ia khawatir dalam hati
sahabatnya masih tersisa ganjalan. Tidak menutup kemungkinan ada di antara mereka melihat
orang ini di jalan atau di pasar, dalam kondisi masih menyimpan dendam. Karena itu, ia berpesan,
“Dalam hati sahabatku ada sesuatu karena kejadian tadi. Jadi, jika kamu datang kembali, katakan di
depan mereka ucapan seperti yang kamu katakan padaku barusan. Sehingga sahabatku tak marah
lagi.”
Ya, dalam kejadian itu Nabi tak marah, karena yang disinggung adalah pribadinya, bukan
kepentingan agama. Abu Islam Muhammad bin Ali memiliki sebuah kitab berjudul “Arba’una
Mauqifan Ghadhaba fiha al-Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam”. Kitab ini menghimpun 40 riwayat
valid tentang kejadian-kejadian marahnya Nabi. Dapat dipastikan, semuanya karena kepentingan
agama, bukan karena interest pribadi sang Nabi!
Bagaimana dengan kita?
Bayangkan, anak kita yang masih kecil minta uang saku lima ribu rupiah. Karena hanya ada pecahan
lima puluh ribu, kita berikan semuanya, namun dengan pesan, “Nanti, kembalikan yang 45 ribu.”
Ternyata, dia kembali ke rumah di siang hari dan uang itu sudah ia habiskan semua! Terbayangkah
seperti apa kemarahan kita?
Sebaliknya, pulang dari masjid setelah shalat Ashar, kita dapati anak kita malah asyik bermain game,
tidak shalat di masjid, tidak bersiap-siap pergi mengaji. Apakah kita akan marah seperti kemarahan
pertama?
Seorang suami terkadang marah pada istrinya bila tak dibuatkan kopi di pagi hari, atau menu
makanan yang dihidangkan tidak sesuai seleranya. Tapi, dia mendiamkan saja istrinya yang keluar
rumah tak menutup aurat.
Tidak seperti Nabi, kita justru sering marah pada hal-hal yang bukan karena kepentingan agama.
Antara Perasaan, Pengetahuan, dan Akal
Melihat cahaya dengan mata, mendengar suara dengan telinga, mencium bau dengan hidung,
merasakan panas atau dingin di kulit, adalah peran perasaan. Tapi, mengapa seorang anak kecil
misalnya, mendekat dan menyentuh api yang menyala?
Karena baginya, api itu adalah sesuatu yang bersinar sehingga memantik perhatiannya. Seandainya
dia sudah besar dan mengetahui apa itu api, ia tak akan melakukan tindakan tersebut. Oleh karena
itu, anak kecil itu dapat melihat api dengan matanya, dapat menyentuh dengan tangannya, tapi ia
belum memiliki pengetahuan (knowledge) tentang hakikat api itu.
Pengetahuan itu berdasarkan pemikiran. Seseorang mungkin pernah membaca artikel tentang
bahaya merokok dan ia tahu, namun dia masih tetap merokok. Karena itu, pengetahuan belum tentu
memunculkan sikap untuk menjauhi sesuatu. Namun dalam kasus tertentu, pengetahuan terkadang
mencapai derajat akal, sehingga memunculkan suatu sikap (attitude).
Jadi, ada perbedaan tipis antara pengetahuan dan akal. Bila ada sesuatu yang membahayakan
kemudian kita menjauhinya, berarti kita sudah menentukan sikap. Karena terkadang kita tahu, tapi
kita tak mengambil sikap apapun.
Kesimpulannya, dengan perasaan kita dapat merasakan, dengan pemikiran kita dapat mengetahui,
sedang dengan akal atau hati kita dapat menentukan sikap.
Saat marah, di sinilah letak perbedaan sikap Nabi dan sebagian manusia. Dalam situasi emosi pun,
Nabi tetap dalam kesadaran penuh dan menggunakan akal dengan sempurna, tidak hanya dengan
perasaan. Dengan akal, meski dalam kondisi marah, ia dapat mengambil sikap untuk melakukan
sesuatu yang positif. [baca: Tips Ala Rasulullah Meredam Amarah]
Intinya, Nabi tahu dan mampu mengendalikan emosi, kemudian mau melakukan sesuatu yang dia
tahu dan mampu melaksanakannya. Itulah idealnya: tahu, mampu, dan mau. Sedangkan sebagian
kita, sudah tahu bagaimana meredam kemarahan dan pasti tahu efek negatif marah dan emosi yang
tak terkendali. Kita pun sebenarnya mampu meredam dan mengendalikannya. Namun, terkadang
kita tak mau melakukannya. Itu artinya, kita tahu dan mampu, tapi kita tak mau.
Dengan kalam lain, berarti kita baru menggunakan perasaan dan pemahaman, tapi belum
mengoptimalkan hati untuk menentukan sikap. Padahal manusia belum dianggap berakal, sampai
dapat menerjemahkan hasil pemikirannya pada perilaku dan sikap. (lihat QS. Al-Anfal ayat 72 dan
Al-Qashash: 50).*

Read more https://konsultasisyariah.com/18243-cara-mengendalikan-emosi-dalam-


islam.html

Anda mungkin juga menyukai