Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid


Demam tifoid atau Typhoid fever merupakan suatu penyakit infeksi akut
yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi (Alba, 2016). Bakteri ini
mendapat akses ke aliran darah secara limfatik melalui saluran. Penyakit ini
umumnya terjadi pada daerah tropis di Asia Selatan dan Tenggara (Crump,
Karlsson, Gordon, & Parrye, 2015). Demam tifoid termasuk penyakit endemik
di Indonesia yang mudah menular sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari
pemerintah. Penyakit demam tifoid terjadi pada negara dengan tingkat
penghasilan yang rendah serta menengah dan menjadi penyebab utama morbiditas
dan mortalitas. Penyakit ini mempunyai gejala dengan spektrum klinis sangat luas
sehingga angka pasti kejadiannya sulit ditentukan. Kasus demam tifoid secara
global diperkirakan setiap tahunnya mencapai 21 juta kasus dimana terjadi
kematian sebanyak 222.000 orang (World Health Organization, 2016).

2.2 Epidemiologi Demam Tifoid


Demam tifoid sering terjadi di beberapa negara di dunia dan umumnya
pada negara dengan tingkat kesehatan yang rendah. Kejadian demam tifoid
pada negara maju kurang dari 15 kasus per 100.000 poulasi sedangkan di
negara berkembang diperkirakan tingkat kejadiannya lebih besar yaitu 100
hingga 1.000 kasus per 100.000 populasi (Ahmad, Banu, Kanodia, Bora, &
Ranhotra, 2016). WHO memperkirakan angka kejadian demam tifoid di
seluruh dunia sekitar 17 juta jiwa pertahunnya, dimana angka kematian akibat
demam tifoid itu sendiri mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di Asia.
Demam tifoid merupakan penyakit endemis yang mengancam masyarakat
di Indonesia serta menjadi masalah kompleks dikarenakan meningkatnya
kasus-kasus karier dan resistensi terhadap obat sehingga menyulitkan upaa
pencegahan dan pengobatan. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia 350-
810 per 100.000 penduduk dengan morbiditas yang meningkat setiap tahunnya
sekitar 500 hingga 100.000 penduduk dengan angka kematian 0,6 hingga 5%.
Jumlah penderita demam tifoid di setiap daerah berbeda. Berdasarkan profil

5
6

kesehatan kabupaten sidoarjo pada tahun 2017, demam tifoid menjadi salah
satu dari 15 penyakit terbanyak di Kabupaten Sidoarjo. Jumlah penderita
demam tifoid dan paratifoid mencapai 15.289 (Dinkes Sidoarjo, 2017).
Demam tifoid ditemukan pada masyarakat di Indonesia pada usia balita, anak-
anak dan dewasa (Pratiwi, Azis, & Kusumastuti, 2018)

2.3 Etiologi Demam Tifoid


Salmonella Typhi merupakan bakteri dari subspesies Salmonella enterica
yang menjadi penyebab demam tifoid dengan manifestasi demam yang
berlangsung lama. Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif, berbentuk
batang, tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif aerob serta masuk dalam
keluarga Enterobacteriaceae. Bakteri ini tidak berspora, bergerak dengan
flagella serta memiliki 3 jenis antigen yaitu antigen O, H, dan VI didalam
serum penderita demam tifoid. Seseorang yang serumnya mengalami infeksi
akan mendapatkan perlindungan dari aksi bakterisida karena peran dari
antigen Vi (Paul & Bandyopadhyay, 2017).

Tiga macam antigen Salmonella Typhi yaitu:

1. Antigen O (Antigen Somatik)


Antigen ini terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman, tahan terhadap
panas dan alkohol namun tidak tahan terhadap formaldehid. Antigen ini
mempunyai struktur kima lipopolisakarida atau disebut endotoksin.
2. Antigen H (flagela)
Antigen ini terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman. Struktur
kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak pada
panas dan alhohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi
Antigen ini terletak pada kapsul dari kuman dimana dapat melindungi
kuman dri fagositosis.

Antigen yang dimiliki Salmonella Typhi ini jika didalam tubuh pasien
tifoid akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi lazim yang
disebut aglutinin (Sudoyo, A, W, 2010).
7

Bakteri Salmonella Typhi pada suhu 15ºC-41ºC dapat tumbuh dengan


baik dan suhu optimal bakteri tersebut tumbuh yaitu pada suhu 37ºC.
Dengan proses pasteurisasi, pendidihan serta klorinisasi dengan suhu 60ºC
dalam waktu 15-20 menit akan menyebabkan kematian bakteri (E, Lubis, &
Loesnihari, 2016). Taksonomi dari Salmonella Typhi adalah sebagai
berikut:

Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Ordo : Gamma proteobacteria
Class : Enterobacteriales
Family : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Spesies : Salmonella Typhi (Adelberg, Jawetz, & Melnick, 2017)

Gambar 2. 1 Salmonella Typhi (Marleni M, 2012)

Rute fecal-oral menjadi jalur penularan Salmonella Typhi. Bakteri


tersebut dapat muncul dikarenakan kebiasaan hidup yang kurang bersih,
misalnya konsumsi air tidak bersih dan makanan yang terkontaminasi.
Usia, jenis kelamin, pendidikan, status sosial ekonomi, kebiasaan mencuci
tangan serta kebiasaan membuang jamban merupakan faktor resiko
penyebab demam tifoid (Vollard AM, et al., 2014). Selain itu, bakteri
Salmonella Typhi mampu bertahan hidup berhari-hari didalam air (Paul &
Bandyopadhyay, 2017).
8

2.4 Patogenesis Demam Tifoid


Demam tifoid dapat ditularkan melalui berbagai cara, biasa dikenal dengan
5F yaitu Food (makanan), Finger (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly
(lalat) dan Feses. Penularan bakteri Salmonella Typhi penyebab demam tifoid
dapat melalui feses dan muntahan dari penderita tifoid. Makanan dan
minuman yang terkontaminasi serta lalat yang hinggap di makanan yang akan
kurang diperhatikan maka bakteri tersebut dapat mudah masuk dan
menyebabkan infeksi (Nuruzzaman & Syahrul, 2016).
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella Typhi
yang bentuknya batang, mempunyai flagella, aerob atau anaerob fakultatif.
Bakteri Salmonella Typhi masuk ke dalam usus halus dengan diperantarai
oleh makanan atau minuman yang terkontaminasi. Jumlah kuman yang dapat
menginfeksi tubuh manusia bervariasi yakni antara 1000 hingga 1.000.000
kuman (Kaur, J., & Jain, S. K., 2012). Kuman dapat bertahan terhadap asam
lambung dan kemudian masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada
ileum terminalis dan berkembang biak (Nelwan R.H.H, 2012).
Respon humoral mukosa (IgA) usus yang kurang baik dapat menyebabkan
kuman menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya menuju ke
lamina propia. Kemudian kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat bertahan hidup serta
dapat berkembang biak di dalam makrofag dan kemudian dibawa ke Plak
Peyer ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. Kuman
yang terdapat di dalam makrofag akan masuk ke dalam sirkulasi darah melalui
duktus toraksikus sehingga mengakibatkan bakterimia pertama yang
asimtomatik (Kaur, J., & Jain, S. K., 2012). Biasanya tidak didapatkan gejala
dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang negatif. Periode
inkubasi terjadi selama 7 hingga 14 hari (Nelwan R.H.H, 2012).
Kuman dalam pembuluh darah kemudian akan menyebar ke seluruh tubuh
dan berkolonisasi dalam organ-organ sistem retikuloendotelial yaitu hati,
limpa, serta sumsum tulang. Selain itu, kuman juga melakukan replikasi
didalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan kembali menyebar
ke sistem peredarah darah dan menyebabkan bakterimia yang kedua. Hal ini
9

juga sekaligus menandai berakhirnya masa inkubasi. Bakterimia kedua akan


menimbulkan beberapa manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, serta
nyeri abdomen (Nelwan R.H.H, 2012).

Gambar 2. 2 Patogenesis Demam Tifoid (Monack, D. M., Mueller, A., &


Falkow, S., 2004)

Pada tahap ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang,
kantung empedu, dan Plak Peyer di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada
Plak Peyer dapat terjadi melalui inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan
iskemia. Bakterimia dapat menetap selama beberapa minggu jika tidak diobati
dengan antibiotik. Kekambuhan dapat terjadi jika kuman masih menetap
didalam organ-organ sistem retikuloendotelial dan mempunyai kesempatan
berproliferasi kembali (Nelwan R.H.H, 2012).
Bakteri Salmonella Typhi harus mampu bertahan hidup di lambung
dengan pH rendah untuk menginfeksi usus dimana jumlah bakteri Salmonella
Typhi yang menyebabkan seseorang sakit bervariasi sekitar 103 sampai 106 sel
(Chowdhury, Shumy, Anam, & Chowdhury, 2014). Selain itu, waktu
inkubasinya antara 7 hingga 14 hari tergantung jumlah bakteri, virus serta
respon daya tahan tubuh manusia (Lee K, Runyon M, Herman TJ, Phillips R,
& Hsieh J, 2015).
10

2.5 Manifestasi Klinik Demam Tifoid


Gejala dari demam tifoid beragam. Gejala dari demam tifoid biasanya
berkembang sekitar 1-3 minggu setelah terpapar. Demam, pusing, sakit
kepala, rasa tidak nyaman di perut, mual muntah, diare, batuk merupakan
gejala klinis yang timbul pada minggu pertama. Setelah itu, pada minggu
kedua pasien merasakan demam yang lebih berat dimana akan meningkat pada
sore dan malam hari. Selain itu, muncul gejala seperti rose-spot pada dada
serta hepatosplenomegaly (Dougan G & Baker S, 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ranganatha A.
Devaranavadagi dan Srinivasa S. pada September 2015 hingga Desember
2016, ditemukan gejala tifoid yang mana gejala yang paling umum adalah
demam (100%), diikuti anoreksia (61%), muntah (44%), sakit perut (18%),
diare (16%), sakit kepala (12%), serta batuk (10%) (Devaranavadagi & S,
2017). Selain itu, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Dr Amit Kumar pada
tahun 2019, didapatkan beberapa manifestasi klinis umum dari demam tifoid
yaitu demam, malaise, anoreksia, muntah, sakit kepala, diare, serta
organomegali (meliputi splenomegaly, hepatomegaly dan
hepatosplenomegaly) (Kumar, 2019).

2.5.1 Demam
Tanda karakteristik yang terjadi adalah demam berkepanjangan, ringan
hingga berat. Demam naik secara bertahap pada minggu pertama kemudian
demam menetap atau remiten pada minggu kedua. Demam biasanya terjadi
pada sore atau malam hari. Biasanya demam mencapai 38ºC hingga 40ºC.
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada
semua penderita demam tifoid, dimana muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari
menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia akibat dari
Streptococcus dari Salmonella Typhi (Martha Ardiaria, 2017). Berdasarkan
Clinical guidelines (2019), demam terjadi disertai dengan gejala seperti
gangguan pada saluran perncernaan, diare, menggigil, sakit kepala, rasa sakit
bahkan hepatosplenomegali.
11

2.5.2 Gangguan Saluran Pencernaan


Pasien tifoid juga mengalami manifestasi seperti gangguan pada
pencernaannya. Gangguan yang dirasakan berupa nyeri yang menyebar dan
tertekan, kadang-kadang dirasakan, nyeri kolik pada kuadran kanan atas.
Terjadi infiltrasi monosit pada Peyer’s patch yang menyebabkan radang dan
lumen usus menjadi sempit sehingga terjadilah konstipasi (Upadhyay, et al.,
2015)

2.5.3 Hepatosplenomegali
Salah satu manifestasi klinis yang sering terjadi pada pasien demam tifoid
yaitu hepatosplenomegali dimana hati dan atau limpa mengalami pembesaran.
Hati juga terasa kenyal dan nyeri saat ditekan (Kemenkes, 2006). Gejala klinis
ini terjadi dikarenakan kuman penyebab infeksi masuk ke dalam hepar dimana
akan mengeluarkan endotoksin yang akan merusak hepar sehingga
menyebabkan terjadinya hepatomegali serta mengakibatkan splenomegali yang
disertai dengan peningkatan SGOT atau SGPT.

2.5.4 Penurunan Kesadaran


Pada pasien demam tifoid terkadang terjadi gejala klinis seperti gangguan
atau penurunan kesadaran akut seperti kesadaran berkabut, apatis, delirium,
atau koma dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal (Soedarmo SP, 2012).
Umumnya terjadi penurunan kesadaran ringan. Sering terjadi kesadaran adaptis
dengan kesadaran seperti berkabut. Pasien bisa saja koma atau mengalami
gejala psychosis jika gejala klinis yang dirasakan berat. Gejala delirium lebih
menonjol pada pasien dengan toksik (Kemenkes, 2006).

2.6 Pemeriksaan Laboratorium Pasien Demam Tifoid


Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan karena gejala demam yang
muncul pada demam tifoid tidak jauh berbeda dengan demam lainnya.
Salmonella Typhi dapat dideteksi dengan beberapa pemeriksaan yang
dilakukan secara laboratorium yaitu pemeriksaan darah rutin, kimia klinik,
kultur organisme dan uji serologis seperti uji widal, uji tubex, typhidot dan
dipstick.
12

2.6.1 Pemeriksaan Darah Tepi


Pasien mengalami anemia, terjadi trombositopenia, terjadi peningkatan
dan penurunan jumlah leukosit. Pemeriksaan ini tidak spesifik pada tifoid,
dimana ditemukan adanya anemia normokromik normositer dalam beberapa
minggu setelah sakit. Hal ini disebabkan adanya pengaruh berbagai sitokin
dan mediator yang membuat terjadinya depresi sumsum tulang, perdarahan
usus, penghentian tahap pematangan eritrosit serta kerusakan langsung pada
eritrosit (Sucipta, 2015)

2.6.2 Pemeriksaan Serologis


Pemeriksaan ini bertujuan unuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap
komponen antigen Salmonella Typhi maupun antigen itu sendiri. Sejak
diperkenalkan pada tahun 1896, uji ini secara rutin dan meluas dilakukan pada
era sekarang untuk diagnosa demam tifoid. Uji ini menjadi andalan pada
negara berkembang untuk diagnosa tifoid, dimana bakteri penyebab tifoid
mengekspresikan sejumlah struktur imunogenik pada permukaannya diantara
antigen O (lipopolisakarida), H (flagella) dan hanya Vi yang dapat
teridentifikasi dengan uji serologis (Upadhyay, et al., 2015). Pemeriksaan
antigen bakteri Salmonella Typhi dilakukan melalui pemeriksaan protein
antigen serta protein Vi, bisa dengan ELISA atau koaglutinasi namun hingga
saat ini masih dalam penelitian jumlah kecil. Sedangkan untuk pemeriksaan
antibodi biasa dilakukan test widal, test Hemagglutinin, CIE, dan test TUBEX.
a. Uji Widal

Daerah yang tidak memiliki fasilitas biakan kuman secara luas


menggunakan uji widal. Tes serologi widal adalah reaksi antara antigen
(suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan
antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella didalam darah manusia
(saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip dari tes widal adalah terjadinya
reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yaitu aglutinin O
dan H. Aglutinin O mulai dibentuk sejak akhir minggu pertama demam hingga
puncak pada minggu ke-3 sampai ke-5 dan bertahan selama 6 hingga 12 bulan.
Sedangkan aglutinin H membutuhkan waktu 4 hingga6 minggu untuk sampai
13

puncak dan menetap hingga 2 tahun (Kemenkes, 2006). Semakin tinggi


titernya maka semakin besar kemungkinan terinfeksi Salmonella Typhi.
Pembentukan antibodi yang rendah dapat menjadi faktor yang mempengaruhi
reaksi widal sehingga mendapatkan hasil tes yang keliru (Amir, Nurrachmat, &
Kartika, 2018). Tes ini merupakan tes alternatif yang banyak digunakan karena
sederhana dan murah, namun hasil yang diperoleh tidak sensitif atau spesifik
karena bervariasi tergantung letak geografis areanya (Wijedoru L, Mallett S, &
Parry CM, 2017).
b. Uji TUBEX

Uji Tubex bertujuan untuk mendeteksi keberadaan antibodi igM terhadap


antigen lipopolisakarida (LPS) O-9 Salmonella Typhi dan tidak mendeteksi
igG (Marleni, Iriani, Tjuandra, & Theodorus, 2014). Uji ini dapat dilakukan
secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana sehingga dikatakan sebagai
pemeriksaan ideal terutama di negara berkembang ( Kusumaningrat & Yasa,
2014)

c. Uji Typhidot

Uji Typhidot untuk mendeteksi antibodi IgG dan IgM. Dimana jika
terdeteksi IgM maka menandakan fase awal demam tifoid akut, sedangkan jika
terdeteksi IgG dan IgM menandakan fase pertengahan demam tifoid akut. Pada
minggu pertama demam, hasil tes terbukti positif. Uji ini mudah dilakukan dan
hanya membutuhkan waktu 1 jam untuk memperoleh hasil. Pada uji widal dan
kultur darah membutuhkan waktu masing-masingnya 18 jam dan 48 jam.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa uji typhidot lebih cepat mendapatkan hasil
dibandingkan dengan uji widal dan kultur darah (Upadhyay, et al., 2015)

2.6.3 Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)


Pemeriksaan dengan menggunakan primer H1-d ini memiliki sensitivitas
untuk mendeteksi satu bakteri dalam beberapa jam. Tujuan pemeriksaan ini
adalah untuk mengamplifikasi gen spesifik Salmonella Typhi. Pemeriksaan ini
menjanjikan dan cepat dilakukan namun memiliki kendala seperti resiko
kontaminasi yang menyebabkan positif palsu jika dalam prosedur pelaksanaan
14

terjadi ketidaksesuaian. Sensitifitas dari tes ini sama dengan kultur darah
namun kurang spesifik. Selain itu, teknis yang dilakukan cukup rumit serta
biaya yang dikeluarkan cukup tinggi (Sucipta, 2015). Polymerase Chain
Reaction (PCR) tidak memenuhi kriteria “Gold standard” dikarenakan hanya
dapat mendiagnosa tifoid pada antigen 14, 15 dan 18 dalam satu tesnya.
Sehingga perihal sensitivitas dan spesifisitasnya tidak memenuhi kriteria.
Selain itu, tes ini tidak tersedia di daerah terpencil (Upadhyay, et al., 2015)

2.6.4 Pemeriksaan Biakan Darah


Isolasi bakteri penyebab dengan mengambil biakan dari berbagai bagian
dalam tubuh. Biakan darah menunjukkan hasil positif pada 40-60% kasus.
Pada minggu pertama sakit, didapatkan sensitivitas biakan darah yang paling
baik. Kemudian positif sampai minggu kedua dan setelah itu ditemukan hasil
positif. Faktor yang menyebabkan isolasi mikroorganisme gagal bisa
dikarenakan oleh terbatasnya media laboratorium, penggunaan antibiotik,
volume darah yang digunakan, serta waktu pengambilan sampel dimana media
empedu dari sapi merupakan media pembiakan yang direkomendasikan. Hal
ini karena Salmonella Typhi dan Salmonella paratyphi memiliki kemampuan
untuk tumbuh pada media tersebut sehingga dapat meningkatkan hasil positif
(Sucipta, 2015).

2.7 Pemeriksaan Fisik Pasien Demam Tifoid


Bradikardi relatif, hepatomegali, splenomegali, dan distensi abdomen
merupakan beberapa hasil yang ditemukan pada pemeriksaan fisik. Pada 50%
pasien dapat terjadi makulopapular rash dimana terjadi pada hari ke 7 hingga
10, dengan tanda lesi yang diskter, merah, diameternya 1-5 mm dan
ditemukan pada tempat yang tertekan seperti perut, punggung atau leher.

2.8 Komplikasi Demam Tifoid

Komplikasi pada tifoid terjadi pada keadaan toksemia berat dan


kelemahan umum, serta perawatan yang diberikan kurang maksimal.
Penggunaan terapi yang tepat saat ini mengakibatkan komplikasi yang muncul
mengalami penurunan. Pada anak-anak, pendarahan usus dan perforasi sangat
15

terjadi. Komplikasi sistem syaraf pusat relatif jarang terjadi pada anak-anak
termasuk delirium, psikosis serta ketegangan intrkranial yang meningkat.
Selain itu, terjadi komplikasi seperti sindrom utemik hemolitik, kegagalan
sumsung tulang, sindrom nefrotik serta meningitis (Devaranavadagi & S,
2017). Komplikasi yang berat dapat menimbulkan kematian pada pasien.
Faktor penentu terjadinya komplikasi yang parah adalah durasi infeksi serta
keterlambatan dalam pemberian antibotik yang tepat.

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu (Sudoyo,
A, W, 2010)

2.8.1 Komplikasi Intestinal


a. Perdarahan Usus

Kelainan patologis utama terdapat pada usus halus terutama pada


dileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer. Kelenjar ini pada
minggu pertama terjadi hiperpelasia yang berlanjut menjadi nekrosis pada
minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3. Hal ini menyebabkan
terbentuknya ulkus yang menyebabkan perdarahan dan perforasi usus
(Kemenkes, 2006). Pasien demam tifoid mengalami perdarahan minor
yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang hebat juga
dapat mengakibatkan pasien mengalami syok. Namun, jarang terjadi pada
anak-anak.

b. Perforasi Usus

Perforasi usus biasanya muncul pada minggu ketiga namun bisa juga
pada minggu pertama, dimana terjadi pada 3% pasien yang dirawat. Pasien
dengan perforasi usus akan mengalami tanda nadi cepat, penurunan suhu,
tekanan darah turun serta mengalami syok. Pasien juga mengeluh nyeri
perut hebat terutama pada daerah kuadran kanan bawah dan lalu
menyebar di seluruh perut. Kemudian diikuti dengan muntah, nyeri pada
perabaan abdomen serta hilangnya keredupan hepar.
16

2.8.2 Komplikasi Ekstraintestinal


a. Komplikasi Darah, seperti anemia hemolitik, trombositopenia, sindrom
uremia hemolitik serta koagulasi intravaskuler diseminata
b. Komplikasi Paru, seperti pleuritis, pneumonia dan empiema
Trombositopenia merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada
demam tifoid. Komplikasi ini terjadi dikarenakan pengaruh endotoksin
bakteri Salmonella yang merangsang makrofag untuk melepaskan
produknya yaitu sitokin dan mediator untuk sumsum tulang. Hal ini
yang menyebabkan terjadinya depresi pada sumsum tulang,
berkurangnya produksi trombosit dan penghentian terhadap
pematangan trombosit
c. Komplikasi Kardiovaskular, seperti miokarditis, trombosis, dan
kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis)
d. Komplikasi ginjal, seperti perinefritis, glomeruloneftiris, pielonefritis
e. Komplikasi hepar dan kandung kemih
f. Komplikasi neuropsikiatrik, seperti meningitis, psikosis, sindrom
katatonia, dan lainnya.

2.9 Tatalaksana Demam Tifoid


Penatalaksanaan tifoid menganut trilogi penatalaksanaan yang meliputi:
istirahat dan perawatan, diet dan terapi penunjang (simptomatik maupun
suportif), serta pemberian antimikroba. Tatalaksana komplikasi demam tifoid
juga perlu dilakukan guna mengindari terjadinya berbagai hal yang tidak
diinginkan pada kondisi pasien (Kemenkes, 2006).

2.9.1 Terapi Farmakologis


Berbagai tatalaksana yang diberikan untuk mencegah berbagai gejala
klinis yang muncul pada pasien demam tifoid adalah pemberian terapi cairan
elektrolit, antiemetik, analgesik, antipiretik serta antasida. Tujuannya untuk
memperbaiki keadaan umum pasien. Cairan elektrolit yang diberikan pada
pasien tifoid sebagai nutrisi sehingga pasien tidak mengalami lemas.
Pemberian antipiretik diberikan untuk menurunkan panas serta pemberian
antiemetik pada penderita tifoid untuk mengurangi jumlah cairan yang keluar
akibat gangguan pada lambung (Oktaviana, Intang, & Zainal, 2014).
17

Kebersihan lingkungan sekitar, pakaian yang digunakan, serta segala sesuatu


yang digunakan pasien perlu dijaga kebersihannya.
Penanganan awal yang dilakukan pada pasien demam tifoid adalah
pemberian antibiotik karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella
Typhi berkaitan dengan keadaan bakteri. Sehingga pemberian antibiotik
diharapkan memberi dampak positif bagi pasien. Khasiat, kemananan,
ketersediaan serta harga merupakan kriteria utama pemilihan antibiotika untuk
terapi demam tifoid. Sejak tahun 1949, kloramfenikol nerupakan antibiotik
yang pertama digunakan untuk pengobatan tifoid. Kemudian digantikan
dengan trimetoprim-sulfametaksasol pada tahun 1970 akibat adanya resistensi
terhadap kloramfenikol (Chowdhury, Shumy, Anam, & Chowdhury, 2014).
Kemudian pada tahun 1980, seftriakson dan siprofloksasin dipilih menjadi
pengobatan utama demam tifoid. Sefalosporin generasi III (seftriakson,
sefotaksim serta sefiksim), fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin,
perfloksasin) dan azitromisin saat ini sering digunakan untuk pengobatan
tifoid MDR (multy drug resistance). Sefalosporin generasi III serta
fluorokuinolon mempunyai daya tembus yang baik pada jaringan dan efektif
untuk membunuh bakteri karena dapat berpenetrasi.
Tabel II. 1 Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Kemenkes, 2006)

Antibiotik Dosis Kelebihan

Kloramfenikol Dewasa: 4×500mg (2g) 1. Merupakan obat yang sering


selama 14 hari digunakan dan telah lama
Anak: 50-100mg/KgBB/hari dikenal efektif untuk tifoid
Maksimal 2g selama 10-14 2. Murah dan dapat diberi peroral
hari dengan sensitivitas masih tinggi
Dibagi 4 dosis 3. Pemberian Peroral atau IV
tidak diberikan bila leukosit
<2000/mm3

Seftriakson Dewasa: (2-4)g/hr selama 3-5 1. Cepat menurunkan suhu, lama


hari penurunan pendek serta dapat
18

Anak: 80mg/KgBB/hari dosis tunggal dan cukup aman


Dosis tunggal selama 5 hari untuk anak
2. Pemberian IV

Ampisillin dan Dewasa: (3-4)g/hr selama 14 1. Aman untuk penderita hamil


Amoksisillin hari 2. Sering dikombinasi dengan
Anak: 100mg/KgBB/hari kloramfenikol pada pasien kritis
selama 10 hari 3. Tidak mahal
4. Pemberian peroral atau IV

TMP-SMX Dewasa: 2×(160-800) selama 1. Tidak mahal


(Kotrimoksasol) 2 minggu 2. Pemberian peroral
Anak: TMP 6-
10mg/KgBB/hari atau SMX
30-50mg/Kg/hari selama 10
hari
Quinolone 1. Siprofloksasin: 2×500mg 1. Pefloksasin dan fleroksasin
selama 1 minggu lebih cepat menurunkan suhu
2. Ofloksasin: 2×(200- 2. Efektif mencegah relaps dan
400)mg selama 1 minggu karier
3. Pefloksasin: 1×400 mg 3. Pemberian peroral
selama 1 minggu 4. Anak: tidak dianjurkan karena
4. Fleroksasin: 1×400mg efek samping pada
selama 1 minggu pertumbuhan tulang

Cefixime Anak: 15-20mg/KgBB/hari 1. Aman untuk anak


dibagi 2 dosis selama 10 hari 2. Efektif
3. Pemberian peroral

Tiamfenikol Dewasa: 4×500mg 1. Dapat digunakan untuk anak


Anak: 50mg/KgBB/hari dan dewasa
selama (5-7) hari bebas panas 2. Dilaporkan cukup sensitif pada
beberapa daerah
19

2.9.2 Terapi Non Farmakologis


Terapi non farmakologis untuk demam tifoid terdiri dari tirah baring,
nutrisi berupa cairan, diet, serta kontrol dan monitor dalam perawatan
(Kemenkes, 2006)

 Tirah baring
Kuman penyebab demam tifoid yang masuk ke dalam usus menyebabkan
peradangan yang mengakibatkan mual muntah serta adanya anoreksia. Hal ini
menimbulkan intake klien yang tidak adekuat dan kebutuhan nutrisi yang
kurang dari tubuh yang mengakibatkan diare sehingga diperlukan tirah baring
untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Tirah baring merupakan upaya
yang dilakukan pada pasien demam tifoid dalam rentang waktu 7 hingga 14
hari dimana bertujuan untuk mencegah komplikasi perforasi usus atau
perdarahan usus (Sakinah & Anggraini, 2016). Terkadang dokter meminta
pasien mengurangi aktivitas namun terkadang juga pasien benar-benar harus
istirahat total tanpa melakukan aktivitas apapun (Kusumastuti, 2017).
 Diet lunak rendah serat
Diet harus mengandung kalori serta protein yang cukup. Jenis makanan
harus dijaga adalah diet lunak rendah serat karena pada pasien tifoid terjadi
gangguan pada saluran pencernaannya. Maksimal asupan serat tiap harinya
adalah 8 gram. Hindari mengkonsumsi susu, daging berserat kasar, makanan
yang mengandung lemak tinggi, makanan manis, asam, bumbu tajam serta
makan dalam porsi kecil. Makanan rendah serta direkomendasikan karena
dapat membantu meninggalkan sisa dan membatasi volume feses agar tidak
mengganggu saluran pencernaan (Sakinah & Anggraini, 2016)

 Menjaga Kebersihan
Kurangnya kesadaran akan kebersihan merupakan salah satu penyebab
terjadinya demam tifoid sehingga salah satu cara pencegahannya juga dengan
meningkatkan kesadaran akan kebersihan seperti kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan, mencuci tangan setelah buang air besar dengan menggunakan
sabun dan lainnya. Selain itu, penularan demam tifoid juga bisa karena
20

kebiasaan jajan makanan diluar. Hal ini dikarenakan makanan disajikan oleh
penderita tifoid yang tidak diketahui dimana kurang menjaga kebersihan saat
memasak sehingga bakteri penyebab tifoid dapat menular kepada
pelanggannya (Paputungan, Rombot, & H.Akili, 2016).

2.10 Tinjauan Antibiotik Golongan Sefalosporin

2.10.1 Definisi Antibiotik Golongan Sefalosporin


Pada tahun 1948, seorang ilmuwan italia bernama Guiseooe Brotzu
mengisolasi Sefalosporin dari Jamur Cephalosporium acremonium dari
selokan di Sardinia. Sefalosporin merupakan antibiotik golongan ß-laktam,
dimana secara umum bersifat bakterisidal dan secara klinis aktif terhadap
bakteri gram positif serta bakteri gram negatif. Kebanyakan antibiotik
golongan sefalosporin dihasilkan secara semisintetik dengan pengikatan kimia
pada rantai samping asam 7-aminosefalosporonat. Sefalosporin berikatan
dengan protein pengikat penisilin pada bakteri serta menghambat sintesis
dinding sel bakteri sehingga menyebabkan lisis dan kematian sel
(Veeraraghavan, Pragasam, Bakthavatchalam, & Ralph, 2018).

Gambar 2. 3 Struktur Kimia Sefalosporin (Sulistia Gan Gunawan, 2007)

2.10.1 Klasifikasi Antibiotik Golongan Sefalosporin


Berdasarkan spektrum aktivitas antimikrobanya, sefalosporin dibagi
menjadi 4 generasi yaitu: Generasi I, generasi II, generasi III dan generasi IV.
Adanya resistensi terhadap antibiotik sehingga dilakukan program
pengembangan turunan sefalosporin oleh beberapa industri farmasi untuk
21

menghasilkan turunan sefalosporin baru yang secara farmakokinetik dan


farmakodinamik lebih baik dari generasi sebelumnya. Secara umum, aktivitas
sefalosporin dari keempat generasi tersebut sebagai berikut:

Tabel II. 2 Klasifikasi dan Aktifitas Sefalosporin (Permenkes, 2011)

Generasi Contoh Aktivitas

I Sefaleksin, sefatolin, Antibiotik yang efektif terhadap gram positif


sefazolin, sefradin, serta memiliki aktivitas sedang terhadap
sefadroksil gram negatif

II Sefaklor, sefamandol, Aktivitas antibiotik gram negatif yang lebih


sefuroksim, sefoksitin, tinggi dibanding generasi I
sefotetan, sefmetazol,
sefprozil

III Sefotaksim, seftriakson, Aktivitas kurang aktif terhadap kokus gram


seftazidim, sefiksim, positif dibandingkan dengan generasi I,
sefoperazon, seftizoksim, tetapi lebih aktif terhadap
sefpodoksim, moksalaktam Enterobacteriaceae, termasuk strain yang
memproduksi ß-laktamase. Seftazidim dan
sefoperazon juga aktif terhadap P
aeruginosa tetapi kurang aktif dibanding
generasi III lainnya terhadap kokus gram
positif

IV Sefepim, sefpirom Aktivitas lebih luas dibanding generasi III


dan tahan terhadap ß-laktamase
22

a. Generasi Pertama
Sefalosporin generasi pertama memiliki rantai samping 7-asamamino yang
sederhana. Sefalosporin generasi pertama mempunyai aktivitas terhadap
Bakteri Gram positif yang baik termasuk Staphylococci aureus yang
memproduksi penisilinase dan Staphylococci epidermidis. Penisilinase yang
diproduksi ini mempunyai keunggulan yaitu aktivitasnya terhadap bakteri
penghasil penisilinase. Aktivitasnya relatif sederhana terhadap bakteri Gram
negatif, efektf terhadap E. coli, Klebsiella pneumonia, Proteus mirabilis dan
spesies Shigella yang tidak menghasilkan ß-laktamase atau yang hanya
menghasilkan penisilinase (A. Dowling, 2017)
b. Generasi Kedua
Sefalosporin generasi kedua memiliki rantai samping semi sintetik dimana
terbutki efektif dan digunakan pada tahun 1970an. Generasi kedua
sefalosporin adalah cephamycins yang secara teknis dipertimbangkan
dikarenakan adanya metoksi pada C-7. Cefuroxime axetil dan Cefaklor adalah
salah satunya generasi kedua sefalosporin yang diberikan secara oral.
Antibiotik ini umumnya aktif melawan kelompok organisme yang sama
seperti kelas satu sefalosporin. Namun lebih efektif melawan Haemophillus
influenza dan gram negatif tertentu seperti bakteri anaerob (Shahbaz, 2017).
Sefalosporin generasi kedua mempunyai aktifitas terhadap organisme gram
positif yang lebih rendah bila dibandingkan dengan generasi pertama.
Stabilitas ß-laktamase meningkat dari sefalosporin generasi kedua dan dapat
memberikan efektifitas yang lebih baik (A. Dowling, 2017)
c. Generasi Ketiga
Sefalosporin generasi ini mempunyai khasiat serta tolerabilitas yang baik.
Namum, sefalosporin generasi ini kurang efektif terhadap organisme gram
positif dibandingkan sefalosporin generasi pertama. Sefalosporin generasi
ketiga lebih sedikit aktif melawan organisme gram positif, tetapi
variabilitasnya yang cukup besar dalam aktifitas terhadap Staphylococci dan
Streptococcus. Contoh obat golongan sefalosporin generasi ketiga yang
mempunyai aktifitas tertinggi melawan Streptococcus yaitu cefotaxime.
Sefalosporin generasi ketiga memiliki aktivitas in vitro yang lebih besar
23

terhadap organisme gram negatif, khususnya yang memiliki ß-laktamase jika


dibandingkan dengan generasi sebelumnya (A. Dowling, 2017)
d. Generasi Keempat
Sefalosporin generasi keempat lebih resisten terhadap hidrolisis oleh ß-
laktamase. Contoh dari sefalosporin generasi keempat adalah sefepim dimana
memiliki aktifitas yang sangat baik dalam membunuh Pseudomonas
aeruginosa, Enterobacteriaceae, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pneumonia. Waktu paruh generasi ini adalah 2 jam (Katzung, B.G, 2014).

Tabel II. 3 Parameter-parameter Farmakokinetik untuk beberapa


Sefalosporin (Sulistia Gan Gunawan, 2007)

Ikatan T 1/2
Cara Ekskresi dalam
Obat Protein plasma
Pemberian urin (%)
(%) (jam)
Generasi Pertama
Sefalotin IV dan IM 70 0,6 70-80
Sefazolin IV dan IM 85 1,8 95
Oral, IV
Sefradin dan IM 14 0,8 86
Sefaleksin Oral 10-15 0,9 90
Sefadroksil Oral 20 1,5 90
Generasi Kedua
Sefamandol IV dan IM 75 0,8 85
Sefoksitin IV dan IM 70-80 0,8 >85
Sefaklor Oral 40 0,8 60-85
Sefuroksim IV dan IM 33 1,7 >85
Sefuroksim
aksetil Oral - 1,7 -
Generasi Ketiga
Sefotaksim IV dan IM 40-50 1,1 40-60
Moksalaktam IV dan IM 40-50 2,1 90
Sefoperazon IV dan IM 82-93 2,1 30
Seftizoksim IV dan IM 30 1,8 90
Seftriakson IV dan IM 83-96 8 60-80
Seftazidim IV dan IM 17-20 1,8 75-85
Sefsulodin IV dan IM 30 1,7 65-70
24

Dari sifat farmakokinetiknya, sefalosporin dibedakan dalam 2 golongan


dimana beberapa diberikan secara oral dan lainnya diberikan melalui suntikan (IV,
IM). Pemilihan rute pemberian obat yang tepat merupakan suatu pertimbangan
penting dalam terapi obat dimana akan memperngaruhi laju absorbsi serta lama
aksi obat. Obat yang tidak stabil dalam saluran pencernaan atau obat-obat yang
mengalami first pass effect yang besar tidak cocok jika diberikan pada rute oral.
Pemberian obat secara intravena merupakan cara tercepat dan diandalkan untuk
mengahantarkan obat ke dalam sistem sirkulasi. Obat yang diberikan secara
intravena dikeluarkan secara lebih cepat dikarenakan seluruh dosis mengalami
eliminasi dengan segera. Obat-obatan yang diberikan secara intramuskular dapat
memberikan rasa nyeri atau iritasi lokal serta pelepasan obat tidak menentu
(Shargel, Wu, & Yu, 2012). Obat-obatan seperti sefaleksin, sefradin, sefadroksil
dan lainnya yang diberikan secara oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna
(Sulistia Gan Gunawan, 2007).

2.10.2 Mekanisme Kerja Antibiotik Golongan Sefalosporin


Sefalosporin merupakan kelompok besar kedua β-laktam. Antibiotik
resistensi penisilinase yang berasal dari strain Acremonium chrysogenum yang
diisolasi oleh Brotzu pada tahun 1948. Secara struktur dan fungsi mempunyai
hubungan yang erat dengan aminopenicillin dikarenakan merupakan kelompok
β-laktam (A. Dowling, 2017). Mekanisme kerja sefalosporin sama dengan
antibotik betalaktam lainnya yaitu dengan cara menghambat sintesis dinding
sel bakteri. Caranya yaitu dengan menghambat langkah terakhir dalam sintesis
peptidoglikan yaitu heteropolimer yang mempunyai peran memberikan
stabilitas mekanik pada dinding sel bakteri (Permenkes, 2011).

Sefalosporin lebih stabil terhadap enzim ß-laktamase sehingga mempunyai


spektrum kerja yang luas. Sefalosporin secara klinis aktif terhadap bakteri
gram positif dan negatif, aman dibandingkan obat golongan penisilin serta
tahan terhadap enzim ß-laktamase (Vasait & Jobanputra, 2015).
25

Pengikatan pada protein pengikat penisilin


yang spesifik (PBPs)
Bertindaksebagaireseptor obat pada bakteri

Mengaktifkan enzim autolitik dalam dinding sel

Bakteri mati

Menghambat sintesis dinding sel bakteri

Gambar 2. 4 Mekanisme Kerja Sefalosporin (Katzung B. G., 1997)

2.10.3 Efek Samping Antibiotik Sefalosporin


Menurut Kemenkes tahun 2011, beberapa efek samping Antibiotik Beta
laktam seperti penisilin, sefalosporin, monobaktam dan karbapenem yang perlu
dilakukan pemantauan yaitu: alergi, diare, anemia hemolitik dan
hipotrombinemia (Kemenkes RI, 2011).

a. Hipersensitivitas atau alergi

Hipersensitivitas atau alergi merupakan efek samping utama dari


sefalosporin. Sekitar 0,5-6,5% orang yang sensitif terhadap penisilin akan akan
mengalami alergi terhadap sefalosporin. Reaksi alergi yang terjadi pada pasien
seperti anafilaksis, demam, ruam kulit, anemia hemolitik serta nefritis. Pasien
tidak boleh diberikan sefalosporin jika sebelumnya sudah pernah mengalami
alergi terhadap penisilin. Jika sefalosporin sangat dibutuhkan sebagai alternatif
antibakteri maka dapat diberikan sefiksim, sefotaksim, seftazidim, seftriakson
atau sefuroksim namun secara hati-hati (BNF , 2011). Pasien dengan riwayat
anafilaksis pada penisilin tidak boleh diberikan sefalosporin.

b. Diare

Efek samping ini umumnya terjadi pada penggunaan ampisilin, augmentin,


seftriakson serta sefoperazon. Kolitis terkait antibiotik dapat terjadi pada
sebagian besar penggunaan antibiotik (Kemenkes RI, 2011)
26

c. Toksisitas Ginjal

Efek samping toksisitas ginjal, termasuk nefritis intestinal dan nekrosis


tubulus pernah terjadi pada penggunaan sefaloridin sehingga menyebabkan
obat tersebut ditarik dari pasaran. Sefalosporin yang mengandung cincin
metiltiotetrazol dapat menimbulkan reaksi disulfiram berat (Katzung B. G.,
2007)

d. Hipotrombinemia

Hipotrombinemia sering terkait dengan sefalosporin dengan rantai samping


yang memiliki kandungan cincin metiltiotetrazol (Kemenkes RI, 2011). Selain
itu, dapat terjadi kelainan perdarahan dimana dapat diatasi dengan pemberian
Vitamin K1 10mg 2 kali seminggu. Obat-obatan yang mengandung cincin
metiltiotetrazol adalah sefamandol, sefmetazol, sefotetan, dan sefoperazon
(Katzung B. G., 2007).

2.10.4 Penggunaan Antibiotik Sefalosporin untuk Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut oleh bakteri Salmonella
Typhi yang ditularkan melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
secara fecal-oral. Penanganan awal yang dilakukan pada pasien demam tifoid
adalah pemberian antibiotik karena pada dasarnya patogenensis infeksi
Salmonella Typhi berkaitan dengan keadaan bakteri. Sehingga pemberian
antibiotik diharapkan memberi dampak positif bagi pasien. Pemberian
antibiotik yang tidak sesuai dapat menimbulkan dampak meningkatnya biaya
pengobatan, meningkatnya resistensi obat, serta menimbulkan komplikasi
sehingga perlu peran apoteker dalam penanganannya (Abdurrachman &
Febrina, 2018).

Komplikasi yang terjadi pada pasien terdiri dari komplikasi ringan hingga
berat, bahkan dapat menyebabkan kematian. Durasi infeksi serta keterlambatan
pemberian antibiotik yang tepat menjadi penentu keparahan komplikasi yang
terjadi. Pengobatan demam tifoid dengan antibiotik efektif menurunkan demam
serta gejala lainnya dalam rentang waktu 3 hingga 5 hari serta menuntaskan
semua gejala yang terjadi dalam 7 hingga 10 hari. Selain itu, pemberian
27

antibiotik yang tepat dapat menurunkan angka kematian, membatasi


penyebaran infeksi serta mencegah kekambuhan infeksi (Alldredge, 2013).

Kriteria utama pemilihan antibiotik untuk terapi tifoid adalah khasiat,


keamanan, ketersediaan serta harga. Kloramfenikol merupakan antibiotik lini
pertama untuk pengobatan demam tifoid. Obat ini dipilih menjadi lini pertama
tifoid dikarenakan murah, efektif serta mudah diperoleh dan dapat diberikan
secara oral. Namun adanya laporan adanya resistensi obat terhadap Salmonella
Typhi sehingga penggunaan kloramfenikol dihentikan dan pada tahun 1950an
diganti dengan ampisilin dan kortimoksazol. Pada akhir tahun 1980an
penggunaan obat ini dihentikan akibat terjadinya MDR (multy drug resistance)
dan pada tahun 1990an diganti dengan golongan fluoroquinolon dimana
sebagai alternatif pengobatan yang efektif untuk demam tifoid. Namun,
penggunaan antibiotik yang tidak tepat dapat menyebabkan tekanan selektif
untuk mutasi kromoson di bakteri, menginduksi resistensi terhadap asam
nalidiksat serta mengurangi kerentanan terhadap fluoroquinolon. Hal ini
sehingga memerlukan pengobatan yang panjang serta dosisnya harus
ditingkatkan (Parry, et al., 2011). Akibat adanya multy drug resistance dan
isolat tahan asam nalidiksat maka sefalosporin generasi ketiga dipilih untuk
menghindari kegagalan klinis (Veeraraghavan, Pragasam, Bakthavatchalam, &
Ralph, 2018). Sefalosporin generasi III seperti seftriakson, sefotaksin dan
sefiksim merupakan antibiotik alternatif untuk pengobatan tifoid karena aman
untuk dewasa dan anak, demam mudah turun, masa perawatan pendek serta
mengurangi terjadinya kekambuhan (Rizka, Nansy, & Susanti, 2015).

2.11 Pencegahan Demam Tifoid


Pencegahan adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah agar
masyarakat tidak tertular oleh bakteri Salmonella Typhi penyebab demam
tifoid. Pencegahan dilakukan karena lebih efisien dan tidak menimbulkan
faktor resiko yang berbahaya. Pengendalian bersifat mengelola, mengatur serta
mengawasi agar tifoid tidak menjadi masalah lagi bagi masyarakat. Terdapat 3
pilar strategis untuk pencegahan tifoid (Kemenkes, 2006), yaitu:

1. Mengobati secara sempurna pasien dan karier tifoid


28

Penderita tifoid karier merupakan seseorang yang satu tahun pasca demam
tifoid, tanpa gejala klinis yang pasti memiliki kotoran (feses atau urin) yang
masih mengandung bakteri Salmonella Typhi. Karier pasca penyembuhan
yaitu penderita tifoid yang sudah sembuh setelah 2-3 bulan yang masih
ditemukan kuman Salmonella Typhi pada feses dan urinnya. Karier akan
terjadi bila pasien tidak mendapatkan pengobatan atau tidak diobati secara
maksimal sehingga bakteri penyebab tifoid susah dimusnahkan dari tubuh.
2. Mengatasi faktor-faktor yang berperan dalam proses penularan bakteri
Faktor penyebab demam tifoid yang utama adalah air dan makanan yang
terkontaminasi Salmonella Typhi sehingga harus dicegah dengan cara
mengolah air minum serta limbah rumah tangga yang baik agar kualitas air
yang digunakan baik. Menjaga kebersihan makanan dan minuman yang
dikonsumsi, menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan
menggunakan sabun setiap kali akan makan, pengelolaan air limbah serta
kotoran dan sampah yang benar agar tidak mencemari lingkungan, jamban
keluarga yang memenuhi persyaratan, serta membiasakan diri untuk hidup
bersih bagi seluruh elemen masyarakat.
3. Perlindungan dini agar tidak tertular
Pemberian vaksin tifoid perlu dilakukan untuk pencegahan tifoid, dimana
pemberiannya bila perlu sejak anak-anak dimana pada masa itu mereka mulai
mengenal jajan yang tidak terjamin kebersihannya. Vaksinasi juga perlu
diberikan kepada para pendatang dari negara maju yang masuk ke daerah yang
endemik demam tifoid.

Anda mungkin juga menyukai