Anda di halaman 1dari 8

MAKANAN GIZI SEIMBANG

Good Bye, Empat Sehat Lima Sempurna

Konsep pola makan sehat yang sudah melekat di kepala itu kini sudah kadaluwarsa. Ia
dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Inilah kisahnya…

Sekali-kali, mari membayangkan Indonesia di tahun 1950-an. Kita belum lama menikmati
kemerdekaan. Efek penjajahan masih terasa begitu kuatnya. Orang-orang  bertubuh
kurus, bermata cekung, dan berwajah pucat bisa ditemukan di mana-mana. Kalaupun
tampak baik-baik saja, saat diperiksa, umumnya mereka menderita anemia dan terancam
buta.

Maklum saja, saat itu, sebagian besar penduduk Indonesia memang masih berstatus
kurang gizi. Pemerintah pun berembuk mencari solusi. Prof Poerwo Soedarmo, ahli gizi
yang kemudian dikenal sebagai Bapak Gizi Indonesia berpendapat, sudah saatnya
masyarakat memiliki pedoman tentang pola makan untuk dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari.

Ia pun mencetuskan gagasan yang isinya mengacu pada konsep Basic Four, sebuah
pedoman pola makan ala Amerika. Isinya berupa empat kelompok makanan yang wajib
dikonsumsi setiap hari, terdiri dari makanan pokok (karbohidrat sumber tenaga), lauk
pauk, sayur mayur, dan buah-buahan. Akan lebih baik lagi, bila ditambah minum susu.
Agar mudah diingat setiap orang, konsep tadi diberi julukan baru, bernama Empat Sehat
Lima Sempurna. Karena pada awal peluncuran slogan itu penduduk belum menyadari
pentingnya peran gizi, Prof Poerwo juga mendidik kader-kader gizi. Merekalah yang
bertugas mensosialisasikan pedoman tersebut ke seluruh lapisan masyarakat. Sejak saat
itu, slogan Empat Sehat Lima Sempurna menjadi “materi wajib” yang digaungkan di
mana-mana. Mulai dari kelompok ibu-ibu rumah tangga, anak-anak sekolah, hingga
kalangan akademis.

Sukses? Sepertinya iya. Terbukti, ketika ditanya pola makan seperti apa yang sehat,
sebagian besar orang – dari anak-anak hingga dewasa – akan menjawabnya dengan fasih,
“Empat Sehat Lima Sempurna!”. Kini, wajah-wajah pucat bermata cekung seperti yang
biasa dijumpai puluhan tahun yang lalu mungkin sudah agak langka. Namun, itu bukan
berarti Indonesia sudah lepas dari masalah gizi. Konon, meskipun tidak lagi ditandai
dengan wajah pucat bermata cekung, masalah yang dihadapi sekarang ini justru lebih
besar lagi: Penduduk yang kekurangan gizi tetap banyak, namun  juga banyak yang
kelebihan gizi. Kurang gizi ditandai dengan lambatnya pertumbuhan, gampang sakit,
serta produktivitas yang rendah. Sementara kelebihan gizi ditandai dengan kelebihan
berat badan, serta meningkatnya kasus penyakit degeneratif seperti diabetes, tekanan
darah tinggi, gangguan jantung, stroke, hingga kanker. Kedua kondisi ini menandakan,
status gizi penduduk Indonesia belum seimbang.
Akhirnya, tanggal 25 Januari 2011 lalu, bertempat di Auditorium Siwabessy, Kementerian
Kesehatan, Jakarta Selatan, Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) dan Kementerian
Kesehatan RI, secara resmi mengumumkan bahwa slogan Empat Sehat Lima Sempurna
sudah tidak bisa diberlakukan, karena tak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu
pengetahuan.

 Konsep gizi usang

“Sebenarnya, pedoman Empat Sehat Lima Sempurna yang mengacu pada Basic


Four memang sudah lama kadaluwarsa,” tutur Prof Soekirman, SKM, MPS-ID, PhD, pakar
gizi dan kebijakan pangan, dalam sebuah konferensi pers bertajuk “Sehat dan Bugar
Berkat Gizi Seimbang”, di Hotel Akmani, Jakarta, akhir Januari lalu.

Konsep The Basic Four Guide, yang menggolongkan makanan menjadi empat kelompok
yakni sereal, daging, susu, dan sayuran,dimunculkan di Amerika pada tahun 1940-an,
ketika Amerika sendiri belum lama mengenal ilmu gizi. Nyatanya, setelah konsep tersebut
berjalan selama sekitar 20 tahun, pola makan Amerika justru cenderung memburuk.
Konsumsi daging, serealia, tepung, lemak, minyak, gula, dan garam meningkat tajam.
Sebaliknya, konsumsi sayur dan buah justru menurun. Akibatnya, kasus obesitas,
penyakit gangguan metabolisme, dan degeneratif melonjak drastis. Dari kondisi tersebut,
para ilmuwan mulai menyadari bahwa pedoman makan tidak hanya bermanfaat
mengatasi kurang gizi, namun juga sangat berperan terhadap munculnya penyakit.

Tahun 1970-an, konsep tadi mulai direvisi. Pada prinsipnya, pemerintah  Amerika
menyarankan agar masyarakatnya meningkatkan konsumsi karbohidrat, mementingkan
peran protein dan produk susu, serta mengurangi makanan yang berlemak, berkolesterol,
bergaram, dan bergula. Pada tahun 1988, pemerintah mulai memperkenalkan kelompok
makanan yang digambarkan dengan piramida (lihat gambar). Tiga tahun kemudian,
United States Department of Agriculture, resmi merilis gambar piramida makanan yang
diberi nama The Food Guide Pyramid. Dalam piramida tersebut, kelompok makanan yang
mengandung karbohidrat diletakkan di bagian paling bawah, diikuti oleh kelompok sayur
dan buah, kelompok daging, unggas, ikan, telur, dan produk susu, kemudian yang paling
atas adalah kelompok lemak, minyak, dan gula. Jika diletakkan di bawah, artinya
kelompok makanan tersebut dikonsumsi lebih banyak. Semakin ke atas, konsumsinya
lebih sedikit.
Meskipun dipandang lebih baik, anjuran ini mengalami kontroversi. Sebagian kalangan
mempertanyakan mengapa produk susu harus digambarkan secara khusus dalam
piramida. Selain itu, mereka menilai pedoman tersebut tidak memiliki dasar ilmiah.
Marion Nestle, dalam bukunya yang berjudul Food Politics: How The Food Industry
Influences Nutrition and Health (University of California Press, 2002), bahkan
mengungkapkan, kebijakan tersebut lebih disebabkan faktor politik. Di antaranya, agar
komoditi dagang Amerika – terutama gandum dan produk susu – bisa memperoleh pasar
lebih luas.

Rentan salah paham

Terlepas dari kontroversi tersebut, Dr Walter Willet, ilmuwan dari Harvard School of Public
Health mengatakan, piramida tersebut rentan salah paham. Penggolongan komponen
makanan yang hanya berdasarkan pada proporsi akan menimbulkan anggapan bahwa
semua jenis karbohidrat, protein, dan produk susu itu baik, sehingga cenderung
dikonsumsi secara berlebihan. Sebaliknya, semua jenis lemak dan minyak akan dikira
jahat dan harus dihindari.

Faktanya, karbohidrat terdiri dari dua jenis, yaitu karbohidrat kompleks dan sederhana.
Jika tidak dijelaskan secara khusus karbohidrat seperti apa yang dimaksud, Willet
menilai, anjuran mengonsumsi sebanyak 6-11 porsi per hari sudah terlalu berlebihan.
Padahal, semua bentuk karbohidrat sederhana seperti nasi, mi, roti, dan sejenisnya,
dengan cepat melonjakkan kadar gula dalam darah dan mengakibatkan meroketnya
insulin. Efeknya, insulin akan berusaha menekan dengan mengeluarkan hormon
eikosanoid buruk yang berpotensi memicu peradangan sel, menurunkan sistem
kekebalan, membuat darah menjadi lebih kental sehingga memicu penyempitan
pembuluh darah dan perbanyakan sel-sel abnormal.

Lagipula, tidak semua makanan sumber protein layak dikonsumsi setiap hari. Sebagai
contoh, daging merah memang kaya protein, namun juga mengandung lemak jenuh dan
kolesterol tinggi sehingga harus dibatasi. Sementara sumber protein lain seperti ikan,
ayam, kacang-kacangan, dan biji-bijian justru lebih baik sehingga bisa dikonsumsi lebih
sering.

Begitu juga dengan lemak. Lemak bersifat jenuh yang terdapat dalam minyak goreng,
mentega, dan margarin, misalnya, memang tidak baik. Namun lemak yang berasal dari
biji-bijian seperti kemiri, kacang mete, alpukat, serta minyak zaitun – selama tidak
digoreng – merupakan sumber lemak yang bagus. Ini disebabkan mekanisme kerja dan
perannya pada tubuh kita justru berlawanan dengan lemak jenuh.

Yang terakhir adalah produk susu yang dipandang istimewa karena merupakan sumber
kalsium tinggi. Menurut Willet, kalsium tidak perlu digembar-gemborkan sehingga
cenderung dikonsumsi berlebihan. Beberapa studi menemukan, terlalu banyak kalsium
diduga justru dapat meningkatkan risiko gangguan jantung, pembuluh darah,
osteoporosis, dan beberapa jenis kanker.

“Dosa” Empat Sehat Lima Sempurna

          Di Indonesia, penerapan Empat Sehat Lima Sempurna – yang mengacu pada
piramida Basic Four tadi – ternyata juga tidak lepas dari salah kaprah. Beberapa hal yang
sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut:

 Susu si malaikat

Susu sering dianggap komponen yang wajib ada dalam daftar makanan sehari-hari. Simak
pengalaman Wita (34 tahun), ibu rumah tangga yang berdomisili di Setiabudi, Jakarta
Selatan. “Kalau belum menyajikan susu, rasanya belum afdol. Seolah-olah saya belum
bisa memberikan makanan sehat buat keluarga, meskipun komponen lain yang terdapat
dalam Empat Sehat sudah terpenuhi,” tuturnya.

Sementara Dahlia (31 tahun), karyawati di Semarang, lain lagi. Karena Lima Sempurna
mengacu pada susu, ia menganggap susu merupakan makanan “sempurna” yang bergizi
komplit sehingga bisa menggantikan peran sumber makanan lainnya. “Kalau anak-anak
sedang sulit makan, selama masih mau minum susu saya sudah cukup tenang. Toh, susu
juga mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan zat gizi lain,” dalihnya.

Prof Soekirman mengakui, slogan “Lima Sempurna” yang mengacu pada susu memang
membuat banyak orang menganggap bahwa komponen makanan yang terdapat dalam
Empat Sehat belum komplit jika tanpa susu. Selain itu, karena disandingkan dengan kata
“sempurna” susu juga sering dijadikan jawaban atas masalah kekurangan gizi. Padahal
kenyataannya, susu merupakan bahan makanan yang posisinya tidak lebih hebat dari
sumber protein lain, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, polong-polongan, ikan, ayam,
atau daging.

 Melupakan proporsi makanan

Empat Sehat Lima Sempurna menyamaratakan kebutuhan gizi. Seolah-olah, asal terdiri
dari makanan sumber karbohidrat, lauk pauk, sayur, dan buah, itu sudah cukup. Padahal,
setiap orang memiliki kondisi tubuh dan kebutuhan gizi berbeda-beda, yang sangat
dipengaruhi oleh usia, status kesehatan, dan aktivitasnya.

Kebutuhan gizi seorang pekerja fisik, misalnya, tidak sama dengan karyawan yang
seharian bekerja di belakang meja. Bila pola makan mereka dipukul rata berdasarkan
susunan makanan yang terdiri dari empat kelompok tadi, dan tidak mempertimbangkan
porsi serta jenis zat gizinya, pola makannya itu tidak bisa dibilang sehat. Sebab, pada
pekerja fisik, kalori yang terkandung dalam makanannya mungkin akan langsung habis
tak bersisa saat digunakan untuk bekerja. Sementara pada si karyawan, sisa kalori yang
ada akan tertimbun di dalam tubuhnya.

 Tidak peduli kombinasi

Banyak orang memahami komponen Empat Sehat Lima Sempurna harus dikonsumsi
sekaligus. Ini juga yang dilakukan oleh Litha Manaba (29 tahun), karyawan swasta yang
berdomisili di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Mulai sarapan hingga makan malam, ia selalu
mengusahakan isi piringnya terdiri dari nasi, lauk pauk, dan sayur. “Habis makan, saya
makan pisang, jeruk, atau semangka. Kalau pagi, biasanya saya tambahkan susu. Biar
sumber tenaganya komplit!” jelasnya. Namun yang aneh, alih-alih merasa lebih
bertenaga, setiap kali usai makan ia sering mengeluh ngantuk. “Badan juga terasa berat.
Kenapa bisa begitu ya?” ia bertanya-tanya.

Menurut Andang Gunawan, ND, bahwa kita harus mengonsumsi sumber makanan secara
komplit seperti yang terdapat dalam komponen Empat Sehat, itu memang betul. “Namun
tidak perlu sekaligus,” tegasnya.

Alasannya, agar bisa dicerna dengan baik, konsumsi makanan sebaiknya juga disesuaikan
dengan enzim yang berada pada sistem pencernaan. Ada enzim yang membutuhkan
lingkungan cerna bersifat asam, ada pula yang membutuhkan lingkungan cerna bersifat
basa. Apabila makanan yang kita konsumsi sama-sama bersifat asam (misalnya
karbohidrat tepung dimakan bersamaan dengan protein hewani), akan terjadi proses
penetralan asam-basa yang menghambat proses pencernaan. Tubuh juga akan
mengerahkan energinya untuk mencerna makanan. “Inilah yang menjelaskan mengapa
seusai makan tubuh justru terasa berat, bahkan mengantuk,” jelas Andang.

Selain itu, bahan makanan yang terlalu lama tinggal dalam organ pencernaan akan
membusuk dan meninggalkan toksin. Thomas E. Levy, MD, dalam bukunya yang
berjudul Optimal Nutrition for Optimal Health, mengungkapkan, pencernaan yang bersifat
toksik cenderung mendorong peningkatan berat badan.
Ini disebabkan, usus halus menyerap lebih banyak dari yang seharusnya (leaky gut). Jika
di saat yang sama, sisa-sisa makanan yang ada belum tercerna dengan sempurna,
sementara pola makan yang tidak ramah pencernaan tadi terus terjadi, tubuh akan
mengenali zat yang diserap usus halus tersebut sebagai benda asing. Ia akan berusaha
melawan dengan mengaktifkan sistem kekebalan. Namun hal ini bukannya membuat
daya tahan tubuh kita semakin kuat, melainkan sebaliknya; sel-sel meradang, dan kita
lebih rentan sakit.

Slogan Baru, Gizi Seimbang

Itulah alasannya, pada tahun 1992, konferensi pangan sedunia yang berlangsung di Roma
dan Geneva, yang diadakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), badan pangan
dunia, menetapkan agar semua negara berkembang yang semula menggunakan slogan
sejenis Basic Four menggantinya dengan konsep Nutrition Guide for Balance Diet.

Sesungguhnya, keputusan FAO itu sudah dilakukan dalam kebijakan Repelita V tahun
1995 sebagai Pedoman Gizi Seimbang, dan menjadi bagian dalam program perbaikan gizi.
Namun karena kurangnya sosialisasi, pedoman yang baru itu hanya menjadi sekadar
teori.

Meskipun terkesan terlambat, usaha memperkenalkan kembali Pedoman Gizi seimbang


sebagai pengganti Empat Sehat Lima Sempurna itu tetap lebih baik daripada tidak sama
sekali. Bagaimanapun, itikad pemerintah dalam meluncurkan (kembali) Pedoman Gizi
Seimbang baru-baru ini wajib dihargai. Terlebih, konsep yang baru ini sudah mulai
mengakomodasi beberapa hal penting.

Menurut Prof Soekirman, berbeda dengan Empat Sehat Lima Sempurna yang
menyamaratakan kebutuhan gizi semua orang, Gizi Seimbang percaya bahwa setiap
golongan usia, jenis kelamin, kesehatan, dan aktivitas fisik memerlukan asupan gizi yang
berbeda-beda. Agar lebih mudah dipahami, konsepnya digambarkan menjadi “piramida”
berbentuk tumpeng beserta nampan, yang disebut Tumpeng Gizi Seimbang.

Secara umum, Tumpeng Gizi Seimbang terdiri dari beberapa potongan tumpeng: satu
potongan besar berisi sumber karbohidrat, dua potongan sedang berisi sayuran dan
buah-buahan, dua potongan kecil berisi sumber protein nabati dan hewani, serta
potongan terkecil di bagian puncak, berisi minyak, gula, dan garam. Besarnya potongan
ini menunjukkan porsi makanan yang harus dikonsumsi setiap hari.

Beda dengan slogan sebelumnya

Jika diperhatikan lebih mendalam, pedoman Gizi Seimbang juga memiliki beberapa
perbedaan dengan Empat Sehat Lima Sempurna, yaitu:

 Air putih menjadi bagian dari komponen gizi.

Air putih dimasukkan dalam komponen Tumpeng Gizi Seimbang, dan ditempatkan di
bawah potongan kelompok sumber karbohidrat. Artinya, air putih kini dipandang sebagai
zat gizi esensial yang wajib terpenuhi dan menempati posisi terbesar dalam asupan gizi.
Ini disebabkan, air berperan penting dalam proses metabolisme. Sebaik apapun pola
makan kita, jika tubuh kekurangan air, metabolisme tubuh akan terganggu.

 Susu bukan lagi “penyempurna”

Dalam Tumpeng Gizi Seimbang, susu ditempatkan dalam kelompok sumber protein
hewani lainnya. Hal ini untuk menegaskan, bahwa susu bukan makanan sempurna seperti
salah kaprah yang terjadi selama ini. Posisinya bisa diganti oleh sumber protein lain, baik
yang berupa protein nabati ataupun hewani.

 Hanya bersifat umum

Prinsip Gizi Seimbang didasarkan pada kebutuhan zat gizi yang berbeda menurut
kelompok umur, status kesehatan, dan jenis aktivitas, maka bagi ibu hamil, menyusui,
bayi dan balita, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Oleh sebab itu, jenis dan proporsi
makanan yang terdapat dalam Tumpeng Gizi Seimbang tadi hanya bersifat umum.
Penerapannya, tentu saja perlu disesuaikan lagi dengan kondisi kita masing-masing.

Slogan kosong?

Sebagian kalangan menilai, pedoman umum Gizi Seimbang justru lebih rumit untuk
dilaksanakan.  “Bikin bingung! Apalagi, program ini tidak diimbangi dengan arahan
bagaimana cara menyesuaikannya dengan kondisi kita masing-masing. Berbeda dengan
Empat Sehat Lima Sempurna yang jelas-jelas mengatakan kita harus makan sepiring nasi,
lauk, sayur, dan buah,” keluh Annida (37 tahun), ibu rumah tangga di Bintaro, Tangerang.

Keluhan Annida memang beralasan meski tidak sepenuhnya benar. Sebetulnya pedoman
Gizi Seimbang bukannya lebih “rumit”, tapi lebih dibuat lebih detail. Simbol Tumpeng Gizi
Seimbang yang diletakkan dalam sebuah baki juga berisi gambar beberapa cabang
olahraga, orang sedang mencuci tangan, dan timbangan. Artinya, yang dimaksud
“seimbang” tidak hanya berkutat pada soal makanan. Makanan yang dikonsumsi juga
harus diseimbangkan dengan aktivitas fisik, menjaga kebersihan, serta memantau berat
badan.

Sejauh ini, memang begitulah temuan para ahli gizi tentang  kenyataan cara menuju
hidup sehat. Konsumsi makanan yang seimbang dengan aktivitas fisik, akan membuat
metabolisme berjalan lebih efektif. Kalori yang masuk tidak tertimbun begitu saja dan
menyebabkan obesitas. Dengan menjaga kebersihan, setidaknya kita sudah berupaya
mencegah datangnya penyakit. Memantau berat badan membuat kita mengenali sinyal
baik atau tidaknya status gizi. Karena, terlalu kurus atau terlalu gemuk sama-sama
menandakan gizi kita belum seimbang.

Terlepas dari kurangnya sosialisasi, namanya juga pedoman. Meskipun disusun


sesempurna mungkin, harap maklum jika masih jauh dari harapan semua orang. Semoga,
ketidakpuasan itu memacu kita untuk tidak berhenti mengenali tubuh sendiri, sekaligus
terus belajar mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan.(N)

Anda mungkin juga menyukai