Anda di halaman 1dari 14

Nama : Lutfiah Fitrianisa

NIM: 11020120067

Kelas: G2.4

STUDY GUIDE ENGAGED LEARNING

1. Narasikan apa yang kalian ketahui dari engagement in learning ?


Engagement atau keterlibatan adalah suatu konstruk yang kompleks yang bisa
digambarkan pada tingkat individu, sekolah, ataupun kelas. George Kuh dalam (Tai et al.,
2019) mendefinisikan keterlibatan siswa sebagai 'berpartisipasi dalam praktik pendidikan yang
sangat terkait dengan pembelajaran tingkat tinggi dan pengembangan pribadi'. Menurut Reeve
dan Trowler dalam (Poondej & Lerdpornkulrat, 2016) mendefinisikaan Keterlibatan siswa
mengacu pada sejauh mana keterlibatan aktif siswa, tingkat perhatian, minat, dan gairah yang
ditunjukkan siswa ketika mereka mengambil bagian dalam proses pembelajaran.
Dari perspektif psikologis, Fredricks et al. (2004) menggambarkan tiga komponen
keterlibatan: perilaku, kognitif dan emosional, yang semuanya berkontribusi pada gagasan
keseluruhan keterlibatan psikologis. Perilaku yang menunjukkan keterlibatan termasuk
kehadiran, waktu mengerjakan tugas, mengajukan pertanyaan, dan perilaku positif serta
kepatuhan terhadap aturan. Keterlibatan kognitif mencakup investasi dan upaya dalam
pembelajaran, motivasi, efikasi diri, dan terkait dengan pembelajaran yang diatur sendiri.
Terakhir, keterlibatan emosional adalah kesenangan dan minat siswa dalam tugas belajar (Tai
et al., 2019).

2. Mengapa engagement in learning itu penting?


Keterlibatan siswa adalah salah satu faktor terpenting yang terkait dengan peningkatan
pembelajaran, dan banyak penelitian hingga saat ini telah menunjukkan pentingnya
keterlibatan siswa yang mengarah pada dampak positif pada hasil belajar. Semakin banyak
siswa terlibat dalam pembelajaran, semakin mereka akan belajar dan maju dalam pembelajaran
mereka(Poondej & Lerdpornkulrat, 2016). Pendapat senada juga dijelaskan oleh (Taylor &
Statler, 2014)bahwa Keterlibatan siswa melalui partisipasi kelas aktif merupakan unsur
penting untuk pembelajaran yang memiliki banyak manfaat pendidikan bagi siswa.
3. Jelaskan Faktor faktor yang memengaruhi engagement in learning
a. Faktor sekolah
Siswa di tahun-tahun awal Sekolah Menengah seringkali mengalami ketidakcocokan antara
kebutuhan remaja dan jenis lingkungan yang mereka temui di sekolah yang mana membuat
mereka tidak puas dalam belajar (Duchesne & McMaugh, 2016). Maka dari itu terdapat empat
ketakutan utama dalam sekolah yang akhirnya dapat mempengaruhi keterlibatan yaitu
• Iklim manajemen ruang kelas yang positif. Sekolah dengan iklim manajemen
kelas yang positif dicirikan oleh adanya guru yang menunjukkan empati dan
mendengarkan pada otonomi siswa dapat memungkinkan Siswa memiliki
keterampilan dalam pengambilan keputusan.
• Partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler. Ekstrakurikuler adalah perilaku
individu tetapi hasil dari perilaku ini terkait dengan kegiatan sekolah siswa-siswa
yang berada dalam ekstrakuler menunjukkan tingkat keterhubungan yang lebih
tinggi dengan sekolah mereka
• Kebijakan disiplin ilmu yang tolerant
• Ukuran sekolah kecil.
b. Faktor kelas.
Dalam beberapa faktor yang penting dalam keterlibatan kelas adalah adanya hubungan guru
dengan siswa. Guru dan siswa harus memiliki hubungan yang baik, bersifat hangat dan
menunjukkan kesejahteraan di antara keduanya. Hal ini penting karena apabila guru dan siswa
memiliki hubungan yang baik maka siswa akan memiliki tingkat keterlibatan yang lebih tinggi
dalam proses pembelajaran. Ada kemungkinan juga bahwa siswa yang lebih muda akan lebih
mudah terpengaruh oleh hubungan dekat dan hangat dengan guru karena mereka masih
bergantung pada orang yang lebih tua, sedangkan remaja akan lebih terikat dengan teman-
teman sebayanya. Keterikatan antara guru dengan siswa berpengaruh pada pembelajaran yang
terjadi di dalam kelas siswa. Ketika siswa memiliki keterikatan dengan gurunya mereka akan
lebih mampu untuk menerima apa yang dikatakan oleh gurunya baik itu di dalam materi
ataupun diluar materi karena mereka merasa dekat dan akan muncul rasa menghargai dalam
dirinya (Duchesne & McMaugh, 2016).
c. Faktor Sosial
Factor social meliputi 3 unsur, yaitu (Furlong et.al, 2003):
• Faktor Sosioemosional. Siswa akan lebih memiliki hubungan atau keterkaitan
dengan teman sebayanya teman sebaya akan mengalah akan berpengaruh pada
emosional mereka apabila seorang siswa memiliki hubungan yang baik dengan
teman sebayanya memiliki kualitas pertemanan yang baik maka mereka akan
merasa didukung selama mereka mengalami kesulitan dalam masa transisi
perpindahan sekolah mereka juga akan merasa didukung mereka beradaptasi
dengan sekolah dan cara kerja akademik (Duchesne & McMaugh, 2016).
• Mtoivasi dan sukses. Teori motivasi wentzel menguji Tujuan sosial siswa di
samping tujuan akademik mereka hasilnya menunjukkan bahwa kecenderungan
teman-teman mereka akan berpengaruh pada tujuan perilaku prososial serta
mempengaruhi kecenderungan individu untuk memiliki sifat baik seperti
memimpin (Duchesne & McMaugh, 2016). Kemudian juga akan muncul rasa
motivasi dan keterlibatan yang jauh lebih baik. siswa secara konsisten akan
menemukan kelompok sebaya mereka yang kelompok itu terbentuk atas anak-
anak dengan orientasi motivasi yang sama dan itu daapt mempengaruhi profil
intrinsik atau nilai-nilai dalam diri siswa secara tidak langsung.
• Kelompok sebaya dan teman-teman sosial. Kelompok teman sebaya secara
natural mencerminkan motivasi serta keterlibatan seseorang siswa proses ini
secara eksplisit diakui di antara siswa dalam kelompok sebaya atau itu diberi
label diidentikkan dengan profil motivasi tertentu misalnya ketika Siswa
memiliki teman sebaya yang baik mereka akan menghargai prestasi pendidikan
dan memperoleh nilai bagus (Duchesne & McMaugh, 2016).
4. Narasikan apa yang kalian pahami dari
a. padegogy and engagement
Hubungan antara pedagogi dan engagement atau keterlibatan ternyata juga ditemukan
proses pembelajaran di kelas, yang mana kegiatan pedagogi di ketahui merupakan
fokus menyeluruh dari kehidupan di kelas. Hubungan antara ruang kelas kegiatan dan
engagement telah dieksplorasi atau dikembangkan dalam beberapa cara. Salah satunya
yaitu self-determination theory yang percaya bahwa engagement dapat dikembangkan
oleh adanya otonomi siswa (Duchesne & McMaugh, 2016). Otonomi siswa merujuk
pada memberikan siswa lebih banyak keterlibatan secara langsung di dalam kelas,
mulai dari membiarkan mereka menyuarakan pendapatnya dan menentukan pilihan
mereka sendiri. Beberapa ahli juga percaya bahwa engagement juga terikat erat dengan
tujuan instruksional guru yang sudah ditetapkan didalam kelas. Selain itu waktu juga
menjadi pertimbangan untuk melihat engagement siswa secara akademis yang dapat
diukur siswa ketika mereka benar-benar berpartisipasi dan mengerjakan kegiatan
sebagai bentuk keterlibatan.
b. classroom goals and engagement.
Teori motivasi mengusulkan bahwa siswa harus memegang orientasi tujuan individu
masing-masing yang mana orientasi ini akan membentuk tingkat keterlibatan mereka
dalam suatu proses pembelajaran. Lebih rinci siswa harus membentuk persepsi mereka
sendiri tentang struktur tujuan di kelas Dimana mereka membangun persepsi serta
memiliki keyakinan pribadi tentang arti dan tujuan tugas sekolah atau pembelajaran di
kelas. Selain persepsi orientasi kinerja tujuan dalam kelas persepsi individu mengenai
lingkungan kelas bisa dicontohkan dengan memiliki persepsi bahwa guru memainkan
peran penting dalam membentuk mereka selama prose belajar. Secara sadar ataupun
tidak, Jenis tujuan pencapaian yang ditetapkan oleh guru akan membentuk tujuan
motivasi yang dimiliki siswa. Jadi sangat penting bagi siswa untuk memiliki tujuan
mereka sendiri sebelum masuk dalam proses pembelajaran di kelas yang mana Ini nanti
akan berpengaruh pada tingkat keterlibatan mereka di dalam kelas Apabila mereka
sudah memiliki tujuan yang jelas atau gambaran yang jelas mengenai apa yang akan
mereka dapatkan di dalam sekolah maka mereka akan rencana untuk mencapai tujuan
yang sudah mereka tetapkan sejak awal (Duchesne & McMaugh, 2016).
c. interest and engagement.
Pendekatan lain untuk melihat bagaimana motivasi dan engagement di dalam kelas
dapat melihat pentingnya sesuatu yang menarik untuk dipelajari bagi siswa. Pendekatan
ini didasarkan pada premis apabila siswa akan terlibat lebih banyak ketika mereka
menganggap suatu tugas atau suatu kegiatan itu menarik menantang dan juga penting.
Konteks ruang kelas adalah tempat dimana Guru memiliki kapasitas atau kemampuan
untuk membentuk motivational dan pengaruh keterlibatan siswa. Melalui
pembelajaran, penting bagi guru untuk memahami Mengapa siswa tidak memiliki
minat yang sama dan ini bisa dijadikan sebagai tantangan yang dihadapi oleh guru
dalam menentukan cara untuk membuat siswa tetap mau mengikuti pembelajaran
walaupun mereka memiliki minat yang tidak cukup tinggi pada mata pelajaran tersebut
guru juga akhirnya mendapatkan Tantangan untuk menghubungkan pembelajaran
siswa ini harus bersifat menarik agar siswa dapat memiliki keterlibatan secara
maksimal di dalam kelas (Duchesne & McMaugh, 2016).
5. Buat table perbedaan dan persamaan kolaborasi dan kerja sama!
Topik Perbedaan Persamaan
Kolaborasi • Kolaborasi adalah cara berurusan Baik kolaborasi ataupun
dengan orang-orang yang Kerjasama melibatkan
menghormati perbedaan, berbagi hubungan dengan orang lain.
otoritas, dan membangun pengetahuan
yang didistribusikan di antara orang
lain (Woolfolk, 2020).
• Dalam pelaksanaan kolaborasi,
individu harus memberikan
kontribusinya secara aktif.
Kerjasama • Kerjasama adalah cara bekerja dengan
orang lain untuk mencapai tujuan
Bersama.
• Pelaksanaan Kerjasama akan membuat
setiap individu dalam suatu kelompok
memiliki tugas dan tanggungjawab
masing-masing untuk mencapai tujuan
Bersama

6. Uraikan teori pembelajaran yang menjadi fondasi cooperative learning!


Teori yang melandasi pembelajaran kooperatif adalah teori konstruktivisme. Pada dasarnya
teori konstuktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus secara
individual menemukan dan mentranformasikan informasi yang kompleks, memeriksa
informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu. Teori konstruktivis sosial
Vygotsky menekankan bahwa siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial
dengan orang lain. Isi pengetahuan ini dipengaruhi oleh budaya di mana siswa tinggal, yang
meliputi bahasa, kepercayaan, dan keterampilan (Santrock, 2017). Dalam (Slavin, 2017)
dijelaskan bahwa Teori Vygotsky merupakan gagasan penggunaan strategi pembelajaran
kooperatif di mana anak-anak bekerja sama untuk membantu satu sama lain belajar. Karena
teman sebaya biasanya beroperasi dalam zona perkembangan proksimal satu sama lain, mereka
sering memberikan model pemikiran yang sedikit lebih maju untuk satu sama lain (Gredler,
2009). Selain itu, pembelajaran kooperatif membuat inner speech anak-anak tersedia untuk
orang lain, sehingga mereka dapat memperoleh wawasan tentang proses penalaran satu sama
lain. Artinya, anak-anak mendapat manfaat dari mendengar satu sama lain "berpikir keras",
terutama ketika teman satu kelompok mereka berbicara sendiri atau satu sama lain melalui
suatu masalah. Metode pembelajaran kooperatif sangat bervariasi dalam rinciannya. Ukuran
kelompok bisa dari dua hingga beberapa. Anggota kelompok mungkin memiliki peran atau
tugas individu, atau mereka semua mungkin memiliki tugas yang sama. Kelompok dapat
dievaluasi atau dihargai berdasarkan kinerja kelompok atau rata-rata kinerja individu, atau
mereka mungkin hanya diminta untuk bekerja sama (Mayer & Alexander, 2011) .

7. Jelaskan lima elemen yang menentukan cooperative learning sejati!


a. Positif Interdependence/ Saling Ketergantungan Positif.
Ketergantungan positif yang dimaksud adalah dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif,
setiap anggota harus menunjukkan usahanya secara maksimal agar dapat mencapai
keberhasilan kelompok. Hal ini bisa efektif dilakukan dengan memastikan bahwa setiap
anggota dalam kelompok memiliki tugasnya sendiri yang mana ini akan menumbuhkan
rasa tanggungjawab pada setiap anggota untuk mengerjakan bagiannya dengan benar (Ali,
2021).
b. Face to face interaction / Interaksi Tatap Muka.
Setiap kelompok diusahakan memiliki kesempatan berdiskusi secara tatap muka karena ini
akan berimplikasi pada kecerdasan interpersonal antara anggota satu dengan anggota
lainnya selama proses tatap muka berlangsung (Ali, 2021). Kegiatan interaksi inidapat
membantu siswa menemukan sinergi yang menguntungkan semua anggota.
c. Individual accountability / Tanggung Jawab Individual.
Unsur ketiga ini berhubungan langsung dengan unsur yang pertama dimana siswa yang
tidak mengerjakan tugasnya akan terlihat sangat jelas. Kemudian, jika hal ini terjadi, maka
anggota kelompok yang lain dapat memberikan bantuan dalam memahami materi dan
memberikan dorongan agar bisa menyelsaikan tugasnya dan tidak menghambat yang lain
(Ali, 2021).
d. Social Skill / Ketrampilan Sosial
Keterampilan social yang dimaksud disini adalah keterampilan berkomuniaksi. Guru harus
memahami bahwa tidak semua siswa memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik.
Maka, adakalanya guru perlu memberikan penjelasan secara eksplisit tentang cara-cara
melakukan komunikasi secara efektif (Ali, 2021).
e. Group debrieving / Evaluasi Proses Kelompok
Waktu evaluasi ini tidak perlu diadakan setiap kali ada belajar kelompok, melainkan bisa
diadakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajaran terlibat dalam
kegiatan belajar. Hal ini akan memunculkan kecakapan personal (personal skill), yang
mencakup kecakapan mengenai diri (self awareness) dan kecakapan berfikir rasional
(thinking skill) (Ali, 2021).
8. Tunjukkan apa yang bisa dilakukan oleh guru untuk mencocokkan tugas dengan desain
dalam cooperative learning!

Pembelajaran koopereatif dalam penilaian akhir seringkali menggunakan kuis baik itu
bsersifat individu ataupun kelompok. Hal yang bisa dilakukan guru untuk mencocokkan tugas
dengan implementasi pembelajaran kooperatif adalah dengan mencocokkan hasil kuis secara
Bersama-sama dalam kelas. Siswa yang berada dalam satukelompok saling menukar lembar
hasil jawabannya kemudian dilakukan pencocokan jawaban yang benar secara Bersama. Hal
ini akan lebih efektif baik bagi guru maupun siswa. Efektif bagi guru karen guru tidak perlu
mengoreksi satu persatu hasil kuis dan lebih menghemat waktu. Efektif bagi siswa karena
dalam proses koreksi ini pasti akan timbul jawaban yang berbeda dan nantinya ini dapat
memancing siswa berpikir kritis sekiaranya mana jawaban yang paling benar dan guru bisa
menanyakan alasannya mengapa. Selain itu, siswa akan lebih terlatih dan akan lebih mengingat
materi yang ada di kuis karena mereka tahu apakah jawaban mereka salah atau benar dan
mereka akan belajar dari sana secara lebih efektif.
9. Bandingkan beberapa strategi yang munckin bisa digunakan untuk cooperative learning
!
a. Student Teams–Achievement Divisions (STAD). Metode pembelajaran STAD biasanya
diterapkan dalam mengatasi siswa yang heterogen baik itu dari jenis kelamin, tingkat
pemahaman materi dalam kelas dsb. Metode pembelajaran STAD ini bisa disebut sebagai
belajar yang bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kerjasama siswa
menumbuhkan kreativitas dan mengembangkan cara berpikir kritis meningkatkan dalam
bantu teman sebayanya (Putri & Sutriyono, 2018). Proses pelaksanaanya dalam (Slavin,
2017) dijelaskan Guru menyajikan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja dalam tim
mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Akhirnya,
semua siswa mengambil kuis individu pada materi, di mana mereka tidak boleh saling
membantu. Skor kuis siswa dibandingkan dengan rata-rata masa lalu mereka sendiri, dan
poin diberikan berdasarkan sejauh mana siswa memenuhi atau melampaui penampilan
mereka sebelumnya. Poin-poin ini kemudian dijumlahkan untuk membentuk skor tim, dan
tim yang memenuhi kriteria tertentu dapat memperoleh sertifikat atau hadiah lainnya.
b. Teams–Games–Tournaments (TGT). TGT adalah salah satu metode belajar kooperatif
yang mudah diterapkan serta mampu melibatkan seluruh siswa tanpa adanya perbedaan
status baik itu siswa yang pintar maupun siswa yang kurang memahami pelajaran tujuan
diadakannya pembelajaran metode pembelajaran ini adalah untuk membuat siswa yang
sudah pintar diusahakan dapat membantu temannya yang memiliki kemampuan yang lebih
rendah. Tidak ada Kuis seperti pada pembelajaran kooperatif yang lainnya melainkan akan
ada turnamen yang mana siswa berkompetisi dengan anggota kelompok lain
mengumpulkan poin yang nantinya akan dikumpulkan pada skor kelompok (Solihah,
2016).
c. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Menurut Teknik Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC), salah satu teknik pembelajaran berbasis
kerjasama, dirancang untuk mengembangkan keterampilan membaca, menulis dan bahasa
lainnya di kelas atas pendidikan dasar. Teknik CIRC menyajikan struktur yang
meningkatkan tidak hanya kesempatan untuk pengajaran langsung dalam membaca dan
menulis tetapi juga penerapan teknik penulisan komposisi.(Durukan, 2011) Metode CIRC
ini melibatkan siswa yang bekerja dalam tim pembelajaran kooperatif yang beranggotakan
empat orang. Mereka terlibat dalam serangkaian kegiatan satu sama lain, termasuk
membaca satu sama lain; membuat prediksi tentang bagaimana cerita naratif akan keluar;
meringkas cerita satu sama lain; menulis tanggapan terhadap cerita; dan berlatih ejaan,
decoding, dan kosa kata. Mereka juga bekerja sama untuk menguasai gagasan utama dan
mengembangkan keterampilan pemahaman lainnya (Slavin, 2017).
d. Jigsaw. jigsaw melibatkan siswa dari latar belakang budaya yang berbeda bekerja sama
dengan melakukan bagian yang berbeda dari sebuah proyek untuk mencapai tujuan
bersama. Aronson menggunakan istilah jigsaw karena dia melihat teknik seperti
sekelompok siswa yang bekerja sama untuk menyusun potongan-potongan yang berbeda
untuk menyelesaikan teka-teki gambar (Santrock, 2017).
e. Learning Together. Sebuah model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh
David Johnson dan Roger Johnson (1999), Belajar Bersama melibatkan siswa bekerja
dalam kelompok heterogen empat atau lima anggota pada tugas. Kelompok menyerahkan
satu tugas selesai dan menerima pujian dan penghargaan berdasarkan produk kelompok.
Metode ini menekankan kegiatan membangun tim sebelum siswa mulai bekerja sama dan
diskusi reguler dalam kelompok tentang seberapa baik mereka bekerja sama (Slavin, 2017).
f. Peer Assisted Learning Strategies (PALS). PALS adalah metode pembelajaran kooperatif
terstruktur di mana siswa bekerja berpasangan, bergiliran sebagai guru dan pembelajar,
menggunakan strategi metakognitif tertentu (Slavin, 2017).

10. Jika kalian sebagai guru ingin menggunakan cooperative learning dengan siswa-siswa
kalian tetapi mereka terbiasa dengan pekerjaan individual, uraikan bagaimana kalian
akan memulainya?
Cooperative merupakan tipe pembelajaran yang mengharuskan siswa melakukan banyak
interaksi untuk bekerjasama dalam kelompok yang nantinya dibentuk. Guru perlu memahami
apabila tidak semua siswa memiliki keterampilan bersosioalisai dan berkomunikasi yang baik,
dan ini bisa menjadi salah stau factor siswa lebih terbiasa melakukan pekerjaan secara
individual. Maka, hal pertama yang akan saya lakukan adalah memberikan pemahaman
mengenai cooperative learning, mulai dari pengertian, tujuan dilakukan, dan hasil yang akan
dicapai. Disini, guru harus memiliki keterampilan berkomunikasi yang baik agar siswa mampu
memahami metode belajar yang baru. Kemudian, saya juga akan memberikan penjelasan
bahwa adanya cooperative learning ini tidak bermaksud mengelompokkan mereka sesuai
dengan suatu kategori, namun ini merupakan salah satu inovasi belajar agar siswa tidak bosan
dalam proses pembelajaran. Selain itu menurut(Sulfemi, 2019) Pembelajaran kooperatif yang
dilakukan ini bertujuan juga untuk saling mengetahui dan memahami keadaan teman sebaya
dari berbagai latar belakang. Hal ini bertujuan untuk mereka bisa bekerja dan saling bergantung
hubungan dengan tugas akademik yang diberikan oleh guru sini siswa juga harus belajar
menghargai satu dan teman yang lainnya.
Jika siswa sudah memahami latar belakang adanya cooperative learning, maka selanjutnya
adalah menjelaskan bagaimana prosedur jalannya metode belajar ini. Penting memberikan
pemahaman bagi siswa bahwa belajar secara berkelompok bukan berarti tugasnya dibebankan
pada satu atau beberapa orang, tetapi ini merupakan tanggung jawab setiap anggota kelompok,
maka setiap dari siswa harus memahami tugasnya masing-masing dna bertanggungjawab atas
tugas yang diberikan. Apabila siswa sudah memahami bagaimana proses pelaksanaaannya,
maka saya sebagai guru bisa melakukan pemantauan dan bimbingan selama cooperative
learning berlangsung. Metode pembelajaran ini tidak bisa berhasil hanya dengan satu
percobaan, diperlukan beberapa kali Latihan agar antar siswa memiliki keterikatan dalam
pengerjaan tugas kelompok yang diberikan. Siswa pastinya memiliki proses adaptasi yang
berbeda, tetapi mungkin akan lebih cepat jika adaptasi ini dilakukan dengan teman sebaya.

11. Uraikan apa yang bisa dilakukan oleh guru untuk menciptakan sebuah komunitas
belajar di kelas!
Komunitas Belajar hadir sebagai inovasi metode belajar yang awalnya bersifat individual
menjadi bersifat sosial. Apabila dalam suatu kelas memiliki iklim kompetitif, maka dalam
rangka menciptakan komunitas belajar, iklim kelas harus diubah menjadi iklim social. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisir adanya kesenjangan intelektual serta pengalaman belajar antar
siswa (Suprantini et al., 2017). Menurut (Santrock, 2017) Ada banyak cara untuk menciptakan
kerjasama dan saling ketergantungan untuk seluruh kelas. Salah satunya adalah menetapkan
tujuan kelas kemudian jika tercapai diberikan hadiah. Hal ini dapat dicapai dengan
menambahkan poin bonus ke nilai akademik semua anggota kelas ketika semua anggota kelas
mencapai tujuan “atau dengan memberikan hadiah nonakademik, seperti waktu luang ekstra,
waktu istirahat tambahan, stiker, makanan,T-shirt, atau kelas. berpesta." Kerjasama kelas dapat
dipromosikan dengan “menempatkan tim yang bertanggung jawab atas pembersihan kelas
setiap hari, menjalankan bank kelas atau bisnis, atau terlibat dalam kegiatan lain yang
bermanfaat bagi kelas secara keseluruhan. Kelas juga dapat disusun melalui pembagian sumber
daya, seperti meminta kelas menerbitkan buletin di mana setiap kelompok kooperatif
menyumbangkan satu artikel . . . satu kelas sedang belajar geografi.” Langit-langitnya berubah
menjadi peta dunia besar. “Kelas dibagi menjadi delapan kelompok kooperatif. Setiap
kelompok diberi lokasi geografis untuk membuat laporan. Kelas kemudian merencanakan
rencana perjalanan untuk mengunjungi kedelapan tempat tersebut. Benang digunakan untuk
menandai perjalanan mereka. Saat mereka tiba di setiap tempat, kelompok yang sesuai
mempresentasikan laporannya” tentang lokasi (Santrock, 2017).
DAFTAR PUSTAKA

Ali, I. (2021). PEMBELAJARAN KOOPERATIF (COOPERATIVE LEARNING) DALAM


PENGAJARAN PENDIDIKAN AGAM AISLAM. Jurnal Mubtadiin, 7(1), 247–264.

Durukan, E. (2011). Effects of cooperative integrated reading and composition (CIRC) technique
on reading-writing skills. Educational Research and Reviews, 6(1), 102–109.
http://www.academicjournals.org/ERR

Mayer, R. E., & Alexander, P. A. (2011). Handbook of Research on Learning and Instruction.
Taylor & Francis e-Library.

Poondej, C., & Lerdpornkulrat, T. (2016). The development of gamified learning activities to
increase student engagement in learning. In Australian Educational Computing (Issue 2).

Putri, K. C., & Sutriyono, D. (2018). PENGARUH METODE PEMBELAJARAN STAD


TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS VIII. 7(2).
http://journal.institutpendidikan.ac.id/index.php/mosharafa

Santrock, J. W. (2017). Educational psychology.

Slavin, R. E. (2017). Educational Psychology : theory and practice.

Solihah, A. (2016). PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN TEAMS GAMES


TOURNAMENT (TGT) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA. Jurnal SAP,
1(1).

Sulfemi, W. B. (2019). MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF MIND MAPPING


BERBANTU AUDIO VISUAL DALAM MENINGKATKAN MINAT, MOTIVASI DAN
HASIL BELAJAR IPS. Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Indonesia, 4(1), 13–19.

Suprantini, E., Rohaetin, S., & Oktobery, R. (2017). Upaya Peningkatan Prestasi Belajar IPS
Terpadu Melalui Pendekatan Komunitas Belajar di Kelas VIII SMPN-3 Parenggean Tahun
Pelajaran 2016/2017. Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (JPIPS), 8(2), 21–28.
Tai, J. H. M., Bellingham, R., Lang, J., & Dawson, P. (2019). Student perspectives of engagement
in learning in contemporary and digital contexts. Higher Education Research and
Development, 38(5), 1075–1089. https://doi.org/10.1080/07294360.2019.1598338

Taylor, S. S., & Statler, M. (2014). Material Matters: Increasing Emotional Engagement in
Learning. Journal of Management Education, 38(4), 586–607.
https://doi.org/10.1177/1052562913489976

Woolfolk, A. (2020). Educational psychology.


Lampiran

Anda mungkin juga menyukai