Anda di halaman 1dari 13

BAB II

Tinjauan Pustaka

2. 1. Pengertian
IVK merupakan kondisi mengenai sistem vena ekstremitas bawah yang
dapat menyebabkan berbagai patologi, meliputi nyeri, bengkak, perubahan warna
kulit dan ulserasi. Insufisiensi vena kronik terjadi jika katup vena tidak berfungsi
dengan baik, dan terjadi gangguan sirkulasi darah pada vena tungkai.2
IVK adalah stadium lanjut dari penyakit venosa yang dapat disebabkan
oleh kejadian patologis yang menyebabkan gangguan venous return atau aliran
balik vena, yang dapat terjadi pada vena-vena superfisialis ataupun profunda. Hal
ini disebabkan disfungsi katup-katup vena yang menyebabkan aliran darah vena
terganggu, sehingga terjadi refluks darah dalam vena. Insufisiensi vena kronik
terjadi pada vena ekstremitas bawah dengan manifestasi nyeri pada tungkai
bawah, bengkak, edema, perubahan kulit, dan ulserasi. Gangguan ini biasanya
berlangsung progresif selama beberapa tahun.3
Penyebab lain dari IVK adalah karena adanya permasalahan dari
kontraksi otot betis, jika ototnya lemah maka darah tidak akan terdorong kembali
ke jantung.5 Penyakit ini memiliki penampakan gejala yang sama, yaitu
pembengkakan tungkai (leg swelling), perubahan warna kulit
(hyperpegmentation), kulit yang menebal (limpodermatosclerosis), dan ketika
penyakit tersebut telah mencapai pada tahap berat dapat menyebabkan munculnya
luka yang susah sembuh (sores or wound) dan biasanya lokasi luka terlihat di
daerah tungkai.6
IVK adalah suatu keadaan gangguan sistem vena yang disebabkan oleh
inkompetensi katup, berhubungan dengan atau tidak dengan obstruksi, dapat
mengenai sistem vena superfisialis, vena profunda atau keduanya.7
Dari pemaparan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bawah
IVK adalah gangguan serta kondisi mengenai sistem vena ekstremitas bawah yang
biasanya berlangsung progresif selama beberapa tahun yang dapat menyebabkan
berbagai patologi dengan manifestasi nyeri pada tungkai bawah, bengkak,
perubahan kulit, dan ulserasi.

5 Poltekkes Kemenkes Jakarta II


6

2. 2. Anatomi dan Fisiologi


Sistem sirkulasi memiliki peran penting dalam tubuh, karena sistem
sirkulasi ini bertanggung jawab terhadap peredaran darah keseluruh tubuh. Dalam
sistem ini jantung dan pembuluh darah adalah organ tubuh yang memiliki peran
sentral dalam sistem sirkulasi, dimana setiap denyutannya, pembuluh darah akan
mengantarkan darah yang kaya akan oksigen dan nutrisi untuk organ dan jaringan
yang ada di dalam tubuh melalui sistem pembuluh darah arteri, kemudian darah
sisa hasil metabolisme tersebut akan dibawa kembali ke jantung melalui sistem
pembuluh darah vena.7
Dalam sistem sirkulasi terdapat tiga jenis pembuluh darah yang memiki
peran berbeda. Dua sistem pembuluh darah utama adalah arteri dan vena. Arteri
adalah pembuluh darah yang berfungsi sebagai pembawa darah yang kaya akan
oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh, sedangkan pembuluh
darah vena berfungsi sebagai pembawa darah hasil metabolisme jaringan dan
organ tubuh untuk dibawa kembali ke jantung. Pembuluh darah limfe adalah
komponen sistem pembuluh darah ketiga yang berfungsi sebagai pengangkut
cairan, protein dan sisa-sisa lainnya yang tertinggal oleh vena. Sistem limfe ini
juga sebagai filter yang membersikan cairan sebelum di kembalikan ke jantung.7
Dalam kondisi normal, sistem sirkulasi pembuluh darah akan
mengantarkan darah yang kaya akan oksigen dan nutrisi dari jantung melalui
pembuluh darah besar arteri (aorta), kemudian ke pembuluh darah arteri dan
kemudian ke pembuluh darah arteri yang lebih kecil (arteriole dan kapiler), hingga
mencapai organ dan jaringan tubuh yang memiliki pembuluh darah arteri
berukuran mikro (cappilary bed) yang hanya dapat di lihat dengan menggunakan
mikroskop.7
Pembuluh darah Cappilary bed adalah akhir dari rangkaian sistem
pembuluh darah arteri dan juga merupakan awal dari sistem pembuluh darah vena.
Pembuluh darah capillary bed memiliki dinding yang sangat tipis, sehingga
memudahkan pelepasan oksigen dan nutrisi (gula, lemak, dll) kedalam jaringan.
Kandungan oksigen dan nutrisi yang dilepaskan di pembuluh darah capilary bed

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


7

kemudian akan kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena ke sisi bagian
kanan jantung melalui paru-paru.7

Gambar 2. 1. Sistem Sirkulasi arteri dan vena7

Vena dalam adalah pembuluh darah utama pada sistem sirkulasi


pembuluh darah vena, sedangkan vena superfisial adalah tempat berkumpulnya
aliran darah yang berasal dari kulit kemudian mengalir melewati vena
penghubung (vena perforator) dan kemudian kembali ke sistem vena dalam.
Proses aliran darah pada vena tidak seperti aliran darah pada arteri, aliran darah
pada arteri pergerakannya dipengaruhi oleh denyutan jantung, sedangkan aliran
vena dipengaruhi oleh kontraksi otot betis dan katup semilunar yang bekerja satu
arah.7
Proses sirkulasi darah melalui arteri dan vena adalah proses yang sangat
kompleks, dimana pada prosesnya otak dilibatkan untuk mengontrol sistem saraf
yang akan melepaskan senyawa kimia melalui jaringan sehingga pembuluh darah
dapat mengontrol seberapa banyak aliran darah yang diperlukan ketika dalam
kondisi aktif maupun dalam kondisi relaksasi. Salah satu contohnya adalah
pembuluh darah berperan dalam menjaga suhu tubuh, pada kondisi suhu disekitar
tubuh dingin, maka pembuluh darah akan mengalihkan proses aliran darah. Aliran
darah akan dikonsentrasikan pada bagian sentral tubuh, sehingga bagian dalam
tubuh menjadi hangat, sedangkan pembuluh darah bagian kulit akan semakin
sedikit sehingga akan mengakibatkan menutupnya pori-pori pada kulit, dan

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


8

apabila dalam kondisi panas maka proses alirannya dirubah secara otomatis, darah
akan dialirkan sebanyak mungkin ke bagian kulit yang akan dilanjutkan dengan
terbukanya pori-pori di kulit untuk menjaga agar tubuh tetap dingin.7
Pembuluh darah vena memiliki dinding yang fleksibel besar atau
kecilnya sangat tergantung dari jumlah darah yang mengisinya, sedangkan volume
darah yang mengisinya tergantung dari tekanan vena itu sendiri. Ketika jumlah
darah atau tekanan didalam vena rendah, maka vena rata seperti balon kempes.
Ketika jumlah darah atau tekanan vena meningkat, maka vena akan memuai
seperti balon yang terisi angin. Jika tekanan pada sistem vena terus meningkat
menyebabkan vena semakin penuh oleh darah, jika hal tersebut terus terjadi maka
akan menyebabkan bocornya vena sehingga menyebabkan darah akan masuk
kedalam jaringan tubuh dan manifestasi dari hal tersebut adalah adanya
pembengkakan.7
Gambar

2.2 Cara kerja katup

vena tungkai7

Secara normal
sirkulasi aliran
darah vena, sangat
tergantung dari
empat hal7, yaitu :
1. Adanya pompa
(Jantung)
Jantung
adalah organ utama
dari sistem sirkulasi darah dalam tubuh manusia. Darah yang mengalir melalui
pembuluh darah arteri disebabkan oleh adanya kerja jantung. Ketika adanya
gangguan pada kerja jantung, seperti pada penyakit gagal jantung, dimana pompa

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


9

jantung tidak bekerja secara maksimal jika hal ini terjadi secara terus-menerus
maka akan menyebabkan terjadinya pembengkakan.
2. Adanya perbedaan tekanan darah
Pembuluh darah vena memiliki perbedaan tekanan. perbedaan tekanan
pada vena sangat tergantung dari lokasi vena tersebut berada. Sebagai contoh
tekanan vena pada tungkai berbeda dengan tekanan vena di bagian kanan jantung,
hal ini disebabkan karena vena tungkai membutuhkan tekanan yang kuat agar
darah bisa dipompakan kembali ke jantung, sedangkan vena di sisi kanan jantung
tekanannya lebih lemah karena posisinya yang dekat dengan jantung. Tekanan
vena yang lemah juga dapat dijumpai pada pembuluh darah capilary bed dimana
capilary bed adalah bertemunya sistem pembuluh darah arteri dengan sistem
pembuluh darah, sehingga darah hasil pemompaan sistem pembuluh darah arteri
masih kuat, sehingga pembuluh darah vena tidak memerlukan tekanan yang tinggi
untuk memompakan darah kembali ke jantung. Ketika anda berbaring pada posisi
terlentang, maka dengan mudah darah akan mengalir dari tekanan yang tinggi
(vena tungkai) ke tekanan yang lebih rendah (vena jantung).
3. Pompa vena
Untuk mengembalikan darah ke jantung vena harus memompakan darah
yang ada di tungkai. Ada dua otot tungkai untuk memompa darah di tungkai. Otot
betis adalah pompa utama pada tungkai yang bertugas untuk memompa darah
pada vena agar terus mengalir kembali ke jantung. Sedangkan pompa vena yang
kedua bekerja pada jaringan vena tungkai lainnya untuk membantu kerja pompa
utama tungkai untuk mengembalikan darah ke jantung. Ketika kaki melangkah
otot betis berkontraksi melawan gravitasi untuk mengalirkan darah kembali ke sisi
kanan jantung. Pada pasien pasca stroke, pasien pasca kecelakaan, pembengkakan
yang terjadi pada tungkai terjadi karena otot betis yang bertindak sebagai pompa
utama vena tidak dapat bekerja dengan normal sehingga tidak bisa
mensirkulasikan darah secara normal.
4. Katup vena

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


10

Dalam sistem sirkulasi vena dibutuhkan sebuah katup pembuluh darah


vena yang normal. Fungsi katup pada pembuluh darah vena adalah untuk
menahan agar darah tidak kembali ke bawah. Ketika otot betis memompakan
darah melawan gravitasi ke arah jantung melalui sistem vena, katup vena bekerja
layaknya seperti tangga, menahan darah agar tidak turun kembali kebawah,
hingga akhirnya darah bisa mencapai sisi kanan dari jantung (dapat dilihat pada
gambar 2.2).
Gambaran anatomi pembuluh darah vena normal dapat di andaikan
seperti selang atau pipa air, bersih tidak ada sisa bekuan darah yang menempel
pada dindingnya, karena sisa bekuan darah pada dinding pembuluh darah vena
menyebabkan adanya gangguan aliran balik. Jika pada dinding pembuluh darah
vena banyak terdapat sisa bekuan darah, katup vena tidak dapat mempertahankan
jumlah darah, sehingga pada kondisi seperti ini akan terjadi aliran balik, aliran
balik vena ini dinamakan refluks. Darah dan cairan ini akan terus terdorong
kebawah, sehingga pertemuan ini membuat tekanan pada vena meningkat, ketika
tekanan pada vena semakin tinggi, menyebabkan bocornya cairan ke jaringan.
Bocornya cairan disekitar vena itulah yang merupakan faktor penyebab terjadinya
pembengkakan, simtom utama dari kelainan pembuluh darah vena.
Dari pemaparan diatas dapat di simpulkan bahwa sistem sirkulasi
pembuluh darah arteri dan vena bekerja berdasarkan empat hal, yaitu pompa,
perbedaan tekanan, pompa vena dan katup vena. Pada sistem arteri jantung
memegang peran utama sebagai pompa utama untuk mengantarkan oksigen dan
nutrisi agar dapat sampai ke organ tubuh, sedangkan sistem sirkulasi pembuluh
darah vena bekerja berdasarkan, perbedaan tekanan, sistem pompanya
menggunakan otot dan katup satu arah yang bertugas untuk mencegah aliran
balik.
2. 3. Diagnosis
IVK didiagnosis dengan pemeriksaan fisik. Akurasi pemeriksaan fisik
dapat ditingkatkan dengan bantuan alat Doppler, sehingga pemeriksa dapat
mendengarkan aliran darah. Namun, pemeriksaan paling akurat dan rinci adalah

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


11

dengan venous dupleks ultrasound yang dapat memberikan gambaran vena,


sehingga adanya hambatan akibat bekuan darah atau gangguan fungsi vena dapat
dideteksi.4
Pada awalnya pemeriksaan teknik pencitraan dilakukan hanya jika ada
kecurigaan klinis insufisiensi vena dalam, jika terjadi berulang, atau jika
melibatkan sapheno-popliteal junction. Namun, saat ini semua pasien dengan
varises harus diperiksa menggunakan dupleks ultrasonografi. Dibawah ini adalah
jenis-jenis pemeriksaan penunjang yang digunakan untuk menegakan diagnosis
insufisiensi vena kronik.4
1. Dupleks Ultrasonography
Jenis prosedur ultrasonografi yang dilakukan untuk menilai pembuluh darah,
aliran darah serta struktur vena-vena kaki.
2. Venogram
Dilakukan dengan menggunakan x-ray dan intavena (IV) pewarna kontras. Ini
untuk memvisualisasikan pembuluh darah. Pewarna kontras menyebabkan
pembuluh darah muncul suram yang memudahkan untuk memvisualisasikan
pembuluh darah yang dievaluasi.
3. Magnetic resonance venography (MRV)
Adalah alat yang paling sensitive dan spesifik untuk mengevaluasi gangguan
sistem superficial dan profunda pada ekstremitas inferior dan pelvis. Dan juga
dapat mendeteksi penyebab nonvaskuler nyeri dan udema pada kaki.
4. Tes fisiologis
Mengukur fungsi vena, dapat dilakukan dengan mengukur Venous Refilling
Time (VRT) atau waktu yang dibutuhkan untuk betis agar dipenuhi dengan
darah setelah pompa otot betis telah mengosongkan pembuluh darah kaki
semaksimal mungkin, normalnya adalah paling tidak 2 menit; Maximum
Venous Outflow (MVO) test. Ini dipakai untuk mendeteksi adanya obstruksi
outflow vena dari betis, apapun penyebabnya. Hasilnya akan mencerminkan
kecepatan darah dapat mengalir keluar dari betis yang kongesti ketika
tourniquet dipaha dilepas; Calf Muscle Pump Ejection Fraction (MPEF) atau

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


12

kemampuan pompa otot betis untuk mengeluarkan darah dari betis. Pada
pasien normal, dibutuhkan 10-20 kali dorsifleksi atau berdiri dengan jari kaki
untuk mengosongkan vena-vena betis.
5. Uji Trendelenberg
Ini dipakai untuk membedakan kongesti vena distal yang disebabkan oleh
refluks vena superficial dengan kegagalan sistem vena profunda.

2. 4. Klasifikasi
Untuk mengevaluasi dan mengklasifikasikan kondisi, pengobatan, serta
akibat atau komplikasi dari penyakit ini, dipakai beberapa skala penilaian.
Klasifikasi CEAP berdasarkan tanda-tanda klinis (Clinical), penyebab (Etiologic),
Anatomic, dan Pathophysiology. Klasifikasi etiologi memisahkan penyakit
berdasarkan sifat congenital, primer, atau sekunder. Anatomi berdasarkan vena
yang terkena termasuk vena superfisial, profunda, atau perforantes. Sedang
klasifikasi patofisiologi mengidentifikasikan refluks pada system-sistem
superficial, communicantes, atau profunda, serta obstruksi outflow. Kekurangan
utama system ini adalah karena sifatnya yang statis, klasifikasi jenis ini sulit
dipakai untuk menilai perubahan yang terjadi sebagai respons terhadap terapi
yang telah diberikan.4
Yang kedua adalah Venous Severity Scoring (VSS). System penilaian ini
diambil dari klasifikasi CEAP, tetapi dimodifikasi agar dapat dipakai untuk
menilai perkembangan penyakitnya.4 Ada tiga komponen system penilaian ini,
yaitu:
1. Venous Disability Score (VDS). Sistem ini menilai apakah pasien mampu
untuk bekerja selama 8 jam dengan atau tanpa alat penyokong eksternal,
dengan diberi nilai 0-3. Nilai totalnya mewakili tingkat disability yang
disebabkan oleh penyakit vena.
2. Venous Segmental Disease Score (VSDS). Sistem ini menggunakan
klasifikasi anatomik dan patofisiologik sistem CEAP untuk menghasilkan

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


13

nilai yang berdasarkan refluks atau obstruksi vena. Nilainya didapat dengan
mengambil gambar vena menggunakan phlebography atau dupleks Doppler.
3. Venous Clinical Severity Score (VCSS). Sistem ini memakai 9 tanda-tanda
utama penyakit venosa yang diberi nilai dari 0-3. Sistem ini dapat dipakai
untuk menilai repons terhadap terapi.

2. 5. Pencegahan, Penatalakasanaan dan Prognosis4


Berikut ini akan dipaparkan mengenai cara pencegahan dan
penatalaksaan insufiensi vena kronik.
2. 5. 1. Pencegahan
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko
terjadinya Insufisiensi vena kronik, yaitu :
1. Hindari berdiri atau duduk dalam jangka waktu yang lama.
2. Elevasi kaki untuk mengurangi tekanan dalam pembuluh darah vena di kaki.
3. Berolahraga secara teratur.
4. Menurunkan berat badan
5. Stoking kompresi untuk memusatkan tekanan pada kaki dan membantu aliran
darah.
6. Antibiotik jika diperlukan untuk mengobati infeksi kulit.

2. 5. 2. Penatalaksanaan4
Pengobatan insufisiensi vena kronis pada tungkai pada prinsipnya adalah
usaha memperlancar aliran darah vena tungkai, yaitu dengan cara melakukan
elevasi tungkai sesering mungkin, terutama setelah kegiatan berjalan-jalan,
dimana elevasi dilakukan dalam posisi duduk atau berbaring dengan membuat
posisi kaki setinggi dengan jantung. Dengan posisi tersebut aliran darah vena akan
menjadi lancar dan dilatasi vena tungkai yang berkelok-kelok menjadi tampak
mengempis dan melengkuk, pada posisi tersebut secara subjektif penderita akan
merasa keluhannya berkurang dengan cepat. Beberapa penatalaksanaan lain yang
dapat dilakukan yaitu :

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


14

a. Kaus kaki kompresi membantu memperbaiki gejala dan keadaan


hemodinamik dengan varises vena dan mengilangkan udema. Kaus kaki
dengan tekanan 20-30 mmHg (grade II) memberikan hasil yang maksimal.
Pada penelitian didapatkan sekitar 37-47 % pasien yang menggunakan kaus
kaki kompresi selama 1 tahun setelah menderita DVT mencegah terjadi ulkus
pada kaki. Kekurangan penggunaan kaos kaki adalah harga yang relative
mahal, kurangnya pendidikan pasien, dan kosmetik yang kurang baik.
b. Medikamentosa, beberapa jenis obat dapat digunakan untuk mengobati
insufisiensi vena kronis. Diuretik dapat digunakan untuk mengurangi
pembengkakan. Pentoxifylline untuk meningkatkan aliran darah melalui
pembuluh darah, dapat dikombinasikan dengan terapi kompresi untuk
membantu menyembuhkan ulkus kaki. Terapi antikoagulan dapat
direkomendasikan untuk orang-orang yang memiliki masalah berulang
dengan pembuluh darah di kaki. Sedangkan terapi MPFF (Micronized Purifed
Flavonoid Fraction) diberikan untuk menguatkan kontraksi otot vena tungkai.
c. Sclerotherapy, dengan menginjeksi bahan kimia kedalam pembuluh darah
sehingga tidak berfungsi lagi. Darah kemudian kembali ke jantung melalui
vena lain dan tubuh menyerap pembuluh darah yang terluka.
d. Operasi, pembedahan dapat digunakan untuk mengobati IVK, meliputi :
1) Ligasi. Vena yang rusak diikat sehingga darah tidak melewati vena
tersebut. Jika vena atau katup rusak berat, pembuluh darah akan diangkat
(vein stripping).
2) Surgical repair. Vena atau katup diperbaiki dengan operasi, melalui
sayatan terbuka atau dengan penggunaan kateter.
3) Vein Transplant. Mengganti pembuluh darah yang rusak dengan
pembuluh darah sehat dari bagian tubuh yang lain.
4) Subfascial endoscopic perforator surgery. Prosedur invasif minimal
dilakukan dengan endoskopi. Vena perforator dipotong dan diikat. Hal
ini memungkinkan darah mengalir ke pembuluh darah yang sehat dan
meningkatkan penyembuhan ulkus.

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


15

e. Terapi ablasi, adalah penggunaan energi termal dalam bentuk radiofrequency


atau laser untuk mengobliterasi vena.
1) Radiofrequency Ablation. Teknik ini seringkali digunakan pada refluks
vena safena sebagai alternatif stripping. Panas yang terbentuk
menyebabkan injuri termal lokal pada dinding vena yang menyebabkan
trombosis dan akhirnya fibrosis.
2) Endovenous radiofrequency ablation (ERA). vena safena besar, 85%
pasien mengalami obliterasi lengkap setelah 2 tahun dengan rekanalisasi
sekitar 11%, namun 90% pasien bebas dari refluks vena safena, dan 95%
melaporkan perbaikan gejala. Komplikasi ERA meliputi luka bakar,
parestesia, flebitis klinis, dengan sedikit lebih tinggi kejadian trombosis
vena dalam (0,57%) dan emboli paru (0,17%). Suatu studi selama 3
tahun telah membandingkan ERA yang tingkat kekambuhannya 33%,
dengan operasi terbuka yang memiliki tingkat kekambuhan 23%.
3) Endovenous Laser Therapy (EVLT) adalah teknik pengobatan gangguan
vena menahun menggunakan energi laser, biasanya dilakukan oleh
phlebologist, ahli radiologi intervensi, atau ahli bedah jantung paru dan
pembuluh telah memberikan hasil sangat baik, dengan obliterasi vena
safena pada 93% pasien setelah 2 tahun. Tingkat komplikasi yang lebih
berat seperti DVT (deep vein thrombosis), cedera saraf dan parestesia,
infeksi pasca-operasi dan hematoma, tampaknya lebih besar setelah ligasi
dan stripping daripada setelah EVLT. Komplikasi EVLT meliputi luka
bakar ringan pada kulit (0,4%) dan parestesia sementara (2,1%).
Komplikasi EVLT dapat dikategorikan sebagai komplikasi minor atau
serius. Komplikasi minor meliputi memar (51%), hematoma (2,3%), mati
rasa sementara (3,8%), flebitis (7,4%), indurasi (46,7%), dan sensasi
sesak (24,8%). Komplikasi lebih serius meliputi luka bakar pada kulit
(0,5%), trombosis vena dalam (0,4%), emboli paru (0,1%), dan cedera
saraf (0,8%). Kerusakan retina merupakan komplikasi serius tetapi sangat
jarang (< 1%) yang dapat terjadi selama penggunaan laser.

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


16

2. 5. 3 Prognosis
Prognosis kesembuhan ulkus dan inflamasi cukup bagus tanpa adanya
penyakit penyerta yang mengganggu kesembuhan. Mayoritas pasien tanpa
komplikasi memberikan respon yang baik terhadap pengobatan rawat jalan seperti
yang disebutkan dalam bagian “penatalaksanaan”. Perubahan permanen meliputi
hemosiderosis dan fibrosis yang terjadi sebelum inisiasi terapi. Kehilangan fungsi
katup bersifat ireversibel. Tidak adanya support kutaneus berkelanjutan dalam
jangka panjang dalam bentuk penutup inelastis atau stocking elastis, dapat
memperburuk cedera pada kulit dan jaringan lunak.4

2.6 Definisi Operasional


No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
1. Jenis Identitas Data Rekam 1. Laki-laki Nominal
Kelamin Kelamin Medis 2. Perempuan
Pasien
berdasarkan
organ seksnya
2. Usia Usia dihitung Data Rekam 1. ≤ 30 Tahun Ordinal
dari sejak lahir Medis 2. > 30 Tahun
sampai dengan
ulang tahun
terakhir
3 Zat Aktif Zat yang Lembar 1. MPFF* Nominal
diberikan Resep 2. Anticoagulan
dalam resep 3. Diuretik
pengobatan 4. Analgetik
IVK 5. Antibiotik
4 Stadium Tingkatan Hasil 0. IVK Negatif Ordinal

Poltekkes Kemenkes Jakarta II


17

IVK masa penyakit Pemeriksaan 1. IVK Ringan


Dupleks 2. IVK Ringan
Sonografi sampai sedang
3. IVK Sedang
4. IVK Sedang
sampai berat
5. IVK Berat
*MPFF = Micronized Purifed Flavonoid Fraction

Poltekkes Kemenkes Jakarta II

Anda mungkin juga menyukai