Anda di halaman 1dari 20

Laporan Silvikultur

PEMBUATAN KOMPOS PADAT DAN CAIR


DI KAMPUNG RIMBA

NAMA : ASRI
NIM : M011201143
KELAS : SILVIKULTUR D
KELOMPOK : 19
ASISTEN : 1. ADE AUDINA
2. JUNITA EKA PUTRI UPA

LABORATORIUM SILVIKULTUR DAN FISIOLOGI POHON


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2022
DAFTAR ISI
SAMPUL
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
I. PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................... 1
1.2 Tujuan dan Kegunaan Praktikum.............................................................. 2
II. TINJAUAN PUSTAKA................................................................................. 3
2.1....................................................................................................................
Pengukuran Diameter................................................................................ 3
2.2....................................................................................................................
Jenis-jenis Alat Ukur Diameter Pohon...................................................... 6
2.3....................................................................................................................
Pengukuran Tinggi Pohon......................................................................... 7
2.4....................................................................................................................
Jenis- jenis Alat Ukur Tinggi Pohon......................................................... 9
2.5....................................................................................................................
Bonita........................................................................................................10
2.6....................................................................................................................
Penjarangan...............................................................................................12
2.7....................................................................................................................
Derajat Kekerasan Penjarangan.................................................................15
2.8....................................................................................................................
Kerapatan Tegakan....................................................................................15
III. METODE PRAKTIKUM............................................................................18
3.1 Waktu dan Tempat...................................................................................18
3.2 Alat dan Bahan.........................................................................................18
3.3 Prosedur Kerja..........................................................................................18
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................20
4.1 Hasil..........................................................................................................20
4.2 Pembahasan..............................................................................................24
V. KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................................26
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................26
5.2 Saran .........................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberhasilan penanaman dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya


adalah pemupukan. Pupuk diberikan kepada tanaman dengan tujuan menambah
unsur hara yang dibutuhkan. Unsur hara yang berada dalam tanah dapat dibagi
menjadi dua golongan berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman. jenis pupuk
yang daoat digunakan menurut asal pembuatannya adalah pupuk organik dan
pupuk anorganik.
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari pelapukan sisa-sisa makhluk
hidup seperti tanaman, hewan, serta kotoran hewan. Pupuk ini umumnya
merupakan pupuk lengkap dengan kandungan unsur makro dan mikro walaupun
jumlahnya sedikit. Adapun pupuk organik yang telah dikenal umum antara lain
pupuk kandang, kompos, humus, pupuk hijau dan pupuk burung atau guano
(Bachtiar, 2019).
Pupuk organik memiliki peranan yang sangat penting bagi kesuburan tanah,
karena penggunaan pupuk organik pada budidaya tanaman pangan dan non
pangan dapat memperbaiki sifat fisika maupun biologis tanah. Kelebihan lain dari
pupuk organik yaitu tidak memilki kandungan zat kimia yang tidak alami,
sehingga lebih aman dan lebih sehat bagi manusia. Hal ini juga menjadi peluang
besar bagi masyarakat pedesaan untuk lebih inovatif mengembangkan
pertaniannya dalam memenuhi kebutuhan pasar (Faatih, 2012).
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bahaya membakar sampah baik
itu disekitar halaman rumah mereka atau bahkan dalam skala yang lebih besar
yaitu membakar sampah untuk membuka lahan menyebabkan banyak sekali
kerugian baik dari pihak masyarakat lainnya maupun dari pihak pemerintah. Jika
dikaji dari pihak masyarakat lainnya, akibat dari pembakaran sampah itu kabut
asap yang dihasilkan dari pembakaran itu dapat menjadi penyebab gangguan
pernapasan, udara menjadi tercemar dan yang paling berbahaya yaitu memicu
terjadinya kebarakaran, sedangkan dari pihak pemerintah, begitu banyak hutan
yang seharusnya dilindungi yang kemudian dibuka menjadi lahan baru dengan
cara dibakar.
Pemanfaatan limbah dilakukan dengan menjadikannya hal baru yang sangat
bermanfaat. Salah satu usaha pemanfaatan limbah tersebut adalah dengan
menjadikannya kompos. Agar proses pengomposan dapat berjalan dengan lebih
cepat dan efisien dilakukan dengan menambahkan mikroorganisme perombak
bahan organik atau EM-4 (Novi R, 2017)
1.2. Tujuan Praktikum

Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah sebagai berikut:


1. Mengetahui dasar-dasar pengomposan sederhana
2. Membandingkan kompos padat dan kompos cair
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kompos

Kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal dari
mahluk hidup, seperti daun, cabang tanaman, kotoran hewan dan sampah. Proses
pembuatan kompos dapat dipercepat dengan bantuan manusia dan akhir-akhir ini
kompos lebih banyak digunakan dibandingkan dengan pupuk kandang karena
kompos lebih mudah membuatnya. Kandungan hara dalam kompos sangat
bervariasi tergantung dari bahan yang dikomposkan, cara pengomposan dan cara
penyimpanannya. Kompos yang baik mempunyai butiran yang lebih halus dan
berwarna coklat agak kehitaman (Faatih, 2012).
Pemberian kompos pada tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti
pembentukan agregat atau granulasi tanah serta meningkatkan permiabilitas dan
porositas tanah. Pupuk kompos bermanfaat dalam meningkatkan produktivitas
media tanam tanaman dengan meningkatkan sifat fisik, kimia, dan biologis tanah;
penggunaannya aman dan tidak merusak lingkungan; dan tidak memerlukan
banyak biaya dan proses pembuatannya mudah (Bachtiar, 2019).
Penggunaan kompos sebagai pupuk sangat baik karena kompos dapat
menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah,
memperbaiki tekstur tanah, meningkatkan porositas, aerasi dan komposisi
mikroorganisme tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, dan
memudahkan pertumbuhan akar tanaman. Manfaat kompos yaitu menyediakan
unsur hara mikro bagi tanaman, menggemburkan tanah, memperbaiki struktur dan
tekstur tanah, meningkatkan porositas, aerasi, dan komposisi mikroorganisme
tanah, meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, memudahkan pertumbuhan akar
tanaman, menyimpan air tanah lebih lama, meningkatkan efisiensi pemakaian
pupuk kimia, dan bersifat multi lahan karena dapat digunakan di lahan pertanian,
perkebunan, reklamasi lahan kritis maupun pada golf (Bachtiar, 2019).
Kompos memiliki keunggulan dibandingkan pupuk kimia, karena memiliki
sifat-sifat seperti mengandung unsur hara makro dan mikro yang lengkap,
walaupun dalam jumlah yang sedikit, memperbaiki struktur tanah dengan cara
meningkatkan daya serap tanah terhadap air dan zat hara, memperbaiki kehidupan
mikroorganisme di dalam tanah dengan cara menyediakan bahan makanan bagi
mikroorganisme tersebut, memperbesar daya ikat tanah berpasir, sehingga tidak
mudah berpencar, memperbaiki drainase dan tata udara di dalam tanah, membantu
proses pelapukan bahan mineral, melindungi tanah terhadap kerusakan yang
disebabkan erosi, dan meningkatkan kapasitas tukar kation. Sifat-sifat kompos
yaitu kompos dapat menurunkan aktivitas mikroorganisme tanah yang merugikan.
Kompos yang baik adalah kompos yang mengalami pelapukan dengan ciri-ciri
warna yang berbeda dengan warna bahan pembentuknya, tidak berbau, kadar air
rendah, dan mempunyai suhu ruang (Bachtiar, 2019).
Pengomposan merupakan salah satu metode pengelolaan sampah organik
yang bertujuan mengurangi dan mengubah komposisi sampah menjadi produk
yang bermanfaat. Pengomposan merupakan salah satu proses pengolahan limbah
organik menjadi material baru seperti halnya humus.Kompos umumnya terbuat
dari sampah organik yang berasal dari dedaunan dan kotoran hewan, yang sengaja
ditambahkan agar terjadi keseimbangan unsur nitrogen dan karbon sehingga
mempercepat proses pembusukan dan menghasilkan rasio C/N yang ideal.
Kotoran ternak kambing, ayam, sapi ataupun pupuk buatan pabrik seperti urea
bisa ditambahkan dalam proses pengomposan (Faatih, 2012).
Pengomposan bukanlah suatu ide atau hal yang baru. Pengomposan
merupakan suatu proses penguraian mikrobiologis alami dari bahan
buangan/limbah atau bagian dari tumbuhan. Saat ini proses pengomposan dari
berbagai jenis limbah baik padat maupun cair telah dikembangkan hingga limbah
organik menghasilkan suatu produk akhir yang lebih bernilai. Teknologi
pengomposan telah berkembang dengan pesat, terutama oleh mereka yang lebih
peduli terhadap pelestarian lingkungan; karena proses ini dipandang sebagai
alternatif terbaik dalam pemanfaatan limbah. Beberapa faktor penting yang harus
diperhatikan dari proses pengomposan adalah faktor C/N ratio, kadar air, populasi
mikroba dan porositas campuran (Pratiwi, 2013).
Proses pengomposan akan segara berlangsung setelah bahan-bahan mentah
dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan
senyawa-senyawa yang mudah tergredasiakan segera dimanfaatkan oleh mikroba
mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula
akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas
50-700C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Mikroba yang aktif pada
kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi
(Pratiwi, 2013).
Selama proses pengomposan, sejumlah jasad hidup seperti bakteri dan jamur,
berperan aktif dalam penguraian bahan organik kompleks menjadi lebih
sederhana. Untuk mempercepat perkembangbiakan mikroba, telah banyak
ditemukan produk isolat mikroba tertentu yang dipasarkan sebagai bioaktivator
dalam pembuatan kompos, salah satunya adalah Effective Microorganisms 4
(EM4). Larutan EM4 mengandung mikroorganisme fermentor yang terdiri dari
sekitar 80 genus, dan mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara
efektif dalam fermentasi bahan organik. Dari sekian banyak mikroorganisme, ada
tiga golongan utama, yaitu bakteri fotosintetik, Lactobacillus sp., dan jamur
fermentasi (Pratiwi, 2013).
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik atau anaerobik. Proses yang
dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan
oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga
terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses
ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang
tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau
tidak sedap seperti asam-asam organik (asam asetat, asam butirar, asam valerat,
puttrecine), ammonia, dan H2S. Proses pengomposan tergantung pada:
1. Karakteristik bahan yang dikomposkan
2. Aktivator pengomposan yang dipergunakan
3. Metode pengomposan yang dilakukan
Tanda-tanda Pupuk kompos siap pakai strukturnya sudah hancur, penyusutan
berat, suhu kompos mendekati suhu udara, bau seperti tanah, struktur sudah
hancur, penyusutan berat, suhu kompos mendekati suhu udara, bau seperti tanah.
Pengomposan secara aerobik paling banyak digunakan, karena mudah dan murah
untukdilakukan, serta tidak membutuhkan kontrol proses yang terlalu sulit.
Dekomposisi bahan dilakukan oleh mikroorganisme di dalam bahan itu sendiri
dengan bantuan udara.Sedangkan pengomposan secara anaerobik memanfaatkan
mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan
organik. Artinya pengomposan dengan menggunakan bioaktivator seperti EM4
adalah termasuk pengomposan secara anaerobik karena membutuhkan
mikroorganisme (Dahlianah, 2015).
Bahan baku pengomposan adalah semua material organ yang mengandung
karbon dan nitrogen, seperti kotoran hewan, sampah hijauan, sampah kota, lumpur
cair dan limbah industri pertanian. Pengomposan ini merupakan salah satu upaya
untuk meminimalisasii sampah dengan menerapkan prinsip mengurangi (reduce),
memanfaatkan kembali (reuse), dan mendaur ulang (recycle), yang dimulai dari
sumbernya (Dahlianah, 2015).
Kompos sangat berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya
jumlah sampah organik yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan
menyebabkan terjadinya polusi bau dan lepasnya gas metana ke udara. Ini terlihat
bahwa potensi untuk mengolah sampah organik menjadi pupuk organik demi
kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat harus dilaksanakan. Kompos
merupakan salah satu pupuk organik, karena itu tanpa pupuk organik, efisiensi
dan efektivitas penyerapan unsur hara tanaman pada tanah tidak akan berjalan
lancar, dan efektivitas penyerapan unsur hara sangat dipengaruhi olek kadar bahan
organik dalam tanah (Dahlianah, 2015).
Pencacahan dalam proses pembuatan kompos bertujuan untuk memudahkan
makroorganisme dan mikroorganisme dalam mendekomposisi bahan organik
yang digunakanalat yang akan digunakan adalah Mesin Grinding (mesin
pencacah). Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara
mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran
partikel juga menentukan besarannya ruang antar bahan (porositas). Untuk
meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel bahan tersebut. Pada pelaksanaan kompos akan melalui berbagai proses,
yaitu (Budi U, 2018) :
1. Penimbangan
Pada proses penimbangan memerlukan beberapa alat seperti timbangan.
Tujuan dari penimbangan ini agar perbandingan jumlah bahan dapat dipantau
sebagai berat awal bahan organik yang digunakan. Berat total bahan organik yang
digunakan adalah 100 kg pada tumpukan.
2. Penumpukan
Proses penumpukan bahan organik pada penelitian ini akan menggunakan
metode Hot Composting, dengan suhu yang dihasilkan mencapai suhu termofilik
yaitu pada suhu 50ºC - 60ºC pada hari ke-4. Tumpukan yang digunakan yaitu
tinggi 1,5 meter dan lebar 1,5 meter. Pada pembuatan kompos inimenggunakan
perbandingan 60kg daun kering dengan 40kg sampah sayuran.
3. Pemantauan
Pemantauan bertujuan untuk mempertahankan parameter makro yang dapat
menguntungkan dalam proses dekomposisi. Pada proses pemantauan yang akan
lebih diukur adalah suhu,pH,kelembaban, dan aerasi.
4. Pembalikan
Proses pembalikan bertujuan untuk mempertahankan parameter yang
dipantau, selain itu proses pembalikan akan menentukan kematangan dari kompos
yang dibuat. Proses pembalikan dilakukan setiap 2 hari sekali dihitung dari proses
pemeraman awal penumpukan hingga hari ke 4.
5. Pengayakan
Proses pengayakan ini bertujuan untuk memisahkan partikel kompos sesuai
dengan ukurannya. Selain itu proses pengayakan akan merubah ukuran kompos
mejadi lebih kecil.
2.2. Metode Pengomposan
Dalam proses pembuatan kompos, ada banyak metode antara metode satu
dengan yang lain tidak banyak berbeda, karena metode tersebut hanya merupakan
modifikasi dari metode lain, berikut beberapa metode yang dapat digunakan.
1. Pengomposan berdasarkan ketersediaan udara
Umumnya metode ini dibagi menjadi dua cara yaitu metode aerobik dan
metode anaerobik.
a. Proses pengomposan aerobik membutuhkan udara dari luar. Karena itu
proses ini perlu dilakukan aerasi dan aerasi ini bisa dengan dua acara yaitu
aktif dan pasif. Aerasi pasif adalah cara pengaliran udara tanpa
menggunakan alat bantu jadi udara masuk ke dalam proses pengomposan
melalui beda tekanan antara luar dan dalam ditimbuan bahan baku
kompos, aerasi aktif dilakukan dengan menggunakan tekanan yang
umumnya berasal dari mesin.
b. Proses pengomposan secara anaerobik merupakan modifikasi biologis
pada struktur kimia dan biologi bahan organik tanpa kehadiran oksigen
(hampa udara). Proses ini merupakan proses yang dingin dan tidak terjadi
fluktuasi temperatur seperti yang telah terjadi pada proses pengomposan
secara aerobik. Namun, pada proses anaerobik perlu tambahan panas dari
luar sebesar 30 derajat C.
2. Pengomposan dengan tertutup
Teknik ini dilakukan dengan cara menutup permukaan timbunan, baik
menggunakan plastik, terpal maupun kain. Bahan baku kompos ditumpuk secara
berlapis-lapis di tempat pengomposan dengan lebar permukaan dasarnya 2 meter
dan tinggi 1,5 meter. Bahan baku juga bisa diletakkan dengan cara
menumpukkannya seperti kerucut setinggi 1,5 meter dengan garis tengah
berukuran 2 meter (Budi U, 2018).
Sejak awal, bahan baku yang telah dicampur ditutup dengan terpal sampai
proses pengomposan selesai. Namun, bisa juga bahan kompos belum dicampur
pada awal pengomposan dan baru diaduk saat pembalikan dengan penambahan air
seperlunya. Metode ini dapat dilakukan pada pengomposan skala kecil, sedang
maupun besar (Budi U, 2018).
2.3. Bahan Pengurai Kompos
2.3.1. Jamur Trichoderma sp

Trichoderma sp merupakan salah satu jenis jamur yang menguntungkan bagi


pertanian, selain berperan sebagai agen hayati, Trichodermasp juga berperan
sebagai pengurai bahan organik. Trichodermasp memiliki kemampuan untuk
mempercepat penguraian seresah tanaman yang sulit terurai.Hasil penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa dosis kompos Trichodermasebanyak 30-40 ton/ha dapat
mengendalikan penyakit yang disebabkan oleh jamur patogen tular tanah dan
meningkatkan produksi tanaman kacang tanah (Novi R, 2014)
Pengomposan pada dasarnya merupakan upaya mengaktifkan kegiatan
mikroba agar mampu mempercepat proses dekomposisi bahan organik. Yang
dimaksud mikrobia disini bakteri, fungi dan jasad renik lainnya. Bahan organik
disini merupakan bahan untuk baku kompos ialah jerami, sampah kota, limbah
pertanian, kotoran hewan/ ternak dan sebagainya. Cara pembuatan kompos
bermacam-macam tergantung: keadaan tempat pembuatan, buaday orang, mutu
yang diinginkan, jumlah kompos yang dibutuhkan, macam bahanyang tersedia
dan selera si pembuat (Pandebesie, 2013).
Menurut Dewi, dkk. (2012).Pembuatan kompos adalah dengan
menumpukkan bahan-bahan organik dan membiarkannya terurai menjadi bahan-
bahan yang mempunya nisbah C/N yang rendah (telah melapuk). Beberapa alasan
pengomposan bahan organik antara lain:
1. Kita tidak selalu mempunyai pupuk kandang atau bahan-bahan organik lain
pada saat kita memerlukannya. Seringkali kita harus membiarkannya sampai
tiba saat yang tepat untuk menggunakannya. Jadi pembuatan pupuk kompos
merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum dipergunakan sebagai
pupuk.
2. Struktur bahan organik sangat kasar dan daya ikatnya terhadap air kecil. Bila
bahan ini langsung dibenamkan ke dalam tanah akan terjadi persaingan unsur
N atau bakteri pengurai N dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Selain itu
tanah akan terdispersi. Hal ini mungkin baik pada tanah-tanah yang
mengadung liat tinggi, tapi tidak demikian pada tanah-tanah berpasir.
3. Bila tanah cukup mengandung udara dan air, peruraian bahan organik akan
berlangsung cepat. Akibatnya jumlah CO2 di dalam tanah akan meningkat
dengan cepat dan hal ini dapat menganggu pertumbuhan tanaman.
4. Pada pembuatan kompos biji-biji gulma, benih, hama dan penyakit bisa mati
karena panas.
5. Seringkali dilakukan pembakaran bahan organik sebagai usaha mempercepat
proses mineralisasi.Dengan cara ini tidak akan diperoleh penambahan humus
dan N ke dalam tanah, karena habis terbakar. Oleh karena itu diperlukan
pembuatan kompos. Bahan organik tidak dapat langsung digunakan
ataudimanfaatkan oleh tanaman karena perbandingan C/N dalam bahan baku
tersebut relatif tinggi atau tidak sama dengan C/N tanah. Nilai C/N tanah
sekitar 10-12. Apabila bahan organik mempunyai kandungan C/N mendekati
atau sama dengan C/N tanah maka bahan tersebut dapat digunakan atau
diserap tanaman. Prinsip pengomposan adalah menurunkan C/N rasio bahan
organik sehingga sama dengan tanah.
2.3.2. Larutan EM-4

Effective Microorganisms (EM4) ditemukan pertama kali oleh Teruo Higa


dari Universitas Ryukyus Jepang. Larutan EM4 ini mengandung mikroorganisme
fermentasi yang jumlahnya sangat banyak, sekitar 80 genus dan mikroorganisme
tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam fermentasi bahan organik.
Dari sekian banyak mikroorganisme, ada lima golongan yang pokok, yaitu bakteri
fotosintetik, Lactobacillus sp., Saccharomyces sp., Actinomycetes sp., dan jamur
fermentasi (Yuniwati dkk.,2012).
Effective microorganisms (EM4) merupakan salah satu aktivator yang dapat
membantu mempercepat proses pengkomposan dan bermanfaat meningkatkan
unsur hara kompos (Budihardjo dan Arif, 2006). Menurut Manuputty dkk.(2012)
Effective Microorganism 4 (EM4) adalah kultur campuran dari berbagai
mikroorganisme yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. EM4 ini
mengandungLactobacillus spdan sebagian kecil bakteri fotosintetik,Streptomyces
sp, dan ragi, sedangkan menurut Dewi dan Claudia (2014), Effective
Microorganisme (EM4)adalah sejenis bakteri yang dibuat untuk membantu dalam
pembusukan sampah organik sehingga dapat dimanfaatkan dalam proses
pengkomposan (Yuniwati dkk.,2012).
Selain berfungsi dalam fermentasi dan dekomposisi bahan organik, EM4 juga
mempunyai manfaat antara lain: 1) memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah, 2) menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, 3) menyehatkan
tanaman, meningkatkan produksi tanaman, dan menjaga ke stabilan produksi
tanaman, 4) menambah unsur hara tanah dengan cara disiramkan ke tanah,
tanaman, atau disemprotkan ke daun tanaman, 5) mempercepat pembuatan
kompos sampah organik atau kotoran hewan (Yuniwati dkk.,2012).
Menurut Yuniwati dkk. (2012), Effective Microorganisms (EM4) adalah
suatu kultur campuran berbagai mikroorganisme yang bermanfaat terutama
bakteri fotosintesis, bakteri asam laktat, ragi, Actinomycetes, dan jamur peragian
yang dapat digunakan sebagai inokulan untuk meningkatkan keragaman mikroba
tanah dan dapat memperbaiki kesehatan serta kualitas tanah. Berikut ini adalah
fungsi dari masing-masing mikroorganisme larutan EM4:
1. Bakteri fotosintesis
Bakteri fotosintesis berfungsi untuk membentuk zat-zat yang bermanfaat bagi
sekresi akar tumbuhan, bahan organik, dan gas berbahaya dengan menggunakan
sinar matahari dan bumi sebagai sumber energi. Zat-zat bermanfaat itu antara lain
asam amino, asam nukleik, zat-zat bioaktif, dan gula. Semuanya mempercepat
pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Bakteri fotosintesis juga dapat
meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme lainnya.
2. Bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat menghasilkan asam dari gula, berfungsi untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme yang merugikan, meningkatkan percepatan
perombakan bahan-bahan organik, dapat menghancurkan bahan-bahan organik
seperti lignin, selulosa, serta memfermentasikannnya tanpa menimbulkan
pengaruh-pengaruh merugikan yang diakibatkan oleh bahan-bahan organik yang
tidak terurai.
3. Ragi
Ragi dapat membentuk zat anti bakteri dan bermanfaat bagi pertumbuhan
tanaman dari asam-asam amino dan gula yang dikeluarkan oleh bakteri
fotosintesis dan meningkatkan jumlah sel aktif dan perkembangan akar.
4. Actibomycetes
Actinomycetes menghasilkan zat-zat antimikroba dari asam amino yang
dihasilkan oleh bakteri fotosintesis dan bahan organik dan menekan pertumbuhan
jamur dan bakteri.
5. Jamur fermentasi
Jamur fermentasi dapat menguraikan bahan organik secara cepat untuk
menghasilkan alkohol, ester, dan zat-zat antimikroba serta menghilangkan bau
serta mencegah serbuan seranggga dan ulat yang merugikan. Pengaktifan
mikroorganisme di dalam EM4 dapat dilakukan dengan cara memberikan air dan
makanan (molase). EM4 berupa larutan cair bewarna kuning kecoklatan. Cairan
ini berbau sedap dan rasa asam manis dan tingkat keasaman (pH) kurang dari 3,5.
Apabila tingkat keasaman melebihi 4,0 maka cairan ini tidak dapat digunakan lagi
(Yuniwati dkk.,2012).
EM4 tidak berbahaya bagi lingkungan karena kultur EM4 tidak mengandung
mikroorganisme yang secara genetika telah dimodifikasi. EM4 terbuat dari kultur
campuran berbagai spesies mikroba yang terdapat dalam lingkungan alami,
bahkan EM4 bisa diminum langsung. Dengan menggunakan EM4, waktu
pengomposan dapat dipercepat yakni pengomposan hanya membutuhkan waktu
berkisar antara 3-5 hari (Yuniwati dkk.,2012).
2.3.3. Mikroorganisme Lokal (MOL)

Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang terbuat dari


bahan-bahan alami sebagai medium berkembangnya mikroorganisme yang
berguna untuk mempercepat penghancuran bahan organik (proses dekomposisi
menjadi kompos/ pupuk organik). Di samping itu juga dapat berfungsi sebagai
tambahan nutrisi bagi tanaman, yang dikembangkan dari mikroorganisme yang
berada di tempat tersebut. Semakin banyak mikroorganisme pada bahan, proses
dekomposisi bahan organik atau pengomposanakan semakin cepat. Fungsi MOL
sebagai bahan utama adalah untuk mempercepat pengomposan bahan organik
menjadi kompos (Panudju, 2012).
MOL merupakan sekumpulan mikroorganisme yang bisa dikembangbiakkan
dengan menyediakan makanan sebagai sumber energi yang berfungsi sebagai
starter (mempercepat pengomposan) dalam pembuatan kompos/dekomposisi
bahan organik.Penambahan MOL sebagai dekomposer bertujuan untuk
mempercepat proses pengomposan walaupun bahan pengomposan sudah
mengandung mikrobia, khususnya yang berperan dalam perombakan bahan kimia
(Panudju, 2012).
Larutan MOL mengandung unsur hara makro, mikro, dan mengandung
mikroorganisme yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang
pertumbuhan, dan agen pengendali hama dan penyakit tanaman sehingga baik
digunakan sebagai dekomposer, pupuk hayati, dan pestisida organik. Larutan
MOL mengandung unsur hara mikro dan makro dan juga mengandung bakteri
yang berpotensi sebagai perombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, dan
sebagai agen pengendali hama dan penyakit tanaman, sehingga MOL dapat
digunakan baik sebagai pendekomposer, pupuk hayati, dan sebagai pestisida
organik. MOL terdiri dari 3 jenis komponen yaitu : karbohidrat, glukosa, dan
sumber bakteri. Faktor-faktor yang menentukan kualitas larutan MOL antara lain
media fermentasi, kadar bahan baku atau substrat, bentuk dan sifat
mikroorganisme yang aktif di dalam proses fermentasi, pH,temperatur, lama
fermentasi, dan rasio C/N larutan MOL (Panudju, 2012).
Waktu fermentasi oleh MOL berbeda-beda antara satu jenis bahan MOL
dengan yang lainnya. Waktu fermentasi ini berhubungan dengan ketersediaan
makanan yang digunakan sebagai sumber energi dan metabolisme dari mikrobia
di dalamnya. Waktu fermentasi bonggol pisang oleh MOL yang paling optimal
pada fermentasi hari ke-7 sampai hari ke-14. Mikrobia pada MOL cendrung
menurun setelah hari ke-7. Hal ini berhubungan dengan ketersediaan makanan
dalam MOL. Semakin lama maka makanan akan berkurang karena dimanfaatkan
oleh mikrobia di dalamnya (Panudju, 2012).
2.3.4. Fluktuasi Suhu, Ph dan Kelembaban Harian Proses Pengomposan

Rendahnya suhu kompos diduga disebabkan karena jumlah limbah pada


proses pengomposan tidak cukup memberikan proses insulasi panas. Pada awal
hingga pertengahan proses pematangan kompos, seharusnya mikroorganisme
termofilik akan hadir dan berperan dalam proses degradasi bahan organik.
Mikroorganisme termofilik dapat hidup pada kisaran suhu 450-600C.
Mikroorganisme ini mengkonsumsi karbohidrat serta protein bahan kompos.
Waktu meningkatnya suhu kompos tidak sama antara pengomposan satu dengan
lainnya, karena banyak faktor yang mempengaruhi. Fluktuasi suhu yang terjadi
selama masa pengomposan berlangsung menunjukkan bahwa kehidupan
mikroorganisme mesofilik dan termofilik silih berganti berperan. Suhu berangsur-
angsur menurun dikarenakan berkurangnya bahan organik yang dapat diurai oleh
mikroorganisme, dan mengindikasikan kompos mulai matang. Pada saat kondisi
suhu menurun, mikroorganisme mesofilik berkembang menggantikan
mikroorganisme termofilik (Suwatanti E, 2017).
Suhu mempengaruhi jenis mikrorganisme yang hidup di dalam media. Dalam
proses pengomposan aerobik terdapat dua fase yaitu fase mesofilik 23-45 derajat
C dan fase termofilik 45-65 derajat C. Kisaran temperatur ideal tumpukan kompos
adalah 55-65 derajat C. Fluktuasi suhu dalam penelitian ini tidak lebih dari 47
derajat C, sehingga diduga mikroorganisme pengurai yang mampu berkembang
biak hanya bakteri-bakteri mesofilik. Suhu optimal dalam proses pengomposan
adalah 30-50 derajat C, sedangkan menurut kriteria SNI (BSN 2004), suhu ideal
proses pengomposan maksimal 50 derajat C. Peningkatan suhu terjadi karena
aktivitas bakteri dalam mendekomposisi bahan organik. Kondisi mesofilik lebih
efektif karena aktivitas mikroorganisme didominasi protobakteri dan fungi.
Pembalikan yang dilakukan dalam proses pengomposan mengakibatakan
temperatur turun dan kemudian naik lagi (Pandebesie & Rayuanti 2013).
Kelembaban bahan kompos berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme
yang terlibat dalam pengomposan. Kelembaban optimum untuk pengomposan
aerob adalah 50-60%. Apabila kurang dari 50% maka pengomposan berlangsung
lambat, namun jika lebih dari 60% menyebabkan unsur hara tercuci dan volume
udara dalam kompos berkurang. Akibatnya aktivitas mikroorganisme menurun
dan akan terjadi fermentasi anaerob, sehingga memunculkan bau tidak sedap, jika
tumpukan kompos terlalu lembab maka proses dekomposisi akan terhambat. Hal
ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara di dalam tumpukan.
Kekurangan oksigen mengakibatkan mikrorganisme aerobik mati dan akan
digantikan oleh mikroorganisme anaerobik. Kelembaban bahan kompos
berpengaruh terhadap aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam
pengomposan. Kelembaban yang tinggi akibat penyiraman berlebihan dapat
mengakibatkan air sisa penyiraman (leachate) menggenangi area tempat
pengomposan. Jadi dalam hal ini, kelembaban sangat mempengaruhi
perkembangan mikroba dan berhubungan erat dengan fluktuasi suhu
pengomposan (Suwatanti E, 2017).
Kelembaban pada kompos akan mempengaruhi mikroorganisme yang terlibat
dalam pengomposan. Apabila kelembaban kompos terlalu tinggi maka proses
penguraian akan terhambat. Hal ini dikarenakan kandungan air akan menutupi
rongga udara di dalam tumpukan sehingga oksigen menjadi berkurang yang akan
menyebabkan mikroorganisme aerobik mati dan digantikan oleh mikroorganisme
anaerobik (Ismayana, 2012).
Kompos memiliki bau seperti tanah, karena materi yang dikandungnya sudah
memiliki unsur hara tanah dan warna kehitaman yang terbentuk akibat pengaruh
bahan organik yang sudah stabil. Sementara, tekstur kompos yang halus terjadi
akibat penguraian mikroorganisme yang hidup dalam proses pengomposan.
Kualitas fisik kompos yang dihasilkan memberikan gambaran kemampuan
masing-masing agen dekomposer dalam mendekomposisi materi organik pada
sampah. Tekstur kompos yang baik apabila bentuk akhirnya sudah tidak
menyerupai bentuk bahan, karena sudah hancur akibat penguraian alami oleh
mikroorganisme yang hidup didalam kompos (Ismayana, 2012).
2.4. Pengaruh Pupuk Kompos Terhadap Tanaman

Budidaya Dan Tanah

Penggunaan pupuk buatan atau sintetik secara terus menerus, dalam


penerapan teknologi intensifikasi pertanian akan berdampak terhadap penurunan
produktivitas lahan. Penggunaan pupuk sintetis atau pupuk kimia yang berlebihan
dapat mengganggu kehidupan dan keseimbangan tanah yang menyebabkan
degradasi pertanian, agar tanah tetap subur dan gembur diperlukan bahan organik,
fungsinya adalah untuk menggantikan bahan organik yang berkurang dari dalam
tanah. Pupuk kompos dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan kapasitas
menahan air, dan meningkatkan kehidupan biologi tanah. Pupuk kompos bila
diperkaya dengan zeolite dan fosfat dapat memperbaiki sifat tanah dan
mempengaruhi tanaman, seperti yang dinyatakan Rasyid, B., (2012) bahwa
pemberian kompos 25 gram kompos yang diperkaya dengan 2 gram zeolite dan
1,25 gram fosfat alam, akan memberikan respon tertinggi pada berat kering
tanaman, dan perbaikan sifat kimia tanah dapat dilihat dari peningkatan pH,
ketersediaan P2O5, KTK, dan beberapa sifat kimia tanah lainnya (Dahlianah,
2015).
Pengaruh kompos dari bahan baku tumbuhan yang berinteraksi dengan
inokulasi Azotobacter sp dapat mempengaruhi produksi tanaman padi yaitu
interaksi antara kompos jerami padi dengan inokulasi Azotobacter sp, dapat
meningkatkan jumlah gabah berisi per malai sebesar 17,06%, hasil gabah kering
giling kedalam pupuk organik. Lebih lanjut menurut Tufaila, M., (2014) bahwa
aplikasi kompos kotoran ayam mampu meningkatkan hasil tanaman mentimun di
tanah masam. Dosis terbaik kotoran ayam 15 ton ha-1pada perlakuan D3 mampu
memberikan pengaruh lebih baik terhadap peningkatan hasil tanaman mentimun
atau tanah masam,Budidaya organik dapat diartikan sebagai suatu sistemproduksi
pertanaman yang berdasarkan daur ulang secara hayati. Daur ulang hara dapat
melalui sarana limbah atau sampah tumbuhan dan ternak. Pemupukan secara
organik tidak lain adalah berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan
organik (Dahlianah, 2015).
2.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Menurut Budianta (2013). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses


pengomposan antara lain :
1. Rasio C/N
Salah satu aspek yang paling penting dari keseimbagan hara total adalah rasio
organik karbon dengan nitrogen (C/N). Mikroba memecah senyawa C sebagai
sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di
antara 30 s/d 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk
sintesis protein. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, mikroba akan kekurangan N
untuk sintesis protein sehingga dekomposisi berjalan lambat.
2. Ukuran Partikel
Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba
dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran
partikel juga menentukan besarannya ruang antar bahan (porositas). Untuk
meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran
partikel bahan tersebut.
3. Aerasi
Aerasi ditentukan oleh porositas dan kandungan air bahan (kelembaban).
Apabila aerasi terhambat, maka akan terjadi proses anaerob yang akan
menghasilkan bau yang tidak sedap. Aerasi dapat ditingkatkan dengan
melakukan pembalikan atau mengalirkan udara di dalam tumpukan kompos.
4. Porositas
Porositas adalah ruang diantara partikel di dalam tumpukan kompos. Porositas
dihitung dengan mengukur volume rongga dibagi dengan volume total.
Rongga rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai
oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga dijenuhi oleh air, maka
pasokan oksigen akan berkurang dan proses pengomposan juga akan
terganggu.
5. Kelembaban
Kelembaban memegang peranan yang sangat penting dalam proses
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplay
oksigen. Mikrooranisme dapat memanfaatkan bahan organik apabila bahan
organik tersebut
larut di dalam air. Kelembaban 40-60 % adalah kisaran optimum untuk
metabolisme mikroba. Apabila kelembaban di bawah 40%, aktivitas mikroba
akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%.
Apabila kelembaban lebih besar dari 60%, hara akan tercuci, volume udara
berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan terjadi
fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap.
6. Temperatur
Semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan
semakin cepat pula proses dekomposisi. Peningkatan suhu dapat terjadi
dengan cepat pada tumpukan kompos. Temperatur yang berkisar antara 30-
60ºC menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang lebih tinggi
dari 60ºC akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik
saja yang akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh
mikroba-mikroba pathogen tanaman dan benih-benih gulma.
7. pH
pH yang optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6.5 sampai 7.5.
pH kotoran ternak umumnya berkisar antara 6.8 hingga 7.4. Proses
pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan pada bahan organik dan
pH bahan itu sendiri. pH kompos yang sudah matang biasanya mendekati
netral.h.
8. Kandungan Hara
Kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan bisanya
terdapat di dalam kompos kompos dari peternakan. Hara ini akan
dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.

Anda mungkin juga menyukai