Anda di halaman 1dari 16

FARMAKOLOGI VETERINER 1

OBAT ANTI JAMUR

Oleh :

Samuel Evan

1709511066

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, makalah
yang berjudul “ Obat Anti Jamur” ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Farmakologi Veteriner I
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Drh. I Wayan Sudira, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah
Farmakologi Veteriner I Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana yang
telah membimbing selama proses perkuliahan berlangsung.
2. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pengerjaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kalangan umum terkhusus civitas
akademika kedokteran hewan. Segala kekurangan dalam makalah ini dapat diatasi dengan
adanya kritik dan saran yang membangun , sehingga pada tulisan selanjutnya didapatkan
hasil yang lebih baik. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih.

Denpasar, 20November 2018


Hormat saya,

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman Cover
Kata Pengantar ...................................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................................. ii
Daftar Gambar .................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang .........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................3
2.1 Obat Anti Jamur ........................................................................................................3
2.2 Penggolongan Obat Anti Jamur ................................................................................3
2.2.1 Menurut Lokasi Infeksinya ............................................................................. 3
2.2.2 Menurut Indikasi Klinin ................................................................................. 3
2.2.3 Obat Anti Jamur Sistemik ............................................................................... 4
2.2.4 Obat Anti Jamur Topikal ................................................................................ 5
2.3 Mekanisme Obat Anti Jamur ................................................................................... 7
2.4 Efek Samping Obat Anti Jamur ............................................................................... 8
BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................12

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Penggolongan Obat Anti Jamur ................................................................................. 4

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Jamur (fungi) adalah mikroorganisme yang termasuk golongan eukariotik dan tidak
termasuk golongan tumbuhan. Jamur dibedakan menjadi lima divisi yaitu, Zigomycotina,
Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deuteromycotina. Meskipun perbedaan dalam
komposisi membran sel dan keberadaan dinding sel, jamur secara metabolik mirip dengan
sel mamalia dan menawarkan beberapa target spesifik patogen. Jamur merupakan salah
satu penyebab penyakit infeksi pada hewan.
Infeksi jamur atau mikosis dapat dikelompokkan menjadi dua: a) mikosis superfisial
yang terdiri dari infeksi dermatofit dengan bagian infeksi pada kulit, kuku, rambut, dan
infeksi mukokutan dengan bagian infeksi pada selaput lendir. Kemudian b) mikosis
sistemik yang terdapat pada jaringan dan organ yang lebih dalam. Senyawa antifungi
dapat digunakan dengan metode terapi pada mikosis superfisial berupa preparat lokal
(dermatologi), kadang dengan obat sistemik. Sedangkan mikosis sistemik, terapi dapat
dilakukan dengan obat sistemik jangka waktu panjang. Infeksi jamur dapat dialami hewan
yang terpajan pada keadaan apa pun dalam hidupnya. Faktor predisposisi infeksi ini dapat
terjadi tanpa alasan yang jelas. Salah satu contoh jamur yang dapat menyebabkan
penyakit yaitu Aspergillus dan Microsporum. Aspergillus dapat menyebabkan penyakit
pneumonia brooder yaitu kelainan paru-paru pada unggas. Sedangkan Microsporum dapat
menyebabkan penyakit ringworm pada hewan.
Dalam mengatasi penyakit infeksi jamur diperlukan suatu obat anti jamur. Obat anti
jamur harus disesuaikan dengan bagian tubuh yang diinfeksi oleh jamur. Namun dibalik
kegunaan obat tersebut tentu ada efek sampingnya. Pada makalah ini akan dibahas
mengenai definisi, penggolongan, efek samping serta mekanisme obat anti jamur.
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat ditemukan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan obat anti jamur ?
2. Bagaimana penggolongan obat anti jamur ?
3. Bagaimana Mekanisme Obat anti jamur ?
4. Bagaimana Efek samping Obat Anti Jamur ?

1
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan paper ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami apa itu obat anti jamur.
2. Mengetahui dan memahami bagaimana penggolongan obat anti jamur.
3. Mengetahui dan memahami bagaimana mekanisme obat anti jamur.
4. Mengetahui bagaimana efek samping obat anti jamur.

1.3 Manfaat Penulisan


Menjadi penting bagi mahasiswa kedokteran hewan untuk mengetahui dan mengerti
obat anti jamur, sehingga dalam perjalannya ketika menjadi dokter hewan dapat
membedakan dan lebih mengefektifkan penggunaan obat anti jamur.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Anti Jamur
Obat anti jamur merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan organisme
mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan dan ragi, atau obat yang
digunakan untuk menghilangkan jamur (Batubara, 2010). . Obat anti jamur bersifat
fungisidal (obat anti jamur yang dapat membunuh jamur) dan fungistatik (obat anti jamur
yang dapat menghambat pertumbuhan jamur) tergantung dari dosis yang diberikan dan
sensitifitas jamur yang dipengaruhi. Obat anti jamur digunakan untuk mengobati dua
jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur sistemik dan non sistemik.
2.2 Penggolongan Obat Anti Jamur
2.2.1 Menurut Lokasi Infeksinya
1. Mikosis sistemik (infeksi jamur sistemik) terdiri dari deep mycosis (misalnya
aspergilosis, blastomikosis, koksidioidomikosis, kriptokokosis, histoplasmosis,
mukormikosis, parakoksidio – idomikosis, dan kandidiasis) dan sub – cutan
mycosis (misalnya, kromomikosis, misetoma, dan sporottrikosis).
2. Dermatofit, yaitu infeksi jamur yang menyerang kulit, rambut, dan kuku, biasanya
disebabkan oleh epidermofiton dan mikrosporum.
3. Mikosis mukokutan, yaitu infeksi jamur pada mukosa dan lipatan kulit yang
lembab, biasanya disebabkan oleh kandida (UNSRI, 2004).
2.2.2 Menurut Indikasi Klinis
1. Antijamur untuk infeksi sistemik, termasuk : amfoterisin B, flusitosin, imidazol
(ketokonazol, flukonazol, mikonazol), dan hidroksistilbamidin.
2. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, termasuk griseofulfin,
golongan imidazol (mikonazol, klotrimazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan
bifonazol), nistatin, tolnaftat, dan antijamur topikal lainnya (kandisidin, asam
undesilenat, dan natamisin) (UNSRI, 2004).

3
2.2.3 Obat Anti Jamur Sistemik
1. Golongan Azol
Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan jumlah nitrogen
pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol, mikonazol, dan klotrimazol)
terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol, flukonazol,
varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen (Onyewu, 2007). Kedua
kelompok ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol
dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang sedikit dibandingkan
imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti berusaha mengembangkan
golongan triazol daripada imidazol (Gupta, 2002).
2. Golongan Alilamin
 Terbinafin
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap
dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s
tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga
efektif terhadap Aspergillosis sp., Blastomyces dermatitidis, Histoplasma
capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds
(Bellantoni, 2008).

4
3. Golongan Polien
 Amfoterisin B
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus
sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum,
paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei. Sedangkan untuk
Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium sp., dan
Trichosporon asahii biasanya resisten (Bennet, 2006).
 Nistatin
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari
Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral,
nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral
terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi
baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5 ml (Bennet, 2006).
2.2.4 Obat Anti Jamur Topikal
1. Golongan Azol – Imidazol
 Klotrimazol
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis
oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral
troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2 minggu atau lebih
 Ekonazol
Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis
oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan
dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berurut-turut.
 Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,
serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi
pada stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan.
Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah.
 Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai
keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan
menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-
4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih tetap dijumpai, minimal 10 hari
5
setelah obat dihentikan (Kyle, 2004). Ketokonazol digunakan untuk
pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, kutaneus kandidiasis dan
dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik.
 Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis
kutaneus. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%.
(Kyle, 2004).
 Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis
kutaneus dan genital.
 Tiokonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis
kutaneus dan genital.
 Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida
sp, digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4
minggu (Huang, 2004).

2. Golongan Alilamin / Benzilamin


 Naftifin
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp.,
Untuk pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1
kali sehari selama 1 minggu (Bellantoni, 2008).
 Terbinafin
Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor dan kandidiasis kutaneus. (Bennet, 2006).
 Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya sama
dengan golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita
dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea
pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu (Gupta, 2002).

6
2.3 Mekanisme Obat Anti Jamur

Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran


plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, β
glukan, dan mannooprotein.

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel


jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel
jamur. Kerja obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat
sintesis ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel
ion di membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa
kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur
secara tidak langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol
dengan cara mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450
(demetilasi prekursor ergosterol) (Gubbins, 2009).

2. Sintesis asam nukleat

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan
cara menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA.
Sebagai contoh obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5
flusitosin (5 FC), dimana FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin
permease. Di dalam sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang
menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5
fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga
memutus sintesis DNA (Gubbins, 2009).

3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans


Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins,
kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya
menjaga rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel.
Sebagai unsur penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan
ekinokandin menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif.
Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel
jamur akan mengalami lisis (Gubbins, 2009).

7
2.4 Efek Samping Obat Anti Jamur
Obat anti jamur sistemik :
1. Golongan Azol

 Ketokonazol
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai
terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Alergi dapat
terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien
yang diterapi ketokonazol. Hepatitis drug induced dapat terjadi pada beberapa
hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan setelah pemberian
terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat
menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat
menimbulkan alopesia, ginekomastia dan impoten (Bennet, 2006).
 Itrakonazol
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit
kepala,pruritus, dan ruam alergi (Gupta, 2002).
 Flukonazol
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual,
muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu
hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons, hepatotoksik,
trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat (Bellantoni, 2008).
 Verikonazol
Efek toksik vorikonazol yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan
transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik, pada 10-15% kasus
ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian
vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar (Bennet, 2006).
2. Golongan Alilamin
 Terbinafin
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri
abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit
hepar kronik atau aktif (Bennet, 2006).

8
3. Golongan Polien
 Amfoterisin B
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera
menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi
kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat. Mual dan muntah
dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek lokal flebitis sering juga
dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan tubulus
ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering
menderita kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis
lebih dari 0,5/kgBb/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan
hilangnya potasium dan magnesium. Pasien yang mendapat pengobatan lebih
dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan normositik sedang
(Ray, 2000).
4. Golongan Ekinokandin

 Kaspofungin

Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual,
muntah (Ashley, 2006).

5. Golongan Antijamur Lain

 Flusitosin

Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare.


Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam
darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat
dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga dijumpai pada beberapa
pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan (Bennet, 2006).

 Griseofulvin

Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah,
dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi
pada sebagian pasien (Bellantoni, 2008).

9
Obat antijamur topikal :
1. Golongan Azol – Imidazol

 Ekonazol

Sekitar 3% pasien mengalami eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau


gatal (Bennet, 2006).

 Mikonazol

Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi
7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika,
atau skin rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada
pemakaian kutaneus. Mikonazol aman digunakan pada wanita hamil,
meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada kehamilan trimester
pertama (Bennet, 2006).

2. Golongan Polien

 Nistatin

Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadabng dapat timbul


mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi (Bennet, 2006).
Efek sampingnya adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol (Huang,
2004).

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan tinjauan pustaka diatas, dapat disimpulkan bahwa Obat anti jamur
adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh
jamur. Jamur adalah anggota kelompok besar eukariotik organisme yang meliputi
mikroorganisme seperti ragi dan jamur, serta lebih akrab jamur. Obat anti jamur
dibedakan menjadi 2 berdasar letak infeksi jamur yaitu obat anti jamur sistemik dan non
sistemik. Obat anti jamur yang termasuk obat anti jamur sistemik adalah Amfoterisin B,
Flusitosin, Ketokonazol dan Itrakonazol dan obat anti jamur yang termasuk obat anti
jamur non sistemik adalah Griseofulvin, Nistatin, Golongan Azol-Imidazol, Golongan
Alilamin/Benzilamin, Golongan anti jamur non sistemik lain seperti Amorolfin,
Siklopiroks, dan Haloprogin.

Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol membran


plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur yaitu kitin, β
glukan, dan mannooprotein. Efek obat anti jamur berbeda pada setiap obat tergantung
pada letak infeksi jamur.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ashley ES et.al. 2006. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious


Disease D;43 (Suppl 1):28-39.
Batubara, P. 2010. Farmakologi Dasar. Jakarta : Leskonfi.
Bellantoni MS, Konnikov N. 2008. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.p 2211-2217
Bennet JE. 2006. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker
KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New
York: Mc Graw-Hill.
Farah, Nur. 2014. Asuhan keperawatan infeksi pada kulit akibat jamur, bakteri, virus.
Tersedia online di http://nurs_farah-fkp11.web.unair.ac.id/artikel_detail-93836-Umum-
Asuhan%20Keperawatan%20infeksi%20pada%20kulit%20akibat%20jamur,%20bakter
i,%20virus.html [Diakses pada 20 November 2018].
Gupta AK. 2002. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive
dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company; Pp75-99.
Huang DB. 2004. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic Therapy;
17: 517-522.
Kyle AA, Dahl MV. 2004. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin
Dermatol:5(6):443-461.
Marr KA. 2002. Empirical Antifungal Therapy – New Options, New Tradeoffs. N Engl J
Med; 346(4): 278-280
Onyewu C, Heitman J. 2007. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations.
Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry; 6: 3-15.
Ray A, Anand S. 2000. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses.
Indian J Chest Dis Allied Sci;42:357-366.
Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. 2002. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol; 3(2):
71-81.
UNSRI, Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK. 2004. Kumpulan Kuliah
Farmakologi.Jakarta : EGC.
Gubbins PO, Anaissie EJ. 2009. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller.
Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. p161-196.

12

Anda mungkin juga menyukai