Anda di halaman 1dari 27

Makalah

FARMAKOLOGI DASAR
“ ANTI FUNGI”

OLEH
KELOMPOK 3
KELAS : B-D3 FARMASI 2019

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas limpa-
han rahmat dan karuniannya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ANTIFUNGI” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah
farmakologi.

Makalah ini adalah sebuah karya yang kami susun berkat kerjasama dan
bantuan dari pihak-pihak yang terkait. Maka dari itu kami mengucapkan banyak
terimakasih pada semua pihak yang ikut berperan aktif dalam terwujudnya
makalah ini. Terutamakepada orang tua yang telah memberikan dukungan baik
moral maupun material serta teman-teman kami yang senantiasa memberikan
motivasi. Dan tak lupa kami mengucapkan terimaksih kepada pelajar mata kuliah
farmakologi atas bimbingan dan arahan dalam penulisan makalah ini, sehingga
dapat di selesaikannya makalah ini.

Makalah yang kami susun ini bukanlah sesuatu yang sempurna, akan
tetapi makalah ini terlahir dari kerja keras kami. Kami berharap dengan membaca
makalah ini dapat membermanfaat bagi kita semua, dalam hal ini dapat
menambah wawasan kita mengenai pemahaman tentang farmakologi antifungi.
Dalam penyusunan makalah ini tentunya masih banyak kekurangan-kekurangan
yang harus diperbaharui maka dari itu, kami mengharapkan kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran supaya dalam pembuatan makalah yang
selanjutnya bisa menjadi lebih baik lagi. Terimakasih.

i
Gorontalo, 9 april 2020

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1. Obat Anti Jamur..................................................................................................4
2.2. Infeksi Jamur Sistemik........................................................................................4
2.3. Antijamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan (Topikal)........................15
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................................19
3.2 Saran......................................................................................................................19
LAMPIRAN.....................................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


  Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama
dinegara-negara tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit yang
sering muncul di tengah masyarakat Indonesia. Iklim tropis dengan kelembaban
udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan jamur. Banyaknya
infeksi jamur di dukung oleh masih banyaknya masyarakat Indonesia yang berada
digaris kemiskinan sehingga masalah kebersihan lingkungan, sanitasi dan pola
hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia .
  Sekitar 80.000 fungi yang telah di temukan di dunia, 400 spesies diantaranya
dinyatakan penting dalam dunia medis. Beberapa fungi punya peranan penting
dalam memproduksi berbagai bahan makanan seperti keju, roti, dan bir. Fungi
juga menyumbangkan peran dalam dunia pengobatan melalui metabolisme bioktif
dalam tubuhnya yang dimanfaatkan manusia untuk membuat antibiotic (contoh:pe
-nisilin) dan obat penekan daya tahan tubuh (contoh : siklosporin).
  Infeksi yang disebabkan oleh fungi dinamakan mikosis, insidensi mikosis
tertinggi adalah kandidiasis yang disebab kanoleh candida albicans (Brooks,
2007). Candida albicans merupakan flora normal dari kulit, membrane mukosa,
dan traktusgastrointestinal .candida albicans dapat menginfeksi penderita diabetes
mellitus, orang dengan daya imun tubuh rendah (AIDS, wanita yang mengkonsum
-si pil KB dan wanita hamil, kesulitan dalam pengobatan kandidiasis karena
sering terjadi resistensi terhadap obat anti kandida biasa sehingga memerlukan
obat seperti amfoterisin B danflusitosin. Keduanya merupakan obat sintesis
dengan efek samping yang dapat menimbulkan masalah serius pada beberapa
organ seperti ginjal dan hati (Sulistia G. Ganiswarna, 2003).
Temu putih adalah tanaman herbal berasal dari India dan hidup di daerah
beriklim tropis seperti India, Indonesia, Filipina, dan Nigeria. Temu putih
mengandung diarylheptanoid, minyak atsiri atau volatile oil, polisakarida serta
golongan lain seperti sesquiterpene dan eugenol (Bruneton, 1999). Para ilmuan

1
menemukan adanya efek temu putih sebagai anti jamur, anti ulkus, anti mutasi,
dan hepatoprotektor (Rana, 1992).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah penggolongan obat antifungi?
2. Bagaimanakah karakteristik masing masing obat dari berbagai golongan
tersebut?

1.3   Tujuan
1. Untuk mengetahui penggolongan obat antifungi
2. Untuk mengetahui karakteristik masing-masing obat dari berbagai golongan
tersebut.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Menurut Pratiwi (2008) antibiotik adalah bahan kimia yang secara alami
diproduksi oleh mikroorganisme yang berguna untuk menghambat patogenisitas
mikroorganisme lain. Radji (2010) mendefinisikan, antibiotik adalah metabolit
yang dihasilkan dari berbagai mikroorganisme serta dalam konsentrasi rendah
mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Mikroorganisme
tersebut meliputi bakteri, arkea, fungi, protozoa, alga, dan virus. Dari pengertian
ini, dapat diartikan bahwa antifungi adalah antibiotik yang mampu menghambat
hingga mematikan pertumbuhan fungi. Antifungi mempunyai dua pengertian
yaitu fungisidal dan fungistatik. Fungisidal didefinisikan sebagai suatu senyawa
yang dapat membunuh jamur, sedangkan fungistatik dapat menghambat
pertumbuhan jamur tanpa mematikannya (Muchler, 1999).
 Dari segi terapeutik infeksi jamur pada manusia dapat dibedakan atas
infeksi sistematik,dermatofit dan mukokutan.infeksi sistematik dapat lagi dibagi
atas:
1. Infeksi Internal Seperti aspergilosis, blastomikosis, koksidiodomikosis, kriptok
okosis, histoplasmosis, mukromikosis, parakoksidiodomikosis, dan kandidiasis
2. Infeksi Subkutan Misalnya Kromomikosis, misetoma dan sporotrikosis. Infeksi
dermatofit disebabkan oleh trichophyton, Epidermophyton dan mikrosporum
yang menyerang kulit, rambut dan kuku. Infeksi mukokutan disebabkan oleh
kandida menyerang mukosa dan daerah lipatan kulit yang lembab. Kandidiasis
mukokutan dalam keadaan kronis umumnya mengenai mukosa kulit dan kuku.
Dasar farmokologis dari pengobatan infeksi jamur belum sepenuhnya
dimengerti.secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistematik
dan infeksi jamur topical(deramotif dan mukokutan). Dalam  pengobatan
beberapa anti jamur (inidazol, triazol, dan antibiotik polien) dapat digunakan
untuk kedua infeksi tersebut.ada infeksi jamur topikal yang dapat diobati
secara sistematik ataupun topical.

3
2.1. Obat Anti Jamur
Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai
untuk mengobati dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial
pada kulit atau selaput lender dan infeksi jamur sistemik pada paru-paru
atau system saraf pusat.Infeksi jamur dapat ringan, seperti pada tinea
pedis (athlete’s  foot), atau berat, seperti pada paru-paru atau meningitis.
Jamur, seperti Candidia spp. (ragi), merupakan bagian dari flora normal
pada mulut, kulit, usus halus, dan vagina (Kee and Hayes,1993).

2.2.  Infeksi Jamur Sistemik


Infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya serta obatnya
antara lain (Rosfanti, 2009) :
1. Arpergilosis
  Aspergilosis paru sering terjadi pada penderita penyakit imunosepresi
yang berat dan tidak memberi respon memuaskan terhadap  pengobatan
dengan obat jamur. Obat pilihan untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B
secara intravena dengan dosis 0,5-1,0 mg/kg BB setiap hari.
2. Blastomikosis
Obat jamur terpilih untuk Blastomikosis adalah Ketokonazol per oral 400
mg sehari selama 6-12 bulan.Itrakonazol dengan dosis 200-400 mg sehari
juga efektif pada beberapa kasus.Amfoterisin B sebagai cadangan untuk
penderita yang tidak dapat menerima Ketokonazol.
3. Kandidiasis
Pengobatan menggunakan Amfoterisin B. Flusitosin diberikan  bersama
Amfoterisin B untuk meningitis, endoftalmitis, arthritis, dan kandidia.
Disamping penyebarannya yang lebih baik ke jaringan sakit, Flusitosin
diduga bekerja aditif dengan Amfoterisin B sehingga dosis Amfoterisin B
dapat dikurangi.
4. Koksidioidomikosis
Adanya kavitis (ruang berongga) tunggal di paru atau adanya infiltrasi
fibrokavvitis yang tidak responsif terhadap kemoterapi merupakan cirri

4
khas penyakit kronis Koksidioidomikosis.Penyakit ini dapat diobati
dengan Amfoterisin B secara intravena, Ketokonazol, dan Itrakonazol.
5. Kriptokokosis
Obat terpilih untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B dengan dosis 0,4-
0,5 mg/kg BB perhari secara intravena. Penambahan Flusitosin dapat
mengurangi pemakaian Amfoterisin B (0,3 mg/kg BB). Flukonazol
bermanfaat untuk terapi supresi pada penderita AIDS.
6. Histoplasmosis
Penderita histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan
Ketokonazol 400 mg/hari selamaa 6-12 bulan.Itrakonazol 200-400 mg
sekali sehari juga cukup efektif.Amfoterisin B secara intravena juga dapat
diberikan selama 10 minggu.
7. Mukomikosis
Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk mukornikosis paru kronis.
8. Parakoksidioimikosis
Ketokonazol 400 mg/hari merupakan obat pilihan yang diberikan selama
6-12 bulan. Pada keadaan yang berat diberikan terapi awal Amfoterisin B.
9. Sporotrikosis
Obat terpilih untuk keadaan ini adalah pemberian oral larutan  jenuh
Kalium Iodida (1 g/ml) dengan dosis 3 sampai 40 tetes sehari yang
dicapuur dengan sedikit air.Obat Sporotrikosis yang menyerang paru,
tulang.
3. Anti jamur Untuk Infeksi Sistemik
Antijamur untuk infeksi sistemik dibedakan menjadi beberapa golongan,
antaralain golongan imidazol, amfoterisin B, flusitosin, kaspofungin,
terbinafen, dan kalium iodida.
1. Golongan Imidazol
Imidiazol merupakan obat antijamur spectrum luas dan resistensinya
jarang timbul.Imidiazol tidak diabsorpsi dengan baik secara oral, kecuali
ketokonazol (Neal, 2005).Yang termasuk dalam golongan ini adalah mikonazol,
klotrimazol, ketokonazol, flukonazol, itrakonazol, triazol, ekonazol, isokonazol,

5
tiokonazol, dan bifonazol.Sifat dan  penggunaan golongan ini praktis tidak
berbeda (Munaf, 2004).
Mekanisme kerja obat dalam golongan ini belum semuanya diketahui.
Obat jenis ini bekerja dengan memblok biosintetis lipid yang dibutuhkan oleh
jamur, khususnya ergosterol dalam membrane sel jamur, dan mungkin juga
dengan mekanisme tambahan lain (mengganggu sistesis asam nukleat atau
penimbunan peroksida dalam sel jamur yang menimbulkan kerusakan) (Munaf,
2004).
1) Ketokonazol
Ketokonazol merupakan suatu antijamur sintetik yang memiliki rumus
bangun mirip dengan mikonazol dan kotrimazol.Mekanisme kerja obat ini
adalah dengan masuk ke dalam sel jamur dan menimbulkan kerusakan pada
dinding sel. Mungkin juga terjadi gangguan sintetis asam nukleat atau
penimbunan peroksida dalam sel yang merusak jamur (Munaf, 2004).
a. Farmakokinatik
Ketokonazol merupakan antijamur pertama yang diberikan peroral.
Ketokonazol diabsorpsi dengan baik melalui oral yang menghasilkan
kadar yang cukup untuk menekan pertumbuhan  berbagai jamur. Absorpsi
obat ini akan menurun pada pH cairan lambung yang tinggi. Setelah
pemberian oral, obat ini akan ditemukan dalam urine, kelenjar lemak, air
ludah, kulit yang mengalami infeksi, tendon, dan cairan synovial (Munaf,
2004).  
b. Farakodinamik
Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun
nonsistemik yang efektif terhadap Candidia, Coccsidioides immitis,
Cryptococcus neoformans, H. capsulatum, B. dermatitidis,  Aspergillus,
dan Sporotrix spp. 
2) Flukonazol
 Flukonazol merupakan derivate triazol, antijamur yang poten, yang
bekerja spesifik menghambat pembentukan sterol pada membrane sel jamur.

6
Flukonazol bekerja dengan spesifitas yang tinggi  pada enzim-enzim
“cytochrome P-450 dependent” (Munaf, 2004).
a. Farmakokinetik
Flukonazol diserap baik melalui saluran cerna, dan kadarnya dalam
plasma, setelah pemberian IV, diperoleh dari 90% kadar plasma. Absorpsi
per oral tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Kadar puncak dalam
plasma diperoleh ½ jam sampai 1½  jam setelah pemberian dengan waktu
paruh 30 jam. Kadar menetap dalam plasma dengan dosis harian diperoleh
pada hari ke-4 sampai ke-5 yang kira-kira 80% dari kadar plasma (Munaf,
2004).  
b.  Farmakodinamik
Obat ini menghambat sintesis ergosterol dengan bekerja  pada
lanosteroldemetilase dan gangguan terhadap transport zat-zat karena
kumulasi pada membra sitoplasma. Flukonazol aktif terhadap mikosis
yang umumm disebabkan oleh Cryptococcus neoformans, infeksi jamur
intracranial, mikrosporum, dan trikhofiton (Schmitz dkk, 2009).
3) Itrakonazole
a) Asal dan kimia Anti jamur sistemik turunan triazole ini erat hubungan
nya dengan ketokonazole.Obat ini dapat diberikan per oral dan IV.
b)Efek samping Aktivitas anti jamurnya lebih lebar sedangkan efek
samping yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan ketokonazole.
c) Indikasi Itrakonazole tersedia dalam kapsule 100 mg, dosis yang
disarankan 200 mg sekali sehari.
Itrakonazole juga tersedia dalam suspensi 10 mg/ml dalam larutan IV 10
mg/ml dengan  bioavailabilitas yang lebih baik. 10-15 % pasien mengeluh mual
atau muntah namun pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus,
lesu, pusing, odema kaki, parestesia, dan kehilangan libido. Itrakonazole untuk
mikosis dalam diberikan dengan dosis 2 x 200 mg sehari yang diberikan
bersama dengan makanan. Untuk onikomikosis diberikan 1x 2oo mg sehari
selama 12 minggu, atau dengan terapi berkala yakni 2x 200 mg sehari selama 1

7
minggu, diikuti 3 minggu periode bebas obat setiap bulannya. Lama
pengobatannya biasanya 3 bulan. Infus diberikan dalam 1 jam.
2. Amfoterisin B
Amfoterisin B dihasilkan oleh Sterptomyces nodosus.
Untuk infeksi jamur sistemik, amfoterisin B diberikan melalui infuse
secara  perlahan-lahan. Amfoterisin B berikatan dengan Beta-lipoprotein
plasma dan disimpan dalam jaringan depot, serta sukar berpenetrasi ke dalam
SSP. Untuk meningitis jamur diperlukan pemberian secara intratekal.
Pengembalian obat dari depot ke sirkulasi berlangsung lambat.Sebagian kecil
diekskresi melalui urine atau empedu dalam waktu >1 minggu.Obat ini
umumnya didegradasikan secara lokal di jaringan depot (Munaf, 2004).
Obat ini bekerja dengan berikatan dengan membran sel jamur atau ragi
yang sensitive.Integrasi dengan sterol-sterol membran sel jamur lebih permiabel
terhadap molekul-molekul yang kecil.Amfoterisin B mempunyai aktivitas
fungisid dan fungistatik terhadap sel-sel jamur yang sedang tumbuh dan yang
tidak (Munaf, 2004).
Amfoterisin B diberikan secara infus intravena secara perlahan selama 4-6
jam. Pada meningitis jamur, obat ini diberikan secara suntikan intratekal 0,5 mg
3x seminggu untuk 10 minggu atau lebih. Obat ini juga sering dikombinasikan
dengan flusitosin untuk penghambatan meningitis oleh kandida, kriptokokus,
dan kandidiasis sistemik. Pemberian kombinasi ini akan memperlambat
timbulnya resistensi dan memungkinkan penggunaan dosis amfoterisin B yang
lebih kecil (Munaf, 2004).
Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti:
a. Koksidiodomikosis
b. Parakoksidioidomikosi
c. Aspergilosis
d. Kromoblastomikosis
e. Kandidiosis
f. Maduromikosis(misetoma)
g. Mukormikosis (fikomikosis)

8
1) Indikasi
a) Untuk pengobatan infeksi jamur seperti koksidioidomikosis, parakoksi
doidomikosis, aspergilosis, kromoblastomikosis dan kandidosis.
b) Amfoterisin B merupakan obat terpilih untuk blastomikosis.
c) Amfoterisin B secara topikal efektif terhadap keratitis mikotik.
d) Mungkin efektif thdp maduromikosis (misetoma) & mukomikosis
(fikomikosis)
e) Secara topikal efektif thdp keratitis mikotik
f) Penderita dg terapi amfoterisin B hrs dirawat di RS, untuk pengamatan
ketat ES
2) Kontra Indikasi
a. Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif / alergi  
b. Gangguan fungsi ginjal
c. Ibu hamil dan menyusui
d. Pada pasien yang mengonsumsi obat antineoplastik
Infus amfoterisin B seringkali meninbulkan beberapa efek samping
seperti kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, hipotensi,
lesu, anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan  penurunan fungsi ginjal.
50% pasien yang mendapat dosis awal secara iv akan mengalami demam
dan menggigil. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada penyuntikan
amfoterisin B tapi akan  berkurang pada pemberian berikutnya. Reaksi ini
dapat ditekan dengan memberikan hidrokortison 25-50 mg dan dengan
antipiretik serta antihistamin sebelumnya. Flebitis dapat dikurangi dengan
menambahkan heparin 1000 unit kedalam infuse.
3) Farmakodinamik
Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan ergosterol
(sterol dominan pada fungi) yang terdapat pada membran sel jamur.
Ikatan ini akan menyebabkan membran sel bocor dan membentuk pori-
pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel-sel jamur

9
merembas keluar sehingga terjadi kehilangan beberapa  bahan intrasel dan
mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Efek lain pada membran
sel jamur yaitu dapat menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel jamur.
4) Farmakokinetik
Amfoterisin sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan
yang dimulai dengan dosis 1,5 mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap
sampai dosis 0,4-0,6 mg/kgBB/hari akan memberikan kadar puncak
antara 0,5-2 µg/mL pada kadar mantap. Waktu paruh obat ini kira-kira
24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasifase kedua dengan
waktu paruh kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan
tercapai setelah beberapa  bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan luas
ke seluruh jaringan.Kira-kira 95% obat beredar dalam plasma, terikat
pada lipoprotein. Kadar amfoterisin B dalam cairan pleura, peritoneal,
sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-kira2/3 dari
kadar terendah dalam plasma. Amfoterisin b juga dapat menembus sawar
uri, sebagian kecil mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion.
Ekskresi melalui ginjal sangat lambat, hanya 3% dari jumlah yang
diberikan selam 24 jam sebelumnya ditemukan dalam urine.
5) Dosis
Infeksi jamur sistemik (melalui injeksi intravena). Dosis awal 1 mg
selama 20-30 menit dilanjutkan dengan 250 mikrogram/kg perhari,
dinaikan perlahan sampai 1 mg/kg perhari,  pada infeksi berat dapat
dinaikan sampai 1.5 mg/kg perhari. Catatan: terapi diberikan dalam waktu
yang cukup lama. Jika terapi sempat terhenti lebih dari 7 hari maka dosis
lanjutan diberikan mulai dari 250 mikrogram/kg perhari kemudian
dinaikan secara  bertahap.
6) Sediaan
a) Sediaan – Serbuk lofilik mgn 50 mg, dilartkan dg aquadest 10 ml lalu
ditmbh ke lardextroa 5% = kadar 0,1 mg/ml
b) Larutan elektrolit, asam/ mgdg pengawet tidak boleh digunakan
sebagai  pelarut mengendapkan amfoterisin B

10
c) Untuk injeksi selalu dibuat baru
7) Interaksi Obat
a) Amikasin, siklosporin, Gentamisin, paromomycin, pentamidine, Strept
o-mycin, Vancomycin : meningkatkan risiko kerusakan ginjal.
b) Dexamethasone, Furosemide, hidroklorotiazide, Hydrocortisone, Pred
nis-olone : Meningkatkan risiko hipokalemia.
c) Digoxin : amphoterisin B meningkatkan risiko keracunan digoxin.
d) Fluconazole : melawan kerja amphoterisin B.
8) Aktivitas Obat
Amfoterisin B menyerang sel yang sedang tumbuh dansel matang.
Aktivitas anti jamur nyata pada pH 6,0-7,5: berkurang pada  pH yang
lebihrendah. Antibiotik ini bersifat fungistatik atau fungisidal tergantung
pada dosis dan sensitivitas jamur yang dipengaruhi. Dengan kadar 0,3-
1,0 µg/mL antibiotik ini dapat menghambat aktivitas Histoplasma
capsulaium, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, dan
beberapa spesies Candida, Tondopsis glabrata, Rhodotorula, Blastomyces
dermatitidis, Paracoccidioides braziliensis. Beberapa spesies Aspergillus,
Sporotrichum schenckii, Microsporum audiouini dan spesies
Trichophyton. Secara in vitrobila rifampisin atau minosiklin diberikan
bersama amfoterisin B terjadi sinergisme terhadap  beberapa jamur
tertentu.
9) Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat  pada
membran sel jamur sehingga membran sel bocor dan kehilangan beberapa
bahan intrasel dan menyebabkan kerusakan yang tetap pada sel. Salah
satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan disebabkan oleh pengikatan
kolesterol pada membran sel hewan dan manusia. Resistensi terhadap
amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan reseptor
sterol pada membran sel.

11
10) Efek Samping
Demam, sakit kepala, mual, turun berat badan, muntah, lemas,
diare, nyeri otot dan sendi, kembung, nyeri ulu hati, gangguan ginjal
(termasuk hipokalemia, hipomagnesemia, kerusakan ginjal), kelainan
darah, gangguan irama jantung, gangguan saraf tepi, gangguan fungsi
hati, nyeri dan memar pada tempat suntikan.
a) Infus : kulit panas, keringatan, sakit kepala, demam, menggigil, lesu,
anoreksia, nyeri otot, flebitis, kejang dan penurunan faal ginjal.
b) 50% penderita yang mendapat dosis awal secara IV akan mengalami
demam dan menggigil.
c) Flebitis (-) à menambahkan heparin 1000 unit ke dalam infus.
d) Asidosis tubuler ringan dan hipokalemia sering dijumpai à  pemberian
kalium.
e) Efek toksik terhadap ginjal dapat ditekan bila amfoterisin B diberikan
bersama flusitosin.
3. Flusitosin
Flusitosin adalah 5-Fluorositosin yang merupaka antijamur sistemik yang
dapat diberikan per oral. Flusitosin menghambat  pertumbuhan galur, seperti
kandida, kriptokokus, torulopsis, dan beberapa galur aspergilosis, serta jamur
lain (Munaf, 2004).
Obat ini bekerja karena adanya sel-sel jamur yang sensitif sehingga
mengubah flusitosin menjadi fluorourasil yang dapat menghambat timidilat dan
sintesis DNA. Mutan-mutan yang resisten akan  berkembang secara teratur
dengan cepat dan obat-obat antijamur akan menyeleksi strai-strain yang resisten
ini. Hal inilah yang membatasi manfaat penggunaan obat ini.Oleh karena itu,
pemberian flusitosin dikombinasikan dengan amfoterisin B untuk menghasilkan
efek terapi yang lebih baik (Munaf, 2004).
Ekskresi obat ini sebagian besar melalui ginjal, dan kadar dalam urine
mencapai 10x kadar dalam serum. Bila terdapat kelemahan ginjal, flusitosin
dapat di akumulasi dalam serum sampai mencapai kadar toksik, tetapi bila

12
terdapat kelemahan hati tidak memberikan efek tersebut. Flusitosin dapat
dikeluarkan dengan hemodialisis (Munaf, 2004).
Flusitosin ternyata relatif tidak toksik untuk sel-sel mamalia.  Namun,
kadar serum yang tinggi dalam jangka lama dapat menimbulkan depresi sum-
sum tulang belakang, rambut rontok, dan gangguan fungsi hepar. Pemberian
urasil dapat mengurangi toksisitas pada jaringan hemopoetik yang
bermanifestasi dengan depresi sum-sum tulang, tetapi tampaknya tidak
memberikan efek pada aktivitas antijamur ini (Munaf, 2004).
4. Kaspofungin
Adalah anti jamur sistematik dari suatu kelas baru yang disebut
eiknokandin.dalam daerah 97% obat terikat protein dan massa paruh
eliminasinya 9-11 jam. Obat ini dimetabolisme secara lambat dengan cara
hidrolisis dan asetilasis. Eksresinya melalui urin hanya sedikit sekali.
Kospofungin diindikasikan untuk indikssi jamur sebagai berikut
1. Kandidiasis invasif,termasuk kandidemia pada pasien neutropenia atau
non-neutropenia
2. Kandidiasis esofagus
3. Kandidiasis orofarings
4. Aspergilosis invasif yang sudah refakter terhadap anti jamur lainnya.
Obat ini pada umumnya dapat dioleransi dengan baik. Efek samping yang
mungkin timbul adalah demam,mual,muntah flushing,dan  prutis karena
lepasnya histamin. Secara umum dapat dikatakan bahwa kaspofungin dapat
ditoleransi lebih baik dari pada amafoterisin B. Obat ini tidak boleh diberikan
bersama siklosporin dan takrolimus karena konsentrasi. Siklosporin dan
takrolimus dalam darah dapat menurun. Untuk pasien dewasa,obat ini diberikan
pada hari pertama dengan dosis tunggal 70 mg IV,dilanjutkan dengan dosis
tunggal dengan 50 mg sehari pada hari-hari berikutnya. Data penyusunan dosis
untuk pasien dengan insufisiensi fungsi hati yang berat(child-pugh lebih dari
sembilan)belum diketahui.pengobatan umunya diberikan selama 14 hari
keamanan obati ini belum diketahui pada wanita hamil dan anak berumur
kurang dari 18 tahun.

13
5. Terbinafin
1) Asal dan kimia
Terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip
naftitin. Obat ini digunakan untuk terapi darmofitosis terutama
onikomikosis,namun pada pengobtan kandidiasis kutaneus dan tinea
versikolor,terbinafin biasanya dikombinasikan dengan golongan imidazol
atau triazol karena penggunaannya sebagi monoterapi kurang efektif.
2) Farmakonetik
Terbinafin terserap baik melalui saluran cerna, tetapi  bioavailabilitasnya
oralnya hanya 40% karena mengalami metabolisme lintas pertama dihati obat
ini terkait dengan protein plasma lebih dari 99% yang terakumulasi
dikulit,dan jaringan lemak. Waktu paruh awalnya adalah sekitar 12 jam dan
berkisar antara 200-400 jam bila telah mencapai kadar mantap bila obat ini
masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah pengobatn
yang lama.terbinafin d metabolisme dihati menjadi metabolit yang tidak aktif
dan dieksresikan diurine. Terbinafin tidak boleh diberikan untuk pasien
azotemia atau gagal hati karena dapat terjadi peningkatan kadar terbinafin
yang sulit diperikirakan.
3) Aktifitas anti jamur
Terbinafin bersifat kertofilik dan fungisidal.obat ini mempenagruhi
biosintesis ergosterol,dinding sel jamur melalui  penghambatan enzim
skualen epoksidese pada jamur dan bukan melalui  penghambatan enzim
sitokrom P450
4) Efek samping
Efek samping terbinafin jarang terjadi,biasanya berupa gangguan saluran
cerna, Sakit kepala atau rash, Hepatotoksisitas netro penia  beraat,sindroma
stevens johnson atau nekrolisis epidermal toksik dapat terjadi,namun sangat
jarang.pad wanita hamil,penggunaan obat ini termasuk kategori B.
Penggunaan terbinafin pada ibu menyusui sebaiknya dihindari. Hingga saat
ini belum ada obt berinteraksi secara signifikan dengan terbinafin.

14
2.3. Antijamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan (Topikal)
1. Griseofulvin
Griseofulvin adalah antibiotika yang bersifat fungistatik. Secara in-
vitro griseofulvin dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies dari
Microsporum, Epidermophyton dan Trichophyton. Pada penggunaan  per
oral griseofulvin diabsorpsi secara lambat, dengan memperkecil ukuran
partikel, absorpsi dapat ditingkatkan. Griseofulvin ditimbun di sel-sel
terbawah dari epidermis, sehingga keratin yang baru terbentuk akan tetap
dilindungi terhadap infeksi jamur (Santoso, 2009).
a. Farmakokinetik
Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat
ini dan absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung
lemak. Senyawa dalam bentuk partikel yang lebih kecil diabsorpsi 2 kali
lebih baik daripada partikel yang lebih besar (Munaf, 2004).
Metabolismenya terjadi di hati. Metabolit utamanya adalah 6-
metilgriseofulvin dengan waktu paruh sekitar 24 jam. Jumlah yang
diekskresikan melalui urine adalah 50% dari dosis oral yang diberikan
dalam bentuk metabolit dan berlangsung selama 5 hari. Kulit yang sakit
mempunyai afinitas lebih besar terhadap obat ini, ditimbun dalam sel
pembentuk keratin, terikat kuat dengan keratin dan akan muncul  bersama
sel yang baru berdiferensiasi sehingga sel baru ini akan resisten terhadap
serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas dan
digantikan oleh se baru yang normal. Griseofulvin ini dapat ditemukan
dalam sek tanduk 4-8 jam setelah pemberian oral (Munaf, 2004).
b. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat skualenapoksidase dan obat
ini memberikan efek fungistatik. Spectrum aktivitasnya hanya efektif
terhadap dermatofit, karena di sel-sel kandida tidak tercapai konsentrasi
yang cukup (Schmitz dkk, 2009).

15
2. Nistatin (Mikostatin)  
Nistatin adalah antibiotika antifungal yang berasal dari
streptomyces noursei. Aktifitas antifungalnyadiperoleh dengan cara
mengikatkan diri pada sterol membrane sel jamur, sehingga permeabilitas
membrane sel tersebut akan terganggu dan komponen intraseluler dapat
hilang (Guawan, 2007). Nistatin merupakan obat yang termasuk
kelompok obat yang disebut antijamur (antifungal).Bubuk kering, tablet
hisap, dan bentuk cair dari obat ini digunakan untuk mengobati infeksi
jamur pada mulut (Ratnadita, 2011).
a. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, nistatin hanya sedikit diabsorpsi dari
saluran cerna. Pada dosis yang dianjurkan, tidak akan terdeteksi dalam
darah. Hampir seluruhnya diekskresi melalui feses dalam bentuk tidak
diubah (Gunawan, 2007).
b. Farmakodinamik  
Nistatin tidak memberikan efek terhadap bakteri atau protozoa,
tetapi secara in vitro menghambat banyak jamur termasuk kandida,
dermatofit, dan organism yang dihasilkan oleh mikosis dalam badan
manusia.Secara in vivo, kerjanya terbatas pada permukaan dengann obat
yang tidak diserap dan dapat kontak langsung dengan ragi atau
jamur.Secara in vivo, tidak ditemukan resistensi terhadap nistatin, tetapi
dapat ditemukan galur kandida yang resisten terhadap nistatin (Munaf,
2004).
Mekanisme kerjanya ialah dengan jalan berikatan dengan  sterol
membrane sel jamur, terutama ergosterol. Oleh karena itu, terjadi ganggu-
an ada permeabilitas membrane sel jamur dan mekanisme transpornya. Ak
ibatnya, sel jamur kehilangan banyak kation dan makromolekul.Resistensi
dapat timbul karena menurunnya jumlah sterol pada membrane sel jamur
atau terjadi perubahan sifat struktur atau sifat ikatannya (Munaf, 2004).

16
3. Haloprogin
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap berbagai jenis Epidermofit
onPityrosporum, Trichophyton dan Candida. Kadang-kadang terjadi
sensitasi dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar, dan iritasi kulit.
Zat ini digunakan sebagai krem atau larutan 1% terhadap panu dan kutu
air (Tinea pedis) dengan persentase penyembuhan lebih kurang 80%,
sama dengan tolnafat (Tjan dan Rahardja, 2007).
4. Kandisidin
Kandisidin merupakan suatu antibiotik polien yang diperoleh dari
golongan aktinomisetes. Kandisidin hanya digunakan untuk pemakain
topical pada kandidiasis vaginalis 0,06% yang dilengkapi dengan
aplikatornya. Dosisnya adalah 2x sehari 1 tablet atau 2x sehari dioleskan
di vagina.Efek sampingnya dapat berupa iritasi vulva atau vagina, dan
jarang timbul efek samping yang serius (Munaf, 2004).
5. Salep Whitfield
Salep Whitfield adalah campuran asam salisilat dengan asam
benzoate dengan perbandingan 1:2 (biasanya 6% dan 12%).Asam salisilat
bersifat keratolitik dan asam benzoate bersifat fungistatik.Karena asam
benzoate hanya bersifat fungistatik, penyembuhan dapat tercapai setelah
lapisan kulit terkelupas seluruhnya sehingga penggunaan obat ini
memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulanan.Salep ini banyak
digunakan untuk Tinea pedis dan kadang-kadang juga untuk tinea
kapitis.Efek sampingnya dapat berupa iritasi ringa lokal pada tempat
pemakaian (Munaf, 2004).
6. Natamisin
Natasimin merupakan antijamur antibiotic polien yang aktif
terhadap banyak jamur.Pemakaian pada mata jarang menimbulkan iritasi
maka digunakan untuk keratitis jamur.Natasimin merupakan obat terpilih
untuk infeksiFusarium solani, tetapi daya oenetrasinya ke ornea kurang
memadai.Natasimin juga efektif untuk kandidiasis oral dan vagina.Sediaan

17
tersedia dalam suspensei 5% dan salep 1% untuk pemakaian pada mata
(Munaf, 2004).

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Obat anti jamur adalah senyawa yang digunakan untuk pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh jamur, jamur adalah organisme mikroskopis
tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawa, dan ragi. Beberapa jenis jamur
dapat berkembang pada permukaan tubuh yang bisa menyebabkan
infeksi. Obat jamur atau antifungi atau anti mikotik yaitu obat yang digunakan
untuk membunuh atau menghilangkan jamur.
Macam-macam obat anti jamur yaitu amfoterisin B, flusitosin, ketokanazol
dan lain-lain. Adapun efek samping dalam penggunaan setiap jenis obat anti
jamur yaitu gangguan saluran cerna merupakan ESO paling banyak, reaksi
alergi pada kulit, eosinofilia, sindrom stevens johnson, rhinitis, salivasi,
lakrimasi rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, iritasi pada mata,
sialodenitis dan aknepustularis pada bagian atas bahu. Pencegahan atau cara
mengatasi efek samping dari obat anti jamur dapat dilakukan dengan caraterapi
atau konsumsi obat yang tidak berlebihan atau sesuai resep dokter

3.2 Saran
Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan, karena terbatasnya pengetahuan. Kami banyak berharap para
pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi
kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini berguna, bagi kami khusunya
dan juga para pembaca.

19
LAMPIRAN

Contoh obat anti jamur

1. Infeksi sistemik
a. Golongan imidazol
1) Ketokenazol

2) Flukonazol

b. Amfoterisin B

20
c. Terbinafin

2. Infeksi dermatofit dan mukokutan


a. Griseofulvin

b. Nistatin

21
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2007. Jawetz, Melnick and Adelbergs,
Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23, Alih Bahasa oleh Mudihardi, E.,
Kuntaman, Wasito, E.B., Mertaniasih, N.M., Harsono, S., dan Alimsardjono
,L. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. pp. 163, 170, 225-31, 253

Bruneton Jean. 1999. Alkaloids. In H.K. Caroline : Pharmacognosy: phytochemis
try and medicinal plants.2nded.Paris : Lavoisier publishing. p. 217-220.

Ganiswarna, Sulistia.2003. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; hal. 585-595.

Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakolo
-gi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI.

Kee J., dan Hayes E. R., 1993, Farmakologi Pendekatan Proses  Keperawatan,di
terjemahkan oleh Anugrah, penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta.

Munaf, Sjamsuir., 2004, Pengantar Farmakologi. In: Kumpulan Kuliah Farmakol
o-gi. Edisi 2, Penerbit BukuKedokteran EGC. Jakarta, pp. 3-12

Mutchler. E., 1999, Dinamika Obat Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi, 738,
740-741, diterjemahkan oleh Widianto. M.B., dan Ranti.A. S., Penerbit ITB,
Bandung.

Neal, M. J., 2005, Medical Pharmacology at a Glance, Edisi Kelima, 46-47,


Erlangga, Jakarta.

Pratiwi. 2008. Mikrobiologi Farmasi. Jakarta: Erlangga.

Radji, Maksum. 2010. Buku Ajar Mikrobiologi Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Jakarta: EGC.

Rana, Avadhoot. 1992. Phytochemical analysis and analgesic properties of


Curcuma zedoaria grown in Brazil.Journal of Applied Sciences, 6 (15):
2991-3003

Ratnadita, A., 2011, Nystatin, Obat Antijamur Atasi Canididasis

Schmitz G., Lepper H., Heidrich M., 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi 3.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

22
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta

23

Anda mungkin juga menyukai