Anda di halaman 1dari 20

FARMAKOLOGI VETERINER

ANTI JAMUR

DIBUAT OLEH :

NONITEMA NAZARA (1809511027)

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat,
dan anugerah-Nya saya dapat menyusun makalah ini dengan judul “ANTI JAMUR” yang
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmakologi.

Tidak sedikit kesulitan yang saya alami dalam proses penyusunan makalah ini. Namun
berkat dorongan dan bantuan dari semua pihak yang terkait, baik secara moril maupun materil,
akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi. Tidak lupa pada kesempan ini saya menyampaikan
rasa terima kasih kepada Dosen yang telah membimbing saya sehingga dapat menyelesaikan
tugas ini dengan baik.

Saya menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas makalah ini, saya membutuhkan
kritik dan saran demi perbaikan makalah diwaktu yang akan datang. Akhir kata, besar harapan
saya agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 12 Oktober 2019

Penulis

Nonitema Nazara

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................................i


DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan ..................................................................................................2
1.3 Manfaat .................................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Anti Jamur...................................................................................................3
2.2 Infeksi Jamur Sistemik ........................................................................................3
2.3 Anti Jamur Untuk Infeksi Sistemik ....................................................................5
2.4 Anti Jamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan (Topikal) ..................12
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................................17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jamur merupakan organisme uniseluler maupun multiseluler (umumnya berbentuk


benang disebut hifa, hifa bercabang-cabang membentuk bangunan seperti anyaman disebut
miselium, dinding sel mengandung kitin, eukariotik, tidak berklorofil. Jamur hidup secara
heterotrof dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik), parasit (merugikan organisme
lain), dan simbiosis. Berdasarkan kingdongnya, fungi (jamur) dibedakan menjadi lima divisi
yaitu, Zigomycotina (kelas Zygomycetes), Ascomycotina, Basidiomycotina, dan
Deuteromycotina. Sedangkan Obat antijamur adalah senyawa yang digunakan untuk
pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur (Anonim, 2007).
Penyakit yang disebabkan oleh jamur biasanya akan tumbuh pada daerah-daerah
lembab pada bagian tubuh kita, diantaranya seperti pada bagian ketiak, lipatan daun telinga,
jari tangan dan kaki dan juga bagian lainnya. Penyakit kulit karena jamur bisa menular karena
kontak kulit secara langsung dengan penderitanya.Gejala dari penyakit ini adalah warna kulit
yang kemerahan, bersisik dan adanya penebalan kulit. Dan yang jelas akan disertai dengan rasa
gatal pada kulit yang sudah terifeksi jamur tersebut.
Infeksi jamur pada manusia lebih sulit ditangani dibandingkan dengan infeksi bakteri.
Manusia dan jamur merupakan organisme eukariotik yang memiliki kesamaan dalam
mekanisme pembentukan Ahsani. Respon Imun pada Infeksi Jamur 56 protein. Berbeda dengan
jamur, bakteri merupakan organisme prokariotik yang memiliki mekanisme berbeda dalam
sintesis protein dibandingkan dengan manusia. Hal inilah yang merupakan pencetus utama
kesulitan dalam terapi infeksi jamur pada manusia. Oleh karena itu pengobatan pada infeksi
jamur harus bersifat spesifik untuk mencegah terjadinya kerusakan pada sel manusia sebagai
host,
Infeksi karena jamur disebut mikosis, umumnya bersifat kronis.Mikosis ringan
menyerang permukaan kulit (mikosis kutan), tetapi dapat juga menembud kulit sehingga
menimbulkan mikosis subkutan. Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi
infeksinya, yaitu:
1. Mikosis sistemik.
2. Dermatofit.

1
3. Mikosis mukokutan (Munaf, 2004).

1.2 Tujuan Penulisan


2. Untuk mengetahui apa itu obat anti jamur
3. Untuk mengetahui macam-macam infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya
4. Untuk mengetahui macam-macam golongan antijamur untuk infeksi sistemik
5. Untuk mengetahui apa saja yang termasuk dalam golongan antijamur untuk infeksi
dermatofit dan mukotutan (topikal)
6. Untuk mengetahui pemilahan preparat infeksi antijamur

1.3 Manfaat
1. Dapat mengetahui jenis obat anti jamur
2. Mengetahui macam-macam golongan antijamur untuk infeksi sistemik
3. Mengetahui macam-macam golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukotutan
(topical)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dasar farmokologis dari pengobatan infeksi jamur belum sepenuhnya


dimengerti.secara umum infeksi jamur dibedakan atas infeksi jamur sistematik dan infeksi
jamur topikal(deramotif dan mukokutan).dalam pengobatan beberapa anti
jamur(inidazol,triazol,dan antibiotik polien)dapat digunakan untuk kedua infeksi tersebut.ada
infeksi jamur topikal yang dapat diobati secara sistematik ataupun topikal.

2.1 Obat Anti Jamur

Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk mengobati dua
jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit atau selaput lender dan infeksi
jamur sistemik pada paru-paru atau system saraf pusat.Infeksi jamur dapat ringan, seperti pada
tinea pedis (athlete’s foot), atau berat, seperti pada paru-paru atau meningitis. Jamur, seperti
Candidia spp. (ragi), merupakan bagian dari flora normal pada mulut, kulit, usus halus, dan
vagina (Kee and Hayes,1993).

Tinea korporis merupakan istilah untuk menunjukkan adanya infeksi jamur golongan
dermatofita pada badan, tungkai dan lengan, tetapi tidak termasuk lipat paha, tangan dan kaki.
Sedangkan istilah tinea kruris digunakan untuk infeksi jamur dermatofita pada daerah kulit
lipat paha, daerah pubis, perineum dan perianal.1,2,3 Tinea korporis dan tinea kruris dapat
digolongkan menjadi tinea glabrosa karena keduanya terdapat pada kulit yang tidak berambut.

2.2 Infeksi Jamur Sistemik

Infeksi jamur sistemik berdasarkan penyebabnya serta obatnya antara lain


(Rosfanti, 2009) :

1. Arpergilosis
Aspergillus adalah suatu jamur yang termasuk dalam kelas Ascomycetes yang dapat
ditemukan dimana–mana di alam ini. Ia tumbuh sebagai saprofit pada tumbuh-tumbuhan

3
yang membusuk dan terdapat pula pada tanah, debu organik, makanan dan merupakan
kontaminan yang lazim ditemukan di rumah sakit dan Laboratorium. Aspergillus adalah
jamur yang membentuk filamenfilamen panjang bercabang, dan dalam media biakan
membentuk miselia dan konidiospora. Aspergillus berkembang biak dengan pembentukan
hifa atau tunas dan menghasilkan konidiofora pembentuk spora. Sporanya tersebar bebas
di udara terbuka sehingga inhalasinya tidak dapat dihindarkan dan masuk melalui saluran
pernapasan ke dalam paru. Sebagai negara tropis Indonesia menjadi lahan subur
tumbuhnya jamur. Karena itu, penyakit- penyakit akibat jamur sering kali menjangkiti
masyarakat.
Aspergilosis paru sering terjadi pada penderita penyakit imunosepresi yang berat
dan tidak memberi respon memuaskan terhadap pengobatan dengan obat jamur. Obat
pilihan untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B secara intravena dengan dosis 0,5-1,0
mg/kg BB setiap hari.

2. Blastomikosis
Obat jamur terpilih untuk Blastomikosis adalah Ketokonazol per oral 400 mg
sehari selama 6-12 bulan.Itrakonazol dengan dosis 200-400 mg sehari juga efektif pada
beberapa kasus.Amfoterisin B sebagai cadangan untuk penderita yang tidak dapat
menerima Ketokonazol.

3. Kandidiasis
Pengobatan menggunakan Amfoterisin B. Flusitosin diberikan bersama
Amfoterisin B untuk meningitis, endoftalmitis, arthritis, dan kandidia.Disamping
penyebarannya yang lebih baik ke jaringan sakit, Flusitosin diduga bekerja aditif dengan
Amfoterisin B sehingga dosis Amfoterisin B dapat dikurangi.

4. Koksidioidomikosis
Adanya kavitis (ruang berongga) tunggal di paru atau adanya infiltrasi
fibrokavvitis yang tidak responsif terhadap kemoterapi merupakan cirri khas penyakit
kronis Koksidioidomikosis.Penyakit ini dapat diobati dengan Amfoterisin B secara
intravena, Ketokonazol, dan Itrakonazol.

5. Kriptokokosis

4
Obat terpilih untuk penyakit ini adalah Amfoterisin B dengan dosis 0,4-0,5 mg/kg
BB perhari secara intravena. Penambahan Flusitosin dapat mengurangi pemakaian
Amfoterisin B (0,3 mg/kg BB). Flukonazol bermanfaat untuk terapi supresi pada penderita
AIDS.

6. Histoplasmosis
Penderita histoplasmosis paru kronis sebagian besar dapat diobati dengan
Ketokonazol 400 mg/hari selamaa 6-12 bulan.Itrakonazol 200-400 mg sekali sehari juga
cukup efektif.Amfoterisin B secara intravena juga dapat diberikan selama 10 minggu.

7. Mukomikosis
Amfoterisin B merupakan obat pilihan untuk mukornikosis paru kronis.

8. Parakoksidioimikosis
Ketokonazol 400 mg/hari merupakan obat pilihan yang diberikan selama 6-12
bulan.Pada keadaan yang berat diberikan terapi awal Amfoterisin B.

9. Sporotrikosis
Obat terpilih untuk keadaan ini adalah pemberian oral larutan jenuh Kalium
Iodida (1 g/ml) dengan dosis 3 sampai 40 tetes sehari yang dicapuur dengan sedikit
air.Obat Sporotrikosis yang menyerang paru, tulang.

2.3 Anti Jamur Untuk Infeksi Sistemik

Antijamur untuk infeksi sistemik dibedakan menjadi beberapa golongan, antaralain


golongan imidazol, amfoterisin B, flusitosin, kaspofungin, terbinafen, dan kalium iodida.

1. Golongan Imidazol
Imidiazol merupakan obat antijamur spectrum luas dan resistensinya jarang
timbul.Imidiazol tidak diabsorpsi dengan baik secara oral, kecuali ketokonazol (Neal,
2005).Yang termasuk dalam golongan ini adalah mikonazol, klotrimazol, ketokonazol,

5
flukonazol, itrakonazol, triazol, ekonazol, isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol.Sifat dan
penggunaan golongan ini praktis tidak berbeda (Munaf, 2004).
Mekanisme kerja obat dalam golongan ini belum semuanya diketahui. Obat jenis ini
bekerja dengan memblok biosintetis lipid yang dibutuhkan oleh jamur, khususnya ergosterol
dalam membrane sel jamur, dan mungkin juga dengan mekanisme tambahan lain
(mengganggu sistesis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang
menimbulkan kerusakan) (Munaf, 2004).

 Ketokonazol
Ketokonazol merupakan suatu antijamur sintetik yang memiliki rumus bangun mirip
dengan mikonazol dan kotrimazol.Mekanisme kerja obat ini adalah dengan masuk ke dalam
sel jamur dan menimbulkan kerusakan pada dinding sel. Mungkin juga terjadi gangguan
sintetis asam nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel yang merusak jamur (Munaf,
2004).

a. Farmakokinatik
Ketokonazol merupakan antijamur pertama yang diberikan peroral. Ketokonazol
diabsorpsi dengan baik melalui oral yang menghasilkan kadar yang cukup untuk menekan
pertumbuhan berbagai jamur. Absorpsi obat ini akan menurun pada pH cairan lambung yang
tinggi. Setelah pemberian oral, obat ini akan ditemukan dalam urine, kelenjar lemak, air
ludah, kulit yang mengalami infeksi, tendon, dan cairan synovial (Munaf, 2004).

b. Farmakodinamik
Ketokonazol aktif sebagai antijamur baik sistemik maupun nonsistemik yang efektif
terhadap Candidia, Coccsidioides immitis, Cryptococcus neoformans, H. capsulatum, B.
dermatitidis, Aspergillus, dan Sporotrix spp.

 Flukonazol
Flukonazol merupakan derivate triazol, antijamur yang poten, yang bekerja spesifik
menghambat pembentukan sterol pada membrane sel jamur.Flukonazol bekerja dengan
spesifitas yang tinggi pada enzim-enzim “cytochrome P-450 dependent” (Munaf, 2004).

a. Farmakokinetik

6
Flukonazol diserap baik melalui saluran cerna, dan kadarnya dalam plasma, setelah
pemberian IV, diperoleh dari 90% kadar plasma. Absorpsi per oral tidak dipengaruhi oleh
adanya makanan. Kadar puncak dalam plasma diperoleh ½ jam sampai 1½ jam setelah
pemberian dengan waktu paruh 30 jam. Kadar menetap dalam plasma dengan dosis harian
diperoleh pada hari ke-4 sampai ke-5 yang kira-kira 80% dari kadar plasma (Munaf, 2004).

b. Farmakodinamik
Obat ini menghambat sintesis ergosterol dengan bekerja pada lanosteroldemetilase
dan gangguan terhadap transport zat-zat karena kumulasi pada membra sitoplasma.
Flukonazol aktif terhadap mikosis yang umumm disebabkan oleh Cryptococcus
neoformans, infeksi jamur intracranial, mikrosporum, dan trikhofiton (Schmitz dkk, 2009).

 Itrakonazole
 Asal dan kimia

Anti jamur sistemik turunan triazole ini erat hubungan nya dengan
ketokonazole.Obat ini dapat diberikan per oral dan IV.

 efek samping

Aktivitas anti jamurnya lebih lebar sedangkan efek samping yang ditimbulkan lebih
kecil dibandingkan ketokonazole.

 indikasi

Itrakonazole tersedia dalam kapsule 100 mg, dosis yang disarankan 200 mg sekali
sehari.Itrakonazole juga tersedia dalam suspensi 10 mg/ml dalam larutan IV 10 mg/ml
dengan bioavailabilitas yang lebih baik. 10-15 % pasien mengeluh mual atau muntah namun
pengobatan tidak perlu dihentikan. Kemerahan, pruritus, lesu, pusing, odema kaki,
parestesia, dan kehilangan libido.

Itrakonazole untuk mikosis dalam diberikan dengan dosis 2 x 200 mg sehari yang
diberikan bersama dengan makanan. Untuk onikomikosis diberikan 1x 2oo mg sehari
selama 12 minggu, atau dengan terapi berkala yakni 2x 200 mg sehari selama 1 minggu,
diikuti 3 minggu periode bebas obat setiap bulannya. Lama pengobatannya biasanya 3
bulan. Infus diberikan dalam 1 jam.

7
2. Amfoterisin B
Amfoterisin B dihasilkan oleh Sterptomyces nodosus.Untuk infeksi jamur sistemik,
amfoterisin B diberikan melalui infuse secara perlahan-lahan. Amfoterisin B berikatan
dengan Beta-lipoprotein plasma dan disimpan dalam jaringan depot, serta sukar berpenetrasi
ke dalam SSP. Untuk meningitis jamur diperlukan pemberian secara
intratekal.Pengembalian obat dari depot ke sirkulasi berlangsung lambat.Sebagian kecil
diekskresi melalui urine atau empedu dalam waktu >1 minggu.Obat ini umumnya
didegradasikan secara lokal di jaringan depot (Munaf, 2004).
Obat ini bekerja dengan berikatan dengan membran sel jamur atau ragi yang
sensitive.Integrasi dengan sterol-sterol membran sel jamur lebih permiabel terhadap
molekul-molekul yang kecil.Amfoterisin B mempunyai aktivitas fungisid dan fungistatik
terhadap sel-sel jamur yang sedang tumbuh dan yang tidak (Munaf, 2004).
Amfoterisin B diberikan secara infus intravena secara perlahan selama 4-6 jam. Pada
meningitis jamur, obat ini diberikan secara suntikan intratekal 0,5 mg 3x seminggu untuk
10 minggu atau lebih. Obat ini juga sering dikombinasikan dengan flusitosin untuk
penghambatan meningitis oleh kandida, kriptokokus, dan kandidiasis sistemik. Pemberian
kombinasi ini akan memperlambat timbulnya resistensi dan memungkinkan penggunaan
dosis amfoterisin B yang lebih kecil (Munaf, 2004).
Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi jamur seperti:
a. Koksidiodomikosis
b. Parakoksidioidomikosi
c. Aspergilosis
d. Kromoblastomikosis
Kromoblastomikosis merupakan infeksi jamur kronis pada kulit dan jaringan subkutan
yang disebabkan oleh jamur berpigmen atau dematiceous fungi yang menembus kulit.
e. Kandidiosis
f. Maduromikosis(misetoma)
g. Mukormikosis (fikomikosis)

1) Farmakodinamik
Amfoterisin B bekerja dengan berikatan kuat dengan ergosterol (sterol dominan
pada fungi) yang terdapat pada membran sel jamur. Ikatan ini akan menyebabkan membran

8
sel bocor dan membentuk pori-pori yang menyebabkan bahan-bahan esensial dari sel-sel
jamur merembas keluar sehingga terjadi kehilangan beberapa bahan intrasel dan
mengakibatkan kerusakan yang tetap pada sel. Efek lain pada membran sel jamur yaitu dapat
menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel jamur.

2) Farmakokinetik
Amfoterisin sedikit sekali diserap melalui saluran cerna. Suntikan yang dimulai
dengan dosis 1,5 mg/hari lalu ditingkatkan secara bertahap sampai dosis 0,4-0,6
mg/kgBB/hari akan memberikan kadar puncak antara 0,5-2 µg/mL pada kadar mantap.
Waktu paruh obat ini kira-kira 24-48 jam pada dosis awal yang diikuti oleh eliminasifase
kedua dengan waktu paruh kira-kira 15 hari sehingga kadar mantapnya baru akan tercapai
setelah beberapa bulan pemakaian. Obat ini didistribusikan luas ke seluruh jaringan.Kira-
kira 95% obat beredar dalam plasma, terikat pada lipoprotein. Kadar amfoterisin B dalam
cairan pleura, peritoneal, sinovial dan akuosa yang mengalami peradangan hanya kira-
kira2/3 dari kadar terendah dalam plasma. Amfoterisin b juga dapat menembus sawar uri,
sebagian kecil mencapai CSS, humor vitreus dan cairan amnion. Ekskresi melalui ginjal
sangat lambat, hanya 3% dari jumlah yang diberikan selam 24 jam sebelumnya ditemukan
dalam urine.

3) Mekanisme kerja
Amfoterisin B berikatan kuat dengan sterol yang terdapat pada membran sel jamur
sehingga membran sel bocor dan kehilangan beberapa bahan intrasel dan menyebabkan
kerusakan yang tetap pada sel. Salah satu penyebab efek toksik yang ditimbulkan
disebabkan oleh pengikatan kolesterol pada membran sel hewan dan manusia. Resistensi
terhadap amfoterisin B mungkin disebabkan oleh terjadinya perubahan reseptor sterol pada
membran sel.

3. Flusitosin
Flusitosin adalah 5-Fluorositosin yang merupaka antijamur sistemik yang dapat
diberikan per oral. Flusitosin menghambat pertumbuhan galur, seperti kandida, kriptokokus,
torulopsis, dan beberapa galur aspergilosis, serta jamur lain (Munaf, 2004).

9
Obat ini bekerja karena adanya sel-sel jamur yang sensitif sehingga mengubah
flusitosin menjadi fluorourasil yang dapat menghambat timidilat dan sintesis DNA. Mutan-
mutan yang resisten akan berkembang secara teratur dengan cepat dan obat-obat antijamur
akan menyeleksi strai-strain yang resisten ini. Hal inilah yang membatasi manfaat
penggunaan obat ini.Oleh karena itu, pemberian flusitosin dikombinasikan dengan
amfoterisin B untuk menghasilkan efek terapi yang lebih baik (Munaf, 2004).

Ekskresi obat ini sebagian besar melalui ginjal, dan kadar dalam urine mencapai 10x
kadar dalam serum. Bila terdapat kelemahan ginjal, flusitosin dapat di akumulasi dalam
serum sampai mencapai kadar toksik, tetapi bila terdapat kelemahan hati tidak memberikan
efek tersebut. Flusitosin dapat dikeluarkan dengan hemodialisis (Munaf, 2004).

Flusitosin ternyata relatif tidak toksik untuk sel-sel mamalia. Namun, kadar serum
yang tinggi dalam jangka lama dapat menimbulkan depresi sum-sum tulang belakang,
rambut rontok, dan gangguan fungsi hepar. Pemberian urasil dapat mengurangi toksisitas
pada jaringan hemopoetik yang bermanifestasi dengan depresi sum-sum tulang, tetapi
tampaknya tidak memberikan efek pada aktivitas antijamur ini (Munaf, 2004).

4. Kaspofungin
Adalah anti jamur sistematik dari suatu kelas baru yang disebut eiknokandin.dalam
daerah 97% obat terikat protein dan massa paruh eliminasinya 9-11 jam.obat ini
dimetabolisme secara lambat dengan cara hidrolisis dan asetilasis.eksresinya melalui urin
hanya sedikit sekali.
Kospofungin diindikasikan untuk indikssi jamur sebagai berikut
1. Kandidiasis invasif,termasuk kandidemia pada pasien neutropenia atau non-
neutropenia
2. Kandidiasis esofagus
3. Kandidiasis orofarings
4. Aspergilosis invasif yang sudah refakter terhadap anti jamur laiinnya.
Obat ini pada umumnya dapat dioleransi dengan baik.efek samping yang mungkin
timbul adalah demam,mual,muntah flushing,dan prutis karena lepasnya histamin.secara
umum dapat dikatakan bahwa kaspofungin dapat ditoleransi lebih baik dari pada
amafoterisin B.oba ini tidak boleh diberikan bersama siklosporin dan takrolimus karena
konsentrasi.siklosporin dan takrolimus dalam darah dapat menurun.

10
Untuk pasien dewasa,obat ini diberikan pada hari pertama dengan dosis tunggal 70
mg IV ,dilanjutkan dengan dosis tunggal dengan 50 mg sehari pada hari-hari berikutnya.data
penyusunan dosis untuk pasien dengan insufisiensi fungsi hati yang berat(child-pugh lebih
dari sembilan)belum diketahui.pengobatan umunya diberikan selama 14 hari keamanan
obati ini belum diketahui pada wanita hamil dan anak berumur kurang dari 18 tahun.

5. Terbinafin

Asal dan kimia


terbinafin merupakan suatu derivat alilamin sintetik dengan struktur mirip naftitin.obat ini
digunakan untuk terapi darmofitosis terutama onikomikosis,namun pada pengobtan
kandidiasis kutaneus dan tinea versikolor,terbinafin biasanya dikombinasikan dengan
golongan imidazol ataau triazol karena penggunaannya sebagi monoterapi kurang efektif.

Farmakonetik
Terbinafin terserap baik melalui saluran cerna, tetapi bioavailabilitasnya oralnya hanya
40% karena mengalami metabolisme lintas pertama dihati obat ini terkait dengan protein
plasma lebih dari 99% yang terakumulasi dikulit,dan jaringan lemak.waktu paruh awalnya
adalah sekitar 12 jam dan berkisar antara 200-400 jam bila telah mencapai kadar mantap
bila obat ini masih dapat ditemukan dalam plasma hingga 4-8 minggu setelah pengobatn
yang lama.terbinafin d metabolisme dihati menjadi metabolit yang tidak aktif dan
dieksresikan diurine.terbinafin tidak boleh diberikan untuk pasien azotemia atau gagal hati
karena dapat terjadi peningkatan kadar terbinafin yang sulit diperikirakan.

Aktifitas anti jamur


Terbinafin bersifat kertofilik dan fungisidal.obat ini mempenagruhi biosintesis
ergosterol,dinding sel jamur melalui penghambatan enzim skualen epoksidese pada jamur
dan bukan melalui penghambatan enzim sitokrom P450

Efek samping
Efek samping terbinafin jaraang terjadi,biasanya berupa gangguan saluran cerna.sakit
kepala atau rash.hepatotoksisitas netro penia beraat,sindroma stevens johnson atau
nekrolisis epidermal toksik dapat terjadi,namun sangat jarang.pad wanita

11
hamil,penggunaan obat ini termasuk kategori B.penggunaan terbinafin pada ibu menyusui
sebaiknya dihindari.hingga saat ini belum ada obt berinteraksi secara signifikan dengan
terbinafin.

6. Kalium Iodida
Kalium iodida adalah bentuk umum dari garam.Dikenal juga sebagai potassium
iodide.Zat ini dapat melindungi kelenjar tiroid dari radiasi dan kanker yang disebabkan oleh
yodium radioaktif. Dikenal secara kimia sebagai KI, ia memenuhi kelenjar itu dengan
yodium non-radioaktif, mengurangi penyerapan yodium radioaktif berbahaya (Jordan,
2011).

Kalium iodida adalah obat non-resep yang dapat digunakan untuk melindungi
kelenjar tiroid dari paparan radiasi.Hal ini dapat berbahaya bagi orang-orang dengan alergi
terhadap yodium atau kerang dan untuk mereka yang masalah tiroid, penyakit ginjal dan
kelainan kulit tertentu dan penyakit kronis.Ini bisa dapat memiliki efek samping yang serius
termasuk irama jantung yang tidak normal, mual, muntah, kelainan elektrolit dan perdarahan
(Jordan, 2011).

Iodin, umumnya jumlah yang dianjurkan per hari 150 mcg (mikrogram=0,001 mg)
berguna untuk membantu kesehatan metabolisme tubuh dan mencegah Gangguan Akibat
Kekurangan Yodium (GAKI) serta meningkatkan warna dan penyusunan rambut,
meningkatkan metabolisme lemak, merangsang reaksi metal (Jordan, 2011).

2.4 Anti Jamur Untuk Infeksi Dermatofit dan Mukokutan (Topikal)

1. Griseofulvin
Griseofulvin adalah antibiotika yang bersifat fungistatik.Secara in-vitro
griseofulvin dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies dari Microsporum,
Epidermophyton dan Trichophyton.Pada penggunaan per oral griseofulvin diabsorpsi
secara lambat, dengan memperkecil ukuran partikel, absorpsi dapat ditingkatkan.
Griseofulvin ditimbun di sel-sel terbawah dari epidermis, sehingga keratin yang baru
terbentuk akan tetap dilindungi terhadap infeksi jamur (Santoso, 2009).
a. Farmakokinetik

12
Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat ini dan
absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung lemak.Senyawa dalam
bentuk partikel yang lebih kecil diabsorpsi 2 kali lebih baik daripada partikel yang lebih
besar (Munaf, 2004).
Metabolismenya terjadi di hati.Metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin
dengan waktu paruh sekitar 24 jam.Jumlah yang diekskresikan melalui urine adalah 50%
dari dosis oral yang diberikan dalam bentuk metabolit dan berlangsung selama 5 hari. Kulit
yang sakit mempunyai afinitas lebih besar terhadap obat ini, ditimbun dalam sel
pembentuk keratin, terikat kuat dengan keratin dan akan muncul bersama sel yang baru
berdiferensiasi sehingga sel baru ini akan resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang
mengandung jamur akan terkelupas dan digantikan oleh se baru yang normal. Griseofulvin
ini dapat ditemukan dalam sek tanduk 4-8 jam setelah pemberian oral (Munaf, 2004).
b. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat skualenapoksidase dan obat ini memberiakn
efek fungistatik. Spectrum aktivitasnya hanya efektif terhadap dermatofit, karena di sel-
sel kandida tidak tercapai konsentrasi yang cukup (Schmitz dkk, 2009).

2. Nistatin (Mikostatin)
Nistatin adalah antibiotika antifungal yang berasal dari streptomyces noursei.
Aktifitas antifungalnyadiperoleh dengan cara mengikatkan diri pada sterol membrane sel
jamur, sehingga permeabilitas membrane sel tersebut akan terganggu dan komponen
intraseluler dapat hilang (Anonim, 2012).
Nistatin merupakan obat yang termasuk kelompok obat yang disebut antijamur
(antifungal).Bubuk kering, tablet hisap, dan bentuk cair dari obat ini digunakan untuk
mengobati infeksi jamur pada mulut (Ratnadita, 2011).
a. Farmakokinetik
Setelah pemberian oral, nistatin hanya sedikit diabsorpsi dari saluran cerna. Pada
dosis yang dianjurkan, tidak akan terdeteksi dalam darah. Hampir seluruhnya diekskresi
melalui feses dalam bentuk tidak diubah (Anonim, 2012).
b. Farmakodinamik
Nistatin tidak memberikan efek terhadap bakteri atau protozoa, tetapi secara in
vitro menghambat banyak jamur termasuk kandida, dermatofit, dan organism yang
dihasilkan oleh mikosis dalam badan manusia.Secara in vivo, kerjanya terbatas pada

13
permukaan dengann obat yang tidak diserap dan dapat kontak langsung dengan ragi atau
jamur.Secara in vivo, tidak ditemukan resistensi terhadap nistatin, tetapi dapat ditemukan
galur kandida yang resisten terhadap nistatin (Munaf, 2004).
Mekanisme kerjanya ialah dengan jalan berikatan dengan sterol membrane sel
jamur, terutama ergosterol.Oleh karena itu, terjadi gangguan pada permeabilitas
membrane se jamur dan mekanisme transpornya.Akibatnya, sel jamur kehilangan banyak
kation dan makromolekul.Resistensi dapat timbul karena menurunnya jumlah sterol pada
membrane sel jamaur atau terjadi perubahan sifat struktur atau sifat ikatannya (Munaf,
2004).

3. Haloprogin
Haloprogin berkhasiat fungisid terhadap berbagai jenis Epidermofiton,
Pityrosporum, Trichophyton dan Candida.Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan
timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar, dan iritasi kulit. Zat ini digunakan sebagai krem
atau larutan 1% terhadap panu dan kutu air (Tinea pedis) dengan persentase penyembuhan
lebih kurang 80%, sama dengan tolnafat (Tjan dan Rahardja, 2007).

4. Kandisidin
Kandisidin merupakan suatu antibiotik polien yang diperoleh dari golongan
aktinomisetes. Kandisidin hanya digunakan untuk pemakain topical pada kandidiasis
vaginalis 0,06% yang dilengkapi dengan aplikatornya. Dosisnya adalah 2x sehari 1 tablet
atau 2x sehari dioleskan di vagina.Efek sampingnya dapat berupa iritasi vulva atau vagina,
dan jarang timbul efek samping yang serius (Munaf, 2004).

5. Salep Whitfield
Salep Whitfield adalah campuran asam salisilat dengan asam benzoate dengan
perbandingan 1:2 (biasanya 6% dan 12%).Asam salisilat bersifat keratolitik dan asam
benzoate bersifat fungistatik.Karena asam benzoate hanya bersifat fungistatik,
penyembuhan dapat tercapai setelah lapisan kulit terkelupas seluruhnya sehingga
penggunaan obat ini memerlukan waktu beberapa minggu sampai bulanan.Salep ini
banyak digunakan untuk Tinea pedis dan kadang-kadang juga untuk tinea kapitis.Efek
sampingnya dapat berupa iritasi ringa lokal pada tempat pemakaian (Munaf, 2004).

14
6. Natamisin
Natasimin merupakan antijamur antibiotic polien yang aktif terhadap banyak
jamur.Pemakaian pada mata jarang menimbulkan iritasi maka digunakan untuk keratitis
jamur.Natasimin merupakan obat terpilih untuk infeksi Fusarium solani, tetapi daya
oenetrasinya ke ornea kurang memadai.Natasimin juga efektif untuk kandidiasis oral dan
vagina.Sediaan tersedia dalam suspensei 5% dan salep 1% untuk pemakaian pada mata
(Munaf, 2004).

15
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Obat-obat antijamur juga disebut obat-obat antimikotik, dipakai untuk mengobati


dua jenis infeksi jamur, yaitu infeksi jamur superficial pada kulit atau selaput lender dan
infeksi jamur sistemik pada paru-paru atau system saraf pusat.Menurut indikasi klinik obat-
obat anti jamur dibagi atas dua golongan, yaitu golongan antijamur untuk infeksi sistemik
dan golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal).
Yang termasuk dalam golongan golongan antijamur untuk infeksi sistemik
antaralain amfoterisin B, flusitosin, golongan imidazol, dan kalium iodida.Sedangkan yang
termasuk dalam golongan antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan (topikal)
adalah griseofulvin, nistatin (mikostatin), haloprogin, kandisidin, salep whitfield,
natamisin, dll.

16
DAFTAR PUSTAKA

Ningsih, D.R., Zusfahair, & Mantari, D. 2017. Ekstrak daun mangga (mangifera indica l.)
sebagai antijamur terhadap jamur Candida Albicans dan identifikasi golongan senyawanya.
Jurnal Kimia Riset. 2(1):62

Luftiyanti, R., Ma’ruf, W.D., Dewi, E.K. 2012. Aktivitas antijamur senyawa bioaktif ekstrak
gelidium latifolium terhadap candida albicans. Jurnal Pengolahan dan Bioteknologi Hasil
Perikanan. 1(1):26

Ermawati, Y. 2013. Penggunaan ketokonazol pada pasien tinea corporis. Jurnal Medula.
1(3):82

Hasanah, U. 2017. Mengenal aspergillosis, infeksi jamur genus aspergillus. Jurnal Keluarga
Sehat Sejahtera.15(2):77

Bandjar, F.K. 2019. Tinea incognito. Jurnal Molucca Medica. 12(1):49

17

Anda mungkin juga menyukai