PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah telah memberlakukan Kurikulum baru mulai tahun ajaran
2013/2014 untuk semua jenjang pendidikan dasar dan menengah, yang disebut
sebagai Kurikulum 2013. Beberapa alasan yang mendasari perubahan dari
kurikulum sebelumnya yaitu KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
menjadi Kurikulum 2013 adalah:
1. Perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari
tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan
output);
2. Kecenderungan banyak negara saat ini yang di dalam kurikulumnya menambah
jam pelajaran; dan
3. Perbandingan dengan negaranegara lain yang menunjukkan bahwa jam
pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat dibanding dengan negara lain.
Dilihat dari strukturnya, kurikulum 2013 terdiri atas: kompetensi inti,
kompetensi dasar, muatan pembelajaran, mata pelajaran, dan beban belajar.
Kompetensi inti merupakan tingkat kemampuan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan yang harus dimiliki seorang peserta didik pada setiap tingkat
kelas atau program yang menjadi landasan pengembangan kompetensi dasar.
kompetensi inti mencakup: sikap spiritual, sikap sosial, pengetahuan, dan
keterampilan yang berfungsi sebagai pengintegrasi muatan pembelajaran, mata
pelajaran atau program dalam mencapai standar kompetensi lulusan.
Kompetensi dasar merupakan tingkat kemampuan dalam konteks muatan
pembelajaran, pengalaman belajar, atau mata pelajaran yang mengacu pada
kompetensi inti. Kompetensi dasar dikembangkan dalam konteks muatan
pembelajaran, pengalaman belajar, dan mata pelajaran sesuai dengan kompetensi
inti. Untuk melakukan pengukuran kompetensi inti, bisa dilakukan dengan cara
merancang penilaian yang berupa penilaian autentik, yakni penilaian yang
mendasarkan pada capaian yang dikuasai oleh setiap siswa pada setiap proses
pembelajaran yang diikutinya. Penilaian autentik memiliki relevansi kuat terhadap
1
pendekatan ilmiah dalam pembelajaran sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Hal
ini karena: 1) penilaian autentik tersebut mampu menggambarkan capaian hasil
belajar peserta didik, baik dalam hal kemampuan mengobservasi, menalar,
mencoba, membangun jejaring pemahaman, maupun kemampuan lainnya, 2)
penilaian autentik cenderung fokus pada tugas-tugas yang bersifat kontekstual,
yang memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi mereka dalam
pembelajaran yang lebih nyata, 3) penilaian autentik sangat relevan dengan
pendekatan tematik terpadu dalam proses pembelajaran.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perbedaan penilaian Autentik dengan penilaian Konvensional?
2. Bafaimanakah tentang penilaian Autentik dengan tugas Autentik?
3. Apa saja jenis-jenis penialaian Autentik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perbedaan penilaian Autentik dengan penilaian
Konvensional
2. Untuk mengetahui tentang penilaian Autentik dengan tugas Autentik
3. Untuk mengetahui jenis-jenis penialaian Autentik
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3. Maka, sekolah mesti mengembangkan siswa untuk dapat mendemonstrasikan
kemampuan/keterampilan melakukan sesuatu.
4. Untuk mengukur keberhasilan pembelajaran, guru harus meminta siswa
melakukan aktivitas tertentu secara bermakna yang mencerminkan aktivitas di
dunia nyata.
5. Penilaian mengarahkan pada kurikulum; guru pertama-tama menentukan tugas
yang akan ditunjukkan sebagai keahlian mereka.
Selain hal-hal di atas, hal lain yang membedakan kedua jenis penilaian
tersebut, jika dibuat secara pilah dikotomis adalah berupa perbedaan antara: (1)
memilih jawaban dan menunjukkan suatu aktivitas; (2) menunjukkan penguasaan
pengetahuan dan mendemostrasikan keahlian dengan melakukan sesuatu; (3)
memanggil kembali atau rekognisi dan mengkonstruksi atau aplikasi; (4) soal dan
jawaban disusun guru dan siswa menyusun sendiri jawaban; dan (5) bukti tidak
langsung dan bukti langsung (faktual).
Perbedaan antara kedua model penilaian di atas sebenarnya tidak perlu
dibesar- besarkan. Bagaimana pun juga, dalam kegiatan pembelajaran di sekolah,
keduanya tetap saja sama-sama dibutuhkan. Kedua model itu memiliki
keunggulannya masing-masing. Tagihan terhadap pengetahuan yang dimiliki
pembelajar tidak dapat dikesampingkan begitu saja karena ia akan mendasari
pembelajar untuk dapat berunjuk kerja secara benar, dan penguasaan terhadap
pengetahuan itu lebih tepat diukur dengan tes tradisional. Namun, penilaian tidak
benar jika hanya berurusan dengan hal-hal seperti itu. Kedua model penilaian
tersebut disarankan sama-sama dipergunakan untuk mengukur kompetensi yang
sesuai, tetapi dengan penekanan pada penilaian otentik. Jadi, penggunaan kedua
model penilaian itu bersifat saling melengkapi.
4
menunjukan kompetensi atau keterampilan yang dimilikinya. Sebagai contoh
penilaian autentik antara lain keterampilan kerja, kemampuan mengaplikasikan atau
menunjukan perolehan pengetahuan tertentu, simulasi dan bermain peran,
portofolio, memilih kegiatan yang strategis, serta memamerkan dan menampilkan
sesuatu.
Menurut Ortimiston belajar autentik mencerminkan tugas dan pemecahan
masalah yang diperlukkan dalam kenyataannya di luar sekolah. Penilaian autentik
terdiri dari berbagai teknik penilaian.
Pertama, pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang behubungan
dengan hasil jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua,
penilaian atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja yang
kompleks. Ketiga, analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respons
peserta didik atas perolehan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang ada.
Dengan demikian, penilaian autentik akan bermakna bagi guru untuk
menentukan cara-cara terbaik agar semua siswa dapat mencapai hasil akhir meski
dengan satuan waktu yang berbeda. Kontruksi sikap, keterampilan, dan
pengetahuan dicapai melalui penyelesaian tugas dimana peserta didik telah
memainkan peran aktif dan kreatif . keterlibatan peserta didik dalam melaksanakan
tugas sangat bermakna bagi perkembangan pribadi mereka.
Dalam pembelajaran autentik, peserta didik diminta mengumpulkan
informasi dengan pendekatan saintifik, memahami aneka fenomena atau gejala dan
hubungannya satu sama lain secara mendaalam, serta mengaitkan apa yang
dipelajari dengan dunia nyata diluar sekolah. Di sini, guru dan peserta didik
memiliki tanggung jawab atas apa yang terjadi. Peserta didik pun tahu apa yang
mereka ingin pelajari, memiliki parameter waktu yang fleksibel, dan bertanggung
jawab untuk tetap pada tugas. Penilaian autentik pun mendorong peserta didik
mengonstruksi, mengorganisasikan, menganalisis, menyintesis, menafsirkan,
menjelaskan, dan mengevaluasi informasi untuk kemudian mengubahnya menjadi
pengetahuan baru.
Selain dengan deskripsi di atas, pada pembelajaran autentik, guru harus
menjadi “guru autentik”. Peran guru bukan hanya pada proses pembelajaran,
5
melainkan juga pada penilaian. Untuk bisa melaksanakkan pembelajaran autentik,
guru harus memenuhi kriteria tertentu seperti disajikan berikut ini.
1. Mengetahui bagaimana menilai kekuatan dan kelemahan peserta didik serta
desai pembelajaran.
2. Mengetahui bagaimana cara membimbing peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan mereka sebelumnya dengan cara mengajukan pertanyaan dan
menyediakan sumber daya memadai bagi peseta didik untuk melakukan
akuisisi pengetahuan.
3. Menjadi pengasuh proses pembelajaran, melihat informasi baru, dan
mengasimilasikan pemahaman peserta didik.
4. Menjadi kreatif tentang bagaimana proses belajar peserta didik dapat diperluas
dengan menimba pengalaman dari dunia di luar tembok sekolah.
Penilaian autentik adalah kompenen penting reformasi pendidikan sejak
tahun 1990-an. Wiggnes (1993) menegaskan bahwa metode penilaian tradisional
untuk mengukur prestasi, seperti tes pilihan ganda, benar/salah, menjodohkan, dan
lain-lain telah dianggap gagal mengetahui kinerja peserta didik yang sesungguhnya.
Tes semacam ini telah gagal memperoleh gambaran yan utuh mengenain sikap,
keterampilan dan pengetahuuan peserta didik dikaitkan dengan kehidupan nyata
mereka di luar sekolah atau masyarakat.
Penilaian hasil belajar yang tradisional bahkan cenderung mereduksi makna
kurikulum karena tidak menyentuh esensi nyata dari proses dan hasil belajar peserta
didik. Ketika penilaian tradisional cenderung mereduksi makna kurikulum, tidak
mampu menggambarkan kompetensi dasar, dan rendah daya prediksinya terhadap
derajat sikap, keterampilan, dan kemampuan berpikir yang diartikulasikan dalam
banyak mata pelajaran atau disiplin ilmu; ketika itu pula penilaian autentik
memperoleh traksi yang cukup kuat. Memang pendekatan apa pun yang dipakai
dalam penilaian tetap tidak luput dari kelemahan dan kelebihan. Namun demikian,
sudah saatnya guru professional pada semua satuan pendidikan memandu gerakan
memandukan potensi peserta didik, sekolah, dan lingkungannya melalui penilaian
proses dan hasil belajar yang autentik.
Data penilaian autentik digunakan untuk berbagai tujuan seperti
menentukan kelayakan akuntabilitas implementasi kurikulum dan pembelajaran di
6
kelas tertentu. Data penilaian autentik dapat dianalisis dengan metode kualitatif
maupun kuantitatif. Analisis kualitatif dari penilaian autentik berupa narasi atau
deskripsi atas capaian hasil belajar peserta didik misalnya, mengenai keunggulan
dan kelemahan, motivasi, keberanian berpendapat, dan sebagainya. Analisis
kuantitatif dari data penilaian autentik menerapkan rubik skor atau daftar cek
(checklist) untuk menilai tanggapan relatif peserta didik relatif terhadap kriteria
dalam kisaran terbatas dari empat atau lebih tingkat kemahiran (misalnya: sangat
mahir, mahir, sebagian mahir, dan tidak mahir). Rubrik penilaian dapat berupa
analitik atau holistik. Analisi holistik memberikan skor keseluruhan kinerja peserta
didik, seperti menilai kompetisi Olimpiade Sains Nasional.
7
aktual dan kontekstual yang dijumpai dalam kehidupan. Isi pembicaraan dapat
juga terkait dengan berbagai mata pelajaran yang lain. Dalam konteks penilaian
pembelajaran bahasa di sekolah, ketepatan kinerja tersebut harus ditekankan
pada ketepatannya mempergunakan bahasa dan sekaligus muatan
informasinya.
Kinerja kebahasaan yang paling mudah dilakukan atau ditemukan
adalah kinerja lisan atau kegiatan berbicara dengan segala jenisnya seperti
berpidato, berdiskusi, berdialog, bahkan juga berwawancara, yang pada intinya
adalah menunjukkan kompetensi berbahasa lisan. Penilaian praktik berbicara
inilah yang biasa disebut sebagai penilaian performansi (kinerja). Namun,
kinerja juga dapat berupa kegiatan penulisan yang menghasilkan karya tulis
dengan segala macamnya, misalnya membuat karangan, artikel, resensi,
menulis berita, surat, laporan, analisis teks kesastraan, sampai menulis karya
kreatif. Hal-hal yang dicontohkan tgrsebut juga dapat dimasukkan ke dalam
bukti karya peserta didik untuk penilaian portofolio.
2. Wawancara Lisan
Wawancara lisan sebenarnya dapat juga disebut sebagai penilaian
kinerja kebahasaan. Sesuai dengan namanya, dalam aktivitas ini terjadi tanya
jawab antara pihak yang diwawancarai (peserta didik) dan pewawancara
(guru/penguji) tentang apa saja yang diinginkan informasinya oleh
pewawancara. Namun, dalam konteks penilaian hasil pembelajaran bahasa,
tujuan utama kegiatan itu adalah untuk menilai kompetensi peserta didik
membahasakan secara lisan informasi yang ditanyakan pewawancara dengan
benar. Dalam konteks asesmen otentik benar atau kurang benarnya bahasa
peserta didik tidak semata-mata dinilai dari ketepatan struktur dan kosakata,
melainkan ketepatan atau kejelasan informasi yang disampaikan sebagaimana
halnya fungsi bahasa yang sebagai sarana berkomunikasi.
3. Pertanyaan Terbuka
Penilaian dilakukan dengan memberikan pertanyaan (stimulus) atau
tugas yang harus dijawab atau dilakukan oleh peserta didik secara tertulis atau
lisan. Pertanyaan bukan sekadar pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban
singkat dengan satu atau beberapa kata atau ya/tidak. Pertanyaan haruslah yang
8
memaksa peserta didik untuk mengkreasikan jawaban yang sekaligus
mencerminkan penguasaannya terhadap pengetahuan tertentu. Jadi, jawaban
yang diberikan peserta didik mesti berupa uraian yang menunjukkan kualitas
berpikir, mengembangkan argumentasi, menjelaskan sebab akibat sesuatu, dan
akhirnya sampai pada kesimpulan. Namun, pertanyaan haruslah dibatasi pada
persoalan tertentu yang bermakna sehingga jawabannya relatif terbatas.
Kemampuan peserta didik memilih atau mengkreasikan pesan dan bahasa
secara akurat dan tepat mencerminkan kualitas berpikir tingkat tinggi.
4. Menceritakan Kembali Teks atau Cerita
Pemberian tugas menceritakan kembali biasanya dilakukan untuk
mengukur pemahaman wacana yang didengar atau dibaca secara lisan atau
tertulis. Pada prinsipnya terjadi integrasi antara beberapa kemampuan
berbahasa. Misalnya, wacana yang dibaca (teks bacaan) dapat diceritakan
kembali secara lisan dan tertulis. Kompetensi yang demikian dibutuhkan dalam
kehidupan sehari-hari, maka tugas ini cukup bermakna. Penilaian terhadap
kinerja peserta didik, selain memperhitungkan ketepatan unsur kebahasaan,
juga harus melibatkan ketepatan dan keakuratan isi atau informasi yang
terkandung dalam wacana. Selain itu, wacana yang dipilih untuk
diperdengarkan atau dibaca haruslah kontekstual, relevan, dan yang sesuai
dengan perkembangan pengalaman peserta didik.
5. Portofolio
Portofolio merupakan kumpulan karya peserta didik yang dikumpulkan
secara sengaja, terencana, dan sistemik yang kemudian dianalisis secara cermat
untuk menunjukkan perkembangan kemajuan mereka setiap waktu. Maka,
seperti dikemukakan oleh Callison (Nurgiyantoro, 2011:36), portofolio sebagai
salah satu asesmen otentik tepat dipakai dalam penilaian proses. Jika ada
banyak karya yang dihasilkan peserta didik lewat berbagai tugas, (mungkin
berbagai macam karya tulis, CD rekaman, atau hal-hal lain yang diberikan
pihak lain seperti catatan harian, rekomendasi, dan piagam), perlu dipilih
secara selektif karya-karya mana saja yang dapat dijadikan bahan untuk
portofolio dengan mempergunakan kriteria tertentu. Misalnya, tugas-tugas
yang relevan, bermakna, dan menggambarkan kemajuan serta capaian belajar.
9
6. Proyek
Proyek merupakan bentuk penugasan secara berkelompok (misalnya
tiga orang) dalam kaitannya dengan penilaian hasil pembelajaran. Hasil kerja
akhir proyek dapat berbentuk laporan tertulis, rekaman video, gabungan
keduanya, atau yang lain. Jadi, ia dapat berwujud tulisan, gambar, suara, aksi,
atau perpaduan semuanya. Tugas proyek dapat berupa tugas melakukan
penelitian kecil-kecilan (tetapi besar buat peserta didik). Misalnya,
menganalisis unsur-unsur fiksi, menganalisis kandungan makna puisi-puisi
anak di koran minggu, menganalisis tajuk rencana bermuatan kependidikan di
koran, mementaskan drama, dan lain-lain. Pemilihan topik proyek sebaiknya
didiskusikan dengan peserta didik dan dapat diselesaikan dalam jangka waktu
tertentu.
Tugas proyek merupakan kegiatan investigasi sejak perencanaan,
pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan dan penyajian data, sampai
pembuatan laporan. Untuk melakukan tugas ini, peserta didik diharapkan
mampu bekerja bersama, pembagian tugas, berdiskusi, dan pemecahan masalah
yang semuanya merupakan usaha kolaboratif. Maka, tugas proyek dapat
menunjukkan kemampuan peserta didik dalam hal penguasaan pengetahuan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis informasi/data, sampai dengan
pemaknaan dan penyimpulan.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penilaian autentik merupakan penilaian yang dilakukan secara komprehensif
untuk menilai mulai dari masukan (input), proses, dan keluaran (output)
pembelajaran, yang meliputi ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Penilaian
autentik menilai kesiapan peserta didik, serta proses dan hasil belajar secara utuh.
Penilaian autentik terdiri dari berbagai teknik penilaian. Pertama,
pengukuran langsung keterampilan peserta didik yang berhubungan dengan hasil
jangka panjang pendidikan seperti kesuksesan di tempat kerja. Kedua, penilaian
atas tugas-tugas yang memerlukan keterlibatan yang luas dan kinerja yang
kompleks. Ketiga, analisis proses yang digunakan untuk menghasilkan respon
peserta didik atas perolehan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang ada
B. Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, para pembaca bisa lebih mengetahui
tentang Penilaian autentik berupa konsep-konsep dari Penilaian autentik, dan
konsep jenis-jenis penilaian autentik dan pelaksanaannya. Terlebih khusus lagi
kepada mereka calon guru, semoga bisa menjadi bahan pelajaran yang baik, dan
semoga bisa diterapkan nanti ketika kita sudah bekerja menjadi seorang guru.
11
DAFTAR PUSTAKA
Frey, Bruce B, dkk. 2012. Defining Authentic Classroom Assessment. Jurnal Practical
Assessment, Research & Evaluation. Vol 17, No 2. Hal 1 – 18. (diakses 16
Februari 2016)
Ngadip. 2012. Konsep Dan Jenis Penilaian Autentik (Authentic Assesment). E-Jurnal
Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Vol. 1. No. 10. Hal 1 – 13.
dispendik.surabaya.go.id/surabayabelajar (diakses tanggal 12 Februari
2016).
Sunu, Herman Yosep & Yustiana Wahyu Harumurti. 2014. Penilaian Belajar Siswa di
Sekolah. Yogyakarta: Kanisius.
Zulkifli dan Dhilla. 2015. Evaluasi Autentik Terhadap Penilaian Pembelajaran Sastra
Tradisional Pada Pembelajaran Bahasa Indonesia Di Sekolah. Seminar
Nasional Pendidikan Bahasa Indonesia 2015. Matararam, Nusa Tenggara
Barat.
12