Anda di halaman 1dari 14

Nama : Ahmad Pramaja

Kelas : A
Prodi : Ilmu Hukum
NPM: 2274201026
BAB 11
GEOPOLITIK INDONESIA DAN WAWASAN NUSANTARA

Secara konsepsional, wawasan nusantara merupakan wawasan nasional bangsa Indonesia. Perumusan
wawasan nasional bangsa Indonesia yang selanjutnya disebut Wawasan Nusantara merupakan salah satu
konsepsi politik dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Wawasan Nusantara sebagai wawasan
nasional bangsa Indonesia dibangun atas pandangan geopolitik bangsa. Pandangan bangsa Indonesia
didasarkan pada konstelasi lingkungan tempat tinggalnya yang menghasilkan konsepsi Wawasan
Nusantara.

A. Pengertian, Hakikat, dan Kedudukan Wawasan Nusantara

1. Pengertian Wawasan Nusantara

Secara etimologis, Wawasan Nusantara berasal dari kata Wawasan dan Nusantara. Wawasan
berasal dari kata Wawas (bahasa Jawa) yang berarti pandangan, tinjauan, dan penglihatan
indrawi. Jadi, wawasan adalah pandangan, tinjauan, penglihatan, tanggap indrawi. Wawasan
berarti pula cara pandang dan cara melihat. Adapun Nusantara berasal dari kata nusa dan antara.
Nusa berarti pulau atau kesatuan kepulauan. Sedangkan antara Berarti menunjukkan letak antara
dua unsur. Jadi, Nusantara adalah kesatuan kepulauan yang terletak antara dua benua, yaitu
Benua Asia dan Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Berdasarkan pengertian modern, kata "Nusantara" digunakan sebagai pengganti nama Indonesia.
Secara terminologis, wawasan menurut beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut.
a. Menurut Prof. Wan Usman, Wawasan Nusantara adalah cara pandang bangsa Indonesia
mengenai diri dan tanah airnya sebagai negara kepulauan dengan semua aspek kehidupan yang
beragam.
b. Menurut GBHN 1998, Wawasan Nusantara adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungannya, dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
c. Menurut kelompok kerja, Wawasan Nusantara untuk diusulkan menjadi Tap. MPR, yang
dibuat Lemhannas tahun 1999, yaitu cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan
lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan
kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Berdasarkan pendapat-pendapat
tersebut, secara sederhana Wawasan Nusantara berarti cara pandang bangsa Indonesia terhadap
diri dan lingkungannya.
2. Hakikat Wawasan Nusantara

Kita memandang bangsa Indonesia dengan Nusantara merupakan satu kesatuan. Jadi, hakikat
Wawasan Nusantara adalah keutuhan dan kesatuan wilayah nasional. Dengan kata lain, hakikat
Wawasan Nusantara adalah persatuan bangsa dan kesatuan wilayah.

Dalam GBHN disebutkan bahwa hakikat Wawasan Nusantara diwujudkan dengan menyatakan
kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
3. Kedudukan Wawasan Nusantara
Wawasan Nusantara berkedudukan sebagai visi bangsa. Wawasan nasional merupakan visi
bangsa yang bersangkutan dalam menuju masa depan. Visi bangsa Indonesia sesuai dengan
konsep Wawasan Nusantara adalah menjadi bangsa yang satu dengan wilayah yang satu dan
utuh pula. Kedudukan Wawasan Nusantara sebagai salah satu konsepsi ketatanegaran Republik
Indonesia.
B. Wawasan Nusantara sebagai Geopolitik Indonesia
1. Geopolitik sebagai Ilmu Bumi Politik
Secara etimologi geopolitik berasal dari bahasa Yunani, yaitu geo yang berarti bumi dan tidak
lepas dari pengaruh letak serta kondisi geografis bumi yang menjadi wilayah hidup. Geopolitik
dimaknai sebagai penyelenggaraan negara yang setiap kebijakannya dikaitkan dengan masalah-
masalah geografi wilayah atau tempat tinggal suatu bangsa.
Istilah geopolitik pertama kali diartikan oleh Frederich Ratzel sebagai ilmu bumi politik
(political geography) yang kemudian diperluas oleh Rudolf Kjellen menjadi geographical politic,
disingkat geopolitik. Adapun teori-teori geopolitik sebagai berikut.
a. Teori Geopolitik Frederich Ratzel (1844-1904) berpendapat bahwa negara itu seperti
organisme yang hidup. Pertumbuhan negara mirip dengan pertumbuhan organisme yang
memerlukan ruang hidup (lebensraum) yang cukup agar dapat tumbuh dengan subur. Semakin
luas ruang hidup, negara akan semakin bertahan, kuat, dan maju. Teori ini dikenal sebagai teori
organisme atau teori biologis.
b. Teori Geopolitik Rudolf Kjellen (1864-1922) menyatakan bahwa negara adalah satuan dan
sistem politik yang menyeluruh yang meliputi bidang geopolitik, ekonomi politik, demo politik
sosial politik, dan krato politik. Negara sebagai organisme yang hidup dan intelektual harus
mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya dengan melakukan ekspansi. Teori
Geopolitik Karl Haushofer (1896-1946), melanjutkan pandangan Ratzel dan Kjellen terutama
pandangan tentang lebensraum dan paham ekspansionisme. Jika jumlah penduduk suatu wilayah
negara semakin banyak sehingga tidak sebanding lagi dengan luas wilayah, negara tersebut harus
berupaya memperluas wilayahnya sebagai ruang hidup bagi warga negara. Untuk mencapai
maksud tersebut, negara harus mengusahakan hal-hal berikut.
1) Autarki, yaitu cita-cita untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bergantung pada negara lain.
2) Wilayah-wilayah yang dikuasai (pan-regional), yaitu:
a)Pan Amerika sebagai "perserikatan wilayah" dengan Amerika Serikat sebagai pemimpinnya;
b) Pan Asia Timur, mencakup bagian timur Benua Asia, Australia dan wilayah kepulauan di
mana Jepang sebagai penguasa;
c) Pan Rusia India yang mencakup wilayah Asia Barat, Eropa Timur, dan Rusia yang dikuasai
Rusia;
d) Pan Eropa Afrika mencakup Eropa Barat, tidak termasuk Inggris dan Rusia dikuasai oleh
Jerman.
Teori geopolitik Karl Haushofer ini dipraktikkan oleh Nazi Jerman di bawah pimpinan Hittler
sehingga menimbulkan Perang Dunia II. d. Teori Geopolitik Halford Mackinder (1861-1947),
mempunyai konsepsi geopolitik yang lebih strategik, yaitu dengan penguasaan daerah daerah
"jantung" dunia sehingga pendapatnya dikenal dengan teori daerah Jantung. Barang siapa
menguasai "daerah jantung" (Eropa Timur dan Rusia), ia akan menguasai pulau dunia (Eropa,
Asia, dan Afrika) yang pada akhirnya akan menguasai dunia. Berdasarkan hal ini, muncullah
konsep Wawasan Benua atau konsep kekuatan di darat.
e. Teori Geopolitik Alfred Tayer Mahan (1840-1914), mengembangkan lebih lanjut konsepsi
geopolitik dengan memerhatikan perlunya memanfaatkan dan mempertahankan sumber daya laut
termasuk akses ke laut. Dengan demikian, tidak hanya pembangunan armada laut yang
diperlukan, tetapi lebih luas juga membangun kekuatan maritim. Berdasarkan hal tersebut,
muncul konsep Wawasan Bahari atau konsep kekuatan di laut. Barang siapa menguasai lautan,
akan menguasai kekayaan dunia.
f. Teori Geopolitik Guilio Douhet (1869-1930), William Mitche (1878 1939), Saversky dan
J.F.C. Fuller, mempunyai pendapat lain dibandingkan dengan para pendahulunya. Mereka
melihat kekuatan dirgantara lebih berperan dalam memenangkan peperangan melawan musuh.
Oleh sebab itu, mereka berkesimpulan bahwa membangun armada atau angkatan udara lebih
menguntungkan karena angkatan udara memungkinkan beroperasi sendiri tanpa dibantu oleh
angkatan lainnya. Di samping itu, angkatan udara dapat menghancurkan musuh di kandang itu
sendiri. Berdasarkan hal ini, muncullah konsep Wawasan Dirgantara (konsep kekuatan di udara).
Teori Geopolitik Nicholas J. Spijkman (1879-1936), terkenal dengan teori Daerah Batas. Dalam
teorinya ia membagi dunia dalam empat wilayah, yaitu:
1) Pivot area, mencakup wilayah daerah jantung;
2) Offshore continent land, mencakup wilayah pantai Benua Eropa Asia;
3) Oceanic Belt, mencakup wilayah pulau di luar Eropa-Asia, Afrika Selatan;
4) New World, mencakup wilayah Amerika.
Atas pembagian dunia menjadi empat wilayah tersebut, Spijkman memandang perlunya
kekuatan kombinasi dari angkatan-angkatan perang untuk dapat menguasai wilayah-wilayah
yang dimaksud. Pandangannya ini menghasilkan teori Garis Batas (Rimland) yang dinamakan
Wawasan Kombinasi.

2. Paham Geopolitik Bangsa Indonesia


Paham geopolitik bangsa Indonesia terumuskan dalam konsepsi Wawasan Nusantara. Bagi
bangsa Indonesia, geopolitik merupakan pandangan baru dalam mempertimbangkan faktor-
faktor geografis wilayah negara untuk mencapai tujuan nasionalnya. Untuk Indonesia, geopolitik
adalah kebijakan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan keuntungan
letak geografis negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.
Secara geografis, Indonesia memiliki ciri khas, yaitu diapit dua samudra dan dua benua serta
terletak di bawah orbit Geostationary Satellite Orbit (GSO). Selain itu, Indonesia juga dapat
disebut sebagai Benua Maritim Indonesia. Wilayah Negara Indonesia tersebut dituangkan secara
yuridis formal dalam Pasal 25A UUD 1945 Amandemen IV. Atas dasar itulah Indonesia
mengembangkan paham geopolitik nasionalnya, yaitu Wawasan Nusantara. Adapun secara
historis, wilayah Indonesia sebelumnya adalah wilayah bekas jajahan Belanda yang semula
disebut Hindia Belanda.
Berdasarkan fakta geografis dan sejarah tersebut, wilayah Indonesia beserta apa yang ada di
dalamnya dipandang sebagai satu kesatuan. Pandangan atau wawasan nasional Indonesia ini
dinamakan Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara sebagai konsepsi geopolitik bangsa
Indonesia.
C. Perwujudan Wawasan Nusantara
1. Perumusan Wawasan Nusantara Konsepsi Wawasan Nusantara dituangkan dalam peraturan
perundang undangan, yaitu dalam ketetapan MPR mengenai GBHN. Secara berturut turut
ketentuan tersebut adalah:
a. Tap MPR No. IV \ MPR \ 1973;
b. Tap MPR No. IV \ MPR \ 1978;
c.Tap MPR No. II \ MPR 1983;
d. Tap MPR No. II\ MPR \ 1988;
e.Tap MPR No. II \ MPR \ 1993;
f. Tap MPR No. II \ MPR 1998.
Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Wawasan dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional dalam mencapai Tujuan Pembangunan Nasional adalah Wawasan Nusantara. Wawasan
Nusantara adalah wawasan nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.
Hakikat dari Wawasan Nusantara adalah kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah Indonesia. Cara
pandang bangsa Indonesia tersebut mencakup:
a.perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Politik;
b. perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Ekonomi;
c. perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Sosial Budaya;
d. perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan Pertahanan Keamanan.
Masing-masing cakupan arti dari Perwujudan kepulauan Nusantara sebagai Satu Kesatuan
Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan Keamanan (POLEKSOSBUDHANKAM) tersebut
tercantum dalam GBHN.
GBHN terakhir yang memuat rumusan mengenai Wawasan Nusantara adalah GBHN 1998, yaitu
dalam Ketetapan MPR No. II \ MPR 1998. Pada GBHN 1999 sebagaimana tertuang dalam
Ketetapan MPR No. IV \ MPR\ 1999 tidak lagi ditemukan rumusan mengenai Wawasan
Nusantara.
Pada masa sekarang ini, dengan tidak adanya lagi GBHN, rumusan Wawasan Nusantara menjadi
tidak ada. Meskipun demikian, sebagai konsepsi politik ketatanegaraan Republik Indonesia,
wilayah Indonesia yang berciri Nusantara kiranya tetap dipertahankan.
Hal ini tertuang dalam Pasal 25A UUD 1945 Amandemen IV yang berbunyi "Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah sebuah Negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah
yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan Undang-Undang". Undang-Undang yang
mengatur hal ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
2. Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
a. Wilayah Daratan Wilayah daratan adalah daerah di permukaan bumi dalam batas-batas
tertentu dan di dalam tanah di permukaan bumi.
b. Wilayah Perairan Wilayah perairan Indonesia meliputi laut territorial, perairan kepulauan, dan
perairan pendalaman.
c. Wilayah Udara Wilayah udara adalah wilayah yang berada di atas wilayah daratan dan lautan
(perairan) negara itu. Seberapa jauh kedaulatan negara terhadap wilayah udara di atasnya,
terdapat beberapa aliran, yaitu:
1) Teori Udara Bebas;
2) Teori Negara Berdaulat di Udara.
3. Unsur Dasar Wawasan Nusantara Konsepsi Wawasan Nusantara mengandung tiga unsur
dasar, yaitu: a. watak (contour);
b. isi (content);
C. tata laku (conduct).
4. Tujuan dan Manfaat Wawasan Nusantara
a. Tujuan Wawasan Nusantara
Tujuan Wawasan Nusantara terdiri atas sebagai berikut.
1) Tujuan ke dalam, yaitu menjamin perwujudan persatuan kesatuan segenap aspek kehidupan
nasional, yaitu politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
2) Tujuan ke luar, yaitu terjaminnya kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah dan
ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial serta mengembangkan suatu kerja sama dan saling menghormati.
b. Manfaat Wawasan Nusantara Manfaat Wawasan Nusantara adalah sebagai berikut:
1) diterima dan diakuinya konsepsi Nusantara di forum internasional;
2) pertambahan luas wilayah teritorial Indonesia;
3) pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup memberikan potensi sumber daya yang besar
bagi peningkatan kesejahteraan rakyat;
4) penerapan Wawasan Nusantara menghasilkan cara pandang tentang keutuhan wilayah
Nusantara yang perlu dipertahankan oleh bangsa Indonesia;
5) wawasan Nusantara menjadi salah satu sarana integrasi nasional.
BAB 12
OTONOMI DAERAH

A.Arti Otonomi Daerah


Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai "mandiri", sedangkan dalam makna yang
lebih luas diartikan sebagai "berdaya". Dengan demikian, otonomi daerah berarti kemandirian
suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan
daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, daerah dapat dikatakan
sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar (external
intervention).
B. Arti Penting Otonomi Daerah Desentralisasi
Pada masa reformasi ditanamkan kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup
penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antara pusat
dan daerah.
Desentralisasi dianggap dapat menjawab tuntutan pemerataan, pembangunan sosial ekonomi,
penyelenggaraan pemerintahan, dan pembangunan kehidupan berpolitik yang efektif. Hal ini
karena desentralisasi menjamin penanganan tuntutan masyarakat secara variatif dan cepat.
Ada beberapa alasan yang mendorong dibutuhkannya desentralisasi di Indonesia saat ini.
Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat di Jakarta (Jakarta
centris).
Sementara itu, pembangunan di beberapa wilayah lain dilalaikan. Kedua, pembagian kekayaan
secara tidak adil dan merata. Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah,
seperti Aceh, Riau, Irian Jaya (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi ternyata tidak menerima
perolehan dana yang patut dari pemerintahan pusat. Ketiga, kesenjangan sosial (dalam makna
seluas-luasnya) antara satu daerah dan daerah lain sangat terasa. Pembangunan fisik di satu
daerah berkembang pesat sekali, sedangkan pembangunan di banyak daerah masih lamban,
bahkan terbengkalai.
Alasan lain yang didasarkan pada kondisi ideal, sekaligus memberikan landasan filosofis bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah (desentralisasi) sebagaimana dinyatakan oleh The Liang
Gie sebagai berikut (Jose Riwu Kaho, 2001).
1. Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasan, desentralisasi dimaksudkan untuk
mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan
tirani.
2. Dalam bidang politik, penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokratisasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
mempergunakan hak hak demokrasi.
3. Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan pemerintahan daerah
(desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Hal yang
dianggap lebih utama untuk diurus oleh pemerintahan setempat, pengurusannya diserahkan pada
daerah.
4. Dari sudut kultur, desentralisasi perlu diadakan agar perhatian sepenuhnya ditumpukan kepada
kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak
kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Dari sudut kepentingan pembangunan ekonomi, desentralisasi diperlukan karena pemerintahan
daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.
6. Pilihan terhadap desentralisasi harus dilandasi argumentasi yang kuat, baik secara teoretis
maupun empiris. Kalangan teoretisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen
yang menjadi dasar atas -pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara empiris
ataupun normatif-teoretis.
Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi otonomi (Syaukani et.al., 2002: 20-
30) adalah sebagai berikut.
1.Terciptanya Efisiensi-Efektivitas Penyelenggaraan Pemerintahan
Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan, seperti bidang sosial,
kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan
dalam negeri, dan lain-lain. Selain itu, pemerintah juga mempunyai fungsi distributif akan hal-
hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif yang menyangkut penyediaan barang dan jasa
ataupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut, dan fungsi
eksraktif, yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktivitas
penyelenggaraan negara.
2. Sarana Pendidikan Politik
Kalangan ilmuwan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah
pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi di sebuah negara. Alexis de
'Tosqueville mencatat bahwa "town meetings are to liberty what primary schools are to scince:
they bring tit within the people reach, they teach men how touse and to enjoy it". John Stuart
Mill dalam tulisannya "Representative Government" menyatakan bahwa pemerintahan daerah
akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam
rangka memilih maupun kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik. Mereka yang
tidak mempunyai peluang untuk terlibat dalam politik nasional dan memilih pemimpin nasional
akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal
maupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian, pendidikan politik pada
tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
3. Pemerintahan Daerah sebagai Persiapan untuk Karier Politik Lanjutan
Kalangan ilmuwan politik sepakat bahwa pemerintah daerah merupakan langkah persiapan
untuk meniti karier lanjutan, terutama karier dalam bidang politik dan pemerintahan di tingkat
nasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif
lokal) merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan untuk menata karier politik yang lebih
tinggi. Presiden Amerika Serikat, seperti George Bush, Bill Clinton, Ronald Reagan, Jimmy
Carter, dan lain-lain, sebelumnya adalah gubernur di negara bagian di tempat mereka berasal.
4. Stabilitas Politik
Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik nasional berawal dari stabilitas politik pada
tingkat lokal. Terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 yang puncaknya adalah
kehadiran dari PRRI dan PERMESTA karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah
Jakarta yang sangat dominan.
5. Kesetaraan Politik (Political Equality)
Dengan dibentuknya pemerintahan daerah, kesetaraan politik di antara berbagai komponen
masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya
dengan masyarakat di pusat pemerintahan, mempunyai kesempatan untuk terlibat dalam politik,
baik melalui pemberian suara pada waktu pemilihan kepala desa, bupati, wali kota, maupun
gubernur. Di samping itu, warga masyarakat, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
berkelompok akan ikut terlibat dalam memengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan,
terutama yang menyangkut kepentingan mereka.
6. Akuntabilitas Publik
Desentralisasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk daerah, untuk
berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggara negara. Keterlibatan ini diperlukan
sejak awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian, kebijakan
yang dibuat akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan karena
masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah.
C. Visi Otonomi Daerah
Visi desentralisasi merupakan simbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat pada
daerah. Hal ini jelas merupakan upaya pengembalian harga diri pemerintah dan masyarakat
daerah. Jika dalam sistem sentralistik mereka tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi
berbagai masalah, dalam sistem ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-
solusi dari berbagai masalah yang dihadapi. Dengan berlakunya UU No. 22/1999 dan UU No.
25/1999, kewenangan itu didesentralisasikan ke daerah. Artinya, pemerintah dan masyarakat di
daerah dipersilakan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab. Pemerintah
pusat tidak lagi mendominasi. Peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah
memantau, mengawasi, dan mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah. Peran ini tidak ringan,
tetapi tidak membebani daerah secara berlebihan. Oleh karena itu, dalam rangka otonomi daerah
diperlukan kombinasi yang efektif antara visi dan kepemimpinan yang kuat dari pemerintah
pusat dengan keleluasan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah.
Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama,
yaitu politik, ekonomi, serta sosial dan budaya (Syaukani, et. al., 2002: 172-176). Di bidang
politik, karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, ia harus
dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan
daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan
pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu
mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Demokratisasi pemerintahan juga berarti adanya transparansi kebijakan. Artinya, untuk setiap
kebijakan yang diambil harus jelas pihak yang memprakarsai kebijakan itu, tujuannya, jumlah
ongkos yang harus dipikul, pihak yang diuntungkan, risiko yang harus ditanggung, dan pihak
yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi daerah juga berarti kesempatan
membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem
dan pola karier politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem
manajemen pemerintahan yang efektif.
Dalam bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional di daerah dan terbukanya peluang dari pemerintah daerah mengembangkan
kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di
daerahnya. Dalam konteks ini otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa
pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi memudahkan proses perizinan usaha,
dan membangun berbagai infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah. Dengan
demikian otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi
dari waktu ke waktu.
Dalam bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi
menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai
lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan kemampuan masyarakat untuk merespons
dinamika kehidupan di sekitarnya.
Berdasarkan visi ini, konsep dasar otonomi daerah yang kemudian melandasi lahirnya UU No.
22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, merangkum hal-hal berikut.
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada
daerah. Selain bidang keuangan dan moneter, politik luar negeri, peradilan, pertahanan,
keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, pada
dasarnya semua bidang pemerintahan lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks ini
pemerintahan daerah tetap terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu daerah
kabupaten dan kota yang diberi status otonomi penuh dan provinsi yang diberi status otonomi
terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintah pusat di pemerintah daerah
kabupaten dan kota, selain bidang-bidang yang dikecualikan. Otonomi terbatas berarti adanya
ruang yang tersedia bagi pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah provinsi. Karena
sistem otonomi (tidak ada hubungan hierarki antara pemerintahan provinsi dengan
kabupaten/kota), hubungan provinsi dan kabupaten bersifat koordinatif, pembinaan, dan
pengawasan. Sebagai wakil pemerintah antara kabupaten dan kota dalam wilayahnya, gubernur
juga melakukan supervisi terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai
kebijakan pemerintahan pusat, serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintah
berdasarkan otonomi daerah di wilayahnya.
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan penetapan
kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan
kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi,
representasi, dan penyalur aspirasi masyarakat harus dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak
DPRD perlu diwujudkan seraya menambah alokasi anggaran untuk biaya operasinya. Hak angket
perlu dihidupkan, hak inisiatif perlu diaktifkan, dan hak interpelasi perlu didorong. Dengan
demikian, produk legislasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan politik terhadap jalannya
pemerintah bisa diwujudkan.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi menjamin
tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas
yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektivitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan
institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah
didesentralisasikan, setara dengan beban tugas yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta
lebih responsif terhadap kebutuhan daerah. Dalam kaitan ini juga diperlukan terbangunnya
sistem administrasi dan pola karier kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetitif.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas
sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber
penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat
untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat alokasi subsidi berbentuk
blockgram, pengaturan pembagian sumber sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan
pada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan
masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
D. Model Desentralisasi Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu
deconcentration, delegation to semi-autonomous and parastatal agencies, devolution to lokal
governments, dan non-government institutions (Teguh Yuwono, ed., 2001: 29-34).
1. Dekonsentrasi Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconcentration), menurut
Rondinelli, pada hakikatnya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab
administratif antara departemen pusat dan pejabat pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi itu
hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang
ada di daerah, tanpa penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau keleluasaan
untuk membuat keputusan. Rondinelli membedakan dua tipe dekonsentralisasi, yaitu field
administration (administrasi lapangan) dan local administration (administrasi lokal).
Dalam tipe field administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan
seperti merencanakan, membuat keputusan rutin, dan menyesuaikan pelaksanaan kebijaksanaan
pusat dengan kondisi setempat. Semuanya dilakukan atas petunjuk pemerintah pusat.
Dalam sistem ini, meskipun para staf lapangan bekerja di bawah lingkungan jurisdiksi
pemerintah lokal yang memiliki kewenangan semiotonomi, mereka adalah pegawai pemerintah
pusat dan tetap berada di bawah perintah dan supervisi pusat. Semua pejabat di setiap pemerintah
merupakan perwakilan dari pemerintah pusat, seperti provinsi, distrik, kotapraja, dan sebagainya,
yang dikepalai oleh seseorang yang diangkat oleh, berada di bawah, dan bertanggung jawab
kepada pemerintah pusat.
Adapun local administration terdiri atas dua tipe, yaitu integrated local administration
(administrasi lokal yang terpadu) dan unintegrated local administration (administrasi lokal yang
tidak padu).
Dalam tipe integrated local administration, tenaga-tenaga dari departemen pusat yang
ditempatkan di daerah berada langsung di bawah perintah dan supervisi kepala daerah yang
diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Walaupun tenaga-tenaga
tersebut diangkat, digaji, dipromosikan, dan dimutasikan oleh pemerintah pusat, mereka tetap
berkedudukan sebagai staf teknis dari kepala daerah dan bertanggung jawab kepadanya.
Tipe unintegrated local administration adalah tenaga-tenaga pemerintah pusat yang berada di
daerah dan kepala daerah masing-masing berdiri sendiri. Mereka bertanggung jawab kepada
departemennya masing-masing yang berada di pusat, sementara koordinasi di daerah hanya
bersifat informal.
Menurut Turner dan Hulme, dekonsentrasi dapat menuntun tercapainya tujuan efisiensi teknikal
menjadi lebih efektif, tetapi tidak memperkuat basis partisipasi masyarakat. Secara lebih kritis,
Litvack berpandangan bahwa dekonsentrasi tidak melibatkan transfer kewenangan pada level
pemerintah yang lebih rendah dan tidak mendorong pada keuntungan potensial, dekonsentrasi,
bahkan bisa menjadi perangkap desentralisasi.
Menurut Rondinelli, dekonsentrasi dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, transfer
kewajiban dan bantuan keuangan dari pemerintah pusat kepada provinsi, distrik, dan unit
administratif lokal. Kedua, melalui koordinasi unit-unit pada level subnasional atau melalui
insentif dan pengaturan perjanjian (kontrak) di antara pemerintah pusat dan daerah serta unit-unit
tersebut. Smith, Turner, dan Hulme berpendapat bahwa pilihan dekonsentrasi didasarkan ukuran-
ukuran manajerial dan bukan politik meskipun kenyataannya memiliki nuansa politik tinggi. Hal
ini didasarkan pada dua alasan. Pertama, kepentingan politik mereka yang mengendalikan
kekuasaan negara sering menjadi pertimbangan utama ketika pemerintah pusat mentransfer
kewenangan kepada pejabat administrasi daripada kepentingan pemerintah daerah. Kedua,
pejabat administrasi melakukan kewajiban politik untuk pemerintah pusat yang meliput sebagai
berikut: memelihara stabilitas politik, menghalangi kelompok-kelompok politik oposisi,
menjamin bahwa keutusan daerah berwenang tidak bertentangan dengan kebijakan pusat dan
memonitor langsung politik para staf dan lain-lain.
2. Devolusi
Konsekuensi dari devolusi adalah pemerintah pusat membentuk unit unit pemerintahan di luar
pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi tertentu pada unit-unit itu untuk
dilaksanakan secara mandiri. Bentuk devolusi mempunyai lima karakteristik. Pertama, unit
pemerintahan lokal bersifat otonom, mandiri, dan secara tegas terpisah dari tingkat-tingkat
pemerintahan. Pemerintah pusat tidak melakukan pengawasan langsung terhadapnya. Kedua,
unit pemerintah lokal diakui mempunyai batas-batas wilayah yang jelas dan legal, yang
mempunyai wewenang untuk melakukan tugas-tugas umum pemerintahan. Ketiga, unit
pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum dan berwenang untuk mengelola dan
memanfaatkan sumber-sumber daya untuk mendukung pelaksanaan tugasnya. Keempat, unit
pemerintahan daerah diakui oleh warganya sebagai lembaga yang akan memberikan pelayanan
kepada masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, pemerintah daerah
semacam ini mempunyai pengaruh dan kewibawaan di hadapan warganya. Kelima, terhadap
hubungan yang saling menguntungkan melalui koordinasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta unit-unit organisasi lainnya dalam suatu sistem pemerintahan.
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstrensif, yang merujuk pada situasi
pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan
manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah.
Dalam pandangan Rondinelli, devolusi merupakan upaya untuk memperkuat pemerintah daerah
secara legal yang secara substansif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali langsung
pemerintah pusat. Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada
pemerintah kota/kabupaten dalam memilih walikota/bupati dan DPRD, meningkatkan
pendapatan mereka dan memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan
investasi.
3. Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi menurut Rondinelli adalah privatisasi (transfer from
government to non government institutions). Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan
dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat
pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan
BUMD dilebur menjadi PT. Dalam beberapa hal, misalnya pemerintah mentransfer beberapa
kegiatan kepada kamar dagang dan industri, koperasi dan asosiasi lainnya untuk mengeluarkan
izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal
kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal pembinaan kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan
koperasi nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial, temasuk melatih dan meningkatkan
peran serta dan pemberdayaan masyarakat.
Rondinelli menjelaskan melalui privatisasi, pemerintah menyerahkan tanggung jawab fungsi-
fungsi tertentu pada organisasi nirlaba atau mengizinkan mereka membentuk perusahaan swasta.
Dalam beberapa kasus, pemerintah mentransfer tanggung jawab tersebut pada organisasi paralel,
seperti nasional, asosiasi dagang dan industri, kelompok profesional, organisasi keagamaan,
partai politik, dan koperasi. Pemerintah bisa saja mendesentralisasikan tanggung jawab produksi
barang dan pelayanan jasa yang sebelumnya ditangani oleh korporasi publik pada swasta yang
dikendalikan oleh perusahaan.
Demikian pula, kepada kelompok kepentingan dalam masyarakat, seperti organisasi perempuan,
serikat pekerja, koperasi petani, organisasi pembangunan desa, asosiasi kredit, dan sebagainya.
Dengan demikian, desentralisasi dalam bentuk ini dipahami secara implisit sebagai
debirokratisasi yang memungkinkan pengambilan keputusan terjadi dalam spektrum yang lebih
luas dan melibatkan sejumlah besar kelompok kepentingan. Pengambilan keputusan tidak hanya
dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga legislatif, eksekutif, dan regulasi administrasi

Anda mungkin juga menyukai