Anda di halaman 1dari 19

SOFTWARE PENGOLAHAN DATA LIDAR DAN SOFTWARE

PENGOLAHAN DATA PENGINDERAAN JAUH (ENVI)

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar GIS dan Land Desk
Development Pada Jurusan Teknik Sipil Program Studi Perancangan Jalan dan
Jembatan
Politeknik Negeri Sriwijaya
Palembang

Disusun Oleh :
Isranur Annisa
(062040112010)
4 PJJ D

DOSEN PENGAJAR :
Sri Rezki Artini, ST., M.Eng
NIP. 198212042008122003

JURUSAN TEKNIK SIPIL

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA PALEMBANG

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah. ............................................................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Sistem Lidar ........................................................................................................ 3
2.2 Data Lidar .............................................................................................................................. 3
2.3 Data Referensi ....................................................................................................................... 4
2.4 MPD Dan MED ..................................................................................................................... 4
2.5 Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Data Lidar ............................................................... 6
2.6 Pengertian Penginderaan Jauh............................................................................................. 8
2.7 Pemotretan Udara (Airbone Sensing)֯ .................................................................................... 9
2.8 Penginderaan Jauh Satelit (Spaceborne Sensing)................................................................. 9
2.9 Sistem Penginderaan Jauh yang dikenal di Indonesia ....................................................... 10

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .......................................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 15

ii
ISRANUR ANNISA || 4 PJJ D
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia,
serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul
"Software Pengolahan Data Lidar Dan Software Pengolahan Data Penginderaan Jauh
(Envi)" ini dengan baik meskipun masih banyak kekurangan didalamnya.
Tidak lupa saya sampaikan terimakasih kepada Ibu Sri Rezki Artini,ST.,M.Eng.
selaku dosen mata kuliah Pengantar GIS dan Land Desk Development di Politeknik
Negeri Sriwijaya. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri
maupun orang yang membacanya.
Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini masih terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Palembang, Mei 2022

Penulis

iii
ISRANUR ANNISA || 4 PJJ D
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Data topografi merepresentasikan permukaan medan yang memerlukan data
ketinggian. Survei terestris dengan kerapatan tinggi perlu biaya besar, teknologi
sensor aktif LIDAR (Light Detection And Ranging) sebagai solusinya karena cepat
dan akurat, kerapatan dan distribusi data sangat tinggi. MPD (Model Permukaan
Digital) dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi Digital) permukaan
bumi. Lidar mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam)
Laser mengenai obyeknya. Hasil teknologi Lidar berupa gambaran yang
merepresentasikan elevasi ketinggian permukaan bumi yang biasa disebut bare
earth, sedang kenampakan detil berupa vegetasi dan obyek buatan manusia yang
terletak melekat di atas tanah membetuk MPD. Perbedaan pantulan pertama dan
pantulan terakhir dapat digunakan untuk deteksi ketinggian obyek dari permukaan
tanah dengan teliti (misal : tinggi vegetasi dari tanah ke puncak tajuk, tinggi
bangunan dari tanah ke puncak atap). Kerapatan data Lidar mampu membentuk
tajuk kanopi pohon dalam koordinat (x,y,z) yang sangat teliti. Ekstraksi informasi
data Lidar sebagai pemodelan geospasial dan representasi kuantitatif permukaan
bumi memberi gambaran bentuk MPD dan keadaan medan dipengaruhi oleh
ketelitian, kerapatan dan distribusi datanya. Sehingga dapat dipergunakan untuk
klasifikasi tutupan lahan secara tiga dimensi.
Penginderaan jauh dapat didefinisikan sebagai teknik atau ilmu pengetahuan
yang menjelaskan tentang sesuatu obyek tanpa menyentuhnya (Campell, 1996).
Teknologi ini dapat pula diartikan sebagai kegiatan perolehan informasi tentang
permukaan bumi dengan menggunakan citra yang diperoleh dari dirgantara
menggunakan energi elektromagnetik pada satu atau beberapa bagian spektrum
elektromagnetik yang dipantulkan maupun dipancarkan dari permukaan bumi
(Campell, 1996, dalam Sigit, 2008).

1
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Sistem Lidar ?


2. Bagaimana Data Lidar?
3. Bagaimana Data Referensi?
4. Apa itu MPD Dan MED?
5. Apa saja Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Data Lidar?
6. Pengertian Penginderaan Jauh?
7. Apa itu Pemotretan Udara (Airbone Sensing)֯?
8. Apa itu Penginderaan Jauh Satelit (Spaceborne Sensing)?
9. Apa Sistem Penginderaan Jauh yang dikenal di Indonesia?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui Pengertian Sistem Lidar.


2. Mengetahui Data Lidar.
3. Mengetahui Data Referensi.
4. Mengetahui MPD Dan MED.
5. Mengetahui Faktor –Faktor Yang Mempengaruhi Data Lidar.
6. Mengetahui Penginderaan Jauh.
7. Mengetahui Pemotretan Udara (Airbone Sensing).
8. Mengetahui Penginderaan Jauh Satelit (Spaceborne Sensing).
9. Mengetahui Sistem Penginderaan Jauh yang dikenal di Indonesia.

2
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Lidar


Sistem Lidar merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS
(Positioning and Orientation System) yang mengintegrasikan DGPS (Differential Global
Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit. Lidar
mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai
obyeknya.
Hasil Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian
permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa
vegetasi dan obyek buatan manusia yang ada di atas tanah membetuk MPD (Model
Permukaan Digital). MPD dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi
Digital) permukaan bumi. Tutupan lahan yang biasanya diklasifikasikan secara
interpretasi visual dari foto udara pada peta skala besar (1: 1000) dengan adanya data
Lidar dapat diklasifikasi berdasarkan ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun
bangunannya.

2.2 Data Lidar


Data penelitian diakuisisi pada tgl 24 Mei 2008 dalam rangka untuk perencanaan
DED jalan dengan:
Bahan atau materi yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
 Koordinat titik GPS pada area akuisisi data Lidar.
 Satu set hasil akuisisi data Lidar untuk uji ketelitian MPD di penelitian
 Data penunjang lainnya, berupa peta, citra Ortofoto daerah penelitian.
Peralatan-peralatan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
 Satu set peralatan akuisisi data LIDAR (Pesawat Udara Chieftain Paper Navajo,
Sensor Laser Riegl , DGPS type Geodetik , IMU ).
 Komputer PC Pentium IV, RAM 2 GB dan Laptop Centrino RAM 1 GB dan alat
bantu lainya.

3
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

 Alat survei GPS type Geodetik dan perlengkapannya.


 Alat survei Total Station dan perlengkapannya.
 Perangkat Lunak untuk proses data

2.3 Data Referensi


1. Berdasarkan pada rencana jalur terbang, maka dalam survei udara ini diperlukan
basis operasional di Bandara Adisumarmo Solo untuk mencapai batas wilayah
pemetaan sesuai dengan rencana penggunaannya.
2. Titik Referensi pemetaan yang terdiri dari : Referensi Horisontal; Titik N1.0251 yang
terletak di halaman statsiun Kereta Api Solo Balapan, Sistem Koordinat UTM
(Timur = 480323,740 dan Utara = 9164682,751 ) meter.
3. Referensi Tinggi; TTG 882 (Tinggi ortometris = 93,453 meter) yang berada di
halaman Stasion KA Solo Balapan terletak di dekat titik referensi Horizontal
N1.0251 dengan jarak 63,3 meter dan beda tinggi = -0,161 meter, sehingga tinggi
ortometris N1.0251 = 93,292 meter. Pengecekan tinggi dengan referensi TTG 1097 =
52,034 meter, TTG 1250 = 56,268 meter.
4. Peralatan Survei Lidar dan Pemotretan Udara dipasang pada badan pesawat udara
untuk pengukuran offset (lever arm) antena GPS dan muonting angle yaitu perbedaan
orientasi antara 2 body frame (IMU dan Lidar). Dikarenakan data posisi yang
ditentukan mengunakan GPS adalah di pusat antena GPS yang dipasang
ditubuh/fuselage pesawat, sedangkan rekaman data adalah laser dan digital kamera,
maka diperlukan offset atau ukuran jarak dari antena GPS terhadap pusat laser
generator dan pusat CCD kamera atau yang disebut offset data.

2.4 MPD Dan MED


MPD merupakan data set ketinggian yang dibentuk dari koordinat teliti X, Y
dan Z dari sistem pantulan data Lidar yang memuat semua informasi data topografi,
planimetri dan vegetasi, baik buatan manusia maupun alam untuk daerah tersebut pada
saat penyiaman Laser berlangsung, seperti pada gambar 3.

4
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

Gambar 3. MPD, MED dan Normal MPD (Hu, 2003)

Sedangkan pengertian Model Elevasi Digital umumnya berkaitan representasi


permukaan topografi yang mempunyai ketinggian medan. Ketinggian medan yang
mewakili posisi permukaan tanah mempunyai posisi horisontal tertentu, sehingga data
Lidar dapat digunakan langsung sebagai model elevasi digital sebab mempunyai
koordinat x,y,z untuk setiap posisinya, akan tetapi bila elevasi tersebut di atas
permukaan tanah dan di situ ada obyeknya , maka lokasi tersebut merupakan model
permukaan digital.

5
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

Data seberkas titik


Lidar (*.x,y,z)

Model Permukaan 1. Penentuan Grid


Digital 2. Algoritma interpolasi

Penghilangan obyek diatas medan


Klasifikasi 1. Morfologi penapisan
2. Proses klasifikasi citra

Terain Non Terain

Konversi
data Interpolasi Model Elevasi Digital

Model Elevasi Digital

Normal MPD = MPD - MED

Gambar 4. Pendekatan umum MPD dan MED

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Data Lidar


Akurasi dari Posisi 3D
Ketelitian dari koordinat 3D tergantung dari banyak faktor. Faktor utama dari akurasi
adalah (a) jarak, (b) posisi dari sinar laser dan (c) arah dari sinar laser. Karena hasilnya
seringkali dalam WGS84, hasil final tergantung dari akurasi transformasi dari WGS84 ke
sistem koordinat lokal, termasuk koreksi undulasi geoid, yang menjadi penting terhadap
akurasi dari Lidar. Jarak, posisi, dan arah penyinaran diukur oleh sensor yang berbeda,
maka setiap saat kesalahan misregistrasi akan berpengaruh juga terhadap hasil.
Beberapa Faktor akurasi yang utama
1. Akurasi jarak
Akurasi jarak merupakan komponen yang paling rumit di antara faktor akurasi yang
lain. Dalam kenyataannya jika pengukuran dilakukan dengan teliti, kontribusi dari
6
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

kesalahan jarak terhadap kesalahan koordinat 3D adalah minimum jika dibandingkan


dengan sumber kesalahan lain. Hal ini dapat terjadi jika tinggi terbangnya rendah dan
sudut penyiam kecil, karena tinggi terbang dan sudut penyiam merupakan komponen
yang berpengaruh terhadap kenaikan total kesalahan.
Akurasi kesalahan jarak dari pulsa laser tergantung dari faktor-faktor berikut:
a. Kemampuan memilih posisi yang relatif sama pada transmitter dan penerima pulsa
terkait pengukuran interval waktu. Hal ini dibatasi oleh gangguan, kekuatan sinyal dan
sensitivitas dari batas detektor dan perpendekan dan kemampuan memancarkan
(reproducibility) dari pulsa transmitter. Faktor utama di sini merupakan tahapan
penerimaan sinyal yaitu waktu bangkitan dari pulsa. Tipikal laser pulsa dengan durasi
10ns mempunyai waktu bangkitan kira-kira 1 ns (1ns sama dengan 30 cm jarak).
Waktu bangkitan bebas dari lebar pulsa. Untuk detektor waktu bangkitan tergantung
pada panjang gelombang sinar.
b. Akurasi dengan fixed time delay dalam sistem yang diketahui sebagai contoh konter
(frequency) tidak stabil bisa menyebabkan kesalahan sistematik drift.
c. Akurasi dari interval waktu konter sebagai contoh resolusi, time jitter. Konter waktu
mempunyai resolusi 0,1 ns yang akan berhubungan dengan resolusi jarak 1,5 cm.
Contoh dari waktu bangkitan dan akurasi jarak. Diasumsikan padang jagung tinggi
1 m dan 10 ns pulsa. Sebagian sinar laser akan dipantulkan oleh bagian atas tanaman,
dan sebagian akan diserap oleh daun dan tanah, Maka pantulan lengkap akan menjadi
tercampur dengan echo dari permukaan yang sangat kecil. Untuk penyederhanaan ini
diasumsikan bahwa semua pantulan permukaan didistribusikan lebih tinggi 1 meter.
Waktu bangkitan dari echo akan menjdi 7,6 ns (yaitu waktu bangkitan transmisi pulsa
sebesar 1ns dan tambahan disebabkan oleh kekasaran permukaan yaitu 6.6 ns).
Pengukuran jarak dihitung antara atas dan bawah tanaman . Pada kondisi medan yang
datar dan keras (contoh jalan) , akurasi pulsa seharusnya 10 – 15 % dari waktu
bangkitan. sebagai contoh untuk 1 ns waktu bangkitan, akan menghasilkan 1.5 – 2.25
cm akurasi jarak.
2. Akurasi Posisi
Secara garis besar tergantung dari kualitas DGPS postprosessing. Faktor lain
Perangkat keras GPS, Konstelasi satelit GPS selama penerbangan, jumlah, distribusi,

7
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

jarak dari stasiun referensi ke pesawat, akurasi offset dan misalignment antara GPS dan
IMU, IMU dan Penyiam Lidar, akurasi dari arah sinar laser (akurasi Lidar). Kesalahan
GPS disebabkan karena kesalahan waktu, tetapi kesalahan ini dapat diminimalisir melalui
integrasi GPS dengan IMU. Dengan DGPS dan pasca pengolahan (postprocessing)
akurasi 5- 15 cm dapat diperoleh.
3. Akurasi Attitude
Ini tergantung pada kualitas dari IMU, IMU frekwensi (yaitu kesalahan interpolasi),
metode postprocessing, dan integrasi dengan GPS. Akurasi heading ditambahkan
tergantung dari lintang tempat. Efek dari kesalahan attitude terhadap akurasi 3D
bertambah dengan tinggi terbang dan sudut penyiam.
4. Penyesuaian Waktu (Time Offsets)
Untuk posisi 3D akurat, orientasi, posisi dan jarak dibutuhkan untuk diambil pada
waktu yang sama. Jika penyesuaian waktu tidak diketahui secara tepat, maka hal ini akan
menyebabkan variabel kesalahan. Kesalahan meningkat dengan meningkatnya perubahan
rata-rata dari pengukuran yang waktu. Contoh ketika penyesuaian waktu antara jarak dan
sudut rotasi bisa mempunyai efek yang kecil untuk penerbangan yang tenang (sudut
rotasi agak stabil) tetapi hal ini akan berdampak besar pada saat penerbangan turbulent.

2.6 Pengertian Penginderaan Jauh


Dalam memilih sistem penginderaan jauh yang sesuai dengan tujuan peneraannya,
maka perlu memahami adanya konsep resolusi. Resolusi sangat menentukan tingkat
kerincian obyek, sifat signatur spektral, periode ulang untuk monitoring dan tampilan
datanya. Empat resolusi, yaitu : (a) Resolusi spektral, (b) Resolusi spasial, (c) Resolusi
temporal, dan (d) Resolusi radiometrik. Resolusi spasial mencerminkan rincian data
tentang obyek yang dapat disadap dari suatu sistem penginderaan jauh, dalam bentuk
ukuran obyek terkecil yang dapat disajikan, dibedakan, dan dikenali pada citra, disebut
pixel (picture element). Resolusi spektral menunjukkan kerincian spektrum
elektromagnetik yang digunakan dalam suatu sistem penginderaan jauh. Resolusi
temporal merupakan frekuensi perekaman ulang bagi daerah yang sama oleh suatu sistem
penginderaan jauh, dan resolusi radiometrik menunjukkan kepekaan suatu sistem sensor
terhadap perbedaan terkecil kekuatan sinyal yang sampai pada sensor tersebut.

8
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

2.7 Pemotretan Udara (Airbone Sensing)


Pemotretan udara merupakan teknik penginderaan jauh konvensional yang hingga
kini peranannya belum dapat tergantikan oleh sistem lainnya dalam memberikan
kerincian data permukaan bumi, kecuali kini adanya IKONOS, yang masih perlu evaluasi
aplikasinya di Indonesia. Para interpreter telah terbiasa dengan pengenalan hasil
pemotretan tegak yang dihasilkan (foto udara). Foto udara makin terkenal ketika
digunakan dalam Perang Dunia I, untuk merekam pergerakan lawan. Foto udara
menyajikan gambar yang jelas, mudah ditafsirkan dan bermanfaat untuk kajian yang
berkaitan dengan muka bumi.
Berdasarkan jenis film yang digunakan, foto udara dibedakan manjadi foto udara
pankromatik, inframerah, ultra violet dan ortrokromatik. Penginderaan dengan cara ini
bersifat manual, baik sistem, data dan cara interpretasinya. Sistem hyperspektral (CASI,
The MAP), memunculkan fenomena baru dalam penginderaan ini, karena sifat spektral
obyek dapat dicermati menjadi lebih rinci. Small format photography berskala 1:5000
atau lebih besar, biaya relatih murah (Rp.20.000,-/Ha), menawarkan produk lain yang
lebih kompetitif pada era otonomi daerah ini. Adanya scanner yang berfungsi konversi
data analog ke digital, teknik interpretasi interaktif telah berkembang baik untuk obyek
muka dan dalam bumi.

2.8 Penginderaan Jauh Satelit (Spaceborne Sensing)


Penginderaan jauh satelit menggunakan satelit sebagai kendaraan untuk membawa
sensor dalam rangka penginderaan bumi pada ketinggian ratusan hingga ribuan
kilometer. Penginderaan dengan satelit bersifat otomatik dengan sistem orbit
sunsynchronous : pemotretan teratur, pengiriman data secara elektronik, analisis data
secara digital. Jenis satelit yang digunakan untuk inventarisasi dan evaluasi bencana alam
misalnya adalah Landsat (Multispektral Scanner, Thematic Mapper), System Pour
l'Observation de la Terre (SPOT), Marine Observation Satelite (MOS), National Oceanic
and Atmospheric Administration (NOAA), Geometeorological Satellite (GMS), Barkara,
ERS-1, JERS-1, ALMAZ-1, IRS, ADEOS.
Kemampuan memberikan satuan data terkecil di permukaan bumi disebut resolusi
spasial, yakni sama dengan ukuran obyek yang ditampilkan sebagai satu unsur gambar
(pixel). Satelit Landsat MSS memiliki resolusi spasial sebesar 80 x 80 m2, Thematic
9
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

Mapper sebesar 30 x 30 m2 sedang SPOT sebesar 20 m x 20 m2 untuk sensor dengan


panjang gelombang multispektral (multispectral mode) dan 10 m x 10 m2 untuk panjang
gelombang tampak mata (panchromatic mode). Satelit NOAA beresolusi spasial 1 km2
(LAC) dan 9 km2 (GAC).
Periode ulang di dalam mengindera permukaan bumi sebesar 26 hari, dengan
adanya jalur samping nadir (off-nadir viewing) periode selama 26 hari tersebut dapat
digunakan untuk merekam daerah yang sama sebanyak tujuh kali untuk daerah di equator
dan 11 kali bagi daerah lintang 45 derajat. Disamping periode ulangnya makin pendek
juga diperoleh citra foto stereoskopis, karena adanya sistim penginderaan pada daerah
yang sama dengan sudut pandang berbeda. Citra foto stereoskopis ini sangat bermanfaat
bagi sistim analisa selanjutnya, terutama untuk penerapan interpretasi foto dan
fotogrametri. Citra foto stereoskopis ini akan memberikan kenampakan tiga dimensi bila
dilihat dengan menggunakan alat yang disebut stereoskope. Dengan melihat gambaran
permukaan bumi yang tiga dimensi tersebut, maka informasi yang dapat disadap pada
penelitian tertentu nampak semakin jelas. Sistem Landsat memiliki pengulangan rekaman
sebesar 16 hari, sedang NOAA setiap 12 jam. Perolehan data yang cepat ini,
memungkinkan kegiatan monitoring hutan dan pemuthakiran basisdata hutan dengan
baik.
Citra NOAA, bekerja dengan visible, infrared dan thermal, resolusi 1 km dan 3 km,
memberikan gambaran global tentang bumi, sehingga identifikasi bencana alam seperti
letusan gunung berapi, kebakaran hutan baik dilakukan dengan citra ini. Citra ERS-1
beresolusi menengah, menggunakan microwave dalam penginderaannya, memungkinkan
pengenalan fisik bumi (geomorfologi, geologi) yang lebih baik untuk pengenalan
bencana seperti genangan banjir, longsor lahan, dan aktivitas volkanik.

2.9 Sistem Penginderaan Jauh yang dikenal di Indonesia


Sistem Landsat 7 ETM+
Landsat 7 ETM+ diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan tujuan untuk
menghasilkan data seri untuk seluruh daratan dan wilayah pesisir bumi dengan citra yang
direkam dengan panjang gelombang tampak mata dan inframerah kualitas tinggi serta
melanjutkan basis data Landsat yang sudah ada. Satelit ini dioperasikan bersama oleh
NASA, NOAA dan USGS. Citra Landsat 7 ETM+ tersedia dalam tiga level data, yaitu :
10
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

0R, 1R dan 1G. Citra dalam level 0R merupakan citra yang belum mengalami koreksi
radiometrik dan koreksi geometrik. Untuk citra dalam level 1R sudah mengalami koreksi
radiometrik namun belum mengalami koreksi geometrik, sedangkan untuk citra dalam
level 1G sudah mengalami koreksi radiometrik maupun koreksi geometrik.

Sistem Sensor Hiperspektral


Penginderaan jauh sistem sensor hiperspektral merupakan penggabungan kemampuan
teknologi pencitraan dengan kemampuan analitis spektrometer. Sensor hiperspektral
mampu merekam informasi spektral obyek seperti kemampuan spektrometri secara
spasial. Dikalangan perintisnya teknologi ini lebih dikenal dengan sebutan spektrometer
pencitra (imaging spectrometry) – spektrometer yang mampu melakukan pencitraan
(imaging). Spektrometer sendiri hanya mampu merekam respon spektral obyek pada
target titik. (Campell, 1996). Sistem sensor hiperspektral dirancang berbeda dengan
sensor penginderaan jauh pada umumnya.
Dalam operasionalisasinya, sensor hiperspektral dapat diprogram dalam tiga mode,
yaitu: mode spasial, spektral, dan enhanced spektral. Masing-masing mode memiliki
spesifikasi sendiri-sendiri. Pada mode spasial, jumlah saluran spektral dapat mencapai 19
saluran dengan lebar sapuan adalah 512 piksel, resolusi spasialnya antara 0,8 – 5 m, dan
resolusi radiometriknya adalah 16 bit. Pada mode spektral, jumlah saluran spektral dapat
mencapai 288 saluran kontinyu dengan resolusi spektral 1.8 nm. Pada mode enhanced
spektral jumlah saluran spektral dapat mencapai 72 saluran dengan resolusi spektral 8.6
nm (www.themap.com.au).

Sistem Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer


(ASTER)
Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang bisa digunakan dalam membantu
pelaksanaan pemetaan pada skala sedang adalah citra satelit penginderaan jauh sistem
ASTER. ASTER saat ini dipandang sebagai salah satu sistem penginderaan jauh satelit
yang diharapkan mampu mengganti satelit Landsat ETM+ yang telah mengalami
malfungsi sejak tahun 2003. Satelit Landsat 7 dengan sensor ETM+ (Enhanced Thematic
Mapper Plus) adalah kelanjutan dari satelit Landsat generasi sebelumnya yang
merupakan sistem penginderaan jauh yang memiliki sejarah panjang dan basis data yang
11
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

paling lengkap untuk seluruh dunia. Citra satelit ini banyak diaplikasikan untuk berbagai
kepentingan mulai dari agribisnis, militer, akademik, bisnis, dan sebagainya
(http://ltpwww.gscf.nasa.gov; 20 April 2000; 13.30 WIB).
Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini,
sehingga data ini tidak hanya untuk peta topografik saja, tetapi bisa juga digunakan
sebagai citra stereo. SWIR merupakan high resolution optical instrument dengan 6 band
yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short
wavelength infrared range (1.6 – 2.43 µ m). Penggunaan radiometer ini memungkinkan
menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring
bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif. TIR adalah high
accuracy instrument untuk observasi thermal infrared radiation (800 – 1200 µ m) dari
permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk
monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Multi-band thermal infrared
sensor dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan
ground resolution 90m (Sumantyo dan Soekanto, 2003).

Sistem Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM)


SRTM diluncurkan pada tanggal 11 Februari 2000 oleh National
GeospatialIntelligence Agency (NGA) and the National Aeronautics and Space
Administration (NASA). Sensor SRTM diletakkan pada pesawat ulang alik Endeavour
yang mengorbit bumi selama 10 hari dan berhasil mengumpulkan data topografi
berresolusi tinggi hampir mendekati 80 % luas permukaan daratan di bumi. SRTM
termasuk dalam katagori satelit gelombang mikro aktif. Sensor SRTM berkerja pada dua
kanal, yaitu kanal C dengan panjang gelombang 5,6 cm dan kanal X dengan panjang
gelombang 3 cm. Pada pencitraan dengan kanal C dihasilkan citra resolusi tinggi dengan
lebar liputan 50 km untuk beberapa daerah tertentu, sedangkan pada pencitraan dengan
kanal X dihasilkan citra yang lebih rendah resolusinya dengan lebar liputan 225 km
namun luas liputannya hampir mencapai 80% luas permukaan daratan di dunia (Gambar
5). Resolusi spasial citra SRTM berkisar antara 10 m sampai dengan 90 meter dengan
resolusi rata-rata 30 m.
Untuk menghasilkan citra topografik resolusi tinggi dan mempunyai kemampuan
untuk pemodelan tiga dimensi dengan teknik interferometri, maka sensor SRTM
12
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

beroperasi dengan dua antena, dimana salah satunya diletakkan pada badan pesawat
endeavour dan satunya diletakkan 60 meter di luar badan pesawat ulang alik tersebut.

Satelit di Negara Berkembang


Berikut disampaikan perkembangan dunia penginderaan jauh di negara sedang
berkembang : Indonesia, Thailand, Malaysia, dan India. Perkembangan ini tidak dapt
dibandingkan dengan perkembangan di negara-negara maju, yang sudah sangat lanjut.
Perkembangan di negara berkembang ini berciri kemitraan dengan negara maju, sehingga
secara ilmiah dan teknis, sangat dirasakan adanya bantuan dan dukungan dari negara
maju.

Satelit TUBSAT – Indonesia


Toto Marnanto Kadri dan Adi Sadewo Salatun (2007) menyatakan bahwa kebutuhan
pengembangan satelit di Indonesia didasarkan pada wilayah nasional Indonesia sebagai
Negara kepulauan dan wilayah daratan yang sangat luas. Satelit TUBSAT diluncurkan
oleh Indonesia, hasil kerjasama dengan jerman dan India, pada tahun 2007. Spesifikasi
satelit TUBSAT memiliki resolusi spasial Ground Resolution 5 m dan 200 m . Attitude
Control System : 3 wheels fiber optic laser gyros in orthogonal axis, CMOS star sensor, 3
magnetic coils in orthogonal axis, Coarse sun sensor (solar cells) at 6 sides. Manfaat
satelit telekomunikasi dan satelit penginderaan jauh bagi Indonesia diharapkan berperan
dalam : a. Telecommunication (first domestic satellite telecommunication system in
operation in 1976); b. Earth observation (natural resources, urban and rural land use;
development, environment, weather, climate and others); c. Disaster management; d.
Navigation; e. Search and Rescue; f. Health; g. Education; h. Others. Satelit dan
aplikasinya diperuntukan bagi kesejahteraan rakyat.

Satelit THEOS Thailand


Spesifikasi satelit THEOS : Mass: 750 kg, Orbit: Sun Synchronous, Altitude: 822 km,
Inclination: 98.7, Repeat Cycle: 26 days, Mean Local Time: 10.00 a.m., Payload:
Panchromatic telescope dan Multi-spectral camera On-board Memory: 51Gb, Mission
Data: X-band Link; TT&C: S-band Link, Attitude Orbit Control and Orbit
Determination: 3-axis stabilized, Star Tracker, Gyro, GPS, Magnetic Torque, Sun Sensor.
13
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem Lidar merupakan perpaduan antara LRF (Laser Range Finder), POS
(Positioning and Orientation System) yang mengintegrasikan DGPS (Differential Global
Positioning System), IMU (Inertial Measurement Unit) dan Control Unit. Lidar
mengumpulkan data dari pantulan permukaan pada saat sorotan (beam) Laser mengenai
obyeknya.
Hasil Lidar berupa gambaran yang merepresentasikan elevasi ketinggian
permukaan bumi yang biasa disebut bare earth, sedang kenampakan detil berupa
vegetasi dan obyek buatan manusia yang ada di atas tanah membetuk MPD (Model
Permukaan Digital). MPD dari data Lidar dapat diderivasi ke MED (Model Elevasi
Digital) permukaan bumi. Tutupan lahan yang biasanya diklasifikasikan secara
interpretasi visual dari foto udara pada peta skala besar (1: 1000) dengan adanya data
Lidar dapat diklasifikasi berdasarkan ketinggiannya, baik berupa vegetasi maupun
bangunannya.
Penginderaan jauh dapat didefinisikan sebagai teknik atau ilmu pengetahuan
yang menjelaskan tentang sesuatu obyek tanpa menyentuhnya (Campell, 1996).
Teknologi ini dapat pula diartikan sebagai kegiatan perolehan informasi tentang
permukaan bumi dengan menggunakan citra yang diperoleh dari dirgantara
menggunakan energi elektromagnetik pada satu atau beberapa bagian spektrum
elektromagnetik yang dipantulkan maupun dipancarkan dari permukaan bumi (Campell,
1996, dalam Sigit, 2008). Penginderaan jauh terdiri dari komponen-komponen yang
membentuk suatu sistem: energi elektromagnetik, atmosfer, obyek permukaan bumi, dan
sensor (Curran, 1985). Kemajuan teknologi penginderaan jauh sistem satelit mampu
menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial (ukuran pixel),
resolusi spektral (panjang gelombang) dan resolusi temporal yang cukup tinggi. Hal ini
tentu saja sangat membantu pelaksanaan aplikasi citra penginderaan jauh dalam hal
pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan dengan lebih efisien dibandingkan
pemetaan secara konvensional.

14
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
PENGANTAR GIS DAN LAND DESK DEVELOPMENT
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA
Jln. Srijaya Negara, Palembang 30139
Telp. 0711-353414 Fax. 0711-355918 Email:Info@mail.polsriwijaya.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

Istarno, dkk. Sistem Lidar Pada Pengadaan Model Elevasi Digital Untuk Pemetaan Skala

Besar.

file:///C:/Users/User/Downloads/b9f5cfe2c5de4dfe430fbc4c8a17b6f7.pdf (Diakses pada

tanggal 17 Mei 2022, pukul 15.26 WIB)

Hartono. 2010. Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografi Serta Aplikasinya Di
Bidang Pendidikan Dan Pembangunan. Seminar Nasional‐PJ dan SIG.
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/11617/1409/5_Hartono.pdf;sequence=
1 (Diakses pada tanggal 17 Mei 2022, pukul 15.30 WIB)

Dulbahri, 2003, Kajian air tanah di DAS Progo dengan menggunakan citra Penginderaan
Jauh, disertasi di UGM.

Hartono, 2003, Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Hutan Kota, Diktat Pelatihan
diselenggarakan oleh Fakultas Kehutanan UGM.

Holani Achmad (2004), Penginderaan Jauh untuk Penyusunan Model Kerentanan Penyakit
Malaria di Kulonprogo DI Yogyakarta, Disertasi, Pascasarjana UGM

Sugeng Yuwono, 1997, Prosiding Seminar Penginderaan Jauh dan SIG untuk Kesehatan,
Yogyakarta, Fakultas Kedokteran UGM.

15
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B
16
DHIENMAS RISKY (062040111975) || 4 PJJ B

Anda mungkin juga menyukai