Anda di halaman 1dari 176

MAKALAH KOMPREHENSIF

CARA-CARA PEMBERIAN OBAT

Oleh :

Kelompok 1

Ajeng Kusumawardani (2006538610)


Octaviana Dwi P. (2006539166)
Nola Radhiah K. (2006539121)
Dapot Panghihutan Silalahi (1906292313)

PROGRAM STUDI SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
CARA-CARA PEMBERIAN OBAT

1.1 Cara Pemberian Obat Dilihat Dari Bentuk Sediaan Obat


1.1.1 Pendahuluan
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi, untuk manusia (Farmalkes Kemenkes RI, 2011).
Sebelum memberikan obat, hendaknya harus memahami prinsip enam benar dalam
pemberian obat. Prinsip enam benar, antara lain :
A. Benar Pasien
Obat yang akan diberikan hendaknya benar pada pasien yang diprogramkan dengan
cara mencocokkan program pengobatan pada pasien, nama, nomor register, alamat
untuk mengidentifikasi kebenaran obat. Hal ini penting untuk membedakan dua klien
dengan nama yang sama, karena klien berhak untuk menolak penggunaan suatu obat,
dan klien berhak untuk mengetahui alasan penggunaan suatu obat (Kemenkes RI,
2017).
B. Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik dan pasien harus mendapatkan
informasi tersebut atau menghubungi apoteker untuk menanyakan nama generik dari
nama dagang obat yang asing. Jika pasien meragukan obatnya, maka petugas rumah
sakit harus memeriksanya lagi dan harus mengingat nama dan obat kerja dari obat
yang diberikan. Sebelum mempersiapkan obat ke tempatnya, petugas harus
memperhatikan kebenaran obat sebanyak 3 kali yaitu saat mengembalikan obat ke
tempat penyimpanan, saat obat diprogramkan, dan ketika memindahkan obat dari
tempat penyimpanan obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh dipakai dan
harus dikembalikan ke bagian farmasi (Kemenkes RI, 2017).
C. Benar Dosis
Untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan agar perhitungan obat benar untuk
diberikan kepada pasien maka penentuan dosis harus diperhatikan dengan
menggunakan alat standar seperti alat untuk membelah tablet, spuit atau sendok
khusus, gelas ukur, obat cair harus dilengkapi alat tetes (Kemenkes RI, 2017).

D. Benar Cara Pemberian


Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda dan rute obat yang
diberikan diantaranya inhalasi, rektal, topikal, parenteral, sublingual, peroral. Faktor
yang menentukan pemberian rute terbaik ditentukan oleh tempat kerja obat yang
diinginkan, sifat fisik dan kimiawi obat, kecepatan respon yang diinginkan, dan
keadaan umum pasien (Kemenkes RI, 2017).
E. Benar Waktu
Untuk dapat menimbulkan efek terapi dari obat dan berhubungan dengan kerja obat
itu sendiri, maka pemberian obat harus benar-benar sesuai dengan waktu yang
diprogramkan (Kemenkes RI, 2017).
F. Benar Dokumentasi
Pemberian obat harus sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di rumah sakit.
Petugas harus selalu mencatat informasi yang sesuai mengenai obat yang telah
diberikan serta respon klien terhadap pengobatan. Petugas harus mendokumentasikan
kepada siapa obat diberikan, waktunya, rute, dan dosis setelah obat itu diberikan.
Mengapa kita harus mengetahui cara pemberian obat ? Kesalahan pemberian obat,
selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain yang mengubah terapi obat
yang direncanakan, misalnya lupa memberi obat, memberi obat dua sekaligus sebagai
kompensasi, memberi obat yang benar pada waktu yang salah, atau memberi obat
yang benar pada rute yang salah.
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan
pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang
diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat serta tempat kerja yang diinginkan.
Pemberian obat ikut juga dalam menentukan cepat lambatnya dan lengkap tidaknya
resorpsi suatu obat. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemik (di
seluruh tubuh) atau efek lokal (setempat) dapat dipilih di antara berbagai cara untuk
memberikan obat (Kemenkes RI, 2017).
1.1.2 Cara Pemberian Obat :
A. Pemberian Obat Secara Oral
Rute oral, merupakan salah satu cara pemakaian obat melalui mulut dan akan
masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Rute oral bertujuan untuk
terapi dan memberikan efek sistemik yang dikehendaki. Rute oral merupakan
cara mengkonsumsi obat yang dinilai paling mudah dan menyenangkan, murah
serta umumnya paling aman. Kekurangan dari rute pemberian obat secara oral
adalah: bioavailibilitasnya banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, iritasi pada
saluran cerna, perlu kerjasama dengan penderita (tidak dapat diberikan pada
penderita koma), timbul efek lambat, tidak bermanfaat untuk pasien yang sering
muntah, diare, tidak sadar, tidak kooperatif; untuk obat iritatif rasa tidak enak
penggunaannya terbatas, obat yang inaktif/terurai oleh cairan lambung/ usus tidak
bermanfaat (penisilin G, insulin), absorpsi obat tidak teratur. Bentuk sediaan obat
oral, antara lain, tablet, kapsul, obat hisap, sirup dan tetesan (Kemenkes RI,
2017).
Adapun cara pemberian obat secara oral dapat dibagi lagi, antara lain :
1) Sublingual
Obat dapat diberikan pada pasien secara sublingual yaitu dengan cara
meletakkan obat di bawah lidah. Dengan cara ini, aksi kerja obat lebih cepat
yaitu setelah hancur di bawah lidah maka obat segera mengalami absorbsi ke
dalam pembuluh darah. Obat yang sering diberikan dengan cara ini adalah
nitrogliserin yaitu obat vasodilator yang mempunyai efek vasodilatasi
pembuluh darah. Obat ini banyak diberikan pada pada pasien yang
mengalami nyeri dada akibat angina pectoris. Dengan cara sublingual, obat
bereaksi dalam satu menit dan pasien dapat merasakan efeknya dalam waktu
tiga menit.
Kelebihan dari obat sublingual adalah: obat cepat, tidak diperlukan
kemampuan menelan, kerusakan obat di saluran cerna dan metabolisme di
dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak lewat vena porta). Namun
kekurangan dari obat sublingual adalah: absorbsi tidak adekuat, kepatuhan
pasien kurang (compliance), mencegah pasien menelan, dan kurang praktis
untuk digunakan terus menerus dan dapat merangsang selaput lendir mulut.

2) Bukal
Dalam pemberian obat secara bucal, obat diletakkan antara gigi dengan
selaput lendir pada pipi bagian dalam. Seperti pada pemberian secara
sublingual, pasien dianjurkan untuk membiarkan obat pada selaput lendir pipi
bagian dalam sampai obat hancur dan diabsorbsi. Kerja sama pasien sangat
penting dalam pemberian obat cara ini karena biasanya pasien akan menelan
yang akan menyebabkan obat menjadi tidak efektif.
Cara pemberian ini jarang dilakukan dan pada saat ini hanya jenis preparat
hormone dan enzim yang menggunakan metode ini misalnya hormone
polipeptida oksitosin pada kasus obstetric. Hormone oksitosin mempunyai
efek meningkatkan tonus serta motalitas otot uterus dan digunakan untuk
memacu kelahiran pada kasus- kasus tertentu Kelebihan dari obat bukal
adalah: onset cepat, mencegah “first-pass effect”, tidak diperlukan
kemampuan menelan. Namun kekurangan dari obat bukal adalah: absorbsi
tidak adekuat, kepatuhan pasien kurang (compliance), mencegah pasien
menelan dan kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat
merangsang selaput lendir mulut (Kemenkes RI, 2017).

B. Pemberian Obat Secara Parenteral


Rute parenteral adalah memberikan obat dengan meninginjeksi ke dalam
jaringan tubuh, obat yang cara pemberiaannya tanpa melalui mulut (tanpa
melalui usus/ saluran pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah. Misalnya
sediaan injeksi atau suntikan. Tujuannya adalah agar dapat langsung menuju
sasaran. Rute parenteral biasanya digunakan untuk obat yang absorbsinya buruk
melalui slauran cerna. Pemberian parenteral juga digunakan untuk pengobatan
pasien yang tidak sadar dan dalam keadaan yang memerlukan kerja obat yang
cepat (Kemenkes RI, 2017).
Kelebihan :
1) Bisa untuk pasien yang tidak sadar
2) Sering muntah dan tidak kooperatif
3) Tidak dapat untuk obat yang mengiritasi lambung
4) Dapat menghindari kerusakan obat di saluran cerna dan hati, bekerja cepat
dan dosis ekonomis
Kekurangan :
1) Kurang aman karena jika sudah disuntikan ke dalam tubuh tidak bisa
dikeluarkan lagi jika terjadi kesalahan
2) Tidak disukai pasien
3) Berbahaya (suntikan-infeksi)
Macam-macam pemberian obat secara parenteral :
1) Intra Vena (IV)
Suntikan intravena adalah cara pemberian obat parenteral yang sering
dilakukan. Untuk obat yang tidak diabsorbsi secara oral, sering tidak ada
pilihan. Obat langsung dimasukkan ke pembuluh darah vena sehingga kadar
obat di dalam darah diperoleh dengan cepat, tepat dan dapat disesuaikan
langsung dengan respons penderita.
2) Intramuskular (IM)
Suntikan intramuskular adalah pemberian obat dengan cara menginjeksikan
obat ke jaringan otot, obat-obat yang diberikan secara intramuskular dapat
berupa larutan dalam air atau preparat depo khusus sering berupa suspensi
obat dalam vehikulum nonaqua seperti etilenglikol. Absorbsi obat dalam
larutan cepat sedangkan absorbsi preparat-preparat berlangsung lambat.
Setelah vehikulum berdifusi keluar dari otot, obat tersebut mengendap pada
tempat suntikan. Kemudian obat melarut perlahan-lahan memberikan suatu
dosis sedikit demi sedikit untuk waktu yang lebih lama dengan efek
terapeutik yang panjang
3) Intrakutan (IC)
Memberikan obat melalui suntikan ke dalam jaringan kulit yang dilakukan
pada lengan bawah bagian dalam atau tempat lain yang dianggap perlu.
Tujuan dari rute ini adalah melaksanakan uji coba obat tertentu (misalnya skin
test penicillin), memberikan obat tertentu yang pemberiannya hanya
dilakukan dengan cara suntikan intrakutan, membantu menentukan diagnose
terhadap penyakit tertentu (misalnya Tuberkulin Test).

4) Subcutan (SC)
Suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan
intravaskular. Contohnya pada sejumlah kecil epinefrin kadang-kadang
dikombinasikan dengan suatu obat untuk membatasi area kerjanya. Epinefrin
bekerja sebagai vasokonstriktor lokal dan mengurangi pembuangan obat
seperti lidokain, dari tempat pemberian. Contoh-contoh lain pemberian obat
subkutan meliputi bahan-bahan padat seperti kapsul silastik yang berisikan
kontrasepsi levonergestrel yang diimplantasi untuk jangka yang sangat
panjang.
5) Intrathecal
Obat langsung dimasukkan ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila
diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu
cerebrospinal seperti pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi sistem
syaraf pusat yang akut.
Gambar 1. Macam-Macam Jenis Injeksi

C. Pemberian Obat Secara Topikal


Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokal dengan cara
mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area mata, hidung,
lubang telinga, vagina dan rectum. Obat yang biasa digunakan untuk pemberian
obat topikal pada kulit adalah obat yang berbentuk krim, lotion, atau salep. Hal
ini dilakukan dengan tujuan melakukan perawatan kulit atau luka, atau
menurunkan gejala gangguan kulit yang terjadi.
Bentuk sediaan obat yang diberikan secara topikal :
1) Cairan
Pada saat diaplikasikan di permukaan kulit, efek dominan cairan akan
berperan melunakkan karena difusi cairan tersebut ke masa asing yang
terdapat di atas permukaan kulit; sebagian kecil akan mengalami evaporasi.
2) Bedak
Oxydum zincicum sebagai komponen bedak bekerja menyerap air, sehingga
memberi efek mendinginkan. Komponen talcum mempunyai daya lekat dan
daya slip yang cukup besar. Bedak tidak dapat berpenetrasi ke lapisan kulit
karena komposisinya yang terdiri dari partikel padat, sehingga digunakan
sebagai penutup permukaan kulit, mencegah dan mengurangi pergeseran pada
daerah intertriginosa
3) Salep
Salep dengan bahan dasar hidrokarbon seperti vaselin, berada lama di atas
permukaan kulit dan kemudian berpenetrasi. Oleh karena itu salep berbahan
dasar hidrokarbon digunakan sebagai penutup.
4) Gel
Penetrasi gel mampu menembus lapisan hipodermis sehingga banyak
digunakan pada kondisi yang memerlukan penetrasi seperti sediaan gel
analgetik. Rute difusi jalur transfolikuler gel juga baik, disebabkan
kemampuan gel membentuk lapisan absorpsi.
5) Pasta
Sediaan berbentuk pasta berpenetrasi ke lapisan kulit. Bentuk sediaan ini
lebih dominan sebagai pelindung karena sifatnya yang tidak meleleh pada
suhu tubuh. Pasta berlemak saat diaplikasikan di atas lesi mampu menyerap
lesi yang basah seperti serum (Kemenkes RI, 2017).

D. Pemberian Obat Secara Inhalasi


Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara hirupan/inhalasi
dalam bentuk aerosol ke dalam saluran napas. Terapi inhalasi masih menjadi
pilihan utama pemberian obat yang bekerja langsung pada saluran napas
terutama pada kasus asma dan PPOK. Pemberian obat-obatan dengan cara
inhalasi harus memperhatikan beberapa hal seperti efektifitas obat dan teknik
inhalasi (Djaharuddin, 2017).
Keuntungan pemberian obat secara inhalasi :
1) Penghantaran obat secara langsung ke saluran napas sehingga dosis total lebih
rendah
2) Absorpsi dan distribusi sistemik lebih rendah
3) Efek samping minimal
Keuntungan dari terapi inhalasi ini akan meningkatkan efek terapeutik dari obat.
Untuk mencapai hasil terapi yg optimal obat inhalasi harus dapat mencapai
tempat kerjanya dalam saluran napas. Obat inhalasi dapat diberikan dalam
bentuk aerosol yaitu suspensi partikel dalam gas (Djaharuddin, 2017).

1.2 Contoh Obat dan Cara Pemberiannya Pada Sistem Saluran Cerna
1.2.1 Pendahuluan
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan
juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati
dan kandung empedu. Sistem pencernaan berfungsi antara lain menerima makanan,
memecah makanan menjadi zat-zat gizi (suatu proses yang disebut pencernaan),
menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah dan membuang bagian makanan yang tidak
dapat dicerna dari tubuh.

Adapun gangguan pada sistem pencernaan seperti gastritis, hepatitis, diare,
konstipasi, apendiksitis dan maag. Masalah pencernaan dari kategori ringan hingga berat
harus segera diatasi jika tidak akan dapat memperburuk keadaan. Salah satu cara untuk
mengatasi sistem pencernaan adalah dengan mengkonsumsi obat, yang termasuk dalam
kategori obat sistem pencernaan diantaranya Antasida, H2 reseptor antagonis,
Antiemetik , Antikolinergik, Hepatoprotektor, Antibiotik , Proton pompa inhibitor,
Prokinetik, Antidiare , Laksatif.
Seperti yang diketahui dalam pelayanan kesehatan, obat merupakan komponen yang
penting karena diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan baik untuk
menghilangkan gejala/symptom dari suatu penyakit, obat juga dapat mencegah penyakit
bahkan obat juga dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi di lain pihak obat dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat. Oleh sebab
itu, penyediaan informasi obat yang benar, objektif dan lengkap akan sangat mendukung
dalam pemberian pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat sehingga dapat
meningkatkan kemanfaatan dan keamanan penggunaan obat.

1.2.2 Pembagian Obat Sistem Pencernaan


Obat Sistem Pencernaan adalah obat yang bekerja pada sistem gastrointestinal . Ada
beberapa klasifikasi dari obat sistem pencernaan diantaranya Antitukak, Antipasmodik,
Antasida, Antiemetik , Antikolinergik, Hepatoprotektor , Prokinetik, Antidiare , Laksatif.
1. Antasida
Antasida adalah basa-basa lemah yang digunakan untuk menetralisir kelebihan asam
lambung yang menyebabkan timbulnya penyakit tukak lambung atau sakit maag,
dengan gejala nyeri hebat yang berkala. Antasida tergolong obat bebas, mengandung
magnesium (Mg+), Aluminium (AL+++), atau Kalsium (Ca++), dan Simitikon.
Antasida berasal dari bahasa lemah, yang jika bereaksi dengan asam lambung di GI
membentuk air dan garam, karena merupakan basa lemah maka jika berikatan dengan
asam yang ada dilambung menyebabkan keasaman berkurang.
Pengobatan dengan obat-obatan antasida bertujuan untuk mengurangi rasa sakit,
membuat penderita lebih tenang dan dapat beristirahat, juga agar penderita tidak
mengalami kembung. Antasida sering dikombinasikan dengan:
a. Anti kolinergik, yaitu zat yang menekan produksi getah lambung dan
melawan kejang- kejang (contohnya ekstrak belladonae)
b. Obat penenang / sedativ, yaitu untuk menekan stress karena dapat memicu
sekresi asam lambung (contohnya klordiazepoksida)
c. Spasmolitik, yaitu untuk melemaskan ketegangan otot lambung – usus dan
mengurangi kejang-kejang (contohnya papaverin)
d. Dimetikon (dimetilpolisiloksan) berfungsi memperkecil gelembung gas
yang timbul sehingga mudah diserap dengan demikian dapat dicegah masuk
angin, kembung, dan sering buang angin (flatulensi)
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antasida dapat digolongkan menjadi
dua yaitu:
a. Anti hiperaciditas
Obat dengan kandungan aluminium dan atau magnesium yang bekerja secara
kimiawi dengan mengikat kelebihan HCl dalam lambung. Magnesium atau
aluminium tidak larut dalam air dan dapat bekerja lama di dalam lambung sehingga
tujuan pemberian antasida sebagian besar dapat tercapai. Sediaan yang mengandung
magnesium dapat menyebabkan diare (bersifat pencahar) sedangkan sediaan yang
mengandung aluminium dapat menyebabkan konstipasi (sembelit) maka biasanya
kedua senyawa ini dikombinasikan. Persenyawaan molekul antara Mg dan Al disebut
hidrotalsit. (aluminium hidroksida, magnesium karbonat, magnesium trisilikat,
kompleks aluminium magnesium hidrotalsit).
b. Perintang reseptor H2 (antagonis reseptor H2)
Semua antagonis reseptor H2 menyembuhkan tukak lambung dan duodenum dengan
cara mengurangi sekresi asam lambung sebagai akibat hambatan reseptor H2. Contoh
perintang reseptor H2 adalah ratinidin dan simetidin sekarang dikenal senyawa baru
famotidin dan nizatidin.

2. Regulator GIT, Antiinflamasi & Antiflatulen (Obat Kembung)


Pada kelompok obat ini adalah obat-obat yang berfungsi sebagai:
● Pengatur fungsi dan gerak dari gastrointestinal atau sering disebut regulator GIT
● Obat kembung atau antiflatulen digunakan untuk meteorisme
● Anti radang atau pembengkakan pada saluran cerna atau disebut antiinflamasi
Obat golongan ini lebih lanjut kita sebut saja sebagai obat kembung. Beberapa Obat
kembung yang beredar di Indonesia adalah:
a. Cisapride
Cisapride adalah obat yang meningkatkan pergerakan atau kontraksi dari
lambung dan usus. Obat ini digunakan untuk mengobati gejala seperti
kembung yang disebabkan kembalinya asam lambung ke esophagus
b. Dimethicone dan derivatnya
Dimethicone mempunyai nama lain dimethylpolysiloxane. Derivatnya adalah
simethicone yang merupakan campuran polydiethylpolysiloxane. Merupakan
obat antifoaming yang diperuntukan untuk mengurangi kembung,
ketidaknyamanan dan sakit yang disebabkan kelebihan gas pada saluran cerna
dan usus. Cara kerjanya dengan menurunkan tegangan permukaan dari gas
sehingga buih di dalam pencernaan membentuk gelembung yang besar yang
mudah dikeluarkan oleh tubuh
c. Clebopride
Diindikasikan untuk mual & muntah yang disebabkan berbagai hal baik obat
maupun penyakit
d. Metoclopramide
Metoclopramide merupakan benzamida tersubstitusi yang merangsang
motilitas saluran pencernaan makanan tanpa mempengaruhi sekresi lambung,
empedu atau pankreas. Metoclopramide mempunyai aktivitas
parasimpatomimetik dan mempunyai sifat antagonis reseptor dopamin dengan
efek langsung pada kemoreseptor "trigger zone". Metoclopramide
kemungkinan juga mempunyai sifat antagonis reseptor serotonin
e. Domperidone
Domperidone merupakan antagonis dopamine yang mempunyai kerja
antiemetik prokinetik, dengan efek seperti metoclopramide. Karena tidak
menembus aliran darah reaksi ekstrapiramidial jarang sekali terjadi.
Pemberian peroral domperidone menambah lamanya kontraksi antral dan
duodenum, meningkatkan pengosongan lambung dan tekanan pada esofagus
sprinkter
f. Hyoscine
Merupakan alkaloid yang bersifat antikolinergik dengan fungsi untuk
gangguan kontraksi saluran pencernaan, kandung empedu, saluran kemih dan
saluran alat kelamin wanita. Sediaannya biasanya dikombinasi dengan
metampiron atau paracetamol

g. Mesalazine
Mesalazine termasuk golongan obat aminosalisilat. Oabt ini digunakan untuk
mengurangi pembengkakan pada radang usus besar. Akibat radang usus besar
terjadinya pembengkakan dan pendarahan apda usu besar yang menyebabkan
gejala sakit pada abdominal dan diare bercampur darah, nanah dan lendir.
Mesalazine bekerja dengan mengurangi pembengkakan pada usus, sehingga
mengurangi gejala yang disebabkan penyakit

3. Digestiva
Digestiva adalah obat-obat yang digunakan untuk membantu proses pencernaan
lambung usus terutama pada keadaan defisiensi zat pembantu pencernaan.
Penggolongan digestive antara lain adalah :
a. Enzim pankreas
Enzim pankreas dalam sediaan dikenal sebagai pankreatin dan pankrelipase.
Kedua zat tersebut mengandung amilase, tripsin (protease) dan lipase.
Pankrelipase berasal dari pankreas hewan, aktivitas lipasenya relatif lebih tinggi
daripada pankreatin. Pankrelipase diindikasikan pada keadaan defesiensi sekret
pankreas misalnya pada pankreatitis dan mukovisidosis. Ennzim ini dirusak asam
lambung sehingga harus dibuat dalam bentuk tablet enteral. Enzim pankreas
sedikit sekali menyebabkan efek samping. Dosis tinggi dapat menyebabkan mual
dan diare dan juga hiperurisemia.

b. Pepsin
Pepsin adalah enzim proteolitik yang kurang penting dibanding dengan enzim
pankreas. Pada defisiensi pepsin, tidak ditemukan gejala yang serius. Defisiensi
pepsin total ditemukan pada pasien aklorhidria. Kegagalan lambung untuk
mensekresi pepsin dan asam dengan rangsangan yang adekuat disebut akilia
gastrika, sering terjadi pada pasien anemia pernisiosa dan karsinoma lambung
c. Empedu
Empedu mengandung asam empedu dan konjugatnya. Zat empedu yang penting
untuk manusia ialah garam natrium asam kolat dan asam kenodeoksikolat. Selain
penting untuk penyerapan lemak, empedu juga penting untuk absorpsi zat larut
lemak misalnya vitamin A, D, E dan K. Dalam jumlah besar, garam empedu dapat
menetralkan asam lambung yang masuk ke duodenum. Pada keadaan normal hati
mensekresi ± 24 g garam empedu atau 700 - 1000 ml cairan empedu/hari.
Kira-kira 85 % empedu diabsorpsi pada usus kecil bagian bawah (sirkulasi
enterohepatik), sehingga hanya 80 mg garam empedu yang harus disintesis
perharinya. Asam-asam empedu meningkatkan sekresi empedu dan disebut zat
koleretik, garam empedu kurang memperlihatkan aktivitas koleretik. Asam
dehidrokolat suatu kolat semisintetik terutama aktif untuk merangsang empedu
dengan BM (Berat molekul) rendah karena itu dinamakan zaat hidrokoleretik. Zat
ini hanya merangsang pengeluaran empedu dan bukan prosuksi empedu. Berbeda
dengan asam kolat, asam kenodeoksikolat menurunkan kadar kolesterol dalam
empedu. Obat ini berguna untuk mengatasi batu kolesterol kandung empedu pada
pasien tertentu. Asam kenodeoksikolat bekerja dengan menurunkan absorpsi
kolesterol dari usus dan menurunkan sintesis kolesterol. Bila kadar asam
kenodeoksikolat mencapai 70 % empedu total, maka larutan empedu yang tadinya
jenuh kolesterol menjadi tidak jenuh. Garam empedu menurunkan resistensi
mukosa saluran cerna terhadap asam lambung.Kenyataan ini diduga mempunyai
implikasi terhadap terjadinya gastritis, tkak peptik dan refluks esofagus.
4. Transkuilier (obat penenang)
Transkuiliser memiliki efek yang minimal dalam mencegah dan mengobati tukak.
obat ini mengurangi perangsangan vagal dan menurunkan kecemasan. Contoh Librax,
yaitu kombinasi ansiolitik klordiasepoksid (librium) dan antikolinergik clidinium
(Qarzan), dipakai dalam mengobati tukak.
Adapun Golongan Obat Penenang :
a. Dari golongan benzodiazepin
Golongan yang paling sering digunakan adalah golongan benzodiazepin. Obat ini
mempercepat relaksasi mental dan fisik dengan cara mengurangi aktivitas saraf di
dalam otak. Tetapi benzodiazepin bisa menyebabkan ketergantungan fisik dan
pemakaian pada alkoholik harus sangat hati-hati. Obat cemas dari golongan
benzodiazepin adalah alprazolam, klordiazepoksid (chlordiazepoxide), lorazepam,
oksazolam (oxazolam), klobazam (clobazame) dan diazepam.
b. Buspirone
Obat cemas dari golongan azaspirodekanedion adalah buspiron (buspirone). Obat
cemas ini merupakan anti ansietas yang efek sedatifnya relatif ringan dan tidak
bereaksi dengan alkohol. Diduga resiko timbulnya toleransi dan ketergantungan
juga kecil. Efeknya baru timbul setelah 10-15 hari, sehingga hanya digunakan
untuk mengobati penyakit kecemasan menyeluruh.
c. Hydroxyzine
Sedangkan obat cemas dari golongan piperazine adalah hydroxyzine. Hydroxyzine
diindikasikan untuk menghilngkan gejala ansietas dan ketegangan yang
berhubungan dengan psikoneurosis atau terapi tambahan untuk penyakit lainnya
yang menyebabkan kecemasan. Hydroxyzine dapat menyebabkan kantuk dan
menghilangkan kesadaran, sehingga dianjurkan untuk tidak mengendarai
kendaraan atau mengoperasikan mesin. Hydroxyzine dapat menyebabkan
kekeringan pada mulut, hidung da tenggorokan. Jika kekeringan berlanjut hingga
lebih dari dua minggu maka harus diperiksakan lebih lanjut.
5. Antispasmodik
Antipasmodik merupakan golongsn obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot
polos (lebih tepatnya anti muskarinik) dan antagonis reseptor-dopamin tertentu.
Meskipun antipasmodik dapat mengurangi spasme usus, tetapi penggunaanya dalam
dispepsia bukan tukak, sindrom usus irritable dan penyakit divertikular hanya
bermanfaat sebagai penobatan tambahan. Manfaat klinik anti sekresi lambung obat
anti muskarinik konvensional relatif kecil, karena dosisnya dibatasi oleh efek
samping senyawa mirip antropin. Selain itu, keberadaannya telah digantikan oleh
obat-obat anti sekresi yang lebih kuat dan spesifik, yakni antagonis reseptor-H2
histamin dan anti muskarinik selektif pirenzevin.
Antipasmodik obat yang digunakan untuk mengatasi kejang pada saluran cerna yang
mungkin disebabkan diare, gastritis, tukak peptik dan sebagainya. Beberapa contoh
adalah Hyoscine (Obat ini beraksi pada sistem saraf otonom dan mencegah kejang
otot), Clidinium (Kombinasi chlordiazepoxide dan clidinium bromide digunakan
untuk mengobati lambung yang luka dan teriritasi. Obat ini membantu mengobati
kram perut dan abdominal, Mebeverine, Papaverine, (golongan alkaloid opium yang
diindikasikan untuk kolik kandungan empedu dan ginjal dimana dibutuhkan
relaksasi pada otot polos, emboli perifer dan mesenterik, Timepidium, Pramiverine,
Tiemonium.
Penggolongan antispasmodik:
a. Hyoscine
Obat ini beraksi pada sistem saraf otonom dan mencegah kejang otot. Obat ini
biasa digunakan untuk pra pengobatan untuk mengosongkan secresi paru-paru.
Obat ini juga digunakan untuk pengobatan tukak lambung
b. Clidinium
Kombinasi chlordiazepoxide dan clidinium bromide digunakan untuk mengobati
lambung yang luka dan teriritasi. Obat ini membantu mengobati kram perut dan
abdominal. Chlordiazepoxide dapat menyebabkan kecanduan. Meskipun demikian,
sewaktu mengkonsumsi chlordiazepoxide dan clidinium bromide, jangan minum
dengan dosis besar atau minum lebih lama dari yang dokter resepkan. Toleransi
mungkin terjadi karena pemakaian jangka panjang atau berlebihan yang membuat
pengobatan kurag efektif. Obat ini harus dikonsumsi secara teratur agar
pengobatannya efektif. Jangan lewatkan dosis walaupun anda pikir anda tak
membutuhkannya. Jangan konsumsi kombinasi obat ini lebih dari 4 bulan atau
menghentikan pengobatan tanpa konsultasi ke dokter anda terlebih dahlu.
Penghentian obat yang mendadak akan memperparah kondisi penyakit anda dan
menimbulkan gejala withdrawal symptoms (anxiousness, sleeplessness, and
irritability)

c. Mebeverine
Obat ini digolongkan sebagai obat antispasmodic. Mebeverine digunakan untuk
mengobati kram dan kejang pada perut dan usus. Mebeverine khususnya digunakan
dalam pengobatan irritable bowel syndrome (IBS) dan konsisi sejenis. Di Indonesia
Mebeverine hanya tersedia dalam bentuk tablet
d. Papaverine
Papaverine digunakan untuk meningkatkan peredaran darah pada pasien dengan
masalah sirkulasi darah. Papaverine bekerja dengan merelaksasi saluran darah
sehingga darah dapat mengalir lebih mudah ke jantung dan seluruh tubuh.
Papaverine adalah golongan alkaloid opium yang diindikasikan untuk kolik
kandungan empedu dan ginjal dimana dibutuhkan relaksasi pada otot polos, emboli
perifer dan mesenterik. Sediaannya selain tunggal juga ada yang dikombinasi
dengan obat Metamizole
e. Timepidiu
Timepidium diindikasikan untuk sakit akibat spasme/kejang otot halus yang
disebabkan oleh gastritis (radang lambung), ulkus peptikum, pankreatitis, penyakit
kandung empedu dan saluran empedu, lithangiuria
f. Pramiverine
Pramiverine diindikasikan untuk spasme/kejang dan kolik yang terasa sangat sakit
pada saluran pencernaan, saluran empedu, dan saluran kemih, dismenore (nyeri
perut pada saat haid), nyeri setelah operasi
g. Tiemonium
Tiemonium Methylsulfate adalah obat antispasmodic antikolinergik sintetis.
Tiemonium mengurangi kejang otot pada usus, bilari, kandung kemih, dan uterus.
Tiemonium diindikasikan untuk nyeri pada penyakit gastrointestinal dan biliary
and seperty gastroenteritis, diare, disentri, biliary colic, enterocolitis, cholecystitis,
colonopathies
6. Hepatoprotektor
Obat-obat protektor hati adalah obat-obat yang digunakan sebagai vitamin tambahan
untuk melindungi, meringankan atau menghilangkan gangguan fungsi hati kerena
adanya bahan kimia, penyakit kuning atau gangguan dalam penyaringan lemak oleh
hati. Pada umumnya obat-obat golongan ini mengandung asam-asam amino,
kandungan dari tanaman kurkuma (kurkumin) dan zat-zat lipotropik seperti
methionin dan cholin. Methionin memiliki peranan penting dalam metabolisme hati
sehingga digunakan untuk melawan keracunan yang disebabkan oleh hepatotoksin.
Sedangkan choline adalah suatu zat yang dapat mencegah dan menghilangkan
perembesan lemak kedalam hati dan juga bekerja melawan keracunan. Obat-obat ini
sebaiknya jangan digunakan pada penderita penyakit hati yang berat karena pada
dosis besar dapat memperparah keadaan.
7. Antidiare
Diare adalah peningkatan volume, keenceran atau frekuensi buang air besar.
Perubahan frekuensi & konsistensi dari kondisi normal. Dalam keadaan normal, tinja
mengandung 60- 90% air, pada diare airnya bisa mencapai lebih dari 90%. Diare
merupakan suatu gejala, pengobatannya tergantung pada penyebabnya.
Proses pengobatan diare dilakukan dengan :
a. untuk membantu meringankan diare, diberikan obat seperti difenoksilat,
codein, paregorik (opium tinctur) atau loperamide.
b. untuk membantu mengeraskan tinja bisa diberikan kaolin, pektin dan
attapulgit aktif.
c. diarenya berat /dehidrasi, maka penderita perlu dirawat di rumah sakit dan
diberikan cairan pengganti dan garam melalui infus.
Diare terjadi karena adanya rangsangan terhadap saraf otonom di dinding usus
sehingga menimbulkan reflek mempercepat peristaltik usus, rangsangan ini dapat
ditimbulkan oleh:
a. infeksi oleh bakteri patogen misalnya bakteri colie
b. infeksi oleh kuman thypus (kadang-kadang) dan kolera
c. infeksi oleh virus misalnya influenza perut dan “travellers diarre
d. akibat dari penyakit cacing (cacing gelang, cacing pita)
e. keracunan makanan atau minuman
f. gangguan gizi
g. pengaruh enzym tertentu
h. pengaruh saraf (terkejut, takut dan sebagainya)
i. Diare juga dapat merupakan salah satu gejala penyakit seperti kanker pada
usus
Antidiare adalah obat-obatan yang digunakan untuk menanggulangi atau mengobati
penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau kuman, virus, cacing atau keracunan
makanan. Gejala diare adalah buang air besar berulang kali dengan banyak cairan
kadang-kadang disertai mulas (kejang-kejang perut) kadang-kadang disertai darah
atau lendir. Anti diare yang ideal harus bekerja cepat, tidak menyebabkan konstipasi,
mempunyai indeks terapeutik yang tinggi, tidak mempunyai efek buruk terhadap
sistem saraf pusat, tidak menyebabkan ketergantungan.
Penggolongan Obat – obat yang diberikan untuk mengobati diare ini dapat berupa :
1) Obstipasi
Untuk terapi simptomatis dengan tujuan untuk menghentikan diare, yaitu dengan
cara:
● Menekan peristaltik usus, misalnya loperamid
● Menciutkan selaput usus atau adstringen, contohnya tannin
● Pemberian adsorben untuk menyerap racun yang dihasilkan bakteri atau racun
penyebab diare yang lain misalnya, carbo-adsorben, kaolin
● Pemberian mucilagountuk melindungi selaput lendir usus yang luka.
2) Spasmolitik
Zat yang dapat melemaskan kejang-kejang otot perut (nyeri perut) pada diare
misalnya Atropin sulfat.
3) Kemoterapi
Untuk terapi kausal yaitu memusnahkan bakteri penyebab penyakit digunakan obat
golongan sulfonamida atau antibiotik
8. Laksatif
Sembelit (konstipasi) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
buang air besar atau jarang buang air besar. Jika konstipasi disebabkan oleh suatu
penyakit, maka penyakitnya harus diobati. Pencahar atau laxantia adalah obat-obat /
zat yang dapat mempercepat peristaltik usus sehingga mempermudah/ melancarkan
buang air besar. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara merangsang susunan saraf
otonom para-simpatis agar usus mengadakan gerakan peristaltik dan mendorong
isinya keluar. Pencegahan dan pengobatan terbaik untuk konstipasi adalah gabungan
dari olah raga, makanan kaya serat. Sayur-sayuran, buah-buahan dan gandum
merupakan sumber serat yang baik. Obat pencahar digunakan untuk :
a. Pada keadaan sembelit (konstipasi) karena pengaruh efek samping obat
kurang minum, kurang mengkomsumsi makanan berserat
b. Pada pasien dengan resiko pendarahan, pada angina pektoris atau resiko
c. Pendarahan rektal pada hemoroid (wasir)
d. Untuk membersihkan saluran cerna sebelum pembedahan dan prosedur
radiologi
e. Untuk pengeluaran parasit setelah pemberian antelmentik
f. Penggunaan pencahar pada anak-anak harus dihindari kecuali diresepkan
oleh dokter
Penggolongan:
Berdasarkan mekanisme kerja dan sifat kimianya, pencahar digolongkan sebagai
berikut:
a. Zat-zat perangsang dinding usus
● Merangsang dinding usus besar misalnya glikosida antrakinon (rhei, sennae,
aloe, bisakodil, dantron
● Merangsang dinding usus kecil misalnya oleum ricini /minyak jarak (sudah
tidak dipakai) dan kalomel
b. Zat-zat yang dapat memperbesar isi usus
● Obat yang bekerja dengan jalan menahan cairan dalam usus secara osmosis
(pencahar osmotik), contohnya magnesium sulfat (garam Inggris) , natrium
fosfat. Enema fosfat bermanfaat dalam membersihkan usus sebelum
prosedur radiologi, endoskopi dan bedah. Natrium sulfat harus dihindari
karena pada individu yang rentan dapat menyebabkan retensi air dan natrium
● Obat yang dapat mengembang dalam usus, misalnya agar-agar, carboksil
metil cellulose (CMC) dan tylose
● Serat juga dapat digunakan karena tidak dapat dicernakan, seperti
buah-buahan dan sayuran

c. Zat pelicin atau pelunak tinja


Zat ini dapat mempermudah defikasi karena memperlunak tinja dan memperlicin
jalannya defekasi. Contohnya paraffin cair, suppositoria dengan gliserin, klisma
dengan larutan sabun dll.
Golongan obat-obat pencahar yang biasa digunakan adalah :
a. Bulking Agents. Bulking agents (gandum, psyllium, kalsium
polycarbophil dan metil selulosa) bisa menambahkan serat pada tinja.
b. Pelunak Tinja. Dokusat akan meningkatkan jumlah air yang dapat diserap
oleh tinja.
c. Minyak Mineral. Minyak mineral akan melunakkan tinja dan
memudahkannya keluar dari tubuh.
d. Bahan Osmotik. Bahan-bahan osmotik mendorong sejumlah besar air ke
dalam usus besar, sehingga tinja menjadi lunak dan mudah
dilepaskan.Cairan yang berlebihan juga meregangkan dinding usus besar
dan merangsang kontraksi. Pencahar ini mengandung garam-garam (fosfat,
sulfat dan magnesium) atau gula (laktulosa dan sorbitol).
e. Pencahar Perangsang.
langsung merangsang dinding usus besar untuk berkontraksi dan
mengeluarkan isinya. Mengandung substansi yang dapat mengiritasi seperti
senna, kaskara, fenolftalein, bisakodil atau minyak kastor. bekerja setelah
6-8 jam dan menghasilkan tinja setengah padat, tapi sering menyebabkan
kram perut. Dalam bentuk supositoria (obat yang dimasukkan melalui
lubang dubur), akan bekerja setelah 15-60 menit.jangka panjang
menyebabkan kerusakan pada usus besar, juga seseorang bisa menjadi
tergantung pada obat ini sehingga usus menjadi malas berkontraksi (Lazy
Bowel Syndromes).
Indikasi : untuk mengosongkan usus besar sebelum proses diagnostik dan
untuk mencegah atau mengobati konstipasi yang disebabkan karena obat
yang memperlambat kontraksi usus besar (misalnya narkotik).Adapun salah
satu contoh dari obat laksatif yang biasa digunakan oleh masyarakat luas
adalah DULCOLAX.
9. Obat Hemoroid
Hemoroid (Wasir) adalah pembengkakan jaringan yang mengandung pembuluh balik
(vena) dan terletak di dinding rektum dan anus. Wasir yang tetap berada di anus
disebut hemoroid interna (wasir dalam) dan wasir yang keluar dari anus disebut
hemoroid eksternal (wasir luar). Wasir bisa terjadi karena mengeluarkan darah,
terutama setelah buang air besar, sehingga tinja mengandung darah atau terdapat
bercak darah di handuk ataupun tisu kamar mandi. Darahnya bisa membuat air di
kakus menjadi merah. Lama kelamaan wasir dapat menyebabkan penderitanya
mengalami kehilangan darah yang berat atau anemia sehingga memerlukan transfusi
darah.Wasir yang menonjol keluar mungkin harus dimasukkan kembali dengan tangan
perlahan-lahan atau bisa juga masuk dengan sendirinya. Wasir dapat membengkak
dan menjadi nyeri bila permukaannya terkena gesekan atau jika di dalamnya
terbentuknya pembekuan darah.Kadang-kadang, wasir bisa juga menyabakan
keluarnya lendir dan menimbulkan perasaan bahwa masih ada isi rektum yang belum
dikeluarkan. Perut terasa mau jebol karena banyak tinja yang tertahan akibat takut
mengalamai rasa sakit saat buang air besar. Gatal pada daerah anus (pruritus ani) bisa
menjadi gejala dari wasir. Rasa gatal ini terjadi karena keadaan wasir yang terkeluar
itu menghambat pembersihan anus secara efisien, dapat menyebabkan
partikel-partikel kecil dari feses menumpuk pada kulit perianal dan bekerja sebagai
iritan. Iritan ini dapat berpotensi menjadi kanker bila tidak segera ditangani. Ada juga
yang mengalami rasa sakit di bagian tulang belakang bagian bawah. Biasanya, gejala
itu di alami oleh penderita yang sudah pada ambeien stadium 2.
Pengobatan Hemoroid/Wasir biasanya, tidak membutuhkan pengobatan kecuali bila
menyebabkan gejala.
a. Obat pelunak tinja atau psilium bisa mengurangi sembelit dan peregangan
yang menyertainya.
b. Suntikan skleroterapi diberikan kepada penderita wasir yang mengalami
perdarahan. Dengan suntikan ini, vena digantikan oleh jaringan parut.
c. Wasir dalam yang besar dan tidak bereaksi terhadap suntikan skleroterapi,
diikat dengan pita karet. Cara ini, disebut ligasi pita karet, meyebabkan
wasir menjadi layu dan putus tanpa rasa sakit.
d. Pengobatan dilakukan dengan selang waktu 2 minggu atau lebih. Mungkin
3-6 kali pengobatan.
e. Wasir juga bisa dihancurkan dengan menggunakan laser (perusakan laser),
sinar infra merah (fotokoagulasi infra merah) atau dengan arus listrik
(elektrokoagulasi).
f. Pembedahan mungkin digunakan bila pengobatan lain gagal.
Kandungan obat hemoroid / wasir
Polidocanol, sediaan injeksi (ampul).Senyawa bismuth dan kombinasinya,
Kombinasi Hydrokortison, suppositoria. Ekstrak tumbuh-tumbuhan, Graptophyllum
pictum, Sophora japonica , dll. Senyawa flucortolone dan kombinasi senyawa
alumunium, senyawa zink, hydrokortison dan lidokain dalam bentuk krim.
Kandungan obat hemoroid / wasir di Indonesia bisa dijabarkan sebagai berikut:
a. Polidocanol
Polidocanol untuk wasir / hemoroid dalam bentuk sediaan injeksi (ampul)
b. Senyawa bismuth dan kombinasinya
Terdapat kombinasi dengan Hydrokortison, sediaan obat wasir ini biasa dalam
bentuk suppositoria
c. Ekstrak tumbuh-tumbuhan
Banyak zat berkhasiat dari ekstrak tumbuh-tumbuhan yang digunakan untuk
mengurangi gejala penyakit. Seperti : Graptophyllum pictum, Sophora
japonica , Rubia cordifolia , Coleus atropurpureus , Sanguisorba officinalis ,
Kaemferiae angustifoliae , Curcuma heyneanae
d. Senyawa flucortolone dan kombinasinya
Sediaan yang tersedia untuk obat wasir dengan kandungan zat aktif ini adalah
suppositoria dan krim untuk pemaakian lokal. Selain obat di atas juga ada
kombinasi lainnya senyawa alumunium, senyawa zink, hydrokortison dan
lidokain dalam bentuk krim. Pada obat ini Lidokain berfungsi untuk
menghilangkan rasa tidakenak/sakit karena bersifat bius lokal
10. Kolagoga
Kolagoga adalah zat atau obat yang digunakan sebagai peluruh atau penghancur batu
empedu. Batu empedu merupakan penyakit yang terjadi di saluran atau kandung empedu
Faktor pencetusnya meliputi hiperkolesterolemia, penyumbatan disaluran empedu dan
radang saluran empedu. Terdapat tiga jenis batu empedu yakni batu kolesterol, batu
pigmen dan batu kalsium karbonat (kebanyakan yang terjadi batu empedu campuran).
Terapi batu empedu dengan obat perannya relatif kecil bila dibandingkan dengan tehnik
pembedahan atau endoskopi.dan laparoskopi Terapi dengan obat cocok untuk pasien
yang gejalanya ringan :
a. Fungsi kandung empedu tidak terganggu
b. Ukuran batu empedu kecil sampai sedang
Pencegahan jangka panjang mungkin diperlukan setelah batu empedunya melarut atau
dibuang, karena dapat terjadi kembali pada sebagian pasien sesudah pengobatan
dihentikan. Obat yang sering digunakan untuk membantu melarutkan batu empedu
adalah asam kenodeoksikolat dan asam ursodeoksikolat. Pasien batu empedu dianjurkan
melakukan diet kolesterol dan pengobatan dilanjutkan sampai 3 atau 4 bulan sesedah
batunya melarut.

1.3 Contoh Obat dan Pemberiannya Pada Sistem Kardiovaskular


1.3.1 Macam-Macam Penggolongan Obat Kardiovaskular
Sistem kardiovaskular terdiri dari jantung dan pembuluh darah. Jantung dan
pembuluh darah tersebut merupakan organ tubuh yang berfungsi untuk mengatur
peredaran darah sehingga kebutuhan makanan dan sisa metabolisme jaringan dapat
terangkut dengan baik. Obat kardiovaskular merupakan kelompok obat yang
mempengaruhi dan memperbaiki sistem kardiovaskular (jantung dan pembuluh
darah) secara langsung maupun tidak langsung. Obat kardiovaskuler dapat
dikelompokan ke berbagai golongan berdasarkan fungsinya yang akan diuraikan
berikut ini.
A. Obat Antiangina
Angina atau yang disebut angina pectoris adalah adanya episode singkat
iskemia miokardium yang terjadi karena ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen pada otot jantung. Angina pektoris biasa terjadi karena
adanya peningkatan kebutuhan oksigen otot jantung, namun suplai oksigen otot
jantung menurun maupun sebaliknya. Obat yang biasa digunakan untuk
pengobatan angina pektoris antara lain: Nitrovasodilator, antagonis reseptor
beta, antiplatelet, calcium channel blocker, dan lain. Adapun mekanisme kerja
obat antiangina adalah sebagai berikut:
1) Menurunkan kebutuhan oksigen jantung dengan cara menurunkan kinerja
jantung menggunakan penyekat reseptor beta.
2) Melebarkan pembuluh darah koroner sehingga aliran darah lebih lancar
dan membawa lebih banyak oksigen (fungsi vasodilator)
3) Mengkombinasikan kedua cara pada butir 1 dan 2.
B. Obat Antiaritmia
Aritmia merupakan gangguan detak jantung atau irama jantung. Aritmia dapat
dapat berupa takikardia dan bradikardia. Takikardia merupakan adanya
percepatan irama detak jantung yang lebih dari normal, taki kardia dapat
ditandai dengan adanya pingsan sewaktu waktu. Bradikardia merupakan
kebalikan dari takikardia yaitu merupakan perlambatan detak jantung yang
dapat menjadi awal dari adanya gangguan gagal jantung kongestif (CHF).
Adanya aritmia cordis biasanya disebabkan karena penghantaran listrik pada
jantung yang mengontrol detak jantung mengalami gangguan. Sel saraf khusus
di jantung yang bertugas menghantarkan listrik tersebut tidak bekerja dengan
baik atau bagian lain dari jantung menghantarkan sinyal listrik yang abnormal.
Obat yang biasa digunakan untuk pengobatan aritmia kordis antaralain adalah:
beta bloker, calcium channel blocker, antikoagulan, dll. Mekanisme kerja dari
obat antiaritmia adalah memperbaiki aktivitas listrik di jantung agar normal
dengan mengontrol kecepaan jantung berkontraksi.
C. Obat Glikosida/Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan sebuah gangguan pada jantung berupa kegagalan
dalam memompa darah dalam jumlah yang memadai untuk mencukupi
kebutuhan metabolisme sehingga terjadi ketidakseimbangan jumlah antara
darah yang dibutuhkan dengan suplai darah yang ada. Gagal jantung juga
merupakan suatu keadaan akhir (end stage) dari setiap penyait jantung
termasuk aterosklerosis pada arteri koroner, infark miokardium, kelainan katup
jantung, maupun kelainan jantung kongenital/kelainan jantung bawaan lahir.
Obat yang biasa digunakan untuk mengatasi gagal jantung antara lain adalah:
obat yang mengandung zat diuretik, beta bloker, dan lain-lain.
Tujuan primer pengobatan gagal jantung adalah mencegah terjadinya gagal
jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal
jantung, terutama hipertensi dan/atau penyakit arteri koroner. Jika disfingsi
miocard sudah terjadi, tujuan pertama adalah mengobati atau menghilangkan
penyebab dasarnya, jika mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alcohol,
obat) jika penyebab dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk
mencegah memburuknya fungsi jantung dan mengurangi gejala-gejala gagal
jantung. Penggunaan zat- zat tersebut akan meningkatkan kontraksi
miokardium sehingga darah yang dipompa semakin banyak dan dapat
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
D. Obat Antihipertensi
Hipertensi atau yang biasa disingkat HT/HTN merupakan adanya peningkatan
tekanan darah di arteri secara abnormal. Dalam kasus ini jantung akan bekerja
lebih keras untuk mengedarkan darah dalam tubuh melalui pembuluh darah.
Terdapat dua pengukuran dalam mengukur tekanan darah, sistolik dan diastolik
disesuaikan dengan pergerakan otot jantung. Jika otot jantung berkontraksi
maka pengukuran yang digunakan adalah sistole dan jika oto jantung sedang
berelaksasi maka yang akan dipengaruhi adalah pengukuran diastole. Tekanan
darah normal pada saat istirahat untuk range sistolik adalah (100-140 mmHg)
dan untuk diastolik (60-90 mmHg).
Pada pengukuran tensi/tekanan darah, angka bacaan atas mewakili ukuran sistol
dan angka bacan bawah mewakili ukuran diastol. Tekanan darah disebut tinggi
jika pengukuran tensinya terus menerus menunjukkan angka 140/90 mmHg
atau lebih. Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi hipertensi antara lain:
Calcium channel blocker dengan diuretik, beta bloker dengan diuretik,
antagonis saluran Ca dengan beta bloker, antagonis Ca dengan Diltiazem.
Adapun mekanisme kerja dari obat antihipertensi adalah sebagai berikut.
1) Diuretik. Mengeluarkan cairan tubuh melalui air seni/kencing sehingga
volume cairan tubuh berkurang. Berkurangnya volume cairan tubuh ini
mengakibatkab daya pompa dan kerja jantung menjadi lebih ringan.
2) Betabloker. Zat beta bloker pada obat antihipertensi juga berfungsi untuk
menurunkan daya pompa jantung.
3) Vasodilator. Dengan adanya fungsi vasodilator pada obat anti hipertensi,
pembuluh darah akan melebar dengan adanya relaksasi otot polos.
Sehingga aliran darah lebih lancar dan daya pompa jantung lebih ringan.
4) Antagonis Kalsium. Ion kalsium dalam jantung mempengaruhi kinerja
denyut dan daya pompa jantung. Dengan adanya antagonis kalsium atau
Calcium Channel Blocker, jumlah ion Ca2+ yang masuk ke jantung
menurun sehingga dapat mengurangi dan menghambat kontraksi jantung.
Dengan terhambatnya kontraksi jantung, daya pompa jantung juga akan
jadi lebih ringan.

Gambar 2. Penggolongan Obat Kardiovaskuler


1.3.2 INDIKASI, KONTRAINDIKASI, EFEK SAMPING, DOSIS DARI OBAT
KARDIOVASKULAR
Berikut ini akan diuraikan hal-hal yang menyangkut indikasi, kontraindikasi, efek
samping, dan dosis obat-obat kardiovaskuler.
A. Bretilium Tosilat
1) Indikasi
Bretilium adalah suatu antiaritmia tipe 3 dengan aksi sedikit karena
pelepasan katekholamin dan urutan penempatan katekholamin dan/atau
efek langsung yang tidak tergantung sistem syarat adrenergik. Aksi
langsung dapat dihubungkan dengan penghambatan saluran kalium.
Bretilium menyebabkan meningkatnya tekanan darah, denyut jangtung,
dan kontraktilitas miokardial (dari pelepasan katekholamin), diikuti oleh
hipotensi (dari pembelokan neuronal). Obat ini paling besar kegunaannya
pada resisten takhiaritmia ventrikular yang berat. Bretilium dapat efektif
untuk fibrilasi ventrikular tetapi biasanya tidak efektif melawan takhikardi
ventrikular.
2) Kontraindikasi
Diduga digitalis menyebabkan takhikardi ventikular (dapat menaikan
kecepatan takhikardi ventrikular atau kemungkinan dari febrilasi
ventrikular).
3) Efek samping
Hipotensi (biasanya ortostatik) melalui blok adrenergik terjadi sampai
50%. Penurunan rata-rata tekana darah arteri biasanya tidak lebih dari 20
mmHg. Tapi penurunan ini dapat diperbesar yang mengharuskan obat
dihentikan. Mual dan muntah setelah penggunaan IV cepat.
4) Dosis

Pemakaian Pendosisan

Dosis Dewasa IV loading dose 5 mg/kg didorong dengan


dosis tambahan 10 mg/kg
bila tak ada respon

Dosis pemeliharaan IM atau 5 – 10 mg/kg setiap 6 jam


IV (diatas 8 menit atau atau sebagai infus 1- 2
lebih) mg/menit

Dosis pediatri IV loading dose untuk 5 mg/kg, diikuti 10 mg/kg


febrilasi ventrikular pada interval 15 – 30 menit,
sampai suatu dosis total
maksimal 30 mg/kg

IV dosis pemeliharaan 5 mg/kg 6 -8 jam

Dosis geriatri Sama seperti dosis dewasa

Kondisi lain Pada gangguan renal Dosis lebih rendah boleh


dianjurkan. Suatu nomogram
untuk dosis pada insufisiensi
renal telah didiskripsikan.
Tabel 1. Dosis Obat Bretilium Tosilat
B. Digoxin
1) Indikasi
Digoxin adalah glikosida digitalis dapat menimbulkan efek inotropik
positif melalui perbaikan kemampuan kalsium terhadap kontraktilitas otot
jantung, yang menaikan cardiac output dalam CHF (Congestive Heart
Failure). Dalam CHF digoxin memperbaiki gejala-gejala CHF tetapi tidak
merubah kematian masa panjang. Aksi antiaritmia digoxin utamanya
disebabkan oleh suatu kenaikan masa refrakter nodus AV melalui naiknya
tonus vagus, withdrawal simpatetik, dan mekanisme secara langsung.
Digoxin juga menimbulkan vasokonstriksi yang sedang secara langsung
pada otot polos pembuluh darah vena. Digoxin digunakan untuk
pengobatan gagal jantung, aritmia supraventikular (terutama fibrilasi
atrium).
2) Kontraindikasi
Kardiomiopati obstruktif hipertropik: orang yang diduga intoksikasi
digitalis, blok jantung derajat kedua atau ketiga tanpa pemacu mekanik,
fibrilasi atrial dengan alat ekstra AV, fibrilasi ventrikular.
3) Efek Samping
Aritmia, terdaftar umumnya karena, denyut ventrikular sebelum waktunya,
blok jantung derajat kedua atau ketiga, AV junctional tachycardia,
thakhikardia atrial dengan blok, takhikardi ventrikular, dan blok nodus AV.
Gangguan yang nampak terkait dengan kadar obat dalam serum terjadi
sampai 25% pada pasien dengan intoksikasi digoxin. Gangguan tersebut
termasuk mengaburkan penglihatan, pewarnaan kuning atau hijau, cahaya
kerlap kerlip atau lingkaran cahaya (flickering lights or halas), kebutaan
warna merah-hijau. Gejala gastro intestinal sering terjadi dan termasuk
abdomen merasa tidak nyaman, anoreksia, nausea dan vomiting. Efek
samping CNS sering terjadi tetapi tidak spesifik, seperti kelemahan,
kelesuan, disorientasi, agitasi dan kegelisahan. Halusinasi dan psikhosis
telah dilaporkan. Reaksi ginekomasita, hipersensitifitas, dan
thrombositopenia jarang terjadi.
4) Dosis

Pemakaian Pendosisan

Dosis Dewasa IV loading dose


10 -15 mg/kg dalam dosis yang
terbagi lebih dari 12 – 24 jam pada
interval 6 – 8 jam.

​Diatur dosis dalam persen untuk


PO loading dosage absorpsi oral. Biasanya, 0,5 – 0,75 mg
diberikan kemudian 0,125 – 0,375 mg
setiap 6 – 8 jam sampai efek yang
diinginkan atau digitalizing total
tercapai

Dosis Pemeliharaan Biasanya dosis pemeliharaan berkisar


0,125 – 0,5 mg/hari. Suatu dosis
nomogram telah juga di deskripsiakan.

IM Tidak direkomendasikan

TDD (Total Semua dosis berdasarkan berat badan


Digitalizing Dosage) yang ideal Bayi lahir sebelum
PO waktunya : 20 mh/kg,

Bayi lahir cukup bulan : 30 mg/kg,


Dosis pediatri
1 – 24 bulan : 40-50 mg/kg,

2 – 10 tahun : 30-40 mg/kg,

10 tahun : 10-15 mg/kg,

Berikan awal 1/2 TDD kemudian 1/4


TDD dua kali setiap 8 – 18 jam.
Bayi lahir sebelum waktunya: 5
IV PO dosis mg/kg/hari
pemeliharaan
pemeliharaan Bayi lahir cukup bulan: 8-10
mg/kg/hari,

1 – 24 bulan: bulan 10-12 mg/kg/hari,

2 – 10 tahun: 8-10 mg/kg/hari, > 10


tahun 2,5-5 mg/kg/hari.

Pada anak-anak < 10 tahun diberikan


dalam dosis yang terbagi dua per hari.

IV Semua umur 75% dari dosis PO

Dosis geriatri Dosis pemeliharaan dapat lebih rendah


disebabkan karena usia mempengaruhi
penurunan fungsi renal.

Kondisi lain Dosis loading dan dosis pemeliharaan


meneurun pada gangguan renal.
Individu gemuk berdasarkan dosis
berat badan yang ideal.
Tabel 2. Dosis Obat Digoxin
C. Kaptopril
1) Indikasi
Kaptopril secara farmakologi adalah suatu inhibitor ACE (Angiotensi
Converting Enzyme). Onset cepat dan durasi pendek yang dipunyai
kaptopril adalah secara menguntungkan untuk menilai pesien yang toleran
terhadap inhibitor ACE tetapi tidak tepat selama penggunaan jangka
panjang. Kaptopril untuk hipertensi ringn sampai sedang dan hipertensi
berat yang resisten terhadap pengobatan lain, gagal jantung kongestif,
setelah infark miokard, nefropati diabetik.
2) Kontraindikasi
Hipersensitif terhadap inhibitor ACE, penyakit renovaskuler: stenosis
aoratic atau obstroksi keluarnya darah dari jantung angiodema, kehamilan.
3) Efek Samping
Mirip pada enalpril, meskipun ruam kulit perubahan pengecap dapat lebih
umum dan batuk kurang umum.
4) Dosis

Cara Pemakaian Pendosisan

Dosis Dewasa PO untuk hipertensi Permulaan 12,5-25 mg dua sampai tiga


kali sehari, yang meningkat setelah 1-2
minggu sampai 50 mg dua sampai tiga
kali sehari, sampai maksimum 450
mg/hari.

PO untuk CHF Permulaan 6,25-25 mg tiga kali sehari,


yang meningkat setelah beberapa hari
didasarkan atas toleransi pasien terhadap
dosis 50 mg tiga kali sehari. Bila
mungkin menunda kenaikan dosis
berikutnya, paling sedikit 2 minggu
untuk mengevaluasi respon.
Hampir semua pasien merespon terhadap
50-100 mg tiga kali sehari.

Untuk hipertensi atau CHF menggunakan


dosis awal 6,25-12,5 mg dua kali sampai
tiga kali sehari dan meningkat lambat
pada pasien dalam terapi diuretic, dengan
pembatasa natrium, atau dengan
gangguan renal.

PO untuk disfungsi 6,25 mg suatu kali selama tiga hari atau


ventrikular kiri setelah lebih setelah MI dan kemudian 12,5 mg
infark miokard tiga kali sehari, meingkatkan sampai 25
mg tiga kali sehari untuk beberapa hari
guna mencapai target 50 mg tiga kali
sehari sampai beberapa minggu selama
masih dapat ditoleransi pasien

PO untuk nefropati 25 mg tiga kali sehari


diabetik
Dosis pediatri PO untuk hipertensi PO neonatus awal 0,01 mg/kg dua kali
sampai tiga kali sehari
Pada anak awal sampai 0,3 mg/kg tiga
kali sehari.
Tabel 3. Dosis Obat Kaptopril
D. Diltiazem Hidroklorida
1) Indikasi
Diltiazem adalah suatu obat yang menghambat saluran kalsium,
menurunkan frekuensi denyut jantung, memperpanjang konduksi nodus AV
dan menurunkan tonus pembuluh darah arteri dan pembuluh darah koroner.
Diltiazem juga mempunyai sifat inotropik yang negatif. Diltiazem efektif
untuk angina pectoris, hipertensi esensial dan takhikardi supraventrikular.
Diltiazem juga dapat mengurangi kecepatan reinfark awal pada pasien
infark miokard (Miocardial Infarction) tanpa gelombang Q dan fungsi
ventrikel kiri yang normal.
2) Kontraindikasi
Blok AV derajat dua atau tiga atau sindrom penyakit sinus (kecuali bila
digunakan pacu jantung), hipotesi simptomatik atau CHF berat, MI akut,
atau kongesi pulmoner, fibrilasi atrium, wanita hamil.
3) Efek Samping
Frekuensi efek samping adalah terkait dosis sakit kepala, muka merah,
pusing dan seringkali terjadi edema. Bradikardi sinus dan blok AV
seringkali terjadi, kebanyakan terjadi pada penggunaan bersama dengan
bata bloker. Hepatitis jarang terjadi.
4) Dosis

Penggunaan Per Oral dan Intra Vena

Dosis dewasa Iv loading dose 0,25 mg/kg (kira-kira 20 mg) lebih


2 menit, dapat diulang dalam 15 menit dengan
0,35 mg/kg (kira-kira 25 mg) Infus IV 5-15
mg/jam, untuk respon ventrikular Untuk angina
30-60 mg setiap 6-8 jam secara initial, dosis
sampai degan 480 mg/hari mungkin diperlukan
untuk mengurangi simtomatik angina, cardizem
CD : 180-300 mg satu kali sehari. Untuk
hipertensi cardizem SR : 120-240 mg/hari secara
initial dibagi 2 dosis, cardizem SR atau dilacor
XR: satu kali sehari 180-300 mg dititrasi untuk
respon klinik, dosis pemeliharaan 180-480
mg/hari.

Dosis pediatri Per oral 1,5 -2 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 kali
sehari sampai 3,5 mg/kg/hari

Dosis geriatri Sama seperti dosis dewasa tetapi sediaan titrasi


secara lambat

Kondisi lain Pasien dengan penyakit hepar memerlukan dosis


yang lebih rendah, dititrasi sampai ada respon
klinik
Tabel 4. Dosis Obat Diltiazem Hidroklorida
E. Verapamil Hidroklorida
1) Indikasi
Verapamil adalah obat penghambat saluran kalsium yang memperpanjang
konduksi nodus AV. Digunakan untuk mengubah kembalinya takhikardi
supraventrikular dan irama ventrikular yang lambat pada febrilasi atau
flater atrial. Karena verapamil menurunkan kontraktilitas dan resistans
arteriola, digunakan pada angina disebabkan oleh obstruksi atau
vasospasme koroner. Verapamil juga efektif pada pengobatan hipertensi,
kardiomiopati obstruktif hipertropi, dan propilaksis migren.
2) Kontraindikasi
Syok atau hipotensi yang berat, AV blok derajat dua dan tiga, sick sinus
syndrome, blok SA, riwayat gagal jantung atau gangguan fungsi ventrikel
kiri yang bermaknai, sekalipun terkendali dengan terapi, fibrilasi atau fluter
atrium sebagai komplikasi dari WPW.
3) Efek Samping
Komplikasi sering terjadi (5-40%) terutama pada pasien tua. CHF dapat
terjadi pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri. Efek samping
hemodinamik yang serius (mis. Hipotensi berat) dan abnormalitas
konduksi (mis. Bradikardi simptomatik atau asistol) telah dilaporkan.
Bayi-bayi nampak dengan nyata saseptibel terhadap aritmia. Kalsium intra
vena (glukonat atau garam-garam klorida. 10-20 ml larutan 10%) dan/atau
isoproterenol dapat mengubah (sebagian) efek yang tidak dikehendaki
tersebut. Pemakaian kalsium intravena sebelum verapamil dapat mencegah
hipotensi tanpa meniadakan aksi antiaritmiknya.
4) Dosis

Cara Pemakaian Pendosisan

Dosis dewasa Per oral untuk angina Permulaan 80-120 mg tiga kali sehari, yang
meningkat setiap hari (untuk angina yang tidak
stabil) atau interval setiap minggu sampai
maksimum 480 mg/hari

Per oral untuk Biasanya 240 mh/hari yang menggunakan tablet


hipertensi SR. Dosis SR 120 mg/hari sampai 240 mg dua
kali sehari telah digunakan.

Per oral untuk 160-320 mg/hari


propilaksis migren

Intra vena untuk 5-10 mg (0,075-0,15 mg/kg) paling sedikit


aritmia sampai 2 menit (3 menit pada orang tua): dapat
supraventrikular diulangi dengan 10 mg (0,15mg/kg) dalam 30
menit bila aritmia tidak berakhir atau keinginan
titik akhir (endpoint) tidak tercapai.

Infus konstan Intra 5-10 mg/kg


Vena

Dosis pediatri intravena 4-8 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis Untuk
umur < satu tahun 0,1-0,2 mg/kg: untuk umur
1-15 tahun 0,1- 0,3 mg/kg, maksimum 5 mg
sampai 2-3 menit

Dosis geriatri Sama seperti dosis dewasa tetapi mengaturnya


sampai 3 menit

Kondisi lain Dosis perlu diturunkan pada pasien dengan


penyakit hepar.
Tabel 5. Dosis Obat Verapamil Hidroklorida
1.3.3 CONTOH MEREK DAGANG, GENERIK DARI OBAT KARDIOVASKULAR
Berikut ini akan diuraikan nama dagang dan generik obat-obat kardiovaskuler
A. Bretilium Tosilat
Bentuk sediaan: injeksi 50 mg/ml
Nama dagang: Bretylol
B. Digoxin
Bentuk sediaan:
1) Kapsul 0,05mg, 0,1 mg, 0,2 mg
2) Eliksir 50 mg/ml
3) Tablet 0,125 mg, 0,25 mg
4) Injeksi 0,1 mg/ml, 0,25 mg/ml.
Nama Dagang:
1) Digoxin Sandoz tablet: Digoxin 0,2 mg/tablet
2) Fargoxin tablet: Digoxin 0,25 mg/tablet
3) Lanoxin tablet: Dogoxin 0,25 mg/tablet
C. Kaptopril
Bentuk sediaan:
Tablet 12,5 mg, 25 mg, 50 mg dan 100 mg, dan 25 atau 50 mg dalam kombinasi
dengan hidrokhlorothiazide 15 mg atau 25 mg.
Nama Dagang:
1) Acepress tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg/tablet
2) Caporetic tablet: Kaptropril 50 mg dan hidroklrotiazida 25 mg/tablet
3) Capoten tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg, 50 mg/tablet
4) Capozide tablet: Kaptropril 50 mg dan hidroklorotiazida 25 mg/tablet
5) Captensin tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg/tablet
6) Casipril tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg/tablet
7) Dexacap tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg, 50 mg/tablet
8) Farmoten tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg/tablet
9) Otorily tablet: Kaptropril 25 mg, 50 mg/tablet
10) Praten tablet: Kaptropril 25 mg/tablet
11) Scantensin tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg, 50 mg/tablet
12) Tensicap tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg/tablet
13) Tensobon tablet: Kaptropril 25 mg/tablet
14) Vapril tablet: Kaptropril 12,5 mg, 25 mg/tablet
D. Diltiazem Hidroklorida
Bentuk sediaan:
1) Tablet: 30 mg, 60 mg, 90 mg, 120 mg
2) Tablet: 120 mg, 180 mg, 240 mg.
3) Kapsul SR (12 jam): 60 mg, 90 mg, 120 mg (24 jam): 120 mg, 180 mg, 240 mg,
300 mg, 360 mg.
4) Injeksi: 5 mg/ml
Nama dagang:
1) Carditen tablet: Dilitiazem 30 mg, 60 mg
2) Cardyne tablet: Dilitiazem HCl 30 mg
3) Dilmen tablet: Dilitiazem HCl 60 mg
4) Dilso tablet: Dilitiazem HCl 30 mg, 60 mg
5) Diltikor tablet: Dilitiazem HCl 30 mg
6) Fermabes tablet: Dilitiazem 30 mg
7) Herbesser tablet: Dilitiazem HCl 30 mg
8) Herbesser SR: Dilitiazem HCl 90 mg
9) Herbesser SR: Dilitiazem HCl 180 mg
10) Herbesser injeksi: Dilitiazem HCl 10 mg, 50 mg/ampul
E. Verapamil Hidroklorida
Bentuk sediaan:
1) Tablet: 40 mg, 80 mg, 120mg
2) Tablet SR: 120 mg, 180 mg, 240 mg
3) Kapsul SR: 100 mg, 120 mg, 180 mg, 200 mg, 240 mg, 300 mg
4) Injeksi: 2,5 mg/ml
Nama Dagang:
1) Corpamil tablet: Verapamil HCl 80 mg
2) Isoptin tablet: Verapamil HCl 80 mg
3) Isoptin kaplet SR: Verapamil HCl 240 mg
Referensi

Djaharuddin, dkk. 2017.Ketrampilan Klinis Terapi Inhalasi Nebulasi.Makasar : FK


Universitas Hasanudin
Kemenkes RI. 2017.Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
(RMIK)Farmakologi.Jakarta : PPSDM Kemenkes RI
Effendi, Nasrul. (1998). Dasar-dasar Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC Santoso B.
Farmakokinetika klinik. Cermin Dunia Kedokteran No 37. 1985
Katzung BG. Basic principle. 10th ed. Basic and Clinical Pharmacology. McGraw Hill.San
Fransisco.2006
MAKALAH KOMPREHENSIF

FARMAKOPE DAN NAMA OBAT

oleh

Kelompok 2
Cynthia Yolanda (2006538743)
Eko Aprizon Nanda (1906428732)
Rahmi Darawani Talaohu (2006472936)
Vera Wahyuni Ulandari (2006539292)

Program Studi Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
2022
FARMAKOPE DAN NAMA OBAT

1.1 PENGERTIAN FARMAKOPE


Farmakope merupakan kata yang berasal dari bahasa latin pharmacopoeia yang diambil
dari kata pharmacon ( obat ) dan poieien ( buat). Farmakope modern berisikan penjelasan
tentang standar kemurnian, kekuatan, kualitas, dan analisa obat. Farmakope lama selain
memuat informasi tersebut juga memuat tentang informasi obat yaitu kegunaan obat dalam
terapi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi farmakope adalah buku
standar obat yang dikeluarkan oleh badan resmi pemerintah yang menguraikan bahan obat-
obatan, bahan kimia dalam obat dan sifatnya, khasiat obat dan dosis yang dilazimkan.
Farmakope adalah buku resmi yang diterbitkan oleh pemerintah kecuali United States
of Pharmacopeia (USP) yang diterbitkan sejak tahun 1820 merupakan buku yang diterbitkan
oleh swasta namun diakui oleh pemerintah. Beberapa negara menerbitkan farmakopenya
sendiri, namun ada juga farmakope yang dipakai oleh wilayah regional seperti farmakope
eropa (European Pharmacopoeia) yang dijadikan acuan oleh negara- negara eropa. Bagi
negara yang tidak memiliki farmakope sendiri biasanya mengacu pada farmakope negara lain.
WHO juga menerbitkan farmakope internasional sebagai anjuran untuk panitia nasional untuk
memodifikasi farmakopenya.
Farmakope Indonesia berisi ketentuan umum, monografi sediaan umum, monografi
bahan obat dan obat. Disamping itu, terdapat lampiran yang merupakan informasi dan
penjelasan dari metode analisis dan prosedur pengujian yang terdapat dalam monografi,
mencakup pengujian dan penetapan secara umum, mikrobiologi, biologi, kimia, dan fisika
(Kemenkes RI, 2020).
Sehubungan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
farmasi, khususnya terkait dengan standarisasi, metode, dan prosedur analisis obat dan bahan
obat, dan sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi untuk mendapat obat yang
berkualitas, maka keberadaan Farmakope Indonesia sangat diperlukan sebagai standar dan
persyaratan bahan obat dan obat yang beredar di Indonesia.

1.2 SEJARAH FARMAKOPE


Langkah perkembangan Farmakope seiring sejalan dengan sejarah perkembangan
kefarmasian. Beberapa peninggalan dokumen tentang farmasi zaman purba ( farmasi kuno )
yang didapatkan melalui dokumen penelitian oleh ahli purbakala maupun penemuan
dokumen secara kebetulan menunjukan secara praktis semua sejarah kebudayaan telah
mengembangkan dengan baik prosedur-prosedur pengobatan penyakit dan produksi bentuk
sediaan. Berikut ini akan ditunjukkan catatan-catatan purba yang sangat berarti / bermakna
yang berisi materi farmasi yang luas.
1.2.1 Periode Purba ( Zaman Purba )
Pada abad ke 22 S.M. di Nippur suatu daerah di Mesopotamia ditulis “The Sumerian
Pharmacological Tablet“ yang merupakan salah satu naskah purba, Naskah ini berupa tablet
tanah liat kecil berukuran 3,75 – 6,5 inci (± 9,375 – 16,25 cm) sekarang naskah ini berada di
museum Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat. Naskah ini memuat dan memaparkan 15
preskripsi / resep dan instruksi bagi ahli farmasi untuk pengolahan yang baik resep tersebut
kedalam bentuk sediaan. Samuel Noah Kramer menyatakan bahwa “The Sumerian
Pharmacological Tablet “ adalah farmakope yang pertama di dunia.
Pada tahun 2500 S.M. di mesir telah berkembang ilmu kedokteran dan farmasi, catatan
mengenai kedokteran dan farmasi purba ini dituliskan pada papyrus sejenis rumput yang dapat
dijadikan kertas, Papyrus yang sangat terkenal adalah :
● “Edwin Smith Surgical Papyrus“ berisi instruksi operasi bedah untuk dokter,
resep dan cara pencampurannya untuk keperluan pengobatan dan bentuk
sediaan, papyrus ini ditulis tahun 1650 S.M.
● “ Eber Papyrus “ memuat 875 resep pengobatan ditulis pada tahun 1550 S.M.
Di Assyria dan Babylonia terdapat dokumen-dokumen farmasi purba, salah satu
Diantaranya adalah “The Assyrian Medicomen Pharmaceutical Tablets “ yang ditulis pada
tahun 1000 S.M.

1.2.2 Periode Yunani – Romawi ( Greco – Roman Period )


Hippocrates (460-357 S.M) dikenal sebagai bapak kedokteran dan Aesculapius (420
S.M) yang didewa-dewakan sehingga tongkatnya diabadikan sebagai lambang kedokteran
adalah tokoh Yunani yang dikenal sampai saat ini.
Pada tahun (131-201 S.M) Claudius Galen adalah tokoh bangsa Romawi pengobar seni
farmasi yang dijuluki sebagai bapak farmasi dan namanya diabadikan untuk Galenika yaitu
suatu cara pengolahan obat yang berasal dari alam, Dalam periode ini tercatat banyak sekali
formula dan bentuk sediaan , misalnya Pill, Unguentum, Trochisi, Pastilla, Collyria, dll.
“Confectio Mithridates“ adalah salah satu formula terkenal dan didalam resepnya telah
menyebut 20 lembar daun, sejumput garam, dua biji dsb.
1.2.3 Periode Arab / Islam
Pada abad pertengahan (± abad ke 8) orang timur tengah di bawah kebudayaan Islam
lebih berkembang secara berarti / bermakna dalam ilmu kefarmasian. Pada masa itu sudah ada
pemisahan cabang-cabang bidang kefarmasian dan bidang kedokteran serta dikenalkannya
penggunaan bahan-bahan anorganik dalam pengobatan, padahal pengobatan Yunani dan
Romawi pada saat itu kebanyakan memberi obat berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Rhazes (865-925 M), dokter pertama menggunakan preparat air raksa dalam salep
untuk pengobatan kulit yang kemudian diadopsi oleh Paracelsus untuk pengobatan syphilis.
Ali Abbas (994 M.) pengarang “Royal Book“ karangan kedokteran yang pada tahun
1070-1080 M. diterjemahkan kedalam bahasa latin.
Ibnu Sinna (Avicenna, 980-1037 M) disebut sebagai raja dari segala dokter, adalah
orang yang pertama memperkenalkan sifat-sifat asam sulfat dan alkohol.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengobatan pada periode Arab / Islam ini sangat
mempengaruhi perkembangan kefarmasian dan farmakope di Eropah dan dunia lainnya. Secara
ringkas Stubb dan Bleigh menyatakan “Dengan orang-orang Arab mulai keahlian yang nyata
dari Apoteker-Apoteker“.

1.2.4 Periode pertengahan di Eropa


Pada zaman ini baik farmasi maupun kedokteran tidak memperlihatkan kemajuan yang
berarti, beberapa catatan pada abad ini adalah :
● 1178 M. Dalam catatan di Perancis menyebutkan ahli-ahli farmasi.
● 1180 M. Serikat penjual lada yang mengkhususkan diri dalam obat secara
terorganisir berdiri di London.
● 1225 M. Toko obat ( Apothecary shop ) didirikan di Cologne.
● 1297 M. Serikat ahli farmasi di organisir di Bruges.
● 1345 M. Toko obat ( Apothecary shop ) didirikan di London. “Nuovo
Reseptario Compositum” adalah farmakope pertama yang diadopsi
oleh kelompok organisasi ahli farmasi dan dokter-dokter kota Florence di Italia.
● 1546 M. Kota Nuremberg mengadopsi Dispensatorium Pharmaco Polarium
dari Dispensatorium Valerius Cordus sebagai buku resmi tentang obat , dan ini
merupakan farmakope pertama yang dikukuhkan dan didukung oleh pemerintah
dan dikenal dengan nama Nuremberg Pharmacopoeia.
● 1546 M. Pharmacopoeia Augustana merupakan farmakope yang pernah
dipublikasikan di Jerman memuat kira-kira 1100 bahan obat.
1.2.5 Periode Farmasi modern
Periode ini dimulai secara besar-besaran selama abad ke 17 dan 18, selama periode ini
banyak sekali obat-obat baru yang diperkenalkan diantaranya: Amonium Klorida, Karbonat,
Magnesium, Kalium Asetat, Phospat, Asam Borat dan Laktosa serta dari tumbuh-tumbuhan
antara lain Peru Balsam, Tolu Balsam, Cinchona, Coca, Ipecac, Teh, Kopi, Coklat dan
Tembakau, preparat-preparat baru seperti Tinctura Benzo, Infus Digitalis, dll.
Pada tahun 1617 di London berdiri organisasi masyarakat Apoteker dan setahun
berikutnya (1618) diterbitkan London Pharmacopoeia pertama (Londonensis Pharmacopoeia)
yang diikuti munculnya beberapa farmakope lain di beberapa daerah di Inggris, antara lain
yang terkenal adalah Edinburgh Pharmacopoeia pertama (1699) dan Dublin Pharmacopoeia
pertama (1807), sedangkan farmakope Inggris yang pertama (The first British Pharmacopoeia)
baru muncul pada tahun 1864 M. Farmakope Inggris yang terbaru adalah “British
Pharmacopoeia 1973“ diterbitkan tahun 1973.
Pada periode farmasi modern ini kota-kota di Perancis juga pernah mempunyai
farmakope antara lain: Paris, Lille, Bordeaux dan Lyons. Selain itu juga terdapat farmakope-
farmakope tambahan yang penting dan sangat luas digunakan di negara ini diantaranya adalah
“Pharmacopoeia Royal“ ditulis oleh Moses Charas pada tahun 1717, “Pharmacopoeia
Universelle“ ditulis oleh Le’ mery, “Elments de pharmacie“ ditulis oleh Baume. Baru pada
tahun 1818 farmakope Perancis pertama terbit dengan judul “Codex Medicamentorum Seu
Pharmacopoeia Gallica“ farmakope Perancis yang terakhir adalah “Pharmacopee Francaise, IX
Edition“ terbit tahun 1972 terdiri dari dua jilid.
Di Jerman selain Pharmacopoeia Augustana yang disebutkan diatas, pada tahun 1741
M. terbit “Pharmacopoeia Wirtenbergica“ yang memuat 1952 medicamen yang berbeda dan
merupakan farmakope yang terbaik saat itu, setelah mengalami beberapa edisi, revisi, dan
perubahan kira-kira tahun 1872 seiring dengan perkembangan politik penyatuan Jerman oleh
kerajaan dikeluarkan farmakope Jerman pertama dengan judul “Pharmacopoeia Germanica“,
farmakope ini mengalami revisi dari waktu ke waktu, revisi terakhir terbit pada tahun 1926,
Suplemen untuk untuk revisi ke enam disebarkan tahun 1938, 1947 dan 1951.
Laporan-laporan tentang farmakope-farmakope di Jerman dan negara lain dapat
dijumpai dalam “Plantes Officinales“ yang ditulis oleh Brunz dan Jaloux (1918) dan “Die
Arzneibucher “ oleh penulis Falc tahun 1920.
Perkembangan farmakope periode farmasi modern di Amerika Serikat, pada tahun
1778 di litits di daerah Pennsylvania diterbitkan satu farmakope yang merupakan farmakope
pertama di Amerika Serikat, terkenal dengan nama “Litits Pharmacopeia“ farmakope ini
digunakan di rumah sakit militer dari angkatan bersenjata Amerika Serikat yang terdiri dari 32
halaman dalam buku kecil yang memuat informasi 84 obat dalam dan 16 obat luar serta cara
pengolahannya.
Pada tanggal 6 januari 1817 Dr Lyman Spalding dari New York mengusulkan suatu
rencana pada masyarakat kedokteran daerah New York untuk menciptakan suatu farmakope
nasional Amerika Serikat. Dr.Spalding kemudian dikenal sebagai “Bapak farmakope Amerika
Serikat “, dari usul Dr Spalding ini pada tgl 15 Desember 1820 farmakope Amerika Serikat
pertama ( The first United States Pharmacopoeia ) dapat diterbitkan dalam bahasa Inggris dan
Latin. Farmakope Amerika Serikat yang terakhir adalah “The United States Pharmacopeia 20
th revision, 1985.

1.2.6 Perkembangan Farmakope Internasional dan Regional


Pada tahun 1902 di Brussel diadakan konferensi farmakope Internasional pertama tetapi
belum dapat menerbitkan farmakope Internasional, baru pada tahun 1951 di Geneve oleh
organisasi kesehatan sedunia (WHO) diterbitkan “Pharmacopoeia Internationalis Editio
Primo“ dalam dua jilid dan tahun 1959 dikeluarkan suplemennya, tahun 1967 direvisi dan terbit
dengan judul “Specifications For The Quality Control of Pharmaceutical Preparation,
Pharmacopoeia Internationalis 2nd Edition“ dan suplemennya tahun 1971.
Farmakope yang merupakan farmakope Regional hanya farmakope Eropa (European
Pharmacopoeia) dalam edisi bahasa Inggris dan Jerman , terbit pada tahun 1969 terdiri dari tiga
jilid ditambah dua suplemen.

1.2.7 Perkembangan Farmakope Indonesia


Indonesia sejak abad pertengahan sampai datangnya Jepang 1942 dijajah oleh Belanda,
sehingga peraturan kefarmasian diatur sesuai dengan peraturan kefarmasian yang ada di negeri
Belanda. Peraturan yang dipakai adalah peraturan tahun 1882 dengan nama “Reglement op de
Dients van de Volkgezonheid“ (Reglement DVG ) yang mengalami beberapa kali perubahan ,
terakhir pada tahun 1949 No 228. Pada pasal 59 peraturan ini tercantum persyaratan untuk
setiap apotek harus menyediakan satu buku Nederlandse Pharmacopee, dengan demikian
selama penjajahan Belanda di Indonesia berlaku farmakope Belanda, farmakope Belanda yang
terakhir berlaku di Indonesia adalah Nederlandse Pharmacopee Vijfde Vitgave (farmakope
Belanda Edisi Ke V ), farmakope ini tetap berlaku walaupun Indonesia sudah merdeka tahun
1945.
Diawali dengan keputusan kongres Ikatan Apoteker Indonesia ( sekarang ISFI ) pada
tahun 1958 mengusulkan pada pemerintah Republik Indonesia untuk membentuk panitia
penyusunan farmakope Indonesia, pada tgl 1 Januari 1959 panitia farmakope Indonesia
terbentuk dengan SK. Men. Kes. RI. tanggal 4 Juni 1959 No. 115772 / UP. Terdiri atas 27
orang sarjana berbagai disiplin ilmu, farmakope Indonesia penerbitan pertama jilid I muncul
tahun 1962 dan dinyatakan berlaku tgl 20 Januari 1962 sesuai SK. Men. Kes. RI. tanggal 6
Januari 1962 No. 652 / Kab / 4. Farmakope ini merupakan farmakope nasional pertama yang
lahir sebagai pelaksanaan Undang-Undang Pokok Kesehatan No. 9 tahun 1960.
Pada tahun 1965 diterbitkan Farmakope Indonesia jilid II edisi I yang merupakan
pelengkap bagi jilid I dan memuat sediaan-sediaan galenika dan sediaan farmasi lainnya yang
belum dimasukkan dalam jilid pertama. Farmakope Indonesia jilid II, edisi pertama ini oleh
Menteri Kesehatan diberlakukan pada tanggal 20 Mei 1965, tepat pada Hari Kebangkitan
Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.16001/Kab/54 tanggal 10
April 1965. Dalam Farmakope Indonesia jilid kedua ini, telah diadakan perubahan Panitia
dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.25943/Kab/139 tanggal 3 Mei 1962 terdiri
dari 18 orang sarjana.
Farmakope Indonesia edisi II terbit tahun 1972 dan mulai berlaku tanggal 12 November
1972 yang melambangkan hari kesehatan Indonesia.
Tahun 1976 Farmakope Indonesia mengalami revisi Ke II, dengan panitia Farmakope
yang diangkat berdasarkan SK. Men. Kes. RI. No. 1858 / II / SK / 78. tanggal 21 September
1978, hasil dari revisi Ke II Farmakope Indonesia dihasilkan Farmakope Indonesia Edisi III
yang berlaku sejak tgl 9 Oktober 1979.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi secara pesat maka perlu
dilakukan revisi untuk Farmakope Edisi III, sehingga pada tahun 1990 dibentuk suatu Tim
revisi Farmakope Edisi III yang pelaksanaannya ditetapkan dengan surat keputusan Men. Kes.
RI. No. 468 / Men. Kes / SK / VIII / 1991. tanggal 19 Agustus 1991 dan selanjutnya pada tahun
1992 disusun Farmakope Edisi IV oleh Panitia Farmakope Indonesia yang dibentuk
berdasarkan SK. Men. Kes. RI. No 695 / Men. Kes / SK / VIII / 1992 untuk melanjutkan
penyusunan Farmakope Indonesia edisi IV. Untuk memeriksa naskah Farmakope Indonesia
edisi IV dibentuk Dewan Redaksi Panitia Farmakope Indonesia edisi IV berdasarkan SK Dirjen
Pengawasan Obat dan Makanan No. HK.00.06.2.01494.
Dalam rangka update Farmakope Indonesia Edisi IV sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan, maka disusun Suplemen I Farmakope Indonesia Edisi IV yang diberlakukan pada
tanggal 27 Januari 2010 oleh Menteri Kesehatan melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan
RI Nomor HK.03.01/MENKES/150/I/2010. Suplemen I Farmakope Indonesia Edisi IV
memuat 105 monografi baru, 85 monografi dengan perubahan, 2 lampiran baru dan 12
lampiran dengan perubahan. Dalam penyusunan Suplemen II Farmakope Indonesia Edisi IV,
panitia penyusunan Suplemen Kedua (II) Farmakope Indonesia Edisi IV disahkan melalui
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1390/MENKES/SK/IX/2010 tanggal 21 September
2010. Suplemen II Farmakope Indonesia Edisi IV terdiri dari 103 monografi baru, 103
monografi dengan perbahan, 2 lampiran baru dan 4 lampiran dengan perubahan. Dalam
rangkaian pemutakhiran Farmakope Indonesia Edisi IV secara berkesinambungan, maka
selanjutnya disusun Suplemen III Farmakope Indonesia Edisi IV dengan susunan panitia yang
disahkan melalui SK Menteri Kesehatan RI No. 1396/MENKES/SK/VII/ 2011 tanggal 4 Juli
2011 yang terdiri dari 107 monografi baru, 97 monografi dengan perubahan, 3 lampiran baru
dan 7 lampiran dengan perubahan, diberlakukan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 006/MENKES/SK/I/2012 tanggal 12 Januari 2012.
Farmakope Indonesia Edisi IV yang telah dilengkapi dengan Suplemen I, Suplemen II,
dan Suplemen III perlu direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang kefarmasian. Penyusunan Farmakope Indonesia Edisi V didahului
dengan Pembentukan Panitia Penyusun Farmakope Indonesia Edisi V melalui Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 006/MENKES/SK/I/2014 tanggal 13 Januari 2014. Farmakope
Indonesia Edisi V ditetapkan sebagai standar mutu obat di Indonesia oleh Menteri Kesehatan
RI melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 108/MENKES/SK/IV/2014 tanggal 7
April 2014 tentang Pemberlakuan Farmakope Indonesia Edisi V.
Farmakope Indonesia Edisi V kemudian dilengkapi dengan terbitnya Suplemen I
melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.02.02/MENKES/ 366/2015 tanggal 15
September 2015. Disusul dengan Suplemen II dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor: HK.01.07/MENKES/664/2017 tanggal 28 Desember 2017 dan Suplemen III dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.01.07/MENKES/457/2018 tanggal 24 Agustus
2018.
Perkembangan jenis dan sediaan obat beredar di Indonesia serta perkembangan standar
mutu agar terharmonisasi dengan standar internasional mendorong untuk disusunnya
Farmakope Indonesia Edisi VI. Untuk itu dibentuk Panitia Penyusun Farmakope Indonesia
Edisi VI melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.01.07/MENKES/39/2020
tanggal 10 Januari 2020. Farmakope Indonesia Edisi VI ditetapkan sebagai standar mutu obat
di Indonesia oleh Menteri Kesehatan RI melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI.
1.3 KETENTUAN DAN PERSYARATAN UMUM FARMAKOPE INDONESIA
Ketentuan Umum dan Persyaratan Umum, untuk selanjutnya disebut “Ketentuan
Umum” menetapkan pedoman dasar, definisi dan kondisi umum untuk penafsiran dan
penerapan Farmakope Indonesia.
Persyaratan Umum yang dinyatakan dalam ketentuan umum diterapkan untuk semua
monografi Farmakope Indonesia dan untuk semua lampiran kecuali secara khusus ditekankan
dengan pernyataan “kecuali dinyatakan lain”. Jika terdapat pengecualian pada monografi
terhadap persyaratan umum atau lampiran, maka persyaratan dalam monografi digunakan
sebagai pengganti persyaratan pada ketentuan umum atau lampiran.
Adapun isi dari Ketentuan dan Persyaratan Umum tersebut, yaitu:

1. Judul
Judul lengkap buku ini termasuk suplemennya, adalah Farmakope Indonesia
edisi Enam. Judul tersebut dapat disingkat menjadi Farmakope Indonesia edisi VI atau
FI VI. Farmakope Indonesia edisi VI menggantikan edisi sebelumnya. Jika digunakan
istilah FI tanpa keterangan lain, selama periode berlakunya Farmakope Indonesia ini,
maka yang dimaksudkan adalah FI VI dan semua suplemennya. Selanjutnya jika
disebut Farmakope dalam dokumen ini, yang dimaksud adalah Farmakope Indonesia
edisi VI. Secara berkala FI VI menerbitkan Suplemen.

2. Status “Resmi” Dan Pengakuan Hukum


Kata “resmi” yang digunakan dalam Farmakope Indonesia ini atau yang merujuk
kepadanya, adalah sinonim dengan “Farmakope Indonesia”, atau dengan “FI”.
Pencantuman FI di belakang judul resmi dari suatu artikel pada etiket adalah suatu tand
bahwa artikel tersebut diakui memenuhi standar FI.
a. Teks resmi Farmakope terdiri dari monografi, lampiran dan ketentuan umum.
b. Monografi resmi adalah monografi yang tercantum sebagai monografi dalam
Farmakope. Judul yang tercantum dalam monografi dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris adalah nama resmi dari monografi tersebut. Nama-nama yang
dianggap sinonim dengan judul resmi tidak dapat digunakan sebagai pengganti
judul resmi.Monografi resmi meliputi bahan resmi dan sediaan resmi. Bahan resmi
adalah bahan aktif obat, bahan tambahan farmasi, komponen lain, atau komponen
produk jadi yang judul monografinya tidak mencakup indikasi sifat-sifat bentuk
produk jadi tersebut. Sediaan resmi adalah produk jadi, produk setengah jadi
(misalnya suatu padatan steril yang harus dibuat menjadi larutan jika hendak
digunakan) atau produk dari satu atau lebih bahan resmi atau produk yang
diformulasikan untuk digunakan pasien.
c. Pengakuan hukum Farmakope Indonesia diakui secara hukum di Indonesia.
Peraturan perundang- undangan mendukung penerapan Farmakope Indonesia
sebagai standar mutu sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 105 ayat (1) bahwa sediaan farmasi yang
berupa obat dan bahan baku obat harus memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau
buku standar lainnya.
3. Kesesuaian Dengan Standar
Penggunaan standar Standar untuk suatu monografi Farmakope Indonesia
dinyatakan dalam ketentuan umum, monografi, dan lampiran. Identitas, kekuatan,
kualitas dan kemurnian bahan ditetapkan sesuai jenis pengujian, prosedur pengujian,
dan kriteria keberterimaan yang dinyatakan baik dalam monografinya, dalam ketentuan
umum ataupun dalam lampiran, kecuali secara khusus dinyatakan lain. Standar
ketentuan umum, monografi, dan lampiran diberlakukan terhadap bahan tersebut mulai
dari proses produksi hingga kedaluwarsa. Spesifikasi produk dan Cara Pembuatan Obat
yang Baik, dikembangkan dan diterapkan untuk menjamin kesesuaian bahan dengan
Farmakope hingga batas waktu kadaluarsanya dalam kondisi penyimpanan yang sesuai,
sehingga setiap bahan resmi yang diuji akan memenuhi kesesuaian dengan Farmakope.
4. Monografi Dan Lampiran
a. Monografi Mencantumkan nama bahan, definisi, spesifikasi, dan persyaratan
lain yang berkaitan dengan kemasan, penyimpanan dan penandaan.
Spesifikasi dalam monografi meliputi jenis pengujian, prosedur pengujian, dan
kriteria penerimaan untuk memastikan identitas, kekuatan, kualitas, dan
kemurnian bahan. Untuk ketentuan umum yang spesifik berkaitan dengan
bagian monografi, lihat komponen monografi.
a) Penggunaan prosedur uji Tiap monografi dapat mencantumkan
beberapa parameter pengujian, prosedur dan atau kriteria keberterimaan,
yang mencerminkan variasi bahan dari tiap industri. Misalnya tersedia
beberapa alternatif untuk bentuk polimorf yang berbeda, cemaran,
bentuk hidrat dan disolusi. Monografi menyatakan pengujian, prosedur
dan atau kriteria keberterimaan yang digunakan, dan penandaan yang
dipersyaratkan.
b) Kriteria keberterimaan Meliputi kesalahan analisis dari variasi yang
tidak bisa dihindari pada saat produksi dan formulasi, dan kesalahan
yang masih dapat diterima pada kondisi teknis. Nilai kriteria
keberterimaan Farmakope bukan merupakan dasar pengakuan bahwa
bahan resmi dengan kemurnian melebihi 100% adalah melebihi kualitas
Farmakope. Sama halnya, ketika bahan disiapkan dengan persyaratan
kondisi yang lebih ketat dari spesifikasi monografi tidak menjadi dasar
pengakuan bahwa bahan tersebut melebihi persyaratan Farmakope.
b. Lampiran Masing-masing lampiran menetapkan penomoran yang dicantumkan
dalam tanda kurung setelah judul lampiran (contoh Kromatografi)
Lampiran terdiri dari :
a) Uraian tentang jenis pengujian dan prosedur penetapannya pada masing-
masing monografi.
b) Informasi umum untuk interpretasi persyaratan Farmakope.
c) Uraian umum tentang jenis wadah dan penyimpanan. Jika monografi
merujuk pada lampiran, kriteria penerimaan dicantumkan setelah judul
lampiran.
5. Komponen Monografi
a. Rumus molekul Pencantuman rumus molekul untuk bahan aktif, pada suatu
monografi, dimaksudkan untuk memperlihatkan kadar secara kimia, seperti
disebutkan dalam nama kimia yang lengkap dan mempunyai kemurnian mutlak
(100%).
b. Bahan tambahan Bahan tambahan yang dianggap tidak sesuai untuk sediaan
resmi, tidak boleh digunakan jika:
1) Melebihi jumlah minimum yang dibutuhkan untuk menyebabkan efek
yang diharapkan;
2) Keberadaannya mengganggu ketersediaan hayati, efek terapi atau
keamanan dari yang disebutkan dalam sediaan resmi;
3) Mengganggu penetapan kadar dan uji-uji lain yang dimaksudkan untuk
penentuan kesesuaian dengan Farmakope.
6. Pengujian dan Prosedur
a. Cara berlaboratorium yang baik Dalam melaksanakan pengujian, keamanan
cara berlaboratorium yang baik harus dipatuhi, termasuk langkah pencegahan,
perlengkapan pelindung dan konsistensi tahapan pengujian bahan kimia dan
prosedur yang digunakan. Sebelum memulai pengujian, penguji harus
memahami risiko terkait bahan kimia, serta teknik dan cara melindunginya.
Farmakope ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan risiko atau tahapan
perlindungan.
b. Prosedur otomatis Baik prosedur otomatis dan manual yang mempunyai prinsip
dasar kimia yang sama dinyatakan setara.
c. Metode dan prosedur lain Metode dan/atau prosedur lain dapat digunakan jika
lebih unggul dalam ketepatan, kepekaan, presisi, selektifitas, atau dapat
disesuaikan terhadap otomatisasi atau penyederhanaan data menggunakan
komputer, atau dalam keadaan khusus. Prosedur dan metode lain harus
divalidasi sesuai Validasi Prosedur dalam Farmakope dan harus dapat
dibuktikan memberikan validitas yang setara atau lebih baik. Apabila prosedur
lain, atau metode alternatif memberikan hasil yang berbeda dengan metode
Farmakope, maka yang dianggap benar adalah hasil yang menggunakan
prosedur Farmakope.
d. Bahan yang dikeringkan, dipijarkan, anhidrat, atau bebas pelarut Kecuali
dinyatakan lain, semua perhitungan dalam Farmakope dilakukan sebagaimana
adanya.
7. Hasil Uji
a. Interpretasi persyaratan Hasil analisis yang diamati di laboratorium (atau
dihitung dari pengukuran pengujian) dibandingkan dengan kriteria
keberterimaan untuk menentukan kesesuaian bahan tersebut dengan persyaratan
Farmakope. Nilai yang dilaporkan, umumnya adalah nilai rata-rata untuk
beberapa penetapan secara individual, dibandingkan dengan kriteria
keberterimaan. Nilai yang dilaporkan adalah hasil akhir dari prosedur
pengukuran yang lengkap, seperti yang telah ditetapkan. Jika kriteria
keberterimaan dinyatakan secara numerik melalui spesifikasi batas atas atau
batas bawah, nilai yang diterima termasuk nilai batas yang telah ditetapkan,
tetapi bukan nilai diluar batas. Kriteria penerimaan dianggap bermakna sampai
angka terakhir yang ditampilkan.
b. Aturan pembulatan Nilai yang diamati atau yang dihitung harus dibulatkan ke
angka desimal yang telah disepakati batasnya. Angka-angka tersebut tidak
boleh dibulatkan sampai perhitungan akhir untuk nilai yang dilaporkan.
Perhitungan antara (misalnya kemiringan untuk linieritas) dapat dibulatkan
untuk tujuan pelaporan, tapi nilai asli (yang tidak dibulatkan) harus digunakan
untuk perhitungan tambahan lainnya. Kriteria penerimaan adalah nilai yang
sudah ditetapkan dan tidak dibulatkan.
8. Istilah dan Definisi
a. Singkatan
BPFI : Baku Pembanding Farmakope Indonesia
LK : Larutan Kolorimetri
LP : Larutan Pereaksi
LV : Larutan Volumetrik yang telah dibakukan sesuai dengan petunjuk yang
tertera dalam monografi atau Pereaksi, Indikator, dan Larutan.
P : Pereaksi
b. Lebih kurang Pernyataan “Lebih kurang”menunjukkan kuantitas dalam rentang
10%. Jika pengukuran dinyatakan dengan “diukur saksama” atau “ditimbang
saksama” ikuti pernyataan dalam Peralatan Volumetri <21> dan Timbangan dan
Anak Timbangan <41>.
c. Kadar alkohol Persentase etanol, seperti pada judul Kadar Alkohol mengacu
pada persentase volume C2H5OH pada suhu 15,56º. Jika suatu formula,
pengujian, atau penetapan untuk alkohol, etil alkohol, atau etanol, maka
digunakan monografi “Etanol”. Jika pembanding menyebutkan “C2H5OH”,
maka yang dimaksud adalah etanol mutlak (100%). Jika prosedur menyebutkan
etanol dehidrat, etanol mutlak, atau etanol anhidrat, maka yang harus digunakan
adalah monografi “Etanol Mutlak”.
d. Bobot atom Bobot atom yang digunakan sebagai dasar perhitungan bobot
molekul dan faktor pada penetapan kadar atau pada bagian lain Farmakope
adalah sesuai dengan yang ditetapkan oleh IUPAC Commision on Atomic
Weights and Isotopic Abundances.
e. Penetapan blangko Jika diperlukan koreksi terhadap suatu penetapan dengan
cara penetapan blangko, penetapan dilakukan menggunakan pereaksi yang
sama, cara yang sama seperti pada larutan atau campuran yang mengandung zat
yang ditetapkan, tetapi tanpa zat yang ditetapkan.
f. Desikator Jika dinyatakan “dalam desikator” menunjukkan penggunaan wadah
tertutup rapat dengan ukuran yang sesuai dan desain yang dapat
mempertahankan kelembaban rendah dengan menggunakan pengering yang
sesuai seperti kalsium klorida anhidrat, magnesium perklorat, fosfor pentoksida,
atau silika gel (seperti tertera pada Desikator Hampa).

1.4 DAFTAR SEDIAAN UMUM DAN MONOGRAFI


a. Daftar Sediaan Umum, antara lain:
1. Aerosol 8. Injeksi 15. Sediaan Obat Mata
2. Emulsi 9. Irigasi 16. Serbuk
3. Ekstrak dan Ekstrak Cair 10. Kapsul 17. Supositoria
4. Gel 11. Krim 18. Suspensi
5. Implan 12. Larutan 19. Salep
6. Imunoserum 13. Pasta 20. Tablet
7. Inhalasi 14. Plester 21. Vaksin

b. Daftar Monografi, antara lain:


1. Agar 27. Tablet Kunyah Alumina, Magnesia dan
2. Serbuk Agar Kalsium Karbonat
3. Air Murni 28. Suspensi Oral Alumina, Magnesia dan
4. Air Steril untuk Injeksi Simetikon
5. Air Steril untuk Irigasi 29. Tablet Kunyah Alumina, Magnesia dan
6. Air untuk Injeksi Simetikon
7. Akarbosa 30. Gel Aluminium Hidroksida
8. Tablet Akarbosa 31. Gel Aluminium Hidroksida Kering
9. Albendazol 32. Amfoterisin B
10. Tablet Albendazol 33. Salep Amfoterisin B
11. Alendronat Natrium 34. Amfoterisin B untuk Injeksi
12. Tablet Asam Alendronat 35. Amikasin
13. Alfa Tokoferol 36. Amikasin Sulfat
14. Aloksiprin 37. Injeksi Amikasin Sulfat
15. Tablet Aloksiprin 38. Amilorida Hidroklorida
16. Alopurinol 39. Tablet Amilorida Hidroklorida
17. Tablet Alopurinol 40. Aminofilin
18. Alprazolam 41. Injeksi Aminofilin
19. Tablet Alprazolam 42. Tablet Aminofilin
20. Suspensi Oral Alumina dan Magnesia 43. Tablet Lepas Tunda Aminofilin
21. Tablet Alumina dan Magnesia 44. Amiodaron Hidroklorida
22. Suspensi Oral Alumina dan 45. Injeksi Amiodaron Hidroklorida
Magnesium Karbonat 46. Amitriptilin Hidroklorida
23. Tablet Alumina dan Magnesium 47. Tablet Amitriptilin Hidroklorida
Karbonat 48. Amlodipin Besilat
24. Suspensi Oral Alumina dan 49. Tablet Amlodipin Besilat
Magnesium Trisilikat 50. Amodiakuin Hidroklorida
25. Tablet Alumina dan Magnesium 51. Tablet Amodiakuin Hidroklorida
Trisilikat 52. Amoksisilin
26. Suspensi Oral Alumina, Magnesia dan 53. Kapsul Amoksisilin
Kalsium Karbonat 54. Tablet Amoksisilin
55. Amoksisilin untuk Suspensi Oral 101 Tetes Mata Asam Fusidat
56. Amoksisilin Natrium 102 Asam Hidroklorida
57. Tablet Amoksisilin dan Kalium 103 Asam Mefenamat
Klavulanat 104 Kapsul Asam Mefenamat
58. Amoksisilin dan Kalium Klavulanat 105 Tablet Asam Mefenamat
untuk Suspensi Oral 106 Asam Nalidiksat
59. Amonia 107 Tablet Asam Nalidiksat
60. Amonium Klorida 108 Asam Nitrat
61. Ampisilin 109 Asam retinoat
62. Kapsul Ampisilin 110 Gel Asam retinoat
63. Tablet Ampisilin 111 Krim Asam retinoat
64. Ampisilin untuk Injeksi 112 Asam Salisilat
65. Ampisilin untuk Suspensi Oral 113 Salep Asam Salisilat
66. Ampisilin Natrium 114 Asam Sitrat Anhidrat
67. Ampisilin dan Sulbaktam untuk Injeksi 115 Asam Sitrat Monohidrat
68. Anastrozol 116 Asam Sorbat
69. Tablet Anastrozol 117 Asam Sulfat
70. Antazolin Hidroklorida 118 Asam Tartrat
71. Antipirin 119 Asam traneksamat
72. Arang Jerap 120 Injeksi Asam traneksamat
73. Aripiprazol 121 Tablet Asam traneksamat
74. Tablet Aripiprazol 122 Asam Undesilenat
75. Artemeter 123 Asam Ursodeoksikolat
76. Injeksi Artemeter 124 Kapsul Asam Ursodeoksikolat
77. Tablet Artemeter dan Lumefantrin 125 Asam Valproat
78. Artesunat 126 Kapsul Asam Valproat
79. Artesunat untuk Injeksi 127 Larutan Oral Asam Valproat
80. Asam Alginat 128 Asebutolol Hidroklorida
81. Asam Aminokaproat 129 Kapsul Asebutolol Hidroklorida
82. Tablet Asam Aminokaproat 130 Tablet Asebutolol Hidroklorida
83. Asam Aminosalisilat 131 Asetazolamida
84. Tablet Asam Aminosalisilat 132 Tablet Asetazolamida
85. Asam Asetat 133 Asetazolamida untuk Injeksi
86. Asam Asetat Glasial 134 Asetilkolin Klorida
87. Asam Asetilsalisilat 135 Asetilsistein
88. Tablet Asam Asetilsalisilat 136 Larutan Asetilsistein
89. Tablet Asam Asetilsalisilat Didapar 137 Aseton
90. Tablet Eferversen Asam Asetilsalisilat 138 Asiklovir
91. Tablet Lepas Tunda Asam Asetilsalisilat 139 Krim Asiklovir
92. Asam Askorbat 140 Salep Asiklovir
93. Injeksi Asam Askorbat 141 Tablet Asiklovir
94. Tablet Asam Askorbat 142 Asiklovir untuk injeksi
95. Asam Benzoat 143 Astemizol
96. Salep Asam Benzoat dan Salisilat 144 Tablet Astemizol
97. Asam Folat 145 Atenolol
98. Tablet Asam Folat 146 Tablet Atenolol
99. Asam Fosfat 147 Atorvastatin Kalsium
100. Asam Fusidat 148 Tablet Atorvastatin Kalsium
149 Atrakurium Besilat 196 Salep Betametason Dipropionat
150 Injeksi Atrakurium Besilat 197 Betametason Natrium Fosfat
151 Atropin Sulfat 198 Injeksi Betametason Natrium Fosfat
152 Injeksi Atropin Sulfat 199 Betametason Valerat
153 Tablet Atropin Sulfat 200 Krim Betametason Valerat
154 Tetes Mata Atropin Sulfat 201 Salep Betametason Valerat
155 Azatadin Maleat 202 Bikalutamida
156 Azatioprin 203 Tablet Bikalutamida
157 Tablet Azatioprin 204 Biperiden
158 Azitromisin 205 Injeksi Biperiden Laktat
159 Kapsul Azitromisin 206 Bisakodil
160 Tablet Azitromisin 207 Supositoria Bisakodil
161 Azitromisin untuk Injeksi 208 Tablet Lepas Tunda Bisakodil
162 Azitromisin untuk Suspensi Oral 209 Bismut Subgalat
163 Barium Sulfat 210 Bismut Subkarbonat
164 Barium Sulfat untuk Suspensi 211 Bismut Subnitrat
165 Basitrasin 212 Bisoprolol Fumarat
166 Basitrasin Zink 213 Tablet Bisoprolol Fumarat
167 Beklometason Dipropionat 214 Bleomisin Sulfat
168 Belerang Endap 215 Bleomisin untuk Injeksi
169 Bentonit 216 Brinzolamida
170 Benzalkonium Klorida 217 Suspensi Tetes Mata Brinzolamida
171 Benzatin Benzilpenisilin 218 Bromfeniramin Maleat
172 Suspensi untuk Injeksi Benzatin 219 Bromheksin Hidroklorida
Benzilpenisilin 220 Bromokriptin Mesilat
173 Benzetonium Klorida 221 Tablet Bromokriptin Mesilat
174 Benzil Alkohol 222 Budesonid
175 Benzil Benzoat 223 Bupivakin Hidroklorida
176 Benzoil Peroksida Hidrat 224 Injeksi Bupivakin Hidroklorida
177 Gel Benzoil Peroksida 225 Bupivakin Hidroklorida dalam Injeksi
178 Benzokain Dekstrosa
179 Besi(II) Fumarat 226 Buprenorfin Hidroklorida
180 Tablet Besi(II) Fumarat 227 Buspiron Hidroklorida
181 Tablet Besi(II) Fumarat dan Asam Folat 228 Tablet Buspiron Hidroklorida
182 Besi(II) Glukonat 229 Busulfan
183 Tablet Besi(II) Glukonat 230 Tablet Busulfan
184 Besi(II) Sulfat 231 Butil Hidroksianisol
185 Larutan oral Besi(II) Sulfat 232 Butil Hidroksitoluen
186 Tablet Besi(II) Sulfat 233 Butilparaben
187 Betahistin Hidroklorida 234 Daktinomisin
188 Tablet Betahistin Hidroklorida 235 Daktinomisin untuk Injeksi
189 Betaksolol Hidroklorida 236 Dapson
190 Tetes Mata Betaksolol Hidroklorida 237 Tablet Dapson
191 Betametason 238 Daunorubisin Hidroklorida
192 Tablet Betametason 239 Daunorubisin Hidroklorida untuk Injeksi
193 Tetes Mata Betametason 240 Deferoksamin Mesilat
194 Betametason Dipropionat 241 Deferoksamin Mesilat untuk Injeksi
195 Krim Betametason Dipropionat 242 Deksametason
243 Gel Deksametason 289 Injeksi Difenhidramin Hidroklorida
244 Injeksi Deksametason 290 Larutan Oral Difenhidramin
245 Tablet Deksametason Hidroklorida
246 Deksametason Asetat 291 Difenoksilat Hidroklorida
247 Deksametason Natrium Fosfat 292 Tablet Digitalis
248 Injeksi Deksametason Natrium Fosfat 293 Digitoksin
249 Deksbromfeniramin Maleat 294 Tablet Digitoksin
250 Deksklorfeniramin Maleat 295 Digoksin
251 Larutan Oral Deksklorfeniramin Maleat 296 Injeksi Digoksin
252 Tablet Deksklorfeniramin Maleat 297 Larutan Oral Digoksin
253 Dekspantenol 298 Tablet Digoksin
254 Dekstran 40 299 Dihidroergotamin Mesilat
255 Injeksi Dekstran 40 dalam Dekstrosa 300 Dihidrostreptomisin Sulfat
256 Injeksi Dekstran 40 dalam Natrium 301 Diklofenak Kalium
Klorida 302 Tablet Diklofenak Kalium
257 Dekstran 70 303 Diklofenak Natrium
258 Injeksi Dekstran 70 dalam Dekstrosa 304 Tablet Lepas Tunda Diklofenak Natrium
259 Injeksi Dekstran 70 dalam Natrium 305 Dikloksasilin Natrium
Klorida 306 Kapsul Dikloksasilin Natrium
260 Dekstrometorfan 307 Dikloksasilin Natrium untuk Suspensi
261 Dekstrometorfan Hidrobromida Oral
262 Dekstrosa 308 Diltiazem Hidroklorida
263 Injeksi Dekstrosa 309 Injeksi Diltiazem
264 Dekualinium Klorida 310 Kapsul Lepas Lambat Diltiazem
265 Demeklosiklin Hidroklorida Hidroklorida
266 Kapsul Demeklosiklin Hidroklorida 311 Tablet Diltiazem Hidroklorida
267 Deslanosida 312 Dimenhidrinat
268 Injeksi Deslanosida 313 Tablet Dimenhidrinat
269 Desogestrel 314 Dimerkaprol
270 Tablet Desogestrel 315 Dimetikon
271 Tablet Desogestrel dan Etinil Estradiol 316 Dinatrium Edetat
272 Desoksimetason 317 Tetes Mata Dinatrium Edetat
273 Gel Desoksimetason 318 Dipiridamol
274 Krim Desoksimetason 319 Tablet Dipiridamol
275 Salep Desoksimetason 320 Disiklomin Hidroklorida
276 Diazepam 321 Disopiramida
277 Injeksi Diazepam 322 Disopiramida Fosfat
278 Tablet Diazepam 323 Kapsul Disopiramida Fosfat
279 Dibekasin Sulfat 324 Dobutamin Hidroklorida
280 Dibukain Hidroklorida 325 Injeksi Dobutamin
281 Didanosin 326 Dobutamin untuk Injeksi
282 Didanosin untuk Larutan Oral 327 Doksazosin Mesilat
283 Didrogesteron 328 Tablet Doksazosin
284 Tablet Didrogesteron 329 Doksilamin Suksinat
285 Dietilkarbamazin Sitrat 330 Doksisiklin
286 Tablet Dietilkarbamazin Sitrat 331 Doksisiklin Hiklat
287 Dietilstilbestrol 332 Kapsul Doksisiklin Hiklat
288 Difenhidramin Hidroklorida 333 Tablet Doksisiklin Hiklat
334 Doksorubisin Hidroklorida 381 Tablet Eritromisin Stearat
335 Doksorubisin Hidroklorida untuk Injeksi 382 Estradiol
336 Suspensi oral Domperidon 383 Estradiol Benzoat
337 Domperidon Maleat 384 Estradiol Sipionat
338 Tablet Domperidon 385 Estriol
339 Donepezil Hidroklorida 386 Estrogen Terkonjugasi
340 Tablet Donepezil Hidroklorida 387 Tablet Estrogen Terkonyugasi
341 Dopamin Hidroklorida 388 Etakridin Laktat
342 Injeksi Dopamin Hidroklorida 389 Etambutol Hidroklorida
343 Droperidol 390 Tablet Etambutol Hidroklorida
344 Edrofonium Klorida 391 Etanol
345 Efavirenz 392 Etanol Absolut
346 Kapsul Efavirenz 393 Etanol Encer
347 Efedrin 394 Etoksibenzamida
348 Efedrin Hidroklorida 395 Eter
349 Tablet Efedrin Hidroklorida 396 Etil Klorida
350 Efedrin Sulfat 397 Etilmorfin Hidroklorida
351 Injeksi Efedrin Sulfat 398 Etilparaben
352 Ekonazol Nitrat 399 Etinil Estradiol
353 Krim Ekonazol Nitrat 400 Tablet Etinil Estradiol
354 Emetin Hidroklorida 401 Etionamida
355 Injeksi Emetin Hidroklorida 402 Tablet Etionamida
356 Enapril Maleat 403 Etoposida
357 Tablet Enapril Maleat 404 Injeksi Etoposida
358 Enfluran 405 Kapsul Etoposida
359 Epinefrin Bitartrat 406 Etosuksimida
360 Injeksi Epinefrin 407 Famotidin
361 Tetes Mata Epinefrin 408 Tablet Famotidin
362 Epirubisin Hidroklorida 409 Feksofenadin Hidroklorida
363 Injeksi Epirubisin Hidroklorida 410 Kapsul Feksofenadin Hidroklorida
364 Epirubisin Hidroklorida untuk Injeksi 411 Tablet Feksofenadin Hidroklorida
365 Ergokalsiferol 412 Felodipin
366 Ergometrin Maleat 413 Fenazopiridin Hidroklorida
367 Injeksi Ergometrin Maleat 414 Fenilbutazon
368 Tablet Ergometrin Maleat 415 Tablet Fenilbutazon
369 Ergotamin Tartrat 416 Fenilefrin Hidroklorida
370 Ergotamin Tartrat Injeksi 417 Fenilmerkuri Asetat
371 Tablet Ergotamin Tartrat 418 Fenilmerkuri Nitrat
372 Tablet Ergotamin Tartrat dan Kofein 419 Fenilpropanolamin Hidroklorida
373 Eritromisin 420 Feniramin Maleat
374 Salep Eritromisin 421 Fenitoin
375 Tablet Eritromisin 422 Suspensi Oral Fenitoin
376 Eritromisin Etilsuksinat 423 Tablet Kunyah Fenitoin
377 Suspensi Oral Eritromisin Etilsuksinat 424 Fenitoin Natrium
378 Tablet Eritromisin Etilsuksinat 425 Injeksi Fenitoin Natrium
379 Eritromisin Etilsuksinat untuk Suspensi 426 Kapsul Fenitoin Natrium
Oral 427 Fenobarbital
380 Eritromisin Stearat 428 Tablet Fenobarbital
429 Fenobarbital Natrium 477 Gabapentin
430 Injeksi Fenobarbital Natrium 478 Kapsul Gabapentin
431 Fenobarbital Natrium untuk Injeksi 479 Gansiklovir
432 Fenofibrat 480 Gansiklovir untuk Injeksi
433 Kapsul Fenofibrat 481 Garam Oralit
434 Tablet Fenofibrat 482 Gelatin
435 Fenol 483 Gemfibrosil
436 Fenol Cair 484 Kapsul Gemfibrosil
437 Fenolftalein 485 Tablet Gemfibrosil
438 Fenoterol Hidrobromida 486 Gemsitabin Hidroklorida
439 Fentanil Sitrat 487 Gemsitabin untuk Injeksi
440 Injeksi Fentanil Sitrat 488 Gentamisin Sulfat
441 Finasterid 489 Injeksi Gentamisin
442 Tablet Finasterid 490 Krim Gentamisin Sulfat
443 Fitonadion 491 Salep Gentamisin Sulfat
444 Injeksi Fitonadion 492 Salep Mata Gentamisin Sulfat
445 Tablet Fitonadion 493 Tetes Mata Gentamisin Sulfat
446 Fludarabin Fosfat 494 Gentian Violet
447 Fludarabin Fosfat untuk Injeksi 495 Glibenklamida
448 Fludrokortison Asetat 496 Tablet Glibenklamida
449 Flufenazin Dekanoat 497 Gliklazida
450 Flufenazin Enantat 498 Tablet Gliklazida
451 Flufenazin Hidroklorida 499 Glimepirida
452 Tablet Flufenazin Hidroklorida 500 Tablet Glimepirida
453 Flukloksasilin Natrium 501 Glipizida
454 Flukonazol 502 Tablet Glipizida
455 Injeksi Flukonazol 503 Gliserin
456 Kapsul Flukonazol 504 Larutan Oral Gliserin
457 Tablet Flukonazol 505 Tetes mata Gliserin
458 Fluokortolon Heksanoat 506 Glisin
459 Fluokortolon Pivalat 507 Gom Akasia
460 Fluoksetin Hidroklorida 508 Serbuk Gom Akasia
461 Kapsul Fluoksetin 509 Gonadotropin Korionik
462 Tablet Fluoksetin 510 Gonadotropin Korionik untuk Injeksi
463 Fluoksimesteron 511 Griseofulvin
464 Fluorometolon 512 Tablet Griseofulvin
465 Suspensi Tetes Mata Fluorometolon 513 Guaifenesin
466 Fluoresein Natrium 514 Tablet Guaifenesin
467 Fluorourasil 515 Haloperidol
468 Injeksi Fluorourasil 516 Injeksi Haloperidol
469 Fluosinolon Asetonida 517 Larutan Oral Haloperidol
470 Krim Fluosinolon Asetonida 518 Tablet Haloperidol
471 Salep Fluosinolon Asetonida 519 Halotan
472 Flurazepam Hidroklorida 520 Halsinonida
473 Flurbiprofen Natrium 521 Heksaklorfen
474 Furosemida 522 Hidralazin Hidroklorida
475 Injeksi Furosemida 523 Hidrogen Peroksida Pekat
476 Tablet Furosemida 524 Larutan Topikal Hidrogen Peroksida
525 Hidrokuinon 573 Tablet Irbesartan dan Hidroklorotiazida
526 Krim Hidrokuinon 574 Irinotekan Hidroklorida
527 Hidroklorotiazida 575 Injeksi Irinotekan Hidroklorida
528 Tablet Hidroklorotiazida 576 Isoksuprin Hidroklorida
529 Hidrokortison 577 Injeksi Isoksuprin Hidroklorida
530 Injeksi Suspensi Hidrokortison 578 Isoniazid
531 Salep Hidrokortison 579 Tablet Isoniazid
532 Tablet Hidrokortison 580 Isosorbid Dinitrat Encer
533 Hidrokortison Asetat 581 Tablet Isosorbid Dinitrat
534 Krim Hidrokortison Asetat 582 Tablet Lepas Lambat Isosorbid Dinitrat
535 Hidrokortison Butirat 583 Tablet Sublingual Isosorbid Dinitrat
536 Hidroksiprogesteron Kaproat 584 Isosorbid Mononitrat Encer
537 Injeksi Hidroksiprogesteron Kaproat 585 Tablet Isosorbid Mononitrat
538 Hidroksizin Hidroklorida 586 Tablet Lepas Lambat Isosorbit
539 Hidroksokobalamin Mononitrat
540 Hiosiamin Sulfat 587 Kalamin
541 Hiosin Butilbromida 588 Kalium Iodida
542 Injeksi Hiosin Butilbromida 589 Kalium Klorida
543 Tablet Hiosin Butilbromida 590 Kalium Klorida dalam Injeksi Natrium
544 Hiosin Hidrobromida Klorida
545 Injeksi Hiosin Hidrobromida 591 Kalium Permanganat
546 Tablet Hiosin Hidrobromida 592 Kalium Guaiakolsulfonat
547 Homatropin Hidrobromida 593 Kalsitriol
548 Tetes Mata Homatropin Hidrobromida 594 Kalsium Fosfat Dibasa Anhidrat
549 Ibuprofen 595 Kalsium Glukonat
550 Suspensi Oral Ibuprofen 596 Injeksi Kalsium Glukonat
551 Tablet Ibuprofen 597 Kalsium Hidroksida
552 Idoksuridin 598 Larutan Topikal Kalsium Hidroksida
553 Salep Mata Idoksuridin 599 Kalsium Karbonat
554 Ifosfamida 600 Suspensi Oral Kalsium Karbonat
555 Ifosfamida untuk Injeksi 601 Tablet Kalsium Karbonat
556 Ioheksol 602 Kalsium Klorida
557 Injeksi Ioheksol 603 Injeksi Kalsium Klorida
558 Iopamidol 604 Kalsium Laktat
559 Injeksi Iopamidol 605 Tablet Kalsium Laktat
560 Iopromida 606 Kalsium Pantotenat
561 Injeksi Iopromida 607 Kalsium Sulfat
562 Ikhtamol 608 Kamfer
563 Imipramin Hidroklorida 609 Kanamisin Sulfat
564 Indometasin 610 Injeksi Kanamisin Sulfat
565 Kapsul Indometasin 611 Kapsul Kanamisin Sulfat
566 Indometasin Natrium 612 Kanamisin Sulfat untuk Injeksi
567 Indometasin untuk Injeksi 613 Kandesartan Sileksetil
568 Inositol Nikotinat 614 Tablet Kandesartan Sileksetil
569 Iodum 615 Kaolin Ringan
570 Iodum Tingtur 616 Kapesitabin
571 Irbesartan 617 Tablet Kapesitabin
572 Tablet Irbesartan 618 Kapreomisin Sulfat
619 Kapreomisin Sulfat untuk Injeksi 667 Kapsul Klofazimin
620 Kaptopril 668 Kloksasilin Natrium
621 Tablet Kaptopril 669 Klomifen Sitrat
622 Karbamazepin 670 Tablet Klomifen Sitrat
623 Suspensi Oral Karbamazepin 671 Klomipramin Hidroklorida
624 Tablet Karbamazepin 672 Kapsul Klomipramin Hidroklorida
625 Karbidopa 673 Klonazepam
626 Karbinoksamin Maleat 674 Tablet Klonazepam
627 Karboksimetilselulosa Natrium 675 Klonidin Hidroklorida
628 Karbon Dioksida 676 Injeksi Klonidin Hidroklorida
629 Karboplatin 677 Tablet Klonidin Hidroklorida
630 Injeksi Karboplatin 678 Klopidogrel Bisulfat
631 Karboplatin untuk Injeksi 679 Tablet Klopidogrel
632 Karvedilol 680 Kloral Hidrat
633 Tablet Karvedilol 681 Klorambusil
634 Ketamin Hidroklorida 682 Tablet Klorambusil
635 Injeksi Ketamin Hidroklorida 683 Kloramfenikol
636 Ketokonazol 684 Kapsul Kloramfenikol
637 Krim Ketokonazol 685 Krim Kloramfenikol
638 Tablet Ketokonazol 686 Salep Mata Kloramfenikol
639 Ketoprofen 687 Tetes Mata Kloramfenikol
640 Kapsul Ketoprofen 688 Tetes Telinga Kloramfenikol
641 Ketorolak Trometamin 689 Kloramfenikol Natrium Suksinat
642 Injeksi Ketorolak Trometamin 690 Kloramfenikol Natrium Suksinat untuk
643 Tablet Ketorolak Trometamin Injeksi
644 Kimotripsin 691 Kloramfenikol Palmitat
645 Klaritromisin 692 Suspensi Oral Kloramfenikol Palmitat
646 Klaritromisin untuk Suspensi Oral 693 Klordiazepoksida
647 Tablet Klaritromisin 694 Tablet Klordiazepoksida
648 Tablet Lepas Lambat Klaritromisin 695 Klordiazepoksida Hidroklorida
649 Klavulanat Kalium 696 Kapsul Klordiazepoksida Hidroklorida
650 Klemastin Fumarat 697 Tablet Klordiazepoksida Hidroklorida
651 Tablet Klemastin Fumarat 698 Kapsul Klordiazepoksid Hidroklorida
652 Klidinium Bromida dan Klidinium Bromida
653 Klindamisin Fosfat 699 Klorfenamin Maleat
654 Gel Klindamisin Fosfat 700 Injeksi Klorfenamin Maleat
655 Injeksi Klindamisin 701 Tablet Klorfenamin Maleat
656 Larutan Topikal Klindamisin Fosfat 702 Klorheksidin Asetat
657 Suspensi Topikal Klindamisin Fosfat 703 Larutan Klorheksidin Glukonat
658 Klindamisin untuk Injeksi 704 Klorheksidin Hidroklorida
659 Klindamisin Hidroklorida 705 Klorobutanol
660 Kapsul Klindamisin Hidroklorida 706 Klorobutanol Anhidrat
661 Klindamisin Palmitat Hidroklorida 707 Kloroform
662 Klobazam 708 Klorokresol
663 Tablet Klobazam 709 Klorokuin
664 Klobetasol Propionat 710 Klorokuin Fosfat
665 Krim Klobetasol Propionat 711 Tablet Klorokuin Fosfat
666 Klofazimin 712 Injeksi Klorokuin Hidroklorida
713 Klorokuin Sulfat 761 Tablet Lamotrigin
714 Klorpromazin Hidroklorida 762 Lansoprazol
715 Injeksi Klorpromazin Hidroklorida 763 Kapsul Lepas Tunda Lansoprazol
716 Sirup Klorpromazin Hidroklorida 764 Leflunomida
717 Tablet Klorpromazin Hidroklorida 765 Tablet Leflunomida
718 Klorpropamida 766 Lemak Bulu Domba
719 Tablet Klorpropamida 767 Letrozol
720 Klortalidon 768 Tablet Letrozol
721 Tablet Klortalidon 769 Leukovorin Kalsium
722 Klorzoksazon 770 Injeksi Leukovorin Kalsium
723 Tablet Klorzoksazon 771 Tablet Leukovorin Kalsium
724 Klotrimazol 772 Leuprorelin
725 Krim Klotrimazol 773 Leuprorelin untuk Injeksi
726 Larutan Topikal Klotrimazol 774 Levamisol Hidroklorida
727 Tablet Vaginal Klotrimazol 775 Tablet Levamisol Hidroklorida
728 Klozapin 776 Levetirasetam
729 Tablet Klozapin 777 Tablet Levetirasetam
730 Kodein 778 Levodopa
731 Kodein Fosfat 779 Levofloksasin
732 Tablet Kodein Fosfat 780 Infus Levofloksasin
733 Kodein Hidroklorida 781 Larutan Oral Levofloksasin
734 Kofein 782 Tablet Levofloksasin
735 Injeksi Kofein Sitrat 783 Levonorgestrel
736 Kolekalsiferol 784 Tablet Levonorgestrel dan Etinil
737 Resin Kolestiramin Estradiol
738 Resin Kolestiramin untuk Suspensi Oral 785 Levotiroksin Natrium
739 Kolistin Sulfat 786 Tablet Levotiroksin Natrium
740 Kolkhisin 787 Lidokain Hidroklorida
741 Tablet Kolkhisin 788 Gel Lidokain Hidroklorida
742 Koloidal Atapulgit Teraktivasi 789 Injeksi Lidokain Hidroklorida
743 Injeksi Kortikotropin 790 Larutan Oral-Topikal Lidokain
744 Kortikotropin untuk Injeksi Hidroklorida
745 Kortison Asetat 791 Injeksi Lidokain Hidroklorida dan
746 Suspensi Steril Kortison Asetat Dekstrosa
747 Kuinidin Sulfat 792 Injeksi Lidokain Hidroklorida dan
748 Tablet Kuinidin Sulfat Epinefrin
749 Kuinin Etilkarbonat 793 Linestrenol
750 Kuinin Hidroklorida 794 Linkomisin Hidroklorida
751 Kuinin Sulfat 795 Injeksi Linkomisin Hidroklorida
752 Tablet Kuinin Sulfat 796 Kapsul Linkomisin Hidroklorida
753 Laktosa Anhidrat 797 Lisin Asetat
754 Laktosa Monohidrat 798 Lisinopril
755 Laktulosa Pekat 799 Tablet Lisinopril
756 Larutan Laktulosa 800 Litium karbonat
757 Lamivudin 801 Tablet Litium karbonat
758 Tablet Lamivudin 802 Loperamida Hidroklorida
759 Tablet Lamivudin dan Zidovudin 803 Kapsul Loperamida Hidroklorida
760 Lamotrigin 804 Tablet Loperamida Hidroklorida
805 Lopinavir 852 Meropenem untuk Injeksi
806 Tablet Lopinavir dan Ritonavir 853 Mestranol
807 Loratadin 854 Metadon Hidroklorida
808 Larutan Oral Loratadin 855 Larutan Oral Metadon Hidroklorida
809 Tablet Loratadin 856 Tablet Metadon Hidroklorida
810 Lorazepam 857 Metamizol Natrium
811 Tablet Lorazepam 858 Tablet Metamizol Natrium
812 Losartan Kalium 859 Metaproterenol Sulfat
813 Tablet Losartan Kalium 860 Metenamin
814 Lovastatin 861 Metenamin Mandelat
815 Tablet Lovastatin 862 Tablet Metenamin Mandelat
816 Lumefantrin 863 Metformin Hidroklorida
817 Magnesium Hidroksida 864 Tablet Metformin Hidroklorida
818 Magnesium Karbonat 865 Metildopa
819 Magnesium Oksida 866 Tablet Metildopa
820 Magnesium Stearat 867 Metilergometrin Maleat
821 Magnesium Sulfat 868 Injeksi Metilergometrin Maleat
822 Injeksi Magnesium Sulfat 869 Tablet Metilergometrin Maleat
823 Magnesium Trisilikat 870 Metilfenidat Hidroklorida
824 Malam Kuning 871 Tablet Lepas Lambat Metilfenidat
825 Malam Putih Hidroklorida
826 Mangan Sulfat 872 Metilparaben
827 Manitol 873 Metilprednisolon
828 Injeksi Manitol 874 Metilprednisolon Tablet
829 Maprotilin Hidroklorida 875 Metilprednisolon Asetat
830 Tablet Maprotilin Hidroklorida 876 Injeksi Suspensi Metilprednisolon Asetat
831 Mebendazol 877 Metilselulosa
832 Suspensi Oral Mebendazol 878 Metiltestosteron
833 Tablet Mebendazol 879 Metiltionin Klorida
834 Medroksiprogesteron Asetat 880 Injeksi Metiltionin Klorida
835 Injeksi Suspensi Medroksiprogesteron 881 Metil Salisilat
Asetat 882 Metionin
836 Tablet Medroksiprogesteron Asetat 883 Metoklopramida Hidroklorida
837 Meksiletin Hidroklorida 884 Injeksi Metoklopramida Hidroklorida
838 Melfalan 885 Larutan Oral Metoklopramida
839 Tablet Melfalan Hidroklorida
840 Meloksikam 886 Tablet Metoklopramida Hidroklorida
841 Suspensi Oral Meloksikam 887 Metoksalen
842 Tablet Meloksikam 888 Metoprolol Tartrat
843 Menadion 889 Injeksi Metoprolol Tartrat
844 Injeksi Menadion 890 Tablet Metoprolol Tartrat
845 Menadion Natrium Bisulfit 891 Metotreksat
846 Mentol 892 Injeksi Metotreksat
847 Mepiramin Maleat 893 Tablet Metotreksat
848 Meprobamat 894 Metronidazol
849 Merkaptopurin 895 Injeksi Metronidazol
850 Tablet Merkaptopurin 896 Tablet Metronidazol
851 Meropenem 897 Metronidazol Benzoat
898 Suspensi Oral Metronidazol Benzoat 946 Injeksi Natrium Klorida
899 Midazolam 947 Injeksi Ringer
900 Injeksi Midazolam 948 Injeksi Ringer Laktat
901 Mikonazol Nitrat 949 Natrium Lauril Sulfat
902 Krim Mikonazol Nitrat 950 Natrium Metabisulfit
903 Serbuk Topikal Mikonazol Nitrat 951 Natrium Nitropusida
904 Minosiklin Hidroklorida 952 Natrium Nitropusida untuk injeksi
905 Minyak Ikan 953 Natrium Salisilat
906 Minyak Jarak 954 Natrium Sitrat
907 Minyak Mineral 955 Natrium Tetraborat
908 Minyak Permen 956 Natrium Tiosulfat
909 Minyak Zaitun 957 Injeksi Natrium Tiosulfat
910 Mitomisin 958 Neomisin Sulfat
911 Mitomisin untuk Injeksi 959 Salep Mata Neomisin Sulfat dan
912 Moksifloksasin Hidroklorida Polimiksin B Sulfat
913 Tetes Mata Moksifloksasin 960 Tetes Mata Neomisin Sulfat dan
914 Mometason Furoat Polimiksin B Sulfat
915 Krim Mometason Furoat 961 Salep Mata Neomisin Sulfat, Polimiksin
916 Morfin Hidroklorida B Sulfat dan Basitrasin Zink
917 Morfin Sulfat 962 Suspensi Tetes Mata Neomisin Sulfat,
918 Injeksi Morfin Sulfat Polimiksin B Sulfat dan Deksametason
919 Nadolol 963 Tetes Telinga Neomisin Sulfat,
920 Tablet Nadolol Polimiksin B Sulfat dan Hidrokortison
921 Nafazolin Hidroklorida 964 Neomisin untuk injeksi
922 Nafazolin Nitrat 965 Neostigmin Bromida
923 Nalokson Hidroklorida 966 Tablet Neostigmin Bromida
924 Injeksi Nalokson Hidroklorida 967 Neostigmin Metilsulfat
925 Nandrolon Dekanoat 968 Injeksi Neostigmin Metilsulfat
926 Injeksi Nandrolon Dekanoat 969 Nevirapin
927 Nandrolon Fenpropionat 970 Suspensi Oral Nevirapin
928 Injeksi Nandrolon Fenpropionat 971 Tablet Nevirapin
929 Naproksen 972 Nifedipin
930 Naproksen Natrium 973 Kapsul Nifedipin
931 Tablet Naproksen Natrium 974 Tablet Nifedipin
932 Natamisin 975 Tablet Lepas Lambat Nifedipin
933 Suspensi Tetes Mata Natamisin 976 Nikardipin Hidroklorida
934 Natrium Aminosalisilat 977 Injeksi Nikardipin Hidroklorida
935 Tablet Natrium Aminosalisilat 978 Niketamida
936 Natrium Askorbat 979 Nikotinamida
937 Natrium Benzoat 980 Tablet Nikotinamida
938 Natrium Fluorida 981 Nikotinil Alkohol Tartrat
939 Natrium Fusidat 982 Nimodipin
940 Salep Natrium Fusidat 983 Infus Nimodipin
941 Natrium Hidrogen Karbonat 984 Tablet Nimodipin
942 Injeksi Natrium Hidrogen Karbonat 985 Nistatin
943 Tablet Natrium Hidrogen Karbonat 986 Krim Nistatin
944 Natrium Hidroksida 987 Losio Nistatin
945 Natrium Klorida 988 Salep Nistatin
989 Suspensi Oral Nistatin 1033 Tablet Ondansetron
990 Tablet Nistatin 1034 Orlistat
991 Tablet Vaginal Nistatin 1035 Kapsul Orlistat
992 Nitrazepam 1036 Paklitaksel
993 Tablet Nitrazepam 1037 Injeksi Paklitaksel
994 Nitrofurantoin 1038 Pankreatin
995 Kapsul Nitrofurantoin 1039 Pankuronium Bromida
996 Tablet Nitrofurantoin 1040 Injeksi Pankuronium Bromida
997 Nitrogliserin Encer 1041 Papaverin Hidroklorida
998 Injeksi Nitrogliserin 1042 Injeksi Papaverin Hidroklorida
999 Tablet Sub Lingual Nitrogliserin 1043 Tablet Papaverin Hidroklorida
1000 Norepinefrin Bitartrat 1044 Parafin
1001 Injeksi Norepinefrin Bitartrat 1045 Paraformaldehida
1002 Noretisteron 1046 Parasetamol
1003 Tablet Noretisteron 1047 Injeksi Parasetamol
1004 Norgestrel 1048 Larutan Oral Parasetamol
1005 Nortriptilin Hidroklorida 1049 Suspensi Oral Parasetamol
1006 Noskapin 1050 Tablet Parasetamol
1007 Ofloksasin 1051 Tablet Parasetamol dan Kofein
1008 Tablet Ofloksasin 1052 Paromomisin Sulfat
1009 Oksaliplatin 1053 Pati Beras
1010 Injeksi Oksaliplatin 1054 Pati Gandum
1011 Oksaliplatin untuk Injeksi 1055 Pati Jagung
1012 Oksigen 1056 Pati Kentang
1013 Oksigen 93% 1057 Pati Singkong
1014 Oksimetazolin Hidroklorida 1058 Pektin
1015 Tetes Hidung Oksimetazolin 1059 Penisilin V
Hidroklorida 1060 Tablet Penisilin V
1016 Tetes Mata Oksimetazolin Hidroklorida 1061 Pentoksifilin
1017 Oksitetrasiklin 1062 Perak Nitrat
1018 Oksitetrasiklin Hidroklorida 1063 Perak Sulfadiazin
1019 Oksitetrasiklin Hidroklorida untuk 1064 Krim Perak Sulfadiazin
Injeksi 1065 Perfenazin
1020 Salep Oksitetrasiklin Hidroklorida dan 1066 Tablet Perfenazin
Hidrokortison 1067 Petidin Hidroklorida
1021 Salep Oksitetrasiklin Hidroklorida dan 1068 Injeksi Petidin Hidroklorida
Polimiksin B Sulfat 1069 Pilokarpin Hidroklorida
1022 Oksitosin 1070 Tetes Mata Pilokarpin Hidroklorida
1023 Injeksi Oksitosin 1071 Pilokarpin Nitrat
1024 Oksprenolol Hidroklorida 1072 Tetes Mata Pilokarpin Nitrat
1025 Olopatadin Hidroklorida 1073 Pindolol
1026 Tetes Mata Olopatadin Hidroklorida 1074 Pioglitazon Hidroklorida
1027 Omeprazol 1075 Tablet Pioglitazon
1028 Kapsul Lepas Tunda Omeprazol 1076 Piperazin
1029 Tablet Lepas Tunda Omeprazol 1077 Piperazin Sitrat
1030 Ondansetron Hidroklorida 1078 Larutan Oral Piperazin Sitrat
1031 Injeksi Ondansetron 1079 Tablet Piperazin Sitrat
1032 Larutan Oral Ondansetron 1080 Pirantel Pamoat
1081 Suspensi Oral Pirantel Pamoat 1128 Tablet Prometazin Hidroklorida
1082 Pirasetam 1129 Prometazin Teoklat
1083 Pirazinamida 1130 Propantelin Bromida
1084 Tablet Pirazinamida 1131 Propilen Glikol
1085 Piridoksin Hidroklorida 1132 Propiliodon
1086 Injeksi Piridoksin Hidroklorida 1133 Propilparaben
1087 Tablet Piridoksin Hidroklorida 1134 Propiltiourasil
1088 Piridostigmin Bromida 1135 Tablet Propiltiourasil
1089 Tablet Piridostigmin Bromida 1136 Propofol
1090 Pirimetamin 1137 Propranolol Hidroklorida
1091 Piroksikam 1138 Injeksi Propranolol Hidroklorida
1092 Kapsul Piroksikam 1139 Tablet Propranolol Hidroklorida
1093 Tablet Piroksikam 1140 Protamin Sulfat
1094 Polietilen Glikol 1141 Injeksi Protamin Sulfat
1095 Polietilen Glikol 400 1142 Pseudoefedrin Hidroklorida
1096 Polimiksin B Sulfat 1143 Ramipril
1097 Polimiksin B untuk Injeksi 1144 Tablet Ramipril
1098 Polisorbat 20 1145 Ranitidin Hidroklorida
1099 Polisorbat 60 1146 Injeksi Ranitidin
1100 Polisorbat 80 1147 Tablet Ranitidin Hidroklorida
1101 Povidon Iodum 1148 Repaglinida
1102 Larutan Topikal Povidon Iodum 1149 Tablet Repaglinida
1103 Pravastatin Natrium 1150 Reserpin
1104 Tablet Pravastatin Natrium 1151 Tablet Reserpin
1105 Prazikuantel 1152 Resorsinol
1106 Tablet Prazikuantel 1153 Ribavirin
1107 Prazosin Hidroklorida 1154 Tablet Ribavirin
1108 Tablet Prazosin Hidroklorida 1155 Riboflavin
1109 Prednisolon 1156 Riboflavin Natrium Fosfat
1110 Krim Prednisolon 1157 Rifampisin
1111 Tablet Prednisolon 1158 Kapsul Rifampisin
1112 Prednisolon Asetat 1159 Suspensi Oral Rifampisin
1113 Suspensi Tetes Mata Prednisolon 1160 Tablet Rifampisin
Asetat 1161 Rifampisin untuk Injeksi
1114 Prednison 1162 Kapsul Rifampisin dan Isoniazid
1115 Tablet Prednison 1163 Tablet Rifampisin, Isoniazid dan
1116 Primakuin Fosfat Pirazinamida
1117 Tablet Primakuin Fosfat 1164 Tablet Rifampisin, Isoniazid,
1118 Probenesid Pirazinamida dan Etambutol
1119 Tablet Probenesid Hidroklorida
1120 Progesteron 1165 Risedronat Natrium
1121 Prokain Hidroklorida 1166 Tablet Risedronat Natrium
1122 Injeksi Prokain Hidroklorida 1167 Risperidon
1123 Prokain Penisilin G 1168 Tablet Risperidon
1124 Prokainamida Hidroklorida 1169 Ritonavir
1125 Prometazin Hidroklorida 1170 Tablet Rosuvastatin
1126 Injeksi Prometazin Hidroklorida 1171 Rosuvastatin Kalsium
1127 Larutan Oral Prometazin Hidroklorida 1172 Sakarin
1173 Sakarin Natrium 1220 Tablet Sefradin
1174 Sakarosa 1221 Sefradin untuk Injeksi
1175 Salbutamol 1222 Sefradin untuk Suspensi Oral
1176 Salbutamol Sulfat 1223 Seftazidim
1177 Injeksi Salbutamol 1224 Injeksi Seftazidim
1178 Larutan Oral Salbutamol 1225 Seftazidim untuk Injeksi
1179 Tablet Salbutamol 1226 Seftizoksim Natrium
1180 Salisilamida 1227 Injeksi Seftizoksim
1181 Sefadroksil 1228 Seftizoksim untuk Injeksi
1182 Kapsul Sefadroksil 1229 Seftriakson Natrium
1183 Tablet Sefadroksil 1230 Injeksi Seftriakson
1184 Sefadroksil untuk Suspensi Oral 1231 Seftriakson untuk Injeksi
1185 Sefaklor 1232 Sefuroksim Aksetil
1186 Kapsul Sefaklor 1233 Tablet Sefuroksim Aksetil
1187 Sefaklor untuk Suspensi Oral 1234 Sefuroksim Natrium
1188 Sefaleksin 1235 Sefuroksim untuk Injeksi
1189 Sefaleksin Hidroklorida 1236 Selenium Sulfida
1190 Kapsul Sefaleksin 1237 Sertralin Hidroklorida
1191 Tablet Sefaleksin 1238 Tablet Sertralin Hidroklorida
1192 Sefaleksin untuk Suspensi Oral 1239 Setil Alkohol
1193 Sefamandol Nafat 1240 Setilpiridinium Klorida
1194 Sefamandol Nafat untuk Injeksi 1241 Setirizin Hidroklorida
1195 Sefazolin 1242 Larutan Oral Setirizin Hidroklorida
1196 Injeksi Sefazolin 1243 Tablet Setirizin Hidroklorida
1197 Sefazolin Natrium 1244 Setrimida
1198 Sefazolin untuk Injeksi 1245 Sianokobalamin
1199 Sefepim Hidroklorida 1246 Injeksi Sianokobalamin
1200 Sefepim untuk Injeksi 1247 Tablet Sianokobalamin
1201 Sefiksim 1248 Siklofosfamida
1202 Tablet Sefiksim 1249 Tablet Siklofosfamida
1203 Sefiksim untuk Suspensi Oral 1250 Siklofosfamida untuk Injeksi
1204 Sefoperazon Natrium 1251 Sikloserin
1205 Injeksi Sefoperazon 1252 Kapsul Sikloserin
1206 Sefoperazon untuk Injeksi 1253 Siklosporin
1207 Sefoperazon Natrium dan Sulbaktam 1254 Injeksi Siklosporin
Natrium untuk Injeksi 1255 Kapsul Siklosporin
1208 Sefotaksim Natrium 1256 Larutan Oral Siklosporin
1209 Injeksi Sefotaksim 1257 Silostazol
1210 Sefotaksim untuk Injeksi 1258 Tablet Silostazol
1211 Sefotiam Hidroklorida 1259 Simetidin
1212 Sefotiam untuk Injeksi 1260 Tablet Simetidin
1213 Sefpodoksim Proksetil 1261 Simetikon
1214 Tablet Sefpodoksim Proksetil 1262 Simvastatin
1215 Sefprozil 1263 Tablet Simvastatin
1216 Tablet Sefprozil 1264 Siprofloksasin Hidroklorida
1217 Sefprozil untuk Suspensi Oral 1265 Siprofloksasin Injeksi
1218 Sefradin 1266 Siprofloksasin Tablet
1219 Kapsul Sefradin 1267 Siprofloksasin Tetes Mata
1268 Siproheptadin Hidroklorida 1313 Tamoksifen Sitrat
1269 Tablet Siproheptadin Hidroklorida 1314 Tablet Tamoksifen Sitrat
1270 Sisplatin 1315 Telmisartan
1271 Sisplatin untuk Injeksi 1316 Tablet Telmisartan
1272 Sistein Hidroklorida 1317 Tenoksikam
1273 Sitarabin 1318 Teofilin
1274 Injeksi Sitarabin 1319 Tablet Teofilin
1275 Sitarabin untuk Injeksi 1320 Terazosin Hidroklorida
1276 Sorbitol 1321 Tablet Terazosin
1277 Spiramisin 1322 Terbinafin Hidroklorida
1278 Spironolakton 1323 Tablet Terbinafin
1279 Tablet Spironolakton 1324 Terbutalin Sulfat
1280 Spon Gelatin 1325 Injeksi Terbutalin Sulfat
1281 Stanozolol 1326 Tablet Terbutalin Sulfat
1282 Stavudin 1327 Testosteron Enantat
1283 Kapsul Stavudin 1328 Injeksi Testosteron Enantat
1284 Stavudin untuk Larutan Oral 1329 Testosteron Propionat
1285 Streptomisin sulfat 1330 Injeksi Testosteron Propionat
1286 Injeksi Streptomisin sulfat 1331 Tetrahidrozolin Hidroklorida
1287 Streptomisin untuk Injeksi 1332 Tetrakain
1288 Sufentanil Sitrat 1333 Tetrakain Hidroklorida
1289 Injeksi Sufentanil Sitrat 1334 Tetes Mata Tetrakain Hidroklorida
1290 Sukralfat 1335 Tetrasiklin
1291 Tablet Sukralfat 1336 Tetrasiklin Hidroklorida
1292 Sulbaktam Natrium 1337 Kapsul Tetrasiklin Hidroklorida
1293 Sulfadiazin 1338 Salep Mata Tetrasiklin Hidroklorida
1294 Tablet Sulfadiazin 1339 Tiamfenikol
1295 Sulfadimidin 1340 Tiamin Hidroklorida
1296 Sulfadoksin 1341 Injeksi Tiamin Hidroklorida
1297 Tablet Sulfadoksin dan Pirimetamin 1342 Tablet Tiamin Hidroklorida
1298 Sulfamerazin 1343 Tiamin Mononitrat
1299 Sulfametizol 1344 Timerosal
1300 Sulfametoksazol 1345 Timolol Maleat
1301 Injeksi Sulfametoksazol dan 1346 Tetes Mata Timolol Maleat
Trimetoprim 1347 Tiokonazol
1302 Suspensi Oral Sulfametoksazol dan 1348 Tiopental Natrium
Trimetoprim 1349 Tiopental Natrium untuk Injeksi
1303 Tablet Sulfametoksazol dan 1350 Tobramisin
Trimetoprim 1351 Injeksi Tobramisin
1304 Sulfasalazin 1352 Salep Mata Tobramisin
1305 Tablet Lepas Tunda Sulfasalazin 1353 Tetes Mata Tobramisin
1306 Sulfasetamida 1354 Tobramisin untuk Injeksi
1307 Sulfasetamida Natrium 1355 Tolbutamida
1308 Salep Mata Sulfasetamida Natrium 1356 Tablet Tolbutamida
1309 Tetes Mata Sulfasetamida Natrium 1357 Topiramat
1310 Sumatriptan 1358 Tablet Topiramat
1311 Sumatriptan Suksinat 1359 Tragakan
1312 Talk 1360 Tramadol Hidroklorida
1361 Injeksi Tramadol Hidroklorida 1391 Verapamil Hidroklorida
1362 Tablet Tramadol Hidroklorida 1392 Injeksi Verapamil Hidroklorida
1363 Travoprost 1393 Tablet Verapamil Hidroklorida
1364 Tetes Mata Travoprost 1394 Vinblastin Sulfat
1365 Triamsinolon 1395 Vinblastin Sulfat untuk Injeksi
1366 Tablet Triamsinolon 1396 Vinkristin Sulfat
1367 Triamsinolon Asetonida 1397 Injeksi Vinkristin Sulfat
1368 Injeksi Suspensi Triamsinolon 1398 Vinkristin Sulfat untuk Injeksi
Asetonida 1399 Vinorelbin Tartrat
1369 Trifluoperazin Hidroklorida 1400 Injeksi Vinorelbin
1370 Tablet Trifluoperazin Hidroklorida 1401 Vitamin A
1371 Triheksifenidil Hidroklorida 1402 Kapsul Vitamin A
1372 Tablet Triheksifenidil Hidroklorida 1403 Warfarin Kalium
1373 Trimetoprim 1404 Warfarin Natrium
1374 Tablet Trimetoprim 1405 Tablet Warfarin Natrium
1375 Tripelenamin Hidroklorida 1406 Xilometazolin Hidroklorida
1376 Triprolidin Hidroklorida 1407 Tetes Hidung Xilometazolin
1377 Tropikamida Hidroklorida
1378 Tetes Mata Tropikamida 1408 Zidovudin
1379 Tubokurarin Klorida 1409 Injeksi Zidovudin
1380 Urea 1410 Kapsul Zidovudin
1381 Krim Urea 1411 Larutan Oral Zidovudin
1382 Valgansiklovir Hidroklorida 1412 Tablet Zidovudin
1383 Tablet Valgansiklovir 1413 Zink Asetat
1384 Valsartan 1414 Larutan Oral Zink Asetat
1385 Tablet Valsartan 1415 Zink Klorida
1386 Vanilin 1416 Zink Oksida
1387 Vankomisin Hidroklorida 1417 Zink Sulfat
1388 Vaselin Kuning 1418 Larutan Oral Zink Sulfat
1389 Vaselin Putih 1419 Tablet Zink Sulfat
1390 Vekuronium Bromida 1420 Zink Undesilenat

1.5 SEDIAAN UMUM


1.5.1 AEROSOL
Aerosol farmasetik adalah sediaan yang dikemas di bawah tekanan,
mengandung zat aktif terapetik yang dilepas pada saat sistem katup yang sesuai ditekan.
Sediaan ini digunakan untuk pemakaian topikal pada kulit dan juga pemakaian lokal
pada hidung (aerosol nasal), mulut (aerosol lingual) atau paru-paru (aerosol inhalasi).
Istilah “aerosol” digunakan untuk sediaan semprotan kabut tipis dari suatu sistem
bertekanan tinggi. Tetapi istilah aerosol telah disalah-artikan pada semua jenis sediaan
bertekanan, sebagian diantaranya melepaskan busa atau cairan setengah padat. Dalam
hal Aerosol inhalasi, ukuran partikel obat harus dikontrol dan ukuran rata-rata partikel
harus lebih kecil dari 5 μm. Sediaan ini juga dikenal sebagai inhaler dosis terukur (lihat
Inhalasi). Jenis aerosol lain dapat mengandung partikel-partikel berdiameter beberapa
ratus mikrometer. Komponen-komponen dasar sistem aerosol adalah wadah, propelan,
konsentrat mengandung zat aktif, katup dan penyemprot. Sifat komponen-komponen
ini menentukan karakteristik distribusi ukuran partikel, keseragaman pelepasan dari
katup untuk katup terukur, kecepatan pelepasan, kebasahan dan suhu semprotan, bobot
jenis busa atau kekentalan cairan.
Jenis aerosol Aerosol terdiri dari sistem dua fase (gas dan cair) atau sistem tiga
fase (gas, cair dan padat atau cair). Sistem dua fase terdiri dari larutan zat aktif dalam
propelan cair dan propelan bentuk uap. Pelarut yang digunakan terdiri dari propelan
atau campuran propelan dan kosolven seperti etanol, propilenglikol dan polietilen glikol
yang sering digunakan untuk menambah kelarutan zat aktif.
Sistem tiga fase terdiri terdiri dari suspensi atau emulsi zat aktif dan propelan
bentuk uap. Suspensi terdiri dari zat aktif yang dapat didispersikan dalam sistem
propelan dengan zat tambahan yang sesuai seperti zat pembasah dan atau bahan
pembawa padat seperti talk dan silika koloidal.
Aerosol busa adalah emulsi yang mengandung satu atau lebih zat aktif,
surfaktan, cairan mengandung air atau tidak mengandung air dan propelan. Jika
propelan berada dalam fase internal (misalnya tipe minyak dalam air), akan
menghasilkan busa stabil, dan jika propelan berada dalam fase eksternal (misalnya air
dalam minyak), akan menghasilkan semprotan atau busa yang kurang stabil.
Propelan Dalam sistem aerosol propelan memberi tekanan yang dibutuhkan
untuk mengeluarkan bahan dari wadah, dan dalam kombinasi dengan komponen lain,
mengubah bahan ke bentuk fisik yang diinginkan. Secara umum propelan
diklasifikasikan sebagai gas yang dicairkan atau gas dimampatkan; umumnya
mempunyai tekanan atau gas dimampatkan; umumnya mempunyai tekanan uap lebih
besar dari tekanan atmosfer. Menurut definisi ini propelan meliputi berbagai
hidrokarbon, khususnya turunan fluoroklorometan dan etan, hidrokarbon dengan bobot
molekut rendah seperti butan dan pentan dan gas mampat seperti karbon dioksida,
nitrogen dan nitrosa. Campuran propelan sering digunakan untuk memperoleh
karakteristik tekanan, pelepasan dan semprotan yang diinginkan. Sistem propelan yang
baik harus mempunyai tekanan uap yang tepat sesuai dengan komponen aerosol
lainnya.
Katup Fungsi utama katup adalah mengatur aliran zat terapetik dan propelan
dari wadah. Karakteristik semprotan aerosol dipengaruhi oleh ukuran, jumlah dan
lokasi lubang. Sebagian besar katup aerosol dirancang untuk penyemprotan yang terus
menerus dan digunakan pada sediaan topikal. Namun, sediaan farmasi untuk inhalasi
oral atau inhalasi nasal kering menggunakan katup dosis terukur yang harus
memberikan jumlah semprotan seragam jika katup ditekan. Ketepatan dan keterulangan
dosis yang dilepaskan dari katup terukur umumnya baik, sebanding dengan
keseragaman bentuk sediaan padat seperti tablet dan kapsul. Tetapi jika kemasan
aerosol tidak disimpan secara baik, atau bila sediaan sudah lama tidak digunakan, fungsi
katup harus dipastikan sebelum digunakan. Bahan-bahan yang digunakan untuk
pembuatan katup harus inert terhadap formula yang digunakan. Komponen katup
umumnya plastik, karet, aluminium dan baja tahan karat. Katup dosis terukur harus
melepaskan dosis yang tepat dalam batas tertentu.
Penyemprot Penyemprot adalah alat yang dilekatkan pada batang katup aerosol
yang jika ditekan atau digerakkan, membuka katup dan mengatur semprotan yang
mengandung obat ke daerah yang diinginkan. Penyemprot umumnya menunjukkan arah
penyemprotan dan melindungi tangan atau jari dari efek beku propelan. Penyemprot
menyatu dengan lubang penyemprotan yang ukuran dan bentuknya dapat sangat
beragam. Ukuran lubang penyemprotan, desain wadah, sifat propelan dan formulasi
mempengaruhi karakteristik fisik semprotan, busa atau aliran partikel padat yang
dikeluarkan. Untuk aerosol inhalasi atau aerosol oral, digunakan penyemprotan yang
mampu mengeluarkan obat dalam rentang ukuran partikel yang tepat.
Wadah Wadah aerosol biasanya dibuat dari kaca, plastik atau logam, atau
kombinasi bahan-bahan ini. Wadah kaca harus dirancang teliti untuk memberikan
keamanan tekanan maksimum dan tahan tekanan. Plastik dapat digunakan untuk
melapisi wadah kaca guna meningkatkan karakteristik keamanan atau untuk melapisi
wadah logam guna memperbaiki daya tahan terhadap korosi dan memperbesar stabilitas
formula. Logam yang sesuai meliputi baja tahan karat, aluminium dan baja yang dilapis
timah.
Pembuatan Aerosol biasanya dibuat dengan salah satu dari dua proses berikut
ini. Pada proses pengisian dengan pendinginan, konsentrat (umumnya didinginkan
sampai suhu dibawah 0) dan propelan dingin diukur dengan wadah terbuka (biasanya
didinginkan). Katup penyemprot kemudian dipasang pada wadah hingga membentuk
tutup kedap tekanan. Selama interval antara penambahan propelan dan pemasangan
katup terjadi penguapan propelan yang cukup untuk mengeluarkan udara dari wadah.
Pada metode pengisian dengan tekanan, konsentrat ditempatkan dalam wadah,
dan propelan ditekan melalui lubang katup sesudah katup ditutup; atau propelan
dibiarkan mengalir di bawah tutup katup, kemudian katup ditutup (pengisian di bawah
tutup), Pada kedua metode pengisian dengan tekanan, harus diusahakan agar terjadi
pengosongan udara dengan alat hampa udara atau dengan pemindahan menggunakan
sejumlah kecil propelan.
Pengendalian proses pembuatan biasanya meliputi pemantauan formulasi yang
sesuai dan bobot pengisian propelan serta uji tekanan dan uji kebocoran pada produk
akhir aerosol.
Penandaan Pada penandaan sediaan aerosol obat dicantumkan sekurang-
kurangnya peringatan-peringatan berikut sesuai peraturan yang berlaku.
Peringatan Hindari penghirupan. Jauhkan dari mata atau selaput lendir lain.
Pernyataan ”Hindari penghirupan” tidak diperlukan pada sediaan yang
digunakan untuk inhalasi.
Pernyataan “atau selaput lendir lain” tidak diperlukan untuk sediaan yang
digunakan untuk selaput lendir.
Peringatan Isi bertekanan. Wadah jangan ditusuk atau dibakar. Hindari dari
panas atau simpan pada suhu di bawah 49. Jauhkan dari jangkauan anak-anak.
Selain peringatan tersebut di atas, penandaan obat yang dikemas dalam wadah
aerosol yang mengandung propelan, yang seluruhnya atau sebagian terdiri dari
halokarbon atau hidrokarbon, dicantumkan peringatan berikut sesuai peraturan yang
berlaku.
Peringatan Tidak boleh langsung dihirup, penghirupan secara sengaja dapat
menyebabkan kematian.
Peringatan Gunakan hanya sesuai petunjuk; penggunaan salah dengan sengaja
menghirup isi dapat berbahaya atau berakibat fatal.

1.5.2 EMULSI
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi minyak
dalam air. Sebaliknya, jika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi dan
minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi
air dalam minyak. Emulsi memiliki fase terdispersi biasanya dalam ukuran antara 0,1
dan 100 µm. Mikroemulsi mempunyai fase terdispersi berukuran kurang dari 0,1 µm.
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu
fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara
menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan dengan membuat
batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi
tegangan antar permukaan antara fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi
selama pencampuran.
Polimer hidrofilik alam, semisintetik dan sintetik dapat digunakan bersama
surfaktan pada emulsi minyak dalam air karena akan terakumulasi pada antar
permukaan dan juga meningkatkan kekentalan fase air, sehingga mengurangi kecepatan
pembentukan agregat tetesan. Agregasi biasanya diikuti dengan pemisahan emulsi yang
relatif cepat menjadi fase yang banyak butiran dan sedikit tetesan. Secara normal
kerapatan minyak lebih rendah dari kerapatan air, sehingga jika tetesan minyak dan
agregat tetesan meningkat, terbentuk krim. Makin besar kecepatan agregasi, makin
besar ukuran tetesan dan makin besar pula kecepatan pembentukan krim. Tetesan air
dalam emulsi air dalam minyak biasanya membentuk sedimen disebabkan oleh
kerapatan yang lebih besar.
Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang
hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam air dibuat pada suhu tinggi,
berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan menjadi
padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak diperlukan
perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal yang tinggi untuk
menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim asam stearat atau krim pembersih
adalah setengah padat dengan fase internal hanya 15%. Sifat setengah padat emulsi air
dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase eksternal setengah padat.
Semua emulsi memerlukan bahan antimikroba karena fase air mempermudah
pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengawet sangat penting dalam emulsi minyak
dalam air karena kontaminasi fase eksternal mudah terjadi. Karena jamur dan ragi lebih
sering ditemukan daripada bakteri, lebih diperlukan yang bersifat fungistatik dan
bakteriostatik. Bakteri ternyata dapat menguraikan bahan pengemulsi nonionik dan
anionik, gliserin, dan sejumlah bahan penstabil alam seperti tragakan dan gom guar.
Kesulitan muncul pada pengawetan sistem emulsi, sebagai akibat memisahnya
bahan antimikroba dari fase air yang sangat memerlukannya, atau terjadinya
kompleksasi dengan bahan pengemulsi yang akan mengurangi efektivitas. Karena itu,
efektivitas sistem pengawetan harus selalu diuji pada sediaan akhir. Pengawet yang
biasa digunakan dalam emulsi adalah metil-, etil-, propil-, dan butil-paraben, asam
benzoat, dan senyawa amonium kuaterner.

1.5.3 EKSTRAK DAN EKSTRAK CAIR


Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua
pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga
memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara
perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan dengan cara destilasi dengan
pengurangan tekanan, agar bahan utama obat sesedikit mungkin terkena panas.
Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia, yang mengandung etanol sebagai
pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai pelarut dan pengawet. Jika tidak dinyatakan
lain pada masing-masing monografi, tiap ml ekstrak mengandung bahan aktif dari 1 g
simplisia yang memenuhi syarat.
Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat didiamkan dan disaring
atau bagian yang bening dienaptuangkan. Beningan yang diperoleh memenuhi
persyaratan Farmakope.

1.5.4 GEL
Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil
yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium
Hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif
besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma
Bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat
jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu
sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas dan hal ini tertera pada etiket (lihat
Suspensi).
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar merata dalam
suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
(misalnya Karbomer) atau dari gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan
disebut juga musilago. Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan
minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa. Sebagai contoh, minyak mineral dapat
dikombinasi dengan resin polietilena untuk membentuk dasar salep berminyak.
Gel dapat digunakan untuk obat yang pemberiannya secara topikal atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh.

1.5.5 IMUNOSERUM
Imunoserum adalah sediaan mengandung imunoglobulin khas yang diperoleh
dari serum hewan dengan pemurnian. Imunoserum mempunyai kekuatan khas mengikat
venin atau toksin yang dibentuk oleh bakteri, atau mengikat antigen bakteri, antigen
virus atau antigen lain yang digunakan untuk pembuatan sediaan.
Imunoserum diperoleh dari hewan sehat yang diimunisasi dengan penyuntikan
toksin atau toksoid, venin, suspensi mikroorganisme atau antigen lain yang sesuai.
Selama imunisasi hewan tidak boleh diberi penisilin. Imunoglobulin khas diperoleh dari
serum yang mengandung kekebalan dengan pengendapan fraksi dan perlakuan dengan
enzim atau dengan cara kimia atau fisika lain.
Dapat ditambahkan pengawet antimikroba yang sesuai dan ditambahkan serba
sama bila sediaan dikemas dalam dosis ganda. Sediaan akhir steril dibagi secara aseptik
dalam wadah steril dan ditutup kedap untuk menghindari kontaminasi. Alternatif lain,
setelah sediaan dibagikan dalam wadah steril dapat dibekukeringkan untuk mengurangi
kadar air hingga tidak lebih dari 1,0% b/b. Kemudian wadah ditutup kedap dalam
hampa udara atau diisi gas nitrogen bebas oksigen atau gas inert lain yang sesuai
sebelum ditutup kedap; pada setiap kasus wadah ditutup kedap sedemikian rupa untuk
meniadakan kontaminasi. Imunoserum direkonstitusi segera sebelum digunakan.
Imunoserum yang diperoleh dengan perlakuan enzim dan pengendapan fraksi
paling stabil pada pH 6. Metode pembuatan imunoserum sedemikian rupa sehingga
kehilangan aktivitas tidak lebih dari 5% per tahun bila disimpan pada pH 6 pada suhu
20 dan tidak lebih dari 20% per tahun bila disimpan pada suhu 37.
Imunoserum berupa cairan hampir tidak berwarna atau berwarna kuning pucat,
tidak keruh, dan hampir tidak berbau kecuali bau pengawet antimikroba yang
ditambahkan. Sediaan kering berupa padatan atau serbuk warna putih atau kuning
pucat, mudah larut dalam air membentuk larutan tidak berwarna atau warna kuning
pucat, dan mempunyai sifat sesuai dengan sediaan cair.
Imunoserum, bila perlu direkonstitusi seperti tertera pada label harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
pH <1071> Antara 6,0 sampai 7,0.
Protein total Tidak lebih dari 17%; lakukan penetapan seperti yang tertera pada
Penetapan Kadar Nitrogen dalam Produk Darah <591> Metode I. Hasil yang diperoleh
kalikan 6,25.
Albumin Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, jika ditetapkan secara
elektroforesis, imunoserum menunjukkan tidak lebih dari sesepora protein yang
mempunyai mobilitas albumin.
Protein asing Jika ditetapkan dengan uji pengendapan menggunakan
imunoserum khas, hanya mengandung protein galur hewan yang digunakan.
Fenol imunoserum yang mengandung fenol sebagai pengawet tidak lebih dari
0,25%, lakukan penetapan seperti yang tertera pada Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin
dan Imunoserum <731>.
Toksisitas abnormal Memenuhi syarat. Lakukan uji seperti tertera pada Uji
Reaktivitas secara Biologi invivo <251>.
Sterilitas Memenuhi syarat seperti yang tertera pada Uji Sterilitas <71>.
Potensi Lakukan penetapan potensi dengan membandingkan terhadap baku
menggunakan metode seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Hasil
dinyatakan dalam unit per ml.
Wadah dan penyimpanan Dalam wadah terlindung dari cahaya. Kecuali
dinyatakan lain, sediaan cair harus disimpan pada suhu 2 sampai 8, hindari pembekuan.
Penandaan Pada penandaan tertera: 1) Jumlah minimum unit per ml. 2) Dosis.
3) Tanggal kedaluwarsa. 4) Kondisi penyimpanan. 5) Volume rekonstitusi untuk serbuk
kering. 6) Bahan tambahan. 7) Nama spesies sumber imunoserum.

1.5.6 IMPLAN
Implan atau pelet adalah sediaan dengan massa padat steril berukuran kecil,
berisi obat dengan kemurnian tinggi (dengan atau tanpa eksipien), dibuat dengan cara
pengempaan atau pencetakan. Implan atau pelet dimaksudkan untuk ditanam di dalam
tubuh (biasanya secara subkutan) dengan tujuan untuk memperoleh pelepasan obat
secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama. Implan ditambahkan dengan
bantuan injektor khusus yang sesuai atau dengan sayatan bedah. Bentuk sediaan ini
digunakan untuk pemberian hormon seperti testosteron atau estradiol. Sediaan ini
dikemas masing-masing dalam vial atau lembaran kertas timah steril.

1.5.7 INHALASI
Inhalasi adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau lebih
bahan obat yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk memperoleh
efek lokal atau sistemik.
Larutan bahan obat dalam air steril atau dalam larutan natrium klorida untuk
inhalasi dapat disemprotkan menggunakan gas inert. Penyemprot hanya sesuai untuk
pemberian larutan inhalasi jika memberikan tetesan dengan ukuran cukup halus dan
seragam sehingga kabut dapat mencapai bronkioli. Semprotan larutan dapat diisap
langsung dari alat penyemprot dapat disambungkan pada masker plastik, selubung atau
alat pernapasan dengan tekanan positif yang terputus-putus.
Kelompok sediaan lain yang dikenal sebagai inhaler dosis terukur adalah
suspensi atau larutan obat dalam gas propelan cair dengan atau tanpa kosolven dan
dimaksudkan untuk memberikan dosis obat terukur ke dalam saluran pernapasan.
Inhaler dosis terukur mengandung dosis ganda, biasanya lebih dari beberapa ratus.
Volume dosis tunggal yang umum diberikan mengandung 25 l hingga 100 l (dapat juga
dinyatakan dalam mg) tiap kali semprot.
Serbuk dapat juga diberikan secara inhalasi, menggunakan alat mekanik secara
manual untuk menghasilkan tekanan atau inhalasi yang dalam bagi penderita yang
bersangkutan.
Jenis inhalasi khusus yang disebut inhalan terdiri dari satu atau kombinasi
beberapa obat, yang karena bertekanan uap tinggi, dapat terbawa oleh aliran udara ke
dalam saluran hidung dan memberikan efek. Wadah obat yang diberikan secara inhalasi
disebut inhaler.

1.5.8 INJEKSI
Sediaan parenteral adalah sediaan yang ditujukan untuk penyuntikan melewati
kulit atau batas jaringan eksternal lain, dimana zat aktif yang diberikan dengan adanya
gravitasi atau kekuatan, mengalir langsung ke pembuluh darah, organ, atau jaringan.
Sediaan parenteral dibuat dengan teliti menggunakan metode yang dirancang untuk
menjamin bahwa sediaan memenuhi persyaratan Farmakope untuk sterilitas, pirogen,
bahan partikulat, dan kontaminan lain dan bila perlu mengandung bahan penghambat
pertumbuhan mikroba. Injeksi adalah sediaan yang ditujukan untuk pemberian
parenteral, dapat dikonstitusi atau diencerkan dahulu menjadi sediaan sebelum
digunakan.
Istilah dan Definisi Istilah berikut menggolongkan 5 jenis tipe sediaan
parenteral yang umum. Sediaan dapat mengandung dapar, pengawet atau bahan
tambahan lain.
1. Injeksi [nama zat aktif]: sediaan cair yang berupa bahan obat atau larutannya;
2. [Nama zat aktif] untuk Injeksi : sediaan padat kering atau cairan pekat dengan atau
tanpa penambahan bahan pembawa yang sesuai, menghasilkan larutan yang
memenuhi persyaratan untuk injeksi;
3. Injeksi Emulsi [nama zat aktif] : sediaan cair zat aktif terlarut atau terdispersi pada
media emulsi yang sesuai;
4. Injeksi Suspensi [nama zat aktif] : sediaan cair dari padatan tersuspensi pada media
cair yang sesuai;
5. [Nama zat aktif] untuk Suspensi Injeksi: sediaan padat kering yang dengan
penambahan pembawa yang sesuai menghasilkan larutan yang memenuhi
persyaratan untuk suspensi injeksi.
Injeksi Volume Besar dan Injeksi Volume Kecil Dalam Farmakope, yang
dimaksud dengan Larutan Intravena volume besar adalah injeksi volume besar dosis
tunggal untuk intravena yang dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml.
Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml
atau kurang. Definisi sediaan steril untuk penggunaan parenteral pada umumnya tidak
berlaku untuk sediaan biologik karena sifat khusus dan persyaratan perizinan.
Zat Pembawa Air Air sebagai zat pembawa injeksi memenuhi syarat Uji
Pirogen <231>; atau Uji Endotoksin Bakteri <201> seperti yang tertera dalam
monografi. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, pada umumnya digunakan Air
untuk Injeksi sebagai zat pembawa. Natrium klorida dapat ditambahkan dalam jumlah
sesuai untuk memperoleh larutan isotonik. Injeksi Natrium Klorida atau Injeksi Ringer
dapat digunakan sebagian atau keseluruhan pengganti Air untuk Injeksi kecuali
dinyatakan lain dalam monografi. Penggunaan bahan tambahan lain, seperti yang
tertera pada Bahan Tambahan pada bab ini.
Zat pembawa lain Minyak tertentu dapat digunakan sebagai zat pembawa
injeksi bukan air adalah berasal dari tanaman; tidak berbau atau hampir tidak berbau,
dan tidak memiliki bau atau rasa tengik. Memenuhi persyaratan uji Parafin Padat seperti
tertera pada Minyak Mineral, pada tangas pendingin yang dipertahankan pada suhu 10º,
mempunyai Bilangan Penyabunan antara 185 dan 200, Bilangan Iodum antara 79 dan
128 seperti yang tertera pada Lemak dan Minyak Lemak <491>, dan memenuhi syarat
uji sebagai berikut:
Bahan Tak Tersabunkan Lakukan seperti tertera pada Lemak dan Minyak
Lemak <491>; tidak lebih dari 1,5%.
Asam Lemak Bebas Lakukan seperti tertera pada Lemak dan Minyak Lemak
<491>; tidak lebih dari 1,2.
Bilangan Peroksida Lakukan seperti tertera pada Lemak dan Minyak Lemak
<491>; tidak lebih dari 5,0.
Kadar Air <1031> Metode Ic Tidak lebih dari 0,1%
Tembaga, besi, timbal dan nikel [Catatan Uji untuk nikel tidak diperlukan jika
minyak tidak melalui proses hidrogenasi, atau tidak digunakan katalis tembaga pada
saat pengolahan] Lakukan seperti tertera pada Logam renik dalam Lemak dan Minyak
Lemak <491> Masing-masing untuk tembaga, besi, timbal dan nikel tidak lebih dari 1
bpj.
Monogliserida dan digliserida sintetik dari asam lemak dapat digunakan
sebagai zat pembawa apabila berupa cairan dan tetap jernih bila didinginkan pada suhu
10º dan mempunyai Bilangan Iodida tidak lebih dari 140 (lihat Lemak dan Minyak
Lemak <491>).
Bahan pembawa bukan air lain dapat digunakan apabila aman pemakaiannya
dalam volume injeksi yang digunakan. Juga apabila tidak mempengaruhi efek terapetik
sediaan atau mempengaruhi respons pada uji dan penetapan kadar.
Bahan tambahan Bahan tambahan yang sesuai dapat ditambahkan ke dalam
sediaan untuk injeksi untuk meningkatkan stabilitas atau efektivitas, kecuali dinyatakan
pada masing-masing monografi, dan bila bahan tambahan tidak berbahaya dalam
jumlah yang digunakan dan tidak mengganggu efek terapetik atau respons pada uji dan
penetapan kadar. Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, kecuali hanya untuk
mewarnai sediaan akhir seperti yang tertera pada Bahan Tambahan dalam Ketentuan
Umum dan Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba <61>.
Bahan atau campuran bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan
mikroba harus ditambahkan dalam injeksi yang dikemas dalam wadah dosis ganda
tanpa memperhatikan metode sterilisasi yang digunakan, kecuali salah satu dari kondisi
berikut : (1) dinyatakan berbeda dalam masing-masing monografi; (2) bahan
mengandung radionuklida dengan waktu paruh fisika kurang dari 24 jam; dan (3) zat
aktif sudah merupakan antimikroba. Beberapa bahan digunakan dalam kadar untuk
mencegah pertumbuhan atau membunuh mikroba dalam sediaan injeksi. Bahan tersebut
harus memenuhi syarat seperti tertera pada Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba
<61>. dan Kandungan Zat Antimikroba <441>. Proses sterilisasi tetap dilakukan
meskipun mengandung bahan tambahan tersebut (lihat Bahan Tambahan dalam
Ketentuan Umum dan Sterilisasi Jaminan Sterilitas Bahan Kompendial <1371>). Udara
dalam wadah dapat dihilangkan atau diganti dengan gas inert. Bila injeksi sensitif
terhadap oksigen, informasi tersebut harus tertera dalam penandaan.
Penandaan Pada etiket minimal tertera nama sediaan; pada sediaan cair
tertera kandungan obat atau jumlah obat pada volume tertentu, untuk sediaan kering
tertera jumlah zat aktif; cara penggunaan; kondisi penyimpanan, dan tanggal
kedaluwarsa; nama dan alamat pabrik pembuat; pengemas atau distributor; identifikasi
nomor bets/lot dan nomor izin edar. Nomor bets/lot harus dapat memberikan informasi
tentang riwayat pengemasan spesifik termasuk proses produksi, pengisian, sterilisasi,
dan penandaan.
Bila dalam monografi tertera berbagai kadar zat aktif dalam sediaan parenteral
maka kadar masingmasing komponen disebut dengan nama umum misalnya Injeksi
Dekstrosa 5 % atau Injeksi Dekstrosa (5%) dan injeksi Natrium Klorida (0,2%).
Penandaan mencakup informasi berikut kecuali dinyatakan lain dalam masing-
masing monografi : (1) untuk sediaan cair, persentase isi atau jumlah setiap komponen
dalam volume tertentu, kecuali bahan yang ditambahkan untuk penyesuaian pH atau
untuk membuat larutan isotonik, dapat dinyatakan dengan nama dan pernyataan fungsi
bahan tersebut, (2) untuk sediaan kering atau sediaan yang memerlukan pengenceran
sebelum digunakan: jumlah tiap komponen, komposisi pengencer yang dianjurkan
(nama, bila formula disebutkan dalam masing-masing monografi); jumlah cairan
pengencer yang ditambahkan untuk mendapatkan kadar tertentu dari bahan aktif atau
volume akhir dari larutan yang diperoleh; cara penyimpanan larutan terkonstitusi;
tanggal kedaluwarsa yaitu batas waktu larutan terkonstitusi masih memenuhi syarat
potensi seperti tertera pada etiket bila disimpan seperti yang dianjurkan.
Wadah untuk injeksi yang akan digunakan untuk dialisis, hemofiltrasi atau
cairan irigasi dan volume lebih dari 1 liter, diberi penandaan bahwa sediaan tidak
digunakan untuk infus intravena.
Pemberian etiket pada wadah sedemikian rupa sehingga sebagian wadah tidak
tertutup oleh etiket, untuk mempermudah pemeriksaan isi secara visual.
Wadah Untuk Injeksi Wadah untuk sediaan injeksi termasuk penutup tidak
boleh berinteraksi secara fisika maupun kimia dalam bentuk apapun dengan sediaan,
yang dapat mengubah kekuatan, kualitas atau kemurnian di luar persyaratan resmi
dalam kondisi penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan dan
penggunaannya. Wadah terbuat dari bahan yang dapat mempermudah pengamatan
terhadap isi. Tipe kaca untuk tiap sediaan parenteral umumnya dinyatakan dalam
masing-masing monografi. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,
wadah plastik dapat digunakan untuk pengemasan injeksi seperti yang tertera pada
Wadah <1271>.
Definisi wadah dosis tunggal dan dosis ganda, tertera pada Wadah dalam
Ketentuan Umum. Wadah untuk injeksi memenuhi persyaratan seperti yang tertera
pada Wadah <1271>.
Wadah ditutup dan disegel dengan berbagai cara untuk mencegah kontaminasi
atau kehilangan isi. Validasi integritas wadah harus menunjukkan tidak ada penetrasi
kontaminasi mikroba atau cemaran kimia atau fisika. Sebagai tambahan, wadah harus
dapat mempertahankan jumlah total dan jumlah relatif atau kadar dari zat terlarut dan
pembawa bila terpapar kondisi ekstrem pada proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan distribusi. Penutup wadah dosis ganda harus memungkinkan
pengambilan isi tanpa membuka atau merusak penutup. Penutup harus memungkinkan
penetrasi oleh jarum suntik dan pada waktu jarum suntik dicabut, segera menutup untuk
melindungi wadah dari kontaminasi. Validasi integritas wadah dosis ganda harus
termasuk verifikasi seperti pencegah kontaminasi mikroba atau hilangnya isi produk
untuk mengantisipasi penusukan berulang pada penggunaan.
Wadah untuk sediaan padat steril Wadah termasuk penutup untuk sediaan
padat kering yang ditujukan untuk penggunaan parenteral harus tidak berinteraksi
secara fisika maupun kimia dengan sediaan, yang dapat mengubah kekuatan, mutu atau
kemurnian di luar persyaratan resmi dalam kondisi penanganan, pengangkutan,
penyimpanan, penjualan dan penggunaannya.
Wadah untuk sediaan padat steril memungkinkan penambahan pelarut yang
sesuai dan pengambilan sejumlah volume tertentu larutan atau suspensi yang dihasilkan
sedemikian rupa sehingga sterilitas produk dapat dipertahankan.
Bila Penetapan kadar dalam monografi memberikan suatu prosedur untuk
penyiapan Larutan uji, pada pengambilan isi keseluruhan dari satu wadah dosis tunggal
menggunakan alat suntik dan jarum suntik hipodermik, isi harus diambil sesempurna
mungkin dengan alat suntik hipodermik kering dengan kapasitas tidak lebih dari tiga
kali volume yang akan diambil dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang
tidak kurang dari 2,5 cm. Dengan hati-hati keluarkan gelembung udara, dan masukkan
ke dalam wadah untuk pengenceran dan penetapan kadar.
Isi Wadah Setiap wadah injeksi diisi sedikit berlebih dari jumlah yang tertera
pada etiket atau volume yang akan diambil. Kelebihan volume yang dianjurkan dalam
tabel yang tertera pada Penetapan Volume Injeksi dalam wadah <1131>, umumnya
cukup untuk memenuhi volume pengambilan dan pemakaian seperti yang tertera pada
etiket.
Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah Suspensi dan emulsi harus
dikocok sebelum pengambilan isi dan sebelum penetapan bobot jenis. Sediaan
berminyak dan kental dapat dihangatkan jika perlu, dan kocok kuat, segera keluarkan
isinya. Isi kemudian didinginkan pada 20º sampai 25º sebelum pengukuran volume.
Sediaan padat steril harus direkonstitusi sesuai dengan yang tertera pada etiket sebelum
mengeluarkan isinya. Kemudian ukur isi sesuai prosedur untuk suspensi, emulsi atau
larutan.
Wadah dosis tunggal Memenuhi syarat Penetapan Volume Injeksi dalam
Wadah <1131>.
Wadah dosis ganda Untuk wadah injeksi dosis ganda dengan etiket
menyebutkan jumlah dosis dalam volume tertentu, pilih satu wadah, lakukan seperti
pada Wadah dosis tunggal, menggunakan sejumlah siring terpisah berukuran sama
dengan ukuran disesuaikan volume yang ditetapkan. Volume yang dipindahkan dari
tiap siring tidak kurang dari volume dosis yang ditetapkan.
Larutan intravena volume besar Untuk larutan intravena, pilih 1 wadah.
Pindahkan isi ke dalam gelas ukur kering dengan kapasitas volume yang akan diukur
tidak kurang dari 40% volume nominal gelas ukur. Ukur volume yang dipindahkan.
Volume tidak kurang dari volume nominal.
Pengemasan dan Penyimpanan Volume Injeksi wadah dosis tunggal dapat
memberikan jumlah tertentu untuk pemakaian parenteral sekali pakai dan tidak ada
yang memungkinkan pengambilan isi dan pemberian sebesar 1 liter.
Sediaan untuk pemberian intraspinal, intrasisternal atau pemakaian peridural
dikemas hanya dalam wadah dosis tunggal.
Bila tidak dinyatakan lain dalam monografi, tidak ada wadah dosis ganda yang
berisi sejumlah volume Injeksi yang memungkinkan pengambilan sebesar 30 ml.
Injeksi yang dikemas untuk digunakan sebagai larutan irigasi, hemofiltrasi,
dialisis atau untuk nutrisi secara parenteral dibebaskan dari pembatasan pengemasan di
atas. Wadah untuk injeksi yang dikemas untuk larutan hemofiltrasi atau larutan irigasi
dapat dirancang agar kosong dengan cepat dan boleh berisi lebih dari 1 liter.
Bahan Asing dan Bahan Partikulat Seluruh sediaan yang ditujukan untuk
penggunaan parenteral harus dibuat sedemikian rupa untuk mendeteksi bahan partikulat
seperti yang didefinisikan dalam Bahan Partikulat Dalam Injeksi <751>. Setiap wadah
sediaan parenteral harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya bahan asing dan
bahan partikulat (selanjutnya disebut sebagai “partikulat visibel”) di dalam isi. Proses
pemeriksaan harus dirancang dan dikualifikasi untuk menjamin bahwa setiap lot dari
seluruh sediaan parenteral bebas dari partikulat visibel. Setiap wadah yang isinya
menunjukkan adanya partikulat visibel harus ditolak. Pemeriksaan partikulat visibel
dapat dilakukan dengan pemeriksaan efek kritikal lainnya seperti retak atau pecahnya
wadah atau segel atau pada saat karakterisasi penampilan fisik sediaan terliofilisasi.
Bila sifat isi atau sistem penutup wadah memungkinkan hanya pengawasan
terbatas dari isi keseluruhan, pengawasan 100% terhadap lot harus dilengkapi dengan
pemeriksaan terhadap isi (contoh pengeringan) atau mengeluarkan isi dari wadah
(contoh wadah berwarna coklat gelap) dari sebuah lot.
Semua injeksi volume besar untuk infus dosis tunggal dan injeksi volume kecil
harus melalui uji pengaburan cahaya dan prosedur mikroskopik untuk bahan partikulat
subvisibel seperti tertera pada Bahan Partikulat dalam Injeksi <751> kecuali
dinyatakan lain dalam masing-masing monografi.
Larutan untuk injeksi dengan pemberian secara intramuskular atau subkutan
harus memenuhi persyaratan seperti yang tertera pada Bahan Partikulat dalam Injeksi
<751>.
Kemasan parenteral dengan penandaan khusus untuk penggunaan sebagai
larutan irigasi dan sediaan radiofarmaka, dikecualikan dari persyaratan seperti yang
tertera pada Bahan Partikulat dalam Injeksi <751>. Sediaan parenteral yang pada etiket
dinyatakan untuk penggunaan disaring terlebih dahulu pada tahap akhir sebelum
digunakan, dikecualikan dari persyaratan yang tertera pada Bahan Partikulat dalam
Injeksi <751>, dengan menyediakan data ilmiah untuk mendukung pengecualian ini.
Sterilitas Sediaan untuk injeksi memenuhi persyaratan pada Uji Sterilitas
<71>.
Larutan Terkonstitusi Pada sediaan padat kering yang akan dibuat menjadi
larutan terkonstitusi untuk injeksi diberi nama sesuai bentuknya [Nama zat aktif] untuk
Injeksi. Untuk menjamin mutu sediaan injeksi sebagaimana diberikan, uji yang tidak
merusak sediaan injeksi seperti berikut ini dilakukan untuk memperlihatkan kesesuaian
larutan terkonstitusi pada saat sebelum digunakan.
Kesempurnaan melarut dan kejernihan larutan Konstitusi larutan seperti
yang tertera pada etiket untuk sediaan kering steril.
A. Sediaan padat larut sempurna, tidak terdapat residu yang tampak sebagai
bahan tak terlarut.
B. Kejernihan larutan terkonstitusi harus sama secara signifikan dari volume
yang sama dengan pengencer atau Air Murni dalam wadah serupa dan diperiksa dengan
cara yang sama.
Bahan partikulat Konstitusi larutan seperti yang tertera pada etiket untuk
sediaan kering steril: larutan bebas dari partikel bahan asing yang dapat diamati secara
visual.

1.5.9 IRIGASI
Irigasi adalah larutan steril yang digunakan untuk mencuci atau membersihkan
luka terbuka atau rongga-rongga tubuh. Pemakaiannya secara topikal, tidak boleh
digunakan secara parenteral. Pada etiket diberi tanda bahwa sediaan ini tidak dapat
digunakan untuk injeksi.

1.6.0 KAPSUL
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin; tetapi dapat juga
terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi
dari nomor paling kecil (5) sampai nomor paling besar (000). Umumnya ukuran nomor
00 adalah ukuran terbesar yang dapat diberikan kepada pasien. Ada juga kapsul gelatin
keras ukuran 0 dengan bentuk memanjang (dikenal sebagai ukuran OE), yang
memberikan kapasitas isi lebih besar tanpa peningkatan diameter. Kapsul gelatin keras
terdiri atas dua bagian, bagian tutup dan induk. Umumnya, ada lekuk khas pada bagian
tutup dan induk, untuk memberikan penutupan yang baik bila bagian induk dan tutup
cangkangnya diletakkan sepenuhnya, yang mencegah terbukanya cangkang kapsul
yang telah diisi, selama transportasi dan penanganan. Penutupan sempurna juga dapat
dicapai dengan penggabungan bagian tutup dan induk dengan cara pemanasan langsung
atau penggunaan energi ultrasonik. Kapsul gelatin keras yang diisi dipabrik dapat
ditutup secara sempurna dengan cara dilekatkan, suatu proses dimana lapisan gelatin
dioleskan satu kali atau lebih di seluruh bagian pelekatan bagian tutup dan induk; atau
dengan proses pelekatan menggunakan cairan, yaitu kapsul yang telah diisi dibasahi
dengan airalkohol yang akan merembes ke dalam rongga bagian kapsul tutup dan induk
yang saling tumpang tindih, kemudian dikeringkan. Kapsul cangkang keras terbuat dari
pati terdiri atas bagian tutup dan induk. Karena kedua bagian tersebut tidak melekat
dengan dengan baik, maka bagian-bagian tersebut dilekatkan menjadi satu pada saat
pengisian, untuk menghindari pemisahan. Kapsul pati dilekatkan dengan mengoleskan
campuran air-alkohol pada rongga cangkang tutup, segera sebelum dilekatkan ke
cangkang induk.
Pelekatan kapsul gelatin cangkang keras atau pelekatan dengan cairan pada
kapsul pati cangkang keras meningkatkan keamanan karena kapsul sukar dibuka tanpa
kerusakan nyata dan meningkatkan stabilitas isi kapsul dengan membatasi masuknya
oksigen. Kapsul bercangkang keras yang diisi di pabrik sering mempunyai warna dan
bentuk berbeda atau diberi tanda untuk mengetahui identitas pabrik. Pada kapsul seperti
ini dapat dicantumkan jumlah zat aktif, kode produk dan lain-lain yang dicetak secara
aksial atau radial. Tinta cetak kualitas farmasi memenuhi ketentuan yang berlaku
mengenai pigmen dan zat warna yang diizinkan.
Dalam praktek pelayanan resep di apotek, kapsul cangkang keras dapat diisi
dengan tangan. Fleksibilitas ini merupakan kelebihan kapsul cangkang keras
dibandingkan bentuk sediaan tablet dan kapsul cangkang lunak. Kapsul cangkang keras
biasanya terbuat dari gelatin berkekuatan gel relatif tinggi. Berbagai jenis gelatin dapat
digunakan, tetapi gelatin dari campuran kulit atau tulang sering digunakan untuk
mengoptimalkan kejernihan dan kekerasan cangkang. Kapsul cangkang keras dapat
juga dibuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Kapsul cangkang keras dapat juga
mengandung zat warna yang diizinkan atau zat warna dari berbagai oksida besi, bahan
opak seperti titanium dioksida, bahan pendispersi, bahan pengeras seperti sukrosa dan
pengawet. Biasanya bahan-bahan ini mengandung air antara 10% dan 15%.
Kapsul gelatin keras dibuat melalui suatu proses dengan cara mencelup pin ke
dalam larutan gelatin, kemudian lapisan gelatin dikeringkan, dirapikan dan dilepaskan
dari pin tersebut, kemudian bagian induk dan tutup dilekatkan. Kapsul pati dibuat
dengan mencetak campuran pati dan air, kemudian kapsul dikeringkan. Gunakan
cetakan terpisah untuk bagian tutup dan induk kapsul dan kedua bagian ini dibuat secara
terpisah. Kapsul kosong disimpan dalam wadah tertutup rapat sampai kapsul diisi.
Karena gelatin berasal dari hewan dan pati berasal dari tanaman, maka kapsul ini
sebaiknya terlindung dari sumber pencemaran yang potensial atau kontaminasi
mikroba.
Kapsul cangkang keras biasanya diisi dengan serbuk, butiran atau granul.
Butiran gula inert dapat dilapisi dengan komposisi bahan aktif dan penyalut yang
memberikan profil lepas lambat atau bersifat enterik. Sebagai alternatif, bahan aktif
bentuk pelet dan kemudian disalut. Bahan semipadat atau cairan dapat juga cairan
dimasukkan dalam kapsul, salah satu teknik penutupan harus digunakan untuk
mencegah terjadinya kebocoran.
Dalam pengisian kapsul gelatin keras, bagian tutup dan induk cangkang
dipisahkan dahulu sebelum diisi. Dalam pengisian kapsul pati cangkang keras, bagian
tutup dan induk cangkang ditempatkan secara terpisah dan dipasang pada tempat yang
berbeda dari suatu mesin pengisi. Mesin yang menggunakan berbagai prinsip dosis
dapat digunakan untuk mengisikan serbuk ke dalam kapsul cangkang keras, tetapi
kebanyakan mesin otomatis, membentuk sumbat serbuk dengan cara pengempaan yang
kemudian dilepaskan ke dalam bagian induk kapsul kosong. Umumnya bagian
pelengkap mesin ini tersedia untuk berbagai jenis pengisian lain. Formulasi serbuk
sering membutuhkan penambahan zat pengisi, lubrikan dan glidan pada bahan aktif
untuk mempermudah proses pengisian kapsul. Formulasi dan metode pengisian,
terutama derajat kepadatan, dapat mempengaruhi laju pelepasan obat. Penambahan
bahan pembasah pada massa serbuk, biasa dilakukan jika bahan aktif bersifat
hidrofobik. Disintegran dapat ditambahkan ke dalam formulasi serbuk untuk
memudahkan deagregasi dan dispersi gumpalan kapsul dalam saluran cerna. Formulasi
serbuk sering dapat dibuat melalui pencampuran kering, sedangkan formulasi ruah
membutuhkan densifikasi dengan teknik rol atau teknik granulasi lain yang sesuai.
Campuran serbuk yang cenderung meleleh dapat dimasukkan ke dalam kapsul
cangkang keras, jika digunakan absorben, seperti magnesium karbonat, silikon dioksida
koloidal, atau zat lain yang sesuai. Obat-obat yang berkhasiat keras sering dicampur
dengan zat pengencer inert sebelum diisikan ke dalam kapsul. Jika dua macam obat
yang tak tercampurkan diresepkan bersama, kadang-kadang dimungkinkan untuk
menempatkan salah satunya di dalam kapsul kecil dan menggabungnya dengan kapsul
lebih besar yang berisi obat kedua. Obat-obat yang tak tercampurkan dapat juga
dipisahkan dengan menempatkan pelet atau tablet bersalut, atau kapsul cangkang lunak
yang berisi obat pertama ke dalam cangkang kapsul sebelum penambahan obat kedua.
Bahan semipadat tiksotropik dapat dibentuk dengan cara mengubah obat cair
atau zat pembawa menjadi bentuk gel dengan menggunakan silika koloidal atau serbuk
polietilen glikol berbobot molekul tinggi. Berbagai senyawa malam atau lemak dapat
digunakan untuk menyiapkan matriks semipadat dengan peleburan.
Kapsul cangkung lunak yang dibuat dari gelatin (kadang-kadang disebut gel
lunak) atau bahan lain yang sesuai membutuhkan metode produksi skala besar.
Cangkang gelatin lunak sedikit lebih tebal dibanding kapsul cangkang keras dan dapat
diplastisasi dengan penambahan senyawa poliol, seperti sorbitol atau gliserin.
Perbandingan bahan plastisasi kering terhadap gelatin kering menentukan kekerasan
cangkang dan dapat diubah untuk penyesuaian dengan kondisi lingkungan dan juga sifat
isi kapsul. Seperti cangkang keras, komposisi cangkang dapat mengandung pigmen atau
pewarna yang diizinkan, bahan opak seperti titanium dioksida, dan pengawet. Bahan
pengharum dapat ditambahkan, selain itu sukrosa hingga 5% dapat dimasukkan sebagai
pemanis dan untuk menghasilkan cangkang yang dapat dikunyah. Cangkang gelatin
lunak umumnya mengandung 6% hingga 13% air. Kapsul cangkang lunak juga dapat
diberi kode produk, jumlah zat aktif dan lain-lain dengan cara dicetak. Umumnya
kapsul cangkang lunak diisi dengan cairan. Khususnya bahan aktif dilarutkan atau
disuspensikan dalam bahan pembawa cair. Dahulu digunakan bahan pembawa minyak
seperti minyak nabati; sekarang ini lebih umum digunakan bahan pembawa cair bukan
air yang dapat bercampur dengan air, seperti polietilen glikol berbobot molekul lebih
rendah, karena mempunyai lebih sedikit masalah ketersediaan hayati.
Kapsul cangkang lunak tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan
dibentuk, diisi serta dilekatkan dengan menggunakan mesin yang sama; khususnya
dengan proses berputar, mekipun dapat juga digunakan suatu proses lempeng atau
proses turun naik. Kapsul cangkang lunak dapat juga diproduksi melalui proses
gelembung yang membentuk kapsul sferik tanpa lekukan. Dengan peralatan yang
sesuai, serbuk dan zat padat kering lain dapat diisikan ke dalam kapsul cangkang lunak.
Kapsul berisi cairan dari setiap jenis kapsul, melibatkan teknologi formulasi
yang sama dan memberikan keuntungan serta keterbatasan yang sama. Sebagai contoh,
kedua jenis kapsul dapat memberikan keuntungan dibandingkan kapsul berisi zat kering
dan tablet dalam hal keseragaman kandungan dan disolusi obat. Homogenitas yang
lebih besar mungkin terjadi dalam sistem cair, dan cairan dapat diukur lebih tepat.
Disolusi obat mungkin lebih baik karena obat sudah dalam larutan atau paling tidak
tersuspensi dalam bahan pembawa hidrofilik. Namun, kontak antara cangkang lunak
atau keras dengan isi zat cair lebih besar dibandingkan dengan kapsul berisi serbuk
kering, dan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi yang tidak
diinginkan. Sifat cairan isi kapsul menyebabkan masalah teknologi yang berbeda
dibandingkan kapsul isi zat kering dalam hal uji waktu hancur dan disolusi. Ditinjau
dari segi formulasi, teknologi dan biofarmasi, kapsul berisi cairan dari jenis kapsul apa
saja lebih seragam dibanding kapsul berisi serbuk kering dari jenis cangkang yang
sama. Oleh karena itu untuk penetapan standar resmi dan metode lebih didasarkan pada
pertimbangan sifat isi kapsul dibanding jenis cangkangnya.
Kapsul lepas tunda
Kapsul dapat disalut atau pada umumnya enkapsulasi granul disalut untuk
menghambat pelepasan obat dalam cairan lambung dimana penundaan menjadi penting
untuk mengurangi masalah yang potensial yang menyebabkan obat diinaktivasi atau
iritasi mukosa lambung. Istilah ”lepas tunda” digunakan pada masing-masing
monografi kapsul salut enterik yang ditujukan untuk menunda pelepasan obat, temasuk
uji dan spesifikasi untuk Pelepasan Obat <961> seperti yang tertera pada masing-
masing monografi.
Kapsul lepas lambat
Kapsul lepas lambat diformulasi dengan cara tersebut untuk membuat obat
tersedia selama periode waktu perpanjangan setelah dikonsumsi. Istilah seperti
”prolonged-action,” ”repeat-action,” dan ”sustained-release” juga digunakan untuk
menggambarkan sediaan tersebut. Namun, istilah ”lepas tunda” digunakan dalam
persyaratan Farmakope untuk Pelepasan Obat <961> seperti yang tertera pada masing-
masing monografi.

1.6.1 KRIM
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan
obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional
telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batas
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asamasam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang
dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.
Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal.

1.6.2 LARUTAN
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang
terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran
pelarut yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan terdispersi
secara merata, maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya
memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan
diencerkan atau dicampur.
Sediaan padat secara kimia umumnya lebih stabil dibanding senyawa dalam
larutan, dan dapat dikemas lebih ringkas dan ringan. Untuk semua larutan, terutama
yang mengandung pelarut mudah menguap, harus digunakan wadah tertutup rapat dan
terhindar dari panas berlebih. Jika senyawa tidak stabil dan mudah mengalami
degradasi secara fotokimia, penggunaan wadah tahan cahaya perlu dipertimbangkan.
Bentuk sediaan larutan digolongkan menurut cara pemberiannya, misalnya Larutan
oral, Larutan topikal, atau penggolongan didasarkan pada sistem pelarut dan zat terlarut
seperti Spirit, Tingtur dan Larutan air. Larutan yang diberikan secara parenteral disebut
Injeksi.
Larutan oral larutan oral adalah sediaan cair yang dibuat untuk pemberian
oral, mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau
pewarna yang larut dalam air atau campuran kosolven-air. Larutan oral dapat
diformulasikan untuk diberikan langsung secara oral kepada pasien atau dalam bentuk
lebih pekat yang harus diencerkan lebih dulu sebelum diberikan. Penting untuk
diketahui bahwa pengenceran larutan oral dengan air yang mengandung kosolven
seperti etanol, dapat menyebabkan pengendapan bahan terlarut. Jika terdapat kosolven,
pengenceran larutan pekat perlu berhati-hati. Sediaan zat padat atau campuran zat padat
yang harus dilarutkan dalam pelarut sebelum diberikan secara oral disebut “... untuk
Larutan Oral”, misalnya : Kalium Klorida untuk Larutan Oral.
Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi, dinyatakan
sebagai Sirup. Larutan sukrosa hampir jenuh dalam air dikenal sebagai Sirup atau Sirup
Simpleks. Penggunaan istilah sirup juga digunakan untuk bentuk sediaan cair lain yang
dibuat dengan pengental dan pemanis, termasuk suspensi oral.
Disamping sukrosa dan gula lain, senyawa poliol tertentu seperti sorbitol atau
gliserin dapat digunakan dalam Larutan oral untuk menghambat penghabluran dan
untuk mengubah kelarutan, rasa, dan sifat lain zat pembawa. Umumnya juga
ditambahkan antimikroba untuk mencegah pertumbuhan bakteri, jamur dan ragi.
Beberapa Larutan oral tidak mengandung gula, melainkan bahan pemanis buatan,
seperti sorbitol atau aspartam, dan bahan pengental seperti gom selulosa. Larutan kental
dengan pemanis buatan seperti ini, tidak mengandung gula; dibuat sebagai zat pembawa
untuk pemberian obat kepada pasien diabetes.
Banyak larutan oral yang mengandung etanol sebagai kosolven dinyatakan
sebagai Eliksir. Banyak lainnya dinyatakan sebagai larutan oral, juga mengandung
etanol dalam jumlah yang berarti. Karena kadar etanol tinggi dapat menimbulkan efek
farmakologi jika diberikan secara oral, dapat digunakan kosolven lain seperti gliserin
dan propilen glikol, untuk mengurangi jumlah etanol yang diperlukan. Untuk dapat
menyatakan sebagai Eliksir, larutan harus mengandung etanol.
Larutan Topikal Larutan Topikal adalah larutan yang biasanya mengandung
air tetapi seringkali mengandung pelarut lain, seperti etanol dan poliol, untuk
penggunaan topikal pada kulit, atau dalam hal Larutan Lidokain Oral Topikal, untuk
penggunaan pada permukaan mukosa mulut. Istilah Lotio digunakan untuk larutan atau
suspensi yang digunakan secara topikal.
Larutan Otik Larutan Otik adalah larutan yang mengandung air atau gliserin
atau pelarut lain dan bahan pendispersi, untuk penggunaan dalam telinga luar misalnya
Larutan Otik Benzokain dan Antipirin, Larutan Otik Neomisin dan Polimiksin B Sulfat
dan Larutan Otik Hidrokortison.
Larutan Optalmik Seperti tertera pada Sediaan Obat Mata.
Spirit Spirit adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol dari zat
mudah menguap, umumnya merupakan larutan tunggal atau campuran bahan. Beberapa
spirit digunakan sebagai bahan pengaroma, yang lain memiliki makna pengobatan.
Penurunan kadar etanol dalam spirit dengan mencampurkan sediaan yang mengandung
air sering menyebabkan kekeruhan.
Spirit harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya untuk
mencegah penguapan dan memperkecil perubahan akibat oksidasi.
Tingtur Tingtur adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol dibuat
dari bahan tumbuhan atau senyawa kimia.
Jumlah obat dalam tingtur yang berbeda tidak selalu seragam tetapi bervariasi,
sesuai dengan masing-masing standar yang telah ditetapkan. Secara tradisional tingtur
tumbuhan berkhasiat obat menunjukkan aktivitas dari 10 g obat dalam tiap 100 ml
tingtur, potensi ditetapkan setelah dilakukan penetapam kadar. Sebagian besar tingtur
tumbuhan lain mengandung 20 g bahan tumbuhan dalam 100 ml tingtur.
Cara perkolasi Campur dengan hati-hati serbuk bahan obat atau campuran
bahan obat dengan pelarut atau campuran pelarut tertentu secukupnya, hingga rata dan
cukup basah, biarkan selama 15 menit, pindahkan ke dalam perkolator yang sesuai, dan
mampatkan. Tuangkan secukupnya pelarut atau campuran pelarut tertentu sampai
terendam seluruhnya, tutup bagian atas perkolator dan jika cairan sudah hampir menetes
dari perkolator, tutup lubang bawah. Perkolasi selama 24 jam atau sesuai dengan waktu
yang tertera pada monografi. Jika penetapan kadar tidak dinyatakan lain, lakukan
perkolasi secara perlahan, atau pada kecepatan yang telah ditentukan dan secara
bertahap tambahkan pelarut atau campurkan pelarut secukupnya hingga diperoleh 1000
ml tingtur, (untuk menetapkan kecepatan aliran, lakukan seperti yang tertera pada
Ekstrak dan Ekstrak cair). Jika penetapan kadarnya dinyatakan, kumpulkan 950 ml
perkolat, dan campur, tetapkan kadar terhadap sebagian perkolat seperti yang
dinyatakan. Untuk memperoleh tingtur yang memenuhi syarat baku, perlu pengenceran
sisa tingtur dengan sejumlah pelarut atau campuran pelarut tertentu yang telah dihitung
dari penetapan kadar.
Cara maserasi Maserasi bahan obat dengan 750 ml pelarut atau campuran
pelarut tertentu dalam wadah yang dapat ditutup, dan letakkan ditempat hangat.
Diamkan selama 3 hari, sambil sering dikocok atau hingga terlarut. Pindahkan
campuran ke dalam penyaring, dan jika sebagian besar dari cairan telah mengalir keluar,
cuci residu pada penyaringan dengan sejumlah pelarut atau campuran pelarut tertentu
secukupnya, kumpulkan filtrat, hingga diperoleh 1000 ml tingtur.
Tingtur harus disimpan dalam wadah tertututp rapat, tidak tembus cahaya,
jauhkan dari cahaya matahari langsung dan panas yang berlebihan.
Air aromatik Kecuali dinyatakan lain Air aromatik adalah larutan jernih dan
jenuh dalam air, dari minyak mudah menguap atau senyawa aromatik atau bahan mudah
menguap lain. Bau dan rasanya mirip dengan obat atau senyawa mudah menguap yang
ditambahkan, dan bebas dari bau empirematik dan bau asing lain. Air aromatik dapat
dibuat secara destilasi atau dari larutan senyawa aromatik, dengan atau tanpa
menggunakan bahan pendispersi.
Air aromatik perlu disimpan terlindung cahaya dan panas berlebih.

1.6.3 PASTA
Pasta adalah sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat
yang ditujukan untuk pemakaian topikal. Kelompok pertama dibuat dari gel fase
tunggal mengandung air, misalnya Pasta Natrium Karboksimetilselulose, kelompok
lain adalah pasta berlemak misalnya Pasta Zink Oksida, merupakan salep yang padat,
kaku, yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada
bagian yang diolesi.
Pasta berlemak ternyata kurang berminyak dan lebih menyerap dibandingkan
dengan salep karena tingginya kadar obat yang mempunyai afinitas terhadap air. Pasta
ini cenderung untuk menyerap sekresi seperti serum; dan mempunyai daya penetrasi
dan daya maserasi lebih rendah dari salep. Oleh karena itu pasta digunakan untuk lesi
akut yang cenderung membentuk kerak, menggelembung atau mengeluarkan cairan.
Pasta gigi digunakan untuk pelekatan pada selaput lendir untuk memperoleh
efek lokal (misal pasta gigi Triamsinolon Asetonida).

1.6.4 PLESTER
Plester adalah bahan yang digunakan untuk pemakaian luar terbuat dari bahan yang
dapat melekat pada kulit dan menempel pada pembalut. Plester dimaksudkan untuk melindungi
dan menyangga, dan atau untuk memberikan daya perekat dan daya maserasi, dan memberikan
pengobatan jika melekat pada kulit. Plester yang mengandung obat, telah lama digunakan untuk
pemberian obat secara lokal atau regional sebagai bentuk dasar pemberian obat transdermal.
Plester biasanya menempel pada kulit dengan bantuan bahan perekat. Massa perekat
harus melekat pada bahan plastik penyangga dan pada kulit (atau pembalut) dengan
keseimbangan daya lekat yang tepat. Keseimbangan daya lekat seperti ini dimaksudkan untuk
melepaskan kembali plester, sehingga bila plester diangkat, permukaan kulit tempat plester
menempel tetap bersih.
1.6.5 SEDIAAN OBAT MATA
Obat mata tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, beberapa diantaranya memerlukan
perhatian khusus.
Salep Salep mata adalah salep yang digunakan pada mata. Pada pembuatan salep mata
harus diberikan perhatian khusus. Sediaan dibuat dari bahan yang sudah disterilkan dengan
perlakuan aseptik yang ketat serta memenuhi syarat Uji Sterilitas <71>. Bila bahan tertentu
yang digunakan dalam formulasi tidak dapat disterilkan dengan cara biasa, maka dapat
digunakan bahan yang memenuhi syarat Uji Sterilitas <71> dengan pembuatan secara aseptik.
Salep mata harus mengandung bahan atau campuran bahan yang sesuai untuk mencegah
pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang mungkin masuk secara tidak sengaja bila
wadah dibuka pada waktu penggunaan; kecuali dinyatakan lain dalam monografi atau
formulanya sendiri sudah bersifat bakteriostatik (lihat Bahan Tambahan seperti yang tertera
pada Uji Salep Mata <1241>). Bahan obat yang ditambahkan ke dalam dasar salep berbentuk
larutan atau serbuk halus. Salep mata harus bebas dari partikel kasar dan harus memenuhi syarat
kebocoran dan partikel logam pada Uji Salep Mata <1241>. Wadah untuk salep mata harus
dalam keadaan steril pada waktu pengisian dan penutupan. Wadah salep mata harus tertutup
rapat dan disegel untuk menjamin sterilitas pada pemakaian pertama.
Dasar salep yang dipilih tidak boleh mengiritasi mata, memungkinkan difusi obat
dalam cairan mata dan tetap mempertahankan aktivitas obat dalam jangka waktu tertentu pada
kondisi penyimpanan yang tepat.
Vaselin merupakan dasar salep mata yang banyak digunakan. Beberapa bahan dasar
salep yang dapat menyerap, bahan dasar yang mudah dicuci dengan air dan bahan dasar larut
dalam air dapat digunakan untuk obat yang larut dalam air. Bahan dasar salep seperti ini
memungkinkan dispersi obat larut air yang lebih baik, tetapi tidak boleh menyebabkan iritasi
pada mata.
Larutan Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan
sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada mata.
Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas bahan obat,
nilai isotonisitas, kebutuhan pengawet (dan jika perlu pemilihan pengawet) sterilisasi dan
kemasan yang tepat. Perhatian yang sama juga dilakukan untuk sediaan hidung dan telinga.
Nilai isotonisitas Cairan mata isotonik dengan darah dan mempunyai nilai isotonisitas
sesuai dengan larutan natrium klorida P 0,9%. Secara ideal larutan obat mata harus mempunyai
nilai isotonis tersebut, tetapi mata tahan terhadap nilai isotonis rendah yang setara dengan
larutan natrium klorida P 0,6% dan tertinggi setara dengan larutan natrium klorida P 2,0% tanpa
gangguan nyata.
Beberapa larutan obat mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap
dan menyediakan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat
yang cepat dan efektif. Apabila larutan obat seperti ini digunakan dalam jumlah kecil,
pengenceran dengan air mata cepat terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas
hanya sementara. Tetapi penyesuaian isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata
tidak berarti, jika digunakan larutan hipertonik dalam jumlah besar sebagai koliria
untuk membasahi mata. Jadi yang penting adalah larutan obat mata untuk keperluan ini
harus mendekati isotonik.

1.6.6 SERBUK
Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan,
ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. Karena mempunyai luas
permukaan yang luas, serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih larut dari pada bentuk
sediaan yang dipadatkan. Anak-anak atau orang dewasa yang sukar menelan kapsul
atau tablet lebih mudah menggunakan obat dalam bentuk serbuk. Obat yang terlalu
besar volumenya untuk dibuat tablet atau kapsul dalam ukuran yang lazim, dapat dibuat
dalam bentuk serbuk. Sebelum digunakan, biasanya serbuk oral dapat dicampur dengan
air minum.
Masalah stabilitas yang seringkali dihadapi dalam sediaan bentuk cair, tidak
ditemukan dalam sediaan bentuk serbuk. Obat yang tidak stabil dalam suspensi atau
larutan air dapat dibuat dalam bentuk serbuk atau granul. Konstitusi sediaan dapat
dilakukan oleh apoteker dengan cara menambahkan sejumlah air sebelum diserahkan.
Karena sediaan yang sudah dikonstitusi ini mempunyai stabilitas yang terbatas, harus
dicantumkan waktu kadaluarsa setelah dikonstitusi dan dapat juga dipersyaratkan untuk
disimpan dalam lemari pendingin.
Serbuk oral dapat diserahkan dalam bentuk terbagi (Pulveres) atau tidak
terbagi (Pulvis). Pada umumnya serbuk terbagi dibungkus dengan kertas perkamen.
Walaupun begitu apoteker dapat lebih melindungi serbuk dari pengaruh lingkungan
dengan melapisi tiap bungkus dengan kertas selofan atau sampul polietilena.
Serbuk oral tidak terbagi hanya terbatas pada obat yang relatif tidak poten,
seperti laksan, antasida, makanan diet dan beberapa analgesik tertentu dan pasien dapat
menakar secara aman dengan sendok teh atau penakar lain. Serbuk tidak terbagi lainnya
antara lain, serbuk gigi, serbuk tabur. Serbuk tidak terbagi sebaiknya disimpan dalam
wadah gelas, bermulut lebar, tertutup rapat, untuk melindungi pengaruh atmosfer dan
mencegah penguapan senyawa yang mudah menguap.
Serbuk tabur adalah serbuk ringan untuk penggunaan topikal, dapat dikemas
dalam wadah yang bagian atasnya berlubang halus untuk memudahkan penggunaan
pada kulit. Pada umumnya serbuk tabur harus melewati ayakan dengan derajat halus
100 mesh seperti tertera pada Derajat Halus Serbuk <1141> agar tidak menimbulkan
iritasi pada bagian yang peka.

1.6.7 SUPOSITORIA
Supositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Supositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat,
sebagai pembawa zat terapetik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar
supositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester
asam lemak polietilen glikol.
Bahan dasar supositoria yang digunakan sangat berpengaruh pada pelepasan
zat terapetik. Lemak coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan
dengan cairan tubuh, oleh karena itu menghambat difusi obat yang larut dalam lemak
pada tempat yang diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang sesuai untuk
beberapa antiseptik. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih baik menggunakan
bentuk ionik dari pada nonionik, agar diperoleh ketersediaan hayati yang maksimum.
Meskipun obat bentuk nonionik dapat dilepas dari bahan dasar yang dapat bercampur
dengan air, seperti gelatin tergliserinasi dan polietilen glikol, bahan dasar ini cenderung
sangat lambat larut sehingga menghambat pelepasan. Bahan pembawa berminyak
seperti lemak coklat jarang digunakan dalam sediaan vagina, karena membentuk residu
yang tidak dapat diserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang digunakan melalui
rektal karena disolusinya lambat. Lemak coklat dan penggantinya (lemak keras) lebih
baik untuk menghilangkan iritasi, seperi pada sediaan untuk hemoroid internal.
Supositoria Lemak Coklat Supositoria dengan bahan dasar lemak coklat
dapat dibuat dengan mencampur bahan obat yang dihaluskan ke dalam minyak padat
pada suhu kamar dan massa yang dihasilkan dibuat dalam bentuk sesuai, atau dibuat
dengan minyak dalam keadaan lebur dan suspensi yang dihasilkan didiamkan menjadi
dingin di dalam cetakan. Sejumlah zat pengeras yang sesuai dapat ditambahkan untuk
mencegah kecenderungan beberapa obat, (seperti kloralhidrat dan fenol) melunakkan
bahan dasar. Yang penting, supositoria meleleh pada suhu tubuh.
Perkiraan bobot supositoria yang dibuat dengan lemak coklat, dijelaskan
dibawah ini. Supositoria yang dibuat dari bahan dasar lain, bobotnya bervariasi dan
umumnya lebih berat daripada bobot yang disebutkan dibawah ini.
Supositoria rektal Supsitoria rektal untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu
atau kedua ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2 g.
Supositoria vaginal Umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot
lebih kurang 5 g, dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat
bercampur dalam air, seperti polietilen glikol atau gelatin tergliserinasi.
Supositoria dengan bahan dasar lemak coklat harus disimpan dalam wadah
tertutup baik, sebaiknya pada suhu dibawah 30º (suhu kamar terkendali).

1.6.8 SUSPENSI
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang
terdispersi dalam fase cair. Sediaan yang digolongkan sebagai suspensi adalah sediaan
seperti tersebut di atas, dan tidak termasuk kelompok suspensi yang lebih spesifik,
seperti suspensi oral, suspensi topikal, dan lain-lain. Beberapa suspensi dapat langsung
digunakan, sedangkan yang lain berupa campuran padat yang harus dikonstitusikan
terlebih dahulu dengan pembawa yang sesuai segera sebelum digunakan. Istilah susu
kadang-kadang digunakan untuk suspensi dalam pembawa yang mengandung air yang
ditujukan untuk pemakaian oral, seperti Susu Magnesia. Istilah Magma sering
digunakan untuk menyatakan suspensi zat padat anorganik dalam air seperti lumpur,
jika zat padatnya mempunyai kecenderungan terhidrasi dan teragregasi kuat yang
menghasilkan konsistensi seperti gel dan sifat reologi tiksotropik seperti Magma
Bentonit. Istilah Lotio banyak digunakan untuk golongan suspensi topikal dan emulsi
untuk pemakaian pada kulit seperti Lotio Kalamin. Beberapa suspensi dibuat steril dan
dapat digunakan untuk injeksi, juga untuk sediaan mata dan telinga. Suspensi dapat
dibagi dalam 2 jenis, yaitu suspensi yang siap digunakan atau yang dikonstitusikan
dengan jumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan.
Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal.
Suspensi yang dinyatakan untuk digunakan dengan cara tertentu harus
mengandung zat antimikroba yang sesuai untuk melindungi kontaminasi bakteri, ragi
dan jamur seperti yang tertera pada Emulsi dengan beberapa pertimbangan penggunaan
pengawet antimikroba juga berlaku untuk suspensi. Sesuai sifatnya, partikel yang
terdapat dalam suspensi dapat mengendap pada dasar wadah bila didiamkan.
Pengendapan seperti ini dapat mempermudah pengerasan dan pemadatan sehingga sulit
terdispersi kembali, walaupun dengan pengocokan. Untuk mengatasi masalah tersebut,
dapat ditambahkan zat yang sesuai untuk meningkatkan kekentalan dan bentuk gel
suspensi seperti tanah liat, surfaktan, poliol, polimer atau gula. Yang sangat penting
adalah bahwa suspensi harus dikocok baik sebelum digunakan untuk menjamin
distribusi bahan padat yang merata dalam pembawa, hingga menjamin keseragaman
dan dosis yang tepat. Suspensi harus disimpan dalam wadah tertutup rapat.
Suspensi oral Suspensi oral adalah sediaan cair mengandung partikel padat
yang terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan pengaroma yang sesuai, dan
ditujukan untuk penggunaan oral. Beberapa Suspensi oral Suspensi oral adalah sediaan
cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan
pengaroma yang sesuai, dan ditujukan untuk penggunaan oral. Beberapa suspensi yang
diberi etiket sebagai susu atau magma termasuk dalam kategori ini.
Suspensi topikal Suspensi topikal adalah sediaan cair mengandung partikel
padat yang terdispersi dalam pembawa cair yang ditujukan untuk penggunaan pada
kulit. Beberapa suspensi yang diberi etiket sebagai “Lotio” termasuk dalam kategori
ini.
Suspensi tetes telinga Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair mengandung
partikel-partikel halus yang ditujukan untuk diteteskan pada telinga bagian luar.
Suspensi optalmik Seperti tertera pada Sediaan Obat Mata.

1.6.9 SALEP
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada
kulit atau selaput lendir.
Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok: dasar
salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air,
dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu dasar salep
tersebut.
Dasar salep hidrokarbon Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep
berlemak antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen
berair dapat dicampurkan ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang
kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar salep
hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci. Tidak mengering
dan tidak tampak berubah dalam waktu lama.
Dasar salep serap Dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air
membentuk emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan
kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan
sejumlah larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai
emolien.
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep ini adalah emulsi
minyak dalam air antara lain Salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim” (lihat
Cremores). Dasar ini dinyatakan juga sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah
dicuci dari kulit atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik.
Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini daripada
Dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan
dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan dermatologik.
Dasar salep larut dalam air Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak
berlemak” dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak
keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung
bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep ini
lebih tepat disebut “gel” (lihat Gel).
Pemilihan dasar salep Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor
seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan
hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu menggunakan
dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya
obat-obat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil dalam Dasar salep hidrokarbon daripada
dasar salep yang mengandung air, meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam
dasar salep yang mengandung air.

1.7.0 TABLET
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan
pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan
tablet kempa.
Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk
sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan
tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat
dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain
cetakan. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet. Bolus adalah tablet besar
yang digunakan untuk obat hewan, umumnya untuk hewan besar.
Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan
tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada ikatan
kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak tergantung pada
kekuatan tekanan yang diberikan.
Tablet triturat merupakan tablet cetak atau kempa berbentuk kecil, umumnya
silindris, digunakan untuk memberikan jumlah terukur yang tepat untuk peracikan obat.
Jenis tablet ini sekarang sudah jarang digunakan. Tablet hipodermik adalah tablet cetak
yang dibuat dari bahan yang mudah melarut atau melarut sempurna dalam air, dulu
umumnya digunakan untuk membuat sediaan injeksi hipodermik. Diberikan secara oral
atau jika diperlukan ketersediaan obat yang cepat seperti halnya pada Tablet
Nitrogliserin, diberikan secara sublingual.
Tablet bukal digunakan dengan cara meletakkan tablet di antara pipi dan gusi
dan tablet sublingual digunakan dengan cara meletakkan tablet di bawah lidah, sehingga
zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa mulut. Beberapa obat mudah diserap
dengan cara ini (seperti nitrogliserin dan hormon steroid tertentu) dan mempunyai
banyak keuntungan.
Tablet efervesen yang larut, dibuat dengan cara dikempa; selain zat aktif, juga
mengandung campuran asam (asam sitrat, asam tartrat) dan natrium bikarbonat, yang
jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan karbon dioksida. Tablet dilarutkan atau
didispersikan dalam air sebelum pemberian. Tablet efervesen harus disimpan dalam
wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab, pada etiket tertera tidak untuk
langsung ditelan.
Tablet kunyah Tablet kunyah dimasudkan untuk dikunyah, memberikan
residu dengan rasa enak dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak meninggalkan
rasa pahit atau tidak enak. Jenis tablet ini digunakan dalam formulasi tablet untuk anak,
terutama formulasi multivitamin, antasida dan antibiotika tertentu. Tablet kunyah
dibuat dengan cara dikempa, umumnya menggunakan manitol, sorbitol atau sukrosa
sebagai bahan pengikat dan bahan pengisi, mengandung bahan pewarna dan bahan
pengaroma untuk meningkatkan penampilan dan rasa.
Tablet lepas-lambat Tablet lepas-lambat dibuat sedemikian sehingga zat aktif
akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah obat diberikan. Istilah efek-
diperpanjang, efek-pengulangan dan lepas-lambat telah digunakan untuk menyatakan
kesediaan tersebut. Tetapi, istilah lepas-lambat digunakan untuk tujuan farmakope dan
persyaratan pelepasan obat dijelaskan dalam masing-masing monografi.
Tablet hisap (Lozenges) Tablet Hisap adalah sediaan padat mengandung satu
atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis, yang dapat
membuat tablet melarut atau hancur perlahan dalam mulut. Tablet dibuat dengan cara
tuang (dengan bahan dasar gelatin dan atau sukrosa yang dilelehkan atau sorbitol) atau
dengan cara kempa tablet menggunakan bahan dasar gula. Tablet hisap tuang kadang-
kadang disebut sebagai pastiles, sedangkan tablet hisap kempa disebut sebagai troches.
Tablet umumnya ditujukan untuk mengobati iritasi lokal atau infeksi mulut atau
tenggorokan, tetapi dapat juga mengandung bahan aktif yang ditujukan untuk absorbsi
sistemik setelah ditelan.

1.7.1 VAKSIN
Vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu
menimbulkan kekebalan aktif dan khas pada manusia. Vaksin dibuat dari bakteria,
riketsia atau virus dan dapat berupa suspensi organisme hidup atau fraksi-fraksinya atau
toksoid.
Metode pembuatan bervariasi tergantung dari jenis vaksin seperti yang tertera
di bawah ini atau dalam masing-masing monografi dan dirancang agar dapat
mempertahankan sifat antigenisitas yang sesuai, membuat sediaan tidak berbahaya dan
bebas dari kontaminasi senyawa asing. Jika memungkinkan pembuatan vaksin harus
menggunakan lot benih yang sudah ditetapkan dan untuk mendapatkan vaksin yang
baik, vaksin tidak boleh dibuat dari sub kultur benih awal.
Pada waktu pembuatan dapat ditambahkan penisilin pada setiap tahap
pembuatan atau pada produk akhir. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi,
streptomisin tidak boleh digunakan dalam pembuatan vaksin; penambahan ke dalam
biakan sel yang akan digunakan dalam produksi vaksin diperkenankan, tetapi tidak
boleh terdeteksi jika biakan sel diinokulasi dengan virus.
Kemampuan menimbulkan imunitas vaksin dapat ditingkatkan dengan
penjerapan pada aluminium fosfat, aluminium hidroksida, kalsium fosfat atau bahan
jerap lain seperti yang tertera pada monografi. Zat jerap dibuat dalam kondisi yang
dapat memberikan bentuk fisik dan sifat jerap yang tepat. Jika vaksin dikemas dalam
wadah dosis ganda, kecuali dinyatakan lain dalam monografi, dapat ditambahkan
pengawet antimikroba yang sesuai selain antibiotik pada vaksin steril dan vaksin inaktif
dan penambahannya secara bervariasi. Pengawet antimikroba tidak ditambahkan pada
sediaan vaksin yang akan dikeringkan.
Produk akhir dibagikan secara aseptik ke dalam wadah yang memenuhi syarat
dan ditutup kedap untuk mencegah kontaminasi mikroba; atau dibagikan dalam wadah
steril, kemudian dibekukeringkan dengan cara yang sesuai untuk mengurangi kadar air
hingga tidak lebih dari 2,0% dalam produk akhir, kecuali dinyatakan lain dalam
monografi. Wadah kemudian ditutup kedap dalam hampa udara atau dapat diisi gas
nitrogen bebas oksigen atau gas inert lain yang sesuai sebelum wadah ditutup kedap
untuk menghindari kontaminasi mikroba. Vaksin kering direkonstitusi segera sebelum
digunakan.
Vaksin bakteri Vaksin bakteri dibuat dari biakan galur bakteri yang sesuai
dalam media cair atau padat yang sesuai dan mengandung bakteri hidup atau inaktif
atau komponen imunogeniknya. Sediaan berupa suspensi dengan berbagai tingkat
opasitas dalam cairan tidak berwarna atau hampir tidak berwarna atau berupa sediaan
beku kering.
Vaksin bakteri inaktif mengandung bakteri atau komponen imunogenik yang
diinaktivasi dengan cara tertentu sehingga sifat antigenisitas dipertahankan.
Vaksin bakteri hidup dibuat dari galur bakteri dengan virulensi yang telah
dilemahkan dan mampu merangsang pembentukan kekebalan terhadap galur patogen
yang sama atau jenis bakteri yang sifat antigeniknya berhubungan.
Konsentrasi bakteri hidup atau inaktif dari tiap varietas atau jenis bakteri
dinyatakan opasitasnya dalam Unit Internasional Opasitas, atau bila sesuai dengan
menghitung jumlah sel langsung, atau jika bakteri hidup dengan angka viabel.
Toksoid bakteri Toksoid bakteri diperoleh dari toksin yang telah dikurangi
atau dihilangkan sifat toksisitasnya hingga mencapai tingkat tidak terdeteki, tanpa
mengurangi sifat imunogenisitas, dengan cara tertentu yang dapat mencegah
berubahnya kembali toksoid menjadi toksin. Toksin diperoleh dari galur pilihan
mikroorganisme khas yang ditumbuhkan dalam media yang sedapat mungkin bebas
dari senyawa yang diketahui menyebabkan reaksi toksik, alergi atau yang tidak
diinginkan pada manusia. Toksoid bakteri dapat berupa cairan atau beku kering. Bila
dijerap, mengandung partikel putih atau kelabu yang terdispersi dalam cairan tidak
berwarna atau berwarna kuning pucat; partikel seperti ini dapat membentuk endapan
pada dasar wadah.
Vaksin Virus dan Riketsia Vaksin virus dan riketsia adalah suspensi virus
atau riketsia yang ditumbuhkan dalam telur berembrio, dalam biakan sel atau dalam
jaringan yang sesuai dan mengandung virus atau riketsia hidup atau yang inaktif atau
komponen imunogeniknya. Umumnya tersedia dalam bentuk sediaan beku kering.
Vaksin virus hidup umumnya dibuat dari virus galur khas yang virulensinya
telah dilemahkan.
Opasitas vaksin virus dapat berbeda tergantung cara pembuatan, dapat
berwarna bila mengandung indikator pH seperti merah fenol.
Vaksin campuran Vaksin campuran adalah campuran dua atau lebih vaksin.
Vaksin, bila perlu direkonstitusi, memenuhi syarat seperti di bawah ini, kecuali
dinyatakan lain dalam monografi.
Fenol Vaksin mengandung fenol sebagai pengawet tidak lebih dari 0,25%,
kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Lakukan penetapan seperti yang tertera pda
Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin dan Immunosera <731>.
Formaldehida bebas Vaksin mengandung formaldehida bebas tidak lebih
dari 0,02%. Lakukan penetapan seperti yang tertera pada Uji Bahan Tambahan dalam
Vaksin dan Immunosera
Aluminium Vaksin jerap mengandung aluminium, tidak lebih dari 1,25 mg
per dosis, kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Lakukan penetapan seperti yang
tertera pada Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin dan Immunosera.
Kalsium Vaksin jerap mengandung kalsium tidak lebih dari 1,3 mg per dosis,
kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Lakukan penetapan seperti yang tertera pada
Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin dan Immunosera.
REFERENSI
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Nurhidayati, I. (2014). Sejarah Farmakope. Retrieved from
https://ilmakribooo.wordpress.com/2014/10/30/sejarah-farmakope/ (Diakses pada 03
September 2022)
Perpustakaan Pusat Universitas Pakuan. (2021). Farmakope Indonesia. Available at:
https://lib.unpak.ac.id/index.php?p=show_detail&id=9615&keywords= (Diakses pada
03 September 2022)
MAKALAH KOMPREHENSIF

PERATURAN PERUNDANGAN DI BIDANG FARMASI

Disusun Oleh Kelompok 3:

Alya Syaharani Tajuddin (2006535464)


Entin Awalurrokhmah (2006538825)
Wulan Febriani (2006539310)
Dina Yuliarty (2106762295)

Dosen Pengampu: Helen Andriani, S.Si, Apt, M.Sc, Ph.D.

Program Studi Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
2022

1
Topik Sesi III

1.1 Berbagai Aturan Perundangan di Bidang Farmasi


1.1.1 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan. Peraturan ini teramat penting karena dapat melindungi masyarakat dari
bahaya sediaan dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan,
dan kemanfaatan dan juga tidak tepat sasaran. Peraturan ini merupakan salah satu
bentuk pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
1.1.2 Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Rumah Sakit. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut merupakan perubahan dari
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Hal tersebut dikarenakan Permenkes Nomor 58 Tahun
2014 yang masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan.
1.1.3 Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut merupakan perubahan dari Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek, yang masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
dilakukan perubahan.
1.1.4 Permenkes Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas

1
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Puskesmas. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut merupakan perubahan dari
Peraturan Menteri Kesehatan 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, yang masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga
perlu dilakukan perubahan.

1.2 Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan


1.2.1 Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan di Indonesia
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan di Indonesia diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat kesehatan. Lebih lanjut, peraturan ini juga mengatur
mengenai produksi dan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan sehingga peraturan
ini sangat bermanfaat untuk memastikan setiap produksi sediaan farmasi dan alat
kesehatan yang diedarkan di Indonesia memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan.
1.2.2 Isi PP nomor 72 Tahun 1998 Terkait Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes
Pada Bab I Peraturan Pemerintah (PP) ini, dijelaskan mengenai mengenai ketentuan
umum, dimana istilah-istilah yang terdapat didalam PP ini diberikan rincian penjelasan
seperti definisi dari: sediaan farmasi, produksi, pengangkutan, dan lain sebagainya
manurut PP ini. Kemudian pada Bab II, dijabarkan mengenai persyaratan mutu sediaan
farmasi dan alat kesehatan, keamanan, dan kemanfaatannya. Selamjutnya pada Bab III,
dijabarkan menganai ketentuan dalam memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Pada bab tersebut, kemudian dikatakan bahwa hanya badan usaha yang memiliki izin
saja yang dapat memproduksi sediaan farmasi dan alat kesehatan kecuali sediaan
farmasi berupa obat tradisional yang diproduksi perorangan (ini pun terdapat peraturan
perizinannya sendiri, dari Menteri Kesehatan). Pada Bab VI, dijabarkan menganai
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan, yang mencakup penjelasan umum
peredaran, izin edar sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengujian sediaan farmasi dan
alat kesehatan, penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan, dan penyerahan sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Pada Bab V, kemudian dijabarkan ketentuan menganai

2
prosesi pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat kesehatan, ke dalam dan
dari wilayah indonesia. Bab VI berisikan tentang kemasan sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Kemudian, Bab VII PP ini berisikan tentang pendanaan dan iklan yang
kemudian mencakup ketentuan dalam pendanaan dan informasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan serta ketentuan terkaik periklanan dari sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang didanai. Bab VIII PP ini menjabarkan menganai pemeliharaan mutu sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Bab IX PP ini menjabarkan menganai penggunaan dan
penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran yang kemudian
memperincikan menganai ketantuan pengujian kembali, penarikan kembali, dan ganti
rugi. Selanjutnya, pada Bab X PP ini dijabarkan menganai pemusnahan sediaan farmasi
dan alat kesehatan. Bab XI PP ini menjabarkan mengenai peran serta masyarakat. Bab
XII PP ini menjabarkan menganai pembinaan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Bab
XIII PP ini menjabarkan menganai pengawasan yang kemudian lebih rincinya
menjelaskan mengenai tanggungjawab pengawasan dan tindakan administratif terkait
sediaan farmasi dan alat kesehatan. Kemudian, Bab XIV PP ini menjabarkan menganai
ketentuan pidana terkait sediaan farmasi dan alat kesehatan. Selanjutnya, Bab XV PP ini
menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan lain yang belum ada pada bab-bab
sebelumnya, dan terakhir, pada Bab XVI dijabarkan menganai ketentuan penutup dari
PP nomor 72 Tahun 1998 ini.

1.3 Standar Pelayanan Farmasi di RS


1.3.1 Latar Belakang Standar Pelayanan Kefarmasian di RS
Standar Pelayanan Kefarmasian di RS dapat diartikan sebagai tolok ukur yang
dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian di RS. Standar tersebut dilatarbelakangi oleh pelayanan
kefarmasian di Rumah Sakit yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan
Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang bermutu dan terjangkau bagi
semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi klinik. Strategi optimalisasi
harus ditegakkan dengan cara memanfaatkan Sistem Informasi Rumah Sakit secara
maksimal pada fungsi manajemen kefarmasian, sehingga diharapkan dengan model

3
standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu.
Efisiensi yang diperoleh kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan
farmasi klinik secara intensif.
1.3.2 Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di RS
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang
efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan
bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai
di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat
Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis
habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu
jantung, implan, dan stent.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai meliputi:
a. Pemilihan;
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini
berdasarkan:
1) formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi;
2) standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang telah ditetapkan;
3) pola penyakit;
4) efektifitas dan keamanan;
5) pengobatan berbasis bukti;
6) mutu;
7) harga; dan
8) ketersediaan di pasaran

4
b. Perencanaan kebutuhan;
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan
untuk menghindari kekosongan Obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan
epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman
perencanaan harus mempertimbangkan:
1) anggaran yang tersedia;
2) penetapan prioritas;
3) sisa persediaan;
4) data pemakaian periode yang lalu;
5) waktu tunggu pemesanan; dan
6) rencana pengembangan.
c. Pengadaan;
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan
dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan
spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok
Obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat
Instalasi Farmasi tutup. Pengadaan dapat dilakukan melalui:
1) Pembelian Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku

5
2) Produksi Sediaan Farmasi Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan
tertentu apabila: Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran; Sediaan Farmasi
lebih murah jika diproduksi sendiri; Sediaan Farmasi dengan formula
khusus; Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan Sediaan Farmasi yang tidak stabil
dalam penyimpanan/harus dibuat baru (recenter paratus).
3) Sumbangan/Dropping/Hibah Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan
dan pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.
d. Penerimaan
Penerimaan Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen
terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
e. Penyimpanan;
Penyimpanan Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat
menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan
kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
f. Pendistribusian;
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien
dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin
terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan. Sistem distribusi di unit
pelayanan dapat dilakukan dengan cara:

6
1) Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
2) Sistem Resep Perorangan
3) Sistem Unit Dosis
4) Sistem Kombinasi
g. Pemusnahan dan penarikan;
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
1) produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
2) telah kadaluarsa;
3) tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4) dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
1) membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang akan dimusnahkan;
2) menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
3) mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait;
4) menyiapkan tempat pemusnahan; dan
5) melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
h. Pengendalian;
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan
Komite/Tim Farmasi dan Terapi di Rumah Sakit.
i. Administrasi.

7
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi
terdiri dari:
1) Pencatatan dan Pelaporan
2) Administrasi Keuangan
3) Administrasi Penghapusan
Manajemen risiko pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:
a. Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
b. Mengidentifikasi Risiko
2. Pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi::
a. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait
Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter
penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan.
b. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
c. Rekonsiliasi Obat;
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah

8
terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication
error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah
Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah
Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tahap proses rekonsiliasi
Obat yaitu:
1) Pengumpulan data
2) Komparasi
3) Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi
4) Komunikasi
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
e. Konseling;
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisiatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling
Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi
Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost effectiveness
yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien
(patient safety).
f. Visite;
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati

9
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat,
memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan
terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien
yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai
dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis
lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan
terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang
terkait dengan kerja farmakologi.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan
Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
j. Dispensing sediaan steril;
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas
dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
Obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
1) Pencampuran Obat Suntik
2) Penyiapan Nutrisi Parenteral
3) Penanganan Sediaan Sitostatik
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).

10
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat
karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
1.3.3 Sumber Daya Kefarmasian RS
1. Sumber Daya Manusia
a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi Farmasi
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:
a) Apoteker
b) Tenaga Teknis Kefarmasian
2) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari:
a) Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian
b) Tenaga Administrasi
c) Pekarya/Pembantu pelaksana
b. Persyaratan Sumber Daya Manusia
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan
administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Instalasi Farmasi harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan
Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Kepala Instalasi Farmasi diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di
Instalasi Farmasi minimal 3 (tiga) tahun.
c. Beban Kerja dan Kebutuhan
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan
Kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat
penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pemberian
informasi Obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga
Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien.

11
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan
Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep, penyerahan Obat,
Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga
Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat inap dan
rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk
kegiatan Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu, yaitu:

1) Unit Gawat Darurat;


2) Intensive Care Unit (ICU)/Intensive Cardiac Care Unit (ICCU)/Neonatus
Intensive Care Unit (NICU)/Pediatric Intensive Care Unit (PICU);
3) Pelayanan Informasi Obat;
Setiap staf di Rumah Sakit harus diberi kesempatan untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilannya. Instalasi Farmasi harus melakukan
pengembangan Pelayanan Kefarmasian sesuai dengan situasi perkembangan
kefarmasian terkini. Apoteker harus didorong untuk melakukan penelitian
mandiri atau berkontribusi dalam tim penelitian mengembangkan praktik
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
2. Sarana dan Peralatan
Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit harus didukung oleh
sarana dan peralatan yang memenuhi ketentuan dan perundang-undangan
kefarmasian yang berlaku. Lokasi harus menyatu dengan sistem pelayanan Rumah
Sakit, dipisahkan antara fasilitas untuk penyelenggaraan manajemen, pelayanan
langsung kepada pasien, peracikan, produksi dan laboratorium mutu yang
dilengkapi penanganan limbah. Peralatan yang memerlukan ketepatan pengukuran
harus dilakukan kalibrasi alat dan peneraan secara berkala oleh balai pengujian
kesehatan dan/atau institusi yang berwenang. Peralatan harus dilakukan
pemeliharaan, didokumentasi, serta dievaluasi secara berkala dan
berkesinambungan.

12
1.3.4 Pengorganisasian
1. Instalasi Farmasi
Pengorganisasian Instalasi Farmasi harus mencakup penyelenggaraan
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi
sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.
2. Komite/Tim Farmasi dan Terapi
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan
Terapi yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada
pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang
anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah
Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila
diperlukan. Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan kerja
dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan
penggunaan Obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi mempunyai tugas:
a. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit;
b. melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium
Rumah Sakit;
c. mengembangkan standar terapi;
d. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
e. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang rasional;
f. mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
g. mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
h. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di Rumah
Sakit.
3. Komite/Tim Lain Yang Terkait
Peran Apoteker dalam Komite/Tim lain yang terkait penggunaan Obat di Rumah
Sakit antara lain:
a. Pengendalian Infeksi Rumah Sakit;
b. Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
c. Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit;

13
d. Perawatan paliatif dan bebas nyeri;
e. Penanggulangan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes);
f. Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS);
g. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA);
h. Transplantasi;
i. PKMRS; atau
j. Terapi Rumatan Metadon

1.3.4 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian


Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi
untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan
antara capaian dengan rencana kerja);
b. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai target yang ditetapkan;
b. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Tahapan program pengendalian mutu:
1. Mendefinisikan kualitas Pelayanan Kefarmasian yang diinginkan dalam bentuk
kriteria;
2. Penilaian kualitas Pelayanan Kefarmasian yang sedang berjalan berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan;
3. Pendidikan personel dan peningkatan fasilitas pelayanan bila diperlukan;
4. Penilaian ulang kualitas Pelayanan Kefarmasian;
5. Up date kriteria.

1.4 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek


1.4.1 Latar Belakang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

14
Pelayanan Kefarmasian yang diselenggarakan di Apotek haruslah mampu
menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat dan sesuai dengan
amanat Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam rangka
peningkatan penggunaan obat rasional untuk mencapai keselamatan pasien, dilakukan
pelayanan kefarmasian sesuai standar di fasilitas kesehatan. Terkait dengan hal tersebut,
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes No 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek telah memuat kebijakan pelayanan
kefarmasian termasuk pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik yang harus dilaksanakan dan
menjadi tanggung jawab seorang apoteker.
14.2 Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Ruang lingkup pedoman teknis ini meliputi rangkaian pada pengelolaan sediaan
farmasi mulai dari Perencanaan Kebutuhan, Pengadaan, Penerimaan, Penyimpanan,
Pendistribusian, Pemusnahan dan Penarikan, Pengendalian dan Administrasi.
Selanjutnya, juga meliputi rangkaian pelayanan farmasi klinik mulai dari Pengkajian
dan Pelayanan resep, Dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), Pelayanan
Kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan
Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
14.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan Dan Bahan Medis Habis Pakai
(Bmhp) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Apotek sesuai dengan ketentuan yang
berlaku serta memastikan kualitas, manfaat dan keamanannya. Pengelolaan sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan dan bahan medis habis pakai harus dilaksanakan secara
multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk menjamin
kendali mutu dan kendali biaya.
1. Perencanaan
Perencanaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP merupakan tahap
awal untuk menetapkan jenis serta jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP yang sesuai dengan kebutuhan.

15
a. Tujuan perencanaan
1) Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP yang mendekati kebutuhan;
2) Meningkatkan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP secara
rasional.
3) Menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
4). Menjamin stok sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP tidak berlebih.
5) Efisiensi biaya.
6) Memberikan dukungan data bagi estimasi pengadaan, penyimpanan dan
biaya distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
b. Proses Perencanaan Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1) Persiapan Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana
kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP:
a) Perlu dipastikan kembali komoditas yang akan disusun perencanaannya.
b) Perlu disusun daftar spesifik mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang akan direncanakan, termasuk di dalamnya kombinasi
antara obat generik dan bermerek.
c) Perencanaan perlu memperhatikan waktu yang dibutuhkan, mengestimasi
periode pengadaan, mengestimasi safety stock dan memperhitungkan lead
time.
2) Pengumpulan data. Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP pasien periode sebelumnya (data
konsumsi), sisa stok dan data morbiditas.
3) Penetapan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang
direncanakan menggunakan metode perhitungan kebutuhan.
4) Evaluasi Perencanaan.
5) Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).
6) Apotek yang bekerjasama dengan BPJS diwajibkan untuk mengirimkan
RKO yang sudah disetujui oleh pimpinan Apotek melalui aplikasi E-Monev.

16
c. Metode Perhitungan Kebutuhan Menentukan kebutuhan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian yang harus
dilakukan oleh tenaga kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan
koordinasi dan proses perencanaan yang tepat, maka diharapkan obat yang
direncanakan dapat tepat jenis, jumlah dan waktu serta mutu yang terjamin.
Metode dan strategi perencanaan dapat ditujukan untuk penggunaan, untuk
menyiapkan dan menyesuaikan biaya, perencanaan dan pengembangan
layanan. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan didasarkan pada
penggunaan sumber daya dan data yang ada. Metode tersebut adalah metode
konsumsi, metode morbiditas dan metode proxy consumption.

1) Metode Konsumsi
Metode konsumsi didasarkan pada data konsumsi sediaan farmasi. Untuk
menghitung jumlah sediaan farmasi yang dibutuhkan berdasarkan metoda
konsumsi perlu diperhatikan hal sebagai berikut:
a) Pengumpulan dan pengolahan data.
b) Analisa data untuk informasi dan evaluasi.
c) Perhitungan perkiraan kebutuhan sediaan farmasi.
d) Penyesuaian jumlah kebutuhan Sediaan Farmasi dengan alokasi dana.
2) Metode Morbiditas Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat
berdasarkan pola penyakit. Metode morbiditas memperkirakan keperluan
obat s/d obat tertentu berdasarkan dari jumlah, kejadian penyakit dan
mempertimbangkan pola standar pengobatan untuk penyakit tertentu. Pada
prakteknya, penggunaan metode morbiditas untuk penyusunan rencana
kebutuhan obat di Apotek jarang diterapkan karena keterbatasan data
terkait pola penyakit.
3) Metode Proxy Consumption Metode proxy consumption adalah metode
perhitungan kebutuhan obat menggunakan data kejadian penyakit,
konsumsi obat, permintaan, atau penggunaan, dan/atau pengeluaran obat
dari Apotek yang telah memiliki sistem pengelolaan obat dan

17
mengekstrapolasikan konsumsi atau tingkat kebutuhan berdasarkan
cakupan populasi atau tingkat layanan yang diberikan.
d. Analisa Rencana Kebutuhan Sediaan Farmasi Untuk menjamin ketersediaan
obat dan efisiensi anggaran perlu dilakukan analisa saat perencanaan. Evaluasi
perencanaan dilakukan dengan cara berikut:
1) Analisis ABC ABC bukan singkatan melainkan suatu penamaan yang
menunjukkan peringkat/rangking dimana urutan dimulai dengan yang
terbaik/terbanyak.
2) Analisis VEN Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
dana sediaan farmasi yang terbatas dengan mengelompokkan sediaan
farmasi berdasarkan manfaat tiap jenis sediaan farmasi terhadap kesehatan.
3) Analisis Kombinasi Jenis sediaan farmasi yang termasuk kategori A dari
analisis ABC adalah benar-benar jenis sediaan farmasi yang diperlukan
untuk penanggulangan penyakit terbanyak. Dengan kata lain, statusnya
harus E dan sebagian V dari VEN. Sebaliknya, jenis sediaan farmasi
dengan status N harusnya masuk kategori C.
Revisi daftar sediaan farmasi Bila langkah-langkah dalam analisis ABC
maupun VEN terlalu sulit dilakukan atau diperlukan tindakan cepat untuk
mengevaluasi daftar perencanaan, sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu
evaluasi cepat (rapid evaluation), misalnya dengan melakukan revisi daftar
perencanaan sediaan farmasi. Namun sebelumnya, perlu dikembangkan dahulu
kriterianya, obat atau nama dagang apa yang dapat dikeluarkan dari daftar.
Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomi dan medik, tetapi juga dapat
berdampak positif pada beban penanganan stok.
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui pembelian. Untuk menjamin kualitas
pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP di apotek dilaksanakan
dengan pembelian. Pembelian merupakan suatu metode penting untuk mencapai

18
keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga. Apabila ada dua atau lebih
pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kriteria berikut: mutu produk (kualitas
produk terjamin ada NIE/Nomor Izin Edar), reputasi produsen (distributor berijin
dengan penanggung jawab Apoteker dan mampu memenuhi jumlah pesanan),
harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman (lead time cepat), mutu
pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang
dikembalikan, dan pengemasan.

3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima. Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah
satu kegiatan pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis, jumlah dan
mutunya berdasarkan Faktur Pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang yang
sah.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman
dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu sediaan farmasi.
Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari
penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menjaga ketersediaan, serta
memudahkan pencarian dan pengawasan.
5. Pemusnahan Dan Penarikan
Sediaan farmasi kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan
jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan sediaan farmasi kadaluarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan sediaan farmasi selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan Lampiran
7 sebagaimana terlampir. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5

19
(lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan
Resep menggunakan Lampiran 8 sebagaimana terlampir dan selanjutnya
dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan dan penarikan
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan
inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap
memberikan laporan kepada Kepala BPOM. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
Menteri.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,
penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kedaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya
memuat nama sediaan farmasi, tanggal kadaluarsa, jumlah pemasukan, jumlah
pengeluaran dan sisa persediaan. Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan
program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan sediaan farmasi di apotek. Pengendalian persediaan obat
terdiri dari: 1. Pengendalian ketersediaan Kekosongan atau kekurangan sediaan
farmasi di apotek dapat terjadi karena beberapa hal: d. Perencanaan yang kurang
tepat; e. Perubahan kebijakan pemerintah (misalnya perubahan e-katalog,
sehingga sediaan farmasi yang sudah direncanakan tahun sebelumnya tidak masuk
dalam katalog sediaan farmasi yang baru); dan f. Berikut beberapa langkah yang

20
dapat dilakukan oleh apoteker untuk mencegah/mengatasi kekurangan atau
kekosongan sediaan farmasi:
7. Pencatatan Dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan,
meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.
a. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor
transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di apotek. Adanya
pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila
terjadi adanya mutu sediaan farmasi yang substandar dan harus ditarik dari
peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital
maupun manual. Kartu yang umum digunakan untuk melakukan pencatatan
adalah Kartu Stok.
b. Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
sediaan farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada
pihak yang berkepentingan.

1.5 Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


1.5.1 Definisi Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

21
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan
pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Standar Pelayanan Kefarmasian
adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.

1.5.2 Tujuan Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


Pengaturan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian
2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety).
1.5.3 Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar :
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
Tujuan dilakukannya pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
adalah untuk menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan Sediaan
Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang efisien, efektif dan rasional,
meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan.
a. Perencanaan Kebutuhan;

22
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan
Farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan
perencanaan adalah untuk mendapatkan:
1) Perkiraan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang mendekati kebutuhan;
2) Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
3) Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.
b. Permintaan;
Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah
memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat.
Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah daerah setempat.
c. Penerimaan;
Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas
secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya
adalah agar Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
d. Penyimpanan:
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar
aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan
mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sediaan;

23
2) Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan
Farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban;
3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
4) Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
5) Tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
e. Pendistribusian;
Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub
unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Sub-sub unit di Puskesmas
dan jaringannya antara lain:
1) Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
2) Puskesmas Pembantu;
3) Puskesmas Keliling;
4) Posyandu; dan
5) Polindes.
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)
dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor
stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau
kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan
dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
f. Pemusnahan dan Penarikan;
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penarikan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut
oleh Menteri. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
1) Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;

24
2) Telah kadaluwarsa;
3) Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4) Dicabut izin edarnya
g. Pengendalian;
Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai
dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan
dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat
di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri
dari:
1) Pengendalian persediaan;
2) Pengendalian penggunaan; dan
3) Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
h. Administrasi;
Administrasi meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh
rangkaian kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai, baik Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang
diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit
pelayanan lainnya. Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah:
1) Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai telah dilakukan;
2) Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
3) Sumber data untuk pembuatan laporan.
i. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan;

25
2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.
2. Pelayanan Farmasi Klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
a. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi:
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2) Nama, dan paraf dokter.
3) Tanggal resep.
4) Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan.
2) Dosis dan jumlah Obat.
3) Stabilitas dan ketersediaan.
4) Aturan dan cara penggunaan.
5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).
Persyaratan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
2) Duplikasi pengobatan.
3) Alergi, interaksi dan efek samping Obat
4) Kontra indikasi.
5) Efek adiktif.
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

26
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Kegiatan:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara
pro aktif dan pasif
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan
lain-lain.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta masyarakat.
5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian
dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis
Habis Pakai.
6) Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.
c. Konseling;
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan
rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah
memberikan pemahaman yang benar mengenai Obat kepada
pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan,
cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan dan penggunaan Obat.
d. Ronde/Visite Pasien (Khusus Puskesmas Rawat Inap);
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. Pasien rawat inap yang telah
pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan
kurangnya kepatuhan penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan
pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud

27
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan Obat
sehingga tercapai keberhasilan terapi Obat.
e. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping. Tujuan:
1) Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
2) Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait
dengan Obat
Kriteria pasien:
1) Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2) Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3) Adanya multi diagnosis.
4) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5) Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6) Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan.
Kegiatan:
1) Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2) Membuat catatan awal
3) Memperkenalkan diri pada pasien.
4) Memberikan penjelasan pada pasien
5) Mengambil data yang dibutuhkan
6) Melakukan evaluasi
7) Memberikan rekomendasi
g. Evaluasi Penggunaan Obat

28
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
1.5.4 Sumber Daya Kefarmasian di Puskesmas
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus didukung
oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian. Sumber daya kefarmasian terdiri dari :
1. Sumber Daya Manusia
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung jawab,
yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan. Semua
tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik
untuk melaksanakan Pelayanan Kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan
termasuk Puskesmas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Semua tenaga kefarmasian di Puskesmas harus selalu meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam rangka menjaga dan
meningkatkan kompetensinya. Upaya peningkatan kompetensi tenaga
kefarmasian dapat dilakukan melalui pengembangan profesional berkelanjutan.
2. Sarana dan Prasarana
Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di Puskesmas
meliputi :
a. Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1 (satu) set
meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air
mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari

29
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label
Obat, buku catatan pelayanan resep, buku-buku referensi/standar sesuai
kebutuhan, serta alat tulis secukupnya.
c. Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan Obat meliputi konter penyerahan Obat, buku
pencatatan penyerahan dan pengeluaran Obat. Ruang penyerahan Obat
dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling, lemari buku,
buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet, poster, alat bantu konseling,
buku catatan konseling, formulir jadwal konsumsi Obat (lampiran),
formulir catatan pengobatan pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling
cabinet), serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan.
e. Ruang penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Selain itu juga memungkinkan masuknya cahaya yang
cukup. Ruang penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari
Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan
Obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
f. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan Pelayanan
Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Ruang arsip memerlukan
ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara dan
menyimpan dokumen dalam rangka untuk menjamin penyimpanan sesuai
hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang baik.

1.5.4 Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

30
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk mencegah
terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan
atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk
keselamatan pasien (patient safety). Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan
Kefarmasian meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi
untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
b. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan
b. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung untuk
memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan.
Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses.
Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk mengoptimalkan hasil pemantauan.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian, dilakukan
evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang diperoleh
melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.

1.6 Persamaan dan Perbedaan Pelayanan Kefarmasian di RS, Apotek, dan Puskesmas
Ada beberapa perbedaan dan persamaan standar pelayanan kefarmasiaan di setiap
tempat pelayanan kesehatan (Apotek, Puskesmas, dan Rumah Sakit), yaitu:

1.6.1 Peraturan Perundangan yang mengatur


Standar Pelayanan Kefarmasiaan di Apotek, Puskesmas, dan Rumah Sakit sama-sama
diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, yang membedakan
adalah Apotek diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Sedangkan

31
Puskesmas, diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Dan Rumah Sakit,
diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
1.6.2 Standar Pelayanan Kefarmasian
Standar Pelayanan Kefarmasiaan di Apotek, Puskesmas, dan Rumah Sakit
menyediakan pengelolaan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai serta
pelayanan farmasi klinik. Yang membedakan berada pada Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas yang mana tidak menyediakan alat kesehatan seperti di
Apotek dan Rumah Sakit.
1.6.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Untuk Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
persamaannya terletak pada perencanaan, penerimaan, penyimpanan pengendalian,
pencatatan, dan pelaporan, untuk perbedaanya ada di Puskesmas dan Rumah Sakit
seperti pendistribusian, pemantauan dan evaluasi pengelolaan, dan administrasi, untuk
daftarnya bisa dilihat di bawah ini:
1. Apotek
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
2. Puskesmas
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;

32
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
3. Rumah Sakit
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
1.6.4 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan Farmasi Klinik di setiap instansi kesehatan melakukan pengkajian
resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pemantauan terapi obat,
dan monitoring efek samping obat (MESO). Untuk perbedaanya, untuk visite pasien
rawat inap dilakukan di Puskesmas dan Rumah Sakit sedangkan di Apotek dilakukan
Pelayanan Kefarmasian di rumah. Perbedaan lainnya yg tidak dilakukan di Apotek,
yaitu evaluasi penggunaan obat (di Puskesmas), dispending sediaan steril dan
pemantauan kadar obat dalam darah (di Rumah Sakit). Dan untuk daftarnya bisa dilihat
di bawah ini:
1. Apotek
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
2. Puskesmas
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;

33
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.
3. Rumah Sakit
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling; f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
1.6.5 Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian
Di Apotek Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian harus didukung oleh
ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien
Sedangkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dan Rumah Sakit harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Pelayanan Kefarmasian di
Apotek dan Rumah Sakit harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan
terjangkau. Sedangkan di Puskesmas harus dilaksanakan pada unit pelayanan berupa
ruang farmasi yang dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.

1.7 Ringkasan
Hal-hal yang dipelajari dalam topik Peraturan Perundangan di bidang farmasi antara lain:
1. Berbagai aturan perundangan di bidang farmasi

34
2. Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes
3. Standar Pelayanan Kefarmasian di RS
4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
5. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
6. Persamaan dan Perbedaan Pelayanan Kefarmasian di RS, Apotek, dan Puskesmas
1.8 Daftar Pustaka
Permenkes Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Permenkes Nomor 76 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Fitria, Anggrilina. 2022. Perbedaan Dan Persamaan Pelayanan Kefarmasian Di Apotek,
Puskesmas, Dan Rumah Sakit. Download PDF - Perbedaan Dan Persamaan Pelayanan
Kefarmasian Di Apotek, Puskesmas, Dan Rumah Sakit [e2xzg31mp5w0] (vbook.pub).
Diakses pada 11 September 2022.

https://vbook.pub/download/perbedaan-dan-persamaan-pelayanan-kefarmasian-di-apotek-puskesmas-
dan-rumah-sakit-e2xzg31mp5w0

35
MAKALAH KOMPREHENSIF

REGISTRASI OBAT

oleh

Kelompok 4
Aghata Fisca Fatya Prasasti (1906397374)
Berliana Lailatul Akhsya (2006528231)
Ira Aulia (2006538970)
Yoana Samuela (2006594340)

Program Studi Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia

i
Registrasi Obat

1.1.Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat


Registrasi adalah prosedur pendaftaran dan evaluasi obat untuk mendapat izin edar.
Tujuan regitrasi obat yaitu memberikan perlindungan yang optimal kepada masyarakat dari
peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan efikasi, keamanan, mutu dan kemanfaatannya.
Pada Bab 2 kriteria obat pasal 3 ayat 1, obat yang dapat memiliki izin edar harus
memenuhi tiga kriteria utama berikut :
1. Efikasi atau khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan melalui uji
preklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status perkembangan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan.
2. Mutu yang memenuhi syarat yang dinilai dari proses produksi sesuai Cara Pembuatan Obat
yang Baik (CPOB), spesifikasi dan metoda pengujian terhadap semua bahan yang digunakan
serta produk jadi dengan bukti yang sahih.
3. Penandaan berisi informasi yang lengkap dan obyektif yang dapat menjamin penggunaan
obat secara tepat, rasional dan aman.

Selain tiga kriteria utama yang telah disebutkan pada ayat 1, dalam ayat 2 juga terdapat
kriteria lain yag harus dipenuhi yaitu :
1. Khusus untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan kemanfaatan dan keamanan
dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia untuk
indikasi yang diklim.
2. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan ditentukan
kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.
3. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan terjangkau yang ditetapkan tersendiri oleh
Kepala Badan.

Pendaftar adalah industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang telah mendapat izin
usaha sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pendaftar dikategorikan menjadi
empat yaitu:
1. Pendaftar obat produksi dalam negeri
Obat produksi dalam negeri meliputi obat tanpa lisensi, obat lisensi dan obat kontrak.

1
2. Pendaftar obat impor
Pendaftar obat impor adalah industri farmasi dalam negeri atau pedagang besar farmasi yang
mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi atau pemilik produk di luar negeri.
3. Pendaftar obat khusus ekspor
Pendaftar obat khusus untuk ekspor adalah industri farmasi.
4. Pendaftar obat yang dilindungi paten
Pendaftar obat yang dilindungi paten di Indonesia adalah industri farmasi dalam negeri
pemegang hak paten, atau industri farmasi lain atau pedagang besar farmasi yang mendapat
pengalihan paten dari pemegang hak paten sesuai ketentuan paten yang berlaku di Indonesia.

Pendaftar bertanggung jawab atas:


1 Kelengkapan dokumen yang diserahkan.
2 Kebenaran semua informasi yang tercantum dalam dokumen registrasi.
3 Kebenaran dan keabsahan dokumen yang dilampirkan untuk kelengkapan registrasi.
4 Perubahan data dan informasi dari produk yang sedang dalam proses registrasi atau sudah
memiliki izin edar.

Registrasi obat dikategorikan menjadi registrasi baru dan registrasi variasi. Registrasi
baru dikategorikan dari kategori satu sampai lima yaitu:
1 Kategori 1: adalah registrasi obat baru dengan zat aktif baru atau derivate baru atau
kombinasi baru atau produk biologi dengan zat aktif baru atau kombinasi baru atau dalam
bentuk sediaan baru.
2 Kategori 2: adalah registrasi obat baru dengan komposisi lama dalam bentuk sediaan baru
atau kekuatan baru atau produk biologi sejenis.
3 Kategori 3: adalah registrasi obat atau produk biologi dengan komposisi lama dengan
indikasi baru dan posology baru.
4 Kategori 4: adalah registrasi obat copy dengan nama dagang dan nama generic.
5 Kategori 5: adalah registrasi alat kesehatan yang mengandung obat

Registrasi variasi dikategorikan dari kategori enam sampai sepuluh yaitu:


1 Kategori 6: adalah registrasi obat copy yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan
yang sudah pernah disetujui di Indonesia:

2
• Perubahan atau penambahan bentuk sediaan dengan posologi atau cara pemberian
yang berbeda
• Perubahan atau penambahan bentuk sediaan
• Perubahan atau penambahan kekuatan sediaan
• Perubahan komposisi
• Perubahan obat copy dengan nama dagang menjadi obat copy dengan nama generik
atau sebaliknya
2 Kategori 7: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan klim
penandaan yang mempengaruhi keamanan.
3 Kategori 8: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan zat
tambahan, perubahan spesifikasi dan/atau metoda analisa, perubahan stabilitas, dan
perubahan teknologi produksi dan/atau tempat produksi
4 Kategori 9: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan atau
penambahan jenis kemasan
5 Kategori 10: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan klim
penandaan yang tidak mempengaruhi efikasi, keamanan dan mutu, perubahan desain
kemasan, perubahan nama pabrik atau nama pemberi lisensi, perubahan importir,
perubahan/penambahan besar kemasan, dan perubahan nama dagang tanpa perubahan
formula dan jenis kemasan

Registrasi obat diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan. Registrasi obat dilakukan
dalam 2 (dua) tahap, yaitu pra-registrasi dan penyerahan berkas registrasi.
1. Pra-registrasi
Pra-registrasi adalah prosedur registrasi yang dilakukan untuk menentukan jalur
evaluasi dan kelengkapan dokumen registrasi obat untuk kategori 1, kategori 2, kategori 3,
kategori 4, kategori 5, kategori 6, dan kategori 7. Pengajuan pra-registrasi disertai dengan
penyerahan Dokumen Pra registrasi sesuai Lampiran 2 dan dilengkapi dengan bukti
penelusuran nama obat. Dokumen pra-registrasi digunakan untuk pertimbangan penetapan
jalur evaluasi sesuai Lampiran 3 dan dilengkapi dengan dokumen administratif sesuai
Lampiran 4. Nama obat merupakan nama generic atau nama dagang berdasarkan Pedoman
Umum Nama Obat sesuai Lampiran 7. Hasil pra-registrasi diberitahukan secara tertulis
kepada pendaftar dan bersifat mengikat.
3
2. Registrasi
Pengajuan registrasi dilakukan dengan menyerahkan berkas registrasi dengan
mengisi formulir registrasi dan disket disertai bukti pembayaran biaya evaluasi dan
pendaftaran, dan hasil pra-registrasi. Formulir registrasi atau disket disediakan oleh
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. Terhadap registrasi obat, pendaftar
diwajibkan membayar biaya evaluasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Untuk keperluan evaluasi mutu, pendaftar harus menyerahkan
contoh obat untuk 3 (tiga) kali pengujian dan bahan baku pembanding sesuai spesifikasi dan
metoda pengujian zat aktif dan obat dimaksud. Registrasi obat kontrak, obat lisensi, dan obat
impor, selain harus memenuhi
ketentuan registrasi obat, juga harus memenuhi ketentuan sesuai Lampiran 8. Berkas
registrasi terdiri atas formulir registrasi dengan dokumen administratif dan dokumen
penunjang. Dokumen administratif merupakan dokumen yang harus dilengkapi untuk
registrasi obat sesuai Lampiran 4. Dokumen penunjang terdiri atas :
• Dokumen mutu dan teknologi untuk menjamin mutu obat sesuai Lampiran 9
• Dokumen uji preklinik yang dapat menggambarkan profil farmakodinamik,
farmakokinetik maupun toksisitas yang aman, sebelum diuji coba pada manusia,
dengan rincian sesuai Lampiran 10 dan matriks laporan uji preklinik sesuai Lampiran
11
• Dokumen uji klinik harus dapat membuktikan efikasi dan keamanan obat jadi secara
meyakinkan dengan rincian sesuai Lampiran 12 dan matriks laporan uji klinik sesuai
Lampiran 13

Formulir registrasi harus dilengkapi dengan:


• Rancangan kemasan yang meliputi etiket, dus/bungkus luar, strip/blister, catch cover,
ampul/vial, dan kemasan lain sesuai ketentuan tentang pembungkusan dan
penandaan yang berlaku, yang merupakan rancangan kemasan obat yang akan
diedarkan dan dapat dilengkapi dengan rancangan warna
• Brosur yang merupakan informasi mengenai obat.

4
Untuk registrasi baru berkas yang diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi
sesuai data pada Formulir A serta berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir B2, Formulir
B3, Formulir B4, Formulir C1, Formulir C2, Formulir C3, Formulir D, dan dokumen
penunjang registrasi baru untuk masing–masing kategori sesuai Lampiran 16. Berkas
registrasi obat copy dengan zat aktif yang telah ada Standar Informasi Elektronik (STINEL),
terdiri atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A dan Formulir B21-13, serta
berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir B214, Formulir B3, Formulir B4, Formulir C1
dan Formulir D. Berkas registrasi obat copy dengan zat aktif yang belum ada STINEL terdiri
atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A serta berkas Formulir A, Formulir
B1, Formulir B2, Formulir B3, Formulir C1 dan Formulir D.
Untuk registrasi variasi berkas yang diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi
sesuai data pada Formulir A serta berkas formulir dan dokumen penunjang registrasi variasi
untuk masing–masing kategori sesuai Lampiran 17.
Formulir registrasi terdiri dari :
• Formulir A berisi keterangan mengenai nama dan alamat pendaftar dan industri
farmasi pembuat obat serta keterangan umum mengenai obat yang didaftarkan
• Formulir B berisi dokumen yang mencakup aspek efikasi, keamanan dan mutu
mengenai obat yang didaftarkan dan bersifat mengikat, yaitu Formulir B1 (dokumen
administratif), Formulir B2 (informasi produk yang mencakup aspek efikasi,
keamanan dan mutu), Formulir B3 (cara pemberian nomor bets) dan
• Formulir B4 (informasi harga)
• Formulir C berisi dokumen yang harus dilampirkan untuk mendukung keterangan
yang tercantum dalam Formulir B2, yaitu Formulir C1 (dokumen mutu dan
teknologi), Formulir C2 (dokumen uji preklinik) dan Formulir C3 (dokumen uji
klinik)
• Formulir D berisi daftar contoh obat dan baku pembanding yang diserahkan
Pengisian formulir registrasi dan dokumen registrasi mengikuti ketentuan sebagai berikut:
• Pengisian formulir registrasi harus menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris
• Dokumen registrasi dapat menggunakan bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
• Penandaan obat bebas/bebas terbatas harus menggunakan Bahasa Indonesia

5
• Penandaan obat khusus ekspor sekurang-kurangnya menggunakan Bahasa Inggris.
Pelaksanaan evaluasi untuk registrasi baru dilakukan melalui Jalur I (satu), Jalur II
(dua) atau Jalur III (tiga).
Obat yang dievaluasi melalui Jalur I (satu) adalah:
• Obat yang indikasinya untuk terapi penyakit serius dan penyakit mengancam nyawa
manusia
• Obat esensial generik untuk program kesehatan masyarakat.

Obat yang dievaluasi melalui Jalur II (dua) adalah :


• Obat baru yang sudah disetujui di kelompok negara yang menerapkan system
evaluasi terharmonisasi dan 1 (satu) negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal
baik yang didukung dengan laporan hasil evaluasi independent
• Obat baru yang telah disetujui di 3 (tiga) negara dengan sistem evaluasi yang telah
dikenal baik yang didukung dengan laporan hasil evaluasi independent
• Obat copy tanpa STINEL dan produk darah.

Pemberian keputusan diberikan sejak menerima berkas registrasi yang lengkap selambat-
lambatnya :
1. Registrasi baru jalur I (satu) : 100 hari kerja
2. Registrasi baru jalur II (dua) : 150 hari kerja
3. Registrasi baru jalur III (tiga) untuk obat jadi baru : 300 hari kerja; obat copy dengan
STINEL dan obat khusus ekspor : 80 hari kerja
4. Registrasi variasi kategori-6, kategori-7, kategori-8 dan kategori-9 : 80 hari kerja
5. Registrasi variasi kategori-10 dengan informasi penandaan mutakhir : 40 hari kerja

Pendaftar yang telah mendapat izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan
mengedarkan obat selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah tanggal persetujuan
dikeluarkan.
Terhadap obat yang telah diberikan izin edar dapat dilakukan evaluasi Kembali oleh
Kepala Badan. Evaluasi kembali obat yang sudah beredar dilakukan terhadap :
• Obat dengan risiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan efektifitasnya yang
terungkap sesudah obat dipasarkan
• Obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari placebo

6
• Obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan hayati/bioekivalens

1.2.Industri Farmasi

Menurut Permenkes No.1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi,


pengertian Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan
untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat adalah seluruh
tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan
pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat
untuk didistribusikan. Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya disingkat CPOB adalah
cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat yang dihasilkan sesuai
dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang
pendeteksian, penilaian (assessment), pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan obat.
Proses pembuatan obat dan/atau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh Industri Farmasi.
Selain Industri Farmasi, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat melakukan proses pembuatan obat
untuk keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan. Namun,
Instalasi Farmasi Rumah Sakit harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan CPOB yang
dibuktikan dengan sertifikat CPOB.
Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memperoleh izin industri farmasi dari Direktur
Jenderal. Industri Farmasi yang membuat obat dan/atau bahan obat yang termasuk dalam
golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksi narkotika sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan untuk memperoleh izin industri farmasi,
terdiri atas:
a. berbadan usaha berupa perseroan terbatas;
b. memiliki rencana investasi dan kegiatan pembuatan obat;
c. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. memiliki secara tetap paling sedikit 3 (tiga) orang apoteker Warga Negara Indonesia
masing-masing sebagai penanggung jawab pemastian mutu, produksi, dan pengawasan
mutu; dan

7
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.

Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dan lingkungan hidup. Industri Farmasi
wajib memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB dan Sertifikat
CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi persyaratan. Selain wajib memenuhi
ketentuan tersebut, Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans. Apabila dalam
melakukan farmakovigilans Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil
produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan
dan mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.
Tata cara pemberian persetujuan prinsip:
1. Diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala
dinas kesehatan provinsi
2. Wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada
Kepala Badan terlebih dahulu
3. Mengajukan kelengkapan berkas yang terlampir pada permenkes
No.1799/MENKES/PER/XII/2010
4. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal paling lama dalam waktu 14 hari
kerja setelah permohonan diterima atau menolaknya

Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga) tahun. Persetujuan prinsip dapat diubah
berdasarkan permohonan dari pemohon izin industri farmasi yang bersangkutan. Dalam hal
tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian pembangunan fisik, atas permohonan
pemohon, jangka waktu 3 (tiga) tahun dapat diperpanjang oleh Direktur Jenderal untuk paling
lama 1 (satu) tahun. Pada saat pemohon izin industri farmasi mulai melakukan pembangunan
fisik, yang bersangkutan dapat menyampaikan surat permohonan impor mesin-mesin dan
peralatan lainnya termasuk peralatan pengendalian pencemaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selama melaksanakan pembangunan fisik, yang bersangkutan wajib
menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik setiap 6 (enam) bulan sekali
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi. Persetujuan prinsip batal demi hukum apabila setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun

8
dan/atau setelah jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan, pemohon belum menyelesaikan
pembangunan fisik, dengan memperhatikan ketentuan.
Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur utama dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan yang sudah terlampir pada
permenkes No.1799/MENKES/PER/XII/2010 diajukan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat. Untuk
mekanismenya sebagai berikut:
1. Pengajuan surat permohonan izin industri farmasi
2. Verifikasi kelengkapan persyaratan administratif dan melakukan audit pemenuhan
persyaratan CPOB
3. Keluar rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dan CPOB
4. Penerbitan izin industri farmasi

Dalam penyelenggaraannya Industri Farmasi mempunyai fungsí sebagai pembuatan obat


dan/atau bahan obat, pendidikan dan pelatihan, serta penelitian dan pengembangan. Izin industri
farmasi berlaku untuk seterusnya selama Industri Farmasi yang bersangkutan masih berproduksi
dan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap perubahan alamat, penanggung
jawab, atau nama industri wajib mengajukan permohonan perubahan izin kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinkes provinsi. Industri Farmasi
yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan hasil produksinya langsung kepada pedagang
besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko
obat.
Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan
usahanya setiap 6 bulan dan 1 tahun. Laporan disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari dan
tanggal 15 Juli. Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh Direktur
Jenderal. Sedangkan Pengawasan terhadap Industri Farmasi dilakukan oleh Kepala Badan.
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali
obat atau bahan obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang tidak memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;

9
c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d. penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin industri farmasi; atau
f. pencabutan izin industri farmasi.

Permenkes No.1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi diubah menjadi


Permenkes No.16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi. Terdapat tambahan pasal terkait
permohonan pembaharuan izin industri farmasi yang harus diajukan oleh pemohon dengan
kelengkapan berkas yang terlampir pada Permenkes No.16 Tahun 2013. Permohonan
pembaharuan izin industri farmasi paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak
diterimanya permohonan pembaharuan izin industri farmasi dan bila dinyatakan lengkap,
Direktur Jenderal akan menerbitkan izin industri farmasi.

1.3.Industri dan Usaha Obat Tradisional

Berdasarkan Permenkes Nomor 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat
Tradisional, disebutkan bahwa:
1. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik yang selanjutnya disingkat CPOTB adalah
seluruh aspek kegiatan pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar
produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai
dengan tujuan penggunaannya.
3. Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industri yang membuat
semua bentuk sediaan obat tradisional.
4. Industri Ekstrak Bahan Alam yang selanjutnya disebut IEBA adalah industri yang khusus
membuat sediaan dalam bentuk ekstrak sebagai produk akhir.

10
Obat tradisional hanya dapat dibuat oleh industri (IOT dan IEBA) dan usaha (UKOT,
UMOT, Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu Gendong) di bidang obat tradisional. Pada pasal
4 dan 5 disebutkan bahwa:
1. IOT dan IEBA hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi dan pendiriannya harus di lokasi yang bebas pencemaran serta
tidak mencemari lingkungan.
2. UKOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. UMOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha perorangan yang memiliki izin
usaha sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.

1.4.Registrasi Obat Tradisional

Berdasarkan persyaratan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Obat Tradisional,


Suplemen Kesehatan, dan Kosmeti BPOM, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
melakukan registrasi obat tradisional, diantaranya:
1. Obat Tradisional Low Risk
a. Formula produk;
b. Cara pembuatan;
c. Hasil pengujian mutu bahan baku;
d. Hasil pengujian mutu produk jadi;
e. Penjelasan masa kedaluwarsa produk jadi disertai komitmen untuk melakukan uji
stabilitas real time sampai masa kedaluwarsa;
f. Rancangan penandaan yang berwarna.
2. Obat Tradisional Komposisi Tertentu
a. Formula produk;
b. Hasil pengujian mutu bahan baku;
c. Hasil pengujian mutu produk jadi;
d. Penjelasan masa kedaluwarsa produk disertai komitmen untuk melakukan uji
stabilitas real time hingga masa kedaluwarsa; dan
e. Rancangan penandaan yang berwarna.
3. Obat Tradisional Layanan Prioritas

11
a. Formula produk;
b. Hasil pengujian mutu bahan baku;
c. Hasil pengujian mutu produk jadi;
d. Penjelasan masa kedaluwarsa produk disertai komitmen untuk melakukan uji
stabilitas real time hingga masa kedaluwarsa; dan
e. Rancangan penandaan yang berwarna.
4. Obat Tradisional Dalam Negeri/Lisensi
a. Formula produk meliputi:
i. formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan;
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
i. Sertifikat analisa dan spesifikasi bahan baku dari produsen bahan baku;
dan
ii. Identifikasi bahan baku simplisia/ekstrak seperti hasil kromatogram bila
diperlukan;
d. Spesifikasi produk jadi dan hasil pengujiannya yang memuat spesifikasi, metode
analisa, dan hasil pengujian yang memenuhi ketentuan keamanan dan mutu yang
mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mengatur
mengenai Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional;
e. Protokol dan hasil uji stabilitas produk jadi;
f. Hasil uji toksisitas produk jadi mengandung bahan baku yang belum diketahui
profil keamanannya;
g. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
h. Rancangan penandaan yang berwarna;
i. Spesifikasi kemasan;
j. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik; dan k.

12
Persyaratan mutu bahan baku atau produk obat tradisional sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
5. Obat Tradisional Impor
a. Formula produk dari produsen luar negeri meliputi:
i. Formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. Jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan/ per bets;
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
i. Sertifikat analisa dan spesifikasi bahan baku dari produsen bahan baku;
ii. Identifikasi bahan baku simplisia/ekstrak seperti hasil kromatogram bila
diperlukan;
d. Dokumen mutu berupa spesifikasi, metode analisa, dan hasil pengujian bahan
baku dan produk jadi dari produsen di negara asal;
e. Hasil pengujian mutu produk jadi dari laboratorium yang terakreditasi di
Indonesia dan/atau laboratorium internal yang diakui oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan sesuai dengan ruang lingkup uji;
f. Protokol dan hasil uji stabilitas produk jadi sebanyak minimal 2 (dua) bets skala
pilot
g. Hasil uji toksisitas produk jadi mengandung bahan baku atau komposisi formula
yang belum diketahui profil keamanannya;
h. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
i. Spesifikasi material kemasan primer;
j. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik; dan
k. Rancangan penandaan yang berwarna, contoh produk, kemasan dan penandaan
asli yang beredar di negara asal.
6. Obat Herbal Terstandar
a. Formula produk meliputi:

13
i. formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan/per bets;
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
i. Spesifikasi dan hasil pengujian standarisasi bahan baku diantaranya
berupa uji identifikasi dan kadar kandungan senyawa penanda atau
golongan;
ii. Metoda analisa pengujian setiap parameter uji;
d. Spesifikasi produk jadi dan hasil pengujiannya yang memuat spesifikasi, metode
analisa, dan hasil pengujian yang memenuhi ketentuan keamanan dan mutu yang
mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mengatur
mengenai Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional;
e. Protokol dan laporan hasil uji stabilitas produk jadi;
f. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
g. Spesifikasi material kemasan primer;
h. Rancangan penandaan yang berwarna;
i. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik; dan
j. Hasil uji praklinik produk jadi meliputi laporan hasil uji toksisitas dan uji
farmakodinamika.
7. Fitofarmaka
a. Formula produk meliputi:
i. formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan/per bets.
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:

14
i. Spesifikasi dan hasil pengujian standarisasi bahan baku diantaranya
berupa uji identifikasi dan kadar kandungan senyawa penanda atau
golongan; dan
ii. Metoda analisa pengujian setiap parameter uji;
d. Spesifikasi produk jadi dan hasil pengujiannya yang memuat:
i. Spesifikasi dan hasil pengujian standarisasi produk jadi berupa uji
identifikasi dan kadar kandungan senyawa penanda atau golongan; I
ii. Spesifikasi dan hasil pengujian yang memenuhi ketentuan keamanan dan
mutu sesuai bentuk sediaan yang mengacu pada Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan yang mengatur mengenai Persyaratan
Keamanan dan Mutu Obat Tradisional; dan
iii. Metoda analisa parameter pengujian produk jadi;
e. Protokol dan laporan hasil uji stabilitas produk jadi;
f. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
g. Spesifikasi material kemasan primer;
h. Rancangan penandaan yang berwarna;
i. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik;
j. Hasil uji praklinik produk jadi meliputi laporan hasil uji toksisitas dan uji
farmakodinamika mengacu pada ketentuan yang berlaku; dan
k. Hasil uji klinik produk jadi mengacu pada ketentuan yang berlaku.

1.5.Warung Obat Desa

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


983/Menkes/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelanggaraan Warung Obat Desa merupakan
suatu tempat si mana masyarakat dapat dengan mudah memperoleh obat bermutu dan terjangkau
untuk pengobatan sendiri. Hal ini kemudian sejalan dengan Visi Pembangunan Nasional
Indonesia Tahun 2005-2025 yaitu mewujudkan kemandirian melalui pembangunan kesehatan
yang bersumber daya masyarakat.

15
Dalam pengelolaan Warung Obat Desa (WOD) diatur pula bagaimana tata cara
pembelian obat, yaitu:
• Rencana pembelian obat harus dicatat dalam buku catatan khusus
• Setiap pembelian obat untuk persediaan WOD harus disertai tanda bukti pembelian
• Tanda bukti pembelian harus dikumpulkan dan disimpan bersama buku catatan khusus

Setelah obat sudah tersedia atau sudah dibeli, prosedur selanjutnya adalah bagaimana
menyimpan obat tersebut. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan obat adalah
sebagai berikut:
• Obat disimpan dengan seksama supaya tidak rusak
• Cara penyimpanan obat: Masing-masing obat disimpan dala tempat atau wadah yang
terpisah
• Botol berisi obat harus diletakan dalam keadaan berdiri. Pot salep ditempatkan dalam
kotak supaya tidak mengotori lemari

1.6.Apotek Rakyat

Apotek Rakyat menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 284/MENKES/PER/III/2007


adalah sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan kefarmasian dimana
dilakukannya penyerahan obat dan perbekalan kesehatan dan tidak melakukan peracikan
serta tidak boleh menyimpan dan menyerahkan narkotika dan psikotropika.

Apotek rakyat pada dasarnya diadakan dengan tujuan untuk meningkatkan dan
memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat dan untuk meningkatkan
pelayanan kefarmasian sekaligus sebagai kesempatan pengembangan Pedagang Eceran
Obat bagi masyarakat.

Dalam salah satu tujuan diadakannya apotek rakyat, dijelaskan bahwa mendukung
Pedagang Obat Eceran, di mana Pedangan Obat Eceran merupakan satu atau gabungan
dari maksimal 4 pedagang eceran obat sehingga dapat dikatakan Apotek Rakyat. Jika
terjadi perubahan status maka pedagang obat eceran harus mempunya ikatan kerjasama

16
dalam bentuk badan usaha atau bentuk lainnya serta letak lokasi pedagang eceran obat
berdampingan yang memungkinkan dibawah satu pengelolaan.

2. Ringkasan
Hal-hal yang dipelajari dalam topik ……….. antara lain:
1. ……………………..
2. ……………………..
3. ……………………..
4. ……………………..
5. ……………………..

17
3. Daftar Pustaka

Permenkes No. 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional [JDIH BPK
RI]. (2012). Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/129888/permenkes-no-6-
tahun-2012
Permenkes RI No 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. [Online].
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/129885/permenkes-no-1799menkesperxii2010-tahun-
2010.
Permenkes RI No 16 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. [Online].
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/129892/permenkes-no-16-tahun-2013.
Registrasi Baru Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. (2021).
Retrieved from https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/dki-jakarta/registrasi-baru-obat-
tradisional--obat-herbal-terstandar-dan-fitofarmaka

18
Makalah Komprehensif

DAFTAR OBAT ESENSIAL NASIONAL (DOEN), FORMULARIUM


NASIONAL (FORNAS), DAN PENGANTAR FARMAKOLOGI

Oleh
Kelompok 5 :

Asmira Dayanti 1906428644


Brian Agung Darmawan 2006528521
Hanifditya Naufal Hidayat 2006594933
Riza Aulia 2006539191

Program Studi Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Nasional (FORNAS)
dan Pengantar Farmakologi

1.1 Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)

Definisi
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling
dibutuhkan dan yang harus tersedia di Unit Pelayanan Kesehatan sesuai dengan fungsi dan
tingkatnya. Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan,
mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.

Tujuan

Penerapan DOEN dimaksudkan untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan


penggunaan dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya
yang tersedia sebagai salah satu langkah untuk memperluas, pemerataan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten
dan terus menerus di semua unit pelayanan kesehatan.

Konsep
Konsep Obat Esensial di Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN) yang pertama pada tahun 1980, dan dengan terbitnya Kebijakan
Obat Nasional pada tahun 1983. Pada tahun 2007, Organisasi Kesehatan Dunia - World Health
Organization (WHO) telah melaksanakan program Good Governance on Medicines (GGM) tahap
pertama di Indonesia dengan melakukan survey tentang proses transparansi 5 (lima) fungsi
kefarmasian. Salah satunya adalah proses seleksi DOEN, yang dari segi proses transparansi dinilai
kurang memadai. Dari pertemuan peringatan 30th Essential Medicine List WHO di Sri Lanka
(2007), diberikan tekanan kembali pentingnya transparansi proses seleksi baik dari tim ahli yang
melakukan revisi, proses revisi, dan metoda revisi yang harus semakin mengandalkan Evidence
Based Medicine (EBM), dan pentingnya pernyataan bebas conflict of interest dari para anggota tim
ahli.

Pemilihan Obat Esensial


A. Kriteria Pemilihan Obat Esensial, Pemilihan obat esensial didasarkan atas kriteria berikut:
1) Memiliki rasio manfaat-resiko (benefit-risk ratio) yang paling
menguntungkan penderita.
2) Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.
3) Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.
4) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan
dengan tenaga, sarana, dan fasilitas kesehatan.
5) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh
penderita.
6) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi
berdasarkan biaya langsung dan tidak langsung.
7) Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi
yang serupa, pilihan dijatuhkan pada:
- Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah;
- Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan;
- Obat yang stabilitasnya lebih baik;
- Mudah diperoleh;
- Obat yang telah dikenal.

8) Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut:


- Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap;
- Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi
daripada masing-masing komponen;
- Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut
- Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio);
- Untuk antibiotik kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi dan efek merugikan lainnya.
B. Kriteria Penambahan dan Pengurangan

1) Dalam hal penambahan obat baru perlu dipertimbangkan untuk menghapus obat dengan
indikasi yang sama yang tidak lagi merupakan pilihan, kecuali ada alasan kuat untuk
mempertahankannya.
2) Obat program diusulkan oleh pengelola program dan akan dinilai sesuai kriteria
pemilihan obat esensial.
3) Dalam pelaksanaan revisi seluruh obat yang ada dalam DOEN edisi sebelumnya dikaji
oleh Komite Nasional (Komnas) Penyusunan DOEN, hal ini memungkinkan untuk
mengeluarkan obat-obat yang dianggap sudah tidak efektif lagi atau sudah ada
pengganti yang lebih baik.
4) Untuk obat yang sulit diperoleh di pasaran, tetapi esensial, maka akan tetap dicantumkan
dalam DOEN. Selanjutnya diupayakan Pemerintah untuk menjamin ketersediaannya.
5) Obat yang baru diusulkan harus memiliki bukti ilmiah terkini (evidence based
medicine), telah jelas efikasi dan keamanan, serta keterjangkauan harganya. Dalam hal
ini obat yang telah tersedia dalam nama generik menjadi prioritas pemilihan.

Pedoman pengobatan

Pedoman Pengobatan disusun secara sistematik untuk membantu dokter dalam


menegakkan diagnosis dan pengobatan yang optimal untuk suatu penyakit tertentu. Pedoman
Pengobatan disusun untuk setiap tingkat unit pelayanan kesehatan, seperti Pedoman Pengobatan
Dasar di Puskesmas dan Pedoman Diagnosis dan Terapi di Rumah Sakit. Pedoman Pengobatan
memuat informasi penyakit, terutama penyakit yang umum terjadi dan keluhan- keluhannya serta
informasi tentang obatnya meliputi kekuatan, dosis dan lama pengobatan.

Formularium Rumah Sakit

Formularium Rumah Sakit merupakan daftar obat yang disepakati beserta informasinya
yang harus diterapkan di rumah sakit. Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan
Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT) rumah sakit berdasarkan DOEN dan
disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk
pelayanan di rumah sakit tersebut. Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada
pedoman pengobatan yang berlaku. Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau.
Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.

Formularium Spesialistik

Formularium Spesialistik merupakan suatu buku yang berisi informasi lengkap obat-obat
yang paling dibutuhkan oleh dokter spesialis bidang tertentu, untuk pengelolaan pasien dengan
indikasi penyakit tertentu. Formularium Spesialistik disusun untuk meningkatkan ketaatan para
dokter spesialis rumah sakit terhadap Formularium Rumah Sakit yang selama ini masih sangat
rendah. Bidang spesialisasi tertentu bisa saja mempunyai banyak subspesialisasi, misalnya bidang
spesialisasi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, merupakan bidang spesialisasi yang
mempunyai banyak subspesialisasi, sehingga dapat disusun daftar obat esensial khusus untuk Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Penyusunan Formularium Spesialistik melibatkan baik
asosiasi profesi dokter spesialis terkait maupun masing-masing sub spesialisasinya. Dengan
keikutsertaan serta peran aktif para spesialis diharapkan para spesialis tersebut merasa memiliki
sehingga penggunaan obat rasional dapat diterapkan dengan baik.

Informatorium Obat Nasional Indonesia

Informatorium Obat Nasional Indonesia berisi informasi obat yang beredar dan disajikan
secara ringkas dan sangat relevan dengan kebutuhan dokter, apoteker dan tenaga kesehatan
lainnya. Informatorium Obat Nasional Indonesia diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan untuk menjamin objektivitas, kelengkapan dan tidak menyesatkan. Informasi obat yang
disajikan meliputi indikasi, efek samping, dosis, cara penggunaan dan informasi lain yang penting
bagi penderita. Pengembangan Informatorium Obat Nasional Indonesia dilakukan berdasarkan
bukti yang didukung secara ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaatan dan penggunaan obat.

Pengelolaan dan Penggunaan Obat

Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat esensial pada
fasilitas pelayanan kesehatan selain harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah
ditetapkan, juga sangat berkaitan dengan pengelolaan obat.Pengelolaan obat yang efektif
diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi
standar mutu. Aspek yang penting dalam pengelolaan obat meliputi antara lain:

- Pembatasan jumlah dan jenis obat berdasarkan Daftar Obat Esensial menggunakan nama
generik, dengan perencanaan yang tepat.
- Pengadaan dalam jumlah besar (bulk purchasing).
- Pembelian yang transparan dan kompetitif.
- Sistem audit dan pelaporan dari kinerja pengelolaan.

Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan


Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota membawa implikasi terhadap organisasi kesehatan di provinsi, kabupaten
maupun kota. Demikian pula halnya dengan organisasi pengelolaan obat, masing-masing daerah
Kabupaten/Kota mempunyai struktur organisasi dan kebijakan sendiri dalam pengelolaan obat.
Dimana hal ini membuka berbagai peluang terjadi perbedaan yang sangat mendasar di masing-
masing Kabupaten/Kota dalam melaksanakan pengelolaan obat.

Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau distributor, dan
berakhir pada saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit pengadaan. Distribusi obat yang
efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen yang baik dengan cara antara lain: menjaga
suplai obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi,
meminimalkan obat yang tidak terpakai karena rusak atau kadaluarsa dengan perencanaan yang
tepat sesuai kebutuhan masing-masing daerah, memiliki catatan penyimpanan yang akurat,
rasionalisasi depo obat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat.

Dengan adanya desentralisasi diharapkan Kabupaten/Kota maupun Provinsi dapat


mencukupi kebutuhan obatnya masing-masing. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian
Kesehatan hanya memback-up manakala Kabupaten/Kota maupun Provinsi tidak dapat memenuhi
kebutuhannya. DOEN merupakan dasar untuk perencanaan dan pengadaan obat baik di tingkat
daerah (Kabupaten/Kota/Provinsi) maupun di tingkat pusat. Untuk pengelolaan dan penggunaan
obat khusus (spesialistik) dalam mengatasi keadaan tertentu, pemerintah c.q. Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan dapat memasukkannya melalui
jalur khusus (Special Access Scheme) sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1379.A/Menkes/SK/XI/ 2002 atau perubahannya.

Tata Nama

- Nama obat dituliskan sesuai dengan Farmakope Indonesia edisi terakhir. Jika tidak ada
dalam Farmakope Indonesia maka digunakan International Nonproprietary Names (INN)
(nama generik) yang diterbitkan WHO.
- Obat yang sudah lazim digunakan dan tidak mempunyai nama INN (generik) ditulis
dengan nama lazim, misalnya : garam oralit.
- Obat kombinasi yang tidak mempunyai nama INN (generik) diberi nama yang disepakati
sebagai nama generik untuk kombinasi dan dituliskan masing-masing komponen zat
berkhasiatnya disertai kekuatan masing-masing komponen.
Untuk beberapa hal yang dianggap perlu nama sinonim, dituliskan di antara tanda
kurung.

Daftar Obat Esensial Nasional

1. Rumah Sakit
1.2 Formularium Nasional (FORNAS)

Definisi

Formularium nasional (Fornas) adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, berdasarkan pada bukti ilmiah mutakhir, berkhasiat, aman,
dan dengan harga terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat
dalam jaminan kesehatan nasional .

Tujuan

Tujuan utama pengaturan obat dalam Fornas adalah meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan, melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi pengobatan sehingga tercapai penggunaan
obat rasional. Bagi tenaga kesehatan, Fornas bermanfaat sebagai "acuan" bagi penulis resep,
mengoptimalkan pelayanan kepada pasien, memudahkan perencanaan, dan penyediaan obat di
fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan adanya Fornas maka pas1en akan mendapatkan obat terpilih
yang tepat, berkhasiat, bermutu, aman dan terjangkau, sehingga akan tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu obat yang tercantum dalam Fornas harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya

Manfaat

Pedoman Penyusunan dan Penerapan Fornas dimaksudkan agar dapat memberikan


manfaat baik bagi Pemerintah maupun Fasilitas Kesehatan dalam:

a. Menetapkan penggunaan obat yang aman, berkhasiat, bermutu, terjangkau, dan berbasis
bukti ilmiah dalam JKN
b. Meningkatkan penggunaan obat rasional.
c. Mengendalikan biaya dan mutu pengobatan.
d. Mengoptimalkan pelayanan kesehatan kepada pasien.
e. Menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan.
f. Meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan.
Regulasi fornas

1. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328/ Menkes/Sk/ Ix/2013


Tentang Formularium Nasional
2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 159/ Menkes/Sk/ V/2014
Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328/
Menkes/Sk/ Ix/2013 Tentang Formularium Nasional
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/523/2015
Tentang Formularium Nasional
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/523/2015
Tentang Formularium Nasional
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk.02.02/Menkes/137/2016 Tentang Perubahan
Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor Hk. 02.02/Menkes/523/2015 Tentang
Formularium Nasional
6. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.02.02/Menkes/636/2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
Hk.02.02/Menkes/523/2015 Tentang Formularium Nasional
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/659/2017
Tentang Formularium Nasional
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/813/2019
tentang Formularium Nasional
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/350/2020
Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
Hk.01.07/Menkes/813/2019 Tentang Formularium Nasional

Penyusunan Fornas

Fornas ditetapkan oleh menteri kesehatan republik indonesia dengan membentuk komite
nasional yang terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan, organisasi profesi, perguruan tinggi, dan tenaga ahli. yang terdiri dari :

a. Tim ahli
b. Tim evaluasi
c. Tim pelaksana
d. Tim reviu

Tahapan penyusunan fornas

Gambar Alur Proses Penyusunan Formularium Nasional

Penyusunan Formularium Nasional dilakukan dengan tahapan:

a. Pengusulan; usulan berasal dari pihak yang terkait dalam penyusunan fornas yang dapat
dilakukan secara tertulis atau secara daring menggunakan sistem aplikasi E-Fornas
b. Seleksi administratif; merupakan proses seleksi oleh tim pelaksana terhadap usulan yang
memenuhi persyaratan
c. Kompilasi usulan; merupakan proses kompilasi yang dilakukan oleh tim pelaksana
terhadap usulan yang telah lulus seleksi administratif.
d. Pembahasan teknis; merupakan pembahasan terhadap kompilasi usulan dan/atau
rekomendasi dari komite penilaian teknologi kesehatan atau dewan pertimbangan klinis
kepada Menteri dan dapat melibatkan komite penilaian teknologi kesehatan dan/atau
dewan pertimbangan klinis sesuai dengan kebutuhan
e. Rapat pleno; merupakan pembahasan yang dilakukan oleh komite nasional dengan
melibatkan pengusul komite penilaian teknologi kesehatan dan/atau dewan pertimbangan
klinis sesuai dengan kebutuhan dan hasil rapat pleno berupa rekomendasi daftar obat yang
akan dimuat dalam Formularium Nasional
f. Finalisasi ; merupakan penyempurnaan redaksional Formularium Nasional hasil rapat
pleno serta memberikan rekomendasi daftar obat yang tercantum Formularium Nasional
kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
g. Penetapan; merupakan penetapan Formularium Nasional oleh Menteri

Kriteria pemilihan Obat dalam Fornas

a. Memiliki khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih.
b. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien.
c. Memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM.
d. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi.
e. Obat tradisional dan suplemen makanan tidak dimasukkan dalam Fornas.
f. Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada obat yang memiliki kriteria berikut:
- Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah;
- Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan;
- Stabilitasnya lebih baik;
- Mudah diperoleh.
g. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
- Obat hanya bermanfaat bagi penderita jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap;
- Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing-masing komponen;
- Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut;
- Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit cost ratio)
- Untuk antibiotik, kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi atau efek merugikan lainnya.

Ketentuan Umum Penulisan Fornas

a. Sistematika penggolongan nama obat didasarkan pada 29 kelas terapi, 96 subkelas terapi,
36 sub sub kelas terapi, 16 sub sub sub kelas terapi, nama generik obat, sediaan/kekuatan,
restriksi, dan tingkat fasilitas kesehatan.
b. Penulisan nama obat disusun berdasarkan abjad nama obat dan dituliskan sesuai
Farmakope Indonesia edisi terakhir. Jika tidak ada dalam Farmakope Indonesia, maka
digunakan International Nonproprietary Names (INN)/nama generik yang diterbitkan
WHO. Obat yang sudah lazim digunakan dan tidak mempunyai nama INN (generik) ditulis
dengan nama lazim. Obat kombinasi yang tidak mempunyai 1 nama INN (generik) diberi
nama yang disepakati sebagai nama generik untuk kombinasi dan dituliskan masing-
masing komponen zat berkhasiatnya disertai kekuatan masing- masing komponen. Untuk
beberapa hal yang dianggap perlu nama sinonim, dituliskan di antara tanda kurung.
c. Satu jenis obat dapat tercantum dalam beberapa kelas terapi, subkelas atau sub-sub kelas
terapi sesuai indikasi medis. Satu jenis obat dapat dipergunakan dalam beberapa bentuk
sediaan dan satu bentuk sediaan dapat terdiri dari beberapa jenis kekuatan.
d. Obat yang dipakai di fasilitas kesehatan tingkat 1 adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan primer.
e. Obat yang dipakai di fasilitas kesehatan tingkat 2 adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan sekunder.
f. Obat yang dipakai di fasilitas kesehatan tingkat 3 adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan tersier.
g. Penulisan Obat Rujuk Balik dengan memberikan tanda "bintang"(*) setelah nama obat.

1.3 Takaran (Dosis) dan Waktu Penggunaan Obat


Dosis adalah takaran obat yang menimbulkan efek farmakologi (khasiat) yang tepat
dan aman bila dikonsumsi oleh pasien. Adapun jenis-jenis dosis, antara lain dosis lazim, dosis
terapi, dosis minimum, dosis maksimum, dosis toksik, dan dosis letal (letal50 dan dosis letal100)
1) Dosis Lazim : Dosis yang diberikan berdasarkan petunjuk umum pengobatan yang
biasa digunakan, referensinya bisa berbeda-beda, dan sifatnya tidak mengikat,
selagi ukuran dosisnya diantara dosis maksimum dan dosis minimum obat.
2) Dosis Terapi : Dosis yang diberikan dalam keadaan biasa dan dapat menyembuhkan
pasien.
3) Dosis Minimum : Takaran dosis terendah yang masih dapat memberikan efek
farmakologis (khasiat) kepada pasien apabila dikonsumsi.
4) Dosis Maksimum : Takaran dosis tertinggi yang masih boleh diberikan kepada
pasien dan tidak menimbulkan keracunan.
5) Dosis Toksik : Takaran dosis yang apabila diberikan dalam keadaan biasa dapat
menimbulkan keracunan pada pasien (takaran melebihi dosis maksimum).
6) Dosis Letal (Lethal dose) : Takaran obat yang apabila diberikan dalam keadaan
biasa dapat menimbulkan kematian pada pasien, dosis letal dibagi menjadi 2 :
- Dosis letal50 : Takaran dosis yang bisa menyebabkan kematian 50% hewan
percobaan
- Dosis : Takaran dosis yang bisa menyebabkan kematian 100% hewan
percobaan.
7) Initial Dose : Merupakan dosis permulaan yang diberikan pada penderita dengan
konsentrasi/kadar obat dalam darah dapat dicapai lebih awal.
8) Loading Dose : Dosis obat untuk memulai terapi, sehingga dapat mencapai
konsentrasi terapeutik dalam cairan tubuh menghasilkan efek klinis
9) Maintenance Dose : Dosis obat yang diperlukan untuk memelihara dan
mempertahankan efek klinik atau konsentrasi terapeutik obat yang sesuai dengan
regimen dosis. Diberikan dalam tiap obat untuk menggantikan jumlah obat yang
dieliminasi dari dosis sebelumnya. Perhitungan dosis pemeliharaan yang tepat
dapat mempertahankan suatu keadaan stabil konsentrasi obat di dalam tubuh.
Dosis obat haruslah tepat dengan tingkat keparahan serta kondisi pasien, jika dosis
berlebihan efek yang ditimbulkan obat akan berubah menjadi efek toksik, sedangkan jika dosis
terlalu kecil, obat tidak akan efektif. Oleh karena itu, perhitungan dosis harus didasari dengan
pertimbangan usia, berat badan, dan lain-lain. Berikut ini adalah pengelompokan perhitungan
dosis obat berdasarkan usia.
Dosis untuk anak diperhitungkan dari dosis orang dewasa (DD) dengan menggunakan
rumus-rumus sebagai berikut.
Perhitungan dosis untuk lansia. Pasien lansia atau lanjut usia adalah pasien dengan usia
di atas 65 tahun. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan ketika memperhitungkan dosis
obat untuk lansia antara lain adalah:
1) Tingkat sensitifitas tubuh dan organ pada lansia lebih meningkat daripada pasien
usia dewasa. Hal ini terjadi dikarenakan menurunnya kualitas dan fungsi sirkulasi
darah pada pasien dengan usia lanjut.
2) Menurunnya jumlah albumin dalam darah.
3) Menurunnya fungsi hati dan ginjal sehingga sisa obat yang bersifat toksis tidak bisa
disaring dengan baik oleh ginjal dan hati.
4) Kecepatan eliminasi obat menurun, sehingga memungkinkan residu obat terendap
di tubuh.
5) Penggunaan banyak obat dapat menyebabkan interaksi obat.
6) Pada umumnya lansia memiliki berbagai penyakit.
Contoh kasus adalah jika seorang lansia diberikan obat yang mengandung
antikoagulan dan obat encok yang mengandung fenilbutazon, orang tersebut dapat mengalami
keracunan karena albumin pada darah lansia jumlahnya sedikit. Sedikitnya albumin
menyebabkan sulitnya protein mengikat obat sehingga obat bebas tersebar dalam darah. Hati
dan ginjal pada lansia mengalami penurunan fungsi sehingga tidak dapat memfilter darah
dengan baik. Pada akhirnya obat terendap menyebabkan keracunan. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa dosis untuk orang dengan usia lanjut (lansia) akan lebih kecil jika
dibandingkan orang dengan usia dewasa biasa.
1) Orang dengan usia 65-74 tahun akan mendapatkan dosis 90% dosis biasa.
2) Orang dengan usia 75-84 tahun akan mendapatkan dosis 80% dosis biasa.
3) Orang dengan usia 85 tahun keatas akan mendapatkan dosis obat 70% dari dosis
biasanya.
Selain penurunan dosis obat dapat juga dilakukan pemberian obat yang hanya betul-
betul diperlukan. Dapat juga digunakan efek plasebo, sehingga zat kimia berbahaya yang
masuk ke dalam tubuh lansia dapat diminimalisir.
Waktu Penggunaan Obat
Obat harus diminum sesuai dengan waktu terapi terbaik, yaitu :
1. Pagi hari, contoh: vitamin, diuretik.
2. Malam hari, contoh: antikolesterol (simvastatin), anticemas (alprazolam).
3. Sebelum makan, contoh: obat maag (antasida) dan obat anti mual diminum ½ - 1
jam sebelum makan.
4. Bersama dengan makanan, contoh: obat diabetes (glimepiride).
5. Sesudah makan, contoh: obat penghilang rasa sakit (asam mefenamat) bisa segera
setelah makan sampai dengan ½ - 1 jam sesudah makan.

1.4 Pengertian dan Beberapa Istilah Dasar Farmakologi


Definisi
Farmakologi berasal dari kata pharmacon (obat) dan logos (ilmu pengetahuan).
Farmakologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari obat dan cara kerjanya pada
sistem biologis. Farmakologi dapat dirumuskan sebagai kajian terhadap bahan-bahan yang
berinteraksi dengan sistem kehidupan melalui proses kimia, khususnya melalui pengikatan
molekul-molekul regulator yang mengaktifkan/menghambat proses-proses tubuh yang normal
(Betran G. Katzung).

Ruang Lingkup dan Beberapa Istilah Dasar Farmakologi


Dalam Farmakologi ada beberapa ilmu yang terkait yaitu: Farmakognosi, Farmasi,
Farmakope, Farmakodinamika, Farmakokinetika, Farmakoterapi, Toksikologi, dan Farmasetika.
1. Farmakognosi
Farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari bagian tumbuhan atau hewan yang dapat
digunakan sebagai obat herbal dan telah lulus berbagai jenis uji seperti uji farmakodinamik,
toksikologi, dan biofarmasi.
Alam menyediakan kita dengan bahan-bahan alami berupa tumbuhan, hewan dan mineral
dari darat dan laut. Jika bahan-bahan alami ini diidentifikasi secara sistematis maka akan
menghasilkan bahan-bahan alami dengan sifat obat. Dan jika bahan alam yang memiliki khasiat
ini dikumpulkan, dikeringkan, diolah, diawetkan dan disimpan, akan menghasilkan bahan yang
siap pakai yang disebut dengan simplisia.
Beberapa istilah dalam studi kefarmasian adalah seperti berikut. Simplisia adalah bahan
alam yang digunakan sebagai obat dan belum diolah dalam bentuk apapun kecuali dinyatakan lain,
berbentuk bahan yang sudah dikeringkan. Simplisia nabati yaitu simplisia berupa tanaman utuh,
bagian tanaman, atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman merupakan bahan seluler yang secara
alami keluar dari tanaman, atau bahan seluler yang entah bagaimana telah dikeluarkan dari sel,
atau zat nabati lain yang entah bagaimana telah dipisahkan dari tanaman dan belum dalam bentuk
kimia murni. Simplisia hewani adalah sebutan untuk Simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
hewan, atau bahan turunan hewan yang belum berbentuk kimia murni.
Simplisia mineral adalah simplisia yang berupa mineral (pelikan) yang belum diolah atau
diolah secara sederhana dan belum berbentuk zat kimia murni. Lalu ada Alkaloida, Alkaloida
adalah suatu basa organik yang mengandung unsur Nitrogen (N) dimana pada umumnya berasal
dari tumbuhan, yang memiliki efek fisiologis yang kuat pada manusia. Glikosida adalah zat yang
dipecah menjadi gula dan satu atau lebih zat non-gula oleh enzim tertentu. Misalnya, amigdalin
dipecah menjadi glukosa, benzaldehida, dan asam sianik oleh enzim pengemulsi.
Ada juga enzim yang merupakan biokatalis berupa senyawa atau zat yang membantu
memperlancar reaksi biokimia atau metabolisme di dalam tubuh suatu organisme. Vitamin
merupakan zat yang dalam jumlah sedikit sekali diperlukan oleh tubuh manusia untuk membentuk
metabolisme tubuh. Lalu ada hormon, hormon adalah suatu zat yang disekresikan oleh kelenjar
endokrin yang mempengaruhi fisiologi, tubuh, dan bentuk tubuh.
Selain itu terdapat istilah Pemerian, yaitu gambaran bentuk, bau, rasa, dan warna simplisia,
informasi yang diperoleh saat mengamati simplisia nabati berupa bagian-bagian tumbuhan seperti
kulit, daun, akar, dan sebagainya. Istilah farmasi adalah ilmu tentang pembuatan obat, peracikan
obat, dan formulasi obat.
2. Farmakope
Farmakope adalah istilah untuk buku panduan yang memuat persyaratan kemurnian sifat
fisika, kimia, cara pemeriksaan, serta beberapa ketentuan lain yang berhubungan dengan obat-
obatan. Farmakope berasal dari kata "pharmacon" yang artinya racun atau obat, dan "pole" yang
artinya membuat.
3. Farmakodinamik
Farmakodinamik adalah cabang farmakologi yang mempelajari efek biokimia dan
fisiologis obat dan mekanisme kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah untuk
mempelajari kerja utama obat, menentukan interaksi obat dalam sel, dan menentukan urutan
kejadian serta spektrum efek dan respon yang terjadi. Farmakodinamik berfokus pada pembahasan
dan studi tentang efek obat itu sendiri dalam tubuh, baik dalam kaitannya dengan fisiologi dan
biokimia berbagai organ tubuh maupun mekanisme kerja obat dalam tubuh manusia.
Farmakodinamik juga sering disebut sebagai aksi atau efek obat.
4. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu yang mempelajari tentang penyerapan obat (absorbsi),
penyebaran obat (distribusi), mekanisme kerja obat (metabolisme), dan pengeluaran obat
(ekskresi). Dengan kata lain, farmakokinetik adalah studi tentang efek tubuh terhadap obat.
5. Farmakoterapi
Farmakoterapi adalah ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk menyembuhkan
penyakit. Farmakoterapi berkaitan dengan penggunaan dan kedudukan obat dalam pengobatan
penyakit. Pada studi ini, kita akan belajar bagaimana memilih obat berdasarkan jenis dan gejala
penyakit yang ada.
Selain mempelajari obat dari bentuk sediaan hingga farmakokinetik dan
farmakodinamiknya, Farmakoterapi juga mempelajari berbagai penyakit, termasuk definisi
penyakit, prevalensi, patofisiologi, etiologi, diagnosis, tanda dan gejala, faktor risiko, perawatan
nonfarmakologis dan farmakologis, dan interaksi obat. Setelah menguasai farmakoterapi, tujuan
utama yang harus dicapai seorang apoteker adalah kemampuan untuk berkontribusi secara optimal
dalam pengobatan pasien, terutama mengenai pemilihan obat yang paling tepat dan ekonomis.
Farmakoterapi adalah cabang dari keluarga ilmu farmakologi yang dapat digambarkan sebagai
terapan atau sebagai ujung tombak dari semua rumpun ilmu farmakologi.
6. Toksikologi
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari keracunan-keracunan yang ditimbulkan oleh
bahan-bahan kimia terutama yang disebabkan karena pemberian obat. Dalam ilmu Toksikologi
dipelajari penyebab-penyebab keracunan, cara pengobatannya, serta tindakan-tindakan yang
diambil untuk mencegah keracunan. Dalam kehidupan modern sekarang, banyak dipakai
insektisida, pestisida, zat pengawet makanan yang mungkin dapat menyebabkan keracunan,
sehingga peranan Toksikologi sangat penting.
Toksikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang keracunan oleh bahan kimia,
khususnya pemberian obat. Pada ilmu Toksikologi akan dipelajari penyebab keracunan,
perawatannya, dan tindakan yang diambil untuk mencegah keracunan. Dalam kehidupan modern,
peran toksikologi sangat penting karena maraknya penggunaan insektisida, pestisida dan pengawet
makanan yang dapat menyebabkan keracunan.
7. Farmasetika
Farmasetika adalah ilmu yang mempelajari tentang cara penyediaan obat meliputi
pengumpulan, pengenalan, pengawetan, dan pembakuan bahan obat-obatan; seni peracikan obat;
pembuatan sediaan farmasi menjadi bentuk tertentu hingga siap digunakan sebagai obat; serta
perkembangan obat yang meliputi ilmu dan teknologi pembuatan obat dalam bentuk sediaan yang
dapat digunakan dan diberikan kepada pasien.
Daftar Pustaka

Budiasa K., Arjana A A G. 2016. Menentukan Dosis Obat dan Cara Pemberiannya. Bali :
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.

Noviani, N., Nurilawati, V. 2017. Farmakologi : Bahan Ajar Keperawatan Gigi. Kemenkes
RI : Jakarta. Tersedia pada : http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/Farmakologi_bab_1-3.pdf (Diakses 12 September 2022)

Nuryati. 2017. Farmakologi : Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan. Kemenkes
RI : Jakarta. Tersedia pada : http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/FARMAKOLOGI-RMIK_FINAL_SC_26_10_2017.pdf
(Diakses 12 September 2022)

Kementerian Kesehatan RI. (2013). No Title. Direktorat Jenderal Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan. https://farmalkes.kemkes.go.id/2013/06/formularium-nasional-kendalikan-
mutu-dan-biaya-pengobatan/

Winda, S. W. (2018). Formularium Nasional (FORNAS) dan e-Catalogue Obat Sebagai


Upaya Pencegahan Korupsi dalam Tata Kelola Obat Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN). Integritas, 4(2), 30. https://doi.org/10.32697/integritas.v4i2.328

Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Nomor 1346 Tahun 2014
Tentang Pedoman Penerapan Formularium Nasional

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350 Tahun 2020 Tentang
Formularium Nasional

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 312/Menkes/SK/IX/2013 Tentang


Daftar Obat Esensial Nasional

Anda mungkin juga menyukai