Oleh :
Kelompok 1
2) Bukal
Dalam pemberian obat secara bucal, obat diletakkan antara gigi dengan
selaput lendir pada pipi bagian dalam. Seperti pada pemberian secara
sublingual, pasien dianjurkan untuk membiarkan obat pada selaput lendir pipi
bagian dalam sampai obat hancur dan diabsorbsi. Kerja sama pasien sangat
penting dalam pemberian obat cara ini karena biasanya pasien akan menelan
yang akan menyebabkan obat menjadi tidak efektif.
Cara pemberian ini jarang dilakukan dan pada saat ini hanya jenis preparat
hormone dan enzim yang menggunakan metode ini misalnya hormone
polipeptida oksitosin pada kasus obstetric. Hormone oksitosin mempunyai
efek meningkatkan tonus serta motalitas otot uterus dan digunakan untuk
memacu kelahiran pada kasus- kasus tertentu Kelebihan dari obat bukal
adalah: onset cepat, mencegah “first-pass effect”, tidak diperlukan
kemampuan menelan. Namun kekurangan dari obat bukal adalah: absorbsi
tidak adekuat, kepatuhan pasien kurang (compliance), mencegah pasien
menelan dan kurang praktis untuk digunakan terus menerus dan dapat
merangsang selaput lendir mulut (Kemenkes RI, 2017).
4) Subcutan (SC)
Suntikan subkutan mengurangi resiko yang berhubungan dengan suntikan
intravaskular. Contohnya pada sejumlah kecil epinefrin kadang-kadang
dikombinasikan dengan suatu obat untuk membatasi area kerjanya. Epinefrin
bekerja sebagai vasokonstriktor lokal dan mengurangi pembuangan obat
seperti lidokain, dari tempat pemberian. Contoh-contoh lain pemberian obat
subkutan meliputi bahan-bahan padat seperti kapsul silastik yang berisikan
kontrasepsi levonergestrel yang diimplantasi untuk jangka yang sangat
panjang.
5) Intrathecal
Obat langsung dimasukkan ke dalam ruang subaraknoid spinal, dilakukan bila
diinginkan efek obat yang cepat dan setempat pada selaput otak atau sumbu
cerebrospinal seperti pada anestesia spinal atau pengobatan infeksi sistem
syaraf pusat yang akut.
Gambar 1. Macam-Macam Jenis Injeksi
1.2 Contoh Obat dan Cara Pemberiannya Pada Sistem Saluran Cerna
1.2.1 Pendahuluan
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai anus)
adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan (faring),
kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan
juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati
dan kandung empedu. Sistem pencernaan berfungsi antara lain menerima makanan,
memecah makanan menjadi zat-zat gizi (suatu proses yang disebut pencernaan),
menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran darah dan membuang bagian makanan yang tidak
dapat dicerna dari tubuh.
Adapun gangguan pada sistem pencernaan seperti gastritis, hepatitis, diare,
konstipasi, apendiksitis dan maag. Masalah pencernaan dari kategori ringan hingga berat
harus segera diatasi jika tidak akan dapat memperburuk keadaan. Salah satu cara untuk
mengatasi sistem pencernaan adalah dengan mengkonsumsi obat, yang termasuk dalam
kategori obat sistem pencernaan diantaranya Antasida, H2 reseptor antagonis,
Antiemetik , Antikolinergik, Hepatoprotektor, Antibiotik , Proton pompa inhibitor,
Prokinetik, Antidiare , Laksatif.
Seperti yang diketahui dalam pelayanan kesehatan, obat merupakan komponen yang
penting karena diperlukan dalam sebagian besar upaya kesehatan baik untuk
menghilangkan gejala/symptom dari suatu penyakit, obat juga dapat mencegah penyakit
bahkan obat juga dapat menyembuhkan penyakit. Tetapi di lain pihak obat dapat
menimbulkan efek yang tidak diinginkan apabila penggunaannya tidak tepat. Oleh sebab
itu, penyediaan informasi obat yang benar, objektif dan lengkap akan sangat mendukung
dalam pemberian pelayanan kesehatan yang terbaik kepada masyarakat sehingga dapat
meningkatkan kemanfaatan dan keamanan penggunaan obat.
g. Mesalazine
Mesalazine termasuk golongan obat aminosalisilat. Oabt ini digunakan untuk
mengurangi pembengkakan pada radang usus besar. Akibat radang usus besar
terjadinya pembengkakan dan pendarahan apda usu besar yang menyebabkan
gejala sakit pada abdominal dan diare bercampur darah, nanah dan lendir.
Mesalazine bekerja dengan mengurangi pembengkakan pada usus, sehingga
mengurangi gejala yang disebabkan penyakit
3. Digestiva
Digestiva adalah obat-obat yang digunakan untuk membantu proses pencernaan
lambung usus terutama pada keadaan defisiensi zat pembantu pencernaan.
Penggolongan digestive antara lain adalah :
a. Enzim pankreas
Enzim pankreas dalam sediaan dikenal sebagai pankreatin dan pankrelipase.
Kedua zat tersebut mengandung amilase, tripsin (protease) dan lipase.
Pankrelipase berasal dari pankreas hewan, aktivitas lipasenya relatif lebih tinggi
daripada pankreatin. Pankrelipase diindikasikan pada keadaan defesiensi sekret
pankreas misalnya pada pankreatitis dan mukovisidosis. Ennzim ini dirusak asam
lambung sehingga harus dibuat dalam bentuk tablet enteral. Enzim pankreas
sedikit sekali menyebabkan efek samping. Dosis tinggi dapat menyebabkan mual
dan diare dan juga hiperurisemia.
b. Pepsin
Pepsin adalah enzim proteolitik yang kurang penting dibanding dengan enzim
pankreas. Pada defisiensi pepsin, tidak ditemukan gejala yang serius. Defisiensi
pepsin total ditemukan pada pasien aklorhidria. Kegagalan lambung untuk
mensekresi pepsin dan asam dengan rangsangan yang adekuat disebut akilia
gastrika, sering terjadi pada pasien anemia pernisiosa dan karsinoma lambung
c. Empedu
Empedu mengandung asam empedu dan konjugatnya. Zat empedu yang penting
untuk manusia ialah garam natrium asam kolat dan asam kenodeoksikolat. Selain
penting untuk penyerapan lemak, empedu juga penting untuk absorpsi zat larut
lemak misalnya vitamin A, D, E dan K. Dalam jumlah besar, garam empedu dapat
menetralkan asam lambung yang masuk ke duodenum. Pada keadaan normal hati
mensekresi ± 24 g garam empedu atau 700 - 1000 ml cairan empedu/hari.
Kira-kira 85 % empedu diabsorpsi pada usus kecil bagian bawah (sirkulasi
enterohepatik), sehingga hanya 80 mg garam empedu yang harus disintesis
perharinya. Asam-asam empedu meningkatkan sekresi empedu dan disebut zat
koleretik, garam empedu kurang memperlihatkan aktivitas koleretik. Asam
dehidrokolat suatu kolat semisintetik terutama aktif untuk merangsang empedu
dengan BM (Berat molekul) rendah karena itu dinamakan zaat hidrokoleretik. Zat
ini hanya merangsang pengeluaran empedu dan bukan prosuksi empedu. Berbeda
dengan asam kolat, asam kenodeoksikolat menurunkan kadar kolesterol dalam
empedu. Obat ini berguna untuk mengatasi batu kolesterol kandung empedu pada
pasien tertentu. Asam kenodeoksikolat bekerja dengan menurunkan absorpsi
kolesterol dari usus dan menurunkan sintesis kolesterol. Bila kadar asam
kenodeoksikolat mencapai 70 % empedu total, maka larutan empedu yang tadinya
jenuh kolesterol menjadi tidak jenuh. Garam empedu menurunkan resistensi
mukosa saluran cerna terhadap asam lambung.Kenyataan ini diduga mempunyai
implikasi terhadap terjadinya gastritis, tkak peptik dan refluks esofagus.
4. Transkuilier (obat penenang)
Transkuiliser memiliki efek yang minimal dalam mencegah dan mengobati tukak.
obat ini mengurangi perangsangan vagal dan menurunkan kecemasan. Contoh Librax,
yaitu kombinasi ansiolitik klordiasepoksid (librium) dan antikolinergik clidinium
(Qarzan), dipakai dalam mengobati tukak.
Adapun Golongan Obat Penenang :
a. Dari golongan benzodiazepin
Golongan yang paling sering digunakan adalah golongan benzodiazepin. Obat ini
mempercepat relaksasi mental dan fisik dengan cara mengurangi aktivitas saraf di
dalam otak. Tetapi benzodiazepin bisa menyebabkan ketergantungan fisik dan
pemakaian pada alkoholik harus sangat hati-hati. Obat cemas dari golongan
benzodiazepin adalah alprazolam, klordiazepoksid (chlordiazepoxide), lorazepam,
oksazolam (oxazolam), klobazam (clobazame) dan diazepam.
b. Buspirone
Obat cemas dari golongan azaspirodekanedion adalah buspiron (buspirone). Obat
cemas ini merupakan anti ansietas yang efek sedatifnya relatif ringan dan tidak
bereaksi dengan alkohol. Diduga resiko timbulnya toleransi dan ketergantungan
juga kecil. Efeknya baru timbul setelah 10-15 hari, sehingga hanya digunakan
untuk mengobati penyakit kecemasan menyeluruh.
c. Hydroxyzine
Sedangkan obat cemas dari golongan piperazine adalah hydroxyzine. Hydroxyzine
diindikasikan untuk menghilngkan gejala ansietas dan ketegangan yang
berhubungan dengan psikoneurosis atau terapi tambahan untuk penyakit lainnya
yang menyebabkan kecemasan. Hydroxyzine dapat menyebabkan kantuk dan
menghilangkan kesadaran, sehingga dianjurkan untuk tidak mengendarai
kendaraan atau mengoperasikan mesin. Hydroxyzine dapat menyebabkan
kekeringan pada mulut, hidung da tenggorokan. Jika kekeringan berlanjut hingga
lebih dari dua minggu maka harus diperiksakan lebih lanjut.
5. Antispasmodik
Antipasmodik merupakan golongsn obat yang memiliki sifat sebagai relaksan otot
polos (lebih tepatnya anti muskarinik) dan antagonis reseptor-dopamin tertentu.
Meskipun antipasmodik dapat mengurangi spasme usus, tetapi penggunaanya dalam
dispepsia bukan tukak, sindrom usus irritable dan penyakit divertikular hanya
bermanfaat sebagai penobatan tambahan. Manfaat klinik anti sekresi lambung obat
anti muskarinik konvensional relatif kecil, karena dosisnya dibatasi oleh efek
samping senyawa mirip antropin. Selain itu, keberadaannya telah digantikan oleh
obat-obat anti sekresi yang lebih kuat dan spesifik, yakni antagonis reseptor-H2
histamin dan anti muskarinik selektif pirenzevin.
Antipasmodik obat yang digunakan untuk mengatasi kejang pada saluran cerna yang
mungkin disebabkan diare, gastritis, tukak peptik dan sebagainya. Beberapa contoh
adalah Hyoscine (Obat ini beraksi pada sistem saraf otonom dan mencegah kejang
otot), Clidinium (Kombinasi chlordiazepoxide dan clidinium bromide digunakan
untuk mengobati lambung yang luka dan teriritasi. Obat ini membantu mengobati
kram perut dan abdominal, Mebeverine, Papaverine, (golongan alkaloid opium yang
diindikasikan untuk kolik kandungan empedu dan ginjal dimana dibutuhkan
relaksasi pada otot polos, emboli perifer dan mesenterik, Timepidium, Pramiverine,
Tiemonium.
Penggolongan antispasmodik:
a. Hyoscine
Obat ini beraksi pada sistem saraf otonom dan mencegah kejang otot. Obat ini
biasa digunakan untuk pra pengobatan untuk mengosongkan secresi paru-paru.
Obat ini juga digunakan untuk pengobatan tukak lambung
b. Clidinium
Kombinasi chlordiazepoxide dan clidinium bromide digunakan untuk mengobati
lambung yang luka dan teriritasi. Obat ini membantu mengobati kram perut dan
abdominal. Chlordiazepoxide dapat menyebabkan kecanduan. Meskipun demikian,
sewaktu mengkonsumsi chlordiazepoxide dan clidinium bromide, jangan minum
dengan dosis besar atau minum lebih lama dari yang dokter resepkan. Toleransi
mungkin terjadi karena pemakaian jangka panjang atau berlebihan yang membuat
pengobatan kurag efektif. Obat ini harus dikonsumsi secara teratur agar
pengobatannya efektif. Jangan lewatkan dosis walaupun anda pikir anda tak
membutuhkannya. Jangan konsumsi kombinasi obat ini lebih dari 4 bulan atau
menghentikan pengobatan tanpa konsultasi ke dokter anda terlebih dahlu.
Penghentian obat yang mendadak akan memperparah kondisi penyakit anda dan
menimbulkan gejala withdrawal symptoms (anxiousness, sleeplessness, and
irritability)
c. Mebeverine
Obat ini digolongkan sebagai obat antispasmodic. Mebeverine digunakan untuk
mengobati kram dan kejang pada perut dan usus. Mebeverine khususnya digunakan
dalam pengobatan irritable bowel syndrome (IBS) dan konsisi sejenis. Di Indonesia
Mebeverine hanya tersedia dalam bentuk tablet
d. Papaverine
Papaverine digunakan untuk meningkatkan peredaran darah pada pasien dengan
masalah sirkulasi darah. Papaverine bekerja dengan merelaksasi saluran darah
sehingga darah dapat mengalir lebih mudah ke jantung dan seluruh tubuh.
Papaverine adalah golongan alkaloid opium yang diindikasikan untuk kolik
kandungan empedu dan ginjal dimana dibutuhkan relaksasi pada otot polos, emboli
perifer dan mesenterik. Sediaannya selain tunggal juga ada yang dikombinasi
dengan obat Metamizole
e. Timepidiu
Timepidium diindikasikan untuk sakit akibat spasme/kejang otot halus yang
disebabkan oleh gastritis (radang lambung), ulkus peptikum, pankreatitis, penyakit
kandung empedu dan saluran empedu, lithangiuria
f. Pramiverine
Pramiverine diindikasikan untuk spasme/kejang dan kolik yang terasa sangat sakit
pada saluran pencernaan, saluran empedu, dan saluran kemih, dismenore (nyeri
perut pada saat haid), nyeri setelah operasi
g. Tiemonium
Tiemonium Methylsulfate adalah obat antispasmodic antikolinergik sintetis.
Tiemonium mengurangi kejang otot pada usus, bilari, kandung kemih, dan uterus.
Tiemonium diindikasikan untuk nyeri pada penyakit gastrointestinal dan biliary
and seperty gastroenteritis, diare, disentri, biliary colic, enterocolitis, cholecystitis,
colonopathies
6. Hepatoprotektor
Obat-obat protektor hati adalah obat-obat yang digunakan sebagai vitamin tambahan
untuk melindungi, meringankan atau menghilangkan gangguan fungsi hati kerena
adanya bahan kimia, penyakit kuning atau gangguan dalam penyaringan lemak oleh
hati. Pada umumnya obat-obat golongan ini mengandung asam-asam amino,
kandungan dari tanaman kurkuma (kurkumin) dan zat-zat lipotropik seperti
methionin dan cholin. Methionin memiliki peranan penting dalam metabolisme hati
sehingga digunakan untuk melawan keracunan yang disebabkan oleh hepatotoksin.
Sedangkan choline adalah suatu zat yang dapat mencegah dan menghilangkan
perembesan lemak kedalam hati dan juga bekerja melawan keracunan. Obat-obat ini
sebaiknya jangan digunakan pada penderita penyakit hati yang berat karena pada
dosis besar dapat memperparah keadaan.
7. Antidiare
Diare adalah peningkatan volume, keenceran atau frekuensi buang air besar.
Perubahan frekuensi & konsistensi dari kondisi normal. Dalam keadaan normal, tinja
mengandung 60- 90% air, pada diare airnya bisa mencapai lebih dari 90%. Diare
merupakan suatu gejala, pengobatannya tergantung pada penyebabnya.
Proses pengobatan diare dilakukan dengan :
a. untuk membantu meringankan diare, diberikan obat seperti difenoksilat,
codein, paregorik (opium tinctur) atau loperamide.
b. untuk membantu mengeraskan tinja bisa diberikan kaolin, pektin dan
attapulgit aktif.
c. diarenya berat /dehidrasi, maka penderita perlu dirawat di rumah sakit dan
diberikan cairan pengganti dan garam melalui infus.
Diare terjadi karena adanya rangsangan terhadap saraf otonom di dinding usus
sehingga menimbulkan reflek mempercepat peristaltik usus, rangsangan ini dapat
ditimbulkan oleh:
a. infeksi oleh bakteri patogen misalnya bakteri colie
b. infeksi oleh kuman thypus (kadang-kadang) dan kolera
c. infeksi oleh virus misalnya influenza perut dan “travellers diarre
d. akibat dari penyakit cacing (cacing gelang, cacing pita)
e. keracunan makanan atau minuman
f. gangguan gizi
g. pengaruh enzym tertentu
h. pengaruh saraf (terkejut, takut dan sebagainya)
i. Diare juga dapat merupakan salah satu gejala penyakit seperti kanker pada
usus
Antidiare adalah obat-obatan yang digunakan untuk menanggulangi atau mengobati
penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau kuman, virus, cacing atau keracunan
makanan. Gejala diare adalah buang air besar berulang kali dengan banyak cairan
kadang-kadang disertai mulas (kejang-kejang perut) kadang-kadang disertai darah
atau lendir. Anti diare yang ideal harus bekerja cepat, tidak menyebabkan konstipasi,
mempunyai indeks terapeutik yang tinggi, tidak mempunyai efek buruk terhadap
sistem saraf pusat, tidak menyebabkan ketergantungan.
Penggolongan Obat – obat yang diberikan untuk mengobati diare ini dapat berupa :
1) Obstipasi
Untuk terapi simptomatis dengan tujuan untuk menghentikan diare, yaitu dengan
cara:
● Menekan peristaltik usus, misalnya loperamid
● Menciutkan selaput usus atau adstringen, contohnya tannin
● Pemberian adsorben untuk menyerap racun yang dihasilkan bakteri atau racun
penyebab diare yang lain misalnya, carbo-adsorben, kaolin
● Pemberian mucilagountuk melindungi selaput lendir usus yang luka.
2) Spasmolitik
Zat yang dapat melemaskan kejang-kejang otot perut (nyeri perut) pada diare
misalnya Atropin sulfat.
3) Kemoterapi
Untuk terapi kausal yaitu memusnahkan bakteri penyebab penyakit digunakan obat
golongan sulfonamida atau antibiotik
8. Laksatif
Sembelit (konstipasi) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
buang air besar atau jarang buang air besar. Jika konstipasi disebabkan oleh suatu
penyakit, maka penyakitnya harus diobati. Pencahar atau laxantia adalah obat-obat /
zat yang dapat mempercepat peristaltik usus sehingga mempermudah/ melancarkan
buang air besar. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara merangsang susunan saraf
otonom para-simpatis agar usus mengadakan gerakan peristaltik dan mendorong
isinya keluar. Pencegahan dan pengobatan terbaik untuk konstipasi adalah gabungan
dari olah raga, makanan kaya serat. Sayur-sayuran, buah-buahan dan gandum
merupakan sumber serat yang baik. Obat pencahar digunakan untuk :
a. Pada keadaan sembelit (konstipasi) karena pengaruh efek samping obat
kurang minum, kurang mengkomsumsi makanan berserat
b. Pada pasien dengan resiko pendarahan, pada angina pektoris atau resiko
c. Pendarahan rektal pada hemoroid (wasir)
d. Untuk membersihkan saluran cerna sebelum pembedahan dan prosedur
radiologi
e. Untuk pengeluaran parasit setelah pemberian antelmentik
f. Penggunaan pencahar pada anak-anak harus dihindari kecuali diresepkan
oleh dokter
Penggolongan:
Berdasarkan mekanisme kerja dan sifat kimianya, pencahar digolongkan sebagai
berikut:
a. Zat-zat perangsang dinding usus
● Merangsang dinding usus besar misalnya glikosida antrakinon (rhei, sennae,
aloe, bisakodil, dantron
● Merangsang dinding usus kecil misalnya oleum ricini /minyak jarak (sudah
tidak dipakai) dan kalomel
b. Zat-zat yang dapat memperbesar isi usus
● Obat yang bekerja dengan jalan menahan cairan dalam usus secara osmosis
(pencahar osmotik), contohnya magnesium sulfat (garam Inggris) , natrium
fosfat. Enema fosfat bermanfaat dalam membersihkan usus sebelum
prosedur radiologi, endoskopi dan bedah. Natrium sulfat harus dihindari
karena pada individu yang rentan dapat menyebabkan retensi air dan natrium
● Obat yang dapat mengembang dalam usus, misalnya agar-agar, carboksil
metil cellulose (CMC) dan tylose
● Serat juga dapat digunakan karena tidak dapat dicernakan, seperti
buah-buahan dan sayuran
Pemakaian Pendosisan
Pemakaian Pendosisan
IM Tidak direkomendasikan
Dosis pediatri Per oral 1,5 -2 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 kali
sehari sampai 3,5 mg/kg/hari
Dosis dewasa Per oral untuk angina Permulaan 80-120 mg tiga kali sehari, yang
meningkat setiap hari (untuk angina yang tidak
stabil) atau interval setiap minggu sampai
maksimum 480 mg/hari
Dosis pediatri intravena 4-8 mg/kg/hari dibagi dalam tiga dosis Untuk
umur < satu tahun 0,1-0,2 mg/kg: untuk umur
1-15 tahun 0,1- 0,3 mg/kg, maksimum 5 mg
sampai 2-3 menit
oleh
Kelompok 2
Cynthia Yolanda (2006538743)
Eko Aprizon Nanda (1906428732)
Rahmi Darawani Talaohu (2006472936)
Vera Wahyuni Ulandari (2006539292)
1. Judul
Judul lengkap buku ini termasuk suplemennya, adalah Farmakope Indonesia
edisi Enam. Judul tersebut dapat disingkat menjadi Farmakope Indonesia edisi VI atau
FI VI. Farmakope Indonesia edisi VI menggantikan edisi sebelumnya. Jika digunakan
istilah FI tanpa keterangan lain, selama periode berlakunya Farmakope Indonesia ini,
maka yang dimaksudkan adalah FI VI dan semua suplemennya. Selanjutnya jika
disebut Farmakope dalam dokumen ini, yang dimaksud adalah Farmakope Indonesia
edisi VI. Secara berkala FI VI menerbitkan Suplemen.
1.5.2 EMULSI
Emulsi adalah sistem dua fase, yang salah satu cairannya terdispersi dalam
cairan yang lain, dalam bentuk tetesan kecil. Jika minyak yang merupakan fase
terdispersi dan larutan air merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi minyak
dalam air. Sebaliknya, jika air atau larutan air yang merupakan fase terdispersi dan
minyak atau bahan seperti minyak merupakan fase pembawa, sistem ini disebut emulsi
air dalam minyak. Emulsi memiliki fase terdispersi biasanya dalam ukuran antara 0,1
dan 100 µm. Mikroemulsi mempunyai fase terdispersi berukuran kurang dari 0,1 µm.
Emulsi dapat distabilkan dengan penambahan bahan pengemulsi yang mencegah
koalesensi, yaitu penyatuan tetes kecil menjadi tetesan besar dan akhirnya menjadi satu
fase tunggal yang memisah. Bahan pengemulsi (surfaktan) menstabilkan dengan cara
menempati antar permukaan antara tetesan dan fase eksternal, dan dengan membuat
batas fisik di sekeliling partikel yang akan berkoalesensi. Surfaktan juga mengurangi
tegangan antar permukaan antara fase, sehingga meningkatkan proses emulsifikasi
selama pencampuran.
Polimer hidrofilik alam, semisintetik dan sintetik dapat digunakan bersama
surfaktan pada emulsi minyak dalam air karena akan terakumulasi pada antar
permukaan dan juga meningkatkan kekentalan fase air, sehingga mengurangi kecepatan
pembentukan agregat tetesan. Agregasi biasanya diikuti dengan pemisahan emulsi yang
relatif cepat menjadi fase yang banyak butiran dan sedikit tetesan. Secara normal
kerapatan minyak lebih rendah dari kerapatan air, sehingga jika tetesan minyak dan
agregat tetesan meningkat, terbentuk krim. Makin besar kecepatan agregasi, makin
besar ukuran tetesan dan makin besar pula kecepatan pembentukan krim. Tetesan air
dalam emulsi air dalam minyak biasanya membentuk sedimen disebabkan oleh
kerapatan yang lebih besar.
Konsistensi emulsi sangat beragam, mulai dari cairan yang mudah dituang
hingga krim setengah padat. Umumnya krim minyak dalam air dibuat pada suhu tinggi,
berbentuk cair pada suhu ini, kemudian didinginkan pada suhu kamar, dan menjadi
padat akibat terjadinya solidifikasi fase internal. Dalam hal ini, tidak diperlukan
perbandingan volume fase internal terhadap volume fase eksternal yang tinggi untuk
menghasilkan sifat setengah padat, misalnya krim asam stearat atau krim pembersih
adalah setengah padat dengan fase internal hanya 15%. Sifat setengah padat emulsi air
dalam minyak, biasanya diakibatkan oleh fase eksternal setengah padat.
Semua emulsi memerlukan bahan antimikroba karena fase air mempermudah
pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengawet sangat penting dalam emulsi minyak
dalam air karena kontaminasi fase eksternal mudah terjadi. Karena jamur dan ragi lebih
sering ditemukan daripada bakteri, lebih diperlukan yang bersifat fungistatik dan
bakteriostatik. Bakteri ternyata dapat menguraikan bahan pengemulsi nonionik dan
anionik, gliserin, dan sejumlah bahan penstabil alam seperti tragakan dan gom guar.
Kesulitan muncul pada pengawetan sistem emulsi, sebagai akibat memisahnya
bahan antimikroba dari fase air yang sangat memerlukannya, atau terjadinya
kompleksasi dengan bahan pengemulsi yang akan mengurangi efektivitas. Karena itu,
efektivitas sistem pengawetan harus selalu diuji pada sediaan akhir. Pengawet yang
biasa digunakan dalam emulsi adalah metil-, etil-, propil-, dan butil-paraben, asam
benzoat, dan senyawa amonium kuaterner.
1.5.4 GEL
Gel, kadang-kadang disebut Jeli, merupakan sistem semipadat terdiri dari
suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang
besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil
yang terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya Gel Aluminium
Hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel dari fase terdispersi relatif
besar, massa gel kadang-kadang dinyatakan sebagai magma (misalnya Magma
Bentonit). Baik gel maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat
jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus dikocok dahulu
sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas dan hal ini tertera pada etiket (lihat
Suspensi).
Gel fase tunggal terdiri dari makromolekul organik yang tersebar merata dalam
suatu cairan sedemikian hingga tidak terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang
terdispersi dan cairan. Gel fase tunggal dapat dibuat dari makromolekul sintetik
(misalnya Karbomer) atau dari gom alam (misalnya Tragakan). Sediaan tragakan
disebut juga musilago. Walaupun gel-gel ini umumnya mengandung air, etanol dan
minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa. Sebagai contoh, minyak mineral dapat
dikombinasi dengan resin polietilena untuk membentuk dasar salep berminyak.
Gel dapat digunakan untuk obat yang pemberiannya secara topikal atau
dimasukkan ke dalam lubang tubuh.
1.5.5 IMUNOSERUM
Imunoserum adalah sediaan mengandung imunoglobulin khas yang diperoleh
dari serum hewan dengan pemurnian. Imunoserum mempunyai kekuatan khas mengikat
venin atau toksin yang dibentuk oleh bakteri, atau mengikat antigen bakteri, antigen
virus atau antigen lain yang digunakan untuk pembuatan sediaan.
Imunoserum diperoleh dari hewan sehat yang diimunisasi dengan penyuntikan
toksin atau toksoid, venin, suspensi mikroorganisme atau antigen lain yang sesuai.
Selama imunisasi hewan tidak boleh diberi penisilin. Imunoglobulin khas diperoleh dari
serum yang mengandung kekebalan dengan pengendapan fraksi dan perlakuan dengan
enzim atau dengan cara kimia atau fisika lain.
Dapat ditambahkan pengawet antimikroba yang sesuai dan ditambahkan serba
sama bila sediaan dikemas dalam dosis ganda. Sediaan akhir steril dibagi secara aseptik
dalam wadah steril dan ditutup kedap untuk menghindari kontaminasi. Alternatif lain,
setelah sediaan dibagikan dalam wadah steril dapat dibekukeringkan untuk mengurangi
kadar air hingga tidak lebih dari 1,0% b/b. Kemudian wadah ditutup kedap dalam
hampa udara atau diisi gas nitrogen bebas oksigen atau gas inert lain yang sesuai
sebelum ditutup kedap; pada setiap kasus wadah ditutup kedap sedemikian rupa untuk
meniadakan kontaminasi. Imunoserum direkonstitusi segera sebelum digunakan.
Imunoserum yang diperoleh dengan perlakuan enzim dan pengendapan fraksi
paling stabil pada pH 6. Metode pembuatan imunoserum sedemikian rupa sehingga
kehilangan aktivitas tidak lebih dari 5% per tahun bila disimpan pada pH 6 pada suhu
20 dan tidak lebih dari 20% per tahun bila disimpan pada suhu 37.
Imunoserum berupa cairan hampir tidak berwarna atau berwarna kuning pucat,
tidak keruh, dan hampir tidak berbau kecuali bau pengawet antimikroba yang
ditambahkan. Sediaan kering berupa padatan atau serbuk warna putih atau kuning
pucat, mudah larut dalam air membentuk larutan tidak berwarna atau warna kuning
pucat, dan mempunyai sifat sesuai dengan sediaan cair.
Imunoserum, bila perlu direkonstitusi seperti tertera pada label harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
pH <1071> Antara 6,0 sampai 7,0.
Protein total Tidak lebih dari 17%; lakukan penetapan seperti yang tertera pada
Penetapan Kadar Nitrogen dalam Produk Darah <591> Metode I. Hasil yang diperoleh
kalikan 6,25.
Albumin Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, jika ditetapkan secara
elektroforesis, imunoserum menunjukkan tidak lebih dari sesepora protein yang
mempunyai mobilitas albumin.
Protein asing Jika ditetapkan dengan uji pengendapan menggunakan
imunoserum khas, hanya mengandung protein galur hewan yang digunakan.
Fenol imunoserum yang mengandung fenol sebagai pengawet tidak lebih dari
0,25%, lakukan penetapan seperti yang tertera pada Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin
dan Imunoserum <731>.
Toksisitas abnormal Memenuhi syarat. Lakukan uji seperti tertera pada Uji
Reaktivitas secara Biologi invivo <251>.
Sterilitas Memenuhi syarat seperti yang tertera pada Uji Sterilitas <71>.
Potensi Lakukan penetapan potensi dengan membandingkan terhadap baku
menggunakan metode seperti yang tertera pada masing-masing monografi. Hasil
dinyatakan dalam unit per ml.
Wadah dan penyimpanan Dalam wadah terlindung dari cahaya. Kecuali
dinyatakan lain, sediaan cair harus disimpan pada suhu 2 sampai 8, hindari pembekuan.
Penandaan Pada penandaan tertera: 1) Jumlah minimum unit per ml. 2) Dosis.
3) Tanggal kedaluwarsa. 4) Kondisi penyimpanan. 5) Volume rekonstitusi untuk serbuk
kering. 6) Bahan tambahan. 7) Nama spesies sumber imunoserum.
1.5.6 IMPLAN
Implan atau pelet adalah sediaan dengan massa padat steril berukuran kecil,
berisi obat dengan kemurnian tinggi (dengan atau tanpa eksipien), dibuat dengan cara
pengempaan atau pencetakan. Implan atau pelet dimaksudkan untuk ditanam di dalam
tubuh (biasanya secara subkutan) dengan tujuan untuk memperoleh pelepasan obat
secara berkesinambungan dalam jangka waktu lama. Implan ditambahkan dengan
bantuan injektor khusus yang sesuai atau dengan sayatan bedah. Bentuk sediaan ini
digunakan untuk pemberian hormon seperti testosteron atau estradiol. Sediaan ini
dikemas masing-masing dalam vial atau lembaran kertas timah steril.
1.5.7 INHALASI
Inhalasi adalah sediaan obat atau larutan atau suspensi terdiri atas satu atau lebih
bahan obat yang diberikan melalui saluran napas hidung atau mulut untuk memperoleh
efek lokal atau sistemik.
Larutan bahan obat dalam air steril atau dalam larutan natrium klorida untuk
inhalasi dapat disemprotkan menggunakan gas inert. Penyemprot hanya sesuai untuk
pemberian larutan inhalasi jika memberikan tetesan dengan ukuran cukup halus dan
seragam sehingga kabut dapat mencapai bronkioli. Semprotan larutan dapat diisap
langsung dari alat penyemprot dapat disambungkan pada masker plastik, selubung atau
alat pernapasan dengan tekanan positif yang terputus-putus.
Kelompok sediaan lain yang dikenal sebagai inhaler dosis terukur adalah
suspensi atau larutan obat dalam gas propelan cair dengan atau tanpa kosolven dan
dimaksudkan untuk memberikan dosis obat terukur ke dalam saluran pernapasan.
Inhaler dosis terukur mengandung dosis ganda, biasanya lebih dari beberapa ratus.
Volume dosis tunggal yang umum diberikan mengandung 25 l hingga 100 l (dapat juga
dinyatakan dalam mg) tiap kali semprot.
Serbuk dapat juga diberikan secara inhalasi, menggunakan alat mekanik secara
manual untuk menghasilkan tekanan atau inhalasi yang dalam bagi penderita yang
bersangkutan.
Jenis inhalasi khusus yang disebut inhalan terdiri dari satu atau kombinasi
beberapa obat, yang karena bertekanan uap tinggi, dapat terbawa oleh aliran udara ke
dalam saluran hidung dan memberikan efek. Wadah obat yang diberikan secara inhalasi
disebut inhaler.
1.5.8 INJEKSI
Sediaan parenteral adalah sediaan yang ditujukan untuk penyuntikan melewati
kulit atau batas jaringan eksternal lain, dimana zat aktif yang diberikan dengan adanya
gravitasi atau kekuatan, mengalir langsung ke pembuluh darah, organ, atau jaringan.
Sediaan parenteral dibuat dengan teliti menggunakan metode yang dirancang untuk
menjamin bahwa sediaan memenuhi persyaratan Farmakope untuk sterilitas, pirogen,
bahan partikulat, dan kontaminan lain dan bila perlu mengandung bahan penghambat
pertumbuhan mikroba. Injeksi adalah sediaan yang ditujukan untuk pemberian
parenteral, dapat dikonstitusi atau diencerkan dahulu menjadi sediaan sebelum
digunakan.
Istilah dan Definisi Istilah berikut menggolongkan 5 jenis tipe sediaan
parenteral yang umum. Sediaan dapat mengandung dapar, pengawet atau bahan
tambahan lain.
1. Injeksi [nama zat aktif]: sediaan cair yang berupa bahan obat atau larutannya;
2. [Nama zat aktif] untuk Injeksi : sediaan padat kering atau cairan pekat dengan atau
tanpa penambahan bahan pembawa yang sesuai, menghasilkan larutan yang
memenuhi persyaratan untuk injeksi;
3. Injeksi Emulsi [nama zat aktif] : sediaan cair zat aktif terlarut atau terdispersi pada
media emulsi yang sesuai;
4. Injeksi Suspensi [nama zat aktif] : sediaan cair dari padatan tersuspensi pada media
cair yang sesuai;
5. [Nama zat aktif] untuk Suspensi Injeksi: sediaan padat kering yang dengan
penambahan pembawa yang sesuai menghasilkan larutan yang memenuhi
persyaratan untuk suspensi injeksi.
Injeksi Volume Besar dan Injeksi Volume Kecil Dalam Farmakope, yang
dimaksud dengan Larutan Intravena volume besar adalah injeksi volume besar dosis
tunggal untuk intravena yang dikemas dalam wadah bertanda volume lebih dari 100 ml.
Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah bertanda volume 100 ml
atau kurang. Definisi sediaan steril untuk penggunaan parenteral pada umumnya tidak
berlaku untuk sediaan biologik karena sifat khusus dan persyaratan perizinan.
Zat Pembawa Air Air sebagai zat pembawa injeksi memenuhi syarat Uji
Pirogen <231>; atau Uji Endotoksin Bakteri <201> seperti yang tertera dalam
monografi. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi, pada umumnya digunakan Air
untuk Injeksi sebagai zat pembawa. Natrium klorida dapat ditambahkan dalam jumlah
sesuai untuk memperoleh larutan isotonik. Injeksi Natrium Klorida atau Injeksi Ringer
dapat digunakan sebagian atau keseluruhan pengganti Air untuk Injeksi kecuali
dinyatakan lain dalam monografi. Penggunaan bahan tambahan lain, seperti yang
tertera pada Bahan Tambahan pada bab ini.
Zat pembawa lain Minyak tertentu dapat digunakan sebagai zat pembawa
injeksi bukan air adalah berasal dari tanaman; tidak berbau atau hampir tidak berbau,
dan tidak memiliki bau atau rasa tengik. Memenuhi persyaratan uji Parafin Padat seperti
tertera pada Minyak Mineral, pada tangas pendingin yang dipertahankan pada suhu 10º,
mempunyai Bilangan Penyabunan antara 185 dan 200, Bilangan Iodum antara 79 dan
128 seperti yang tertera pada Lemak dan Minyak Lemak <491>, dan memenuhi syarat
uji sebagai berikut:
Bahan Tak Tersabunkan Lakukan seperti tertera pada Lemak dan Minyak
Lemak <491>; tidak lebih dari 1,5%.
Asam Lemak Bebas Lakukan seperti tertera pada Lemak dan Minyak Lemak
<491>; tidak lebih dari 1,2.
Bilangan Peroksida Lakukan seperti tertera pada Lemak dan Minyak Lemak
<491>; tidak lebih dari 5,0.
Kadar Air <1031> Metode Ic Tidak lebih dari 0,1%
Tembaga, besi, timbal dan nikel [Catatan Uji untuk nikel tidak diperlukan jika
minyak tidak melalui proses hidrogenasi, atau tidak digunakan katalis tembaga pada
saat pengolahan] Lakukan seperti tertera pada Logam renik dalam Lemak dan Minyak
Lemak <491> Masing-masing untuk tembaga, besi, timbal dan nikel tidak lebih dari 1
bpj.
Monogliserida dan digliserida sintetik dari asam lemak dapat digunakan
sebagai zat pembawa apabila berupa cairan dan tetap jernih bila didinginkan pada suhu
10º dan mempunyai Bilangan Iodida tidak lebih dari 140 (lihat Lemak dan Minyak
Lemak <491>).
Bahan pembawa bukan air lain dapat digunakan apabila aman pemakaiannya
dalam volume injeksi yang digunakan. Juga apabila tidak mempengaruhi efek terapetik
sediaan atau mempengaruhi respons pada uji dan penetapan kadar.
Bahan tambahan Bahan tambahan yang sesuai dapat ditambahkan ke dalam
sediaan untuk injeksi untuk meningkatkan stabilitas atau efektivitas, kecuali dinyatakan
pada masing-masing monografi, dan bila bahan tambahan tidak berbahaya dalam
jumlah yang digunakan dan tidak mengganggu efek terapetik atau respons pada uji dan
penetapan kadar. Tidak boleh ditambahkan bahan pewarna, kecuali hanya untuk
mewarnai sediaan akhir seperti yang tertera pada Bahan Tambahan dalam Ketentuan
Umum dan Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba <61>.
Bahan atau campuran bahan yang sesuai untuk mencegah pertumbuhan
mikroba harus ditambahkan dalam injeksi yang dikemas dalam wadah dosis ganda
tanpa memperhatikan metode sterilisasi yang digunakan, kecuali salah satu dari kondisi
berikut : (1) dinyatakan berbeda dalam masing-masing monografi; (2) bahan
mengandung radionuklida dengan waktu paruh fisika kurang dari 24 jam; dan (3) zat
aktif sudah merupakan antimikroba. Beberapa bahan digunakan dalam kadar untuk
mencegah pertumbuhan atau membunuh mikroba dalam sediaan injeksi. Bahan tersebut
harus memenuhi syarat seperti tertera pada Uji Efektivitas Pengawet Antimikroba
<61>. dan Kandungan Zat Antimikroba <441>. Proses sterilisasi tetap dilakukan
meskipun mengandung bahan tambahan tersebut (lihat Bahan Tambahan dalam
Ketentuan Umum dan Sterilisasi Jaminan Sterilitas Bahan Kompendial <1371>). Udara
dalam wadah dapat dihilangkan atau diganti dengan gas inert. Bila injeksi sensitif
terhadap oksigen, informasi tersebut harus tertera dalam penandaan.
Penandaan Pada etiket minimal tertera nama sediaan; pada sediaan cair
tertera kandungan obat atau jumlah obat pada volume tertentu, untuk sediaan kering
tertera jumlah zat aktif; cara penggunaan; kondisi penyimpanan, dan tanggal
kedaluwarsa; nama dan alamat pabrik pembuat; pengemas atau distributor; identifikasi
nomor bets/lot dan nomor izin edar. Nomor bets/lot harus dapat memberikan informasi
tentang riwayat pengemasan spesifik termasuk proses produksi, pengisian, sterilisasi,
dan penandaan.
Bila dalam monografi tertera berbagai kadar zat aktif dalam sediaan parenteral
maka kadar masingmasing komponen disebut dengan nama umum misalnya Injeksi
Dekstrosa 5 % atau Injeksi Dekstrosa (5%) dan injeksi Natrium Klorida (0,2%).
Penandaan mencakup informasi berikut kecuali dinyatakan lain dalam masing-
masing monografi : (1) untuk sediaan cair, persentase isi atau jumlah setiap komponen
dalam volume tertentu, kecuali bahan yang ditambahkan untuk penyesuaian pH atau
untuk membuat larutan isotonik, dapat dinyatakan dengan nama dan pernyataan fungsi
bahan tersebut, (2) untuk sediaan kering atau sediaan yang memerlukan pengenceran
sebelum digunakan: jumlah tiap komponen, komposisi pengencer yang dianjurkan
(nama, bila formula disebutkan dalam masing-masing monografi); jumlah cairan
pengencer yang ditambahkan untuk mendapatkan kadar tertentu dari bahan aktif atau
volume akhir dari larutan yang diperoleh; cara penyimpanan larutan terkonstitusi;
tanggal kedaluwarsa yaitu batas waktu larutan terkonstitusi masih memenuhi syarat
potensi seperti tertera pada etiket bila disimpan seperti yang dianjurkan.
Wadah untuk injeksi yang akan digunakan untuk dialisis, hemofiltrasi atau
cairan irigasi dan volume lebih dari 1 liter, diberi penandaan bahwa sediaan tidak
digunakan untuk infus intravena.
Pemberian etiket pada wadah sedemikian rupa sehingga sebagian wadah tidak
tertutup oleh etiket, untuk mempermudah pemeriksaan isi secara visual.
Wadah Untuk Injeksi Wadah untuk sediaan injeksi termasuk penutup tidak
boleh berinteraksi secara fisika maupun kimia dalam bentuk apapun dengan sediaan,
yang dapat mengubah kekuatan, kualitas atau kemurnian di luar persyaratan resmi
dalam kondisi penanganan, pengangkutan, penyimpanan, penjualan dan
penggunaannya. Wadah terbuat dari bahan yang dapat mempermudah pengamatan
terhadap isi. Tipe kaca untuk tiap sediaan parenteral umumnya dinyatakan dalam
masing-masing monografi. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi,
wadah plastik dapat digunakan untuk pengemasan injeksi seperti yang tertera pada
Wadah <1271>.
Definisi wadah dosis tunggal dan dosis ganda, tertera pada Wadah dalam
Ketentuan Umum. Wadah untuk injeksi memenuhi persyaratan seperti yang tertera
pada Wadah <1271>.
Wadah ditutup dan disegel dengan berbagai cara untuk mencegah kontaminasi
atau kehilangan isi. Validasi integritas wadah harus menunjukkan tidak ada penetrasi
kontaminasi mikroba atau cemaran kimia atau fisika. Sebagai tambahan, wadah harus
dapat mempertahankan jumlah total dan jumlah relatif atau kadar dari zat terlarut dan
pembawa bila terpapar kondisi ekstrem pada proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan distribusi. Penutup wadah dosis ganda harus memungkinkan
pengambilan isi tanpa membuka atau merusak penutup. Penutup harus memungkinkan
penetrasi oleh jarum suntik dan pada waktu jarum suntik dicabut, segera menutup untuk
melindungi wadah dari kontaminasi. Validasi integritas wadah dosis ganda harus
termasuk verifikasi seperti pencegah kontaminasi mikroba atau hilangnya isi produk
untuk mengantisipasi penusukan berulang pada penggunaan.
Wadah untuk sediaan padat steril Wadah termasuk penutup untuk sediaan
padat kering yang ditujukan untuk penggunaan parenteral harus tidak berinteraksi
secara fisika maupun kimia dengan sediaan, yang dapat mengubah kekuatan, mutu atau
kemurnian di luar persyaratan resmi dalam kondisi penanganan, pengangkutan,
penyimpanan, penjualan dan penggunaannya.
Wadah untuk sediaan padat steril memungkinkan penambahan pelarut yang
sesuai dan pengambilan sejumlah volume tertentu larutan atau suspensi yang dihasilkan
sedemikian rupa sehingga sterilitas produk dapat dipertahankan.
Bila Penetapan kadar dalam monografi memberikan suatu prosedur untuk
penyiapan Larutan uji, pada pengambilan isi keseluruhan dari satu wadah dosis tunggal
menggunakan alat suntik dan jarum suntik hipodermik, isi harus diambil sesempurna
mungkin dengan alat suntik hipodermik kering dengan kapasitas tidak lebih dari tiga
kali volume yang akan diambil dan dilengkapi dengan jarum suntik nomor 21, panjang
tidak kurang dari 2,5 cm. Dengan hati-hati keluarkan gelembung udara, dan masukkan
ke dalam wadah untuk pengenceran dan penetapan kadar.
Isi Wadah Setiap wadah injeksi diisi sedikit berlebih dari jumlah yang tertera
pada etiket atau volume yang akan diambil. Kelebihan volume yang dianjurkan dalam
tabel yang tertera pada Penetapan Volume Injeksi dalam wadah <1131>, umumnya
cukup untuk memenuhi volume pengambilan dan pemakaian seperti yang tertera pada
etiket.
Penetapan Volume Injeksi Dalam Wadah Suspensi dan emulsi harus
dikocok sebelum pengambilan isi dan sebelum penetapan bobot jenis. Sediaan
berminyak dan kental dapat dihangatkan jika perlu, dan kocok kuat, segera keluarkan
isinya. Isi kemudian didinginkan pada 20º sampai 25º sebelum pengukuran volume.
Sediaan padat steril harus direkonstitusi sesuai dengan yang tertera pada etiket sebelum
mengeluarkan isinya. Kemudian ukur isi sesuai prosedur untuk suspensi, emulsi atau
larutan.
Wadah dosis tunggal Memenuhi syarat Penetapan Volume Injeksi dalam
Wadah <1131>.
Wadah dosis ganda Untuk wadah injeksi dosis ganda dengan etiket
menyebutkan jumlah dosis dalam volume tertentu, pilih satu wadah, lakukan seperti
pada Wadah dosis tunggal, menggunakan sejumlah siring terpisah berukuran sama
dengan ukuran disesuaikan volume yang ditetapkan. Volume yang dipindahkan dari
tiap siring tidak kurang dari volume dosis yang ditetapkan.
Larutan intravena volume besar Untuk larutan intravena, pilih 1 wadah.
Pindahkan isi ke dalam gelas ukur kering dengan kapasitas volume yang akan diukur
tidak kurang dari 40% volume nominal gelas ukur. Ukur volume yang dipindahkan.
Volume tidak kurang dari volume nominal.
Pengemasan dan Penyimpanan Volume Injeksi wadah dosis tunggal dapat
memberikan jumlah tertentu untuk pemakaian parenteral sekali pakai dan tidak ada
yang memungkinkan pengambilan isi dan pemberian sebesar 1 liter.
Sediaan untuk pemberian intraspinal, intrasisternal atau pemakaian peridural
dikemas hanya dalam wadah dosis tunggal.
Bila tidak dinyatakan lain dalam monografi, tidak ada wadah dosis ganda yang
berisi sejumlah volume Injeksi yang memungkinkan pengambilan sebesar 30 ml.
Injeksi yang dikemas untuk digunakan sebagai larutan irigasi, hemofiltrasi,
dialisis atau untuk nutrisi secara parenteral dibebaskan dari pembatasan pengemasan di
atas. Wadah untuk injeksi yang dikemas untuk larutan hemofiltrasi atau larutan irigasi
dapat dirancang agar kosong dengan cepat dan boleh berisi lebih dari 1 liter.
Bahan Asing dan Bahan Partikulat Seluruh sediaan yang ditujukan untuk
penggunaan parenteral harus dibuat sedemikian rupa untuk mendeteksi bahan partikulat
seperti yang didefinisikan dalam Bahan Partikulat Dalam Injeksi <751>. Setiap wadah
sediaan parenteral harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya bahan asing dan
bahan partikulat (selanjutnya disebut sebagai “partikulat visibel”) di dalam isi. Proses
pemeriksaan harus dirancang dan dikualifikasi untuk menjamin bahwa setiap lot dari
seluruh sediaan parenteral bebas dari partikulat visibel. Setiap wadah yang isinya
menunjukkan adanya partikulat visibel harus ditolak. Pemeriksaan partikulat visibel
dapat dilakukan dengan pemeriksaan efek kritikal lainnya seperti retak atau pecahnya
wadah atau segel atau pada saat karakterisasi penampilan fisik sediaan terliofilisasi.
Bila sifat isi atau sistem penutup wadah memungkinkan hanya pengawasan
terbatas dari isi keseluruhan, pengawasan 100% terhadap lot harus dilengkapi dengan
pemeriksaan terhadap isi (contoh pengeringan) atau mengeluarkan isi dari wadah
(contoh wadah berwarna coklat gelap) dari sebuah lot.
Semua injeksi volume besar untuk infus dosis tunggal dan injeksi volume kecil
harus melalui uji pengaburan cahaya dan prosedur mikroskopik untuk bahan partikulat
subvisibel seperti tertera pada Bahan Partikulat dalam Injeksi <751> kecuali
dinyatakan lain dalam masing-masing monografi.
Larutan untuk injeksi dengan pemberian secara intramuskular atau subkutan
harus memenuhi persyaratan seperti yang tertera pada Bahan Partikulat dalam Injeksi
<751>.
Kemasan parenteral dengan penandaan khusus untuk penggunaan sebagai
larutan irigasi dan sediaan radiofarmaka, dikecualikan dari persyaratan seperti yang
tertera pada Bahan Partikulat dalam Injeksi <751>. Sediaan parenteral yang pada etiket
dinyatakan untuk penggunaan disaring terlebih dahulu pada tahap akhir sebelum
digunakan, dikecualikan dari persyaratan yang tertera pada Bahan Partikulat dalam
Injeksi <751>, dengan menyediakan data ilmiah untuk mendukung pengecualian ini.
Sterilitas Sediaan untuk injeksi memenuhi persyaratan pada Uji Sterilitas
<71>.
Larutan Terkonstitusi Pada sediaan padat kering yang akan dibuat menjadi
larutan terkonstitusi untuk injeksi diberi nama sesuai bentuknya [Nama zat aktif] untuk
Injeksi. Untuk menjamin mutu sediaan injeksi sebagaimana diberikan, uji yang tidak
merusak sediaan injeksi seperti berikut ini dilakukan untuk memperlihatkan kesesuaian
larutan terkonstitusi pada saat sebelum digunakan.
Kesempurnaan melarut dan kejernihan larutan Konstitusi larutan seperti
yang tertera pada etiket untuk sediaan kering steril.
A. Sediaan padat larut sempurna, tidak terdapat residu yang tampak sebagai
bahan tak terlarut.
B. Kejernihan larutan terkonstitusi harus sama secara signifikan dari volume
yang sama dengan pengencer atau Air Murni dalam wadah serupa dan diperiksa dengan
cara yang sama.
Bahan partikulat Konstitusi larutan seperti yang tertera pada etiket untuk
sediaan kering steril: larutan bebas dari partikel bahan asing yang dapat diamati secara
visual.
1.5.9 IRIGASI
Irigasi adalah larutan steril yang digunakan untuk mencuci atau membersihkan
luka terbuka atau rongga-rongga tubuh. Pemakaiannya secara topikal, tidak boleh
digunakan secara parenteral. Pada etiket diberi tanda bahwa sediaan ini tidak dapat
digunakan untuk injeksi.
1.6.0 KAPSUL
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin; tetapi dapat juga
terbuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Ukuran cangkang kapsul keras bervariasi
dari nomor paling kecil (5) sampai nomor paling besar (000). Umumnya ukuran nomor
00 adalah ukuran terbesar yang dapat diberikan kepada pasien. Ada juga kapsul gelatin
keras ukuran 0 dengan bentuk memanjang (dikenal sebagai ukuran OE), yang
memberikan kapasitas isi lebih besar tanpa peningkatan diameter. Kapsul gelatin keras
terdiri atas dua bagian, bagian tutup dan induk. Umumnya, ada lekuk khas pada bagian
tutup dan induk, untuk memberikan penutupan yang baik bila bagian induk dan tutup
cangkangnya diletakkan sepenuhnya, yang mencegah terbukanya cangkang kapsul
yang telah diisi, selama transportasi dan penanganan. Penutupan sempurna juga dapat
dicapai dengan penggabungan bagian tutup dan induk dengan cara pemanasan langsung
atau penggunaan energi ultrasonik. Kapsul gelatin keras yang diisi dipabrik dapat
ditutup secara sempurna dengan cara dilekatkan, suatu proses dimana lapisan gelatin
dioleskan satu kali atau lebih di seluruh bagian pelekatan bagian tutup dan induk; atau
dengan proses pelekatan menggunakan cairan, yaitu kapsul yang telah diisi dibasahi
dengan airalkohol yang akan merembes ke dalam rongga bagian kapsul tutup dan induk
yang saling tumpang tindih, kemudian dikeringkan. Kapsul cangkang keras terbuat dari
pati terdiri atas bagian tutup dan induk. Karena kedua bagian tersebut tidak melekat
dengan dengan baik, maka bagian-bagian tersebut dilekatkan menjadi satu pada saat
pengisian, untuk menghindari pemisahan. Kapsul pati dilekatkan dengan mengoleskan
campuran air-alkohol pada rongga cangkang tutup, segera sebelum dilekatkan ke
cangkang induk.
Pelekatan kapsul gelatin cangkang keras atau pelekatan dengan cairan pada
kapsul pati cangkang keras meningkatkan keamanan karena kapsul sukar dibuka tanpa
kerusakan nyata dan meningkatkan stabilitas isi kapsul dengan membatasi masuknya
oksigen. Kapsul bercangkang keras yang diisi di pabrik sering mempunyai warna dan
bentuk berbeda atau diberi tanda untuk mengetahui identitas pabrik. Pada kapsul seperti
ini dapat dicantumkan jumlah zat aktif, kode produk dan lain-lain yang dicetak secara
aksial atau radial. Tinta cetak kualitas farmasi memenuhi ketentuan yang berlaku
mengenai pigmen dan zat warna yang diizinkan.
Dalam praktek pelayanan resep di apotek, kapsul cangkang keras dapat diisi
dengan tangan. Fleksibilitas ini merupakan kelebihan kapsul cangkang keras
dibandingkan bentuk sediaan tablet dan kapsul cangkang lunak. Kapsul cangkang keras
biasanya terbuat dari gelatin berkekuatan gel relatif tinggi. Berbagai jenis gelatin dapat
digunakan, tetapi gelatin dari campuran kulit atau tulang sering digunakan untuk
mengoptimalkan kejernihan dan kekerasan cangkang. Kapsul cangkang keras dapat
juga dibuat dari pati atau bahan lain yang sesuai. Kapsul cangkang keras dapat juga
mengandung zat warna yang diizinkan atau zat warna dari berbagai oksida besi, bahan
opak seperti titanium dioksida, bahan pendispersi, bahan pengeras seperti sukrosa dan
pengawet. Biasanya bahan-bahan ini mengandung air antara 10% dan 15%.
Kapsul gelatin keras dibuat melalui suatu proses dengan cara mencelup pin ke
dalam larutan gelatin, kemudian lapisan gelatin dikeringkan, dirapikan dan dilepaskan
dari pin tersebut, kemudian bagian induk dan tutup dilekatkan. Kapsul pati dibuat
dengan mencetak campuran pati dan air, kemudian kapsul dikeringkan. Gunakan
cetakan terpisah untuk bagian tutup dan induk kapsul dan kedua bagian ini dibuat secara
terpisah. Kapsul kosong disimpan dalam wadah tertutup rapat sampai kapsul diisi.
Karena gelatin berasal dari hewan dan pati berasal dari tanaman, maka kapsul ini
sebaiknya terlindung dari sumber pencemaran yang potensial atau kontaminasi
mikroba.
Kapsul cangkang keras biasanya diisi dengan serbuk, butiran atau granul.
Butiran gula inert dapat dilapisi dengan komposisi bahan aktif dan penyalut yang
memberikan profil lepas lambat atau bersifat enterik. Sebagai alternatif, bahan aktif
bentuk pelet dan kemudian disalut. Bahan semipadat atau cairan dapat juga cairan
dimasukkan dalam kapsul, salah satu teknik penutupan harus digunakan untuk
mencegah terjadinya kebocoran.
Dalam pengisian kapsul gelatin keras, bagian tutup dan induk cangkang
dipisahkan dahulu sebelum diisi. Dalam pengisian kapsul pati cangkang keras, bagian
tutup dan induk cangkang ditempatkan secara terpisah dan dipasang pada tempat yang
berbeda dari suatu mesin pengisi. Mesin yang menggunakan berbagai prinsip dosis
dapat digunakan untuk mengisikan serbuk ke dalam kapsul cangkang keras, tetapi
kebanyakan mesin otomatis, membentuk sumbat serbuk dengan cara pengempaan yang
kemudian dilepaskan ke dalam bagian induk kapsul kosong. Umumnya bagian
pelengkap mesin ini tersedia untuk berbagai jenis pengisian lain. Formulasi serbuk
sering membutuhkan penambahan zat pengisi, lubrikan dan glidan pada bahan aktif
untuk mempermudah proses pengisian kapsul. Formulasi dan metode pengisian,
terutama derajat kepadatan, dapat mempengaruhi laju pelepasan obat. Penambahan
bahan pembasah pada massa serbuk, biasa dilakukan jika bahan aktif bersifat
hidrofobik. Disintegran dapat ditambahkan ke dalam formulasi serbuk untuk
memudahkan deagregasi dan dispersi gumpalan kapsul dalam saluran cerna. Formulasi
serbuk sering dapat dibuat melalui pencampuran kering, sedangkan formulasi ruah
membutuhkan densifikasi dengan teknik rol atau teknik granulasi lain yang sesuai.
Campuran serbuk yang cenderung meleleh dapat dimasukkan ke dalam kapsul
cangkang keras, jika digunakan absorben, seperti magnesium karbonat, silikon dioksida
koloidal, atau zat lain yang sesuai. Obat-obat yang berkhasiat keras sering dicampur
dengan zat pengencer inert sebelum diisikan ke dalam kapsul. Jika dua macam obat
yang tak tercampurkan diresepkan bersama, kadang-kadang dimungkinkan untuk
menempatkan salah satunya di dalam kapsul kecil dan menggabungnya dengan kapsul
lebih besar yang berisi obat kedua. Obat-obat yang tak tercampurkan dapat juga
dipisahkan dengan menempatkan pelet atau tablet bersalut, atau kapsul cangkang lunak
yang berisi obat pertama ke dalam cangkang kapsul sebelum penambahan obat kedua.
Bahan semipadat tiksotropik dapat dibentuk dengan cara mengubah obat cair
atau zat pembawa menjadi bentuk gel dengan menggunakan silika koloidal atau serbuk
polietilen glikol berbobot molekul tinggi. Berbagai senyawa malam atau lemak dapat
digunakan untuk menyiapkan matriks semipadat dengan peleburan.
Kapsul cangkung lunak yang dibuat dari gelatin (kadang-kadang disebut gel
lunak) atau bahan lain yang sesuai membutuhkan metode produksi skala besar.
Cangkang gelatin lunak sedikit lebih tebal dibanding kapsul cangkang keras dan dapat
diplastisasi dengan penambahan senyawa poliol, seperti sorbitol atau gliserin.
Perbandingan bahan plastisasi kering terhadap gelatin kering menentukan kekerasan
cangkang dan dapat diubah untuk penyesuaian dengan kondisi lingkungan dan juga sifat
isi kapsul. Seperti cangkang keras, komposisi cangkang dapat mengandung pigmen atau
pewarna yang diizinkan, bahan opak seperti titanium dioksida, dan pengawet. Bahan
pengharum dapat ditambahkan, selain itu sukrosa hingga 5% dapat dimasukkan sebagai
pemanis dan untuk menghasilkan cangkang yang dapat dikunyah. Cangkang gelatin
lunak umumnya mengandung 6% hingga 13% air. Kapsul cangkang lunak juga dapat
diberi kode produk, jumlah zat aktif dan lain-lain dengan cara dicetak. Umumnya
kapsul cangkang lunak diisi dengan cairan. Khususnya bahan aktif dilarutkan atau
disuspensikan dalam bahan pembawa cair. Dahulu digunakan bahan pembawa minyak
seperti minyak nabati; sekarang ini lebih umum digunakan bahan pembawa cair bukan
air yang dapat bercampur dengan air, seperti polietilen glikol berbobot molekul lebih
rendah, karena mempunyai lebih sedikit masalah ketersediaan hayati.
Kapsul cangkang lunak tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan
dibentuk, diisi serta dilekatkan dengan menggunakan mesin yang sama; khususnya
dengan proses berputar, mekipun dapat juga digunakan suatu proses lempeng atau
proses turun naik. Kapsul cangkang lunak dapat juga diproduksi melalui proses
gelembung yang membentuk kapsul sferik tanpa lekukan. Dengan peralatan yang
sesuai, serbuk dan zat padat kering lain dapat diisikan ke dalam kapsul cangkang lunak.
Kapsul berisi cairan dari setiap jenis kapsul, melibatkan teknologi formulasi
yang sama dan memberikan keuntungan serta keterbatasan yang sama. Sebagai contoh,
kedua jenis kapsul dapat memberikan keuntungan dibandingkan kapsul berisi zat kering
dan tablet dalam hal keseragaman kandungan dan disolusi obat. Homogenitas yang
lebih besar mungkin terjadi dalam sistem cair, dan cairan dapat diukur lebih tepat.
Disolusi obat mungkin lebih baik karena obat sudah dalam larutan atau paling tidak
tersuspensi dalam bahan pembawa hidrofilik. Namun, kontak antara cangkang lunak
atau keras dengan isi zat cair lebih besar dibandingkan dengan kapsul berisi serbuk
kering, dan dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi yang tidak
diinginkan. Sifat cairan isi kapsul menyebabkan masalah teknologi yang berbeda
dibandingkan kapsul isi zat kering dalam hal uji waktu hancur dan disolusi. Ditinjau
dari segi formulasi, teknologi dan biofarmasi, kapsul berisi cairan dari jenis kapsul apa
saja lebih seragam dibanding kapsul berisi serbuk kering dari jenis cangkang yang
sama. Oleh karena itu untuk penetapan standar resmi dan metode lebih didasarkan pada
pertimbangan sifat isi kapsul dibanding jenis cangkangnya.
Kapsul lepas tunda
Kapsul dapat disalut atau pada umumnya enkapsulasi granul disalut untuk
menghambat pelepasan obat dalam cairan lambung dimana penundaan menjadi penting
untuk mengurangi masalah yang potensial yang menyebabkan obat diinaktivasi atau
iritasi mukosa lambung. Istilah ”lepas tunda” digunakan pada masing-masing
monografi kapsul salut enterik yang ditujukan untuk menunda pelepasan obat, temasuk
uji dan spesifikasi untuk Pelepasan Obat <961> seperti yang tertera pada masing-
masing monografi.
Kapsul lepas lambat
Kapsul lepas lambat diformulasi dengan cara tersebut untuk membuat obat
tersedia selama periode waktu perpanjangan setelah dikonsumsi. Istilah seperti
”prolonged-action,” ”repeat-action,” dan ”sustained-release” juga digunakan untuk
menggambarkan sediaan tersebut. Namun, istilah ”lepas tunda” digunakan dalam
persyaratan Farmakope untuk Pelepasan Obat <961> seperti yang tertera pada masing-
masing monografi.
1.6.1 KRIM
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan
obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional
telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair
diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batas
tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau
dispersi mikrokristal asamasam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang
dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika.
Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal.
1.6.2 LARUTAN
Larutan adalah sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang
terlarut, misal: terdispersi secara molekuler dalam pelarut yang sesuai atau campuran
pelarut yang saling bercampur. Karena molekul-molekul dalam larutan terdispersi
secara merata, maka penggunaan larutan sebagai bentuk sediaan, umumnya
memberikan jaminan keseragaman dosis dan memiliki ketelitian yang baik jika larutan
diencerkan atau dicampur.
Sediaan padat secara kimia umumnya lebih stabil dibanding senyawa dalam
larutan, dan dapat dikemas lebih ringkas dan ringan. Untuk semua larutan, terutama
yang mengandung pelarut mudah menguap, harus digunakan wadah tertutup rapat dan
terhindar dari panas berlebih. Jika senyawa tidak stabil dan mudah mengalami
degradasi secara fotokimia, penggunaan wadah tahan cahaya perlu dipertimbangkan.
Bentuk sediaan larutan digolongkan menurut cara pemberiannya, misalnya Larutan
oral, Larutan topikal, atau penggolongan didasarkan pada sistem pelarut dan zat terlarut
seperti Spirit, Tingtur dan Larutan air. Larutan yang diberikan secara parenteral disebut
Injeksi.
Larutan oral larutan oral adalah sediaan cair yang dibuat untuk pemberian
oral, mengandung satu atau lebih zat dengan atau tanpa bahan pengaroma, pemanis atau
pewarna yang larut dalam air atau campuran kosolven-air. Larutan oral dapat
diformulasikan untuk diberikan langsung secara oral kepada pasien atau dalam bentuk
lebih pekat yang harus diencerkan lebih dulu sebelum diberikan. Penting untuk
diketahui bahwa pengenceran larutan oral dengan air yang mengandung kosolven
seperti etanol, dapat menyebabkan pengendapan bahan terlarut. Jika terdapat kosolven,
pengenceran larutan pekat perlu berhati-hati. Sediaan zat padat atau campuran zat padat
yang harus dilarutkan dalam pelarut sebelum diberikan secara oral disebut “... untuk
Larutan Oral”, misalnya : Kalium Klorida untuk Larutan Oral.
Larutan oral yang mengandung sukrosa atau gula lain kadar tinggi, dinyatakan
sebagai Sirup. Larutan sukrosa hampir jenuh dalam air dikenal sebagai Sirup atau Sirup
Simpleks. Penggunaan istilah sirup juga digunakan untuk bentuk sediaan cair lain yang
dibuat dengan pengental dan pemanis, termasuk suspensi oral.
Disamping sukrosa dan gula lain, senyawa poliol tertentu seperti sorbitol atau
gliserin dapat digunakan dalam Larutan oral untuk menghambat penghabluran dan
untuk mengubah kelarutan, rasa, dan sifat lain zat pembawa. Umumnya juga
ditambahkan antimikroba untuk mencegah pertumbuhan bakteri, jamur dan ragi.
Beberapa Larutan oral tidak mengandung gula, melainkan bahan pemanis buatan,
seperti sorbitol atau aspartam, dan bahan pengental seperti gom selulosa. Larutan kental
dengan pemanis buatan seperti ini, tidak mengandung gula; dibuat sebagai zat pembawa
untuk pemberian obat kepada pasien diabetes.
Banyak larutan oral yang mengandung etanol sebagai kosolven dinyatakan
sebagai Eliksir. Banyak lainnya dinyatakan sebagai larutan oral, juga mengandung
etanol dalam jumlah yang berarti. Karena kadar etanol tinggi dapat menimbulkan efek
farmakologi jika diberikan secara oral, dapat digunakan kosolven lain seperti gliserin
dan propilen glikol, untuk mengurangi jumlah etanol yang diperlukan. Untuk dapat
menyatakan sebagai Eliksir, larutan harus mengandung etanol.
Larutan Topikal Larutan Topikal adalah larutan yang biasanya mengandung
air tetapi seringkali mengandung pelarut lain, seperti etanol dan poliol, untuk
penggunaan topikal pada kulit, atau dalam hal Larutan Lidokain Oral Topikal, untuk
penggunaan pada permukaan mukosa mulut. Istilah Lotio digunakan untuk larutan atau
suspensi yang digunakan secara topikal.
Larutan Otik Larutan Otik adalah larutan yang mengandung air atau gliserin
atau pelarut lain dan bahan pendispersi, untuk penggunaan dalam telinga luar misalnya
Larutan Otik Benzokain dan Antipirin, Larutan Otik Neomisin dan Polimiksin B Sulfat
dan Larutan Otik Hidrokortison.
Larutan Optalmik Seperti tertera pada Sediaan Obat Mata.
Spirit Spirit adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol dari zat
mudah menguap, umumnya merupakan larutan tunggal atau campuran bahan. Beberapa
spirit digunakan sebagai bahan pengaroma, yang lain memiliki makna pengobatan.
Penurunan kadar etanol dalam spirit dengan mencampurkan sediaan yang mengandung
air sering menyebabkan kekeruhan.
Spirit harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya untuk
mencegah penguapan dan memperkecil perubahan akibat oksidasi.
Tingtur Tingtur adalah larutan mengandung etanol atau hidroalkohol dibuat
dari bahan tumbuhan atau senyawa kimia.
Jumlah obat dalam tingtur yang berbeda tidak selalu seragam tetapi bervariasi,
sesuai dengan masing-masing standar yang telah ditetapkan. Secara tradisional tingtur
tumbuhan berkhasiat obat menunjukkan aktivitas dari 10 g obat dalam tiap 100 ml
tingtur, potensi ditetapkan setelah dilakukan penetapam kadar. Sebagian besar tingtur
tumbuhan lain mengandung 20 g bahan tumbuhan dalam 100 ml tingtur.
Cara perkolasi Campur dengan hati-hati serbuk bahan obat atau campuran
bahan obat dengan pelarut atau campuran pelarut tertentu secukupnya, hingga rata dan
cukup basah, biarkan selama 15 menit, pindahkan ke dalam perkolator yang sesuai, dan
mampatkan. Tuangkan secukupnya pelarut atau campuran pelarut tertentu sampai
terendam seluruhnya, tutup bagian atas perkolator dan jika cairan sudah hampir menetes
dari perkolator, tutup lubang bawah. Perkolasi selama 24 jam atau sesuai dengan waktu
yang tertera pada monografi. Jika penetapan kadar tidak dinyatakan lain, lakukan
perkolasi secara perlahan, atau pada kecepatan yang telah ditentukan dan secara
bertahap tambahkan pelarut atau campurkan pelarut secukupnya hingga diperoleh 1000
ml tingtur, (untuk menetapkan kecepatan aliran, lakukan seperti yang tertera pada
Ekstrak dan Ekstrak cair). Jika penetapan kadarnya dinyatakan, kumpulkan 950 ml
perkolat, dan campur, tetapkan kadar terhadap sebagian perkolat seperti yang
dinyatakan. Untuk memperoleh tingtur yang memenuhi syarat baku, perlu pengenceran
sisa tingtur dengan sejumlah pelarut atau campuran pelarut tertentu yang telah dihitung
dari penetapan kadar.
Cara maserasi Maserasi bahan obat dengan 750 ml pelarut atau campuran
pelarut tertentu dalam wadah yang dapat ditutup, dan letakkan ditempat hangat.
Diamkan selama 3 hari, sambil sering dikocok atau hingga terlarut. Pindahkan
campuran ke dalam penyaring, dan jika sebagian besar dari cairan telah mengalir keluar,
cuci residu pada penyaringan dengan sejumlah pelarut atau campuran pelarut tertentu
secukupnya, kumpulkan filtrat, hingga diperoleh 1000 ml tingtur.
Tingtur harus disimpan dalam wadah tertututp rapat, tidak tembus cahaya,
jauhkan dari cahaya matahari langsung dan panas yang berlebihan.
Air aromatik Kecuali dinyatakan lain Air aromatik adalah larutan jernih dan
jenuh dalam air, dari minyak mudah menguap atau senyawa aromatik atau bahan mudah
menguap lain. Bau dan rasanya mirip dengan obat atau senyawa mudah menguap yang
ditambahkan, dan bebas dari bau empirematik dan bau asing lain. Air aromatik dapat
dibuat secara destilasi atau dari larutan senyawa aromatik, dengan atau tanpa
menggunakan bahan pendispersi.
Air aromatik perlu disimpan terlindung cahaya dan panas berlebih.
1.6.3 PASTA
Pasta adalah sediaan semipadat yang mengandung satu atau lebih bahan obat
yang ditujukan untuk pemakaian topikal. Kelompok pertama dibuat dari gel fase
tunggal mengandung air, misalnya Pasta Natrium Karboksimetilselulose, kelompok
lain adalah pasta berlemak misalnya Pasta Zink Oksida, merupakan salep yang padat,
kaku, yang tidak meleleh pada suhu tubuh dan berfungsi sebagai lapisan pelindung pada
bagian yang diolesi.
Pasta berlemak ternyata kurang berminyak dan lebih menyerap dibandingkan
dengan salep karena tingginya kadar obat yang mempunyai afinitas terhadap air. Pasta
ini cenderung untuk menyerap sekresi seperti serum; dan mempunyai daya penetrasi
dan daya maserasi lebih rendah dari salep. Oleh karena itu pasta digunakan untuk lesi
akut yang cenderung membentuk kerak, menggelembung atau mengeluarkan cairan.
Pasta gigi digunakan untuk pelekatan pada selaput lendir untuk memperoleh
efek lokal (misal pasta gigi Triamsinolon Asetonida).
1.6.4 PLESTER
Plester adalah bahan yang digunakan untuk pemakaian luar terbuat dari bahan yang
dapat melekat pada kulit dan menempel pada pembalut. Plester dimaksudkan untuk melindungi
dan menyangga, dan atau untuk memberikan daya perekat dan daya maserasi, dan memberikan
pengobatan jika melekat pada kulit. Plester yang mengandung obat, telah lama digunakan untuk
pemberian obat secara lokal atau regional sebagai bentuk dasar pemberian obat transdermal.
Plester biasanya menempel pada kulit dengan bantuan bahan perekat. Massa perekat
harus melekat pada bahan plastik penyangga dan pada kulit (atau pembalut) dengan
keseimbangan daya lekat yang tepat. Keseimbangan daya lekat seperti ini dimaksudkan untuk
melepaskan kembali plester, sehingga bila plester diangkat, permukaan kulit tempat plester
menempel tetap bersih.
1.6.5 SEDIAAN OBAT MATA
Obat mata tersedia dalam berbagai bentuk sediaan, beberapa diantaranya memerlukan
perhatian khusus.
Salep Salep mata adalah salep yang digunakan pada mata. Pada pembuatan salep mata
harus diberikan perhatian khusus. Sediaan dibuat dari bahan yang sudah disterilkan dengan
perlakuan aseptik yang ketat serta memenuhi syarat Uji Sterilitas <71>. Bila bahan tertentu
yang digunakan dalam formulasi tidak dapat disterilkan dengan cara biasa, maka dapat
digunakan bahan yang memenuhi syarat Uji Sterilitas <71> dengan pembuatan secara aseptik.
Salep mata harus mengandung bahan atau campuran bahan yang sesuai untuk mencegah
pertumbuhan atau memusnahkan mikroba yang mungkin masuk secara tidak sengaja bila
wadah dibuka pada waktu penggunaan; kecuali dinyatakan lain dalam monografi atau
formulanya sendiri sudah bersifat bakteriostatik (lihat Bahan Tambahan seperti yang tertera
pada Uji Salep Mata <1241>). Bahan obat yang ditambahkan ke dalam dasar salep berbentuk
larutan atau serbuk halus. Salep mata harus bebas dari partikel kasar dan harus memenuhi syarat
kebocoran dan partikel logam pada Uji Salep Mata <1241>. Wadah untuk salep mata harus
dalam keadaan steril pada waktu pengisian dan penutupan. Wadah salep mata harus tertutup
rapat dan disegel untuk menjamin sterilitas pada pemakaian pertama.
Dasar salep yang dipilih tidak boleh mengiritasi mata, memungkinkan difusi obat
dalam cairan mata dan tetap mempertahankan aktivitas obat dalam jangka waktu tertentu pada
kondisi penyimpanan yang tepat.
Vaselin merupakan dasar salep mata yang banyak digunakan. Beberapa bahan dasar
salep yang dapat menyerap, bahan dasar yang mudah dicuci dengan air dan bahan dasar larut
dalam air dapat digunakan untuk obat yang larut dalam air. Bahan dasar salep seperti ini
memungkinkan dispersi obat larut air yang lebih baik, tetapi tidak boleh menyebabkan iritasi
pada mata.
Larutan Larutan obat mata adalah larutan steril, bebas partikel asing, merupakan
sediaan yang dibuat dan dikemas sedemikian rupa hingga sesuai digunakan pada mata.
Pembuatan larutan obat mata membutuhkan perhatian khusus dalam hal toksisitas bahan obat,
nilai isotonisitas, kebutuhan pengawet (dan jika perlu pemilihan pengawet) sterilisasi dan
kemasan yang tepat. Perhatian yang sama juga dilakukan untuk sediaan hidung dan telinga.
Nilai isotonisitas Cairan mata isotonik dengan darah dan mempunyai nilai isotonisitas
sesuai dengan larutan natrium klorida P 0,9%. Secara ideal larutan obat mata harus mempunyai
nilai isotonis tersebut, tetapi mata tahan terhadap nilai isotonis rendah yang setara dengan
larutan natrium klorida P 0,6% dan tertinggi setara dengan larutan natrium klorida P 2,0% tanpa
gangguan nyata.
Beberapa larutan obat mata perlu hipertonik untuk meningkatkan daya serap
dan menyediakan kadar bahan aktif yang cukup tinggi untuk menghasilkan efek obat
yang cepat dan efektif. Apabila larutan obat seperti ini digunakan dalam jumlah kecil,
pengenceran dengan air mata cepat terjadi sehingga rasa perih akibat hipertonisitas
hanya sementara. Tetapi penyesuaian isotonisitas oleh pengenceran dengan air mata
tidak berarti, jika digunakan larutan hipertonik dalam jumlah besar sebagai koliria
untuk membasahi mata. Jadi yang penting adalah larutan obat mata untuk keperluan ini
harus mendekati isotonik.
1.6.6 SERBUK
Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang dihaluskan,
ditujukan untuk pemakaian oral atau untuk pemakaian luar. Karena mempunyai luas
permukaan yang luas, serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih larut dari pada bentuk
sediaan yang dipadatkan. Anak-anak atau orang dewasa yang sukar menelan kapsul
atau tablet lebih mudah menggunakan obat dalam bentuk serbuk. Obat yang terlalu
besar volumenya untuk dibuat tablet atau kapsul dalam ukuran yang lazim, dapat dibuat
dalam bentuk serbuk. Sebelum digunakan, biasanya serbuk oral dapat dicampur dengan
air minum.
Masalah stabilitas yang seringkali dihadapi dalam sediaan bentuk cair, tidak
ditemukan dalam sediaan bentuk serbuk. Obat yang tidak stabil dalam suspensi atau
larutan air dapat dibuat dalam bentuk serbuk atau granul. Konstitusi sediaan dapat
dilakukan oleh apoteker dengan cara menambahkan sejumlah air sebelum diserahkan.
Karena sediaan yang sudah dikonstitusi ini mempunyai stabilitas yang terbatas, harus
dicantumkan waktu kadaluarsa setelah dikonstitusi dan dapat juga dipersyaratkan untuk
disimpan dalam lemari pendingin.
Serbuk oral dapat diserahkan dalam bentuk terbagi (Pulveres) atau tidak
terbagi (Pulvis). Pada umumnya serbuk terbagi dibungkus dengan kertas perkamen.
Walaupun begitu apoteker dapat lebih melindungi serbuk dari pengaruh lingkungan
dengan melapisi tiap bungkus dengan kertas selofan atau sampul polietilena.
Serbuk oral tidak terbagi hanya terbatas pada obat yang relatif tidak poten,
seperti laksan, antasida, makanan diet dan beberapa analgesik tertentu dan pasien dapat
menakar secara aman dengan sendok teh atau penakar lain. Serbuk tidak terbagi lainnya
antara lain, serbuk gigi, serbuk tabur. Serbuk tidak terbagi sebaiknya disimpan dalam
wadah gelas, bermulut lebar, tertutup rapat, untuk melindungi pengaruh atmosfer dan
mencegah penguapan senyawa yang mudah menguap.
Serbuk tabur adalah serbuk ringan untuk penggunaan topikal, dapat dikemas
dalam wadah yang bagian atasnya berlubang halus untuk memudahkan penggunaan
pada kulit. Pada umumnya serbuk tabur harus melewati ayakan dengan derajat halus
100 mesh seperti tertera pada Derajat Halus Serbuk <1141> agar tidak menimbulkan
iritasi pada bagian yang peka.
1.6.7 SUPOSITORIA
Supositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rektal, vagina atau uretra. Umumnya meleleh, melunak atau melarut
pada suhu tubuh. Supositoria dapat bertindak sebagai pelindung jaringan setempat,
sebagai pembawa zat terapetik yang bersifat lokal atau sistemik. Bahan dasar
supositoria yang umum digunakan adalah lemak coklat, gelatin tergliserinasi, minyak
nabati terhidrogenasi, campuran polietilen glikol berbagai bobot molekul dan ester
asam lemak polietilen glikol.
Bahan dasar supositoria yang digunakan sangat berpengaruh pada pelepasan
zat terapetik. Lemak coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan
dengan cairan tubuh, oleh karena itu menghambat difusi obat yang larut dalam lemak
pada tempat yang diobati. Polietilen glikol adalah bahan dasar yang sesuai untuk
beberapa antiseptik. Jika diharapkan bekerja secara sistemik, lebih baik menggunakan
bentuk ionik dari pada nonionik, agar diperoleh ketersediaan hayati yang maksimum.
Meskipun obat bentuk nonionik dapat dilepas dari bahan dasar yang dapat bercampur
dengan air, seperti gelatin tergliserinasi dan polietilen glikol, bahan dasar ini cenderung
sangat lambat larut sehingga menghambat pelepasan. Bahan pembawa berminyak
seperti lemak coklat jarang digunakan dalam sediaan vagina, karena membentuk residu
yang tidak dapat diserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang digunakan melalui
rektal karena disolusinya lambat. Lemak coklat dan penggantinya (lemak keras) lebih
baik untuk menghilangkan iritasi, seperi pada sediaan untuk hemoroid internal.
Supositoria Lemak Coklat Supositoria dengan bahan dasar lemak coklat
dapat dibuat dengan mencampur bahan obat yang dihaluskan ke dalam minyak padat
pada suhu kamar dan massa yang dihasilkan dibuat dalam bentuk sesuai, atau dibuat
dengan minyak dalam keadaan lebur dan suspensi yang dihasilkan didiamkan menjadi
dingin di dalam cetakan. Sejumlah zat pengeras yang sesuai dapat ditambahkan untuk
mencegah kecenderungan beberapa obat, (seperti kloralhidrat dan fenol) melunakkan
bahan dasar. Yang penting, supositoria meleleh pada suhu tubuh.
Perkiraan bobot supositoria yang dibuat dengan lemak coklat, dijelaskan
dibawah ini. Supositoria yang dibuat dari bahan dasar lain, bobotnya bervariasi dan
umumnya lebih berat daripada bobot yang disebutkan dibawah ini.
Supositoria rektal Supsitoria rektal untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu
atau kedua ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2 g.
Supositoria vaginal Umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot
lebih kurang 5 g, dibuat dari zat pembawa yang larut dalam air atau yang dapat
bercampur dalam air, seperti polietilen glikol atau gelatin tergliserinasi.
Supositoria dengan bahan dasar lemak coklat harus disimpan dalam wadah
tertutup baik, sebaiknya pada suhu dibawah 30º (suhu kamar terkendali).
1.6.8 SUSPENSI
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang
terdispersi dalam fase cair. Sediaan yang digolongkan sebagai suspensi adalah sediaan
seperti tersebut di atas, dan tidak termasuk kelompok suspensi yang lebih spesifik,
seperti suspensi oral, suspensi topikal, dan lain-lain. Beberapa suspensi dapat langsung
digunakan, sedangkan yang lain berupa campuran padat yang harus dikonstitusikan
terlebih dahulu dengan pembawa yang sesuai segera sebelum digunakan. Istilah susu
kadang-kadang digunakan untuk suspensi dalam pembawa yang mengandung air yang
ditujukan untuk pemakaian oral, seperti Susu Magnesia. Istilah Magma sering
digunakan untuk menyatakan suspensi zat padat anorganik dalam air seperti lumpur,
jika zat padatnya mempunyai kecenderungan terhidrasi dan teragregasi kuat yang
menghasilkan konsistensi seperti gel dan sifat reologi tiksotropik seperti Magma
Bentonit. Istilah Lotio banyak digunakan untuk golongan suspensi topikal dan emulsi
untuk pemakaian pada kulit seperti Lotio Kalamin. Beberapa suspensi dibuat steril dan
dapat digunakan untuk injeksi, juga untuk sediaan mata dan telinga. Suspensi dapat
dibagi dalam 2 jenis, yaitu suspensi yang siap digunakan atau yang dikonstitusikan
dengan jumlah air untuk injeksi atau pelarut lain yang sesuai sebelum digunakan.
Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal.
Suspensi yang dinyatakan untuk digunakan dengan cara tertentu harus
mengandung zat antimikroba yang sesuai untuk melindungi kontaminasi bakteri, ragi
dan jamur seperti yang tertera pada Emulsi dengan beberapa pertimbangan penggunaan
pengawet antimikroba juga berlaku untuk suspensi. Sesuai sifatnya, partikel yang
terdapat dalam suspensi dapat mengendap pada dasar wadah bila didiamkan.
Pengendapan seperti ini dapat mempermudah pengerasan dan pemadatan sehingga sulit
terdispersi kembali, walaupun dengan pengocokan. Untuk mengatasi masalah tersebut,
dapat ditambahkan zat yang sesuai untuk meningkatkan kekentalan dan bentuk gel
suspensi seperti tanah liat, surfaktan, poliol, polimer atau gula. Yang sangat penting
adalah bahwa suspensi harus dikocok baik sebelum digunakan untuk menjamin
distribusi bahan padat yang merata dalam pembawa, hingga menjamin keseragaman
dan dosis yang tepat. Suspensi harus disimpan dalam wadah tertutup rapat.
Suspensi oral Suspensi oral adalah sediaan cair mengandung partikel padat
yang terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan pengaroma yang sesuai, dan
ditujukan untuk penggunaan oral. Beberapa Suspensi oral Suspensi oral adalah sediaan
cair mengandung partikel padat yang terdispersi dalam pembawa cair dengan bahan
pengaroma yang sesuai, dan ditujukan untuk penggunaan oral. Beberapa suspensi yang
diberi etiket sebagai susu atau magma termasuk dalam kategori ini.
Suspensi topikal Suspensi topikal adalah sediaan cair mengandung partikel
padat yang terdispersi dalam pembawa cair yang ditujukan untuk penggunaan pada
kulit. Beberapa suspensi yang diberi etiket sebagai “Lotio” termasuk dalam kategori
ini.
Suspensi tetes telinga Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair mengandung
partikel-partikel halus yang ditujukan untuk diteteskan pada telinga bagian luar.
Suspensi optalmik Seperti tertera pada Sediaan Obat Mata.
1.6.9 SALEP
Salep adalah sediaan setengah padat ditujukan untuk pemakaian topikal pada
kulit atau selaput lendir.
Dasar salep yang digunakan sebagai pembawa dibagi dalam 4 kelompok: dasar
salep senyawa hidrokarbon, dasar salep serap, dasar salep yang dapat dicuci dengan air,
dasar salep larut dalam air. Setiap salep obat menggunakan salah satu dasar salep
tersebut.
Dasar salep hidrokarbon Dasar salep ini dikenal sebagai dasar salep
berlemak antara lain vaselin putih dan salep putih. Hanya sejumlah kecil komponen
berair dapat dicampurkan ke dalamnya. Salep ini dimaksudkan untuk memperpanjang
kontak bahan obat dengan kulit dan bertindak sebagai pembalut penutup. Dasar salep
hidrokarbon digunakan terutama sebagai emolien, dan sukar dicuci. Tidak mengering
dan tidak tampak berubah dalam waktu lama.
Dasar salep serap Dasar salep serap ini dapat dibagi dalam 2 kelompok.
Kelompok pertama terdiri atas dasar salep yang dapat bercampur dengan air
membentuk emulsi air dalam minyak (Parafin hidrofilik dan Lanolin anhidrat), dan
kelompok kedua terdiri atas emulsi air dalam minyak yang dapat bercampur dengan
sejumlah larutan air tambahan (Lanolin). Dasar salep serap juga bermanfaat sebagai
emolien.
Dasar salep yang dapat dicuci dengan air Dasar salep ini adalah emulsi
minyak dalam air antara lain Salep hidrofilik dan lebih tepat disebut “Krim” (lihat
Cremores). Dasar ini dinyatakan juga sebagai “dapat dicuci dengan air” karena mudah
dicuci dari kulit atau dilap basah, sehingga lebih dapat diterima untuk dasar kosmetik.
Beberapa bahan obat dapat menjadi lebih efektif menggunakan dasar salep ini daripada
Dasar salep hidrokarbon. Keuntungan lain dari dasar salep ini adalah dapat diencerkan
dengan air dan mudah menyerap cairan yang terjadi pada kelainan dermatologik.
Dasar salep larut dalam air Kelompok ini disebut juga “dasar salep tak
berlemak” dan terdiri dari konstituen larut air. Dasar salep jenis ini memberikan banyak
keuntungan seperti dasar salep yang dapat dicuci dengan air dan tidak mengandung
bahan tak larut dalam air seperti parafin, lanolin anhidrat atau malam. Dasar salep ini
lebih tepat disebut “gel” (lihat Gel).
Pemilihan dasar salep Pemilihan dasar salep tergantung pada beberapa faktor
seperti khasiat yang diinginkan, sifat bahan obat yang dicampurkan, ketersediaan
hayati, stabilitas dan ketahanan sediaan jadi. Dalam beberapa hal perlu menggunakan
dasar salep yang kurang ideal untuk mendapatkan stabilitas yang diinginkan. Misalnya
obat-obat yang cepat terhidrolisis, lebih stabil dalam Dasar salep hidrokarbon daripada
dasar salep yang mengandung air, meskipun obat tersebut bekerja lebih efektif dalam
dasar salep yang mengandung air.
1.7.0 TABLET
Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan
pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, dapat digolongkan sebagai tablet cetak dan
tablet kempa.
Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk
sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan
tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat
dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain
cetakan. Tablet berbentuk kapsul umumnya disebut kaplet. Bolus adalah tablet besar
yang digunakan untuk obat hewan, umumnya untuk hewan besar.
Tablet cetak dibuat dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan
tekanan rendah ke dalam lubang cetakan. Kepadatan tablet tergantung pada ikatan
kristal yang terbentuk selama proses pengeringan selanjutnya dan tidak tergantung pada
kekuatan tekanan yang diberikan.
Tablet triturat merupakan tablet cetak atau kempa berbentuk kecil, umumnya
silindris, digunakan untuk memberikan jumlah terukur yang tepat untuk peracikan obat.
Jenis tablet ini sekarang sudah jarang digunakan. Tablet hipodermik adalah tablet cetak
yang dibuat dari bahan yang mudah melarut atau melarut sempurna dalam air, dulu
umumnya digunakan untuk membuat sediaan injeksi hipodermik. Diberikan secara oral
atau jika diperlukan ketersediaan obat yang cepat seperti halnya pada Tablet
Nitrogliserin, diberikan secara sublingual.
Tablet bukal digunakan dengan cara meletakkan tablet di antara pipi dan gusi
dan tablet sublingual digunakan dengan cara meletakkan tablet di bawah lidah, sehingga
zat aktif diserap secara langsung melalui mukosa mulut. Beberapa obat mudah diserap
dengan cara ini (seperti nitrogliserin dan hormon steroid tertentu) dan mempunyai
banyak keuntungan.
Tablet efervesen yang larut, dibuat dengan cara dikempa; selain zat aktif, juga
mengandung campuran asam (asam sitrat, asam tartrat) dan natrium bikarbonat, yang
jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan karbon dioksida. Tablet dilarutkan atau
didispersikan dalam air sebelum pemberian. Tablet efervesen harus disimpan dalam
wadah tertutup rapat atau kemasan tahan lembab, pada etiket tertera tidak untuk
langsung ditelan.
Tablet kunyah Tablet kunyah dimasudkan untuk dikunyah, memberikan
residu dengan rasa enak dalam rongga mulut, mudah ditelan dan tidak meninggalkan
rasa pahit atau tidak enak. Jenis tablet ini digunakan dalam formulasi tablet untuk anak,
terutama formulasi multivitamin, antasida dan antibiotika tertentu. Tablet kunyah
dibuat dengan cara dikempa, umumnya menggunakan manitol, sorbitol atau sukrosa
sebagai bahan pengikat dan bahan pengisi, mengandung bahan pewarna dan bahan
pengaroma untuk meningkatkan penampilan dan rasa.
Tablet lepas-lambat Tablet lepas-lambat dibuat sedemikian sehingga zat aktif
akan tersedia selama jangka waktu tertentu setelah obat diberikan. Istilah efek-
diperpanjang, efek-pengulangan dan lepas-lambat telah digunakan untuk menyatakan
kesediaan tersebut. Tetapi, istilah lepas-lambat digunakan untuk tujuan farmakope dan
persyaratan pelepasan obat dijelaskan dalam masing-masing monografi.
Tablet hisap (Lozenges) Tablet Hisap adalah sediaan padat mengandung satu
atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis, yang dapat
membuat tablet melarut atau hancur perlahan dalam mulut. Tablet dibuat dengan cara
tuang (dengan bahan dasar gelatin dan atau sukrosa yang dilelehkan atau sorbitol) atau
dengan cara kempa tablet menggunakan bahan dasar gula. Tablet hisap tuang kadang-
kadang disebut sebagai pastiles, sedangkan tablet hisap kempa disebut sebagai troches.
Tablet umumnya ditujukan untuk mengobati iritasi lokal atau infeksi mulut atau
tenggorokan, tetapi dapat juga mengandung bahan aktif yang ditujukan untuk absorbsi
sistemik setelah ditelan.
1.7.1 VAKSIN
Vaksin adalah sediaan yang mengandung zat antigenik yang mampu
menimbulkan kekebalan aktif dan khas pada manusia. Vaksin dibuat dari bakteria,
riketsia atau virus dan dapat berupa suspensi organisme hidup atau fraksi-fraksinya atau
toksoid.
Metode pembuatan bervariasi tergantung dari jenis vaksin seperti yang tertera
di bawah ini atau dalam masing-masing monografi dan dirancang agar dapat
mempertahankan sifat antigenisitas yang sesuai, membuat sediaan tidak berbahaya dan
bebas dari kontaminasi senyawa asing. Jika memungkinkan pembuatan vaksin harus
menggunakan lot benih yang sudah ditetapkan dan untuk mendapatkan vaksin yang
baik, vaksin tidak boleh dibuat dari sub kultur benih awal.
Pada waktu pembuatan dapat ditambahkan penisilin pada setiap tahap
pembuatan atau pada produk akhir. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi,
streptomisin tidak boleh digunakan dalam pembuatan vaksin; penambahan ke dalam
biakan sel yang akan digunakan dalam produksi vaksin diperkenankan, tetapi tidak
boleh terdeteksi jika biakan sel diinokulasi dengan virus.
Kemampuan menimbulkan imunitas vaksin dapat ditingkatkan dengan
penjerapan pada aluminium fosfat, aluminium hidroksida, kalsium fosfat atau bahan
jerap lain seperti yang tertera pada monografi. Zat jerap dibuat dalam kondisi yang
dapat memberikan bentuk fisik dan sifat jerap yang tepat. Jika vaksin dikemas dalam
wadah dosis ganda, kecuali dinyatakan lain dalam monografi, dapat ditambahkan
pengawet antimikroba yang sesuai selain antibiotik pada vaksin steril dan vaksin inaktif
dan penambahannya secara bervariasi. Pengawet antimikroba tidak ditambahkan pada
sediaan vaksin yang akan dikeringkan.
Produk akhir dibagikan secara aseptik ke dalam wadah yang memenuhi syarat
dan ditutup kedap untuk mencegah kontaminasi mikroba; atau dibagikan dalam wadah
steril, kemudian dibekukeringkan dengan cara yang sesuai untuk mengurangi kadar air
hingga tidak lebih dari 2,0% dalam produk akhir, kecuali dinyatakan lain dalam
monografi. Wadah kemudian ditutup kedap dalam hampa udara atau dapat diisi gas
nitrogen bebas oksigen atau gas inert lain yang sesuai sebelum wadah ditutup kedap
untuk menghindari kontaminasi mikroba. Vaksin kering direkonstitusi segera sebelum
digunakan.
Vaksin bakteri Vaksin bakteri dibuat dari biakan galur bakteri yang sesuai
dalam media cair atau padat yang sesuai dan mengandung bakteri hidup atau inaktif
atau komponen imunogeniknya. Sediaan berupa suspensi dengan berbagai tingkat
opasitas dalam cairan tidak berwarna atau hampir tidak berwarna atau berupa sediaan
beku kering.
Vaksin bakteri inaktif mengandung bakteri atau komponen imunogenik yang
diinaktivasi dengan cara tertentu sehingga sifat antigenisitas dipertahankan.
Vaksin bakteri hidup dibuat dari galur bakteri dengan virulensi yang telah
dilemahkan dan mampu merangsang pembentukan kekebalan terhadap galur patogen
yang sama atau jenis bakteri yang sifat antigeniknya berhubungan.
Konsentrasi bakteri hidup atau inaktif dari tiap varietas atau jenis bakteri
dinyatakan opasitasnya dalam Unit Internasional Opasitas, atau bila sesuai dengan
menghitung jumlah sel langsung, atau jika bakteri hidup dengan angka viabel.
Toksoid bakteri Toksoid bakteri diperoleh dari toksin yang telah dikurangi
atau dihilangkan sifat toksisitasnya hingga mencapai tingkat tidak terdeteki, tanpa
mengurangi sifat imunogenisitas, dengan cara tertentu yang dapat mencegah
berubahnya kembali toksoid menjadi toksin. Toksin diperoleh dari galur pilihan
mikroorganisme khas yang ditumbuhkan dalam media yang sedapat mungkin bebas
dari senyawa yang diketahui menyebabkan reaksi toksik, alergi atau yang tidak
diinginkan pada manusia. Toksoid bakteri dapat berupa cairan atau beku kering. Bila
dijerap, mengandung partikel putih atau kelabu yang terdispersi dalam cairan tidak
berwarna atau berwarna kuning pucat; partikel seperti ini dapat membentuk endapan
pada dasar wadah.
Vaksin Virus dan Riketsia Vaksin virus dan riketsia adalah suspensi virus
atau riketsia yang ditumbuhkan dalam telur berembrio, dalam biakan sel atau dalam
jaringan yang sesuai dan mengandung virus atau riketsia hidup atau yang inaktif atau
komponen imunogeniknya. Umumnya tersedia dalam bentuk sediaan beku kering.
Vaksin virus hidup umumnya dibuat dari virus galur khas yang virulensinya
telah dilemahkan.
Opasitas vaksin virus dapat berbeda tergantung cara pembuatan, dapat
berwarna bila mengandung indikator pH seperti merah fenol.
Vaksin campuran Vaksin campuran adalah campuran dua atau lebih vaksin.
Vaksin, bila perlu direkonstitusi, memenuhi syarat seperti di bawah ini, kecuali
dinyatakan lain dalam monografi.
Fenol Vaksin mengandung fenol sebagai pengawet tidak lebih dari 0,25%,
kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Lakukan penetapan seperti yang tertera pda
Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin dan Immunosera <731>.
Formaldehida bebas Vaksin mengandung formaldehida bebas tidak lebih
dari 0,02%. Lakukan penetapan seperti yang tertera pada Uji Bahan Tambahan dalam
Vaksin dan Immunosera
Aluminium Vaksin jerap mengandung aluminium, tidak lebih dari 1,25 mg
per dosis, kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Lakukan penetapan seperti yang
tertera pada Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin dan Immunosera.
Kalsium Vaksin jerap mengandung kalsium tidak lebih dari 1,3 mg per dosis,
kecuali dinyatakan lain dalam monografi. Lakukan penetapan seperti yang tertera pada
Uji Bahan Tambahan dalam Vaksin dan Immunosera.
REFERENSI
Kementerian Kesehatan RI. (2020). Farmakope Indonesia Edisi VI. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Nurhidayati, I. (2014). Sejarah Farmakope. Retrieved from
https://ilmakribooo.wordpress.com/2014/10/30/sejarah-farmakope/ (Diakses pada 03
September 2022)
Perpustakaan Pusat Universitas Pakuan. (2021). Farmakope Indonesia. Available at:
https://lib.unpak.ac.id/index.php?p=show_detail&id=9615&keywords= (Diakses pada
03 September 2022)
MAKALAH KOMPREHENSIF
1
Topik Sesi III
1
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan (Permenkes) Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Puskesmas. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut merupakan perubahan dari
Peraturan Menteri Kesehatan 30 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, yang masih belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga
perlu dilakukan perubahan.
2
prosesi pemasukan dan pengeluaran sediaan farmasi dan alat kesehatan, ke dalam dan
dari wilayah indonesia. Bab VI berisikan tentang kemasan sediaan farmasi dan alat
kesehatan. Kemudian, Bab VII PP ini berisikan tentang pendanaan dan iklan yang
kemudian mencakup ketentuan dalam pendanaan dan informasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan serta ketentuan terkaik periklanan dari sediaan farmasi dan alat kesehatan
yang didanai. Bab VIII PP ini menjabarkan menganai pemeliharaan mutu sediaan
farmasi dan alat kesehatan. Bab IX PP ini menjabarkan menganai penggunaan dan
penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran yang kemudian
memperincikan menganai ketantuan pengujian kembali, penarikan kembali, dan ganti
rugi. Selanjutnya, pada Bab X PP ini dijabarkan menganai pemusnahan sediaan farmasi
dan alat kesehatan. Bab XI PP ini menjabarkan mengenai peran serta masyarakat. Bab
XII PP ini menjabarkan menganai pembinaan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Bab
XIII PP ini menjabarkan menganai pengawasan yang kemudian lebih rincinya
menjelaskan mengenai tanggungjawab pengawasan dan tindakan administratif terkait
sediaan farmasi dan alat kesehatan. Kemudian, Bab XIV PP ini menjabarkan menganai
ketentuan pidana terkait sediaan farmasi dan alat kesehatan. Selanjutnya, Bab XV PP ini
menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan lain yang belum ada pada bab-bab
sebelumnya, dan terakhir, pada Bab XVI dijabarkan menganai ketentuan penutup dari
PP nomor 72 Tahun 1998 ini.
3
standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit akan terjadi efisiensi tenaga dan waktu.
Efisiensi yang diperoleh kemudian dimanfaatkan untuk melaksanakan fungsi pelayanan
farmasi klinik secara intensif.
1.3.2 Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di RS
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu:
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang
efektif untuk menjamin kendali mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15
ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan
bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai
di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu. Alat
Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat medis
habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu
jantung, implan, dan stent.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai meliputi:
a. Pemilihan;
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai ini
berdasarkan:
1) formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi;
2) standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
yang telah ditetapkan;
3) pola penyakit;
4) efektifitas dan keamanan;
5) pengobatan berbasis bukti;
6) mutu;
7) harga; dan
8) ketersediaan di pasaran
4
b. Perencanaan kebutuhan;
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya
kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan
untuk menghindari kekosongan Obat dengan menggunakan metode yang dapat
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan
antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode konsumsi dan
epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman
perencanaan harus mempertimbangkan:
1) anggaran yang tersedia;
2) penetapan prioritas;
3) sisa persediaan;
4) data pemakaian periode yang lalu;
5) waktu tunggu pemesanan; dan
6) rencana pengembangan.
c. Pengadaan;
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan
perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan,
jumlah, dan waktu yang tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar
mutu. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari
pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan
dan dana, pemilihan metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan
spesifikasi kontrak, pemantauan proses pengadaan, dan pembayaran.
Rumah Sakit harus memiliki mekanisme yang mencegah kekosongan stok
Obat yang secara normal tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat
Instalasi Farmasi tutup. Pengadaan dapat dilakukan melalui:
1) Pembelian Untuk Rumah Sakit pemerintah pembelian Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai harus sesuai dengan ketentuan
pengadaan barang dan jasa yang berlaku
5
2) Produksi Sediaan Farmasi Instalasi Farmasi dapat memproduksi sediaan
tertentu apabila: Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran; Sediaan Farmasi
lebih murah jika diproduksi sendiri; Sediaan Farmasi dengan formula
khusus; Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
Sediaan Farmasi untuk penelitian; dan Sediaan Farmasi yang tidak stabil
dalam penyimpanan/harus dibuat baru (recenter paratus).
3) Sumbangan/Dropping/Hibah Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan
dan pelaporan terhadap penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sumbangan/dropping/ hibah.
d. Penerimaan
Penerimaan Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam
kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen
terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
e. Penyimpanan;
Penyimpanan Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan
penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus dapat
menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan
kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
f. Pendistribusian;
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka
menyalurkan/menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien
dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat menjamin
terlaksananya pengawasan dan pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan Bahan Medis Habis Pakai di unit pelayanan. Sistem distribusi di unit
pelayanan dapat dilakukan dengan cara:
6
1) Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
2) Sistem Resep Perorangan
3) Sistem Unit Dosis
4) Sistem Kombinasi
g. Pemusnahan dan penarikan;
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
1) produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
2) telah kadaluarsa;
3) tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4) dicabut izin edarnya.
Tahapan pemusnahan terdiri dari:
1) membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang akan dimusnahkan;
2) menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
3) mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak
terkait;
4) menyiapkan tempat pemusnahan; dan
5) melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta
peraturan yang berlaku.
h. Pengendalian;
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan
penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan
Komite/Tim Farmasi dan Terapi di Rumah Sakit.
i. Administrasi.
7
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk
memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi
terdiri dari:
1) Pencatatan dan Pelaporan
2) Administrasi Keuangan
3) Administrasi Penghapusan
Manajemen risiko pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan melalui beberapa langkah yaitu:
a. Menentukan konteks manajemen risiko pada proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
b. Mengidentifikasi Risiko
2. Pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan
keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life)
terjamin. Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi::
a. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait
Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter
penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien
rawat inap maupun rawat jalan.
b. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk
mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang
pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari
wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
c. Rekonsiliasi Obat;
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan
dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah
8
terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan,
duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication
error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah
Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah
Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. Tahap proses rekonsiliasi
Obat yaitu:
1) Pengumpulan data
2) Komparasi
3) Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi
4) Komunikasi
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias,
terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter,
Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar
Rumah Sakit.
e. Konseling;
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait
terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas
kesehatan dapat dilakukan atas inisiatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan
pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan
kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Apoteker. Pemberian konseling
Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi
Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost effectiveness
yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien
(patient safety).
f. Visite;
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
9
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat,
memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan
terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien
serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien
yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai
dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien. Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan
risiko Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis
lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan
terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang
terkait dengan kerja farmakologi.
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan
Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
j. Dispensing sediaan steril;
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik
aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas
dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian
Obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
1) Pencampuran Obat Suntik
2) Penyiapan Nutrisi Parenteral
3) Penanganan Sediaan Sitostatik
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
10
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat
karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
1.3.3 Sumber Daya Kefarmasian RS
1. Sumber Daya Manusia
a. Kualifikasi Sumber Daya Manusia
Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM Instalasi Farmasi
diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari:
a) Apoteker
b) Tenaga Teknis Kefarmasian
2) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari:
a) Operator Komputer/Teknisi yang memahami kefarmasian
b) Tenaga Administrasi
c) Pekarya/Pembantu pelaksana
b. Persyaratan Sumber Daya Manusia
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan
administrasi seperti yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Instalasi Farmasi harus dikepalai oleh seorang Apoteker yang merupakan
Apoteker penanggung jawab seluruh Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
Kepala Instalasi Farmasi diutamakan telah memiliki pengalaman bekerja di
Instalasi Farmasi minimal 3 (tiga) tahun.
c. Beban Kerja dan Kebutuhan
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan
Kefarmasian di rawat inap yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian resep, penelusuran riwayat
penggunaan Obat, rekonsiliasi Obat, pemantauan terapi Obat, pemberian
informasi Obat, konseling, edukasi dan visite, idealnya dibutuhkan tenaga
Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 30 pasien.
11
Penghitungan kebutuhan Apoteker berdasarkan beban kerja pada Pelayanan
Kefarmasian di rawat jalan yang meliputi pelayanan farmasi manajerial dan
pelayanan farmasi klinik dengan aktivitas pengkajian Resep, penyerahan Obat,
Pencatatan Penggunaan Obat (PPP) dan konseling, idealnya dibutuhkan tenaga
Apoteker dengan rasio 1 Apoteker untuk 50 pasien.
Selain kebutuhan Apoteker untuk Pelayanan Kefarmasian di rawat inap dan
rawat jalan, diperlukan juga masing-masing 1 (satu) orang Apoteker untuk
kegiatan Pelayanan Kefarmasian di ruang tertentu, yaitu:
12
1.3.4 Pengorganisasian
1. Instalasi Farmasi
Pengorganisasian Instalasi Farmasi harus mencakup penyelenggaraan
pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai,
pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi
sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga mutu.
2. Komite/Tim Farmasi dan Terapi
Dalam pengorganisasian Rumah Sakit dibentuk Komite/Tim Farmasi dan
Terapi yang merupakan unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada
pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang
anggotanya terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah
Sakit, Apoteker Instalasi Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila
diperlukan. Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus dapat membina hubungan kerja
dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan
penggunaan Obat. Komite/Tim Farmasi dan Terapi mempunyai tugas:
a. mengembangkan kebijakan tentang penggunaan Obat di Rumah Sakit;
b. melakukan seleksi dan evaluasi Obat yang akan masuk dalam formularium
Rumah Sakit;
c. mengembangkan standar terapi;
d. mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan Obat;
e. melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan Obat yang rasional;
f. mengkoordinir penatalaksanaan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki;
g. mengkoordinir penatalaksanaan medication error;
h. menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan Obat di Rumah
Sakit.
3. Komite/Tim Lain Yang Terkait
Peran Apoteker dalam Komite/Tim lain yang terkait penggunaan Obat di Rumah
Sakit antara lain:
a. Pengendalian Infeksi Rumah Sakit;
b. Keselamatan Pasien Rumah Sakit;
c. Mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit;
13
d. Perawatan paliatif dan bebas nyeri;
e. Penanggulangan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndromes);
f. Direct Observed Treatment Shortcourse (DOTS);
g. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA);
h. Transplantasi;
i. PKMRS; atau
j. Terapi Rumatan Metadon
14
Pelayanan Kefarmasian yang diselenggarakan di Apotek haruslah mampu
menjamin ketersediaan obat yang aman, bermutu dan berkhasiat dan sesuai dengan
amanat Undang Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam rangka
peningkatan penggunaan obat rasional untuk mencapai keselamatan pasien, dilakukan
pelayanan kefarmasian sesuai standar di fasilitas kesehatan. Terkait dengan hal tersebut,
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Permenkes No 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek telah memuat kebijakan pelayanan
kefarmasian termasuk pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai (BMHP) dan pelayanan farmasi klinik yang harus dilaksanakan dan
menjadi tanggung jawab seorang apoteker.
14.2 Ruang Lingkup Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Ruang lingkup pedoman teknis ini meliputi rangkaian pada pengelolaan sediaan
farmasi mulai dari Perencanaan Kebutuhan, Pengadaan, Penerimaan, Penyimpanan,
Pendistribusian, Pemusnahan dan Penarikan, Pengendalian dan Administrasi.
Selanjutnya, juga meliputi rangkaian pelayanan farmasi klinik mulai dari Pengkajian
dan Pelayanan resep, Dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), Pelayanan
Kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO) dan
Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
14.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan Dan Bahan Medis Habis Pakai
(Bmhp) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di Apotek sesuai dengan ketentuan yang
berlaku serta memastikan kualitas, manfaat dan keamanannya. Pengelolaan sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan dan bahan medis habis pakai harus dilaksanakan secara
multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk menjamin
kendali mutu dan kendali biaya.
1. Perencanaan
Perencanaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP merupakan tahap
awal untuk menetapkan jenis serta jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP yang sesuai dengan kebutuhan.
15
a. Tujuan perencanaan
1) Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP yang mendekati kebutuhan;
2) Meningkatkan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP secara
rasional.
3) Menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
4). Menjamin stok sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP tidak berlebih.
5) Efisiensi biaya.
6) Memberikan dukungan data bagi estimasi pengadaan, penyimpanan dan
biaya distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP.
b. Proses Perencanaan Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1) Persiapan Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana
kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP:
a) Perlu dipastikan kembali komoditas yang akan disusun perencanaannya.
b) Perlu disusun daftar spesifik mengenai sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang akan direncanakan, termasuk di dalamnya kombinasi
antara obat generik dan bermerek.
c) Perencanaan perlu memperhatikan waktu yang dibutuhkan, mengestimasi
periode pengadaan, mengestimasi safety stock dan memperhitungkan lead
time.
2) Pengumpulan data. Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP pasien periode sebelumnya (data
konsumsi), sisa stok dan data morbiditas.
3) Penetapan jenis dan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang
direncanakan menggunakan metode perhitungan kebutuhan.
4) Evaluasi Perencanaan.
5) Revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).
6) Apotek yang bekerjasama dengan BPJS diwajibkan untuk mengirimkan
RKO yang sudah disetujui oleh pimpinan Apotek melalui aplikasi E-Monev.
16
c. Metode Perhitungan Kebutuhan Menentukan kebutuhan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian yang harus
dilakukan oleh tenaga kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan
koordinasi dan proses perencanaan yang tepat, maka diharapkan obat yang
direncanakan dapat tepat jenis, jumlah dan waktu serta mutu yang terjamin.
Metode dan strategi perencanaan dapat ditujukan untuk penggunaan, untuk
menyiapkan dan menyesuaikan biaya, perencanaan dan pengembangan
layanan. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan didasarkan pada
penggunaan sumber daya dan data yang ada. Metode tersebut adalah metode
konsumsi, metode morbiditas dan metode proxy consumption.
1) Metode Konsumsi
Metode konsumsi didasarkan pada data konsumsi sediaan farmasi. Untuk
menghitung jumlah sediaan farmasi yang dibutuhkan berdasarkan metoda
konsumsi perlu diperhatikan hal sebagai berikut:
a) Pengumpulan dan pengolahan data.
b) Analisa data untuk informasi dan evaluasi.
c) Perhitungan perkiraan kebutuhan sediaan farmasi.
d) Penyesuaian jumlah kebutuhan Sediaan Farmasi dengan alokasi dana.
2) Metode Morbiditas Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat
berdasarkan pola penyakit. Metode morbiditas memperkirakan keperluan
obat s/d obat tertentu berdasarkan dari jumlah, kejadian penyakit dan
mempertimbangkan pola standar pengobatan untuk penyakit tertentu. Pada
prakteknya, penggunaan metode morbiditas untuk penyusunan rencana
kebutuhan obat di Apotek jarang diterapkan karena keterbatasan data
terkait pola penyakit.
3) Metode Proxy Consumption Metode proxy consumption adalah metode
perhitungan kebutuhan obat menggunakan data kejadian penyakit,
konsumsi obat, permintaan, atau penggunaan, dan/atau pengeluaran obat
dari Apotek yang telah memiliki sistem pengelolaan obat dan
17
mengekstrapolasikan konsumsi atau tingkat kebutuhan berdasarkan
cakupan populasi atau tingkat layanan yang diberikan.
d. Analisa Rencana Kebutuhan Sediaan Farmasi Untuk menjamin ketersediaan
obat dan efisiensi anggaran perlu dilakukan analisa saat perencanaan. Evaluasi
perencanaan dilakukan dengan cara berikut:
1) Analisis ABC ABC bukan singkatan melainkan suatu penamaan yang
menunjukkan peringkat/rangking dimana urutan dimulai dengan yang
terbaik/terbanyak.
2) Analisis VEN Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan
dana sediaan farmasi yang terbatas dengan mengelompokkan sediaan
farmasi berdasarkan manfaat tiap jenis sediaan farmasi terhadap kesehatan.
3) Analisis Kombinasi Jenis sediaan farmasi yang termasuk kategori A dari
analisis ABC adalah benar-benar jenis sediaan farmasi yang diperlukan
untuk penanggulangan penyakit terbanyak. Dengan kata lain, statusnya
harus E dan sebagian V dari VEN. Sebaliknya, jenis sediaan farmasi
dengan status N harusnya masuk kategori C.
Revisi daftar sediaan farmasi Bila langkah-langkah dalam analisis ABC
maupun VEN terlalu sulit dilakukan atau diperlukan tindakan cepat untuk
mengevaluasi daftar perencanaan, sebagai langkah awal dapat dilakukan suatu
evaluasi cepat (rapid evaluation), misalnya dengan melakukan revisi daftar
perencanaan sediaan farmasi. Namun sebelumnya, perlu dikembangkan dahulu
kriterianya, obat atau nama dagang apa yang dapat dikeluarkan dari daftar.
Manfaatnya tidak hanya dari aspek ekonomi dan medik, tetapi juga dapat
berdampak positif pada beban penanganan stok.
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui, melalui pembelian. Untuk menjamin kualitas
pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP di apotek dilaksanakan
dengan pembelian. Pembelian merupakan suatu metode penting untuk mencapai
18
keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga. Apabila ada dua atau lebih
pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kriteria berikut: mutu produk (kualitas
produk terjamin ada NIE/Nomor Izin Edar), reputasi produsen (distributor berijin
dengan penanggung jawab Apoteker dan mampu memenuhi jumlah pesanan),
harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman (lead time cepat), mutu
pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang
dikembalikan, dan pengemasan.
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi,
jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan
dengan kondisi fisik yang diterima. Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah
satu kegiatan pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis, jumlah dan
mutunya berdasarkan Faktur Pembelian dan/atau Surat Pengiriman Barang yang
sah.
4. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman
dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu sediaan farmasi.
Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara mutu sediaan farmasi, menghindari
penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menjaga ketersediaan, serta
memudahkan pencarian dan pengawasan.
5. Pemusnahan Dan Penarikan
Sediaan farmasi kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan
jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan sediaan farmasi kadaluarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan sediaan farmasi selain
narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.
Pemusnahan dibuktikan dengan berita acara pemusnahan menggunakan Lampiran
7 sebagaimana terlampir. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5
19
(lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker
disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan
Resep menggunakan Lampiran 8 sebagaimana terlampir dan selanjutnya
dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan dan penarikan
Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau berdasarkan
inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall) dengan tetap
memberikan laporan kepada Kepala BPOM. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh
Menteri.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan
sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan,
penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya
kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kedaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu
stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya
memuat nama sediaan farmasi, tanggal kadaluarsa, jumlah pemasukan, jumlah
pengeluaran dan sisa persediaan. Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan
untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan
program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan sediaan farmasi di apotek. Pengendalian persediaan obat
terdiri dari: 1. Pengendalian ketersediaan Kekosongan atau kekurangan sediaan
farmasi di apotek dapat terjadi karena beberapa hal: d. Perencanaan yang kurang
tepat; e. Perubahan kebijakan pemerintah (misalnya perubahan e-katalog,
sehingga sediaan farmasi yang sudah direncanakan tahun sebelumnya tidak masuk
dalam katalog sediaan farmasi yang baru); dan f. Berikut beberapa langkah yang
20
dapat dilakukan oleh apoteker untuk mencegah/mengatasi kekurangan atau
kekosongan sediaan farmasi:
7. Pencatatan Dan Pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan,
faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan
pencatatan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari
pelaporan internal dan eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan, barang dan
laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan,
meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya.
a. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor
transaksi perbekalan farmasi yang keluar dan masuk di apotek. Adanya
pencatatan akan memudahkan petugas untuk melakukan penelusuran bila
terjadi adanya mutu sediaan farmasi yang substandar dan harus ditarik dari
peredaran. Pencatatan dapat dilakukan dengan menggunakan bentuk digital
maupun manual. Kartu yang umum digunakan untuk melakukan pencatatan
adalah Kartu Stok.
b. Pelaporan
Pelaporan adalah kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi
sediaan farmasi, tenaga dan perlengkapan kesehatan yang disajikan kepada
pihak yang berkepentingan.
21
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan dari pelaksanaan upaya kesehatan, yang berperan penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas harus mendukung tiga fungsi pokok Puskesmas, yaitu sebagai pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, dan
pusat pelayanan kesehatan strata pertama yang meliputi pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Standar Pelayanan Kefarmasian
adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian.
22
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi Sediaan Farmasi dan
Bahan Medis Habis Pakai untuk menentukan jenis dan jumlah Sediaan
Farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Tujuan
perencanaan adalah untuk mendapatkan:
1) Perkiraan jenis dan jumlah Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai yang mendekati kebutuhan;
2) Meningkatkan penggunaan Obat secara rasional; dan
3) Meningkatkan efisiensi penggunaan Obat.
b. Permintaan;
Tujuan permintaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah
memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai di
Puskesmas, sesuai dengan perencanaan kebutuhan yang telah dibuat.
Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintah daerah setempat.
c. Penerimaan;
Penerimaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan dalam menerima Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
dari Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota atau hasil pengadaan Puskesmas
secara mandiri sesuai dengan permintaan yang telah diajukan. Tujuannya
adalah agar Sediaan Farmasi yang diterima sesuai dengan kebutuhan
berdasarkan permintaan yang diajukan oleh Puskesmas, dan memenuhi
persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
d. Penyimpanan:
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
suatu kegiatan pengaturan terhadap Sediaan Farmasi yang diterima agar
aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan
mutunya tetap terjamin, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
Penyimpanan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1) Bentuk dan jenis sediaan;
23
2) Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan Sediaan
Farmasi, seperti suhu penyimpanan, cahaya, dan kelembaban;
3) Mudah atau tidaknya meledak/terbakar;
4) Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
5) Tempat penyimpanan Sediaan Farmasi tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.
e. Pendistribusian;
Pendistribusian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan
kegiatan pengeluaran dan penyerahan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub
unit/satelit farmasi Puskesmas dan jaringannya. Sub-sub unit di Puskesmas
dan jaringannya antara lain:
1) Sub unit pelayanan kesehatan di dalam lingkungan Puskesmas;
2) Puskesmas Pembantu;
3) Puskesmas Keliling;
4) Posyandu; dan
5) Polindes.
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)
dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor
stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau
kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan
dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock).
f. Pemusnahan dan Penarikan;
Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis
Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penarikan Bahan
Medis Habis Pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut
oleh Menteri. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai bila:
1) Produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
24
2) Telah kadaluwarsa;
3) Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau
4) Dicabut izin edarnya
g. Pengendalian;
Pengendalian Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai adalah suatu
kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai
dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan Obat di unit pelayanan kesehatan
dasar. Tujuannya adalah agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan Obat
di unit pelayanan kesehatan dasar. Pengendalian Sediaan Farmasi terdiri
dari:
1) Pengendalian persediaan;
2) Pengendalian penggunaan; dan
3) Penanganan Sediaan Farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa.
h. Administrasi;
Administrasi meliputi pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh
rangkaian kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai, baik Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai yang
diterima, disimpan, didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit
pelayanan lainnya. Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah:
1) Bukti bahwa pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis
Pakai telah dilakukan;
2) Sumber data untuk melakukan pengaturan dan pengendalian; dan
3) Sumber data untuk pembuatan laporan.
i. Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai dilakukan secara periodik dengan tujuan untuk:
1) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam
pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
sehingga dapat menjaga kualitas maupun pemerataan pelayanan;
25
2) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Sediaan Farmasi
dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
3) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.
2. Pelayanan Farmasi Klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
a. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Kegiatan pengkajian resep dimulai dari seleksi persyaratan administrasi,
persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan. Persyaratan administrasi meliputi:
1) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2) Nama, dan paraf dokter.
3) Tanggal resep.
4) Ruangan/unit asal resep
Persyaratan farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan.
2) Dosis dan jumlah Obat.
3) Stabilitas dan ketersediaan.
4) Aturan dan cara penggunaan.
5) Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat).
Persyaratan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
2) Duplikasi pengobatan.
3) Alergi, interaksi dan efek samping Obat
4) Kontra indikasi.
5) Efek adiktif.
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
26
Merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh Apoteker untuk
memberikan informasi secara akurat, jelas dan terkini kepada dokter,
apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan pasien. Kegiatan:
1) Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara
pro aktif dan pasif
2) Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan
melalui telepon, surat atau tatap muka.
3) Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan
lain-lain.
4) Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat
inap, serta masyarakat.
5) Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian
dan tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis
Habis Pakai.
6) Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian.
c. Konseling;
Merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan penyelesaian masalah
pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien rawat jalan dan
rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya konseling adalah
memberikan pemahaman yang benar mengenai Obat kepada
pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan,
cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan dan penggunaan Obat.
d. Ronde/Visite Pasien (Khusus Puskesmas Rawat Inap);
Merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan
secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya terdiri dari
dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. Pasien rawat inap yang telah
pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan
kurangnya kepatuhan penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan
pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud
27
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan Obat
sehingga tercapai keberhasilan terapi Obat.
e. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau
memodifikasi fungsi fisiologis
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan
terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping. Tujuan:
1) Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
2) Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait
dengan Obat
Kriteria pasien:
1) Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
2) Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
3) Adanya multi diagnosis.
4) Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
5) Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
6) Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat
yang merugikan.
Kegiatan:
1) Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
2) Membuat catatan awal
3) Memperkenalkan diri pada pasien.
4) Memberikan penjelasan pada pasien
5) Mengambil data yang dibutuhkan
6) Melakukan evaluasi
7) Memberikan rekomendasi
g. Evaluasi Penggunaan Obat
28
Merupakan kegiatan untuk mengevaluasi penggunaan Obat secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
1.5.4 Sumber Daya Kefarmasian di Puskesmas
Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus didukung
oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian. Sumber daya kefarmasian terdiri dari :
1. Sumber Daya Manusia
Penyelengaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas minimal harus
dilaksanakan oleh 1 (satu) orang tenaga Apoteker sebagai penanggung jawab,
yang dapat dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian sesuai kebutuhan. Semua
tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik
untuk melaksanakan Pelayanan Kefarmasian di fasilitas pelayanan kesehatan
termasuk Puskesmas, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Semua tenaga kefarmasian di Puskesmas harus selalu meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku dalam rangka menjaga dan
meningkatkan kompetensinya. Upaya peningkatan kompetensi tenaga
kefarmasian dapat dilakukan melalui pengembangan profesional berkelanjutan.
2. Sarana dan Prasarana
Sarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan kefarmasian di Puskesmas
meliputi :
a. Ruang penerimaan resep
Ruang penerimaan resep meliputi tempat penerimaan resep, 1 (satu) set
meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan. Ruang
penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah
terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas)
Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara
terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang
peracikan disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air
mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari
29
pendingin, termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label
Obat, buku catatan pelayanan resep, buku-buku referensi/standar sesuai
kebutuhan, serta alat tulis secukupnya.
c. Ruang penyerahan obat
Ruang penyerahan Obat meliputi konter penyerahan Obat, buku
pencatatan penyerahan dan pengeluaran Obat. Ruang penyerahan Obat
dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep.
d. Ruang konseling
Ruang konseling meliputi satu set meja dan kursi konseling, lemari buku,
buku-buku referensi sesuai kebutuhan, leaflet, poster, alat bantu konseling,
buku catatan konseling, formulir jadwal konsumsi Obat (lampiran),
formulir catatan pengobatan pasien (lampiran), dan lemari arsip (filling
cabinet), serta 1 (satu) set komputer, jika memungkinkan.
e. Ruang penyimpanan obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,
kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan
keamanan petugas. Selain itu juga memungkinkan masuknya cahaya yang
cukup. Ruang penyimpanan yang baik perlu dilengkapi dengan rak/lemari
Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari
penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan
Obat khusus, pengukur suhu, dan kartu suhu.
f. Ruang arsip
Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan
dengan pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dan Pelayanan
Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu. Ruang arsip memerlukan
ruangan khusus yang memadai dan aman untuk memelihara dan
menyimpan dokumen dalam rangka untuk menjamin penyimpanan sesuai
hukum, aturan, persyaratan, dan teknik manajemen yang baik.
30
Pengendalian mutu Pelayanan Kefarmasian merupakan kegiatan untuk mencegah
terjadinya masalah terkait Obat atau mencegah terjadinya kesalahan pengobatan
atau kesalahan pengobatan/medikasi (medication error), yang bertujuan untuk
keselamatan pasien (patient safety). Kegiatan pengendalian mutu Pelayanan
Kefarmasian meliputi:
1. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja dan cara monitoring dan evaluasi
untuk peningkatan mutu sesuai standar.
2. Pelaksanaan, yaitu:
a. Monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja
(membandingkan antara capaian dengan rencana kerja); dan
b. Memberikan umpan balik terhadap hasil capaian.
3. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu:
a. Melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai standar; dan
b. Meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan.
Monitoring merupakan kegiatan pemantauan selama proses berlangsung untuk
memastikan bahwa aktivitas berlangsung sesuai dengan yang direncanakan.
Monitoring dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang melakukan proses.
Aktivitas monitoring perlu direncanakan untuk mengoptimalkan hasil pemantauan.
Untuk menilai hasil atau capaian pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian, dilakukan
evaluasi. Evaluasi dilakukan terhadap data yang dikumpulkan yang diperoleh
melalui metode berdasarkan waktu, cara, dan teknik pengambilan data.
1.6 Persamaan dan Perbedaan Pelayanan Kefarmasian di RS, Apotek, dan Puskesmas
Ada beberapa perbedaan dan persamaan standar pelayanan kefarmasiaan di setiap
tempat pelayanan kesehatan (Apotek, Puskesmas, dan Rumah Sakit), yaitu:
31
Puskesmas, diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Dan Rumah Sakit,
diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit.
1.6.2 Standar Pelayanan Kefarmasian
Standar Pelayanan Kefarmasiaan di Apotek, Puskesmas, dan Rumah Sakit
menyediakan pengelolaan Sediaan Farmasi, dan Bahan Medis Habis Pakai serta
pelayanan farmasi klinik. Yang membedakan berada pada Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas yang mana tidak menyediakan alat kesehatan seperti di
Apotek dan Rumah Sakit.
1.6.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
Untuk Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
persamaannya terletak pada perencanaan, penerimaan, penyimpanan pengendalian,
pencatatan, dan pelaporan, untuk perbedaanya ada di Puskesmas dan Rumah Sakit
seperti pendistribusian, pemantauan dan evaluasi pengelolaan, dan administrasi, untuk
daftarnya bisa dilihat di bawah ini:
1. Apotek
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
2. Puskesmas
a. perencanaan kebutuhan;
b. permintaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan:
e. pendistribusian;
f. pengendalian;
32
g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan
h. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.
3. Rumah Sakit
a. pemilihan;
b. perencanaan kebutuhan;
c. pengadaan;
d. penerimaan;
e. penyimpanan;
f. pendistribusian;
g. pemusnahan dan penarikan;
h. pengendalian; dan
i. administrasi.
1.6.4 Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan Farmasi Klinik di setiap instansi kesehatan melakukan pengkajian
resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pemantauan terapi obat,
dan monitoring efek samping obat (MESO). Untuk perbedaanya, untuk visite pasien
rawat inap dilakukan di Puskesmas dan Rumah Sakit sedangkan di Apotek dilakukan
Pelayanan Kefarmasian di rumah. Perbedaan lainnya yg tidak dilakukan di Apotek,
yaitu evaluasi penggunaan obat (di Puskesmas), dispending sediaan steril dan
pemantauan kadar obat dalam darah (di Rumah Sakit). Dan untuk daftarnya bisa dilihat
di bawah ini:
1. Apotek
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
2. Puskesmas
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
33
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat.
3. Rumah Sakit
a. pengkajian dan pelayanan Resep;
b. penelusuran riwayat penggunaan Obat;
c. rekonsiliasi Obat;
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
e. konseling; f. visite;
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);
j. dispensing sediaan steril; dan k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).
1.6.5 Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian
Di Apotek Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian harus didukung oleh
ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien
Sedangkan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dan Rumah Sakit harus
didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang
berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Pelayanan Kefarmasian di
Apotek dan Rumah Sakit harus menjamin ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang aman, bermutu, bermanfaat, dan
terjangkau. Sedangkan di Puskesmas harus dilaksanakan pada unit pelayanan berupa
ruang farmasi yang dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung jawab.
1.7 Ringkasan
Hal-hal yang dipelajari dalam topik Peraturan Perundangan di bidang farmasi antara lain:
1. Berbagai aturan perundangan di bidang farmasi
34
2. Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes
3. Standar Pelayanan Kefarmasian di RS
4. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
5. Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
6. Persamaan dan Perbedaan Pelayanan Kefarmasian di RS, Apotek, dan Puskesmas
1.8 Daftar Pustaka
Permenkes Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Permenkes Nomor 76 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
Permenkes Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Fitria, Anggrilina. 2022. Perbedaan Dan Persamaan Pelayanan Kefarmasian Di Apotek,
Puskesmas, Dan Rumah Sakit. Download PDF - Perbedaan Dan Persamaan Pelayanan
Kefarmasian Di Apotek, Puskesmas, Dan Rumah Sakit [e2xzg31mp5w0] (vbook.pub).
Diakses pada 11 September 2022.
https://vbook.pub/download/perbedaan-dan-persamaan-pelayanan-kefarmasian-di-apotek-puskesmas-
dan-rumah-sakit-e2xzg31mp5w0
35
MAKALAH KOMPREHENSIF
REGISTRASI OBAT
oleh
Kelompok 4
Aghata Fisca Fatya Prasasti (1906397374)
Berliana Lailatul Akhsya (2006528231)
Ira Aulia (2006538970)
Yoana Samuela (2006594340)
i
Registrasi Obat
Selain tiga kriteria utama yang telah disebutkan pada ayat 1, dalam ayat 2 juga terdapat
kriteria lain yag harus dipenuhi yaitu :
1. Khusus untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan kemanfaatan dan keamanan
dibandingkan dengan obat standar dan obat yang telah disetujui beredar di Indonesia untuk
indikasi yang diklim.
2. Khusus kontrasepsi untuk program nasional dan obat program lainnya yang akan ditentukan
kemudian, harus dilakukan uji klinik di Indonesia.
3. Sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat dan terjangkau yang ditetapkan tersendiri oleh
Kepala Badan.
Pendaftar adalah industri farmasi atau pedagang besar farmasi yang telah mendapat izin
usaha sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pendaftar dikategorikan menjadi
empat yaitu:
1. Pendaftar obat produksi dalam negeri
Obat produksi dalam negeri meliputi obat tanpa lisensi, obat lisensi dan obat kontrak.
1
2. Pendaftar obat impor
Pendaftar obat impor adalah industri farmasi dalam negeri atau pedagang besar farmasi yang
mendapat persetujuan tertulis dari industri farmasi atau pemilik produk di luar negeri.
3. Pendaftar obat khusus ekspor
Pendaftar obat khusus untuk ekspor adalah industri farmasi.
4. Pendaftar obat yang dilindungi paten
Pendaftar obat yang dilindungi paten di Indonesia adalah industri farmasi dalam negeri
pemegang hak paten, atau industri farmasi lain atau pedagang besar farmasi yang mendapat
pengalihan paten dari pemegang hak paten sesuai ketentuan paten yang berlaku di Indonesia.
Registrasi obat dikategorikan menjadi registrasi baru dan registrasi variasi. Registrasi
baru dikategorikan dari kategori satu sampai lima yaitu:
1 Kategori 1: adalah registrasi obat baru dengan zat aktif baru atau derivate baru atau
kombinasi baru atau produk biologi dengan zat aktif baru atau kombinasi baru atau dalam
bentuk sediaan baru.
2 Kategori 2: adalah registrasi obat baru dengan komposisi lama dalam bentuk sediaan baru
atau kekuatan baru atau produk biologi sejenis.
3 Kategori 3: adalah registrasi obat atau produk biologi dengan komposisi lama dengan
indikasi baru dan posology baru.
4 Kategori 4: adalah registrasi obat copy dengan nama dagang dan nama generic.
5 Kategori 5: adalah registrasi alat kesehatan yang mengandung obat
2
• Perubahan atau penambahan bentuk sediaan dengan posologi atau cara pemberian
yang berbeda
• Perubahan atau penambahan bentuk sediaan
• Perubahan atau penambahan kekuatan sediaan
• Perubahan komposisi
• Perubahan obat copy dengan nama dagang menjadi obat copy dengan nama generik
atau sebaliknya
2 Kategori 7: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan klim
penandaan yang mempengaruhi keamanan.
3 Kategori 8: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan zat
tambahan, perubahan spesifikasi dan/atau metoda analisa, perubahan stabilitas, dan
perubahan teknologi produksi dan/atau tempat produksi
4 Kategori 9: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan atau
penambahan jenis kemasan
5 Kategori 10: adalah registrasi obat yang sudah mendapat izin edar dengan perubahan klim
penandaan yang tidak mempengaruhi efikasi, keamanan dan mutu, perubahan desain
kemasan, perubahan nama pabrik atau nama pemberi lisensi, perubahan importir,
perubahan/penambahan besar kemasan, dan perubahan nama dagang tanpa perubahan
formula dan jenis kemasan
Registrasi obat diajukan oleh pendaftar kepada Kepala Badan. Registrasi obat dilakukan
dalam 2 (dua) tahap, yaitu pra-registrasi dan penyerahan berkas registrasi.
1. Pra-registrasi
Pra-registrasi adalah prosedur registrasi yang dilakukan untuk menentukan jalur
evaluasi dan kelengkapan dokumen registrasi obat untuk kategori 1, kategori 2, kategori 3,
kategori 4, kategori 5, kategori 6, dan kategori 7. Pengajuan pra-registrasi disertai dengan
penyerahan Dokumen Pra registrasi sesuai Lampiran 2 dan dilengkapi dengan bukti
penelusuran nama obat. Dokumen pra-registrasi digunakan untuk pertimbangan penetapan
jalur evaluasi sesuai Lampiran 3 dan dilengkapi dengan dokumen administratif sesuai
Lampiran 4. Nama obat merupakan nama generic atau nama dagang berdasarkan Pedoman
Umum Nama Obat sesuai Lampiran 7. Hasil pra-registrasi diberitahukan secara tertulis
kepada pendaftar dan bersifat mengikat.
3
2. Registrasi
Pengajuan registrasi dilakukan dengan menyerahkan berkas registrasi dengan
mengisi formulir registrasi dan disket disertai bukti pembayaran biaya evaluasi dan
pendaftaran, dan hasil pra-registrasi. Formulir registrasi atau disket disediakan oleh
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. Terhadap registrasi obat, pendaftar
diwajibkan membayar biaya evaluasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Untuk keperluan evaluasi mutu, pendaftar harus menyerahkan
contoh obat untuk 3 (tiga) kali pengujian dan bahan baku pembanding sesuai spesifikasi dan
metoda pengujian zat aktif dan obat dimaksud. Registrasi obat kontrak, obat lisensi, dan obat
impor, selain harus memenuhi
ketentuan registrasi obat, juga harus memenuhi ketentuan sesuai Lampiran 8. Berkas
registrasi terdiri atas formulir registrasi dengan dokumen administratif dan dokumen
penunjang. Dokumen administratif merupakan dokumen yang harus dilengkapi untuk
registrasi obat sesuai Lampiran 4. Dokumen penunjang terdiri atas :
• Dokumen mutu dan teknologi untuk menjamin mutu obat sesuai Lampiran 9
• Dokumen uji preklinik yang dapat menggambarkan profil farmakodinamik,
farmakokinetik maupun toksisitas yang aman, sebelum diuji coba pada manusia,
dengan rincian sesuai Lampiran 10 dan matriks laporan uji preklinik sesuai Lampiran
11
• Dokumen uji klinik harus dapat membuktikan efikasi dan keamanan obat jadi secara
meyakinkan dengan rincian sesuai Lampiran 12 dan matriks laporan uji klinik sesuai
Lampiran 13
4
Untuk registrasi baru berkas yang diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi
sesuai data pada Formulir A serta berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir B2, Formulir
B3, Formulir B4, Formulir C1, Formulir C2, Formulir C3, Formulir D, dan dokumen
penunjang registrasi baru untuk masing–masing kategori sesuai Lampiran 16. Berkas
registrasi obat copy dengan zat aktif yang telah ada Standar Informasi Elektronik (STINEL),
terdiri atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A dan Formulir B21-13, serta
berkas Formulir A, Formulir B1, Formulir B214, Formulir B3, Formulir B4, Formulir C1
dan Formulir D. Berkas registrasi obat copy dengan zat aktif yang belum ada STINEL terdiri
atas disket yang telah diisi sesuai data pada Formulir A serta berkas Formulir A, Formulir
B1, Formulir B2, Formulir B3, Formulir C1 dan Formulir D.
Untuk registrasi variasi berkas yang diserahkan terdiri atas disket yang telah diisi
sesuai data pada Formulir A serta berkas formulir dan dokumen penunjang registrasi variasi
untuk masing–masing kategori sesuai Lampiran 17.
Formulir registrasi terdiri dari :
• Formulir A berisi keterangan mengenai nama dan alamat pendaftar dan industri
farmasi pembuat obat serta keterangan umum mengenai obat yang didaftarkan
• Formulir B berisi dokumen yang mencakup aspek efikasi, keamanan dan mutu
mengenai obat yang didaftarkan dan bersifat mengikat, yaitu Formulir B1 (dokumen
administratif), Formulir B2 (informasi produk yang mencakup aspek efikasi,
keamanan dan mutu), Formulir B3 (cara pemberian nomor bets) dan
• Formulir B4 (informasi harga)
• Formulir C berisi dokumen yang harus dilampirkan untuk mendukung keterangan
yang tercantum dalam Formulir B2, yaitu Formulir C1 (dokumen mutu dan
teknologi), Formulir C2 (dokumen uji preklinik) dan Formulir C3 (dokumen uji
klinik)
• Formulir D berisi daftar contoh obat dan baku pembanding yang diserahkan
Pengisian formulir registrasi dan dokumen registrasi mengikuti ketentuan sebagai berikut:
• Pengisian formulir registrasi harus menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa
Inggris
• Dokumen registrasi dapat menggunakan bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris
• Penandaan obat bebas/bebas terbatas harus menggunakan Bahasa Indonesia
5
• Penandaan obat khusus ekspor sekurang-kurangnya menggunakan Bahasa Inggris.
Pelaksanaan evaluasi untuk registrasi baru dilakukan melalui Jalur I (satu), Jalur II
(dua) atau Jalur III (tiga).
Obat yang dievaluasi melalui Jalur I (satu) adalah:
• Obat yang indikasinya untuk terapi penyakit serius dan penyakit mengancam nyawa
manusia
• Obat esensial generik untuk program kesehatan masyarakat.
Pemberian keputusan diberikan sejak menerima berkas registrasi yang lengkap selambat-
lambatnya :
1. Registrasi baru jalur I (satu) : 100 hari kerja
2. Registrasi baru jalur II (dua) : 150 hari kerja
3. Registrasi baru jalur III (tiga) untuk obat jadi baru : 300 hari kerja; obat copy dengan
STINEL dan obat khusus ekspor : 80 hari kerja
4. Registrasi variasi kategori-6, kategori-7, kategori-8 dan kategori-9 : 80 hari kerja
5. Registrasi variasi kategori-10 dengan informasi penandaan mutakhir : 40 hari kerja
Pendaftar yang telah mendapat izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan
mengedarkan obat selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan setelah tanggal persetujuan
dikeluarkan.
Terhadap obat yang telah diberikan izin edar dapat dilakukan evaluasi Kembali oleh
Kepala Badan. Evaluasi kembali obat yang sudah beredar dilakukan terhadap :
• Obat dengan risiko efek samping lebih besar dibandingkan dengan efektifitasnya yang
terungkap sesudah obat dipasarkan
• Obat dengan efektifitas tidak lebih baik dari placebo
6
• Obat yang tidak memenuhi persyaratan ketersediaan hayati/bioekivalens
1.2.Industri Farmasi
7
e. komisaris dan direksi tidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang kefarmasian.
Setiap pendirian Industri Farmasi wajib memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang dan lingkungan hidup. Industri Farmasi
wajib memenuhi persyaratan CPOB yang dibuktikan dengan sertifikat CPOB dan Sertifikat
CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi persyaratan. Selain wajib memenuhi
ketentuan tersebut, Industri Farmasi wajib melakukan farmakovigilans. Apabila dalam
melakukan farmakovigilans Industri Farmasi menemukan obat dan/atau bahan obat hasil
produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan
dan mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada Kepala Badan.
Tata cara pemberian persetujuan prinsip:
1. Diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala
dinas kesehatan provinsi
2. Wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada
Kepala Badan terlebih dahulu
3. Mengajukan kelengkapan berkas yang terlampir pada permenkes
No.1799/MENKES/PER/XII/2010
4. Persetujuan prinsip diberikan oleh Direktur Jenderal paling lama dalam waktu 14 hari
kerja setelah permohonan diterima atau menolaknya
Persetujuan prinsip berlaku selama 3 (tiga) tahun. Persetujuan prinsip dapat diubah
berdasarkan permohonan dari pemohon izin industri farmasi yang bersangkutan. Dalam hal
tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian pembangunan fisik, atas permohonan
pemohon, jangka waktu 3 (tiga) tahun dapat diperpanjang oleh Direktur Jenderal untuk paling
lama 1 (satu) tahun. Pada saat pemohon izin industri farmasi mulai melakukan pembangunan
fisik, yang bersangkutan dapat menyampaikan surat permohonan impor mesin-mesin dan
peralatan lainnya termasuk peralatan pengendalian pencemaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selama melaksanakan pembangunan fisik, yang bersangkutan wajib
menyampaikan laporan informasi kemajuan pembangunan fisik setiap 6 (enam) bulan sekali
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan
provinsi. Persetujuan prinsip batal demi hukum apabila setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun
8
dan/atau setelah jangka waktu 1 (satu) tahun perpanjangan, pemohon belum menyelesaikan
pembangunan fisik, dengan memperhatikan ketentuan.
Surat permohonan izin industri farmasi harus ditandatangani oleh direktur utama dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan yang sudah terlampir pada
permenkes No.1799/MENKES/PER/XII/2010 diajukan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi setempat. Untuk
mekanismenya sebagai berikut:
1. Pengajuan surat permohonan izin industri farmasi
2. Verifikasi kelengkapan persyaratan administratif dan melakukan audit pemenuhan
persyaratan CPOB
3. Keluar rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dan CPOB
4. Penerbitan izin industri farmasi
9
c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan
keamanan, khasiat/kemanfaatan, atau mutu;
d. penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin industri farmasi; atau
f. pencabutan izin industri farmasi.
Berdasarkan Permenkes Nomor 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat
Tradisional, disebutkan bahwa:
1. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat.
2. Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik yang selanjutnya disingkat CPOTB adalah
seluruh aspek kegiatan pembuatan obat tradisional yang bertujuan untuk menjamin agar
produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan sesuai
dengan tujuan penggunaannya.
3. Industri Obat Tradisional yang selanjutnya disebut IOT adalah industri yang membuat
semua bentuk sediaan obat tradisional.
4. Industri Ekstrak Bahan Alam yang selanjutnya disebut IEBA adalah industri yang khusus
membuat sediaan dalam bentuk ekstrak sebagai produk akhir.
10
Obat tradisional hanya dapat dibuat oleh industri (IOT dan IEBA) dan usaha (UKOT,
UMOT, Usaha Jamu Racikan, dan Usaha Jamu Gendong) di bidang obat tradisional. Pada pasal
4 dan 5 disebutkan bahwa:
1. IOT dan IEBA hanya dapat diselenggarakan oleh badan hukum berbentuk perseroan
terbatas atau koperasi dan pendiriannya harus di lokasi yang bebas pencemaran serta
tidak mencemari lingkungan.
2. UKOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. UMOT hanya dapat diselenggarakan oleh badan usaha perorangan yang memiliki izin
usaha sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
11
a. Formula produk;
b. Hasil pengujian mutu bahan baku;
c. Hasil pengujian mutu produk jadi;
d. Penjelasan masa kedaluwarsa produk disertai komitmen untuk melakukan uji
stabilitas real time hingga masa kedaluwarsa; dan
e. Rancangan penandaan yang berwarna.
4. Obat Tradisional Dalam Negeri/Lisensi
a. Formula produk meliputi:
i. formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan;
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
i. Sertifikat analisa dan spesifikasi bahan baku dari produsen bahan baku;
dan
ii. Identifikasi bahan baku simplisia/ekstrak seperti hasil kromatogram bila
diperlukan;
d. Spesifikasi produk jadi dan hasil pengujiannya yang memuat spesifikasi, metode
analisa, dan hasil pengujian yang memenuhi ketentuan keamanan dan mutu yang
mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mengatur
mengenai Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional;
e. Protokol dan hasil uji stabilitas produk jadi;
f. Hasil uji toksisitas produk jadi mengandung bahan baku yang belum diketahui
profil keamanannya;
g. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
h. Rancangan penandaan yang berwarna;
i. Spesifikasi kemasan;
j. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik; dan k.
12
Persyaratan mutu bahan baku atau produk obat tradisional sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
5. Obat Tradisional Impor
a. Formula produk dari produsen luar negeri meliputi:
i. Formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. Jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan/ per bets;
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
i. Sertifikat analisa dan spesifikasi bahan baku dari produsen bahan baku;
ii. Identifikasi bahan baku simplisia/ekstrak seperti hasil kromatogram bila
diperlukan;
d. Dokumen mutu berupa spesifikasi, metode analisa, dan hasil pengujian bahan
baku dan produk jadi dari produsen di negara asal;
e. Hasil pengujian mutu produk jadi dari laboratorium yang terakreditasi di
Indonesia dan/atau laboratorium internal yang diakui oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan sesuai dengan ruang lingkup uji;
f. Protokol dan hasil uji stabilitas produk jadi sebanyak minimal 2 (dua) bets skala
pilot
g. Hasil uji toksisitas produk jadi mengandung bahan baku atau komposisi formula
yang belum diketahui profil keamanannya;
h. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
i. Spesifikasi material kemasan primer;
j. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik; dan
k. Rancangan penandaan yang berwarna, contoh produk, kemasan dan penandaan
asli yang beredar di negara asal.
6. Obat Herbal Terstandar
a. Formula produk meliputi:
13
i. formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan/per bets;
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
i. Spesifikasi dan hasil pengujian standarisasi bahan baku diantaranya
berupa uji identifikasi dan kadar kandungan senyawa penanda atau
golongan;
ii. Metoda analisa pengujian setiap parameter uji;
d. Spesifikasi produk jadi dan hasil pengujiannya yang memuat spesifikasi, metode
analisa, dan hasil pengujian yang memenuhi ketentuan keamanan dan mutu yang
mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mengatur
mengenai Persyaratan Keamanan dan Mutu Obat Tradisional;
e. Protokol dan laporan hasil uji stabilitas produk jadi;
f. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
g. Spesifikasi material kemasan primer;
h. Rancangan penandaan yang berwarna;
i. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik; dan
j. Hasil uji praklinik produk jadi meliputi laporan hasil uji toksisitas dan uji
farmakodinamika.
7. Fitofarmaka
a. Formula produk meliputi:
i. formula lengkap bahan aktif dan tambahan per bentuk sediaan/per saji
dalam satuan metrik;
ii. jumlah masing-masing bahan yang digunakan dalam 1 (satu) kali
pembuatan/per bets.
b. Cara pembuatan secara terperinci;
c. Spesifikasi bahan baku dan hasil pengujiannya meliputi:
14
i. Spesifikasi dan hasil pengujian standarisasi bahan baku diantaranya
berupa uji identifikasi dan kadar kandungan senyawa penanda atau
golongan; dan
ii. Metoda analisa pengujian setiap parameter uji;
d. Spesifikasi produk jadi dan hasil pengujiannya yang memuat:
i. Spesifikasi dan hasil pengujian standarisasi produk jadi berupa uji
identifikasi dan kadar kandungan senyawa penanda atau golongan; I
ii. Spesifikasi dan hasil pengujian yang memenuhi ketentuan keamanan dan
mutu sesuai bentuk sediaan yang mengacu pada Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan yang mengatur mengenai Persyaratan
Keamanan dan Mutu Obat Tradisional; dan
iii. Metoda analisa parameter pengujian produk jadi;
e. Protokol dan laporan hasil uji stabilitas produk jadi;
f. Informasi mengenai sumber dan proses perolehan bahan baku tertentu sesuai
ketentuan yang berlaku;
g. Spesifikasi material kemasan primer;
h. Rancangan penandaan yang berwarna;
i. Data dukung lainnya apabila mencantumkan informasi khusus pada desain
kemasan antara lain logo halal produk, logo iradiasi, dan/atau logo organik;
j. Hasil uji praklinik produk jadi meliputi laporan hasil uji toksisitas dan uji
farmakodinamika mengacu pada ketentuan yang berlaku; dan
k. Hasil uji klinik produk jadi mengacu pada ketentuan yang berlaku.
15
Dalam pengelolaan Warung Obat Desa (WOD) diatur pula bagaimana tata cara
pembelian obat, yaitu:
• Rencana pembelian obat harus dicatat dalam buku catatan khusus
• Setiap pembelian obat untuk persediaan WOD harus disertai tanda bukti pembelian
• Tanda bukti pembelian harus dikumpulkan dan disimpan bersama buku catatan khusus
Setelah obat sudah tersedia atau sudah dibeli, prosedur selanjutnya adalah bagaimana
menyimpan obat tersebut. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penyimpanan obat adalah
sebagai berikut:
• Obat disimpan dengan seksama supaya tidak rusak
• Cara penyimpanan obat: Masing-masing obat disimpan dala tempat atau wadah yang
terpisah
• Botol berisi obat harus diletakan dalam keadaan berdiri. Pot salep ditempatkan dalam
kotak supaya tidak mengotori lemari
1.6.Apotek Rakyat
Apotek rakyat pada dasarnya diadakan dengan tujuan untuk meningkatkan dan
memperluas akses masyarakat dalam memperoleh obat dan untuk meningkatkan
pelayanan kefarmasian sekaligus sebagai kesempatan pengembangan Pedagang Eceran
Obat bagi masyarakat.
Dalam salah satu tujuan diadakannya apotek rakyat, dijelaskan bahwa mendukung
Pedagang Obat Eceran, di mana Pedangan Obat Eceran merupakan satu atau gabungan
dari maksimal 4 pedagang eceran obat sehingga dapat dikatakan Apotek Rakyat. Jika
terjadi perubahan status maka pedagang obat eceran harus mempunya ikatan kerjasama
16
dalam bentuk badan usaha atau bentuk lainnya serta letak lokasi pedagang eceran obat
berdampingan yang memungkinkan dibawah satu pengelolaan.
2. Ringkasan
Hal-hal yang dipelajari dalam topik ……….. antara lain:
1. ……………………..
2. ……………………..
3. ……………………..
4. ……………………..
5. ……………………..
17
3. Daftar Pustaka
Permenkes No. 6 Tahun 2012 tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional [JDIH BPK
RI]. (2012). Retrieved from https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/129888/permenkes-no-6-
tahun-2012
Permenkes RI No 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. [Online].
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/129885/permenkes-no-1799menkesperxii2010-tahun-
2010.
Permenkes RI No 16 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tentang Industri Farmasi. [Online].
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/129892/permenkes-no-16-tahun-2013.
Registrasi Baru Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. (2021).
Retrieved from https://sippn.menpan.go.id/pelayanan-publik/dki-jakarta/registrasi-baru-obat-
tradisional--obat-herbal-terstandar-dan-fitofarmaka
18
Makalah Komprehensif
Oleh
Kelompok 5 :
Definisi
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling
dibutuhkan dan yang harus tersedia di Unit Pelayanan Kesehatan sesuai dengan fungsi dan
tingkatnya. Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan,
mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit
pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Tujuan
Konsep
Konsep Obat Esensial di Indonesia mulai diperkenalkan dengan dikeluarkannya Daftar
Obat Esensial Nasional (DOEN) yang pertama pada tahun 1980, dan dengan terbitnya Kebijakan
Obat Nasional pada tahun 1983. Pada tahun 2007, Organisasi Kesehatan Dunia - World Health
Organization (WHO) telah melaksanakan program Good Governance on Medicines (GGM) tahap
pertama di Indonesia dengan melakukan survey tentang proses transparansi 5 (lima) fungsi
kefarmasian. Salah satunya adalah proses seleksi DOEN, yang dari segi proses transparansi dinilai
kurang memadai. Dari pertemuan peringatan 30th Essential Medicine List WHO di Sri Lanka
(2007), diberikan tekanan kembali pentingnya transparansi proses seleksi baik dari tim ahli yang
melakukan revisi, proses revisi, dan metoda revisi yang harus semakin mengandalkan Evidence
Based Medicine (EBM), dan pentingnya pernyataan bebas conflict of interest dari para anggota tim
ahli.
1) Dalam hal penambahan obat baru perlu dipertimbangkan untuk menghapus obat dengan
indikasi yang sama yang tidak lagi merupakan pilihan, kecuali ada alasan kuat untuk
mempertahankannya.
2) Obat program diusulkan oleh pengelola program dan akan dinilai sesuai kriteria
pemilihan obat esensial.
3) Dalam pelaksanaan revisi seluruh obat yang ada dalam DOEN edisi sebelumnya dikaji
oleh Komite Nasional (Komnas) Penyusunan DOEN, hal ini memungkinkan untuk
mengeluarkan obat-obat yang dianggap sudah tidak efektif lagi atau sudah ada
pengganti yang lebih baik.
4) Untuk obat yang sulit diperoleh di pasaran, tetapi esensial, maka akan tetap dicantumkan
dalam DOEN. Selanjutnya diupayakan Pemerintah untuk menjamin ketersediaannya.
5) Obat yang baru diusulkan harus memiliki bukti ilmiah terkini (evidence based
medicine), telah jelas efikasi dan keamanan, serta keterjangkauan harganya. Dalam hal
ini obat yang telah tersedia dalam nama generik menjadi prioritas pemilihan.
Pedoman pengobatan
Formularium Rumah Sakit merupakan daftar obat yang disepakati beserta informasinya
yang harus diterapkan di rumah sakit. Formularium Rumah Sakit disusun oleh Panitia Farmasi dan
Terapi (PFT)/Komite Farmasi dan Terapi (KFT) rumah sakit berdasarkan DOEN dan
disempurnakan dengan mempertimbangkan obat lain yang terbukti secara ilmiah dibutuhkan untuk
pelayanan di rumah sakit tersebut. Penyusunan Formularium Rumah Sakit juga mengacu pada
pedoman pengobatan yang berlaku. Penerapan Formularium Rumah Sakit harus selalu dipantau.
Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan revisi agar sesuai dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Formularium Spesialistik
Formularium Spesialistik merupakan suatu buku yang berisi informasi lengkap obat-obat
yang paling dibutuhkan oleh dokter spesialis bidang tertentu, untuk pengelolaan pasien dengan
indikasi penyakit tertentu. Formularium Spesialistik disusun untuk meningkatkan ketaatan para
dokter spesialis rumah sakit terhadap Formularium Rumah Sakit yang selama ini masih sangat
rendah. Bidang spesialisasi tertentu bisa saja mempunyai banyak subspesialisasi, misalnya bidang
spesialisasi Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, merupakan bidang spesialisasi yang
mempunyai banyak subspesialisasi, sehingga dapat disusun daftar obat esensial khusus untuk Ilmu
Kebidanan dan Penyakit Kandungan. Penyusunan Formularium Spesialistik melibatkan baik
asosiasi profesi dokter spesialis terkait maupun masing-masing sub spesialisasinya. Dengan
keikutsertaan serta peran aktif para spesialis diharapkan para spesialis tersebut merasa memiliki
sehingga penggunaan obat rasional dapat diterapkan dengan baik.
Informatorium Obat Nasional Indonesia berisi informasi obat yang beredar dan disajikan
secara ringkas dan sangat relevan dengan kebutuhan dokter, apoteker dan tenaga kesehatan
lainnya. Informatorium Obat Nasional Indonesia diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan untuk menjamin objektivitas, kelengkapan dan tidak menyesatkan. Informasi obat yang
disajikan meliputi indikasi, efek samping, dosis, cara penggunaan dan informasi lain yang penting
bagi penderita. Pengembangan Informatorium Obat Nasional Indonesia dilakukan berdasarkan
bukti yang didukung secara ilmiah yang berkaitan dengan kemanfaatan dan penggunaan obat.
Untuk meningkatkan penggunaan obat yang rasional, penggunaan obat esensial pada
fasilitas pelayanan kesehatan selain harus disesuaikan dengan pedoman pengobatan yang telah
ditetapkan, juga sangat berkaitan dengan pengelolaan obat.Pengelolaan obat yang efektif
diperlukan untuk menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang tepat dan memenuhi
standar mutu. Aspek yang penting dalam pengelolaan obat meliputi antara lain:
- Pembatasan jumlah dan jenis obat berdasarkan Daftar Obat Esensial menggunakan nama
generik, dengan perencanaan yang tepat.
- Pengadaan dalam jumlah besar (bulk purchasing).
- Pembelian yang transparan dan kompetitif.
- Sistem audit dan pelaporan dari kinerja pengelolaan.
Siklus distribusi obat dimulai pada saat produk obat keluar dari pabrik atau distributor, dan
berakhir pada saat laporan konsumsi obat diserahkan kepada unit pengadaan. Distribusi obat yang
efektif harus memiliki desain sistem dan manajemen yang baik dengan cara antara lain: menjaga
suplai obat tetap konstan, mempertahankan mutu obat yang baik selama proses distribusi,
meminimalkan obat yang tidak terpakai karena rusak atau kadaluarsa dengan perencanaan yang
tepat sesuai kebutuhan masing-masing daerah, memiliki catatan penyimpanan yang akurat,
rasionalisasi depo obat dan pemberian informasi untuk memperkirakan kebutuhan obat.
Tata Nama
- Nama obat dituliskan sesuai dengan Farmakope Indonesia edisi terakhir. Jika tidak ada
dalam Farmakope Indonesia maka digunakan International Nonproprietary Names (INN)
(nama generik) yang diterbitkan WHO.
- Obat yang sudah lazim digunakan dan tidak mempunyai nama INN (generik) ditulis
dengan nama lazim, misalnya : garam oralit.
- Obat kombinasi yang tidak mempunyai nama INN (generik) diberi nama yang disepakati
sebagai nama generik untuk kombinasi dan dituliskan masing-masing komponen zat
berkhasiatnya disertai kekuatan masing-masing komponen.
Untuk beberapa hal yang dianggap perlu nama sinonim, dituliskan di antara tanda
kurung.
1. Rumah Sakit
1.2 Formularium Nasional (FORNAS)
Definisi
Formularium nasional (Fornas) adalah daftar obat yang disusun oleh komite nasional yang
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, berdasarkan pada bukti ilmiah mutakhir, berkhasiat, aman,
dan dengan harga terjangkau yang disediakan serta digunakan sebagai acuan penggunaan obat
dalam jaminan kesehatan nasional .
Tujuan
Tujuan utama pengaturan obat dalam Fornas adalah meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan, melalui peningkatan efektifitas dan efisiensi pengobatan sehingga tercapai penggunaan
obat rasional. Bagi tenaga kesehatan, Fornas bermanfaat sebagai "acuan" bagi penulis resep,
mengoptimalkan pelayanan kepada pasien, memudahkan perencanaan, dan penyediaan obat di
fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan adanya Fornas maka pas1en akan mendapatkan obat terpilih
yang tepat, berkhasiat, bermutu, aman dan terjangkau, sehingga akan tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Oleh karena itu obat yang tercantum dalam Fornas harus
dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya
Manfaat
a. Menetapkan penggunaan obat yang aman, berkhasiat, bermutu, terjangkau, dan berbasis
bukti ilmiah dalam JKN
b. Meningkatkan penggunaan obat rasional.
c. Mengendalikan biaya dan mutu pengobatan.
d. Mengoptimalkan pelayanan kesehatan kepada pasien.
e. Menjamin ketersediaan obat yang dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan.
f. Meningkatkan efisiensi anggaran pelayanan kesehatan.
Regulasi fornas
Penyusunan Fornas
Fornas ditetapkan oleh menteri kesehatan republik indonesia dengan membentuk komite
nasional yang terdiri atas unsur Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan, organisasi profesi, perguruan tinggi, dan tenaga ahli. yang terdiri dari :
a. Tim ahli
b. Tim evaluasi
c. Tim pelaksana
d. Tim reviu
a. Pengusulan; usulan berasal dari pihak yang terkait dalam penyusunan fornas yang dapat
dilakukan secara tertulis atau secara daring menggunakan sistem aplikasi E-Fornas
b. Seleksi administratif; merupakan proses seleksi oleh tim pelaksana terhadap usulan yang
memenuhi persyaratan
c. Kompilasi usulan; merupakan proses kompilasi yang dilakukan oleh tim pelaksana
terhadap usulan yang telah lulus seleksi administratif.
d. Pembahasan teknis; merupakan pembahasan terhadap kompilasi usulan dan/atau
rekomendasi dari komite penilaian teknologi kesehatan atau dewan pertimbangan klinis
kepada Menteri dan dapat melibatkan komite penilaian teknologi kesehatan dan/atau
dewan pertimbangan klinis sesuai dengan kebutuhan
e. Rapat pleno; merupakan pembahasan yang dilakukan oleh komite nasional dengan
melibatkan pengusul komite penilaian teknologi kesehatan dan/atau dewan pertimbangan
klinis sesuai dengan kebutuhan dan hasil rapat pleno berupa rekomendasi daftar obat yang
akan dimuat dalam Formularium Nasional
f. Finalisasi ; merupakan penyempurnaan redaksional Formularium Nasional hasil rapat
pleno serta memberikan rekomendasi daftar obat yang tercantum Formularium Nasional
kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
g. Penetapan; merupakan penetapan Formularium Nasional oleh Menteri
a. Memiliki khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih.
b. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien.
c. Memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM.
d. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi.
e. Obat tradisional dan suplemen makanan tidak dimasukkan dalam Fornas.
f. Apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada obat yang memiliki kriteria berikut:
- Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah;
- Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan;
- Stabilitasnya lebih baik;
- Mudah diperoleh.
g. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
- Obat hanya bermanfaat bagi penderita jika diberikan dalam bentuk kombinasi tetap;
- Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing-masing komponen;
- Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk sebagian besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut;
- Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit cost ratio)
- Untuk antibiotik, kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi atau efek merugikan lainnya.
a. Sistematika penggolongan nama obat didasarkan pada 29 kelas terapi, 96 subkelas terapi,
36 sub sub kelas terapi, 16 sub sub sub kelas terapi, nama generik obat, sediaan/kekuatan,
restriksi, dan tingkat fasilitas kesehatan.
b. Penulisan nama obat disusun berdasarkan abjad nama obat dan dituliskan sesuai
Farmakope Indonesia edisi terakhir. Jika tidak ada dalam Farmakope Indonesia, maka
digunakan International Nonproprietary Names (INN)/nama generik yang diterbitkan
WHO. Obat yang sudah lazim digunakan dan tidak mempunyai nama INN (generik) ditulis
dengan nama lazim. Obat kombinasi yang tidak mempunyai 1 nama INN (generik) diberi
nama yang disepakati sebagai nama generik untuk kombinasi dan dituliskan masing-
masing komponen zat berkhasiatnya disertai kekuatan masing- masing komponen. Untuk
beberapa hal yang dianggap perlu nama sinonim, dituliskan di antara tanda kurung.
c. Satu jenis obat dapat tercantum dalam beberapa kelas terapi, subkelas atau sub-sub kelas
terapi sesuai indikasi medis. Satu jenis obat dapat dipergunakan dalam beberapa bentuk
sediaan dan satu bentuk sediaan dapat terdiri dari beberapa jenis kekuatan.
d. Obat yang dipakai di fasilitas kesehatan tingkat 1 adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan primer.
e. Obat yang dipakai di fasilitas kesehatan tingkat 2 adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan sekunder.
f. Obat yang dipakai di fasilitas kesehatan tingkat 3 adalah obat yang digunakan untuk
pelayanan kesehatan tersier.
g. Penulisan Obat Rujuk Balik dengan memberikan tanda "bintang"(*) setelah nama obat.
Budiasa K., Arjana A A G. 2016. Menentukan Dosis Obat dan Cara Pemberiannya. Bali :
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Noviani, N., Nurilawati, V. 2017. Farmakologi : Bahan Ajar Keperawatan Gigi. Kemenkes
RI : Jakarta. Tersedia pada : http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/Farmakologi_bab_1-3.pdf (Diakses 12 September 2022)
Nuryati. 2017. Farmakologi : Bahan Ajar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan. Kemenkes
RI : Jakarta. Tersedia pada : http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/11/FARMAKOLOGI-RMIK_FINAL_SC_26_10_2017.pdf
(Diakses 12 September 2022)
Kementerian Kesehatan RI. (2013). No Title. Direktorat Jenderal Kefarmasian Dan Alat
Kesehatan. https://farmalkes.kemkes.go.id/2013/06/formularium-nasional-kendalikan-
mutu-dan-biaya-pengobatan/
Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Nomor 1346 Tahun 2014
Tentang Pedoman Penerapan Formularium Nasional
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 350 Tahun 2020 Tentang
Formularium Nasional