OSTEOPOROSIS
Oleh:
DENY ALFIAN N, S.Ked
G1A221001
Pembimbing:
Oleh:
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan anugerah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Clinical Science Session (CSS) pada
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Raden
Mattaher Jambi yang berjudul “ Osteoporosis ”.
Clinical Science Session (CSS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami
lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan
melihat penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Monalisa, Sp.PD sebagai
pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan Clinical Science Session (CSS) ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga
tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Gambar 2.2 Struktur Tulang Sel tulang terdiri 3
macam :3,4
1. Osteoblast
6
3. Osteoclast
Osteoclast adalah mediator utama resorbsi tulang, dibentuk oleh prekursor monosit di sumsum
tulang dan bergerak ke permukaan tulang oleh stimulus kemotaksis. Dengan meresorbsi matriks akan
meninggalkan cekungan di permukaan tulang yang disebut Lakuna Howship.
Pada tulang mature proporsi kalsium dan fosfat adalah konstan dan molekulnya diikat oleh kolagen.
Tulang imature disebut woven bone, dimana serabut kolagennya tidak beraturan arahnya, ditemukan pada
stadium awal penyembuhan tulang, bersifat sementara sebelum diganti oleh tulang mature yang disebut
lamellar bone, dimana serabut kolagen tersusun paralel membentuk lamina dengan osteocyte
diantaranya. Lamellar bone mempunyai 2 struktur yaitu cortical bone yang tampak padat, dan cancellous
bone yang tampak seperti spoon atau porous.4,5
2.2 Osteoporosis
2.2.1 Definisi
Osteoporosis adalah kelainan tulang yang meningkatkan resiko seseorang mengalami patah tulang
karena kepadatan mineral tulang yang rendah ,gangguan mikroarsitektur atau mineral tulang dan
penurunan kekuatan tulang. Kondisi tanpa gejala ini sering tidak terdiagnosis hingga bermanifestasi
sebagai fraktur trauma rendah pada pinggul, tulang belakang, proksimal humerus, panggul, pergelangan
tangan yang sering menyebabkan rawat inap.
Di Amerika Serikat osteoporosis diproyeksi meningkat dari sekitar 10 juta orang menjadi lebih dari 14
juta orang pada tahun 2020. Meskipun osteoporosis biasanya dikaitkan dengan wanita, osteoporosis juga
bisa terjadi pada pria. Selain menjadi penyebab utama patang tulang pada populasi orang yang lebih tua,
osteoporosis juga sangat terkait dengan orang yang terbarig ditempat tidur yang dapat menyebabkan
komplikasi serius.
2.2.2 Epidemiologi
Didunia menurut WHO, terdapat sekitar 200 juta orang menderita osteoporosis. Sementara di
Amerika terdapat 20-25 juta penduduk mengalami osteoporosis dengan 50 persen berusia 75-80 tahun.
Menurut International Osteoporosis Foundation (IOF), satu dari empat perempuan dengan rentang umur
50-80 tahun di Indonesia rentan mengalami osteoporosis. Perbandingan terjadinya osteoporosis antara
perempuan dan lakilaki di Indonesia yaitu 4;1. Pada wanita sendiri lebih sering terjadi pada wanita paska
menopause. Perhimpunan osteoporosis Indonesia tahun 2007 melaporkan penderita osteoporosis pada
penduduk di atas 5 tahun yaitu pada perempuan 32,3 persen dan pada laki-laki 28,8 persen.
7
Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat osteoporosis di seluruh dunia
mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta
orang pada tahun 2050 dan 71% kejadian ini akan terdapat di negara-negara berkembang. Di Indonesia
19,7% dari jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya menderita osteoporosis.
2.2.3 Etiologi
A. Osteoporosis primer
Dibagi kedalam osteoporosis juvenile dan idiopatik, osteoporosis idiopatik dapat dibagi menjadi
osteoporosis postmenopausal (tipe I) dan osteoporosis age-associated atau senile (tipe II). Osteoporosis
postmenopausal adalah osteoporosis primer akibat
defisiensi dari estrogen. Osteoporosis senile adalah osteoporosis primer akibat dari penuaan tulang dan
defisiensi kalsium.
B. Osteoporosis skunder
Disebabkan oleh beberapa penyakit penyerta atau obat-obatan, penyakit yang terkait dengan
osteoporosis sering kali melibatkan mekanisme yang berhubungan dengan ketidakseimbangan kalsium,
vitamin D, dan hormon seks. Selain itu banyak penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis, yang
mungkin mengharuskan pasien untuk menjalani terapi glukokortikoid jangka panjang dan telah dikaitkan
dengan osteoporosis skunder.
- Ehlers-Danlos syndrome
- Glycogen storage disease
- Gaucher disease
- Marfan syndrome
- Riley-Day syndrome
- Osteogenesis imperfecta
- Hemochromatosis
9
- Homocystinuria
- Hypophosphatasia
- Idiopathic hypercalciuria
- Porphyria
- Hypogonadal states
- Hemochromatosis
- Homocystinuria
- Hypophosphatasia
- Idiopathic hypercalciuria
- Porphyria
- Hypogonadal states
10
- Parenteral nutrition
Inflamasi
- Inflammatory bowel disease
- Ankylosing spondylitis
- Rheumatoid arthritis
Kelainan - Hemochromatosis
Hematolgi dan - Hemophilia
Neoplasma - Leukemia
- Limpoma
- Multiple myeloma
- Sickle cell anemia
- Systemic mastocytosis
- Thalassemia
- Metastatic disease
Medis
- Antikonvulsan
- Obat antipsikotik
- Obat antiretroviral
- Inhibitor aromatase
- Obat-obat kemoterapi/transplan :
11
- Lithium
- Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
tacrolimus,
Miscellaneous - Alcoholism
- Amyloidosis
Usia
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai
dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang.
Tetapi setelah usia 30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada
yang dibuat.
Jenis Kelamin
12
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki
risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan
pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar
40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan.
Ras
Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa
Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya.
Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara anak Afrika-Amerika dan anak
kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot
memiliki kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga tulang
semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada
wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras tersebut.
Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar
menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung sangat bergantung
pada genetika. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki
massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat
adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami
patah tulang.
Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang menurun sehingga produksi
hormon estrogen dan progesteron juga menurun. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling
tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai.Salah satu fungsi estrogen adalah
mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih
tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh
terhadap kondisi ini adalah tulang trabekular karena tingkat turnover yang tinggi dan tulang ini sangat
rentan terhadap defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya berlubang atau
terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang terlepas, tulang trabekular akan
melemah.
Aktifitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi
sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang
berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat
menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang
lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat
13
aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih
rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat sedang dan rendah.
Penggunan kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun,
namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya
osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan. Kortikosteroid akan
menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal,
sehingga akan terjadi hipokalsemia. Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium,
kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi
estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan
menghambat kerja osteoblas, sehingga penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya
peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang
progresif.
2.2.1 Patofisiologi
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan
aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel
pembentuk tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa tulang. Ada
beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan
meningkatkan aktivitasnya yaitu:2,9
1. Defisiensi estrogen
2. Faktor sitokin
3. Pembebanan
1. Defisiensi estrogen2
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1),
14
Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-a), merupakan sitokin
yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan
sekresi Transforming Growth Factor b (TGF-b), yang merupakan satu-satunya
faktor pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel
osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel
osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa
faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak
langsung maupun secara langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas.
15
yang sama terjadi juga pada sel stroma osteoblastik dan osteoblas. Jadi tingkat
aktivasi dari sel stroma osteoblastik bergantung pada kontak antara reseptor dan
ligand. Estrogen merupakan salah satu yang berfungsi menstimulasi ekspresi gene
dan produksi protein pada sel osteoblastik manusia, seperti misalnya produksi
OPG, RANK-L, dan IL-6. Besar kecilnya protein yang diproduksi bergantung pada
aktivasi sel stroma osteoblastik.
Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel
osteoblastik diantaranya: estrogen receptor-related receptor a (ERRa), reseptor
estrogen a, b (ERa, ERb). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengaturan
homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis. Dalam sebuah studi
didapatkan bahwa kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin sangat
bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies, begitu juga
terhadap produksi dari IL-6. Dikatakan produksi dari IL-6 pada osteoblas manusia
(human osteoblast) dan stromal sel sumsum tulang manusia (human bone marrow
stromal cells), terbukti diinduksi oleh IL-1 dan TNFa, tidak secara langsung oleh
steroid ovarium.
Dengan demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel
osteoblas terjadi perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan
produksi dari protein yang dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan
OPG, dengan suatu stimulasi yang sama.10
16
Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen
mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas.
Dalam deferensiasi dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L,
MCSF dari sel stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara
RANK-L dan RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi
dengan RANK. Begitu juga secara tidak langsung estrogen menghambat produksi
sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-a,
IL-11 dan IL-7. Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen
merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF-b, yang selanjutnya TGF-b ini
menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis.
Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui
reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga
mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel
osteoklas dewasa.
17
2. Faktor Sitokin
Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui
suatu jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-
stimulator. Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara
lain adalah: IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M
(OSM), Ciliary Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF),
Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan
Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18,
dan interferon-g, merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis.
Interleukin-6 merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh
karena meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa
penyakit, antaranya berpengaruh pada remodeling tulang dan terjadinya
penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik.11
3. Pembebanan
Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan
remodeling akibat respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang
terjadi dalam suatu unit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang
merupakan keseimbangan dinamik antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan
pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan
permukaan tulang yang pasif (quiescent) menjadi perubahan permukaan tulang
yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang peranan
penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan mengirimkan sinyal lokal
kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan tulang melalui sistem
kanalikuler.2
Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi
dalam matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan dendritic yang
merupakan penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai sistem syaraf. Sel
osteosit jumlahnya 10 kali dari jumlah sel osteoblas. Osteosit melalui penonjolan
plasma membran (panjang 5 - 30 mm) dalam kanalikuli dapat berkomunikasi
dengan osteoblas. Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel dalam sumsum
18
tulang dengan memproyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid, dengan
demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini sebagai kandidat sel
mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi
massa tulang selama adaptasi fungsi skeletal. Osteosit juga mempunyai
kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang
dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh
karena itu gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang.2
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik
dan strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan
tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga
memperkuat tulang dan menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan
tulang. Dengan demikian pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran,
bentuk, dan kekuatan jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan
tulang dan arsitektur tulang. Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses
seluler yang memerlukan sistem biologis yang dapat mengindera pembebanan
mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel efektor yang
akan membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua.2
Osteoporosis tipe II disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus
sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan
timbulnya osteoporosis.1
Pada decade ke delapan dan Sembilan kehidupan, terjadi ketidakseimbangan
remodeling tulang dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang
tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang,
perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. 1 Defisiensi
kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan
oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi, dan
paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin
meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Faktor lain yang juga
berperan dalam kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan
lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama) .1
19
Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga
kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko fraktur tulang kortikal
misalnya pada femur proksimal. Pada laki-laki tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang panjang
akan diikuti peningkatan formasi periosteal sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan
menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua.1
Gambar 2.5 Patogenesis osteoporosis tipe 2 dan fraktur
2.2.2 Diagnosis
2.2.6.1 Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita
osteoporosis. Keluhan-keluhan utama yang dapat mengarah kepada diagnosis,
seperti misalnya bowing leg dapat mengarah pada diagnosis riket, kesemutan dan
rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari yang terjadi pada hipokalsemia. Pada
anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, dan
20
kelemahan otot, waddling gait, dan kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada
penyakit tulang metabolik.12
Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga
dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma minimal,
adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan
faktor risiko lainnya. 12
Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga dapat digunakan
untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi kortikosteroid, hormon
tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat-obatan, juga konsumsi
alkohol jangka panjang dan merokok. Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya
riwayat keluarga yang pernah menderita osteoporosis. 12
21
1. Laboratorium
Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat petanda
biokimia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen I peptida dan alkali
fosfatase total serum. Petanda kimia untuk osteoklas: dioksipiridinolin (D-pyr),
piridinolin (Pyr) Tartate Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalsium urin,
hidroksisiprolin dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang
dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas
secara langsung. Namun pemeriksaan di atas biayanya masih mahal.13
2. Pemeriksaan
Radiologi Radiografi
Konvensional
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Diagnosis penyakit osteoporosis kadang - kadang baru diketahui
setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan
tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya
dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan
tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 –
40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional. Karena
kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini pemeriksaan
dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi.
22
pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa angka 30%
itu karena berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitro yang telah
dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan menunjukkan bahwa hal
tersebut benar untuk daerah kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang
mempunyai kadar trabakela tinggi osteoporosis dapat dilihat secara radiogram bila
terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%.6
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis vertebrae:6
1. Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vertebrae atau penurunan
densitas tulang.
2. Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula
vertikal.
Kriteria Bone Atrophy Class membagi tingkat perubahan trabekulasi
menjadi 4 tingkatan (lihat gambar 2.12):
Kelas 0 : Normal
Kelas I : Trabekula longitudinal lebih jelas
Kelas II : Trabekula longitudinal menjadi kasar
Kelas III: Trabekula longitudinal menjadi tidak jelas
3. Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus vertebrae.
4. Perubahan end plates baik secara absolut maupun relatif dengan
membandingkan antara korpus vertebra dengan end plates.
5. Abnormalitas bentuk vertebrae dapat berupa bentuk baji, bikonkaf,
fraktur kompresi (bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
6. Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan menemukan
fraktur spontan atau setelah trauma ringan pada foto vertebra.
23
Gambar 2.6 Osteoporosisosteoporosis vertebrae. (A) radiografi lateral dari vertebrae normal.
(B) ada kehilangan/ kerusakan dari trabeculae transversa, yang menimbulkan
penonjolan dari trabeculae vertical, sehingga memberikan striated appearance. (C)
radiografi toraks lateral dengan baji multipel dan end palte fraktur vertebrae
osteoporotic pada beberapa stadium. (D) metode semiquantitative dari grading
oleh Genant et al yang secara luas digunakan pada studi epidemiologi dan farmasi.
Fraktur vertebrae adalah prediktor kuat terhadap fraktur di masa yang akan datang
(x5 untuk fraktur vertebrae; x2 untuk fraktur panggul) sehingga penting agar hal
ini secara akurat dan jelas dilaporkan oleh radiologist. Semakin tinggi stadium dari
fraktur vertebrae, semakin tinggi risiko fraktur di kemudian hari. 16
24
kepadatan tulang sering lebih menonjol pada daerah tulang yang kaya tulang
trabekular, khususya dalam kerangka aksial ( vertebra , panggul , tulang iga dan
sternum ). Tulang osteoporosis kurang mampu menahan tahanan terhadap tubuh
daripada tulang normal, dan ini akan bermanifestasi terhadap gambaran klinis dari
trauma tulang yang sedikit. Fraktur tersebut dapat terjadi pada setiap bagian
skletal, tetapi yang paling umum terjadi pada kerangka tulang yang kaya
trabekular, terutama tulang belakang, lengan bawah distal dan femur proksimal.14
Fraktur tulang belakang adalah yang paling umum dari fraktur osteoporosis.
Bagian anterior dan pertengahan dari tulang belakang menahan kekuatan
kompresi tidak sebaik dari posterior dan cincin luar unsur tulang belakang ,
sehingga menyebabkan terbentuknya baji atau end- plate patah tulang atau , lebih
jarang , fraktur yang hancur. Patah tulang belakang dapat di bagi menjadi stadium
ringan (kelas 1), sedang (kelas 2) dan berat (kelas 3). Metode gradasi
semiquantitative ini adalah yang paling sering diterapkan untuk menentukan
prevalensi dan insiden patah tulang belakang dalam studi epidemiologi dan uji
farmasi untuk kemanjuran terapi osteoporosis baru. 14
Semakin parah stadium patah tulang belakang, semakin besar risiko patah
tulang di masa selanjutnya. Patah tulang belakang adalah prediktor yang bagus
untuk patah tulang di masa selanjutnya ( panggul dua kali lipat; vertebral lima kali
lipat). Oleh karena itu sangat penting bahwa, jika ada, pembacaan foto ini secara
akurat dan jelas dilaporkan oleh ahli radiologi patah tulang sebagai fraktur; istilah
lain, seperti 'deformitas', harus dihindari. 15
Patah tulang belakang dapat terjadi sebagai suatu peristiwa akut
berhubungan dengan trauma minor dan disertai dengan rasa sakit, yang umumnya
sembuh secara spontan selama 6-8 minggu. Gejala ini bagus untuk membedakan
patah tulang belakang osteoporosis dari diagnosis patologi yang lebih
menyeramkan, seperti metastasis, yang gejalanya lebih kompleks. Namun, 30 %
dari patah tulang belakang dapat terjadi pada pasien tanpa gejala. Fraktur
osteoporosis terjadi paling umum pada daerah dada dan thoraco - lumbal sehingga
mengakibatkan hilangnya tinggi tubuh yang progresif pada individu yang terkena.
Fraktur osteoporosis jarang terjadi di atas T7; jika patah tulang terjadi di atas
25
wilayah anatomi ini, metastasis harus dipertimbangkan. Wedging dari beberapa
badan vertebra di tulang belakang dada dapat menyebabkan peningkatan kejadian
kyphosis. 16
Radiografi femur
Pola trabekular pada proksimal femur menunjukkan perubahan-perubahan
karakteristik bersamaan dengan hilangnya masa tubuh. Singh dkk memberikan
suatu sistem grading berdasarkan perubahan-perubahan ini. Indeks yang rendah
menunjukkan rendahnya masa tulang.7
26
Garde 5 : tampak atenuasi struktur principal compressive dan principal
tensile, segitiga Ward tampak kosong dan lebih prominen. Stadium ini
menunjukkan stadium dini osteoporosis.
Grade 4 : tensil trabekula tampak berkurang, terjad resorpsi dimulai dari
bagian medial, sehingga principal tensile bagin lateral masih dapat iikuti
garisya. Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal dan
osteoporosis.
Garde 3 : tampak principal tensile terputus diarea yang bersebrangan
dengan trochanter mayor sehingga tensi trabekula hanya terlihat dibagian
atas leher femur. Stadium ini menunjukkan definite osteoporosis.
Grade 2 : hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan
kelompok trabekula lain tidak/kurang jelas. Keadaan ini menunjukkan
advanced osteoporosis.
Grade 1 : prinncipal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya,
keadaan ini menunjukkan osteoporosis berat. 12
3. Densitometer
Osteoporosis disebabkan oleh penurunan massa tulang, oleh karena itu
diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan dengan pengukuran massa tulang. Alat-
alat radiologi untuk pengukuran bone densitometry beserta keuntungan dan
27
kerugian dari masing-masing alat pngukuran dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Sedangkan perbedaan secara umum diantara berbagai alat non-invasif untuk
pengukuran densitas tulang terletak pada jenis dan sumber radiasi, tempat
pengukuran, unit ukuran, waktu pemeriksaan, dan precision serta accuracy
pengukuran.
Tabel 2.2 Keuntungan dan kerugian teknik pengukuran densitas tulang dan laboratorium
28
Tabel 2.3 Klasifikasi faktor risiko fraktur dihubungkan dengan penurunan
masa tulang15
Bila tidak terdapat faktor risiko, atau faktor yang ada tidak terdapat dalam
tabel 2.3 diatas, atau bila pasien tidak akan mendapatkan pencegahan atau
pengobatan untuk menghindarkan insiden fraktur, bone densitometry tidak
dikerjakan.
29
Umumnya, interval minimum diantara pengukuran bone mass harus lebih
dari 2 tahun. Interval ini dapat lebih pendek bila obat yang dapat
meningkatkan massa tulang digunakan dan bila densitas tulang dinilai di
lumbal. 15
30
Pada wanita perimenopause atau postmenopause dengan hiperparatiroid
primer asimptomatik, dimana skeletal loss merupakan akibat
paratiroidektomi
Pada wanita dengan terapi osteoporosis, sebagai alat untuk monitoring
respon pengobatan.
31
memungkinkannya untuk tidak hanya mendiagnosis, tapi juga memoniotring
respon terhadap terapi. 20
WHO membagi klasifikasi diagnostic menggunakan
DEXA T-score. DEXA T-score menggolongkan osteoporosis dan osteopenia dan
dibandingkan nilai rata-rata kepadatan tulang dewasa muda dan perbedaan
dinyatakan dengan standard deviation (SD).17
4. CT SCAN
Standard klinik diagnosa osteoporosis dan risiko fraktur tulang adalah DXA
untuk mengukur BMD pada tulang punggung dan panggul, 2 lokasi tulang yang
kebanyakan diukur pada posisi tidur. Banyak perbedaan varietas dari modalitas
pemeriksaan X-ray dan DXA berdasarkan analisis struktur panggul sampai
dengan pemeriksaan CT dan MRI yang telah dikembangkan untuk memeriksa
struktur tulang pada tingkatan makro dan mikro.
32
Gambar 2.9 Teknik pencitraan CT untuk memeriksa kepadatan tulang dan
arksitekturnya. Kiri atas : vQCT dari femur (panel pixel ukuran
350um, ketebalan potongan 1 mm) untuk menjelaskan BMD dan
struktur makro ; kanan atas: hrCT pada lengan bawah bagian distal
(ukuran pixel 200um, ketebalan potongan 0,5 mm) untuk
menjelaskan tekstur dan struktur pada trabekular; bawah: uCT pada
vertebra spongiosa (isotropik ukuran : kiri 30um, kanan 10um) untuk
mejelaskan struktur pada jaringan trabekular.QCT mempunyai fokus
untuk menilai trabekular BMD pada satu potongan transversal di
lumbal mid vertebral. Ketepatan BMD merupakan aplikasi dari
protokol tambahan QCT. Dimana data 3D yang didapat dapat
meningkatkan dalam menganalisis.
5. MRI
Fraktur kompresi sering terjadi pada usia tua. Upaya untuk membedakan
fraktur yang bersifat benign atau malignant sulit dilakukan terlebih ketika tidak
ada bukti yang jelas mengenai keganasan pada foto polos. Fraktur kompresi dapat
mengakibatkan beberapa kelainan vertebral khususnya bagian lumbal seperti
stenosis kanal lumbal dan herniasi diskus lumbal. Kelainan ini tidak dapat
33
dideteksi secara maksimal apabila menggunakan DEXA maupun foto polos..
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki resolusi spasial yang cukup dan
memiliki resolusi yang tinggi apabila menggunakan kontras dan digunakan dalam
menegakkan diagnosis kelainan vertebra. Bagaimanapun, pada beberapa
pemeriksaan MRI abdomen dan pelvis, selain menilai organ target, tulang
vertebra dapat pula dinilai. Oleh karena itu MRI memiliki potensial sebagai
indikator dari osteoporosis yang berguna untuk mengkonfirmasi kemungkinan
terjadinya osteoporosis.1,2
Gambar 2.10 Gambaran fraktur kompresi malignan (A) dan fraktur kompresi
benigna2
34
2.2.3 Diagnosis Banding
Diagnosis banding osteoporosis adalah:
a. Osteomalasia
Osteomalasia adalah penyakit pada orang dewasa dengan ditandai
kegagalan deposit kalsium tulang sehingga terjadi pelunakan tulang akibat
kekurangan vitamain D. Pada gambaran radiologis osteomalasia
mempunyai gambaran yang khas yaitu looser zone.
Gambar 2.11 Gambaran looser zone ( panah ) yang terlihat pada femur
orang dewasa dengan osteomalasia
b. Osteopenia
Osteopenia adalah suatu keadaan dimana kepadatan tulang lebih rendah
dari normal yang sering ditemukan pada gambaran radiologi tulang dengan
peningkatan radiolusen tulang, tapi tidak cukup rendah untuk dianggap
osteoporosis. Osteopenia ditandai dengan penururnan kepadatan tulang,
yang mengarah kepada kelemahan tulang, dan peningkatan resiko patah
tulang.19
35
Gambar 2.12 Gambaran osteopenia
c. Multiple myeloma
Suatu kanker yang berasal dari sel plasma ( sel plasma merupakan sel yang
dihasilkan di sum sum tulang ) dengna penyebab yang belum diketahui.
36
Tabel 2.5 Perbedaan osteoporosis, osteopenia, osteomalasia dan multiple
myeloma
Gangguan vitamin D + + + -
dan kalsium
2.2.4 Penatalaksanaan
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat osteoklas
(anti resorptif) dan atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).
Walaupun demikian tujuan utama terapi dan pencegahan osteoporosis adalah
mencegah berlanjutnya kehilangan massa tulang dan terjadinya fraktur serta nyeri.
Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,
bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalag Na-
Fluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek
anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi
mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium
akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis tidak efektif. Terapi umumnya bergantung pada derajat
BMD. Umumnya semakin rendah BMD seseorang maka semakin besar resiko
menderita fraktur:7,20
37
1. BMD normal ( +1 sampai -1 SD ) tidak memerlukan pengobatan.
2. BMD rendah ( -1 sampai -2,5 SD ) memerlukan terapi dengan
pencegahan osteoporosis.
3. BMD kurang dari -2,5 SD tanpa atau dengan adanya fraktur harus
mendapat terapi osteoporosis.
2.2.8.1 Medikamentosa
1. Estrogen
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya
vagina) dan saluran cerna. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai
kadar yang adekuat didalam darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen
oral akan mengalami metabolisme terutama dihati. Estrogen yang beredar
didalam tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormone binding
globulin dan albumin. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai
dengan dosis untuk anti resorptifnya adalah estrogen terkonyugasi 0,625
mg/hari, 17 B-estradiol oral 1-2 mg/hari, 17B-estradiol transdermal 50
mg/hari, 17B-estradiol perkutan 1,5 mg/hari dan 17B-estradiol subkutan
25-50 mg setiap 6 jam.
2. Raloksifen
Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti
estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan
endometrium dan payudara. Golongan preparat ini disebut juga selective
estrogen receptor modulators (SERM). Dosis yang direkomendasikan
untuk anti osteoporosis adalah 60mg/hari
3. Bisfosfonat
Merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis, baik
sebagai pengoabatan alternatif setelah terapi pengganti hormonal pada
osteoporosis pada wanita maupun untuk osteoporosis pada laki-laki dan
osteoporosis akibat steroid. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung
terhadap osteoklas dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan
38
substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar
stimulator osteoklas. Beberapa preparat bisfosfonat yakni :
a. Etidronat
Untuk terapi osteoporosis diberikan dengan dosis 400 mg/hari
selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama
500 mg/hari selama 76 hari. Siklus ini diulang setiap 3 bulan.
Pemberian secara siklik bertujuan untuk mengatasi gangguan
mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka panjang.
b. Klodronat
Dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 1 bulan
dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan siklus ini
dapat diulang setiap 3 bulan.
c. Pamidronat
Biasanya diberikan melalui infus intravena. Untuk penyakit paget
diberikan dengan dosis 60-90 mg/kali selama 4-6 jam drip intravena,
sedangkan untuk hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan
sampai 90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.
d. Alendronat
Merupakan aminobisfosfonat yang sangat paten. Untuk terapi
osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari
secara kontinyu. Untuk penyakit paget diberikan dosis 40 mg/hari
selama 6 bulan.
e. Risedronat
Merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang paten. Untuk terapi
paget diperlukan dosis 30 mg/hari selama 2 bulan, sedangkan untuk
osteoporosis diperlukan dosis 5 mg/hari.
f. Asam Zoledronat
Merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yang
adalah sediaan intravena yang harus diberikan perdrip selama 15
menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup
diberikan dosis 5 mg setahun sekali, sedangkan pengobatan
39
hiperkalsemia akibat keganasan diberikan 4 mg perdrip setiap 3-4
minggu sekali.20
2.2.8.3 Operatif
Operasi dilakukan apabila ditemukan:
- Faktor patologis tulang panjang, dilakukan fiksasi interna.
- Osteoarthritis yang disertai dengan nyeri hebat, dimana dilakukan
penggantian total sendi (total joint replacement).
- Penjepitan saraf spinal, dilakukan dekompresi.
- Osteosarkoma yang terdeteksi pada stadium dini.
40
dengan latihan tanpa beban kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga
mencapai latihan beban yang adekuat. Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat
diberikan alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita yang
mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya,
terutama pada orangtua yang terganggu keseimbangannya. Hal ini juga harus
diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh.Terdapat 3 tipe latihan untuk
penderita osteoporosis :
1. Weight-Bearing Exercise Latihan ini meliputi latihan aerobik yang
melawan gaya gravitasi dengan tulang sebagai penopang berat tubuh,
sebagai contoh berjalan. Manfaat dari latihan ini akan diperoleh secara
efektif apabila dilakukan secara teratur, minimal 15 hingga 20 menit
sebanyak 3 hingga 4 kali setiap minggunya. Jika Anda baru akan memulai
latihan ini, lakukanlah dengan intensitas ringan yang semakin lama
semakin ditingkatkan. Contoh : berjalan, mendaki
2. Resistance Training Latihan ini meliputi latihan dengan menggunakan
beban atau strength-training machines. Jika Anda ingin memulai latihan
ini, lakukanlah dengan intensitas ringan yang ditingkatkan secara bertahap
dan perlahan-lahan. Untuk mengurangi resiko cedera, lakukan latihan
secara perlahan-lahan (mengangkat dan menurunkan beban secara
perlahan-lahan) dan lakukan gerakan secara tepat. Jangan menambah
beban lebih dari 10 % setiap minggunya karena peningkatan beban secara
berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera. Sebaiknya,
lakukan latihan setiap 3 hari sekali guna memberikan kesempatan bagi
tubuh untuk beristirahat.21
41
Gambar 2.14 Latihan dan program rehabilitasi
3. Flexibility Exercise Latihan ini meliputi latihan peregangan atau stretching. Latihan
ini berfungsi untuk meningkatkan kelenturan sendi- sendi sehingga mencegah
terjadinya cedera otot dan membantu memperbaiki postur tubuh. Latihan peregangan
sebaiknya dilakukan pada akhir sesi latihan (setelah otot mengalami pemanasan)
secara perlahan- lahan, tenang, dan disertai dengan menarik napas dalam-dalam.
Hindari jenis latihan peregangan yang dapat memberikan tekanan secara berlebihan
pada tulang punggung, seperti membungkuk, karena dapat meningkatkan resiko patah
tulang.
42
Gambar 2.15 Exercise
43
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi dari osteoporosis yang paling sering dijumpai adalah
fraktur karena cidera yang minimal, deformitas vertebrae & dowager’s
hump dan terjadi pemendekan tinggi badan.
2.2.7 Pencegahan
Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat
dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup yaitu 1000-
1500mg/hari baik melalui makanan sehari-hari maupun
suplementasi.
Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur
untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi system
neuromuscular serta kebugaran sehingga dapat mencegah resiko
jatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60
menit/hari, bersepeda maupun berenang.
Menghindari rokok dan alkohol
2.2.8 Prognosis
Prognosis dari osteoporosis baik jika kehilangan masa tulang dapat
dideteksi sejak dini sehingga pasien dapat meningkatkan densitas tulang
dan menurunkan resiko terjadinta komplikasi dari osteoporosis seperti
fraktur.
44
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Anamnesis
Pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan nyeri di bagian pinggul kiri sejak 1
bulan yang lalu dan sejak itu pasien tidak dapat berjalan.Pasien mengeluh nyeri di
pinggul timbul setelah pasien jatuh akibat kehilangan keseimbangan saat berjalan.Nyeri
dirasakan saat berdiri.Riwayat demam(-), mengigil (-), sakit kepala (-), mual (-),
muntah(-) dan nyeri perut(-). BAK dan BAK pasien lancar dan biasa.Riwayat benturan
di kepala tidak ada.Riwayat pengobatan dengan secara tradisional dengan urutan kaki
selama 1 bulan.
45
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama tidak ada.
46
Move: Gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi tungkai kanan terhambat,
gerakan adduksi tungkai kanan terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan
persarafan tidak ada, tampak gerakan terbatas .
3.3 Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
Waktu Bekuan 7’00’menit 4-10 menit
1-7 menit
Waktu Perdarahan 3’00’’’menit
Non Reactive
HbsAg Non Reactive
Non Reactive
Anti HCV Non Reactive
Darah Rutin
4-10 x 103/uL
WBC 8.6 x 103/uL
4-6 x 106/uL
4.16 x 106/uL
RBC
10.91 g/dl 12-16 g/dl
HB
31.8 % 37-48 %
HCT 76.1 fL 80-97 fL
MCV 26.11 pg 26,5-33,5 pg
34.2 g/dl 31,5-35 g/dl
MCH
336 x 103/uL 150-400 x 103/uL
MCHC
47
3.4 Radiologi
48
Foto Pelvis /Panggul AP( Pre- Operasi)
Tampak Fraktur basis servical femur sinistra dengan trochanter
mayor displacement ke cranio lateral, callus forming (-) , korteks
tidak intak
Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
Mineralisasi tulang berkurang (Osteoporosis Senilis)
Celah sendi tervisualisasi baik
Jaringan lunak sekitarnya baik
Kesan: Fraktur basis cervical femur sinistra
49
Foto Femur sinistra AP + Lateral (Post Operasi)
Drain terpasang dengan tip berada pada soft tissue regio 1/3 proximal femur sinistra
Dinamic hip screws terpasang pada femur sinistra dengan kedudukan terhadap
tulang baik
Masih tampak garis fraktur pada basis cervical femur sinistra
Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
Mineralisasi tulang berkurang(disuse osteoporosis)
Kedua SI joint baik. Hip joint kiri menyempit.
Jaringan lunak sekitarnya swelling
Kesan: Fraktur basis cervical femur sinistra
50
Foto Pelvis /Panggul AP( Post Operasi)
Drain terpasang dengan tip berada pada soft tissue regio 1/3 proximal femur sinistra
Dinamic hip screws terpasang pada femur sinistra dengan kedudukan terhadap
tulang baik
Masih tampak garis fraktur pada basis cervical femur sinistra
Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
Mineralisasi tulang berkurang(disuse osteoporosis)
Kedua SI joint baik. Hip joint kiri menyempit
Jaringan lunak sekitarnya swelling
51
3.5 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, diagnosis kasus ini fraktur kominutif pada : Fraktur basis
cervical femur sinistra
3.6 Terapi
1. IVFD RL 20 tetes per menit
2. Antibiotik profilaksis
3. Rencana open reduction Internal fixation
52
BAB III
KESIMPULAN
53
54