Anda di halaman 1dari 54

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A112050/Juli 2021

**Pembimbing: dr. Monalisa, Sp.PD

OSTEOPOROSIS

Oleh:
DENY ALFIAN N, S.Ked
G1A221001

Pembimbing:

dr. Monalisa, Sp.PD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021
LEMBAR PENGESAHAN OSTEOPOROSIS

Oleh:

DENY ALFIAN N, S.Ked


G1A221001

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2021

Jambi, Agustus 2021


Pembimbing

dr. Monalisa, Sp.PD

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan anugerah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas Clinical Science Session (CSS) pada
Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Raden
Mattaher Jambi yang berjudul “ Osteoporosis ”.
Clinical Science Session (CSS) ini bertujuan agar penulis dapat memahami
lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik
Senior Bagian Ilmu Penyakit Dalam di di RSUD Raden Mattaher Jambi, dan
melihat penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Monalisa, Sp.PD sebagai
pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis.
Penulis menyadari bahwa penulisan Clinical Science Session (CSS) ini
masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga
tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, Agustus 2021

Penulis

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Osteoporosis adalah suatu keadaan penyakit yang ditandai dengan


rendahnya massa tulang dan memburuknya mikrostruktural jaringan tulang,
sehingga menyebabkan kerapuhan tulang dan meningkatkan risiko terjadinya
fraktur. Osteoporosis terjadi karena ketidak seimbangan antara pembentukan
tulang baru dan resorpsi tulang tua. Osteoporosis biasanya tidak memiliki tanda-
tanda atau gejala khusus sampai akhirnya terjadi fraktur.

Didunia menurut WHO, terdapat sekitar 200 juta orang menderita


osteoporosis. Sementara di Amerika terdapat 20-25 juta penduduk mengalami
osteoporosis dengan 50 persen berusia 75-80 tahun. Menurut International
Osteoporosis Foundation (IOF), satu dari empat perempuan dengan rentang umur
50-80 tahun di Indonesia rentan mengalami osteoporosis. Perbandingan terjadinya
osteoporosis antara perempuan dan lakilaki di Indonesia yaitu 4;1. Pada wanita
sendiri lebih sering terjadi pada wanita paska menopause. Perhimpunan
osteoporosis Indonesia tahun 2007 melaporkan penderita osteoporosis pada
penduduk di atas 5 tahun yaitu pada perempuan 32,3 persen dan pada laki-laki
28,8 persen.

Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat


osteoporosis di seluruh dunia mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan
angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta orang pada tahun 2050
dan 71% kejadian ini akan terdapat di negara-negara berkembang. Di Indonesia
19,7% dari jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya menderita
osteoporosis.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Tulang


Sebagian besar tulang berupa matriks kolagen yang diisi oleh mineral dan
sel-sel tulang. Matriks tersusun sebagian besar oleh kolagen type I dan sebagian
kecil oleh protein non kolagen, seperti proteoglikan, osteonectin (bone spesific
protein), osteocalsin (Gla protein) yang dihasilkan oleh osteoblast dan
konsentrasinya dalam darah menjadi ukuran aktivitas osteoblast. Suatu matriks
yang tak bermineral disebut osteoid yang normalnya sebagai lapisan tipis pada
tempat pembentukan tulang baru. Mineral tulang terutama berupa kalsium dan
fosfat yang tersusun dalam bentuk hidroxyapatite. Demineralisasi terjadi hanya
dengan resorbsi seluruh matriks. 3,4
Gambar 2.1 Tulang

5
Gambar 2.2 Struktur Tulang Sel tulang terdiri 3
macam :3,4
1. Osteoblast

Osteoblast berhubungan dengan pembentukan tulang, kaya alkaline


phosphatase dan dapat merespon produksi maupun mineralisasi matriks. Pada
akhir siklus remodelling, osteoblast tetap berada di permukaan tulang baru, atau
masuk ke dalam matriks sebagai osteocyte.
2. Osteocyte

Osteocyte berada di lakunare, fungsinya belum jelas. Diduga di bawah


pengaruh parathyroid hormon (PTH) berperan pada resorbsi tulang (osteocytic
osteolysis) dan transportasi ion kalsium. Osteocyte sensitif terhadap stimulus
mekanik dan meneruskan rangsang (tekanan dan regangan) ini kepada osteoblast.

6
3. Osteoclast

Osteoclast adalah mediator utama resorbsi tulang, dibentuk oleh prekursor monosit di sumsum
tulang dan bergerak ke permukaan tulang oleh stimulus kemotaksis. Dengan meresorbsi matriks akan
meninggalkan cekungan di permukaan tulang yang disebut Lakuna Howship.
Pada tulang mature proporsi kalsium dan fosfat adalah konstan dan molekulnya diikat oleh kolagen.
Tulang imature disebut woven bone, dimana serabut kolagennya tidak beraturan arahnya, ditemukan pada
stadium awal penyembuhan tulang, bersifat sementara sebelum diganti oleh tulang mature yang disebut
lamellar bone, dimana serabut kolagen tersusun paralel membentuk lamina dengan osteocyte
diantaranya. Lamellar bone mempunyai 2 struktur yaitu cortical bone yang tampak padat, dan cancellous
bone yang tampak seperti spoon atau porous.4,5

2.2 Osteoporosis

2.2.1 Definisi

Osteoporosis adalah kelainan tulang yang meningkatkan resiko seseorang mengalami patah tulang
karena kepadatan mineral tulang yang rendah ,gangguan mikroarsitektur atau mineral tulang dan
penurunan kekuatan tulang. Kondisi tanpa gejala ini sering tidak terdiagnosis hingga bermanifestasi
sebagai fraktur trauma rendah pada pinggul, tulang belakang, proksimal humerus, panggul, pergelangan
tangan yang sering menyebabkan rawat inap.

Di Amerika Serikat osteoporosis diproyeksi meningkat dari sekitar 10 juta orang menjadi lebih dari 14
juta orang pada tahun 2020. Meskipun osteoporosis biasanya dikaitkan dengan wanita, osteoporosis juga
bisa terjadi pada pria. Selain menjadi penyebab utama patang tulang pada populasi orang yang lebih tua,
osteoporosis juga sangat terkait dengan orang yang terbarig ditempat tidur yang dapat menyebabkan
komplikasi serius.

2.2.2 Epidemiologi

Didunia menurut WHO, terdapat sekitar 200 juta orang menderita osteoporosis. Sementara di
Amerika terdapat 20-25 juta penduduk mengalami osteoporosis dengan 50 persen berusia 75-80 tahun.
Menurut International Osteoporosis Foundation (IOF), satu dari empat perempuan dengan rentang umur
50-80 tahun di Indonesia rentan mengalami osteoporosis. Perbandingan terjadinya osteoporosis antara
perempuan dan lakilaki di Indonesia yaitu 4;1. Pada wanita sendiri lebih sering terjadi pada wanita paska
menopause. Perhimpunan osteoporosis Indonesia tahun 2007 melaporkan penderita osteoporosis pada
penduduk di atas 5 tahun yaitu pada perempuan 32,3 persen dan pada laki-laki 28,8 persen.
7
Menurut WHO (1994), angka kejadian patah tulang (fraktur) akibat osteoporosis di seluruh dunia
mencapai angka 1,7 juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3 juta
orang pada tahun 2050 dan 71% kejadian ini akan terdapat di negara-negara berkembang. Di Indonesia
19,7% dari jumlah lansia atau sekitar 3,6 juta orang diantaranya menderita osteoporosis.

2.2.3 Etiologi

A. Osteoporosis primer
Dibagi kedalam osteoporosis juvenile dan idiopatik, osteoporosis idiopatik dapat dibagi menjadi
osteoporosis postmenopausal (tipe I) dan osteoporosis age-associated atau senile (tipe II). Osteoporosis
postmenopausal adalah osteoporosis primer akibat
defisiensi dari estrogen. Osteoporosis senile adalah osteoporosis primer akibat dari penuaan tulang dan
defisiensi kalsium.

Tipe Osteoporosis Primer Karakteristik


Osteoporosis Juvenile - Biasanya terjadi pada anak-anak
atau dewasa muda
- Fungsi gonald normal
- Onset usia biasanya 8-14 tahun
- Tanda karakteristik adanya nyeri
tulang mendadak atau fraktur
setelah trauma.
Osteoporosis Idiopatik
Osteoporosis Postmenopausal (Tipe
- Terjadi pada wanita dengan
I)
defisiensi estrogen
- Ditandai dengan kehilangan
masa tulang yang cepat
terutama dari tulang
trabekular
- Sering terjadi fraktur pada
lengan bawah distal dan
8
tulang vertebra

Age-assoaciated or senile osteoporosis - Terjadi pada wanita dan pria


(Tipe II)
karena BMD secara bertahap
menurun seiring
bertambahnya usia
- Kehilangan massa tulang yang
terkait dengan penuaan
- Fraktur terjadi pada tulang
kortikal dan trabekular
- Sering terjadi fraktur pada
pergelangan tangan, tulang
belakang dan pinggul

B. Osteoporosis skunder

Disebabkan oleh beberapa penyakit penyerta atau obat-obatan, penyakit yang terkait dengan
osteoporosis sering kali melibatkan mekanisme yang berhubungan dengan ketidakseimbangan kalsium,
vitamin D, dan hormon seks. Selain itu banyak penyakit inflamasi seperti rheumatoid arthritis, yang
mungkin mengharuskan pasien untuk menjalani terapi glukokortikoid jangka panjang dan telah dikaitkan
dengan osteoporosis skunder.

Tabel 2.3 Penyebab Secondary Osteoporosis


Penyebab Contoh penyakit
Genetik/ - Hiperkalsiuria ginjal
Kongenital - Cystic fibrosis

- Ehlers-Danlos syndrome
- Glycogen storage disease
- Gaucher disease
- Marfan syndrome
- Riley-Day syndrome
- Osteogenesis imperfecta
- Hemochromatosis
9
- Homocystinuria
- Hypophosphatasia
- Idiopathic hypercalciuria
- Porphyria
- Hypogonadal states
- Hemochromatosis
- Homocystinuria
- Hypophosphatasia
- Idiopathic hypercalciuria
- Porphyria
- Hypogonadal states

Keadaan - Cushing syndrome


Hipogonad
- Diabetes mellitus
- Akromegali
- Insufisiensi adrenal
- Defisiensi estrogen
- Hyperparathyroidism
- Hyperthyroidism
- Hypogonadism
- Pregnancy
- Prolactinoma

Keadaan - Defisiensi kalsium


Defisiensi
- Defisiensi magnesium
- Defisiensi protein
- Defisiensi vitamin D
- Bariatric surgery
- Celiac disease
- Gastrectomy
- Malabsorpsi
- Malnutrisi

10
- Parenteral nutrition

Inflamasi
- Inflammatory bowel disease

- Ankylosing spondylitis

- Rheumatoid arthritis

- Systemic lupus erythematosus

Kelainan - Hemochromatosis
Hematolgi dan - Hemophilia
Neoplasma - Leukemia
- Limpoma
- Multiple myeloma
- Sickle cell anemia
- Systemic mastocytosis
- Thalassemia
- Metastatic disease

Medis
- Antikonvulsan
- Obat antipsikotik
- Obat antiretroviral
- Inhibitor aromatase
- Obat-obat kemoterapi/transplan :

cyclosporine, tacrolimus,platinum compounds,


cyclophosphamide, ifosfamide, high dose methotrexate.
- Furosemide
- Glukokortikoid dan kortikotropin :
prednison (>5 mg/hari selama >3 bulan)
Heparin (jangka lama)
- Terapi hormonal/endokrin : GnRH agonis,
LHRH analog,depomedroxyprogesterone,excessive
thyroxine

11
- Lithium
- Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)

tacrolimus,

Miscellaneous - Alcoholism
- Amyloidosis

- Asidosis metabolik kronik Gagal jantung kronik


Depresi
- Empisema
- Gagal ginjal kronik atau end-stage

- Penyakit hati kronik


- HIV/AIDS

- Idiopatik skoliosis Immobility Multiple


skelorosis Ochronosis
- Transplantasi organ
- Kehamilan/laktasi
- Sarkoidosis
- Weightlessness

2.2.4 Faktor Risiko

 Usia
Semua bagian tubuh berubah seiring dengan bertambahnya usia, begitu juga dengan rangka tubuh. Mulai
dari lahir sampai kira-kira usia 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang hilang.
Tetapi setelah usia 30 tahun situasi berbalik, yaitu jaringan tulang yang hilang lebih banyak daripada
yang dibuat.

 Jenis Kelamin
12
Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya osteoporosis. Wanita secara signifikan memilki
risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis. Pada osteoporosis primer, perbandingan antara wanita dan
pria adalah 5 : 1. Pria memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk terjadinya osteoporosis sekunder, yaitu sekitar
40-60%, karena akibat dari hipogonadisme, konsumsi alkohol, atau pemakaian kortikosteroid yang berlebihan.

 Ras
Pada umumnya ras Afrika-Amerika memiliki massa tulang tertinggi, sedangkan ras kulit putih terutama Eropa
Utara, memiliki massa tulang terendah. Massa tulang pada ras campuran Asia-Amerika berada di antara keduanya.
Penelitian menunjukkan bahwa, bahkan pada usia muda terdapat perbedaan antara anak Afrika-Amerika dan anak
kulit putih. Wanita Afrika-Amerika umumnya memiliki massa otot yang lebih tinggi. Massa tulang dan massa otot
memiliki kaitan yang sangat erat, dimana semakin berat otot, tekanan pada tulang semakin tinggi sehingga tulang
semakin besar. Penurunan massa tulang pada wanita Afrika-Amerika yang semua cenderung lebih lambat daripada
wanita berkulit putih. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan hormon di antara kedua ras tersebut.
 Riwayat Keluarga
Faktor genetika juga memiliki kontribusi terhadap massa tulang. Penelitian terhadap pasangan kembar
menunjukkan bahwa puncak massa tulang di bagian pinggul dan tulang punggung sangat bergantung
pada genetika. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang osteoporosis rata-rata memiliki
massa tulang yang lebih rendah daripada anak seusia mereka (kira-kira 3-7 % lebih rendah). Riwayat
adanya osteoporosis dalam keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan risiko seseorang mengalami
patah tulang.
 Menopause
Wanita yang memasuki masa menopause akan terjadi fungsi ovarium yang menurun sehingga produksi
hormon estrogen dan progesteron juga menurun. Ketika tingkat estrogen menurun, siklus remodeling
tulang berubah dan pengurangan jaringan tulang akan dimulai.Salah satu fungsi estrogen adalah
mempertahankan tingkat remodeling tulang yang normal. Tingkat resorpsi tulang akan menjadi lebih
tinggi daripada formasi tulang, yang mengakibatkan berkurangnya massa tulang. Sangat berpengaruh
terhadap kondisi ini adalah tulang trabekular karena tingkat turnover yang tinggi dan tulang ini sangat
rentan terhadap defisiensi estrogen. Tulang trabekular akan menjadi tipis dan akhirnya berlubang atau
terlepas dari jaringan sekitarnya. Ketika cukup banyak tulang yang terlepas, tulang trabekular akan
melemah.
 Aktifitas Fisik
Latihan beban akan memberikan penekanan pada rangka tulang dan menyebabkan tulang berkontraksi
sehingga merangsang pembentukan tulang. Kurang aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang
berkepanjangan dapat mengurangi massa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat
menghasilkan massa tulang yang lebih besar. Itulah sebabnya seorang atlet memiliki massa tulang yang
lebih besar dibandingkan yang non-atlet. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tingkat
13
aktivitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun cenderung sedikit lebih
rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat sedang dan rendah.
 Penggunan kortikosteroid
Kortikosteroid banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit autoimun,
namun kortikosteroid yang digunakan dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya
osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik. Kortikosteroid dapat menginduksi terjadinya
osteoporosis bila dikonsumsi lebih dari 7,5 mg per hari selama lebih dari 3 bulan. Kortikosteroid akan
menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus, dan peningkatan ekskresi kalsium pada ginjal,
sehingga akan terjadi hipokalsemia. Selain berdampak pada absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium,
kortikosteroid juga akan menyebabkan penekanan terhadap hormon gonadotropin, sehingga produksi
estrogen akan menurun dan akhirnya akan terjadi peningkatan kerja osteoklas. Kortikosteroid juga akan
menghambat kerja osteoblas, sehingga penurunan formasi tulang akan terjadi. Dengan terjadinya
peningkatan kerja osteoklas dan penurunan kerja dari osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang
progresif.

2.2.1 Patofisiologi
Terjadinya osteoporosis secara seluler disebabkan oleh karena jumlah dan
aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel
pembentuk tulang). Keadaan ini mengakikatkan penurunan massa tulang. Ada
beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel osteoklas meningkat dan
meningkatkan aktivitasnya yaitu:2,9
1. Defisiensi estrogen
2. Faktor sitokin
3. Pembebanan

1. Defisiensi estrogen2
Dalam keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas, dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut,
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti: Interleukin-1 (IL-1),

14
Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-a), merupakan sitokin
yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Di lain pihak estrogen meningkatkan
sekresi Transforming Growth Factor b (TGF-b), yang merupakan satu-satunya
faktor pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel
osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel
osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa
faktor pertumbuhan dan sitokin seperti tersebut diatas, sekalipun secara tidak
langsung maupun secara langsung juga berpengaruh pada sel osteoklas.

Efek estrogen pada sel osteoblas


Estrogen merupakan hormon seks steroid memegang peran yang sangat
penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun
osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja dari kedua sel tersebut melalui
pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin utamanya oleh sel osteoblas. Seperti
dikemukakan diatas bahwasanya sel osteoblas memiliki reseptor estrogen alpha dan
betha (ERa dan ERb) di dalam sitosol. Dalam diferensiasinya sel osteoblas
mengekspresikan reseptor betha (ERb) 10 kali lipat dari reseptor estrogen alpha
(ERa).
Didalam percobaan binatang defisiensi estrogen menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan tulang. Akan tetapi dengan pemberian
estrogen terjadi pembentukan tulang kembali, dan didapatkan penurunan produksi
dari IL-1, IL-6, dan TNF-a, begitu juga selanjutnya akan terjadi penurunan produksi
M-CSF dan RANK-Ligand (RANK-L). Di sisi lain estrogen akan merangsang
ekspresi dari osteoprotegerin (OPG) dan TGF-b (Transforming Growth Factor-b)
pada sel osteoblas dan sel stroma, yang lebih lanjut akan menghambat penyerapan
tulang dan meningkatkan apoptosis dari sel osteoklas.9
Induksi fungsi suatu sel oleh berbagai faktor yang sangat kompleks serta
regulasinya yang berbeda-beda masih sedikit diketahui sampai saat ini. Suatu
sitokin, ligand, maupun hormon yang dapat menghambat atau merangsang fungsi
suatu sel bergantung pada berbagai hal, di antaranya adalah tingkat aktivasi sel
tersebut, sinyal yang memicu, dan waktu, seperti misalnya pada sel makrofag. Hal

15
yang sama terjadi juga pada sel stroma osteoblastik dan osteoblas. Jadi tingkat
aktivasi dari sel stroma osteoblastik bergantung pada kontak antara reseptor dan
ligand. Estrogen merupakan salah satu yang berfungsi menstimulasi ekspresi gene
dan produksi protein pada sel osteoblastik manusia, seperti misalnya produksi
OPG, RANK-L, dan IL-6. Besar kecilnya protein yang diproduksi bergantung pada
aktivasi sel stroma osteoblastik.
Efek biologis dari estrogen diperantarai oleh reseptor yang dimiliki oleh sel
osteoblastik diantaranya: estrogen receptor-related receptor a (ERRa), reseptor
estrogen a, b (ERa, ERb). Sub tipe reseptor inilah yang melakukan pengaturan
homeostasis tulang dan berperan akan terjadinya osteoporosis. Dalam sebuah studi
didapatkan bahwa kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin sangat
bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies, begitu juga
terhadap produksi dari IL-6. Dikatakan produksi dari IL-6 pada osteoblas manusia
(human osteoblast) dan stromal sel sumsum tulang manusia (human bone marrow
stromal cells), terbukti diinduksi oleh IL-1 dan TNFa, tidak secara langsung oleh
steroid ovarium.
Dengan demikian dimungkinkan pada sel stroma osteoblastik dan sel
osteoblas terjadi perbedaan tingkat aktivasi sel, sehingga akan terjadi perbedaan
produksi dari protein yang dihasilkannya seperti misalnya: IL-6, RANK-L, dan
OPG, dengan suatu stimulasi yang sama.10

Efek estrogen pada sel osteoklas


Dalam percobaan binatang, defisiensi estrogen akan menyebabkan terjadinya
osteoklastogenesis yang meningkat dan berlanjut dengan kehilangan tulang. Hal ini
dapat dicegah dengan pemberian estrogen. Dengan defisiensi estrogen ini akan
terjadi meningkatnya produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-a yang lebih lanjut akan
diproduksi M-CSF dan RANK-L. Selanjutnya RANK-L menginduksi aktivitas
JNK1 dan osteoclastogenic activator protein-1, faktor transkripsi c-Fos dan c-Jun.
Estrogen juga merangsang ekpresi dari OPG dan TGF-boleh sel osteoblas dan sel
stroma, yang selanjutnya berfungsi menghambat penyerapan tulang dan
mempercepat / merangsang apoptosis sel osteoklas.

16
Jadi estrogen mempunyai efek terhadap sel osteoklas, bisa memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung estrogen
mempengaruhi proses deferensiasi, aktivasi, maupun apoptosi dari osteoklas.
Dalam deferensiasi dan aktivasinya estrogen menekan ekspresi RANK-L,
MCSF dari sel stroma osteoblas, dan mencegah terjadinya ikatan kompleks antara
RANK-L dan RANK, dengan memproduksi reseptor OPG, yang berkompetisi
dengan RANK. Begitu juga secara tidak langsung estrogen menghambat produksi
sitokin-sitokin yang merangsang diferensiasi osteoklas seperti: IL-6, IL-1, TNF-a,
IL-11 dan IL-7. Terhadap apoptosis sel osteoklas, secara tidak langsung estrogen
merangsang osteoblas untuk memproduksi TGF-b, yang selanjutnya TGF-b ini
menginduksi sel osteoklas untuk lebih cepat mengalami apoptosis.
Sedangkan efek langsung dari estrogen terhadap osteoklas adalah melalui
reseptor estrogen pada sel osteoklas, yaitu menekan aktivasi c-Jun, sehingga
mencegah terjadinya diferensiasi sel prekursor osteoklas dan menekan aktivasi sel
osteoklas dewasa.

Gambar 2.4 Patogenesis osteoporosis pascamenopause

17
2. Faktor Sitokin
Pada stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui
suatu jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-
stimulator. Diantara group sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara
lain adalah: IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M
(OSM), Ciliary Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF),
Granulocyte Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan
Macrophage-Colony Stimulating Factor (M-CSF). Sedangkan IL-4, IL-10, IL-18,
dan interferon-g, merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis.
Interleukin-6 merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh
karena meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa
penyakit, antaranya berpengaruh pada remodeling tulang dan terjadinya
penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik.11

3. Pembebanan
Tulang merupakan jaringan dinamik yang secara konstan melakukan
remodeling akibat respon mekanik dan perubahan hormonal. Remodeling tulang
terjadi dalam suatu unit yang dikenal dengan bone remodeling unit, yang
merupakan keseimbangan dinamik antara penyerapan tulang oleh osteoklas dan
pembentukan tulang oleh osteoblas. Remodeling ini dimulai dari perubahan
permukaan tulang yang pasif (quiescent) menjadi perubahan permukaan tulang
yang mengalami resorpsi. Disini sebetulnya sel osteosit memegang peranan
penting dalam menginisiasi remodeling tulang dengan mengirimkan sinyal lokal
kepada sel osteoblas maupun sel osteoklas di permukaan tulang melalui sistem
kanalikuler.2
Osteosit adalah sel osteoblas yang terkubur dalam lakuna dan termineralisasi
dalam matriks tulang dengan morfologi stellate, dengan tonjolan dendritic yang
merupakan penonjolan plasma membran dan berfungsi sebagai sistem syaraf. Sel
osteosit jumlahnya 10 kali dari jumlah sel osteoblas. Osteosit melalui penonjolan
plasma membran (panjang 5 - 30 mm) dalam kanalikuli dapat berkomunikasi
dengan osteoblas. Selanjutnya osteoblas berkomunikasi dengan sel dalam sumsum

18
tulang dengan memproyeksikan selnya ke sel endotil di sinusoid, dengan
demikian lokasi strategis osteosit menjadikan sel ini sebagai kandidat sel
mekanosensori untuk deteksi kebutuhan tulang, menambah atau mengurangi
massa tulang selama adaptasi fungsi skeletal. Osteosit juga mempunyai
kemampuan deteksi perubahan aliran cairan interstisial dalam kanalikuli yang
dihasilkan akibat pembebanan mekanik dan deteksi perubahan kadar hormon, oleh
karena itu gangguan pada jaringan osteosit meningkatkan fragilitas tulang.2
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik
dan strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan
tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga
memperkuat tulang dan menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan
tulang. Dengan demikian pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran,
bentuk, dan kekuatan jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan
tulang dan arsitektur tulang. Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses
seluler yang memerlukan sistem biologis yang dapat mengindera pembebanan
mekanik. Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel efektor yang
akan membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua.2
Osteoporosis tipe II disebabkan oleh gangguan absorpsi kalsium di usus
sehingga menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan
timbulnya osteoporosis.1
Pada decade ke delapan dan Sembilan kehidupan, terjadi ketidakseimbangan
remodeling tulang dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang
tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang,
perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur. 1 Defisiensi
kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan
oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi, dan
paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul
hiperparatiroidisme sekunder yang persisten sehingga akan semakin
meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang. Faktor lain yang juga
berperan dalam kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan
lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama) .1

19
Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga
kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko fraktur tulang kortikal
misalnya pada femur proksimal. Pada laki-laki tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang panjang
akan diikuti peningkatan formasi periosteal sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan
menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua.1
Gambar 2.5 Patogenesis osteoporosis tipe 2 dan fraktur

2.2.2 Diagnosis
2.2.6.1 Anamnesis
Anamnesis mempunyai peranan penting dalam evaluasi penderita
osteoporosis. Keluhan-keluhan utama yang dapat mengarah kepada diagnosis,
seperti misalnya bowing leg dapat mengarah pada diagnosis riket, kesemutan dan
rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari yang terjadi pada hipokalsemia. Pada
anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh pendek, nyeri tulang, dan

20
kelemahan otot, waddling gait, dan kalsifikasi ekstraskeletal dapat mengarah pada
penyakit tulang metabolik.12
Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis juga
dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma minimal,
adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan
faktor risiko lainnya. 12
Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang juga dapat digunakan
untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi kortikosteroid, hormon
tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat-obatan, juga konsumsi
alkohol jangka panjang dan merokok. Tidak kalah pentingnya, yaitu adanya
riwayat keluarga yang pernah menderita osteoporosis. 12

2.2.6.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat
badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght
inequality , dan nyeri spinal. Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh
adanya iritasi muskuloskeletal, yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga
dapat dijumpai, fleksi sendi metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi
interphalang. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal
atau gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga
didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang tipis
(tanda McConkey). 12

2.2.6.3 Pemeriksaan Penunjang


Pada seseorang yang mengalami fraktur, diagnosis pasti ditegakkan
bedasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih
lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lain yang dapat
menyebabkan osteoporosis. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi untuk bone turnover, dan
pemeriksaan massa tulang secara radiologis. 5,6

21
1. Laboratorium
Penilaian osteoporosis secara laboratorik dilakukan dengan melihat petanda
biokimia untuk osteoblas, yaitu osteokalsin, prokolagen I peptida dan alkali
fosfatase total serum. Petanda kimia untuk osteoklas: dioksipiridinolin (D-pyr),
piridinolin (Pyr) Tartate Resistant Acid Phosfotase (TRAP), kalsium urin,
hidroksisiprolin dan hidroksi glikosida. Secara bioseluler, penilaian biopsi tulang
dilakukan secara histopometri dengan menilai aktivitas osteoblas dan osteoklas
secara langsung. Namun pemeriksaan di atas biayanya masih mahal.13

2. Pemeriksaan
Radiologi Radiografi
Konvensional
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Diagnosis penyakit osteoporosis kadang - kadang baru diketahui
setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan
tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya
dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan
tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 –
40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional. Karena
kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini pemeriksaan
dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi.

Radiografi konvensional vertebra


Gambaran radiologis yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks
dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang
vertebrae yang memberika gambaran picture frame vertebrae. Gambaran
osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih radiolusen tetapi baru terdeteksi
setelah terjadi penurunan massa tulang sekitar 30%. Variabilitas faktor teknis
dalam pengambilan foto polos, dan variasi jenis serta ketebalan jaringan lunak
yang tumpang tindih dengan vertebrae akan mempengaruhi gambaran
radiologisnya dalam menilai densitas tulang. Selain itu adanya kompresi vertebrae
akan meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan trabekula dan

22
pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa angka 30%
itu karena berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitro yang telah
dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan menunjukkan bahwa hal
tersebut benar untuk daerah kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang
mempunyai kadar trabakela tinggi osteoporosis dapat dilihat secara radiogram bila
terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%.6
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis vertebrae:6
1. Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vertebrae atau penurunan
densitas tulang.
2. Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula
vertikal.
Kriteria Bone Atrophy Class membagi tingkat perubahan trabekulasi
menjadi 4 tingkatan (lihat gambar 2.12):
Kelas 0 : Normal
Kelas I : Trabekula longitudinal lebih jelas
Kelas II : Trabekula longitudinal menjadi kasar
Kelas III: Trabekula longitudinal menjadi tidak jelas
3. Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus vertebrae.
4. Perubahan end plates baik secara absolut maupun relatif dengan
membandingkan antara korpus vertebra dengan end plates.
5. Abnormalitas bentuk vertebrae dapat berupa bentuk baji, bikonkaf,
fraktur kompresi (bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
6. Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan menemukan
fraktur spontan atau setelah trauma ringan pada foto vertebra.

23
Gambar 2.6 Osteoporosisosteoporosis vertebrae. (A) radiografi lateral dari vertebrae normal.
(B) ada kehilangan/ kerusakan dari trabeculae transversa, yang menimbulkan
penonjolan dari trabeculae vertical, sehingga memberikan striated appearance. (C)
radiografi toraks lateral dengan baji multipel dan end palte fraktur vertebrae
osteoporotic pada beberapa stadium. (D) metode semiquantitative dari grading
oleh Genant et al yang secara luas digunakan pada studi epidemiologi dan farmasi.
Fraktur vertebrae adalah prediktor kuat terhadap fraktur di masa yang akan datang
(x5 untuk fraktur vertebrae; x2 untuk fraktur panggul) sehingga penting agar hal
ini secara akurat dan jelas dilaporkan oleh radiologist. Semakin tinggi stadium dari
fraktur vertebrae, semakin tinggi risiko fraktur di kemudian hari. 16

Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk mengukur


berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis. Untuk menentukan tingkatan
dan diagnosis dapat dilakukan menggunakan gambaran radiologi sederhana.
Gambaran radiologi konvensional yang khas pada osteoporosis adalah adanya
penipisan korteks dan trabecular yang lebih lusen.14
Hanya ada sedikit tulang pada tulang yang mengalami osteoporosis daripada
di tulang normal, ini akan menjadi jelas pada gambaran radiografi oleh karena
penurunan kepadatan tulang. Sebuah istilah deskriptif yang berguna untuk
digunakan jika patah tulang yang tidak terlihat adalah osteopenia. Pengurangan

24
kepadatan tulang sering lebih menonjol pada daerah tulang yang kaya tulang
trabekular, khususya dalam kerangka aksial ( vertebra , panggul , tulang iga dan
sternum ). Tulang osteoporosis kurang mampu menahan tahanan terhadap tubuh
daripada tulang normal, dan ini akan bermanifestasi terhadap gambaran klinis dari
trauma tulang yang sedikit. Fraktur tersebut dapat terjadi pada setiap bagian
skletal, tetapi yang paling umum terjadi pada kerangka tulang yang kaya
trabekular, terutama tulang belakang, lengan bawah distal dan femur proksimal.14
Fraktur tulang belakang adalah yang paling umum dari fraktur osteoporosis.
Bagian anterior dan pertengahan dari tulang belakang menahan kekuatan
kompresi tidak sebaik dari posterior dan cincin luar unsur tulang belakang ,
sehingga menyebabkan terbentuknya baji atau end- plate patah tulang atau , lebih
jarang , fraktur yang hancur. Patah tulang belakang dapat di bagi menjadi stadium
ringan (kelas 1), sedang (kelas 2) dan berat (kelas 3). Metode gradasi
semiquantitative ini adalah yang paling sering diterapkan untuk menentukan
prevalensi dan insiden patah tulang belakang dalam studi epidemiologi dan uji
farmasi untuk kemanjuran terapi osteoporosis baru. 14
Semakin parah stadium patah tulang belakang, semakin besar risiko patah
tulang di masa selanjutnya. Patah tulang belakang adalah prediktor yang bagus
untuk patah tulang di masa selanjutnya ( panggul dua kali lipat; vertebral lima kali
lipat). Oleh karena itu sangat penting bahwa, jika ada, pembacaan foto ini secara
akurat dan jelas dilaporkan oleh ahli radiologi patah tulang sebagai fraktur; istilah
lain, seperti 'deformitas', harus dihindari. 15
Patah tulang belakang dapat terjadi sebagai suatu peristiwa akut
berhubungan dengan trauma minor dan disertai dengan rasa sakit, yang umumnya
sembuh secara spontan selama 6-8 minggu. Gejala ini bagus untuk membedakan
patah tulang belakang osteoporosis dari diagnosis patologi yang lebih
menyeramkan, seperti metastasis, yang gejalanya lebih kompleks. Namun, 30 %
dari patah tulang belakang dapat terjadi pada pasien tanpa gejala. Fraktur
osteoporosis terjadi paling umum pada daerah dada dan thoraco - lumbal sehingga
mengakibatkan hilangnya tinggi tubuh yang progresif pada individu yang terkena.
Fraktur osteoporosis jarang terjadi di atas T7; jika patah tulang terjadi di atas

25
wilayah anatomi ini, metastasis harus dipertimbangkan. Wedging dari beberapa
badan vertebra di tulang belakang dada dapat menyebabkan peningkatan kejadian
kyphosis. 16

Radiografi femur
Pola trabekular pada proksimal femur menunjukkan perubahan-perubahan
karakteristik bersamaan dengan hilangnya masa tubuh. Singh dkk memberikan
suatu sistem grading berdasarkan perubahan-perubahan ini. Indeks yang rendah
menunjukkan rendahnya masa tulang.7

Gambar 2.7 Indeks Singh pada femur

Indeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu :


 Grade 6 : semua struktur trabekula dan segitiga Ward kurang jelas terlihat
menandakan tulang normal.

26
 Garde 5 : tampak atenuasi struktur principal compressive dan principal
tensile, segitiga Ward tampak kosong dan lebih prominen. Stadium ini
menunjukkan stadium dini osteoporosis.
 Grade 4 : tensil trabekula tampak berkurang, terjad resorpsi dimulai dari
bagian medial, sehingga principal tensile bagin lateral masih dapat iikuti
garisya. Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal dan
osteoporosis.
 Garde 3 : tampak principal tensile terputus diarea yang bersebrangan
dengan trochanter mayor sehingga tensi trabekula hanya terlihat dibagian
atas leher femur. Stadium ini menunjukkan definite osteoporosis.
 Grade 2 : hanya tampak principal compressive yang prominen sedangkan
kelompok trabekula lain tidak/kurang jelas. Keadaan ini menunjukkan
advanced osteoporosis.
 Grade 1 : prinncipal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya,
keadaan ini menunjukkan osteoporosis berat. 12

Gambar 2.8 foto konvensional osteoporosis pada caput femoralis

3. Densitometer
Osteoporosis disebabkan oleh penurunan massa tulang, oleh karena itu
diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan dengan pengukuran massa tulang. Alat-
alat radiologi untuk pengukuran bone densitometry beserta keuntungan dan

27
kerugian dari masing-masing alat pngukuran dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Sedangkan perbedaan secara umum diantara berbagai alat non-invasif untuk
pengukuran densitas tulang terletak pada jenis dan sumber radiasi, tempat
pengukuran, unit ukuran, waktu pemeriksaan, dan precision serta accuracy
pengukuran.

Tabel 2.2 Keuntungan dan kerugian teknik pengukuran densitas tulang dan laboratorium

Guideline indikasi bone densitometry dalam penilaian risiko fraktur yang


dikeluarkan oleh Catalan Agency for Health Technology Assessment, Barcelona,
menyatakan bahwa bone densitometry diindikasikan pada pasien dengan: 15

28
Tabel 2.3 Klasifikasi faktor risiko fraktur dihubungkan dengan penurunan
masa tulang15

 Bila tidak terdapat faktor risiko, atau faktor yang ada tidak terdapat dalam
tabel 2.3 diatas, atau bila pasien tidak akan mendapatkan pencegahan atau
pengobatan untuk menghindarkan insiden fraktur, bone densitometry tidak
dikerjakan.

29
 Umumnya, interval minimum diantara pengukuran bone mass harus lebih
dari 2 tahun. Interval ini dapat lebih pendek bila obat yang dapat
meningkatkan massa tulang digunakan dan bila densitas tulang dinilai di
lumbal. 15

National Osteoporosis Foundation (NOF) merekomendasikan pengukuran


densitas mineral tulang pada 4 keadaan: 17
 Wanita dengan defisiensi estrogen (hipoestrogenia), untuk diagnosis pasti
masa tulang rendah sehingga dapat diambil keputusan tentang penggunaan
terapi sulih hormon.
 Pasien dengan kelainan vertebra atau masa tulang rendah berdasarkan
pemeriksaan x-ray (roentgenographic osteopenia), untuk diagnosis
osteoporosis tulang belakang sehingga dapat diambil keputusan untuk
evaluasi diagnostik selanjutnya dan terapi.
 Pasien yang mendapatkan kortikosteroid jangka lama, untuk diagnosis
masa tulang rendah sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai.
 Pasien dengan hiperparatiroid primer asimptomatik, untuk diagnosis masa
tulang rendah sehingga dapat diidentifikasi mereka yang berisiko untuk
mendapat penyakit skeletal berat yang merupakan kandidat untuk
intervensi bedah.

American Association of Clinical Endocrinologists (AACE)


merekomendasikan bone densitometry pada kasus berikut: 15
 Untuk penilaian risiko pada wanita perimenopause dan postmenopause
yang peduli terhadap osteoporosis dan berkeinginan untuk mendapat
intervensi.
 Pada wanita dengan pemeriksaan x-ray terlihat adanya osteoporosis.
 Pada wanita yang memulai atau mendapatkan terapi glukokortikoid jangka
lama, pemberian intervensi adalah pilihan.

30
 Pada wanita perimenopause atau postmenopause dengan hiperparatiroid
primer asimptomatik, dimana skeletal loss merupakan akibat
paratiroidektomi
 Pada wanita dengan terapi osteoporosis, sebagai alat untuk monitoring
respon pengobatan.

DXA (Dual X-ray Absorptiometery)


Evaluasi kuantitatif dari kepadatan tulang telah berubah sejak tersedianya
alat untuk mengukur kepadatan tulang pada kerangka aksial, terutama tulang
belakang lumbal dan femur proksimal. Sebelum itu, single energy absorptiometry
mampu untuk mengukur kepadatan tulang perifer, seperti lengan atau kalkaneus,
tapi tidak untuk kerangka aksial karena jaringan lunak di atasnya. Dua sumber
energi memungkinkan pengurangan jaringan lunak dari tulang.
Awalnya ini dilakukan dengan sinar γ dari sumber radionuklida yang disebut
dual-photon absorptiometry tetapi kemudian dikenal lebih berhasil dengan sumber
x-ray, DXA. Daerah yang diukur dan memiliki database normatif adalah daerah
tulang belakang lumbal (L1-L4), femur proksimal, lengan bawah, dan total tubuh.
Pengukuran dilaporkan sebagai BMD, yang menunjukkan kadar mineral tulang
dibagi dengan luas area yang terkena. Hal ini dianggap sebagai densitas,
menggunakan estimasi volume, dan dilaporkan dalam gram per sentimeter
persegi. Hal ini juga dilaporkan merupakan suatu perbandingan dengan database
normal untuk puncak massa tulang pada pasien muda yang normal, berusia 20
sampai 29 tahun (skor T), dan pasien yang normal seusianya (skor z). Pada tahun
1994, sebuah kelompok studi WHO mengembangkan klasifikasi diagnostik
osteopororosis berdasarkan pada hubungan antara kepadatan tulang, diukur
dengan DXA, dan prevalensi patah tulang.
Dual Energy X-Ray Absorptimetry (DEXA) merupakan metode yang paling
sering digunakan dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi
dan presisi yang tinggi.17 Pengukurannya dapat diperoleh dari daerah tulang mana
saja yang ada di tubuh, tapi daerah standar nya adalah vertebra lumbar, proximal
femur, dan distal lengan bawah. Tingkat presisi yang tinggi dari teknik ini

31
memungkinkannya untuk tidak hanya mendiagnosis, tapi juga memoniotring
respon terhadap terapi. 20
WHO membagi klasifikasi diagnostic menggunakan
DEXA T-score. DEXA T-score menggolongkan osteoporosis dan osteopenia dan
dibandingkan nilai rata-rata kepadatan tulang dewasa muda dan perbedaan
dinyatakan dengan standard deviation (SD).17

Tabel 2.4 DEXA T-score menurut WHO19


Definisi WHO Normal Osteopenia Osteoporosis Osteopororis Berat
T-score > -1 > -2,5 dan ≤ -1 ≤ -2,5 ≤ -2,5 disertai fraktur

Pada tulang belakang, L1-L4 harus diukur. Tulang belakang dieksklusikan


jika skor T nya lebih dari 1 SD berbeda dari vertebra yang berdekatan atau jika
ada perubahan struktural dari penyakit degeneratif atau fraktur. Paling sedikit, dua
tulang vertebra harus dimasukkan untuk diagnosis. Pada banyak pasien, tulang
belakang tidak bisa digunakan karena penyakit degeneratif yang menyebabkan
sclerosis atau karena kelainan bentuk vertebra.18

4. CT SCAN
Standard klinik diagnosa osteoporosis dan risiko fraktur tulang adalah DXA
untuk mengukur BMD pada tulang punggung dan panggul, 2 lokasi tulang yang
kebanyakan diukur pada posisi tidur. Banyak perbedaan varietas dari modalitas
pemeriksaan X-ray dan DXA berdasarkan analisis struktur panggul sampai
dengan pemeriksaan CT dan MRI yang telah dikembangkan untuk memeriksa
struktur tulang pada tingkatan makro dan mikro.

32
Gambar 2.9 Teknik pencitraan CT untuk memeriksa kepadatan tulang dan
arksitekturnya. Kiri atas : vQCT dari femur (panel pixel ukuran
350um, ketebalan potongan 1 mm) untuk menjelaskan BMD dan
struktur makro ; kanan atas: hrCT pada lengan bawah bagian distal
(ukuran pixel 200um, ketebalan potongan 0,5 mm) untuk
menjelaskan tekstur dan struktur pada trabekular; bawah: uCT pada
vertebra spongiosa (isotropik ukuran : kiri 30um, kanan 10um) untuk
mejelaskan struktur pada jaringan trabekular.QCT mempunyai fokus
untuk menilai trabekular BMD pada satu potongan transversal di
lumbal mid vertebral. Ketepatan BMD merupakan aplikasi dari
protokol tambahan QCT. Dimana data 3D yang didapat dapat
meningkatkan dalam menganalisis.

5. MRI
Fraktur kompresi sering terjadi pada usia tua. Upaya untuk membedakan
fraktur yang bersifat benign atau malignant sulit dilakukan terlebih ketika tidak
ada bukti yang jelas mengenai keganasan pada foto polos. Fraktur kompresi dapat
mengakibatkan beberapa kelainan vertebral khususnya bagian lumbal seperti
stenosis kanal lumbal dan herniasi diskus lumbal. Kelainan ini tidak dapat

33
dideteksi secara maksimal apabila menggunakan DEXA maupun foto polos..
Magnetic Resonance Imaging (MRI) memiliki resolusi spasial yang cukup dan
memiliki resolusi yang tinggi apabila menggunakan kontras dan digunakan dalam
menegakkan diagnosis kelainan vertebra. Bagaimanapun, pada beberapa
pemeriksaan MRI abdomen dan pelvis, selain menilai organ target, tulang
vertebra dapat pula dinilai. Oleh karena itu MRI memiliki potensial sebagai
indikator dari osteoporosis yang berguna untuk mengkonfirmasi kemungkinan
terjadinya osteoporosis.1,2

Gambar 2.10 Gambaran fraktur kompresi malignan (A) dan fraktur kompresi
benigna2

34
2.2.3 Diagnosis Banding
Diagnosis banding osteoporosis adalah:
a. Osteomalasia
Osteomalasia adalah penyakit pada orang dewasa dengan ditandai
kegagalan deposit kalsium tulang sehingga terjadi pelunakan tulang akibat
kekurangan vitamain D. Pada gambaran radiologis osteomalasia
mempunyai gambaran yang khas yaitu looser zone.

Gambar 2.11 Gambaran looser zone ( panah ) yang terlihat pada femur
orang dewasa dengan osteomalasia

b. Osteopenia
Osteopenia adalah suatu keadaan dimana kepadatan tulang lebih rendah
dari normal yang sering ditemukan pada gambaran radiologi tulang dengan
peningkatan radiolusen tulang, tapi tidak cukup rendah untuk dianggap
osteoporosis. Osteopenia ditandai dengan penururnan kepadatan tulang,
yang mengarah kepada kelemahan tulang, dan peningkatan resiko patah
tulang.19

35
Gambar 2.12 Gambaran osteopenia

c. Multiple myeloma
Suatu kanker yang berasal dari sel plasma ( sel plasma merupakan sel yang
dihasilkan di sum sum tulang ) dengna penyebab yang belum diketahui.

Gambar 2.13 Gambaran lesi litik pada multiple myeloma

36
Tabel 2.5 Perbedaan osteoporosis, osteopenia, osteomalasia dan multiple
myeloma

Osteoporosis Osteopenia Osteomalasia Multiple


myeloma
Gejala klinis Nyeri tulang Tidak khas Nyeri tulang Nyeri tulang
Keseimbangan Osteoklas Osteoklas Osteoklas meningkat Osteoklas
osteoklas dan meningkat meningkat Osteoblas normal
osteoblas Osteoblas Osteoblas meningkat/normal Osteoblas
menurun menurun/normal normal
Penurunan + + - -
mineralisasi tulang
Gangguan hormonal + + - -

Gangguan vitamin D + + + -
dan kalsium

2.2.4 Penatalaksanaan
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat osteoklas
(anti resorptif) dan atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).
Walaupun demikian tujuan utama terapi dan pencegahan osteoporosis adalah
mencegah berlanjutnya kehilangan massa tulang dan terjadinya fraktur serta nyeri.
Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen,
bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalag Na-
Fluorida, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek
anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi
mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium
akan menyebabkan peningkatan produksi PTH yang dapat menyebabkan
pengobatan osteoporosis tidak efektif. Terapi umumnya bergantung pada derajat
BMD. Umumnya semakin rendah BMD seseorang maka semakin besar resiko
menderita fraktur:7,20

37
1. BMD normal ( +1 sampai -1 SD ) tidak memerlukan pengobatan.
2. BMD rendah ( -1 sampai -2,5 SD ) memerlukan terapi dengan
pencegahan osteoporosis.
3. BMD kurang dari -2,5 SD tanpa atau dengan adanya fraktur harus
mendapat terapi osteoporosis.

2.2.8.1 Medikamentosa
1. Estrogen
Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya
vagina) dan saluran cerna. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai
kadar yang adekuat didalam darah pada dosis 1/20 dosis oral. Estrogen
oral akan mengalami metabolisme terutama dihati. Estrogen yang beredar
didalam tubuh sebagian besar akan terikat dengan sex hormone binding
globulin dan albumin. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai
dengan dosis untuk anti resorptifnya adalah estrogen terkonyugasi 0,625
mg/hari, 17 B-estradiol oral 1-2 mg/hari, 17B-estradiol transdermal 50
mg/hari, 17B-estradiol perkutan 1,5 mg/hari dan 17B-estradiol subkutan
25-50 mg setiap 6 jam.
2. Raloksifen
Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek seperti
estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan
endometrium dan payudara. Golongan preparat ini disebut juga selective
estrogen receptor modulators (SERM). Dosis yang direkomendasikan
untuk anti osteoporosis adalah 60mg/hari
3. Bisfosfonat
Merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis, baik
sebagai pengoabatan alternatif setelah terapi pengganti hormonal pada
osteoporosis pada wanita maupun untuk osteoporosis pada laki-laki dan
osteoporosis akibat steroid. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung
terhadap osteoklas dengan cara merangsang osteoblas menghasilkan

38
substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar
stimulator osteoklas. Beberapa preparat bisfosfonat yakni :
a. Etidronat
Untuk terapi osteoporosis diberikan dengan dosis 400 mg/hari
selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama
500 mg/hari selama 76 hari. Siklus ini diulang setiap 3 bulan.
Pemberian secara siklik bertujuan untuk mengatasi gangguan
mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka panjang.
b. Klodronat
Dapat diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 1 bulan
dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan siklus ini
dapat diulang setiap 3 bulan.
c. Pamidronat
Biasanya diberikan melalui infus intravena. Untuk penyakit paget
diberikan dengan dosis 60-90 mg/kali selama 4-6 jam drip intravena,
sedangkan untuk hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan
sampai 90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.
d. Alendronat
Merupakan aminobisfosfonat yang sangat paten. Untuk terapi
osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari
secara kontinyu. Untuk penyakit paget diberikan dosis 40 mg/hari
selama 6 bulan.
e. Risedronat
Merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang paten. Untuk terapi
paget diperlukan dosis 30 mg/hari selama 2 bulan, sedangkan untuk
osteoporosis diperlukan dosis 5 mg/hari.
f. Asam Zoledronat
Merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yang
adalah sediaan intravena yang harus diberikan perdrip selama 15
menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup
diberikan dosis 5 mg setahun sekali, sedangkan pengobatan

39
hiperkalsemia akibat keganasan diberikan 4 mg perdrip setiap 3-4
minggu sekali.20

2.2.8.2 Non Medikamentosa


Edukasi dan pencegahan pada penderita osteoporosis dapat dilakukan dengan;1
- Anjurkan pasien untuk melakukan aktifitas fisik secara teratur
- Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari.
- Hindari merokok dan minum alkohol.
- Hindari mengangkat barang-barang berat pada pasien yang pasti
osteoporosis.
- Diagnosis dini dan terapi yang tepat
- Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan pasien terjatuh.
- Hindari defisiensi vitamin D. Dianjurkan asupan vitamin D 800-1000
IU setiap hari.

2.2.8.3 Operatif
Operasi dilakukan apabila ditemukan:
- Faktor patologis tulang panjang, dilakukan fiksasi interna.
- Osteoarthritis yang disertai dengan nyeri hebat, dimana dilakukan
penggantian total sendi (total joint replacement).
- Penjepitan saraf spinal, dilakukan dekompresi.
- Osteosarkoma yang terdeteksi pada stadium dini.

2.2.8.4 Latihan dan Program Rehabilitasi


Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita osteoporosis
karena dengan latihan yang teratur, penderita akan menjadi lebih lincah, tangkas
dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain itu latihan juga akan
mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan
biofisikeletromikal yang akan meningkatkan remodeling tulang. Pada penderita
yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan adalah pembebanan untuk
tulang sedangkan pada penderita yang sudah osteoporosis. Maka latihan dimulai

40
dengan latihan tanpa beban kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga
mencapai latihan beban yang adekuat. Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat
diberikan alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita yang
mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya,
terutama pada orangtua yang terganggu keseimbangannya. Hal ini juga harus
diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh.Terdapat 3 tipe latihan untuk
penderita osteoporosis :
1. Weight-Bearing Exercise Latihan ini meliputi latihan aerobik yang
melawan gaya gravitasi dengan tulang sebagai penopang berat tubuh,
sebagai contoh berjalan. Manfaat dari latihan ini akan diperoleh secara
efektif apabila dilakukan secara teratur, minimal 15 hingga 20 menit
sebanyak 3 hingga 4 kali setiap minggunya. Jika Anda baru akan memulai
latihan ini, lakukanlah dengan intensitas ringan yang semakin lama
semakin ditingkatkan. Contoh : berjalan, mendaki
2. Resistance Training Latihan ini meliputi latihan dengan menggunakan
beban atau strength-training machines. Jika Anda ingin memulai latihan
ini, lakukanlah dengan intensitas ringan yang ditingkatkan secara bertahap
dan perlahan-lahan. Untuk mengurangi resiko cedera, lakukan latihan
secara perlahan-lahan (mengangkat dan menurunkan beban secara
perlahan-lahan) dan lakukan gerakan secara tepat. Jangan menambah
beban lebih dari 10 % setiap minggunya karena peningkatan beban secara
berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya cedera. Sebaiknya,
lakukan latihan setiap 3 hari sekali guna memberikan kesempatan bagi
tubuh untuk beristirahat.21

41
Gambar 2.14 Latihan dan program rehabilitasi

3. Flexibility Exercise Latihan ini meliputi latihan peregangan atau stretching. Latihan
ini berfungsi untuk meningkatkan kelenturan sendi- sendi sehingga mencegah
terjadinya cedera otot dan membantu memperbaiki postur tubuh. Latihan peregangan
sebaiknya dilakukan pada akhir sesi latihan (setelah otot mengalami pemanasan)
secara perlahan- lahan, tenang, dan disertai dengan menarik napas dalam-dalam.
Hindari jenis latihan peregangan yang dapat memberikan tekanan secara berlebihan
pada tulang punggung, seperti membungkuk, karena dapat meningkatkan resiko patah
tulang.

42
Gambar 2.15 Exercise

2.2.5 Evaluasi Hasil Pengobatan


Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang pemeriksaan
densitometry setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya.
Bila dalam waktu 1 tahun tidak terjadi peningkatan maupun penurunan densitas
massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap berhasil, karena resorpsi tulang
sudah dapat ditekan. Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang, maka
pemeriksaan petanda biokimia tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi
pengobatan. Penggunaan petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih
cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan. Yang dinilai adalah
penurunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang.9

43
2.2.6 Komplikasi
Komplikasi dari osteoporosis yang paling sering dijumpai adalah
fraktur karena cidera yang minimal, deformitas vertebrae & dowager’s
hump dan terjadi pemendekan tinggi badan.

2.2.7 Pencegahan
 Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat
dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup yaitu 1000-
1500mg/hari baik melalui makanan sehari-hari maupun
suplementasi.
 Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur
untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi system
neuromuscular serta kebugaran sehingga dapat mencegah resiko
jatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60
menit/hari, bersepeda maupun berenang.
 Menghindari rokok dan alkohol

2.2.8 Prognosis
Prognosis dari osteoporosis baik jika kehilangan masa tulang dapat
dideteksi sejak dini sehingga pasien dapat meningkatkan densitas tulang
dan menurunkan resiko terjadinta komplikasi dari osteoporosis seperti
fraktur.

44
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Sitti Syamsiah


Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 31 Desember 1956 / 58 tahun
Alamat : Makassar
Masuk RS : 20 Oktober 2014

3.1.2 Keluhan Utama :

Nyeri di pinggul kiri

3.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan nyeri di bagian pinggul kiri sejak 1
bulan yang lalu dan sejak itu pasien tidak dapat berjalan.Pasien mengeluh nyeri di
pinggul timbul setelah pasien jatuh akibat kehilangan keseimbangan saat berjalan.Nyeri
dirasakan saat berdiri.Riwayat demam(-), mengigil (-), sakit kepala (-), mual (-),
muntah(-) dan nyeri perut(-). BAK dan BAK pasien lancar dan biasa.Riwayat benturan
di kepala tidak ada.Riwayat pengobatan dengan secara tradisional dengan urutan kaki
selama 1 bulan.

3.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya

45
3.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama tidak ada.

3.2 Pemeriksaan fisis


Keadaan umum : Sakit sedang, gizi cukup.
Kesadaran : Compos mentis.
Tanda vital :
 Tekanan darah: 100/70 mmHg.
 Nadi : 84 x/menit.
 Suhu : 36,7°C.
 Pernapasan : 22 x/menit.
 Nyeri : VAS 4.
Status Generalis :
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), DVS R-1.
Mulut : Hiperemis (+), Stomatitis (+), Lidah : Hiperemis (-).
Thoraks : Rh -/-, Wh -/-.
BJ I/II murni regular, bising (-).
Abdomen : Peristaltik (+) Normal.
Ekstremitas : Edema Pretibial (-/-).
Primary survey
Airway : Tidak ada gangguan jalan nafas.
Breathing : Pernafasan 22 x/menit.
Circulation : Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 90 x/menit.
Disability : GCS15 (E4M6V5).
Exposure : Suhu 36,8oC.
Status Lokalis : Regio femoris sinistra
Inspeksi : Deformitas (+), edema (-), hematom (-), luka (-).
Palpasi : Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan hangat,NVD
(neurovascular disturbance) (-), kapiler refil <2 detik (normal).
Panjang tungkai kanan 74 cm.
Panjang tungkai kiri 73 cm.
LLD 3 cm.

46
Move: Gerakan aktif dan pasif terhambat, Gerakan abduksi tungkai kanan terhambat,
gerakan adduksi tungkai kanan terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan
persarafan tidak ada, tampak gerakan terbatas .

3.3 Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
 Waktu Bekuan 7’00’menit 4-10 menit
1-7 menit
 Waktu Perdarahan 3’00’’’menit
Non Reactive
 HbsAg Non Reactive
Non Reactive
 Anti HCV Non Reactive

 Darah Rutin
4-10 x 103/uL
 WBC 8.6 x 103/uL
4-6 x 106/uL
4.16 x 106/uL
 RBC
10.91 g/dl 12-16 g/dl
 HB
31.8 % 37-48 %
 HCT 76.1 fL 80-97 fL
 MCV 26.11 pg 26,5-33,5 pg
34.2 g/dl 31,5-35 g/dl
 MCH
336 x 103/uL 150-400 x 103/uL
 MCHC

47
3.4 Radiologi

Foto femur AP/ Lateral (Pre-operasi)


 Tampak Fraktur basis cervical femur sinistra dengan trochanter mayor displace
ke cranio lateral, callus forming negative, korteks tidak intak
 Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
 Mineralisasi tulang berkurang (Osteoporosis Senilis)
 Celah sendi tervisualisasi baik
 Jaringan lunak sekitarnya baik
Kesan: Fraktur basis cervical femur sinistra

48
Foto Pelvis /Panggul AP( Pre- Operasi)
 Tampak Fraktur basis servical femur sinistra dengan trochanter
mayor displacement ke cranio lateral, callus forming (-) , korteks
tidak intak
 Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
 Mineralisasi tulang berkurang (Osteoporosis Senilis)
 Celah sendi tervisualisasi baik
 Jaringan lunak sekitarnya baik
Kesan: Fraktur basis cervical femur sinistra

49
Foto Femur sinistra AP + Lateral (Post Operasi)
 Drain terpasang dengan tip berada pada soft tissue regio 1/3 proximal femur sinistra
 Dinamic hip screws terpasang pada femur sinistra dengan kedudukan terhadap
tulang baik
 Masih tampak garis fraktur pada basis cervical femur sinistra
 Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
 Mineralisasi tulang berkurang(disuse osteoporosis)
 Kedua SI joint baik. Hip joint kiri menyempit.
 Jaringan lunak sekitarnya swelling
Kesan: Fraktur basis cervical femur sinistra

50
Foto Pelvis /Panggul AP( Post Operasi)
 Drain terpasang dengan tip berada pada soft tissue regio 1/3 proximal femur sinistra
 Dinamic hip screws terpasang pada femur sinistra dengan kedudukan terhadap
tulang baik
 Masih tampak garis fraktur pada basis cervical femur sinistra
 Tidak tampak tanda-tanda osteomyelitis
 Mineralisasi tulang berkurang(disuse osteoporosis)
 Kedua SI joint baik. Hip joint kiri menyempit
 Jaringan lunak sekitarnya swelling

Kesan: Fraktur basis cervical femur sinistra

51
3.5 Diagnosis
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, diagnosis kasus ini fraktur kominutif pada : Fraktur basis
cervical femur sinistra
3.6 Terapi
1. IVFD RL 20 tetes per menit
2. Antibiotik profilaksis
3. Rencana open reduction Internal fixation

52
BAB III
KESIMPULAN

Osteoporosis adalah satu penyakit metabolik tulang yang ditandai oleh


menurunnya massa tulang, oleh karena berkurangnya matriks dan mineral tulang
disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang, dengan akibat
menurunnya kekuatan tulang, sehingga terjadi kecenderungan mudah terjadi
fraktur. Angka kejadian osteoporosis lebih banyak pada perempuan dibandingkan
laki-laki.
Osteoporosis dibagi menjadi dua kelompok yaitu osteoporosis primer dan
osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer dibagi lagi menjadi dua tipe yaitu tipe
I adalah osteoporosis pasca menopouse dan tipe II yaitu osteoporosis senilis.
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit
tertentu yang mendasarinya.
Dalam menegakkan diagnosis osteoporosis bisa dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada berbagai macam pemeriksaan
penunjang namun menurut WHO DEXA merupakan gold standard dalam
menegakkan diagnosis osteoporosis. Prognosis dari osteoporosis baik bila
ditemukan sejak dini dan dilakukan peningkatan densitas tulang.

53
54

Anda mungkin juga menyukai