Anda di halaman 1dari 94

Tugas Profesi Stase Pediatrik

RESPIRATORY SYSTEM

ASFIKSIA

Nama Dosen : Debilly Yuan Boyoh, M. Kep

Frederik Simare-Mare

2153003

UNIVERSITAS ADVENT INDONESIA

2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASFIKSIA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Asfiksia merupakan kondisi dimana bayi tidak bernafas secara spontan dan
teratur sesaat setelah lahir, sehingga dapat menurunkan kadar oksigen dan
meningkatkan karbondioksida dalam darah yang menimbulkan akibat buruk
dalam kehidupan lebih lanjut. Sehingga bila asfiksia tidak segera ditangangi,
akan sangat berpengaruh karena dapat mengakibatkan kerusakan otak dan
kematian (Aminah, 2009).

2. Epidemiologi
Di Indonesia, angka kejadian asfiksia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran
hidup, secara keseluruhan 110.000 neonatus meninggal setiap tahun karena
asfiksia (Marwiyah, 2016).

3. Klasifikasi
1) Asfiksia Berat (nilai APGAR 0–3)
Didapatkan frekuensi jantung <100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis.
2) Asfiksia Sedang (nilai APGAR 4–6)
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai nayi dapat kembali
bernafas normal.
3) Bayi normal atau asfiksia ringan (nilai APGAR 7– 9)

4. Etiologi
Hipoksia janin yang dapat menyebabkan asfiksia neonatum dapat terjadi karena:
a. Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama
anestesi, penyakit jantung sianosis gagal pernafasan, atau keracunan
karbonmonoksida
b. Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi, yang dapat merupakan
komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena cava dan aorta pada
uterus gravid
c. Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya
tetani uterus, yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebih-lebihan
d. Pemisahan plasenta prematur
e. Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau
pembentukan simpul pada tali pusat
f. Vasokonstriksi pembuluh darah oleh kokain
g. Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca
maturitas

Menurut Departemen Kesehatan RI (2009) dalam Sari (2017), penyebab asfiksia


dibagi menjadi beberapa faktor:
1. Factor ibu
a. Preeklamsia dan eklamsia.
b.Perdarahan abnormal (plasenta prervia atau solutio plasenta).
c. Partus lama atau partus macet.
d.Demam selama persalinan.
e. Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV).
f. Kehamilan post matur.

g.Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.


h.Gravida empat atau lebih.

2. Faktor Bayi
a.Bayi Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan).
b.Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ektraksi vakum, porsef).
c.Kelainan kongenital.
d.Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

3. Faktor Tali Pusat


a. Lilitan tali pusat.
b.Tali pusat pendek.
c. Simpul tali pusat.
d.Prolapsus tali pusat.
5. Tanda dan Gejala
a. Asfiksia ringan
1). Takipnea dengan napas >60x/menit
2). Bayi tampak sianosis
3). Adanya retraksi sela iga
4). Bayi merintih
5). Adanya pernapasan cuping hidung
6). Bayi kurang aktif
7). Dari pemeriksaan auskultasi deperoleh hasil ronchi, rales, dan wheezing
positif

b. Asfiksia sedang
1). Frekuensi jantung menurun menjadi 60-80 kali permenit.
2). Usaha napas lambat
3). Adanya pernapasan cuping hidung
4). Adanya retraksi sela iga
5). Tonus otot dalam keadaan baik/lemah
6). Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan namun
tampak lemah
7). Bayi tampak sianosis
8). Tidak terjadi kekurangn oksigen yang bermakna selama proses persalinan

c. Asfiksia berat
1). Frekuensi jantung kecil, yaitu <40x/menit
2). Tidak ada usaha na Adanya retraksi sela igaas
3). Tonus otot lemah bahkan hamper tidak ada
4). Bayi tidak dapit memberikan reaksi jika diberi rangsangan
5). Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu
6). Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah
persalinan.

6. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari factor ibu, factor plasenta, factor janin
dan neonatus, serta factor persalinan. Apablia janin kekurangan O2 dan CO2
bertambah, maka timbulah rangsangan terhadap saraf vagus sehingga bunyi
jantung janin menjadi lambat. Namun jika berlangsung terus maka vagus tidak
dapat dipengaruhi lagi, sehingga denjut jantung menjadi ireguler dan
menghilang.
Sehingga janin akan mengadakan pernafasan intrauterine dan ditemukan
banyak air ketuban dan meconium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi
asfiksia. Apabila asfiksia berlanjut terus maka bayi dalam kondisi gawat, bayi
tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan.
PATHWAY ASFIKSIA

Persalinan lama, lilitan tali Faktor lain: obat-


pusat, presentasi janin obatan narkotika

ASFIKSIA

Janin kekurangan O2& Kadar Bersihan jalan nafas


Paru-paru terisi cairan
tidakefektif
CO2 meningkat

Gangguan metabolism &


Nafas cepat Suplai O2 ke Paru perubahan asam basa
menurun

Asidosis respiratorik
Apneu Kerusakan otak

Gangguan perfusi
ventilasi
Resiko cidera Kematian bayi

Nafas cuping hidung,


sianosis, hipoksia

DJJ & TD menurun Proses keluarga


terhenti
Gangguan Pertukaran
gas

Ketidakefektifan pola Janin tidak bereaksi


napas terhadap rangsangan

Resiko syndrome
kematian bayi
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Denyut jantung janin: Frekeunsi denyut jantung janin normal antara120 -
160 kali per menit. Bila frekuensi DJJ turun sampai di bawah 100 per menit
di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda
bahaya.
b. Mekonium di dalam air ketuban: Mekonium pada presentasi kepala
menunjukkan adanya gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan
kewaspadaan.
c. Pemeriksaan pH darah janin: Dengan menggunakan amnioskop yang
dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan
diambil contoh darah janin, darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal
itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

8. Penatalaksanaan Medis
a. Langkah awal
1). Mencegah kehilangan panas, termasuk menyiapkan tempat yang kering
dan hangat untuk melakukan pertolongan.
2). Memposisikan bayi dengan baik, (kepala bayi setengah
tengadah/sedikit ekstensi atau mengganjal bahu bayi dengan kain)
3). Bersihkan jalan nafas dengan alat penghisap yang tersedia dengan
ketentuan sebagai berikut :
 Bila air ketuban jernih (tidak bercampur mekonium), hisap lendir
pada mulut baru pada hidung.
 Bila air ketuban bercampur dengan mekonium, mulai mengisap
lendir setelah kepala lahir (berhenti seberi tar untuk menghisap
lendir di mulut dan hidung). Bila bayi menangis, nafas teratur,
lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi mengalami depresi,
tidak menangis, lakukan upaya maksimal untuk membersihkan jalan
nafas dengan jalan membuka mulut lebar-lebar dan menghisap lendir
lebih dalam secara hati-hati.
 Menilai bayi dengan melihat usaha nafas, denyut jari tung dan warna
kulit kemerahan, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi
tidak menangis atau megap-megap, warna kulit biru atau pucat
denyut jari tung kurang dan 100 xlme4it, lanjutkan langkah
resusitasi.

b. Langkah resusitasi
1). Sebelumnya periksa dan lakukan bahwa alat resusitasi (baton resusitasi
dan sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi baik (lakukan test
untuk baton dan sungkup muka)
2). Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memegang atau
memeriksa bayi
3). Selimuti bayi dengan kain yang kering dan hangat kecuali muka dan
dada bagian atas, kemudian letakkan pada alas dan lingkungan yang
hangat.
4). Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala berada dalam posisi
tengadah
5). Letakkan sungkup melingkupi dagu, hidung dan mulut sehingga
terbentuk
6). semacam tautan sungkup dan wajah.
7). Tentukan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan semua jari
tangan (tergantung pada ukuran balon resusitasi)
8). Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi sebanyak dua
kali dan periksa gerakan dinding dada
9). Bila pertautan baik ( tidak bocor) dan dinding dada mengembang maka
lakukan ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tidak ada atau
tersedia oksigen guna udara ruangan)
10). Perhatikan kecepatai ventilasi sekitar 40 kali per 60 detik, dengan
tekanan yang tepat sambil melihat gerakan dada (naik turun) selama
ventilasi
11). Bila dinding dada tidak naik-turun dengan baik berarti ventilasi berjalan
secara adekuat.
12). Bila dinding dada tidak naik, periksa ulang dan betulkan posisi bayi
atau terjadi kebocoran lekatan atau tekanan ventilasi kurang
Lakukan ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik kemudian lakukan
penilaian segera tentang upaya bernafas spontan dan warna kulit:
 Bila frekwensi nafas normal (30-60 x/menit), hentikan ventilasi,
lakukan kontak kulit ibu-bayi, lakukan asuhan normal bayi barn lahir
(menjaga bayi tetap hangat, mulai memberikan ASI dm1 dan
mencegah infeksi dan imunisasi)
 Bila bayi belum bernafas spontan ulangi lagi ventilasi selama 2 x 30
detik atau 60 detik kemudian lakukan penilaian ulang.
 Bila frekwensi nafas menjadi normal (30-60 x/menit) hentikan
ventilasi lakukan kontak kulit it lakukan asuhan normal bayi barn
lahir.
 Bila bayi bernafas, tetapi terlihat retraksi dinding dada, lakukan
ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tersedia)
 Bila bayi tidak bernafas, megap-megap, teruskan bantuan pernafasan
dengan ventilasi.
 Lakukan penilaian setiap 30 detik dengan menilai usaha bernafas
denyut jari tung dan warna kulit
 Jika bayi tidak bernafas secara teratur setelah ventilasi 2-3 menit,
rujuk ke fasilitas pelayanan perawatan bayi resiko tinggi.
 Jika tidak ada nafas sama sekali dan tidak ada perbaikan frekwensi
denyut jari tung bayi setelah ventilasi selama 20 menit, hentikan
ventilasi, bayi dinyatakan meninggal (jelaskan kepada keluarga
bahwa upaya pertolongan gagal) dan beri dukungan emosional pada
keluarga.

9. Komplikasi
Meliputi berbagai organ yaitu :
a. Edema dan perdarahan otak
b. Anuria atau oliguria
c. Kejang
d. Koma
10. ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA
A. PENGKAJIAN
1.    Biodata
Terdiri dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak
keberapa, jumlah saudara dan identitas orang tua. Yang lebih ditekankan
pada umur bayi karena berkaitan dengan diagnosa Asfiksia Neonatorum.
2.   Keluhan Utama
Pada klien dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak nafas
3.   Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan, apakah spontan, premature, aterm, letak
bayi belakang kaki atau sungsang
4.   Kebutuhan dasar
a. Pola Nutrisi
Pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral, karena organ
tubuh terutama lambung belum sempurna, selain itu juga bertujuan
untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia
b. Pola Eliminasi
Umumnya klien mengalami gangguan BAB karena organ tubuh
terutama pencernaan belum sempurna
c. Kebersihan diri
Perawat dan keluarga pasien harus menjaga kebersihan pasien,
terutama saat melakukan eliminasi harus diganti popoknya
d. Pola tidur
Biasanya istirahat tidur kurang karena sesak nafas
5.   Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak
nafas, pergerakan tremor, reflek tendon hyperaktif dan ini terjadi pada
stadium pertama.
b. Tanda-tanda Vital
Pada umunya terjadi peningkatan respirasi
c. Kulit
Pada kulit biasanya terdapat sianosis
d. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala bukit, fontanela mayor dan minor masih
cekung, sutura belum menutup dan kelihatan masih bergerak
e. Mata
Pada pupil terjadi miosis saat diberikan cahaya
f. Hidung
Yang paling sering didapatkan adalah didapatkan adanya pernafasan
cuping hidung.
g. Dada
Pada dada biasanya ditemukan pernafasan yang irregular dan
frekwensi pernafasan yang cepat
h. Neurology / reflek
Reflek Morrow : Kaget bila dikejutkan (tangan menggenggam)

B. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan ekspansi
yang kurang adekuat
2) Bersihan jalan Nafas Tidak Efektif b/d obstruksi lendir
3) Resiko tinggi infeksi & cedera b/d anomaly kongenital
4) Hipertermi berhubungan dengan transisi lingkungan ekstra uterin
neonatus

C. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Keperawatan Rasional


Keperawatan Hasil
1. Gangguan Setelah dilakukan 1. Berikan oksigenasi sesuai 1. Mengatasi dispneu,
pemenuhan tindakan keperawatan kebutuhan dan mencegah edema
kebutuhan oksigen selama 1 X 24 jam 2. Atur kepala dengan posisi paru
berhubungan kebutuhan O2 terpenuhi ekstensi 2. Melonggarkan jalan
dengan ekspansi dengan kriteria tidak ada 3. Batasi intake per oral napas
yang kurang pernafasan cuping 4. Kolaborasi dengan dokter 3. Mencegah aspirasi
adekuat hidung dan tidak untuk pemeriksaan AGD dan 4. Perubahan AGD dapat
sianosis. pemakaian alat bantu napas mencetuskan disritmia
5. Auskultasi jalan napas jantung
untuk mengetahui adanya 5. Mengevaluasi
penurunan ventilasi keefekttifan pola napas
6. Pantau status pernapasan pasien
dan oksigenasi sesuai 6. Meningkatkan kadar
kebutuhan oksigen yang
bersirkulasi
2. Bersihan jalan Setelah dilakukan 1. Tentukan kebutuhan suction 1. Pengumpulan data
Nafas Tidak tindakan keperawatan 2. Auskultasi suara nafas untuk perawatan optimal
Efektif b/d diharapkan jalan napas sebelum dan sesudah 2. Membantu
obstruksi lendir lancar dengan kriteria suction mengevaluasi
hasil: 3. Monitor status oksigenasi keefektifan upaya bantu
Menunjukkan jalan dan hemodinamik segera, klien
nafas dengan suara yang sebelum, selama, dan 3. Mengetahui efektifitas
bersih, tidak ada sesudah suction suction
sianosis dan dispneu.
3. Resiko tinggi Setelah dilakukan 1. Pertahankan untuk 1. Mencegah infeksi
infeksi dan cedera tindakan keperawatan memberikan tindakan yang nosokomial
b/d anomaly diharapkan resiko bersih dan steril kepada 2. Mencegah keadaan
kongenital infeksi dapat dicegah pasien yang lebih buruk pada
dengan kriteria hasil: 2. Lakukan pengajian fisik pertukem bayi
-Bebas dari infeksi & secara rutin 3. Meningkatkan
cedera/komplikasi. 3. Ajarkan keluarga tentang pengetahuan keluarga
-Mendeskripsikan tanda dan gejala infeksi dan dalam deteksi awal suatu
aktivitas yang tepat dari melaporkannya pada tenaga penyakit
level perkembangan kesehatan 4. Memberikan imunitas
anak 4. Berikan agen imunisasi yang baik pada bayi
-Mendeskripsikan teknik sesuai indikasi
pertolongan pertama

4. Hipertermi Setelah dilakukan 1. Beri pakaian tipis yang 1. Mencegah penguapan


berhubungan tindakan keperawatan menyerap keringat berlebihan
dengan transisi selama 1 X 24 jam, suhu 2. Beri kompres hangat 2. Menurunkan suhu
lingkungan ekstra tubuh kembali normal 3. Hindari pasien dari tubuh
uterin neonatus dengan kriteria suhu kedinginan dan tempatkan 3. Menjaga suhu tubuh
tubuh antara 36.5°C – pada lingkungan hangat dalam batas normal
37.4°C, kelembaban 4. Monitor gejala yang 4. Mendeteksi dini
cukup berhubungan dengan perubahan yang terjadi
hipotermi, missal; fatique, guna mencegah
apatis, perubahan warna kulit komplikasi
5. Monitor TTV 5. Peningkatan TTV
6. Kolaborasi medis untuk dapat menunjukkan
pemberian obat antipiretik adanya tanda-tanda
infeksi
6. Mendukung
perawatan dan
penatalaksanaan medis

D. Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
E. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan
keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat
kemandirian pasien dalam kehidupan sehari- hari dan tingkat kemajuan kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
SOP ASFIKSIA
PENANGANAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU
Sumber: Ikatan Bidan Indonesia
LAHIR

No, Dokumen : SOP / PMB / 04 / I / 19


SOP No. Revisi : 0
Tanggal Terbit :
Halaman : 1/4
NAMA
PRAKTI HANIE IMELDA S.
PENANGGUNG JAWAB PMB
K TANDA TANGAN
MANDIR PENANGGUNG JAWAB PMB
I BIDAN
1. Pengertian Penangan asfiksia pada bayi baru lahir adalah suatu tindakan untuk menangani
kegagalan nafas secara spontan dan teratur pada bayi
segera setelahl ahir
2. Tujuan Petugas mampu mengambil tindakan yang tepat dan melakukan
penyelamatan jiwa bayi baru lahir yang mengalami asfiksia
3. Kebijakan Permenkes No.28 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan ijin dan
praktik bidan
4. Referensi Buku Modul Poned, Buku Acuan Nasional Yankes Maternal dan
Neonatal ,Jobaids Program Emas
5. Prosedur 1. Setelah bayi lahir,Petugas potong tali pusat dengan cepat, tidak diikat
dan tidak dibubuhi apapun, dilanjutkan dengan langkah awal
2. Petugas meletakkan bayi di meja resusitasi
- Bila bayi bernafas spontan,LDJ> 100 X/mnt dan tonus otot
baik, lakukan perawatan BBL normal
- Petugas memposisikan kepala bayi pada posisi setengah menghidu
yaitu kepala sedikit ekstensi dengan mengatur tebal kain ganjal bahu
yang telah disiapkan
- Bila bayi tetap tidak bernafas / megap – megap / LDJ < 100 x/mnt,
tonus otot lemah/keple maka lakukan ventilasi tekanan positif
( VTP ) dengan CPAP selama 30 detik konsentrasi O2, 30 %
tekanan udara 7 mmHg dan aliran O2 4 liter/mnt
- Lakukan penilaian terhadap LDJ dan pengembangan dada
- Bila dada tidak mengembang, evaluasi : posisi kepala,obstruksi
/ sumbatan jalan nafas, kebocoran sungkup, tekanan puncak inspirasi
cukup / tidak
- Bila dada mengembang adequate namun LDJ < 60x/mnt : VTP (O2
100%) + kompresi dada ( 3 kompresi tiap 1 nafas ) yang dilakukan 2
X 30 detik
3. Petugas mengobservasi LDJ,usaha nafasd an tonus otot tiap 30 detik
- Jika LDJ < 60/mnt, pertimbangkan pemberian obat dan cairan
intra vena melalui infuse umbilical (Lihat SOP pemasangan
infus umbilical )
- Epineprin 1 : 10.000 ( sediaan yang ada 1 : 1000,,ambil 0,1
ml epineprin dioplos dengan NaCl 0,9 ml sehingga menjadi
1 ml ) dengan dosis 0,1 sampai 0,3 ml / kg BB, dimulai dari
dosis terkecil
4. Petugas mengevaluasi usaha nafas, LDJ dan tonus otot
- Bila usaha nafas baik,LDJ 100 X/mnt dan tonus otot
baik, lanjutkan perawatan BBL pasca resusitasi
- Bila usaha nafas spontan tidak terjadi, LDJ , 60 X /mnt
dan tonus otot lemah, lakukan rujukan dengan CPAP
terpasang dan metode kangguru
- Bila bayi tidak bias dirujuk dan tidak bias bernafas
hentikan ventilasi setelah 20 mnt, konseling dukungan
emosional,
pencatatan bayi meninggal.
6. Unit Terkait 1. Pendaftaran
2. Bidan Mitra
3. Dokter Konsulen
4. Pelayanan obat

7. Rekaman historis perubahan

N TGL. MULAI
YANG DIRUBAH ISI PERUBAHAN
O DIBERLAKUKA
N

DIAGRAM ALUR PENANGANAN ASFIKSIA PADA


BAYI BARU LAHIR
LANGKAH AWAL ( dilakukan dalam 30 detik )
1. Jaga bayi hangat
2. Atur posisi bayi
3. Isap lendir
4. Keringkan dan rangsang taktil
5. Reposisi
6. Penilaian apakah bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur?

Tidak
Ya
VENTILASI
Pasang sungkup,perhatikan lekatan
Ventilasi 2 X,amati gerakan dada bayi
Bila dada bayi mengembang,lakukan ventilasi 10 X dalam 30
Asuhanpascaresusitasi detik
Jaga agar bayi tetap Penilaian apakah bayi menangis / bernafas spontan/ teratur?
hangat Lakukan LDJ> 100 x/mnt?
pemantauan Konseling
Pencatatan

Lanjutkan ventilasi,hentikan tiap 30 detik


Penilaian Penilaian apakah bayi
menangis / bernafas spontan/ teratur?LDJ>
100 x/mnt?

ISU TERKAIT ASFIKSIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN EVUDENCE


BASED PRACTICE (EBP) KEBIDANAN
“PENGARUH HYPNOBIRTHING TERHADAP KEJADIAN ASKFIKSIA
BAYI BARU LAHIR”
Sumber: (Simanungkalit & Purnawati, 2020)

 Rasa takut dan cemas berlebihan menjelang persalinan pada ibu hamil akan
berdampak buruk, sehingga dapat memicu terjadinya rangsangan kontraksi Rahim.
Kondisi tersebut juga dapat mengakibatkan tekanan darah yang meningkat
sehingga dapat menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya asfiksia pada bayi
baru lahir. Hipertensi menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter
sehingga oksigen ke bayi menjadi berkurang, sehingga menimbulkan asfiksia pada
bayi baru lahir.
 Salah satu upaya untuk menanggulangi terjadinya asfiksia adalah dengan metode
nonfarmakologi, di antaranya ialah hypnobirthing.
 Hypnobirthing sering juga disebut dengan hypnosis persalinan, yaitu latihan
penanaman sugesti pada alam bawah sadar ibu, untuk mendukung alam sadar yang
mengendalikan tindakan ibu dalam proses persalinan. Hypnobirthing adalah
metode relaksasi yang mendasarkan pada keyakinan bahwa ibu hamil bisa
mengalami persalinan melalui insting dan memberikan sugesti bahwa melahirkan
itu nikmat. Hypnobirthing diberikan saat ibu memasuki proses kala I.
 Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya bimbingan hypnosis, mampu
memberikan keamanan dan kenyamanan pada ibu bersalin sehingga dapat
mengatur pernafasan secara sempurna yang akhirnya janin dapat kebutuhan
oksigen yang cukup.
 Sehingga dikarenakan adanya kenyamanan yang dirasakan ketika ibu bersalin
menunjukkan penilaian awal pada bayi baru lahir yang sangat baik yaitu bayi
umumnya sangat kuat, tonus otot sangat kuat dan warna kulit kemerahan. Dari
indikator tersebut dapat dipahami bahwa sebagian besar bayi tidak mengalami
asfiksia.
 Pada ibu hamil yang diberikan Hypnobirthing biasanya lebih sedikit permintaan
untuk obat-obatan, laporan lebih sedikit rasa sakit, dan bayi mereka menunjukkan
skala yang lebih tinggi pada penilaian awal bayi baru lahir. Bayi Hypnobirthing
cenderung lahir lebih normal dan tenang, dengan penilaian awal bayi baru lahir
baik, dan dilaporkan makan dan tidur bayi lebih baik dari pada bayi yang memiliki
kelahiran dengan bantuan medis
 Saran : Diharapkan ibu mau melakukan hypnobirting pada saat kehamilan agar
ibu bersalin dapat merasakan kenyamanan dan ketenangan ketika menghadapi
proses persalinan sehingga penilaian awal bayi baru lahir yang baik dan dapat
membantu menurunkan angka kejadian asfiksia pada bayi baru lahir.
 Kesimpulan : Ada pengaruh pemberian terapi hypnobirthing terhadap kejadian
dan pada ibu bersalin yang diberikan hypnobirthing dari pada yang tidak diberikan
hypnobirthing.

DAFTAR PUSTAKA
Aminah, F. (2009). Kejadian Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. 3(1), 183–192.
Marwiyah, N. (2016). HUBUNGAN PENYAKIT KEHAMILAN DAN JENIS
PERSALINAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM DI RSUD dr
DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG. NurseLine Journal, 1(2), 8.
Sari, A. A. N. (2017). Asuhan Keperawatan pada Klien Asfiksia Dengan Masalah
Ketidakefektifan Pola Nafas. Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi Dengan Caput
Succedaneum Di Rsud Syekh Yusuf Gowa Tahun, 4, 9–15.
Simanungkalit, H. M., & Purnawati, L. (2020). Hypnobirthing Terhadap penilaian awal bayi
baru lahir di praktik mandiri bidan “b” kota palangka raya. Poltekkes Kemenkes Palangka
Raya,11(1), 7–16.
Tugas Profesi Stase Pediatrik

BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR)

Nama Dosen : Debilly Yuan Boyoh, M. Kep

Frederik Simare-Mare

2153003

UNIVERSITAS ADVENT INDONESIA

2021
LAPORAN PENDAHULUAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat badan
kurang dari 2500 gram tanpa memperhatikan usia gestasi. Bayi BBLR biasanya
terjadi pada bayi kurang bulan (kurang dari 37 minggu usia kehamilan) atau pada
usia cukup bulan (intrauterine growth retriciton) (DEWI, 2018).

2. Epidemiologi
BBLR berkontribusi sebesar 60-80% terhadap kematian nasional. Prevalensi
kejadian BBLR di dunia yaitu 20 juta (15,5%) setiap tahunnya, dan Negara
berkembang menjadi contributor terbesar yaitu sekitar 96,5%. Indonesia
menduduki peringkat ke-9 tertinggi di dunia, yaitu sebesar lebih dari 15,5% dari
kelahiran bayi setiap tahunnya (WHO, 2018) (Perwiraningtyas et al., 2020).

3. Klasifikasi
Ada beberapa pengelompokan dalam BBLR :
1) Prematuritas murni
Bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat
badan sesuai dengan gestasi atau yang disebut neonates kurang bulan sesuai
dengan masa kehamilan.
2) Baby small for gestational age (SGA)
Berat badan lahir tidak sesuai dengan masa kehamilan. SGA terdiri dari tiga
jenis.
a. Simetris (intrauterus for gestational age)
Gangguan nutrisi pada awal kehamilan dan dalam jangka waktu yang
lama.
b. Asimetris (intrauterus growth retardation)
Terjadi defisit pada fase akhir kehamilan.
c.Dismaturitas
Bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa
gestasi, dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri, serta
merupakan bayi kecil untuk masa kehamilan.
4. Etiologi
a. Faktor Ibu :
1) Penyakit : hal yang berhubungan dengan kehamilan seperti toksemia,
gravidarum,pendarahan antepartum,trauma fisik dan psikologis,infeksi
akut,serta kelainan kardiovaskuler
2) Usia ibu: angka kejadian BBLR tertinggi ialah pada usia ibu dibawah
20 tahun dan diatas 35 tahun
3) Jarak antara kehamilan sebelumnya pendek yaitu kurang dari 1 tahun
4) Memiliki riwayat BBLR sebelumnya
5) Memiliki riwayat BBLR sebelumnya
6) Kondisi ibu saat hamil : peningkatan berat badan ibu yang tidak
adekuat dan ibu yang perokok.
b. Faktor Janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian bblr antara lain :
kehamilan ganda,ketuban pecah dini,cacat bawaan,kelainan kromosom,infeksi
(missal : Rubella dan Sifilis) dan hidramnion/polihidramnion.
c. Faktor ekonomi
1) Kejadian tertinggi biasanya pada keadaan sosial ekonomi yang rendah
2) Gizi yang kurang
d. Faktor lingkungan
1) Terkena Radiasi
2) Terpapar Zat beracun
5. Tanda dan Gejala
a. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang
dari 45 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm, dan lingkar
kepala kurang dari 33cm.

b. Masa gestasi kurang dari 37 minggu.


c. Kulit tipis, transparan, lanugo banyak, dan lemak subkutan
amat sedikit.
d. Osofikasi tengkorak sedikit serta ubun-ubun dan sutura lebar.
e. Genitalia imatur, labia minora belum tertutup dengan labia
miyora.
f. Pergerakan kurang dan lemah, tangis lemah, pernafasan
belum teratur dan sering mendapatkan serangan apnea.
g. Lebih banyak tidur dari pada bangun, reflek menghisap dan
menelan belum sempurna.
6. Patofisiologi
Salah satu patofisiologi dari BBLR yaitu asupan gizi yang kurang pada
ibu,ibu hamil yang kemudian secara otomatis juga menyebabkan berat badan
lahir rendah.apabila dilihat dari faktor kehamilan,salah satu etiologinya yaitu
hamil ganda yang mana pada dasarnya janin berkembang dan tumbuh lebih
dari satu,maka nutrisi atau gizi yang mereka peroleh dalam rahim tidak sama
dengan janin tunggal,yang mana pada hamil ganda gizi dan nutrisi yang
didapat dari ibu harus terbagi sehingga kadang salah satu dari janin pada hamil
ganda juga mengalami BBLR.
Kemudian jika dikaji dari faktor janin,salah satu etiologinya yaitu infeksi
dalam rahim yang mana dapat menggangu atau menghambat pertumbuhan
janin dalam rahim yang bisa mengakibatkan BBLR pada bayi (Manggiasih dan
Jaya, 2016).
PATHWAY BBLR
Prematuritas
Dismaturitas

Faktor ibu: Umur (20 th) Faktor placenta: Penyakit Faktor janin: Kelainan
Paritas, Ras, Infertilitas, vaskuler, kehamilan ganda, kromosom, Malformasi, Retardasi pertumbuhan
Riwayat kehamilan tak baik, TORCH, kehamilan intra uterin
Rahim abnormal,

Bayi lahir premature Berat badan <2500


(BBLR/BBLSR) gram

Permukaan tubuh relative Prematuritas


lebih luas

Fungsi organ organ belum


Kehilangan panas
Baikbaik baik

Resiko infeksi

Resiko Reflek menelan belum


ketidakseimbangan sempurna

Pertumbuhan dinding dada


Ketidakseimbangan nutrisi belum sempurna
kurang dari kebutuhan tubuh Vaskuler paru imatur

Ketidakefektifan pola
nafas

Sumber: NANDA Jilid 2 (2015)


7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Jumlah darah lengkap: penurunan pada Hb (normal: 12- 24gr/dL), Ht
(normal: 33 -38% ) mungkin dibutuhkan.
b. Dektrosik: menyatakan hipoglikemi (normal: 40 mg/dL).
c. Analisis Gas Darah (AGD): menentukan derajat keparahan distres
pernafasan bila ada.

d. Elektrolit serum: mengkaji adanya hipokalsemia.


e. Bilirubin: mungkin meningkat pada polisitemia.
f. Urinalisis: mengkaji homeostatis.
g. Jumlah trombosit (normal: 200000 - 475000 mikroliter): Trombositopenia
mungkin menyertai sepsis.
h. EKG, EEG, USG, angiografi: defek kongenital atau komplikasi.

8. Penatalaksanaan Medis
Perawatan pada bayi dengan berat badan lahir rendah menurut Nurafif & Hardi
(2016):
a. Pengaturan suhu

Untuk mencegah hipotermi,diperlukan lingkungan yang cukup hangat dan


istirahat kosumsi O2 yang cukup.bila dirawat dalam inkubator maka suhunya
untuk bayi dengan BB 2 kg adalah 35 ◻ dan untuk bayi dengan BB 2-2,5 kg
adalah 34◻. Bila tidak ada inkubator,pemanasan dapat dilakukan dengan
membungkus bayi dan meletakkan botol-botol hanyat yang dibungkus
dengan handuk atau lampu petromak didekat tidur bayi.bayi dalam inkubator
hanya dipakaikan popok untuk memudahkan pengawasan mengenai keadaan
umum,warna kulit,pernafasan,kejang dan sebagainya sehingga penyakit
dapat dikenali sedini mungkin
b. Pengaturan makanan/nutrisi
Prinsip utama pemberian makanan pada bayi prematur adalah sedikit demi
sedikit secara perlahan-lahan dan hati-hati.pemberian makanan dini berupa
glukosa,ASI atau PASI mengurangi resiko hipoglikemia,dehidrasi atau
hiperbilirubinia.bayi yang daya isapnya baik dan tanpa sakit berat dapat
dicoba minum melalui mulut.umumnya bayi dengan berat kurang dari 1500
gram memerlukan minum pertama dengan pipa lambung karena belum
adanya koordinasi antara gerakan menghisap dengan menelan.
Dianjurkan untuk minum pertama sebanyak 1 ml larutan steril untuk bayi
dengan berat kurang dari 1000 gram,2-4 ml untuk bayi dengan berat antara
1000-1500 gram dan 5-10 ml untuk bayi dengan berat lebih dari 1500 gram.
Apabila dengan pemberian makanan pertama bayi tidak mengalami
kesukaran,pemberian ASI/PASI dapat dilanjutkan dalam waktu 12-48 jam.
c. Mencegah infeksi
Bayi premature mudah terserang infeksi.hal ini disebabkan karena daya tubuh
bayi terhadap infeks kurang antibody relatif belum terbentuk dan daya
fagositosis serta reaksi terhadap peradangan belum baik.prosedur
pencegahan infeksi adalah sebagai berikut :
1) Mencuci tangan sampai ke siku dengan sabun dan air mengalir selama
2 menit sebelum masuk keruangan rawat bayi.
2) Mencuci tangan dengan zat anti septic/ sabun sebelum dan sesudah
memegang seorang bayi
3) Mengurangi kontaminasi pada makanan bayi dan semua benda yang
berhubungan dengan bayi
4) Membatasi jumlah bayi dalam satu ruangan
5) Melarang petugas yang menderita infeksi masuk ke ruang bayi.

9. Komplikasi
a.Sindrom aspirasi mekonium
Sindrom aspirasi mekonium adalah gangguan pernapasan pada
bayi baru lahir yang disebabkan oleh masuknya mekonium
(tinja bayi) ke paru-paru sebelum atau sekitar waktu kelahiran
(menyebabkan kesulitan bernafas pada bayi).
b. Hipoglikemi simptomatik
Hipoglikemi adalah kondisi ketidaknormalan kadar glokosa
serum yang rendah. Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai
kadar glukosa dibawah 40 mg/dL. Hipoglikemi sering terjadi
pada BBLR, karena cadangan glukosa rendah ,terutama pada
laki-laki.
c.Penyakit membran hialin yang disebabkan karena membran
surfaktan belum sempurna atau cukup, sehingga alveoli kolaps.
Sesudah bayi mengadakan aspirasi, tidak tertinggal udara dalam
alveoli, sehingga dibutuhkan tenaga negative yang tinggi untuk
pernafasan berikutnya.
d. Asfiksia neonatorum
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang
gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
e.Hiperbilirubinemia (gangguan pertumbuhan hati)
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah
meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler,
sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning.
10. ASUHAN KEPERAWATAN BBLR
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, pendidikan, alamat,
nama ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, agama, alamat, suku
bangsa.
2. Keluhan utama
Untuk mengetahui alasan utama mengapa klien mencari pertolongan pada
tenaga professional.
3. Riwayat penyakit sekarang
Untuk mengetahui lebih detail hal yang berhubungan dengan keluhan
utama.
a. Munculnya keluhan
Tanggal munculnya keluhan, waktu munculnya keluhan
(gradual/tiba-tiba), presipitasi/ predisposisi (perubahan emosional,
kelelahan, kehamilan, lingkungan, toksin/allergen, infeksi).
b. Karakteristik
Karakter (kualitas, kuantitas, konsistensi), loksai dan radiasi, timing
(terus menerus/intermiten, durasi setiap kalinya), hal-hal yang
meningkatkan/menghilangkan/mengurangi keluhan, gejala-gejala
lain yang berhubungan.
c. Masalah sejak muncul keluhan
Perkembangannya membaik, memburuk, atau tidak berubah.
4. Riwayat masa lampau
a.Prenatal
Keluhan saat hamil, tempat ANC, kebutuhan nutrisi saat hamil, usia
kehamilan (preterm, aterm, post term), kesehatan saat hamil dan
obat yang diminum.
b. Natal
Tindakan persalinan (normal atau Caesar), tempat bersalin, obat-
obatan yang digunakan.
c.Post natal
Kondisi kesehatan, apgar score, Berat badan lahir, Panjang badan
lahir, anomaly kongenital.
d.Penyakit waktu kecil
e.Pernah dirawat di rumah sakit
Penyakit yang diderita, respon emosional
f. Obat-obat yang digunakan (pernah/sedang digunakan)
Nama obat dan dosis, schedule, durasi, alasan penggunaan obat.
g.Allergi

Reaksi yang tidak biasa terhadap makanan, binatang, obat, tanaman,


produk rumah tangga.
h.Imunisasi ( imunisasi yang pernah didapat, usia dan reaksi waktu
imunisasi)
5. Riwayat keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh keluarga (baik
berhubungan / tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita klien),
gambar genogram dengan ketentuan yang berlaku (symbol dan 3
generasi).
6. Riwayat sosial
a.Yang mengasuh anak dan alasannya
b. Pembawa
an anak secara umum (periang, pemalu, pendiam, dan kebiasaan
menghisap jari, membawa gombal, ngompol)
c.Lingkungan rumah (kebersihan, keamanan, ancaman, keselamatan
anak, ventilasi, letak barang-barang)
7. Keadaan kesehatan saat ini
Diagnosis medis, tindakan operasi, obat-obatan, tindakan keperawatan,
hasil laboratorium, data tambahan.
8. Pengkajian pola fungsi Gordon
a. Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
Status kesehatan sejak lahir, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
imunisasi, penyakit yang menyebabkan anak absen dari sekolah,
praktek pencegahan kecelakaan (pakaian, menukar popok,dll),
kebiasaan merokok orang tua, keamanan tempat bermain anak dari
kendaraan, praktek keamanan orang tua (produk rumah tangga,
menyimpan obat-obatan,dll)
b. Nutrisi metabolik
Pemberian ASI / PASI, jumlah minum, kekuatan menghisap,
makanan yang disukai / tidak disukai, makanan dan minuman selama
24 jam, adakah makanan tambahan/vitamin, kebiasaan makan, BB
lahir dan BB saat ini, masalah dikulit:rash, lesi,dll.
c. Pola eliminasi
Pola defekasi (kesulitan, kebiasaan, ada darah/tidak), mengganti
pakaian dalam / diapers (bayi), pola eliminasi urin (frekuensi ganti
popok basah/hari, kekuatan keluarnya urin, bau, warna)
d. Aktivitas dan pola latihan
Rutinitas mandi (kapan, bagaimana, dimana, sabun yang digunakan),
kebersihan sehari-hari, aktivitas sehari-hari (jenis permainan, lama,
teman bermain, penampilan anak saat bermain, dll), tingkat aktivitas
anak/bayi secara umum, tolerans, persepsi terhadap kekuatan,
kemampuan kemandirian anak (mandi, makan, toileting, berpakaian,
dll.)
e. Pola istirahat tidur
Pola istirahat/tidur anak (jumlahnya), perubahan pola istirahat, mimpi
buruk, nokturia, posisi tidur anak, gerakan tubuh anak.
f. Pola kognitif-persepsi
Responsive secara umum anak, respons anak untuk bicara, suara, objek
sentuhan, apakah anak mengikuti objek dengan matanya, respon untuk
meraih mainan, vocal suara, pola bicara kata-kata, kalimat,
menggunakan stimulasi/tidak, kemampuan untuk mengatakan nama,
waktu, alamat, nomor telepon, kemampuan anak untuk
mengidentifikasi kebutuhan; lapar, haus, nyeri, tidak nyaman.
g. Persepsi diri – pola konsep diri

Status mood bayi / anak (irritabilitas), pemahaman anak terhadap


identitas diri, kompetensi, banyak/tidaknya teman.
h. Pola peran – hubungan
Struktur keluarga, masalah/stressor keluarga, interaksi antara anggota
keluarga dan anak, respon anak/bayi terhadap perpisahan,
ketergantungan anak dengan orang tua.
i. Sexualitas
Perasaan sebagai laki-laki / perempuan (gender), pertanyaan sekitar
sexuality bagaimana respon orang tua.
j. Koping – pola toleransi stress
Apa yang menyebabkan stress pada anak, tingkat stress, toleransi stress,
pola penanganan masalah, keyakinan agama.
k. Nilai – pola keyakinan
Perkembangan moral anak, pemilihan perilaku, komitmen, keyakinan
akan kesehatan, keyakinan agama.
9. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran, postur tubuh, fatigue
b. Tanda – tanda vital
Tekanan darah. Nadi, respirasi, suhu
c. Ukuran anthropometric
Berat badan, panjang badan, lingkar kepala
d. Mata
Konjungtiva, sclera, kelainan mata

e. Hidung
Kebersihan, kelainan
f. Mulut
Kebersihan, bau, mukosa mulut, stomatitis
g. Telinga
Fungsi pendengaran, kelainan, kebersihan
h. Dada
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (jantung, paru-paru)
i. Abdomen
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
j. Punggung
Ada/tidak kelainan
k. Genetalia
Kebersihan, terpasang kateter/tidak, kelainan
l. Ekstremitas
Odema, infuse/transfuse, kontraktor, kelainan
m. Kulit
Kebersihan kulit, turgor kulit, lesi, kelainan
10. Pemeriksaan tumbuh kembang
1) Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Kejadian-kejadian penting; pertama kali mengangkat kepala, berguling,
duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata bermakna atau
kalimat, gangguan mental perilaku.
2) Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhan

a. Pengukuran Berat badan


b. Pengukuran Tinggi badan
c. Pengukuran lingkar lengan atas
d. Pengukuran lingkar kepala
e. Kecepatan tumbuh
3) Pelaksanaan DDST
Berdasarkan hasil pengkajian melalui DDST (Denver Development
Screening Test) untuk umur 0 – 6 tahun perkembangan anak di atur
dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan yang
meliputi:
a. Kemandirian dan bergaul
Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan orang lain.
b. Motorik halus
Kemampuan anak untuk menggunakan bagian tubuh tertentu dan
dilakukan oleh otot halus sehingga tidak perlu tenaga, namun perlu
koordinasi yang lebih kompleks.
c. Kognitif dan bahasa
Kemampuan mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendapat
melalui pengucapan kata-kata, kemampuan mengerti dan
memahami perkataan orang lain serta berfikir.
d. Motorik kasar

Kemampuan anak untuk menggunakan dan melibatkan sebagian


besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Tidak efektifnya pola pernafasan
2) Termoregulasi tubuh tidak efektif
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4) Resiko infeksi

C. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)
o keperawatan hasil

(NOC)
1 Tidak efektifnya Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tingkat

pola pernafasan. keperawatan selama 3x24 jam, pernapasan, kedalaman, dan

diharapkan pasien mampu : kemudahan bernafas.

1. Status Pernapasan: Rasional: Membantu

Kepatenan jalan napas. dalam membedakan

2. Status Pernapasan: Ventilasi. periode perputaran

3. Status tanda-tanda vital. pernapasan normal dari

Dengan kriteria hasil : serangan apnetik sejati,

1. Menunjukkan pola pernapasan terutama sering terjadi pada

yang mendukung hasil gas darah gestasi minggu ke-30

dalam parameter atau kisaran 2. Perhatikan pola nafas klien.

normal. Rasional: mengetahui jika

2. Pasien melaporkan bernafas terdapat tanda-tanda yang

dengan nyaman. menyebabkan dispneu.

3. Mendemonstrasikan kemampuan 3. Tentukan apakah klien

untuk melakukan pernapasan dispneu fisiologis atau

dengan pursed lip (mengerutkan psikologis.

bibir) dan pernapasan dapat Rasional: Studi menemukan


terkontrol. bahwa ketika penyebabnya

4. Mengidentifikasi dan adalah fisiologis memiliki tanda

menghindari faktor-faktor spesifik gejala kecemasan dan

yang dapat memperburuk pola kesemutan pada extremitas,

nafas. sedangkan bila dipsneu itu

psikologisl tanda gejalanya

mengi terkait, batuk, dahak, dan

palpitasi.

4. Berikan terapi oksigenasi

(Atur peralatan oksigenasi,

monitor aliran oksigen,

pertahankan posisi pasien).

Rasional: Perbaikan kadar

oksigen dan karbondioksida

dapat meningkatkan funsi

pernapasan.

5. Monitor Tekanan darah, nadi,

suhu, dan Respiration rate

(pernafasan).

Rasional: memantau vital sign

klien.

2 Termoregulasi Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur suhu setiap 2 jam,

tubuh tidak keperawatan selama 3x24 jam, gunakan termometer elektronik

efektif. diharapkan pasien mampu: di ketiak pada bayi di bawah usia


Termoregulasi menjadi efektif 4 minggu.

sesuai dengan perkembangan. Rasional: memantau apakah

Dengan kriteria hasil: adanya peningkatan atau

penurunan suhu tubuh.

1. Dapat mempertahankan suhu 2. Catat apakah ada tanda-tanda

tubuh dalam kisaran normal. hipertermi dan hipotermi.

2. Menjelaskan langkah-langkah Rasional: Hipertermi dengan

yang diperlukan untuk peningkatan laju metabolisme

mempertahankan suhu tubuh agar kebutuhan oksigen dan glukosa

dalam batas normal. serta kehilangan air dapat terjadi

3. Menjelaskan gejala hipotermia bila suhu lingkungan terlalu

atau hipertermia. tinggi.

3. Tingkatkan intake cairan dan


nutrisi.
Rasional: untuk mencegah

terjadinya dehidrasi.

4. Lakukan tepid sponge.


Rasional: dapat menurunkan

suhu tubuh bayi.

3 Perubahan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Perhatikan gejala kekurangan

kurang dari keperawatan selama 3x24 jam gizi termasuk perawakan

kebutuhan tubuh. diharapkan pasien mampu: pendek, lengan kurus dan kaki.

1. Intake nutrien normal. Rasional: sebagai langkah awal

pengkajian untuk melaksanakan


2. Intake makanan dan cairan
normal. intervensi selanjutnya.

2. Perhatikan adanya penurunan


3. Berat badan normal.
berat badan.

4. Massa tubuh normal. Rasional: Mengidentifikasikan

adanya resiko derajat dan resiko


5. Pengukuran biokimia normal.
terhadap pola pertumbuhan. Bayi

Dengan kriteria hasil: SGA (Baby small for gestational

age) dengan kelebihan cairan

1. Berat badan bertambah. ekstrasel yang kemungkinan

kehilangan 15% BB lahir. Bayi


2. Berat badan dalam kisaran
SGA (Baby small for gestational
normal untuk tinggi dan
age) mungkin telah mengalami
usia.
penurunan berat badan dalam
3. Mengenali faktor yang
uterus atau mengalami
berkontribusi terhadap berat badan
penurunan simpanan lemak atau
dibawah normal.
glikogen.
4. Mengidentifikasi
kebutuhan gizi. 3. Kaji kulit apakah kering,

monitor turgor kulit dan


5. Bebas dari kekurangan gizi.
perubahan pigmentasi.

Rasional : untuk mengetahui

adanya tanda-tanda dehidrasi.

4. Berikan makanan yang

terpilih. (sudah dikonsultasikan

dengan ahli

gizi).

Rasional: membantu dalam

rencana diet untuk memenuhi


kebutuhan individual

5. Monitor kalori dan intake

nutrisi.

Rasional: mengawasi masukan

nutrisi dan kalori dalam tubuh.

4 Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji adanya fluktuasi suhu

keperawatan selama 3x24 jam tubuh, letargi, apnea, malas

diharapkan pasien mampu: minum, gelisah dan ikterus.

Terhindar dari resiko infeksi. Rasional: suhu tubuh meningkat

Dengan kriteria hasil: dan nadi cepat mmerupakn awal

1. Pengetahuan: Kontrol infeksi terjadinya infeksi.

Indikador: 2. Kaji riwayat ibu, kondisi bayi

a. Menerangkan cara-cara selama kehamilan, dan epidemi


penyebaran.
infeksi diruang perawatan.
b. Menerangkan faktor-faktor Rasional: mengetahui adanya
yang berkontribusi dengan riwayat infeksi selama
penyebaran. kehamilan.
c. Menjelaskan tanda-tanda dan
gejala. 3 Ambil sampel darah.

Rasional: untuk sampel pada


d. Menjelaskan aktivitas yang
pemeriksaan laboratorium
dapat meningkatkan resistensi
seperti eritrosit, leukosit,
terhadap infeksi.
diferensiasi, dan
2. Status Nutrisi.
immunoglobulin.

Indikator: 4. Upayakan pencegahan infeksi

dari lingkungan. Misalnya : cuci


a. Asupan nutrisi tangan sebelum dan sesudah

memegang bayi.
b. Asupan makanan dan cairan
Rasional: untuk mencegah

c. Energi berpindahnya mikroorganisme

dari jari tangan ke tubuh bayi.


d. Masa tubuh

e. Berat badan
3. Penyembuhan luka: Primer

a. Kulit utuh

b. Berkurangnya drainase purulen

c. Eritema disekitar kulit berkurang

d. Edema disekitar kulit berkurang

e. Suhu kulit tidak meningkat

f. Luka tidak berbau

D. Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
E. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan
keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat
kemandirian pasien dalam kehidupan sehari- hari dan tingkat kemajuan kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
PERAWATAN BAYI BARU
LAHIR DENGAN BBLR
No. Dokumen :
No. Revisi :
SOP Tanggal Terbit : 02-01-2016

Halaman : 1/3

UPT Santoso
PUSKESMAS NIP. 19621010 198501 1
HARAPAN 003

1. Pengertian Kegiatan perawatan yang dilakukan oleh perawat/bidan terhadap


bayi baru lahir cukup bulan dengan berat badan lahir rendah
(2000-2500
gram) di Puskesmas
2. Tujuan - Sebagai acuan dalam melakukan perawatan bayi dengan
berat badan lahir rendah..
- Bayi BBLR dapat dirawat dengan baik di Puskesmas dan ibu
dapat melakukan perawatan BBLR dengan metode kangguru
dirumah
3. Kebijakan Surat Keputusan Kepala UPT Puskesmas Harapan Nomor : 1678 /
PKM.T / TU-01/12.2015 Tentang Jenis Pelayanan Yang Ada di
Puskesmas Harapan
4. Referensi  Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 1, FKUI.
 Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga, Cetakan Kedelapan, Tahun
2006
 Buku Pedoman Asuhan Persalinan Normal, JNKKR-
POGI, Tahun 2008
5. Alat dan  Inkubator
Bahan  Kain pembungkus bayi
 Baju dan popok bayi
 Kain gendong
 Topi bayi
 Sarung tangan bayi
 Baju dewasa yang besar
 Buku laporan harian
 Kartu ibu
 Lembar Persetujuan Tindakan Medis
 Form pengawasan bayi
 Buku kontrol ibu dan bayi
6. Prosedur INSTRUKSI KERJA
1. Jelaskan tindakan yang akan diakukan
2. Cuci tangan secara medis sebelum melakukan tindakan
3. Gosok kedua telapak tangan agar lebih hangat
4. Tidurkan bayi terlentang
5. Keringkan bayi
6. Bungkus bayi dengan kain bersih dan kering
7. Atur kelembaban incubator 50 – 60%
8. Atur suhu incubator 34 °C untuk berat badan bayi 2000 –
2500 gr.
9. Masukkan bayi dalam incubator
10. Beri ASI sesering mungkin
11. Ganti pakaian bayi apabila terkena BAB / BAK
12. Atur suhu ruangan berkisar 27 °C – 29 °C
13. Periksa kondisi bayi dengan memperhatikan keadaan umum,
perubahan tingkah laku, warna kulit, pernafasan, kejang dan
sebagainya
14. Bila kondisi bayi stabil, ajarkan ibu cara merawat bayi dengan
metode kangguru
15. Catatlah kondisi bayi dan tindakan yang dilakukan didalam
formulir format pengawasan bayi

7. Unit Terkait  Poli umum (Dokter Puskesmas)


 Dokter Spesialis Anak
 Unit gawat darurat (PONEK-RUANG PERINATOLOGI)

8. Rekaman historis perubahan

No Yang dirubah Isi Perubahan Tgl.mulai diberlakukan


ISU TERKAIT BBLR YANG BERHUBUNGAN DENGAN EVIDANCE BASED
PRACTICE (EBP) KEBIDANAN
“METODE PERAWATAN KANGGURU MOTHER CARE PADA BAYI
DENGAN BBLR”
Sumber:
https://www.academia.edu/41439536/Evidence_based_practice_KMC_Kangguru_Mo
ther_care_

 BBLR mempunyai kebutuhan khusus diantaranya kebutuhan untuk


mempertahankan kehangatan suhu tubuh, karenanya sangat memerlukan kehangatan
agar dapat bertahan hidup. Perawatan Metode Kanguru merupakan salah satu
alternatif cara perawatan yang murah, mudah, dan aman untuk merawat bayi berat
lahir rendah. Hasil penelitian Worku & Kassie (2005), mengidentifikasi adanya
perbedaan mortalitas yang bermakna antara BBLR yang dirawat secara
konvensional dengan BBLR dengan KMC, yaitu 38% berbanding 22,5%. Hal ini
membuktikan bahwa Kangaro Mother Care aman untuk bayi.
 Pada metode perawatan kanguru (KMC), bayi prematur hanya dipakaikan popok
dan penutup kepala, kemudian dibaringkan di atas dada ibu atau ayah. Setelah itu,
bayi akan diselimuti lagi. Durasi sesi metode kanguru akan bervariasi pada tiap
bayi, yaitu sekitar 1-3 jam.
 Ada pun fungsi dari KMC adalah :
1. Meningkatkan suhu tubuh
Beberapa penelitian membuktikan, tubuh ibu mampu menyesuaikan suhu tubuh
yang dibutuhkan bayi. Saat bayi merasa kedinginan, maka suhu tubuh ibu akan
naik untuk menghangatkan bayi. Misalnya, jika bayi merasa dingin, tubuh ibu
bisa naik hingga dua derajat, kemudian turun satu derajat jika bayi terlalu panas.
Seorang ahli kandungan menyebutkan, fungsi tubuh alami ibu tersebut jauh lebih
bermanfaat dalam mengendalikan suhu tubuh bayi prematur.
2. Kenaikan berat badan yang lebih cepat
Sebuah studi menunjukkan, bayi prematur dengan perawatan metode kanguru
mengalami kenaikan berat badan lebih cepat. Dengan demikian, bayi bisa tidur
lebih nyenyak sehingga energinya pun bisa tersalurkan untuk memperbaiki
fungsi tubuh secara keseluruhan. Kenaikan berat badan yang lebih cepat pada
bayi prematur juga berarti waktu untuk pulang dari rumah sakit menjadi lebih
cepat.
3. Bayi tidur lebih nyenyak
Melalui perawatan metode kanguru, bayi prematur mengalami lebih sedikit
gangguan tidur dan lebih jarang terbangun tiba-tiba saat tidur. Manfaat metode
kanguru juga dapat meningkatkan waktu tidur yang nyenyak.
4. Sistem pernapasan dan jantung yang lebih sehat
Metode kanguru bisa diaplikasikan kepada bayi prematur yang mengalami
gangguan sistem pernapasan dalam membantunya pulih lebih cepat, termasuk
lepas dari alat bantuan pernapasan lebih dini. Penelitian juga menunjukkan, detak
jantung bayi prematur dengan metode kanguru lebih teratur dibandingkan bayi
prematur yang tidak menjalani metode ini.
5. Bayi lebih banyak menyusui
Sebuah penelitian menyatakan, bayi prematur dengan kontak kulit lebih dari 50
menit, cenderung lebih banyak menyusu secara spontan. Posisi metode kanguru
memudahkan bayi untuk dapat menyusu pada ibu, sekaligus memicu pengeluaran
ASI. Konsumsi ASI bagi bayi prematur sangat penting karena dapat menurunkan
risiko infeksi, gangguan pencernaan, dan masalah pertumbuhan pada bayi
prematur.
6. Daya tahan tubuh yang lebih baik
Umumnya daya tahan bayi prematur sangat rendah sehingga menjadikan mereka
rentan terkena infeksi, alergi, dan masalah imunitas lain. Seorang ahli
mengatakan, perawatan metode kanguru diketahui dapat menurunkan berbagai
risiko tersebut.
7. Lebih tahan terhadap rasa sakit
Saat bayi prematur merasakan detak jantung, pernapasan, dan kehangatan tubuh
ibu, maka tubuh bayi akan mengalami stimulasi pada berbagai bagian tubuh,
termasuk membentuk kemampuan untuk menoleransi rasa sakit. Metode kanguru
terbukti efektif mengurangi respons rasa sakit pada bayi prematur yang terlahir
pada usia kehamilan 28-36 minggu .
8. Menjalin Ikatan antara Ibu dan anak

Selain dari fungsi di atas terakhir fungsi yang utama adalah menjalin ikatan
antara ibu dan anak, sehingga anak merasa aman dan nyaman dan dapat
meningkatkan stimulus psikis bayi.

 Tata Cara Prosedur KMC :


1) Cuci tangan, keringkan dan gunakan gel hand scrub.
2) Ukur suhu bayi dengan termometer.
3) Pakaikan baju kanguru pada ibu.
4) Bayi dimasukkan dalam posisi kanguru, menggunakan topi, popok dan kaus
kaki yang telah dihangatkan lebih dahulu.
5) Letakkan bayi di dada ibu, dengan posisi tegak langsung ke kulit ibu dan
pastikan kepala bayi sudah terfiksasi pada dada ibu. Posisikan bayi dengan siku
dan tungkai tertekuk, kepala dan dada bayi terletak di dada ibu dengan kepala
agak sedikit mendongak.
6) Dapat pula ibu memakai baju dengan ukuran besar, dan bayi diletakkan di
antara payudara ibu, dengan posisi tegak, dada bayi menempel ke dada ibu.
7) Posisi bayi diamankan dengan kain panjang atau pengikat lainnya. Kepala bayi
dipalingkan ke sisi kanan atau kiri dan dengan posisi sedikit ekstensi. Ujung
pengikat berada tepat di bawah kuping bayi. Posisi kepala bayi yang seperti itu
bertujuan untuk menjaga saluran nafas tetap terbuka dan memberi peluang agar
terjadi kontak mata antara ibu dan bayi. Hindari posisi bayi merunduk ke
depan, dan sangat tengadah. Pangkal paha bayi harus dalam posisi fleksi dan
ekstensi seperti dalam posoisi ”kodok”, tangan harus dalam posisi fleksi.
8) Ikatkan kain dengan kuat agar saat ibu bangun dari duduk, bayi tidak
tergelincir. Pastikan juga bahwa ikatan yang kuat dari kain tersebut menutupi
dada si bayi. Perut bayi jangan sampai tertekan dan sebaiknya berada di sekitar
epigastrium ibu. Dengan cara ini bayi dapat melakukan pernafasan perut. Nafas
ibu akan merangsang bayi.
9) Setelah posisi bayi baik, baju kanguru diikat untuk menyangga bayi.
Selanjutnya ibu bayi dapat beraktifitas seperti biasa sambil membawa bayinya
dalam posisi tegak lurus di dada ibu (skin to skin contact) seperti kanguru.

Daftar Pustaka

DEWI, L. A. (2018). Penerapan Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Pada Bayi Berat Badan Lahir
Rendah (Bblr) Dengan Reflek Hisap Lemah Di Ruang Perinatologi ….
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2083/

Perwiraningtyas, P., Ariani, N. L., & Anggraini, C. Y. (2020). Analisis Faktor Resiko Tingkat
Berat Bayi Lahir Rendah. Jnc, 3(3), 212–220.
Tugas Profesi Stase Pediatrik

KEKURANGAN KALORI PROTEIN (KKP)

Nama Dosen : Debilly Yuan Boyoh, M. Kep

Frederik Simare-Mare

2153003

UNIVERSITAS ADVENT INDONESIA

2021
LAPORAN PENDAHULUAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN
(KKP)

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Pengertian
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang kurang
mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan protein
kurang dalam waktu yang cukup lama.
Kurang kalori dan protein ini terjadi ketidakseimbangan antara konsumsi
kalori atau karbohidrat dan protein dengan kebutuhan anergi atau defisiensi atau
deficit energi dan protein (Mayssara A. Abo Hassanin Supervised, 2014).

2. Epidemiologi
Di Indonesia, hampir sepertiga anak pra sekolah menderita KKP. Diperkirakan
33% anak balita di Indonesia menderita KKP, 3% di antaranya adalah KKP
tingkat berat (Sugiani, n.d.).

3. Klasifikasi
Secara klinik dibedakan dalam bentk yaitu Kwashiorkor dan Marasmus.
A.Marasmus yaitu keadaan kurang kalori
B.Kwashiorkor yaitu keadaan kekurangan protein yang parah dan pemasukan
kalori
yang kurang.
C.Marasmus kwashiorkor yaitu keadaan peralihan antara marasmus dan
kwashiorkor.

Penyakit ini dibagi juga dalam tingkat-tingkat, yakni:


1. KKP ringan, kalau berat badan anak mencapai 84-95 % dari berat badan.
2. KKP sedang, kalau berat badan anak hanya mencapai 44-60 % dari berat
badan.
3. KKP berat (gizi buruk), kalau berat badan anak mencapai 60 % dari berat
badan.
4. Etiologi
1. Marasmus
a) Masukkan kalori yang kurang akibat kesalahan pemberian
b) makanan.
c) Penyakit metabolik
d) Kelaian kongenital
e) Infeksi kronik atau kelainan organ tubuh lainnya.

2. Kwashiorkor
a) Diare yang kronik
b) Malabsorbsi protien
c) Sindrom nefrotik
d) Infeksi menahun
e) Luka bakar
f) Penyakit hati.

5. Tanda dan Gejala


Kwashiorkor:
1. Edema tubuh, terutama
pada bagian punggung kaki
2. Wajah membulat dan
sembab
3. Rambu tipis dan
kemerahan seperti rambut jagung
4. Atrofi/pengecilan otot
5. Kulit terdapat bercak
merah muda yang meluas dan berubah warna menajdi cokelat dan kehitaman
dan terkelupas
6. Sering disertai penyakit
infeksi akut seperti diare

Marasmus:
1. Tampak kurus, seperti
tulang yang tinggal terbungkus kulit
2. Wajah seperti orang tua
3. Kerusakan integritas
kulit yaitu keriput
4. Perut cekung
5. Disertai penyakit infeksi
seperti diare kronik atau konstipasi

6. Patofisiologi
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan
kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup
dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemakmerupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan. Karbohidrat (glukosa) dapat
dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan.
Kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit,
sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya
katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan
asamamino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selama
puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan ketonbodies.
Otot dapat mempergunakan asam lemak dan ketonbodies sebagai
sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh
akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi setelah
kira- kirakehilangan separuh dari tubuh (Ashari, 2021).
PATHWAY KURANG KALORI PROTEIN (KKP)

Sumber: NANDA Jilid 2 (2015)

7. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan darah tepi untuk memperlihatkan apakah dijumpai anemia
ringan sampai sedang, umumnya pada KKP dijumpai berupa anemia
hipokronik atau normokromik.
 Pada uji faal hati:
Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit atau amat
rendah, trigliserida normal, dan kolesterol normal atau merendah.
 Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal atau menurun.
 Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah puasa : 70-110
mg/dl, Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam setelah makan < 160 mg/dl, 2
jam setelah makan : < 125 mg / dl
 Asam lemak bebas normal atau meninggi.
 Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau meninggi.
 Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapat normal,
merendah maupun meninggi.
 Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil histidin
meningkat dan indeks hidroksiprolin menurun.
 Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai
dengan kasus perlemakan berat.
 Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.
 Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.
 Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti amilase,
esterase, kolin esterase, transaminase dan fosfatase alkali. Aktifitas
enzim pankreas dan xantin oksidase berkurang.
 Defisiensi asam folat, protein, besi.
 Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar enzim
pembentuk asam amino meningkat.
b) Pemeriksaan Radiologik
Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan

8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kurang kalori protein :

1) Diit tinggi kalori, protein, mineral dan vitamin

2) Pemberian terapi cairan dan elektrolit

3) Penannganan diare bila ada : cairan, antidiare, dan antibiotic

Penatalaksanan KKP berat dirawat inap dengan pengobatan rutin (Rutherford,


2000):

1) Atasi atau cegah hipoglikemi


Periksa kadar gula darah bila ada hipotermi (suhu skala < 35 derajat celciul
suhu rektal 35,5 derajat celcius). Pemberian makanan yang lebih sering
penting untuk mencegahkedua kondisi tersebut. Bila kadar gula darah di
bawah 50 mg/dl, berikan : a. 50 mlbolus glukosa 10 % atau larutan sukrosa
10% (1 sdt gula dalam 5 adm air) secara oral atau sonde / pipa nasogastrik b.
Selanjutnya berikan lanjutan tersebut setiap 30 menit selama 2 jam (setiap
kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam) c. Berikan antibiotik d.
Secepatnya berikan makanan setiap 2 jam, siang dan malam

2) Atasi atau cegah hipotermi


Bila suhu rektal < 35.5 derajat celcius :
a. Segera berikan makanan cair / formula khusus (mulai dengan rehidrasi bila
perlu)
b. Hangatkan anak dengan pakaian atau seelimut sampai menutup kepala,
letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas) atau
peluk anak di dasa ibu, selimuti.
c. Berikan antibiotik d. Suhu diperiksa sampai mencapai > 36,5 derajat
celcius

3) Atasi atau cegah dehidrasi


Jangan mengunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali keadaan
syok/rentan. Lakukan pemberian infus dengan hati – hati, tetesan pelan –
pelan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. Gunakan larutan garam
khusus yaitu resomal (rehydration Solution for malnutrition atau
pengantinya).
9. Komplikasi

1) Defisiensi vitamin A (xerophtalmia) Vitamin A berfungsi pada penglihatan


(membantu regenerasi visual purple bila mata terkena cahaya). Jika tidak
segera teratasi ini akan berlanjut menjadi keratomalasia (menjadi buta)

2) Defisiensi Vitamin B1 (tiamin) disebut Atiaminosis. Tiamin berfungsi


sebagai ko-enzim dalam metabolisme karbohidrat. Defisiensi vitamin B1
menyebabkan penyakit beri-beri dan mengakibatkan kelainan saraf, mental
dan jantung
3) Defisiensi Vitamin B2 (Ariboflavinosis) Vitamin B2/riboflavin berfungsi
sebagai ko- enzim pernapasan. Kekurangan vitamin B2 menyebabkan
stomatitis angularis (retak- retak pada sudut mulut, glositis, kelainan kulit
dan mata
4) Defisiensi vitamin B6 yang berperan dalam fungsi saraf
5) Defisiensi Vitamin B12 Dianggap sebagai faktor anti anemia dalam faktor
ekstrinsik. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan anemia pernisiosa
6) Defisit Asam Folat Menyebabkan timbulnya anemia makrositik,
megaloblastik, granulositopenia, trombositopenia
7) Defisiensi Vitamin C Menyebabkan skorbut (scurvy), mengganggu integrasi
dinding kapiler. Vitamin C diperlukan untuk pembentukan jaringan kolagen
oleh fibroblas karena merupakan bagian dalam pembentukan zat intersel,
pada proses pematangan eritrosit, pembentukan tulang dan dentin
8) Defisiensi Mineral seperti Kalsium, Fosfor, Magnesium, Besi, Yodium
Kekurangan yodium dapat menyebabkan gondok (goiter) yang dapat
merugikan tumbuh kembang anak
9) Tuberkulosis paru dan bronkopneumonia
10) Noma sebagai komplikasi pada KEP berat Noma atau stomatitis merupakan
pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus
pipi, bibir dan dagu. Noma terjadi bila daya tahan tubuh sedang menurun.
Bau busuk yang khas merupakan tanda khas pada gejala ini

10. ASUHAN KEPERAWATAN KKP


1. PENGKAJIAN
1.Biodata
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, pendidikan, alamat,
nama ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, agama, alamat, suku bangsa.
2. Keluhan utama
a) Kwashiorkor: ibu mengatakan anaknya mengalami bengkak pada
kaki dan tangan, kondisi lemah dan tidak mau maka, BB menurun
dll.
b) Marasmus : ibu pasien mengatakan anaknya rewel, tidak mau
makan, badan kelihatan kurus dll.
3.Riwayat penyakit sekarang
Untuk mengetahui lebih detail hal yang berhubungan dengan keluhan
utama.
a) Kapan keluhan mulai dirasakan
b) Kejadian sudah berapa lama.
c) Apakah ada penurunan BB
d) Bagaimanan nafsu makan psien
e) Bagaimana pola makannya
f) Apakah pernah mendapat pengobatan, dimanan, oleh siapa, kapan,
jenis obatnya.
4.Riwayat masa lampau
a.Prenatal
Keluhan saat hamil, tempat ANC, kebutuhan nutrisi saat hamil, usia
kehamilan (preterm, aterm, post term), kesehatan saat hamil dan obat
yang diminum.
b.Natal
Tindakan persalinan (normal atau Caesar), tempat bersalin, obat-
obatan yang digunakan.
c.Post natal
Kondisi kesehatan, apgar score, Berat badan lahir, Panjang badan
lahir, anomaly kongenital.
d. Penyakit waktu kecil
Apakah dulu pasien dulu pernah menderita penyakit seperti sekarang
e.Pernah dirawat di rumah sakit
Penyakit yang diderita, respon emosional
f. Obat-obat yang digunakan (pernah/sedang digunakan)
Nama obat dan dosis, schedule, durasi, alasan penggunaan obat.
g. Allergi

Reaksi yang tidak biasa terhadap makanan, binatang, obat, tanaman,


produk rumah tangga.
h. Imunisasi ( imunisasi yang pernah didapat, usia dan reaksi
waktu imunisasi)

5.Riwayat keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh keluarga (baik
berhubungan / tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita klien),
gambar genogram dengan ketentuan yang berlaku (symbol dan 3 generasi).
6.Riwayat sosial
a.Yang mengasuh anak dan alasannya
b.Pembawaan anak secara umum (periang, pemalu, pendiam, dan kebiasaan
menghisap jari, membawa gombal, ngompol)
c.Lingkungan rumah (kebersihan, keamanan, ancaman, keselamatan anak,
ventilasi, letak barang-barang)
7.Keadaan kesehatan saat ini
Diagnosis medis, tindakan operasi, obat-obatan, tindakan keperawatan,
hasil laboratorium, data tambahan.
8.Pengkajian pola fungsi Gordon
A. Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
Status kesehatan sejak lahir, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
imunisasi, penyakit yang menyebabkan anak absen dari sekolah,
praktek pencegahan kecelakaan (pakaian, menukar popok,dll),
kebiasaan merokok orang tua, keamanan tempat bermain anak dari
kendaraan, praktek keamanan orang tua (produk rumah tangga,
menyimpan obat-obatan,dll)
B. Nutrisi metabolik

Pemberian ASI / PASI, jumlah minum, kekuatan menghisap,


makanan yang disukai / tidak disukai, makanan dan minuman selama
24 jam, adakah makanan tambahan/vitamin, kebiasaan makan, BB
lahir dan BB saat ini, masalah dikulit:rash, lesi,dll.
C. Pola eliminasi
Pola defekasi (kesulitan, kebiasaan, ada darah/tidak), mengganti
pakaian dalam / diapers (bayi), pola eliminasi urin (frekuensi ganti
popok basah/hari, kekuatan keluarnya urin, bau, warna)
D. Aktivitas dan pola latihan
Rutinitas mandi (kapan, bagaimana, dimana, sabun yang digunakan),
kebersihan sehari-hari, aktivitas sehari-hari (jenis permainan, lama,
teman bermain, penampilan anak saat bermain, dll), tingkat aktivitas
anak/bayi secara umum, tolerans, persepsi terhadap kekuatan,
kemampuan kemandirian anak (mandi, makan, toileting, berpakaian,
dll.)
E. Pola istirahat tidur
Pola istirahat/tidur anak (jumlahnya), perubahan pola istirahat, mimpi
buruk, nokturia, posisi tidur anak, gerakan tubuh anak.
F. Pola kognitif-persepsi
Responsive secara umum anak, respons anak untuk bicara, suara, objek
sentuhan, apakah anak mengikuti objek dengan matanya, respon untuk
meraih mainan, vocal suara, pola bicara kata-kata, kalimat,
menggunakan stimulasi/tidak, kemampuan untuk mengatakan nama,
waktu, alamat, nomor telepon, kemampuan anak untuk
mengidentifikasi kebutuhan; lapar, haus, nyeri, tidak nyaman.
G. Persepsi diri – pola konsep diri

Status mood bayi / anak (irritabilitas), pemahaman anak terhadap


identitas diri, kompetensi, banyak/tidaknya teman.
H. Pola peran – hubungan
Struktur keluarga, masalah/stressor keluarga, interaksi antara anggota
keluarga dan anak, respon anak/bayi terhadap perpisahan,
ketergantungan anak dengan orang tua.
I. Sexualitas
Perasaan sebagai laki-laki / perempuan (gender), pertanyaan sekitar
sexuality bagaimana respon orang tua.
J. Koping – pola toleransi stress
Apa yang menyebabkan stress pada anak, tingkat stress, toleransi stress,
pola penanganan masalah, keyakinan agama.
K. Nilai – pola keyakinan
Perkembangan moral anak, pemilihan perilaku, komitmen, keyakinan
akan kesehatan, keyakinan agama.
9.Pemeriksaan fisik

A.Pemeriksaan fisik

1. Kaji tanda-tanda vital.

2. Kaji perubahan status mental anak, apakah anak nampak cengeng


atau apatis.

3. Pengamatan timbulnya gangguan gastrointestinal, untuk menentukan


kerusakan fungsi hati, pankreas dan usus.

4. Menilai secara berkelanjutan adanya perubahan warna rambut dan


keelastisan kulit dan membran mukosa.

5. Pengamatan pada output urine.

6. Penilaian keperawatan secara berkelanjutan pada proses


perkembangan anak.

7. Kaji perubahan pola eliminasi. Gejala : diare, perubahan frekuensi


BAB. Tanda : lemas, konsistensi BAB cair.

8. Kaji secara berkelanjutan asupan makanan tiap hari. Gejala : mual,


muntahdan tanda : penurunan berat badan.

9. Pengkajian pergerakan anggota gerak/aktivitas anak dengan


mengamati tingkah laku anak melalui rangsangan.
B.Fokus pengkajian pada anak KKP

Pengukuran antropometri (berat badan, tinggi badan, lingkaran


lengan atas dan tebal lipatan kulit). Tanda dan gejala yang mungkin
didapatkan adalah:
1.Penurunan ukuran antropometri
2.Perubahan rambut (defigmentasi, kusam, kering, halus, jarang
dan mudah dicabut)

3.Tanda- tanda gangguan sistem pernapasan (batuk, sesak,


ronchi,retraksi otot intercostal)
4.Perut tampak buncit, hati teraba membesar, bising usus dapat
meningkat bila terjadi diare.

5.Edema tungkai

6.Kulit kering, hiperpigmentasi, bersisik dan adanya crazy


pavement dermatosis terutama pada bagian tubuh yang sering
tertekan (bokong, fosa popliteal, lulut, ruas jari kaki, paha dan
lipat paha)

10.Pemeriksaan tumbuh kembang


1.Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Kejadian-kejadian penting; pertama kali mengangkat kepala, berguling,
duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata bermakna atau
kalimat, gangguan mental perilaku.
2.Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhan

a.Pengukuran Berat badan


b.Pengukuran Tinggi badan
c.Pengukuran lingkar lengan atas
d.Pengukuran lingkar kepala
e.Kecepatan tumbuh
3.Pelaksanaan DDST
Berdasarkan hasil pengkajian melalui DDST (Denver Development
Screening Test) untuk umur 0 – 6 tahun perkembangan anak di atur
dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan yang
meliputi:
a.Kemandirian dan bergaul
Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan orang lain.
b.Motorik halus
Kemampuan anak untuk menggunakan bagian tubuh tertentu dan
dilakukan oleh otot halus sehingga tidak perlu tenaga, namun perlu
koordinasi yang lebih kompleks.
c.Kognitif dan bahasa
Kemampuan mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendapat
melalui pengucapan kata-kata, kemampuan mengerti dan
memahami perkataan orang lain serta berfikir.
d.Motorik kasar

Kemampuan anak untuk menggunakan dan melibatkan sebagian


besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga.

11. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake. makanan tidak adekuat (nafsu makan berkurang).
2) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan nutrisi/status
metabolik.
3) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan pertahanan tubuh.
4) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang nya informasi.

Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1 Gangguan nutrisi Nutritional Status : food and Manajemen Nutrisi
kurang dari kebutuhan Fluid Intake
1. Kaji pola makan klien
tubuh berhubungan Kriteria Hasil :
dengan intake. 1. Adanya 2. Kaji adanya alergi makanan.
makanan tidak peningkatan berat badan 3. Kaji makanan yang disukai oleh
adekuat (nafsu makan sesuai dengan tujuan klien.
berkurang).
2.Berat badan ideal sesuai dengan 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
tinggi badan penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Mampu
mengidentifikasi 5. Anjurkan klien
untuk meningkatkan asupan
kebutuhan nutrisi nutrisinya.
4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
5. Tidak terjadi penurunan berat mencegah konstipasi.
badan yang berarti
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.

Monitor Nutrisi

1. Monitor BB setiap hari jika


memungkinkan.

2. Monitor respon klien terhadap


situasi yang mengharuskan
klien makan.

3. Monitor lingkungan selama


makan.

4. Jadwalkan pengobatan dan


tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan.
5. Monitor adanya mual muntah.
6. Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
7. Monitor intake nutrisi dan kalori.

2. Gangguan integritas Tissue Integrity : Skin and Pressure Management


kulit berhubungan Mucous Membranes 1. Anjurkan pasien
dengan gangguan untuk menggunakan pakaian
yang longgar
nutrisi/status Wound Healing : primer dan
2. Hindari kerutan pada tempat
metabolik. sekunder
tidur

Kriteria hasil: 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap


1. Integritas kulit yang bersih dan kering

baik bisa dipertahankan 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi


(sensasi, elastisitas, pasien) setiap dua jam sekali
temperatur, hidrasi, 5. Monitor kulit akan
pigmentasi) adanya kemerahan
2. Tidak ada luka/lesi pada 6. Oleskan lotion atau
kulit minyak/baby oil pada derah
3. Perfusi jaringan baik yang tertekan

4. Menunjukkan pemahaman 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi


dalam proses perbaikan pasien

kulit dan mencegah 8. Monitor status nutrisi pasien


terjadinya sedera berulang 9. Memandikan pasien dengan
5. Mampu melindungi kulit sabun dan air hangat
dan mempertahankan 10. Kaji lingkungan dan
kelembaban kulit dan peralatan yang menyebabkan
perawatan alami tekanan
6. Menunjukkan terjadinya 11. Observasi luka : lokasi,
proses penyembuhan luka dimensi, kedalaman luka,
karakteristik,warna cairan,
granulasi, jaringan nekrotik,
tanda-tanda infeksi lokal,
formasi traktus
12. Ajarkan pada keluarga tentang
luka dan perawatan luka
13. Kolaburasi ahli gizi pemberian
diae TKTP, vitamin
14. Cegah kontaminasi feses dan
urin
15. Lakukan tehnik perawatan luka
dengan steril

3. Resiko tinggi infeksi Immune Status Knowledge Infection Control (Kontrol infeksi)
berhubungan dengan : Infection control 1. Bersihkan lingkungan
kerusakan pertahanan
setelah dipakai pasien lain
tubuh. Risk control
2. Pertahankan teknik isolasi
Kriteria Hasil: 3. Batasi pengunjung bila perlu
1. Klien bebas dari tanda dan gejala 4. Instruksikan pada pengunjung
infeksi untuk mencuci tangan saat
2. Mendeskripsikan proses berkunjung dan setelah
penularan penyakit, faktor yang berkunjung meninggalkan
mempengaruhi penularan pasien
serta penatalaksanaannya 5. Gunakan sabun antimikrobia
3. Menunjukkan kemampuan untuk untuk cuci tangan
mencegah timbulnya infeksi 6. Cuci tangan setiap sebelum
4. Jumlah leukosit dalam batas dan sesudah tindakan
normal keperawatan

5. Menunjukkan perilaku hidup 7. Gunakan baju, sarung tangan


sehat sebagai alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan
alat
9. Ganti letak IV perifer dan line
central dan dressing sesuai
dengan petunjuk umum
10. Gunakan kateter intermiten
untuk menurunkan infeksi
kandung kencing
11. Tingktkan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotik bila
perlu
13. Infection Protection
(proteksi terhadap infeksi)
14. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan lokal
15. Monitor hitung granulosit, WBC
16. Monitor kerentangan
terhadap infeksi
17. Batasi pengunjung
18. Sering pengunjung
terhadap penyakit menular
19. Pertahankan teknik aspesis
pada pasien yang beresiko
20. Pertahankan teknik isolasi k/p
21. Berikan perawatan kulit pada
area epidema
22. Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
23. Inspeksi kondisi luka / insisi
bedah
24. Dorong masukkan nutrisi yang
cukup
25. Dorong masukan cairan
26. Dorong istirahat
27. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai resep
28. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
29. Ajarkan cara menghindari infeksi
30. Laporkan kecurigaan infeksi
31. Laporkan kultur positif

4. Kurang pengetahuan Knowledge : Disease Teaching : Disease Proses


berhubungan dengan Process 1. Berikan penilaian tentang
kurang nya tingkat pengetahuan pasien
Knowledge : Health Hehavior
informasi. tentang proses penyakit yang

Kriteria Hasil : spesifik

1. Pasien dan keluarga menyatakan 2. Jelaskan


pemahaman tentang penyakit, patofisiologidari penyakit dan

kondisi, prognosis, dan program bagaimana hal ini berhubungan

pengobatan dengan anatomi dan fisiologi,


dengan cara yang tepat.
2. Pasien dan keluarga
mampu melaksakan prosedur 3. Gambarkan tanda dan gejala
yang dijelaskan secara benar yang biasa muncul pada
penyakit, dengan cara yang
3. Pasien dan keluarga
tepat
mampu menjelaskan kembali apa
yang dijelaskan perawat/tim 4. Identifikasi
kesehatan lainnya kemungkinan penyebab,
dengan cara yang tepat
5. Sediakan informasi pada
pasien tentang kondisi, dengan
cara yang tepat
6. Hindari jaminan yang kosong
7. Sediakan bagi keluarga atau
SO informasi tentang kemajuan
pasien dengan cara yang tepat
8. Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin diperlukan
untuk mencegah komplikasi
dimasa yang akan datang dan
ata proses pengontrolan
penyakit
9. Diskusikan pilihan terapi atau
penanganan
10. Dukung pasien
untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion
dengan cara yang tepat atau
diindikasikan
11. Rujuk pasien pada grup atau
agensi di komunitas local,
dengan cara yang tepat

5) Implementasi
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena
itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
6) Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara
proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan
dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dan tingkat
kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
SOP KURANG KALORI
PROTEIN (KKP)

DIET TINGGI KALORI TINGGI PROTEIN


No. Dokumen Revisi ke Halaman
1 1/1

Tanggal terbit
Ditetapkan Oleh :
STANDAR Direktur
PROSEDUR Februari 2014
drg. Dyah Paramita Indreswari,MPH
Pengertian Diet yang mengandung kalori/energi dan protein di atas kebutuhan normal.
Disebut juga diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT).
Diet diberikan kepada pasien dalam keadaan :
1. Kurang Energi Protein (KEP).
2. Sebelum dan sesudah operasi tertentu, multi trauma, serta selama
radioterapi dan kemoterapi.
3. Luka bakar berat dan baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi.
4. Hipertiroid, hamil dan post partum dimana kebutuhan energi dan protein
meningkat.

Tujuan Tujuan diet ini untuk :


1. Memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk
mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh.
2. Menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal.
3. Memperbaiki pola maka secara bertahap hingga mencapai pola makan
seimbang.
Kebijakan Macam diet diberikan berdasarkan keadaan pasien yaitu :
1. ETPT 1 : E = 2600 Kkal, P = 100 g (2 g/KgBB)
2. ETPT 2 : E = 3000 Kkal, P = 125 g (2,5 g/KgBB)

Prosedur

1. Energi tinggi yaitu 40 - 45


kkal/KgBB
2. Protein tinggi yaitu 2,0 - 2,5
g/KgBB
3. Lemak cukup yaitu 10 – 25 %
dari kebutuhan energi total.
4. Karbohidrat cukup yaitu sisa
dari kebutuhan energi total.
5. Vitamin dan mineral cukup
sesuai kebutuhan normal.
6. Diet diberikan dalam bentuk
makanan biasa ditambah
bahan makanan sumber
protein tinggi seperti : susu,
telur dan daging atau dalam
bentuk minuman Enteral
energi tinggi protein tinggi.
7. Diet diberikan bila pasien
telah mempunyai cukup
nafsu makan dan dapat
menerima makanan
lengkap.
8. Makanan diberikan dalam
bentuk mudah dicerna dan
dsesuaikan dengan kondisi
pasien.
Unit Terkait - Unit Boga

ISU TERKAIT KKP YANG BERHUBUNGAN DENGAN EVIDANCE BASED


PRACTICE (EBP) KEBIDANAN
“PENINGKATAN PRAKTIK MANDIRI IBU DALAM PEMANTAUAN
STATUS GIZI BALITA MELALUI PENDAMPINGAN AKTIVITAS DASA
WISMA”
Sumber: (Nugraheni & , Aruben, R1 , Prihatini, I.J2 , Sari1 , Sulistyawati, 2018)

 Hasil studi situasi dan analisis gizi di Indonesia tahun 2015, status Gizi Balita
menurut Indeks Berat Badan per Umur (BB/U), didapatkan 14,9% mengalami
gizi kurang dan 3,8% gizi buruk. Status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan
per Tinggi Badan (BB/TB), didapatkan 8,2% kurus dan 3,7% sangat kurus. Selain
ha- sil tersebut berdasarkan pemantauan terakhir Sub Dit Gizi Kemenkes RI tahun
2017 masih ada 1487 balita mengalami Gizi buruk.
 Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu ada tindakan segera yang di luar
program (out of the box) serta melibatkan pemberdayaan masyarakat, yaitu
aktivitas DASA WISMA (DAWIS).
 Aktivis Dasa Wisa (Dawis) merupakan kader kesehatan yang memiliki tanggung
jawab memberikan edukasi dan pemantauan kesehatan atas sepuluh keluarga di
suatu wilayah.
 Sebelumnya para aktivis dasa wisma dilatih terlebih dahulu dengan bekal buku
pendampingan dan dibekali sarana alat penimbang berat badan dan pengukur
tinggi badan.
 Pemberian intervensi berupa pelatihan dengan media modul dapat digunakan
untuk menyampaikan materi pendidikan tentang penentuan status gizi, dengan
metode simulasi para anggota masyarakat yang dilatih sebagai pendamping dapat
meniru, memeragakan ulang segala sesuatu yang berkaitan dengan materi yang
disampaikan, metode ini bertujuan untuk melatih dan memahami konsep atau
prinsip dari pendidikan yang disampaikan sehingga dapat memecahkan masalah
terkait malnutrisi. Pendampingan berupa edukasi tentang nutrisi anak balita, cara
pemantauan status gizi dan praktik efektif dalam upaya menurunkan risiko
kejadian malnutrisi pada anak balita, terutama stunting.
 Apabila terbukti ada perubahan perilaku para ibu balita dalam pemantauan status
gizi balita, maka penelitian ini dapat dipergunakan sebagai evidence based
practice usulan program baru di bidang kesehatan, yaitu pemberian pelatihan
pemantauan status gizi balita serta pendampingan aktivis dasa wisma sebagai
salah satu program andalan dalam menurunkan malnutrisi balita.
 Hasil dari penelitian:
Setelah para aktivis dasa wisma memberikan pendampingan kepada ibu balita
selama satu bulan ada peningkatan pengetahuan dan praktik dalam pemenuhan
gizi anak balita dan kemampuan menentukan status gizi anak balita. Peran dasa
wisma sangat penting untuk mendampingi ibu balita dalam pemantauan gizi
balita, diharapkan semua ibu balita dan anggota dawis lainnya dapat berpartisi-
pasi bukan hanya ibu ketua dawis yang aktif. Lebih aktifnya program dan
kegiatan dari puskesmas kepada dasa wisma di bawah wilayah kerjanya untuk
diberikan pembekalan terkait pemantauan status gizi. Lebih memanfaatkan
adanya tetangga satu dasa wisma (peer educator) untuk saling mengingatkan dan
membantu memberikan doro ngan positif terkait pemantauan status gizi balita.
 Kesimpulan:
Aktivitas DAWIS dapat dipergunakan sebagai evidence based practice usulan
program baru di bidang kesehatan sebagai salah satu program dalam
pemantauan status gizi balita.

Daftar Pustaka

Ashari, L. (2021). ( KKP ) Kekurangan kalori protein ( Marasmus ).


Mayssara A. Abo Hassanin Supervised, A. (2014). Asuhan Keperawatan Anak dengan
Kurang Kalori Protein. Paper Knowledge . Toward a Media History of Documents.
Nugraheni, S. ., & , Aruben, R1 , Prihatini, I.J2 , Sari1 , Sulistyawati, E. (2018).
Peningkatan Praktik Mandiri Ibu dalam Pemantauan Status Gizi Balita melalui
Pendampingan Aktivitis Dasa Wisma Enhancing the Independent Practice of Mothers in
Monitoring the Nutritional Status of Toddlers through Dasa Wisma Assistance. Urnal Mkmi,
14(4), 418–428. http://dx.doi.org/10.30597/mkmi.v14i4.5233
Rutherford, R. (2000). Kurang Kalori Protein. Encyclopedia of Volcanoes., 1995, 662.
Sugiani, S. (n.d.). Makanan Padat Gizi Solusi Sehat Mengatasi Kekurangan Gizi pada
Anak.
Tugas Profesi Stase Pediatrik

HIDROSEFALUS

Nama Dosen : Debilly Yuan Boyoh, M. Kep

Frederik Simare-Mare

2153003

UNIVERSITAS ADVENT INDONESIA

2021
LAPORAN PENDAHULUAN HIDROSEFALUS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1.Pengertian
Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air dan chepalon yang berarti
kepala. Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh
produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai
tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan
tempat aliran cairan serebrospinalis. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai
akibat penyakit atau kerusakan otak (Satria, 2017).
Hidrosefalus merupakan penumpukan CSS yang secara aktif dan berlebihan
pada satu atau lebih ventrikel otak atau ruang subarachnoid yang dapat
menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak. Hidrosefalus merupakan sindroma
klinis yang dicirikan dengan dilatasiyang progresif pada system ventrikuler
cerebral dan kompresi gabungan darijaringan – jaringan serebral selama
produksi CSF berlangsung yangmeningkatkan kecepatan absorbsi oleh
vili arachnoid. Akibat berlebihannyacairan serebrospinalis dan
meningkatnya tekanan intrakranial menyebabkanterjadinya peleburan ruang –
ruang tempat mengalirnya liquor (BAHAN AJAR HIDROSEFALUS, 2010)..

2. Epidemiologi
Prevalensi hydrocephalus secara keseluruhan di dunia mencapai 84,7 per
100.000. Insidensi hydrocephalus kongenital mencapai 3-4 per 1.000 kelahiran
hidup. Di Indonesia, data epidemiologi mengenai hydrocephalus masih jarang
ditemukan. Namun, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rahmayani et al. di
RSUD dr. Soetomo, dari 80 pasien yang menderita hydrocephalus, 41,25%
mengalami hydrocephalus komunikans dan 58,75% mengalami hydrocephalus
non komunikans. Insidens hydrocephalus di Indonesia mencapai 10 permil. Bayi
merupakan kelompok usia terbanyak yang mengalami hydrocephalus (46,25%),
sedangkan neonatus hanya mencapai 5%. Jenis kelamin yang lebih banyak
mengalami hydrocephalus adalah laki-laki dengan rasio 2,1:1. Hal ini karena
adanya faktor genetik (gen resesif terkait-X).

3. Klasifikasi

Hidrosefalus dapat dikelompokkan berdasarkan dua kriteria besar yaitu secara


patologi dan secara etiologi.
Hidrosefalus Patologi dapat dikelompokkan sebagai

1) Obstruktif (non-communicating) - terjadi akibat penyumbatan sirkulasi CSS


yang disebabkan oleh kista, tumor, pendarahan, infeksi, cacat bawaan dan
paling umum, stenosis aqueductal atau penyumbatan saluran otak.

2) Non – obstruktif (communicating) - dapat disebabkan oleh gangguan


keseimbangan CSS, dan juga oleh komplikasi setelah infeksi atau komplikasi
hemoragik.
Hidrosefalus Etiologi dapat dikelompokkan sebagai

1) Bawaan (congenital) - sering terjadi pada neonatus atau berkembang selama


intra-uterin.

2) Diperoleh (acquired) – disebabkan oleh pendarahan subarachnoid, pendarahan


intraventrikular, trauma, infeksi (meningitis), tumor, komplikasi operasi atau
trauma hebat di kepala.
Tekanan normal hidrosefalus (NPH), yang terutama mempengaruhi populasi
lansia. Ditandai dengan gejala yang spesifik: gangguan gaya berjalan, penurunan
kognitif dan inkontinensia urin (Trias Adam & Hakim).

4. Etiologi
Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang
normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat
jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada
adenomata pleksus koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering
terdapat pada bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan
perdarahan.
1) Kelainan bawaan

a) Stenosis Akuaduktus Sylvius- merupakan penyebab terbanyak. 60%-90%


kasus hidrosefalus terjadi pada bayi dan anak-anak. Umumnya terlihat
sejak lahir atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah
lahir.
b) Spina bifida dan cranium bifida – berhubungan dengan sindroma Arnord-
Chiari akibat tertariknya medulla spinalis, dengan medulla oblongata dan
serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga
terjadi penyumbatan sebagian atau total.
c) Sindrom Dandy-Walker - atresiakongenital foramen Luschka dan Magendi
dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran system ventrikel,
terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga merupakan
suatu kista yang besar di daerah fossa posterior.
d) Kista arachnoid - dapat terjadi congenital maupun didapat akibat trauma
sekunder suatu hematoma.
e) Anomali pembuluh darah – akibat aneurisma arterio-vena yang mengenai
arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau sinus tranversus dengan
akibat obstruksi akuaduktus.

2) Infeksi - Timbul perlekatan menings sehingga terjadi obliterasi ruang


subarachnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis purulenta terjadi
bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat purulen di
akuaduktus Sylvius atau sisterna basalis. Pembesaran kepala dapat terjadi
beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya.
Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar
sisterna basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa,
perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sisterna
kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purulenta
lokasinya lebih tersebar.

3) Neoplasma - hidrosefalus oleh obstruksi mekanis yang dapat terjadi di setiap


tempat aliran CSS. Pada anak, kasus terbanyak yang menyebabkan
penyumbatan ventrikel IV dan akuaduktus Sylvius bagian terakhir biasanya
suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan bagian
depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.
Perdarahan - perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen pada daerah basal otak, selain
penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri.
5. Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis Hidrosefalus dibagi menjadi 2 yaitu : anak dibawah usia 2 tahun, dan
anak diatas usia 2 tahun.
1.Hidrosefalus dibawah usia 2 tahun
- Sebelum usia 2 tahun yang lebih menonjol adalah pembesaran kepala.

- Ubun-ubun besar melebar, terba tegang/menonjol dan tidak berdenyut.

- Dahi nampak melebar dan kulit kepala tipis, tegap mengkilap denganpelebaran vena-
vena kulit kepala.
- Tulang tengkorak tipis dengan sutura masih terbuka lebar cracked potsign yakni
bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi.
- Perubahan pada mata.
a) bola mata berotasi kebawah olek karena ada tekanan dan penipisantulang supra
orbita. Sclera nampak diatas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari
yang akan terbenam
b) strabismus divergens
c) nystagmusd.refleks pupil lambate.atropi N II oleh karena kompensi ventrikel
pada chiasma optikumf.papil edema jarang, mungkin oleh sutura yang masih
terbuka.

2.Hydrochepalus pada anak diatas usia 2 tahun.


- Yang lebih menonjol disini ialah gejala-gejala peninggian tekanan intrakranial oleh
karena pada usia ini ubun-ubun sudah tertutup

6. Patofisiologi
Menurut teori, hidrosefalus terjadi akibat dari tiga mekanisme yaitu;
produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran cairan,
peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi dari tiga mekanisme diatas
adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan
keseimbangan sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan
jelas, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat
dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya
dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat tiap saat
selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:
1) Kompensasi sistem serebrovaskular
2) Redistribusi dari liquor serebropinal atau cairan ekstraseluler atau
keduanya dalam susunan sistem saraf pusat.
3) Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak,kelainan turgor otak)
4) Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)
5) Hilangnya jaringan otak
6) Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura cranial.
Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat
hipervitaminosis. Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari
kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan
aliran akan meningkatkan tekanan cairan secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Derajat peningkatan resistensi aliran cairan dan kecepatan
perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan klinis.
7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan fisik:
a. Pengukuran lingkaran kepala secara berkala.
Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau
lebih dari normal
b. Transiluminasi
2) Pemeriksaan darah:
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
3) Pemeriksaan cairan serebrospinal:
Analisa cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis
untuk mengetahui kadar protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi
sisa
4) Pemeriksaan radiologi:
a. X-foto kepala: tampak kranium yang membesar atau sutura
yangmelebar.
b. USG kepala: dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
c. CT Scan kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel
dansekaligus mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya

8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
a. Diagnosis
Hidrosefalus merupakan salah satu dari kelainan kongenital. Untuk
mewaspadai adanya kelainan kongenital maka diperlukan pemeriksaan
fisik, radiologik, dan laboratorium untuk menegakkan diagnosa kelainan
kongenital setelah bayi lahir. Pada anak yang lebih besar kemungkinan
hidrosefalus diduga bila terdapat gejala dan tanda tekanan intrakranial
yang meninggi. Tindakan yang dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis ialah transluminasi kepala, ultrasonogafi kepala bila ubunubun
besar belum menutup, foto Rontgen kepala dan tomografi komputer (CT
Scan). Pemeriksaan untuk menentukan lokalisasi penyumbatan ialah
dengan menyuntikkan zat warna PSP ke dalam ventrikel lateralis dan
menampung pengeluarannya dari fungsi lumbal untuk mengetahui
penyumbatan ruang subaraknoid. Sebelum melakukan uji PSP ventrikel
ini, dilakukan dahulu uji PSP ginjal untuk menentukan fungsi ginjal.
Ventrikulografi dapat dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan. Namun
dengan adanya pemeriksaan CT Scan kepala, uji PSP ini tidak
dikerjakan lagi.

b. Pengobatan
Penanganan hidrosefalus telah semakin baik dalam tahun- tahun terakhir
ini, tetapi terus menghadapi banyak persoalan. Idealnya bertujuan
memulihkan keseimbangan antara produksi dan resorpsi CSF. Beberapa
cara dalam pengobatan hidrosefalus yaitu:
1.Terapi Medikamentosa
Hidrosefalus dengan progresivitas rendah dan tanpa obstruksi pada
umumnya tidak memerlukan tindakan operasi. Dapat diberi
asetazolamid dengan dosis 25-50 mg/kg BB. Asetazolamid dalam
dosis 40-75 mg/kg 24 jam mengurangi sekitar sepertiga produksi
CSF, dan terkadang efektif pada hidrosefalus ringan yang
berkembang lambat. Pada keadaan akut dapat diberikan manitol.
Diuretika dan kortikosteroid dapat diberikan, meskipun hasilnya
kurang memuaskan
2.Operasi
Operasi berupa upaya menghubungkan ventrikulus otak dengan
rongga peritoneal, yang disebut ventriculo- peritoneal shunt.
Tindakan ini pada umumnya ditujukan untuk hidrosefalus non-
komunikans dan hidrosefalus yang progresif. Setiap tindakan
pemirauan (shunting) memerlukan pemantauan yang
berkesinambungan oleh dokter spesialis bedah saraf. Pada
Hydrocephalus Obstruktif, tempat obstruksi terkadang dapat
dipintas (bypass). Pada operasi Torkildsen dibuat pintas stenosis
akuaduktus menggunakan tabung plastik yang menghubungkan
tabung plastik yang menghubungkan 1 ventrikel lateralis dengan
sistem magna dan ruang subaraknoid medula spinalis; operasi tidak
berhasil pada bayi karena ruangan ruangan ini belum berkembang
dengan baik. (Suryadi & Darsono, 2016)
2) Penatalaksanaan Keperawatan
Upaya pencegahan progresi penyakit ke arah berbagai akibat penyakit yang
lebih buruk, pada penderita Hidrosefalus dapat dilakukan yaitu dengan
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan
kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Tindakan ini dilakukan
pada periode pasca operasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi shunt seperti infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan
fungsional yang disebabkan oleh jumlah aliran yang tidak adekuat. Infeksi
pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi
ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis mencakup
komplikasikomplikasi seperti:

oklusi aliran di dalam shunt (proksimal, katup atau bagian distal),


diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari tempat semula, tempat
pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa drainase
yang berlebihan atau malah kurang lancarnya drainase. Drainase yang
terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi lanjut seperti terjadinya efusi
subdural, kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik. (Suryadi
& Darsono, 2016)

9. Komplikasi

1.Peningkatan tekanan itrakranial

2.Kerusakan otak

3.Infeksi: septicemia, endocarditis, infeksi luka, nefritis, meningitis, ventrikulitis,

abses otak.

4.Shunt tidak berfungsi dengan baik akibat obstruksi mekanik

5.Hematoma subdural, peritonitis, abses abdomen, perporasi organ dalam.

rongga abdomen, fistula, hernia, ileus

6.Kematian.
10.ASUHAN KEPERAWATAN HIDROSEFALUS
1.PENGKAJIAN
1.Biodata
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, pendidikan, alamat,
nama ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, agama, alamat, suku bangsa.
2.Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan

kesehatan bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus pada

peningkatan tekanan intracranial, meliputi muntah, gelisah nyeri kepala,

letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, dan kontriksi

penglihatan perifer.

3.Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput otak

dan meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat meliputi

seorang anak mengalami pembesaran kepala, tingkat kesadaran

menurun (GCS<15), kejang, muntah, sakit kepala, wajahnya tanpak

kecil cecara disproposional, anak menjadi lemah, kelemahan fisik

umum, akumulasi secret pada saluran nafas, dan adanya liquor dari

hidung. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat

kesadaran akibat adanya perubahan di dalam intracranial. Keluhan

perubahan prilaku juga umum terjadi.

b. Riwayat Penyakit Dahulu

Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat

hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma otak,


kelainan bawaan pada otak dan riwayat infeksi.

c. Riwayat perkembangan
Kelahiran premature. lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir

menangis keras atau tidak. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji

adanya anggota generasi terdahulu yang menderita stenosis

akuaduktal yang sangat berhubungan dengan penyakit

keluarga/keturunan yang terpaut seks.

d. Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga

(orang tua) untuk menilai respon terhadap penyakit yang diderita dan

perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau

pengruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam keluarga

maupun masyarakata. Apakah ada dampak yang timbul pada klien

dan orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecatatan, rasa

cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas secara

optimal.Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi

neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi

pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan dalam mengkaji

terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit

neurologis dalam hubungan dengan peran sosial klien dan rencana

pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis

didalam system dukungan individu.

4.Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum:

Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan

kesadaran (GCS <15) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital.

2. B1(breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas.

Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini

akan didapatka hal-hal sebagai berikut: Ispeksi umum: apakah

didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,

penggunaan otot batu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.

Terdapat retraksi klavikula/dada, mengembangan paru tidak simetris.

Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannya. Pada

observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada dari otot-otot

interkostal, substernal pernafasan abdomen dan respirasi

paraddoks(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini terjadi jika

otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.

Palpasi : Taktil primitus biasanya seimbang kanan dan kiri

Perkusi : Resonan pada seluruh lapang paru.

Auskultasi : Bunyi nafas tambahan, seperti nafas berbunyi stridor,

ronkhi pada klien dengan adanya peningkatan produksi secret dan

kemampuan batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien

hidrosefalus dengan penurunan tingkat kesadaran.

3. B2 (Blood)

Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostasis

tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer. Nadi

brakikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak.

Kulit kelihatan pucat merupakan tanda penurunan hemoglobin dalam

darah. Hipotensi menunjukan adanya perubaha perfusi jaringan dan

tanda-tanda awal dari suatu syok.

4. B3 (Brain)
Kepela terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh. Hal ini

diidentifikasi dengan mengukur lingkar kepala suboksipito

bregmatikus dibanding dengan lingkar dada dan angka normal pada

usia yang sama. Selain itu pengukuuran berkala lingkar kepala, yaitu

untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari

normal. Ubun- ubun besar melebar atau tidak menutup pada

waktunya, teraba tegang atau menonjol, dahi tampak melebar atau

kulit kepala tampak menipis, tegang dan mengkilat dengan pelebaran

vena kulit kepala.

5. Pengkajian tingkat kesadaran

Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah adanya dimensia.

Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien hidrosefalus biasanya

berkisar pada tingkat latergi, stupor, semikomatosa sampai koma.

6. Pengkajian fungi serebral, meliputi:

Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah

dan aktivitas motorik klien. Pada klien hidrosefalus tahap lanjut

biasanya status mental klien mengalami perubahan. Pada bayi dan

anak-anak pemeriksaan status mental tidak dilakukan.

7. Pengkajin saraf cranial, meliputi:

a. Saraf I (Olfaktori)

b. Saraf II (Optikus)
c. Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis,

Abducens)

d. Saraf V (Trigeminius)

e. Saraf VII(facialis)
f. Saraf VIII (Akustikus)

g. Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus)

h. Saraf XI (Aksesorius)

i. Saraf XII (Hipoglosus)

8. Pengkajian system motorik.

a. Tonus otot

b. Kekuatan otot

c. Keseimbangan dan koordinasi

9. Pengkajian Refleks.

Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon, ligamentum atau

periosteum derajat reflex pada rrespon normal. Pada tahap lanjut,

hidrosefalus yang mengganggu pusat refleks, maka akan didapatkan

perubahan dari derajat refleks. Pemeriksaan refleks patologis, pada fase

akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah

beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahului dengan

refleks patologis.

10. Pengkajian system sensorik.

Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa kerusakan sentuhan

ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi

(kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta

kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan

auditorius.

11. B4 (Bledder)

Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik urine,

termasuk berat jenis urine. Peningkatan jumlah urine dan peningkatan


retensi cairan dapat terjadi akibat menurunya perfungsi pada ginjal. Pada

hidrosefalus tahap lanjut klien mungkin mengalami inkontensia urin

karena konfusi, ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan

ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan

untuk menggunakan system perkemihan karena kerusakan control

motorik dan postural. Kadang- kadang control sfingter urinarius

eksternal hilang atau steril. Inkontensia urine yang berlanjut

menunjukkan kerusakan neurologis luas.

12. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun,

serta mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah akibat

peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah

pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat

penurunan peristaltic usus. Adanya kontensia alvi yang berlanjut

menunjukkan kerusakann neurologis luas.

13. B6 (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik umum, pada

bayi disebabkan pembesaran kepala sehingga menggangu mobilitas fisik

secara umum. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgon kulit.

Adanya perubahan warna kulit; warna kebiruaan menunjukkan adanya

sianosis (ujung kuku, ekstermitas,telingga, hidung, bibir dan membrane

mukosa). Pucat pada wajah dan membrane mukosa dapat berhubungan

dengan rendahnya kadar hemoglobinatau syok. Warna kemerahan pada

kulit dapat menunjukan adanya damam atau infeksi. Integritas kulit

untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan untuk


beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau

paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah pada pola

aktivitas dan istirahat

9.Pemeriksaan tumbuh kembang


1.Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Kejadian-kejadian penting; pertama kali mengangkat kepala, berguling,
duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata bermakna atau
kalimat, gangguan mental perilaku.
2.Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhan

a.Pengukuran Berat badan


b.Pengukuran Tinggi badan
c.Pengukuran lingkar lengan atas
d.Pengukuran lingkar kepala
e. Kecepatan tumbuh
3.Pelaksanaan DDST
Berdasarkan hasil pengkajian melalui DDST (Denver Development
Screening Test) untuk umur 0 – 6 tahun perkembangan anak di atur
dalam 4 kelompok besar yang disebut sektor perkembangan yang
meliputi:
a.Kemandirian dan bergaul
Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan orang lain.
b.Motorik halus
Kemampuan anak untuk menggunakan bagian tubuh tertentu dan
dilakukan oleh otot halus sehingga tidak perlu tenaga, namun perlu
koordinasi yang lebih kompleks.
c.Kognitif dan bahasa
Kemampuan mengungkapkan perasaan, keinginan, dan pendapat
melalui pengucapan kata-kata, kemampuan mengerti dan
memahami perkataan orang lain serta berfikir.
d.Motorik kasar

Kemampuan anak untuk menggunakan dan melibatkan sebagian


besar bagian tubuh dan biasanya memerlukan tenaga.

10.Diagnosa Keperawatan

1.Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral


2.Penurunan kesadaran
3.Resiko infeksi
Intervensi Keperawatan
No. Dignosa NOC NIC AKTIVITAS
1. Resiko  Circulasi status Manajem a. Monitor adanya daerah
ketidakefektifan  Tissue preffusion : ent tertentu yang hanya
perfusi jaringan cerebral sensasi peka terhadap
otak (serebral) b.d Kriteria hasil perifer panas/dingin/tajam/tum
Gangguan aliran - Tidak ada tanda pul
darah ke otak tanda peningkatan b. Monitor adanya paretese
akibat peningkatan c. Instruksikan kepada
tekanan intracranial
TIK
- Tida ada sakit kepala keluarga untuk
- Tidak ada kelesuan mengobservasi kulit jika
- Tidak ada muntah ada lesi atau laserasi
- Tingkat d. Monitor kemampuan
kesadaran membaik BAB
e. Monitor adanya
tromboplebitis
f. Kolaborasi pemberian
analgetik

Manajement a. Monitor tanda - tada vital


udem b. Monitor adanya
serebral
kebingungan,
perubahan pikiran,
pusing, pingsan
c. Monitor status
neurologis dengan ketat
dan bandingkan dengan
nilai normal
d. Monitor status
pernapasan: frekuensi,
irama, kedalaman
pernapaan, PaO2, PCO2,
pH.
e. Kurangi stimulus dalam
lingkungan pasien
f. Posisikan tinggi kepala
tempat tidur 300 atau
lebih
g. Batasi cairan
h. Pertahankan suhu
normal
i. Lakukan tindakan
pencegahan terjadinya
kejang
j. Berikan anti kejang
sesuai indikasi
2. Ketidakseimbangan Manajemen a. Kaji adanya alergi
nutrisi kurang dari nutrisi makanan
kebutuhan tubuh b.d b. Kolaborasi dengan ahli
kurang asupan makan
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan oleh
pasien
Monitor c. Berikan informasi
nutrisi tentang kebutuhan nutrisi
d. Yakinkan diet yang
dimakan mengandung
tinggi serat
e. Anjurkan makan sedikit
tapi sering

a. Berat badan pasien


dalam batas normal
b. Monitor adanya
penurunan berat badan
c. Monitor kulit kering
d. Monitor turgor kulit
e. Monitor mual muntah
f. Monitor Hb dan kadar Ht
g. Monitor pucat,
konjungtiva
3. Resiko infeksi Control infeksi a. Batasi pengunjung
b. Instruksikan pada
pengunjung untuk
mencuci tangan saat
kunjungan dan setelah
kunjungan
c. Gunakan sabun
antimikroba untuk
mencuci tangan
d. Cuci tangan setiap
sebelum dan
sesudah tindakan
keperawatan
e. Monitor hitungan WBC
f. Ajarkan pada keluarga
tanda dan gejala infeksi
g. Ajarkan cara
menghindari infeksi
h. Kolaborasi terapi
11.Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena
itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
12.Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara
proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan
dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dan tingkat
kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
Sumber:
SOP HIDROSEFALUS
RSB FITRI CANDRA
WONOGIRI

HIDROSEFALUS

RSB FITRI NO. DOKUMEN : NO. Halaman


CANDRA REVISI 0 :1
WONOGIRI
PROSEDUR Tanggal Terbit Ditetapkan oleh
TETAP : 1 Januari Direktur
2016

dr. Dian Famastuti


PENGERTIAN Pelebara ventrikel otak disertai peningkata tekanan tekana
n n n
intrakrani
al.
TUJUAN Untuk menurunkan mortalitas dan meningkatkan angka harapan
hidup
serta kualitas hidup bagi pasien dengan hidrosefalus
KEBIJAKAN

PROSEDUR Anamnesis :
- Kepala yang tampak membesar pada anak dengan UUB
yang belum menutup
- Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial: letargi,
muntah, sakit kepala, iritabel, sampai penurunan
kesadaran. Terutama ditemukan pada anak dengan UUB
yang sudah menutup.
- Anamnesis ke arah penyebab: riwayat trauma, infeksi SSP
seperti meningitis, riwayat hidrosefalus pada keluarga
Pemeriksaan Fisik dan Neurologi :
- Pertumbuhan lingkar kepala yang abnormal (> + 2 SD atau
dalam pemantauan terdapat peningkatan lingkar kepala
yang tidak sesuai grafik pertumbuhan lingkar kepala).
Pertumbuhan LK anak : 2 cm/bulan mulai usia 0-3 bulan, 1
cm/bulan pada usia 4-6 bulan dan 0,5 cm/bulan sampai
usia 12 bulan.
- UUB masih terbuka pada anak usia > 18 bulan atau UUB
membonjol
- Kelainan bentuk kepala: oksipital yang prominen, asimetri
bentuk kepala, pembesaran diameter biparietal,dan frontal
boosing.
- Kelainan saraf kranial: “--sun-set appearance” dimana mata
terlihat deviasi kebawah.
- Tanda-tanda lesi --upper motor neuron: hiperrefleks,
klonus, spastisitas.
- Lesi di daerah tulang belakang: benjolan, dimple, hair
tuft, atau
hemangioma yang merupakan tanda spina
bifida Pemeriksaan Penunjang :
- Pemeriksaan transiluminasi positif
- Foto rontgen kepala: tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial:
--impresionis digitata, sutura yang melebar, pembesaran daerah
fosa posterior (Sindrom Dandy-Walker), fosa posterior yang
mengecil (malformasi Arnold-Chiari), kalsifikasi periventrikular
(infeksi CMF), kalsifikasi yang menyebar (infeksi toksoplasma).
Penatalaksanaan :
- Diberikan pada hidrosefalus yang disertai peningkatan
tekanan intraventrikel
- Tata laksana utama adalah tindakan bedah berupa
pemasangan pirau ventrikulo---peritoneal (VP-Shunt),
drainase eksterna ventrikel, atau endoscopic third
ventriculostomy. Pada keadaan tertentu dimana keadaan
umum pasien belum memungkinkan untuk operasi
permanen VP-shunt dapat dilakukan drainase eksterna
ventrikel, ventricular tapping atau pungsi lumbal serial.
- Medikamentosa seperti pemberian asetazolamide (dosis 30-
50 mg/kgBB/hari) --atau furosemid (dosis 1 mg/kgBB/hari)
dapat dipakai sementara sambil menunggu tindakan bedah.
Prognosis :
Prognosis tergantung dari etiologi, derajat hidrosefalus, ketebalan
mantel korteks otak, kondisi korpus kalosum, dan ada tidaknya
malformasi otak yang lain. Pengamatan jangka panjang sampai 20
tahun pada 233 pasien menunjukkan 13,7% meninggal dan revisi
VP-Shunt 2,7%. 115 dari 233 pasien tersebut menjalani evaluasi
psikologi: 63% normal, 30% retardasi mental ringan, dan 7%
retardasi mental berat.
UNIT TERKAIT 1. IGD
2. VK
3. Kamar Operasi
4. R. Perinatologi
5. Radiologi
Sumber: (FITRI CANDRA WONOGIRI, 2016)

ISU TERKAIT HIDROSEFALUS YANG BERHUBUNGAN DENGAN


EVIDANCE BASED PRACTICE (EBP) KEBIDANAN
“PENERAPAN METODE PICO PADA KASUS HIDROSEFALUS ANAK”
Sumber: (Bal’afif et al., 2013)

Jurnal
 The Effect of BDNF and Neurotrophin Receptor in Congenital Hidrocephalus Severity
after Ventriculo Peritoneal Shunt (2013)

 Pengaruh Kadar Protein Dan Jumlah Sel CSF Terhadap Angka Kejadian Malfungsi VP
Shunt Di RS. H. Adam Malik Medan

1.Problem
 Terdapat 22 sampel bayi hidrosefalus yang diambil Cairan serebrospinal (CSS) dari saat
dilakukan V-P Shunt, 12 jam, 24 jam dan 3 bulan kemudian. Penelitian dilakukan pada
169 pasien hidrosefalus di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sejak Januari 2010
sampai dengan Desember 2012. istilah pencarian berikut digunakan : (BDNF, congenital
hydrocephalus, P75 , TrKB) dan (Malfungsi; VP shunt; protein; jumlah sel; csf;
hidrosefalus).

2.intervention
 Intervensi menggunakanV-P Shunt akan menurunkan tekanan intrakaranial (TIK) dan
distensi ventrikel, sehingga akan memperbaiki hidrosefalus. Pada hidrosefalus berat
reekspansi kortek masih dimungkinkan. 29 pasien hidrosefalus kongenital yang
memenuhi kriteria, tetapi 7 pasien dikeluarkan dari penelitian (drop out), karena infeksi
(2 pasien), meninggal (4 pasien) dan menolak untuk diteruskan (1 pasien). Dari sisa 22
pasien didaparkan usia termuda 8 hari dan yang paling tua 12 bulan pada saat operasi V-P
Shunt dilakukan, usia terbanyak 0-6 bulan sebesar 72% dan 6-12 bulan sebesar 28 %.

 169 pasien yang dilakukan pemasangan VP shunt, 47 pasien (27.8%) diantaranya


mengalami malfungsi VP shunt. Pada 47 pasien yang mengalami malfungsi 16 orang
(40% ) diantaranya memiliki total protein cairan serebrospinal yang meningkat.

3.Comparison
 Jurnal : The Effect of BDNF and Neurotrophin Receptor in Congenital Hidrocephalus
Severity after Ventriculo Peritoneal Shunt (2013). Pada penelitian ini respon adaptif otak
pada hidrosefalus tampak masih terus terjadi pasca V-P Shunt. Hal ini mungkin karena
neurotrophin diperlukan untuk fungsi neurorestorasi, antara lain untuk memperbaiki
neurodegenerasi, karena pada hidrosefalus diketahui terjadi degenerasi neuronal.
Penelitian ini merupakan studi observasional analitik prospektif dengan sampel sebanyak
22 kasus dengan Subjek penelitian ini adalah penderita hidrosefalus kongenital dengan
usia kurang dari 1 tahun. Hasil rerata ER pre op 0,67 dan rerata ER 3 bulan pasca V-P
Shunt 0,60, uji t tes menunjukkan penurunan ER pasca V-P Shunt yang sangat bermakna
(p=0,001). ada kecenderungan berpengaruh baik.

 Jurnal: Effect of protein levels and number of CSF cells on the incidence of VP shunt
malfunction in hospital. H. Adam Malik Medan. dilakukan pada 169 pasien hidrosefalus
yang melakukan pemasangan VP-shunt. kelompok usia terbanyak pasien yang mengalami
hidrosefalus adalah pada kelompok usia < 1 tahun yaitu sebanyak 74 dari 169 pasien
(43.8%). Analisis dengan menggunakan Chi Square dengan 47 pasien (27.8%)
diantaranya mengalami malfungsi VP shunt. pasien yang mengalami malfungsi 16 orang
(40% ) diantaranya memiliki total protein cairan serebrospinal yang meningkat dan hal
tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara angka kejadian malfungsi VP
shunt dengan kadar protein cairan serebrospinal (p=0.049). Sedangkan pada pemeriksaan
jumlah sel cairan serebrospinal pada 47 pasien yang megalami malfungsi tersebut, 14
pasien (36%) diantaranya menunjukkan jumlah sel dalam cairan serebrospinal yang
meningkat dan hal ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik pada
hubungan antara angka kejadian malfungsi VP shunt dengan jumlah sel pada cairan
serebrospinal (p=0.199).

4. Outcome
 Berdasarkan uraian di atas hasil analisis menunjukan bahwa tingkat protein serebrospinal
yang meningkat tidak akan berpengaruh pada malfungsi VP shunt. intervensi operasi
VP Shunt menunjukan bahwa terjadi penurunan ER (Evan’s ratio) 3 bulan pasca operasi
VP Shunt. ER yang berarti volume cairan serebrospinal mulai menunjukan penurunan.
DAFTAR PUSTAKA

BAHAN AJAR HIDROSEFALUS. (2010).


Bal’afif, F., Widodo, M. A., Es, M. I., & B, A. H. (2013). Pengaruh BDNF dan Neurotrophin
Receptor pada Derajat Hidrosefalus Kongenital Pasca Ventrikulo Peritoneal Shunt The Effect of
BDNF and Neurotrophin Receptor in Congenital Hidrocephalus Severity after Ventricul
Peritoneal Shunt. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 27(3), 151–155.
http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/viewFile/342/331
FITRI CANDRA WONOGIRI, R. (2016). STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
HIDROSEFALUS.
Satria, D. F. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN AN DENGAN
HIDROSEFALUS. 87(1,2), 149–200.

Anda mungkin juga menyukai