RESPIRATORY SYSTEM
ASFIKSIA
Frederik Simare-Mare
2153003
2021
LAPORAN PENDAHULUAN ASFIKSIA
2. Epidemiologi
Di Indonesia, angka kejadian asfiksia kurang lebih 40 per 1000 kelahiran
hidup, secara keseluruhan 110.000 neonatus meninggal setiap tahun karena
asfiksia (Marwiyah, 2016).
3. Klasifikasi
1) Asfiksia Berat (nilai APGAR 0–3)
Didapatkan frekuensi jantung <100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis.
2) Asfiksia Sedang (nilai APGAR 4–6)
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai nayi dapat kembali
bernafas normal.
3) Bayi normal atau asfiksia ringan (nilai APGAR 7– 9)
4. Etiologi
Hipoksia janin yang dapat menyebabkan asfiksia neonatum dapat terjadi karena:
a. Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama
anestesi, penyakit jantung sianosis gagal pernafasan, atau keracunan
karbonmonoksida
b. Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi, yang dapat merupakan
komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena cava dan aorta pada
uterus gravid
c. Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya
tetani uterus, yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebih-lebihan
d. Pemisahan plasenta prematur
e. Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau
pembentukan simpul pada tali pusat
f. Vasokonstriksi pembuluh darah oleh kokain
g. Insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca
maturitas
2. Faktor Bayi
a.Bayi Prematur (Sebelum 37 minggu kehamilan).
b.Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ektraksi vakum, porsef).
c.Kelainan kongenital.
d.Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).
b. Asfiksia sedang
1). Frekuensi jantung menurun menjadi 60-80 kali permenit.
2). Usaha napas lambat
3). Adanya pernapasan cuping hidung
4). Adanya retraksi sela iga
5). Tonus otot dalam keadaan baik/lemah
6). Bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan namun
tampak lemah
7). Bayi tampak sianosis
8). Tidak terjadi kekurangn oksigen yang bermakna selama proses persalinan
c. Asfiksia berat
1). Frekuensi jantung kecil, yaitu <40x/menit
2). Tidak ada usaha na Adanya retraksi sela igaas
3). Tonus otot lemah bahkan hamper tidak ada
4). Bayi tidak dapit memberikan reaksi jika diberi rangsangan
5). Bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu
6). Terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah
persalinan.
6. Patofisiologi
Penyebab asfiksia dapat berasal dari factor ibu, factor plasenta, factor janin
dan neonatus, serta factor persalinan. Apablia janin kekurangan O2 dan CO2
bertambah, maka timbulah rangsangan terhadap saraf vagus sehingga bunyi
jantung janin menjadi lambat. Namun jika berlangsung terus maka vagus tidak
dapat dipengaruhi lagi, sehingga denjut jantung menjadi ireguler dan
menghilang.
Sehingga janin akan mengadakan pernafasan intrauterine dan ditemukan
banyak air ketuban dan meconium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi
asfiksia. Apabila asfiksia berlanjut terus maka bayi dalam kondisi gawat, bayi
tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak akan menunjukkan upaya
pernafasan secara spontan.
PATHWAY ASFIKSIA
ASFIKSIA
Asidosis respiratorik
Apneu Kerusakan otak
Gangguan perfusi
ventilasi
Resiko cidera Kematian bayi
Resiko syndrome
kematian bayi
7. Pemeriksaan Diagnostik
a. Denyut jantung janin: Frekeunsi denyut jantung janin normal antara120 -
160 kali per menit. Bila frekuensi DJJ turun sampai di bawah 100 per menit
di luar his, dan lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda
bahaya.
b. Mekonium di dalam air ketuban: Mekonium pada presentasi kepala
menunjukkan adanya gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan
kewaspadaan.
c. Pemeriksaan pH darah janin: Dengan menggunakan amnioskop yang
dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan
diambil contoh darah janin, darah ini diperiksa pH-nya. Adanya asidosis
menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu turun sampai di bawah 7,2 hal
itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.
8. Penatalaksanaan Medis
a. Langkah awal
1). Mencegah kehilangan panas, termasuk menyiapkan tempat yang kering
dan hangat untuk melakukan pertolongan.
2). Memposisikan bayi dengan baik, (kepala bayi setengah
tengadah/sedikit ekstensi atau mengganjal bahu bayi dengan kain)
3). Bersihkan jalan nafas dengan alat penghisap yang tersedia dengan
ketentuan sebagai berikut :
Bila air ketuban jernih (tidak bercampur mekonium), hisap lendir
pada mulut baru pada hidung.
Bila air ketuban bercampur dengan mekonium, mulai mengisap
lendir setelah kepala lahir (berhenti seberi tar untuk menghisap
lendir di mulut dan hidung). Bila bayi menangis, nafas teratur,
lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi mengalami depresi,
tidak menangis, lakukan upaya maksimal untuk membersihkan jalan
nafas dengan jalan membuka mulut lebar-lebar dan menghisap lendir
lebih dalam secara hati-hati.
Menilai bayi dengan melihat usaha nafas, denyut jari tung dan warna
kulit kemerahan, lakukan asuhan bayi barn lahir normal. Bila bayi
tidak menangis atau megap-megap, warna kulit biru atau pucat
denyut jari tung kurang dan 100 xlme4it, lanjutkan langkah
resusitasi.
b. Langkah resusitasi
1). Sebelumnya periksa dan lakukan bahwa alat resusitasi (baton resusitasi
dan sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi baik (lakukan test
untuk baton dan sungkup muka)
2). Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memegang atau
memeriksa bayi
3). Selimuti bayi dengan kain yang kering dan hangat kecuali muka dan
dada bagian atas, kemudian letakkan pada alas dan lingkungan yang
hangat.
4). Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala berada dalam posisi
tengadah
5). Letakkan sungkup melingkupi dagu, hidung dan mulut sehingga
terbentuk
6). semacam tautan sungkup dan wajah.
7). Tentukan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan semua jari
tangan (tergantung pada ukuran balon resusitasi)
8). Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi sebanyak dua
kali dan periksa gerakan dinding dada
9). Bila pertautan baik ( tidak bocor) dan dinding dada mengembang maka
lakukan ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tidak ada atau
tersedia oksigen guna udara ruangan)
10). Perhatikan kecepatai ventilasi sekitar 40 kali per 60 detik, dengan
tekanan yang tepat sambil melihat gerakan dada (naik turun) selama
ventilasi
11). Bila dinding dada tidak naik-turun dengan baik berarti ventilasi berjalan
secara adekuat.
12). Bila dinding dada tidak naik, periksa ulang dan betulkan posisi bayi
atau terjadi kebocoran lekatan atau tekanan ventilasi kurang
Lakukan ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik kemudian lakukan
penilaian segera tentang upaya bernafas spontan dan warna kulit:
Bila frekwensi nafas normal (30-60 x/menit), hentikan ventilasi,
lakukan kontak kulit ibu-bayi, lakukan asuhan normal bayi barn lahir
(menjaga bayi tetap hangat, mulai memberikan ASI dm1 dan
mencegah infeksi dan imunisasi)
Bila bayi belum bernafas spontan ulangi lagi ventilasi selama 2 x 30
detik atau 60 detik kemudian lakukan penilaian ulang.
Bila frekwensi nafas menjadi normal (30-60 x/menit) hentikan
ventilasi lakukan kontak kulit it lakukan asuhan normal bayi barn
lahir.
Bila bayi bernafas, tetapi terlihat retraksi dinding dada, lakukan
ventilasi dengan menggunakan oksigen (bila tersedia)
Bila bayi tidak bernafas, megap-megap, teruskan bantuan pernafasan
dengan ventilasi.
Lakukan penilaian setiap 30 detik dengan menilai usaha bernafas
denyut jari tung dan warna kulit
Jika bayi tidak bernafas secara teratur setelah ventilasi 2-3 menit,
rujuk ke fasilitas pelayanan perawatan bayi resiko tinggi.
Jika tidak ada nafas sama sekali dan tidak ada perbaikan frekwensi
denyut jari tung bayi setelah ventilasi selama 20 menit, hentikan
ventilasi, bayi dinyatakan meninggal (jelaskan kepada keluarga
bahwa upaya pertolongan gagal) dan beri dukungan emosional pada
keluarga.
9. Komplikasi
Meliputi berbagai organ yaitu :
a. Edema dan perdarahan otak
b. Anuria atau oliguria
c. Kejang
d. Koma
10. ASUHAN KEPERAWATAN ASFIKSIA
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Terdiri dari nama, umur/tanggal lahir, jenis kelamin, agama, anak
keberapa, jumlah saudara dan identitas orang tua. Yang lebih ditekankan
pada umur bayi karena berkaitan dengan diagnosa Asfiksia Neonatorum.
2. Keluhan Utama
Pada klien dengan asfiksia yang sering tampak adalah sesak nafas
3. Riwayat kehamilan dan persalinan
Bagaimana proses persalinan, apakah spontan, premature, aterm, letak
bayi belakang kaki atau sungsang
4. Kebutuhan dasar
a. Pola Nutrisi
Pada neonatus dengan asfiksia membatasi intake oral, karena organ
tubuh terutama lambung belum sempurna, selain itu juga bertujuan
untuk mencegah terjadinya aspirasi pneumonia
b. Pola Eliminasi
Umumnya klien mengalami gangguan BAB karena organ tubuh
terutama pencernaan belum sempurna
c. Kebersihan diri
Perawat dan keluarga pasien harus menjaga kebersihan pasien,
terutama saat melakukan eliminasi harus diganti popoknya
d. Pola tidur
Biasanya istirahat tidur kurang karena sesak nafas
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya pasien dengan asfiksia dalam keadaan lemah, sesak
nafas, pergerakan tremor, reflek tendon hyperaktif dan ini terjadi pada
stadium pertama.
b. Tanda-tanda Vital
Pada umunya terjadi peningkatan respirasi
c. Kulit
Pada kulit biasanya terdapat sianosis
d. Kepala
Inspeksi : Bentuk kepala bukit, fontanela mayor dan minor masih
cekung, sutura belum menutup dan kelihatan masih bergerak
e. Mata
Pada pupil terjadi miosis saat diberikan cahaya
f. Hidung
Yang paling sering didapatkan adalah didapatkan adanya pernafasan
cuping hidung.
g. Dada
Pada dada biasanya ditemukan pernafasan yang irregular dan
frekwensi pernafasan yang cepat
h. Neurology / reflek
Reflek Morrow : Kaget bila dikejutkan (tangan menggenggam)
B. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen berhubungan dengan ekspansi
yang kurang adekuat
2) Bersihan jalan Nafas Tidak Efektif b/d obstruksi lendir
3) Resiko tinggi infeksi & cedera b/d anomaly kongenital
4) Hipertermi berhubungan dengan transisi lingkungan ekstra uterin
neonatus
C. Intervensi Keperawatan
D. Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
E. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan
keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat
kemandirian pasien dalam kehidupan sehari- hari dan tingkat kemajuan kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
SOP ASFIKSIA
PENANGANAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU
Sumber: Ikatan Bidan Indonesia
LAHIR
N TGL. MULAI
YANG DIRUBAH ISI PERUBAHAN
O DIBERLAKUKA
N
Tidak
Ya
VENTILASI
Pasang sungkup,perhatikan lekatan
Ventilasi 2 X,amati gerakan dada bayi
Bila dada bayi mengembang,lakukan ventilasi 10 X dalam 30
Asuhanpascaresusitasi detik
Jaga agar bayi tetap Penilaian apakah bayi menangis / bernafas spontan/ teratur?
hangat Lakukan LDJ> 100 x/mnt?
pemantauan Konseling
Pencatatan
Rasa takut dan cemas berlebihan menjelang persalinan pada ibu hamil akan
berdampak buruk, sehingga dapat memicu terjadinya rangsangan kontraksi Rahim.
Kondisi tersebut juga dapat mengakibatkan tekanan darah yang meningkat
sehingga dapat menjadi salah satu faktor pencetus terjadinya asfiksia pada bayi
baru lahir. Hipertensi menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter
sehingga oksigen ke bayi menjadi berkurang, sehingga menimbulkan asfiksia pada
bayi baru lahir.
Salah satu upaya untuk menanggulangi terjadinya asfiksia adalah dengan metode
nonfarmakologi, di antaranya ialah hypnobirthing.
Hypnobirthing sering juga disebut dengan hypnosis persalinan, yaitu latihan
penanaman sugesti pada alam bawah sadar ibu, untuk mendukung alam sadar yang
mengendalikan tindakan ibu dalam proses persalinan. Hypnobirthing adalah
metode relaksasi yang mendasarkan pada keyakinan bahwa ibu hamil bisa
mengalami persalinan melalui insting dan memberikan sugesti bahwa melahirkan
itu nikmat. Hypnobirthing diberikan saat ibu memasuki proses kala I.
Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya bimbingan hypnosis, mampu
memberikan keamanan dan kenyamanan pada ibu bersalin sehingga dapat
mengatur pernafasan secara sempurna yang akhirnya janin dapat kebutuhan
oksigen yang cukup.
Sehingga dikarenakan adanya kenyamanan yang dirasakan ketika ibu bersalin
menunjukkan penilaian awal pada bayi baru lahir yang sangat baik yaitu bayi
umumnya sangat kuat, tonus otot sangat kuat dan warna kulit kemerahan. Dari
indikator tersebut dapat dipahami bahwa sebagian besar bayi tidak mengalami
asfiksia.
Pada ibu hamil yang diberikan Hypnobirthing biasanya lebih sedikit permintaan
untuk obat-obatan, laporan lebih sedikit rasa sakit, dan bayi mereka menunjukkan
skala yang lebih tinggi pada penilaian awal bayi baru lahir. Bayi Hypnobirthing
cenderung lahir lebih normal dan tenang, dengan penilaian awal bayi baru lahir
baik, dan dilaporkan makan dan tidur bayi lebih baik dari pada bayi yang memiliki
kelahiran dengan bantuan medis
Saran : Diharapkan ibu mau melakukan hypnobirting pada saat kehamilan agar
ibu bersalin dapat merasakan kenyamanan dan ketenangan ketika menghadapi
proses persalinan sehingga penilaian awal bayi baru lahir yang baik dan dapat
membantu menurunkan angka kejadian asfiksia pada bayi baru lahir.
Kesimpulan : Ada pengaruh pemberian terapi hypnobirthing terhadap kejadian
dan pada ibu bersalin yang diberikan hypnobirthing dari pada yang tidak diberikan
hypnobirthing.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah, F. (2009). Kejadian Asfiksia neonatorum pada bayi baru lahir. 3(1), 183–192.
Marwiyah, N. (2016). HUBUNGAN PENYAKIT KEHAMILAN DAN JENIS
PERSALINAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM DI RSUD dr
DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG. NurseLine Journal, 1(2), 8.
Sari, A. A. N. (2017). Asuhan Keperawatan pada Klien Asfiksia Dengan Masalah
Ketidakefektifan Pola Nafas. Manajemen Asuhan Kebidanan Pada Bayi Dengan Caput
Succedaneum Di Rsud Syekh Yusuf Gowa Tahun, 4, 9–15.
Simanungkalit, H. M., & Purnawati, L. (2020). Hypnobirthing Terhadap penilaian awal bayi
baru lahir di praktik mandiri bidan “b” kota palangka raya. Poltekkes Kemenkes Palangka
Raya,11(1), 7–16.
Tugas Profesi Stase Pediatrik
Frederik Simare-Mare
2153003
2021
LAPORAN PENDAHULUAN BERAT BAYI LAHIR RENDAH (BBLR)
2. Epidemiologi
BBLR berkontribusi sebesar 60-80% terhadap kematian nasional. Prevalensi
kejadian BBLR di dunia yaitu 20 juta (15,5%) setiap tahunnya, dan Negara
berkembang menjadi contributor terbesar yaitu sekitar 96,5%. Indonesia
menduduki peringkat ke-9 tertinggi di dunia, yaitu sebesar lebih dari 15,5% dari
kelahiran bayi setiap tahunnya (WHO, 2018) (Perwiraningtyas et al., 2020).
3. Klasifikasi
Ada beberapa pengelompokan dalam BBLR :
1) Prematuritas murni
Bayi yang lahir dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat
badan sesuai dengan gestasi atau yang disebut neonates kurang bulan sesuai
dengan masa kehamilan.
2) Baby small for gestational age (SGA)
Berat badan lahir tidak sesuai dengan masa kehamilan. SGA terdiri dari tiga
jenis.
a. Simetris (intrauterus for gestational age)
Gangguan nutrisi pada awal kehamilan dan dalam jangka waktu yang
lama.
b. Asimetris (intrauterus growth retardation)
Terjadi defisit pada fase akhir kehamilan.
c.Dismaturitas
Bayi yang lahir kurang dari berat badan yang seharusnya untuk masa
gestasi, dan si bayi mengalami retardasi pertumbuhan intrauteri, serta
merupakan bayi kecil untuk masa kehamilan.
4. Etiologi
a. Faktor Ibu :
1) Penyakit : hal yang berhubungan dengan kehamilan seperti toksemia,
gravidarum,pendarahan antepartum,trauma fisik dan psikologis,infeksi
akut,serta kelainan kardiovaskuler
2) Usia ibu: angka kejadian BBLR tertinggi ialah pada usia ibu dibawah
20 tahun dan diatas 35 tahun
3) Jarak antara kehamilan sebelumnya pendek yaitu kurang dari 1 tahun
4) Memiliki riwayat BBLR sebelumnya
5) Memiliki riwayat BBLR sebelumnya
6) Kondisi ibu saat hamil : peningkatan berat badan ibu yang tidak
adekuat dan ibu yang perokok.
b. Faktor Janin
Beberapa faktor janin yang mempengaruhi kejadian bblr antara lain :
kehamilan ganda,ketuban pecah dini,cacat bawaan,kelainan kromosom,infeksi
(missal : Rubella dan Sifilis) dan hidramnion/polihidramnion.
c. Faktor ekonomi
1) Kejadian tertinggi biasanya pada keadaan sosial ekonomi yang rendah
2) Gizi yang kurang
d. Faktor lingkungan
1) Terkena Radiasi
2) Terpapar Zat beracun
5. Tanda dan Gejala
a. Berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang
dari 45 cm, lingkar dada kurang dari 30 cm, dan lingkar
kepala kurang dari 33cm.
Faktor ibu: Umur (20 th) Faktor placenta: Penyakit Faktor janin: Kelainan
Paritas, Ras, Infertilitas, vaskuler, kehamilan ganda, kromosom, Malformasi, Retardasi pertumbuhan
Riwayat kehamilan tak baik, TORCH, kehamilan intra uterin
Rahim abnormal,
Resiko infeksi
Ketidakefektifan pola
nafas
8. Penatalaksanaan Medis
Perawatan pada bayi dengan berat badan lahir rendah menurut Nurafif & Hardi
(2016):
a. Pengaturan suhu
9. Komplikasi
a.Sindrom aspirasi mekonium
Sindrom aspirasi mekonium adalah gangguan pernapasan pada
bayi baru lahir yang disebabkan oleh masuknya mekonium
(tinja bayi) ke paru-paru sebelum atau sekitar waktu kelahiran
(menyebabkan kesulitan bernafas pada bayi).
b. Hipoglikemi simptomatik
Hipoglikemi adalah kondisi ketidaknormalan kadar glokosa
serum yang rendah. Keadaan ini dapat didefinisikan sebagai
kadar glukosa dibawah 40 mg/dL. Hipoglikemi sering terjadi
pada BBLR, karena cadangan glukosa rendah ,terutama pada
laki-laki.
c.Penyakit membran hialin yang disebabkan karena membran
surfaktan belum sempurna atau cukup, sehingga alveoli kolaps.
Sesudah bayi mengadakan aspirasi, tidak tertinggal udara dalam
alveoli, sehingga dibutuhkan tenaga negative yang tinggi untuk
pernafasan berikutnya.
d. Asfiksia neonatorum
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang
gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.
e.Hiperbilirubinemia (gangguan pertumbuhan hati)
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah
meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler,
sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya
berwarna kuning.
10. ASUHAN KEPERAWATAN BBLR
A. PENGKAJIAN
1. Biodata
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, pendidikan, alamat,
nama ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, agama, alamat, suku
bangsa.
2. Keluhan utama
Untuk mengetahui alasan utama mengapa klien mencari pertolongan pada
tenaga professional.
3. Riwayat penyakit sekarang
Untuk mengetahui lebih detail hal yang berhubungan dengan keluhan
utama.
a. Munculnya keluhan
Tanggal munculnya keluhan, waktu munculnya keluhan
(gradual/tiba-tiba), presipitasi/ predisposisi (perubahan emosional,
kelelahan, kehamilan, lingkungan, toksin/allergen, infeksi).
b. Karakteristik
Karakter (kualitas, kuantitas, konsistensi), loksai dan radiasi, timing
(terus menerus/intermiten, durasi setiap kalinya), hal-hal yang
meningkatkan/menghilangkan/mengurangi keluhan, gejala-gejala
lain yang berhubungan.
c. Masalah sejak muncul keluhan
Perkembangannya membaik, memburuk, atau tidak berubah.
4. Riwayat masa lampau
a.Prenatal
Keluhan saat hamil, tempat ANC, kebutuhan nutrisi saat hamil, usia
kehamilan (preterm, aterm, post term), kesehatan saat hamil dan
obat yang diminum.
b. Natal
Tindakan persalinan (normal atau Caesar), tempat bersalin, obat-
obatan yang digunakan.
c.Post natal
Kondisi kesehatan, apgar score, Berat badan lahir, Panjang badan
lahir, anomaly kongenital.
d.Penyakit waktu kecil
e.Pernah dirawat di rumah sakit
Penyakit yang diderita, respon emosional
f. Obat-obat yang digunakan (pernah/sedang digunakan)
Nama obat dan dosis, schedule, durasi, alasan penggunaan obat.
g.Allergi
e. Hidung
Kebersihan, kelainan
f. Mulut
Kebersihan, bau, mukosa mulut, stomatitis
g. Telinga
Fungsi pendengaran, kelainan, kebersihan
h. Dada
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi (jantung, paru-paru)
i. Abdomen
Inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi
j. Punggung
Ada/tidak kelainan
k. Genetalia
Kebersihan, terpasang kateter/tidak, kelainan
l. Ekstremitas
Odema, infuse/transfuse, kontraktor, kelainan
m. Kulit
Kebersihan kulit, turgor kulit, lesi, kelainan
10. Pemeriksaan tumbuh kembang
1) Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
Kejadian-kejadian penting; pertama kali mengangkat kepala, berguling,
duduk sendiri, berdiri, berjalan, berbicara/kata-kata bermakna atau
kalimat, gangguan mental perilaku.
2) Pelaksanaan pemeriksaan pertumbuhan
C. Intervensi Keperawatan
N Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi (NIC)
o keperawatan hasil
(NOC)
1 Tidak efektifnya Setelah dilakukan tindakan 1. Pantau tingkat
palpitasi.
pernapasan.
(pernafasan).
klien.
terjadinya dehidrasi.
kebutuhan tubuh. diharapkan pasien mampu: pendek, lengan kurus dan kaki.
dengan ahli
gizi).
nutrisi.
memegang bayi.
b. Asupan makanan dan cairan
Rasional: untuk mencegah
e. Berat badan
3. Penyembuhan luka: Primer
a. Kulit utuh
D. Implementasi Keperawatan
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan
pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
E. Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan
membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan
keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat
kemandirian pasien dalam kehidupan sehari- hari dan tingkat kemajuan kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
PERAWATAN BAYI BARU
LAHIR DENGAN BBLR
No. Dokumen :
No. Revisi :
SOP Tanggal Terbit : 02-01-2016
Halaman : 1/3
UPT Santoso
PUSKESMAS NIP. 19621010 198501 1
HARAPAN 003
Selain dari fungsi di atas terakhir fungsi yang utama adalah menjalin ikatan
antara ibu dan anak, sehingga anak merasa aman dan nyaman dan dapat
meningkatkan stimulus psikis bayi.
Daftar Pustaka
DEWI, L. A. (2018). Penerapan Pemberian Air Susu Ibu (Asi) Pada Bayi Berat Badan Lahir
Rendah (Bblr) Dengan Reflek Hisap Lemah Di Ruang Perinatologi ….
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2083/
Perwiraningtyas, P., Ariani, N. L., & Anggraini, C. Y. (2020). Analisis Faktor Resiko Tingkat
Berat Bayi Lahir Rendah. Jnc, 3(3), 212–220.
Tugas Profesi Stase Pediatrik
Frederik Simare-Mare
2153003
2021
LAPORAN PENDAHULUAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN
(KKP)
2. Epidemiologi
Di Indonesia, hampir sepertiga anak pra sekolah menderita KKP. Diperkirakan
33% anak balita di Indonesia menderita KKP, 3% di antaranya adalah KKP
tingkat berat (Sugiani, n.d.).
3. Klasifikasi
Secara klinik dibedakan dalam bentk yaitu Kwashiorkor dan Marasmus.
A.Marasmus yaitu keadaan kurang kalori
B.Kwashiorkor yaitu keadaan kekurangan protein yang parah dan pemasukan
kalori
yang kurang.
C.Marasmus kwashiorkor yaitu keadaan peralihan antara marasmus dan
kwashiorkor.
2. Kwashiorkor
a) Diare yang kronik
b) Malabsorbsi protien
c) Sindrom nefrotik
d) Infeksi menahun
e) Luka bakar
f) Penyakit hati.
Marasmus:
1. Tampak kurus, seperti
tulang yang tinggal terbungkus kulit
2. Wajah seperti orang tua
3. Kerusakan integritas
kulit yaitu keriput
4. Perut cekung
5. Disertai penyakit infeksi
seperti diare kronik atau konstipasi
6. Patofisiologi
Kurang kalori protein akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan
kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet Dalam keadaan
kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup
dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk
mempergunakan karbohidrat, protein dan lemakmerupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan. Karbohidrat (glukosa) dapat
dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan.
Kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit,
sehingga setelah 25 jam sudah dapat terjadi kekurangan. Akibatnya
katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan
asamamino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan ginjal. Selama
puasa jaringan lemak dipecah menjadi asam lemak, gliserol dan ketonbodies.
Otot dapat mempergunakan asam lemak dan ketonbodies sebagai
sumber energi kalau kekurangan makanan ini berjalan menahun. Tubuh
akan mempertahankan diri jangan sampai memecah protein lagi setelah
kira- kirakehilangan separuh dari tubuh (Ashari, 2021).
PATHWAY KURANG KALORI PROTEIN (KKP)
7. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah tepi untuk memperlihatkan apakah dijumpai anemia
ringan sampai sedang, umumnya pada KKP dijumpai berupa anemia
hipokronik atau normokromik.
Pada uji faal hati:
Pada pemeriksaan uji faal hati tampak nilai albumin sedikit atau amat
rendah, trigliserida normal, dan kolesterol normal atau merendah.
Kadar elektrolit K rendah, kadar Na, Zn dan Cu bisa normal atau menurun.
Kadar gula darah umumnya rendah. (normalnya Gula darah puasa : 70-110
mg/dl, Waktu tidur : 110-150 mg/dl, 1 jam setelah makan < 160 mg/dl, 2
jam setelah makan : < 125 mg / dl
Asam lemak bebas normal atau meninggi.
Nilai beta lipoprotein tidak menentu, dapat merendah atau meninggi.
Kadar hormon insulin menurun, tetapi hormon pertumbuhan dapat normal,
merendah maupun meninggi.
Analisis asam amino dalam urine menunjukkan kadar 3-metil histidin
meningkat dan indeks hidroksiprolin menurun.
Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan yang ringan, jarang dijumpai
dengan kasus perlemakan berat.
Kadar imunoglobulin serum normal, bahkan dapat meningkat.
Kadar imunoglobulin A sekretori rendah.
Penurunan kadar berbagai enzim dalam serum seperti amilase,
esterase, kolin esterase, transaminase dan fosfatase alkali. Aktifitas
enzim pankreas dan xantin oksidase berkurang.
Defisiensi asam folat, protein, besi.
Nilai enzim urea siklase dalam hati merendah, tetapi kadar enzim
pembentuk asam amino meningkat.
b) Pemeriksaan Radiologik
Pada pemeriksaan radiologik tulang memperlihatkan osteoporosis ringan
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan kurang kalori protein :
5.Riwayat keluarga
Penyakit yang pernah atau sedang diderita oleh keluarga (baik
berhubungan / tidak berhubungan dengan penyakit yang diderita klien),
gambar genogram dengan ketentuan yang berlaku (symbol dan 3 generasi).
6.Riwayat sosial
a.Yang mengasuh anak dan alasannya
b.Pembawaan anak secara umum (periang, pemalu, pendiam, dan kebiasaan
menghisap jari, membawa gombal, ngompol)
c.Lingkungan rumah (kebersihan, keamanan, ancaman, keselamatan anak,
ventilasi, letak barang-barang)
7.Keadaan kesehatan saat ini
Diagnosis medis, tindakan operasi, obat-obatan, tindakan keperawatan,
hasil laboratorium, data tambahan.
8.Pengkajian pola fungsi Gordon
A. Persepsi kesehatan dan manajemen kesehatan
Status kesehatan sejak lahir, pemeriksaan kesehatan secara rutin,
imunisasi, penyakit yang menyebabkan anak absen dari sekolah,
praktek pencegahan kecelakaan (pakaian, menukar popok,dll),
kebiasaan merokok orang tua, keamanan tempat bermain anak dari
kendaraan, praktek keamanan orang tua (produk rumah tangga,
menyimpan obat-obatan,dll)
B. Nutrisi metabolik
A.Pemeriksaan fisik
5.Edema tungkai
Intervensi Keperawatan
No Diagnosa NOC NIC
1 Gangguan nutrisi Nutritional Status : food and Manajemen Nutrisi
kurang dari kebutuhan Fluid Intake
1. Kaji pola makan klien
tubuh berhubungan Kriteria Hasil :
dengan intake. 1. Adanya 2. Kaji adanya alergi makanan.
makanan tidak peningkatan berat badan 3. Kaji makanan yang disukai oleh
adekuat (nafsu makan sesuai dengan tujuan klien.
berkurang).
2.Berat badan ideal sesuai dengan 4. Kolaborasi dg ahli gizi untuk
tinggi badan penyediaan nutrisi terpilih
sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Mampu
mengidentifikasi 5. Anjurkan klien
untuk meningkatkan asupan
kebutuhan nutrisi nutrisinya.
4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi
6. Yakinkan diet yang dikonsumsi
mengandung cukup serat untuk
5. Tidak terjadi penurunan berat mencegah konstipasi.
badan yang berarti
7. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi dan
pentingnya bagi tubuh klien.
Monitor Nutrisi
3. Resiko tinggi infeksi Immune Status Knowledge Infection Control (Kontrol infeksi)
berhubungan dengan : Infection control 1. Bersihkan lingkungan
kerusakan pertahanan
setelah dipakai pasien lain
tubuh. Risk control
2. Pertahankan teknik isolasi
Kriteria Hasil: 3. Batasi pengunjung bila perlu
1. Klien bebas dari tanda dan gejala 4. Instruksikan pada pengunjung
infeksi untuk mencuci tangan saat
2. Mendeskripsikan proses berkunjung dan setelah
penularan penyakit, faktor yang berkunjung meninggalkan
mempengaruhi penularan pasien
serta penatalaksanaannya 5. Gunakan sabun antimikrobia
3. Menunjukkan kemampuan untuk untuk cuci tangan
mencegah timbulnya infeksi 6. Cuci tangan setiap sebelum
4. Jumlah leukosit dalam batas dan sesudah tindakan
normal keperawatan
5) Implementasi
Tahap pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena
itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor
yang mempengaruhi masalah kesehatan klien.
6) Evaluasi Keperawatan
Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan
keperawatan. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan antara
proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan
dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dan tingkat
kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang telah di rumuskan sebelumnya.
SOP KURANG KALORI
PROTEIN (KKP)
Tanggal terbit
Ditetapkan Oleh :
STANDAR Direktur
PROSEDUR Februari 2014
drg. Dyah Paramita Indreswari,MPH
Pengertian Diet yang mengandung kalori/energi dan protein di atas kebutuhan normal.
Disebut juga diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT).
Diet diberikan kepada pasien dalam keadaan :
1. Kurang Energi Protein (KEP).
2. Sebelum dan sesudah operasi tertentu, multi trauma, serta selama
radioterapi dan kemoterapi.
3. Luka bakar berat dan baru sembuh dari penyakit dengan panas tinggi.
4. Hipertiroid, hamil dan post partum dimana kebutuhan energi dan protein
meningkat.
Prosedur
Hasil studi situasi dan analisis gizi di Indonesia tahun 2015, status Gizi Balita
menurut Indeks Berat Badan per Umur (BB/U), didapatkan 14,9% mengalami
gizi kurang dan 3,8% gizi buruk. Status Gizi Balita menurut Indeks Berat Badan
per Tinggi Badan (BB/TB), didapatkan 8,2% kurus dan 3,7% sangat kurus. Selain
ha- sil tersebut berdasarkan pemantauan terakhir Sub Dit Gizi Kemenkes RI tahun
2017 masih ada 1487 balita mengalami Gizi buruk.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu ada tindakan segera yang di luar
program (out of the box) serta melibatkan pemberdayaan masyarakat, yaitu
aktivitas DASA WISMA (DAWIS).
Aktivis Dasa Wisa (Dawis) merupakan kader kesehatan yang memiliki tanggung
jawab memberikan edukasi dan pemantauan kesehatan atas sepuluh keluarga di
suatu wilayah.
Sebelumnya para aktivis dasa wisma dilatih terlebih dahulu dengan bekal buku
pendampingan dan dibekali sarana alat penimbang berat badan dan pengukur
tinggi badan.
Pemberian intervensi berupa pelatihan dengan media modul dapat digunakan
untuk menyampaikan materi pendidikan tentang penentuan status gizi, dengan
metode simulasi para anggota masyarakat yang dilatih sebagai pendamping dapat
meniru, memeragakan ulang segala sesuatu yang berkaitan dengan materi yang
disampaikan, metode ini bertujuan untuk melatih dan memahami konsep atau
prinsip dari pendidikan yang disampaikan sehingga dapat memecahkan masalah
terkait malnutrisi. Pendampingan berupa edukasi tentang nutrisi anak balita, cara
pemantauan status gizi dan praktik efektif dalam upaya menurunkan risiko
kejadian malnutrisi pada anak balita, terutama stunting.
Apabila terbukti ada perubahan perilaku para ibu balita dalam pemantauan status
gizi balita, maka penelitian ini dapat dipergunakan sebagai evidence based
practice usulan program baru di bidang kesehatan, yaitu pemberian pelatihan
pemantauan status gizi balita serta pendampingan aktivis dasa wisma sebagai
salah satu program andalan dalam menurunkan malnutrisi balita.
Hasil dari penelitian:
Setelah para aktivis dasa wisma memberikan pendampingan kepada ibu balita
selama satu bulan ada peningkatan pengetahuan dan praktik dalam pemenuhan
gizi anak balita dan kemampuan menentukan status gizi anak balita. Peran dasa
wisma sangat penting untuk mendampingi ibu balita dalam pemantauan gizi
balita, diharapkan semua ibu balita dan anggota dawis lainnya dapat berpartisi-
pasi bukan hanya ibu ketua dawis yang aktif. Lebih aktifnya program dan
kegiatan dari puskesmas kepada dasa wisma di bawah wilayah kerjanya untuk
diberikan pembekalan terkait pemantauan status gizi. Lebih memanfaatkan
adanya tetangga satu dasa wisma (peer educator) untuk saling mengingatkan dan
membantu memberikan doro ngan positif terkait pemantauan status gizi balita.
Kesimpulan:
Aktivitas DAWIS dapat dipergunakan sebagai evidence based practice usulan
program baru di bidang kesehatan sebagai salah satu program dalam
pemantauan status gizi balita.
Daftar Pustaka
HIDROSEFALUS
Frederik Simare-Mare
2153003
2021
LAPORAN PENDAHULUAN HIDROSEFALUS
2. Epidemiologi
Prevalensi hydrocephalus secara keseluruhan di dunia mencapai 84,7 per
100.000. Insidensi hydrocephalus kongenital mencapai 3-4 per 1.000 kelahiran
hidup. Di Indonesia, data epidemiologi mengenai hydrocephalus masih jarang
ditemukan. Namun, berdasarkan studi yang dilakukan oleh Rahmayani et al. di
RSUD dr. Soetomo, dari 80 pasien yang menderita hydrocephalus, 41,25%
mengalami hydrocephalus komunikans dan 58,75% mengalami hydrocephalus
non komunikans. Insidens hydrocephalus di Indonesia mencapai 10 permil. Bayi
merupakan kelompok usia terbanyak yang mengalami hydrocephalus (46,25%),
sedangkan neonatus hanya mencapai 5%. Jenis kelamin yang lebih banyak
mengalami hydrocephalus adalah laki-laki dengan rasio 2,1:1. Hal ini karena
adanya faktor genetik (gen resesif terkait-X).
3. Klasifikasi
4. Etiologi
Pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorpsi yang
normal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat
jarang terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada
adenomata pleksus koroidalis. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering
terdapat pada bayi dan anak yaitu kelainan bawaan, infeksi, neoplasma dan
perdarahan.
1) Kelainan bawaan
- Dahi nampak melebar dan kulit kepala tipis, tegap mengkilap denganpelebaran vena-
vena kulit kepala.
- Tulang tengkorak tipis dengan sutura masih terbuka lebar cracked potsign yakni
bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi.
- Perubahan pada mata.
a) bola mata berotasi kebawah olek karena ada tekanan dan penipisantulang supra
orbita. Sclera nampak diatas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari
yang akan terbenam
b) strabismus divergens
c) nystagmusd.refleks pupil lambate.atropi N II oleh karena kompensi ventrikel
pada chiasma optikumf.papil edema jarang, mungkin oleh sutura yang masih
terbuka.
6. Patofisiologi
Menurut teori, hidrosefalus terjadi akibat dari tiga mekanisme yaitu;
produksi cairan yang berlebihan, peningkatan resistensi aliran cairan,
peningkatan tekanan sinus venosa. Konsekuensi dari tiga mekanisme diatas
adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan
keseimbangan sekresi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dipahami dengan
jelas, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana akumulasi akibat
dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya
dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat tiap saat
selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari:
1) Kompensasi sistem serebrovaskular
2) Redistribusi dari liquor serebropinal atau cairan ekstraseluler atau
keduanya dalam susunan sistem saraf pusat.
3) Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak,kelainan turgor otak)
4) Efek tekanan denyut liquor serebrospinal (masih diperdebatkan)
5) Hilangnya jaringan otak
6) Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura cranial.
Produksi cairan yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh tumor
pleksus khoroid (papiloma dan karsinoma). Adanya produksi yang berlebihan
akan menyebabkan tekanan intracranial meningkat dalam mempertahankan
keseimbangan antara sekresi dan absorbs liquor, sehingga akhirnya ventrikel
akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi liquor yang
berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga akibat
hipervitaminosis. Gangguan aliran liquor merupakan awal dari kebanyakan dari
kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan
aliran akan meningkatkan tekanan cairan secara proporsional dalam upaya
mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Derajat peningkatan resistensi aliran cairan dan kecepatan
perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan klinis.
7. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan fisik:
a. Pengukuran lingkaran kepala secara berkala.
Pengukuran ini penting untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau
lebih dari normal
b. Transiluminasi
2) Pemeriksaan darah:
Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
3) Pemeriksaan cairan serebrospinal:
Analisa cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau meningitis
untuk mengetahui kadar protein dan menyingkirkan kemungkinan ada infeksi
sisa
4) Pemeriksaan radiologi:
a. X-foto kepala: tampak kranium yang membesar atau sutura
yangmelebar.
b. USG kepala: dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
c. CT Scan kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel
dansekaligus mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya
8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
a. Diagnosis
Hidrosefalus merupakan salah satu dari kelainan kongenital. Untuk
mewaspadai adanya kelainan kongenital maka diperlukan pemeriksaan
fisik, radiologik, dan laboratorium untuk menegakkan diagnosa kelainan
kongenital setelah bayi lahir. Pada anak yang lebih besar kemungkinan
hidrosefalus diduga bila terdapat gejala dan tanda tekanan intrakranial
yang meninggi. Tindakan yang dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis ialah transluminasi kepala, ultrasonogafi kepala bila ubunubun
besar belum menutup, foto Rontgen kepala dan tomografi komputer (CT
Scan). Pemeriksaan untuk menentukan lokalisasi penyumbatan ialah
dengan menyuntikkan zat warna PSP ke dalam ventrikel lateralis dan
menampung pengeluarannya dari fungsi lumbal untuk mengetahui
penyumbatan ruang subaraknoid. Sebelum melakukan uji PSP ventrikel
ini, dilakukan dahulu uji PSP ginjal untuk menentukan fungsi ginjal.
Ventrikulografi dapat dilakukan untuk melengkapi pemeriksaan. Namun
dengan adanya pemeriksaan CT Scan kepala, uji PSP ini tidak
dikerjakan lagi.
b. Pengobatan
Penanganan hidrosefalus telah semakin baik dalam tahun- tahun terakhir
ini, tetapi terus menghadapi banyak persoalan. Idealnya bertujuan
memulihkan keseimbangan antara produksi dan resorpsi CSF. Beberapa
cara dalam pengobatan hidrosefalus yaitu:
1.Terapi Medikamentosa
Hidrosefalus dengan progresivitas rendah dan tanpa obstruksi pada
umumnya tidak memerlukan tindakan operasi. Dapat diberi
asetazolamid dengan dosis 25-50 mg/kg BB. Asetazolamid dalam
dosis 40-75 mg/kg 24 jam mengurangi sekitar sepertiga produksi
CSF, dan terkadang efektif pada hidrosefalus ringan yang
berkembang lambat. Pada keadaan akut dapat diberikan manitol.
Diuretika dan kortikosteroid dapat diberikan, meskipun hasilnya
kurang memuaskan
2.Operasi
Operasi berupa upaya menghubungkan ventrikulus otak dengan
rongga peritoneal, yang disebut ventriculo- peritoneal shunt.
Tindakan ini pada umumnya ditujukan untuk hidrosefalus non-
komunikans dan hidrosefalus yang progresif. Setiap tindakan
pemirauan (shunting) memerlukan pemantauan yang
berkesinambungan oleh dokter spesialis bedah saraf. Pada
Hydrocephalus Obstruktif, tempat obstruksi terkadang dapat
dipintas (bypass). Pada operasi Torkildsen dibuat pintas stenosis
akuaduktus menggunakan tabung plastik yang menghubungkan
tabung plastik yang menghubungkan 1 ventrikel lateralis dengan
sistem magna dan ruang subaraknoid medula spinalis; operasi tidak
berhasil pada bayi karena ruangan ruangan ini belum berkembang
dengan baik. (Suryadi & Darsono, 2016)
2) Penatalaksanaan Keperawatan
Upaya pencegahan progresi penyakit ke arah berbagai akibat penyakit yang
lebih buruk, pada penderita Hidrosefalus dapat dilakukan yaitu dengan
pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan
kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Tindakan ini dilakukan
pada periode pasca operasi. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi shunt seperti infeksi, kegagalan mekanis, dan kegagalan
fungsional yang disebabkan oleh jumlah aliran yang tidak adekuat. Infeksi
pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi
ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis mencakup
komplikasikomplikasi seperti:
9. Komplikasi
2.Kerusakan otak
abses otak.
6.Kematian.
10.ASUHAN KEPERAWATAN HIDROSEFALUS
1.PENGKAJIAN
1.Biodata
Identitas pasien berupa: nama, tanggal lahir, usia, pendidikan, alamat,
nama ayah dan ibu, pekerjaan ayah dan ibu, agama, alamat, suku bangsa.
2.Keluhan utama
Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
penglihatan perifer.
3.Riwayat Kesehatan
umum, akumulasi secret pada saluran nafas, dan adanya liquor dari
c. Riwayat perkembangan
Kelahiran premature. lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir
d. Pengkajian psikososiospritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga
(orang tua) untuk menilai respon terhadap penyakit yang diderita dan
dan orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecatatan, rasa
4.Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum:
2. B1(breathing)
Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan inaktivitas.
Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini
observasi ekspansi dada juga perlu dinilai retraksi dada dari otot-otot
3. B2 (Blood)
4. B3 (Brain)
Kepela terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh. Hal ini
usia yang sama. Selain itu pengukuuran berkala lingkar kepala, yaitu
untuk melihat pembesaran kepala yang progresif dan lebih cepat dari
a. Saraf I (Olfaktori)
b. Saraf II (Optikus)
c. Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis,
Abducens)
d. Saraf V (Trigeminius)
e. Saraf VII(facialis)
f. Saraf VIII (Akustikus)
h. Saraf XI (Aksesorius)
a. Tonus otot
b. Kekuatan otot
9. Pengkajian Refleks.
refleks patologis.
auditorius.
11. B4 (Bledder)
12. B5 (Bowel)
serta mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai muntah akibat
13. B6 (Bone)
secara umum. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgon kulit.
10.Diagnosa Keperawatan
HIDROSEFALUS
PROSEDUR Anamnesis :
- Kepala yang tampak membesar pada anak dengan UUB
yang belum menutup
- Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial: letargi,
muntah, sakit kepala, iritabel, sampai penurunan
kesadaran. Terutama ditemukan pada anak dengan UUB
yang sudah menutup.
- Anamnesis ke arah penyebab: riwayat trauma, infeksi SSP
seperti meningitis, riwayat hidrosefalus pada keluarga
Pemeriksaan Fisik dan Neurologi :
- Pertumbuhan lingkar kepala yang abnormal (> + 2 SD atau
dalam pemantauan terdapat peningkatan lingkar kepala
yang tidak sesuai grafik pertumbuhan lingkar kepala).
Pertumbuhan LK anak : 2 cm/bulan mulai usia 0-3 bulan, 1
cm/bulan pada usia 4-6 bulan dan 0,5 cm/bulan sampai
usia 12 bulan.
- UUB masih terbuka pada anak usia > 18 bulan atau UUB
membonjol
- Kelainan bentuk kepala: oksipital yang prominen, asimetri
bentuk kepala, pembesaran diameter biparietal,dan frontal
boosing.
- Kelainan saraf kranial: “--sun-set appearance” dimana mata
terlihat deviasi kebawah.
- Tanda-tanda lesi --upper motor neuron: hiperrefleks,
klonus, spastisitas.
- Lesi di daerah tulang belakang: benjolan, dimple, hair
tuft, atau
hemangioma yang merupakan tanda spina
bifida Pemeriksaan Penunjang :
- Pemeriksaan transiluminasi positif
- Foto rontgen kepala: tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial:
--impresionis digitata, sutura yang melebar, pembesaran daerah
fosa posterior (Sindrom Dandy-Walker), fosa posterior yang
mengecil (malformasi Arnold-Chiari), kalsifikasi periventrikular
(infeksi CMF), kalsifikasi yang menyebar (infeksi toksoplasma).
Penatalaksanaan :
- Diberikan pada hidrosefalus yang disertai peningkatan
tekanan intraventrikel
- Tata laksana utama adalah tindakan bedah berupa
pemasangan pirau ventrikulo---peritoneal (VP-Shunt),
drainase eksterna ventrikel, atau endoscopic third
ventriculostomy. Pada keadaan tertentu dimana keadaan
umum pasien belum memungkinkan untuk operasi
permanen VP-shunt dapat dilakukan drainase eksterna
ventrikel, ventricular tapping atau pungsi lumbal serial.
- Medikamentosa seperti pemberian asetazolamide (dosis 30-
50 mg/kgBB/hari) --atau furosemid (dosis 1 mg/kgBB/hari)
dapat dipakai sementara sambil menunggu tindakan bedah.
Prognosis :
Prognosis tergantung dari etiologi, derajat hidrosefalus, ketebalan
mantel korteks otak, kondisi korpus kalosum, dan ada tidaknya
malformasi otak yang lain. Pengamatan jangka panjang sampai 20
tahun pada 233 pasien menunjukkan 13,7% meninggal dan revisi
VP-Shunt 2,7%. 115 dari 233 pasien tersebut menjalani evaluasi
psikologi: 63% normal, 30% retardasi mental ringan, dan 7%
retardasi mental berat.
UNIT TERKAIT 1. IGD
2. VK
3. Kamar Operasi
4. R. Perinatologi
5. Radiologi
Sumber: (FITRI CANDRA WONOGIRI, 2016)
Jurnal
The Effect of BDNF and Neurotrophin Receptor in Congenital Hidrocephalus Severity
after Ventriculo Peritoneal Shunt (2013)
Pengaruh Kadar Protein Dan Jumlah Sel CSF Terhadap Angka Kejadian Malfungsi VP
Shunt Di RS. H. Adam Malik Medan
1.Problem
Terdapat 22 sampel bayi hidrosefalus yang diambil Cairan serebrospinal (CSS) dari saat
dilakukan V-P Shunt, 12 jam, 24 jam dan 3 bulan kemudian. Penelitian dilakukan pada
169 pasien hidrosefalus di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan sejak Januari 2010
sampai dengan Desember 2012. istilah pencarian berikut digunakan : (BDNF, congenital
hydrocephalus, P75 , TrKB) dan (Malfungsi; VP shunt; protein; jumlah sel; csf;
hidrosefalus).
2.intervention
Intervensi menggunakanV-P Shunt akan menurunkan tekanan intrakaranial (TIK) dan
distensi ventrikel, sehingga akan memperbaiki hidrosefalus. Pada hidrosefalus berat
reekspansi kortek masih dimungkinkan. 29 pasien hidrosefalus kongenital yang
memenuhi kriteria, tetapi 7 pasien dikeluarkan dari penelitian (drop out), karena infeksi
(2 pasien), meninggal (4 pasien) dan menolak untuk diteruskan (1 pasien). Dari sisa 22
pasien didaparkan usia termuda 8 hari dan yang paling tua 12 bulan pada saat operasi V-P
Shunt dilakukan, usia terbanyak 0-6 bulan sebesar 72% dan 6-12 bulan sebesar 28 %.
3.Comparison
Jurnal : The Effect of BDNF and Neurotrophin Receptor in Congenital Hidrocephalus
Severity after Ventriculo Peritoneal Shunt (2013). Pada penelitian ini respon adaptif otak
pada hidrosefalus tampak masih terus terjadi pasca V-P Shunt. Hal ini mungkin karena
neurotrophin diperlukan untuk fungsi neurorestorasi, antara lain untuk memperbaiki
neurodegenerasi, karena pada hidrosefalus diketahui terjadi degenerasi neuronal.
Penelitian ini merupakan studi observasional analitik prospektif dengan sampel sebanyak
22 kasus dengan Subjek penelitian ini adalah penderita hidrosefalus kongenital dengan
usia kurang dari 1 tahun. Hasil rerata ER pre op 0,67 dan rerata ER 3 bulan pasca V-P
Shunt 0,60, uji t tes menunjukkan penurunan ER pasca V-P Shunt yang sangat bermakna
(p=0,001). ada kecenderungan berpengaruh baik.
Jurnal: Effect of protein levels and number of CSF cells on the incidence of VP shunt
malfunction in hospital. H. Adam Malik Medan. dilakukan pada 169 pasien hidrosefalus
yang melakukan pemasangan VP-shunt. kelompok usia terbanyak pasien yang mengalami
hidrosefalus adalah pada kelompok usia < 1 tahun yaitu sebanyak 74 dari 169 pasien
(43.8%). Analisis dengan menggunakan Chi Square dengan 47 pasien (27.8%)
diantaranya mengalami malfungsi VP shunt. pasien yang mengalami malfungsi 16 orang
(40% ) diantaranya memiliki total protein cairan serebrospinal yang meningkat dan hal
tersebut menunjukkan hubungan yang bermakna antara angka kejadian malfungsi VP
shunt dengan kadar protein cairan serebrospinal (p=0.049). Sedangkan pada pemeriksaan
jumlah sel cairan serebrospinal pada 47 pasien yang megalami malfungsi tersebut, 14
pasien (36%) diantaranya menunjukkan jumlah sel dalam cairan serebrospinal yang
meningkat dan hal ini menunjukkan hubungan yang tidak bermakna secara statistik pada
hubungan antara angka kejadian malfungsi VP shunt dengan jumlah sel pada cairan
serebrospinal (p=0.199).
4. Outcome
Berdasarkan uraian di atas hasil analisis menunjukan bahwa tingkat protein serebrospinal
yang meningkat tidak akan berpengaruh pada malfungsi VP shunt. intervensi operasi
VP Shunt menunjukan bahwa terjadi penurunan ER (Evan’s ratio) 3 bulan pasca operasi
VP Shunt. ER yang berarti volume cairan serebrospinal mulai menunjukan penurunan.
DAFTAR PUSTAKA