Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Relasi agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat sebagai realitas sosial
dalam kehidupan. Agama sebagai realitas ketuhanan dan budaya sebagai realitas
kemanusiaan merupakan dua dimensi yang terimplementasi dalam kegiatan
bermasyarakat. Identitas masyarakat yang pada wilayah yang lebih kecil yang disebut
dengan komunitas, didominasi atas pengaruh adanya relasi agama dan budaya
(Darwati, 2018; Mahfuz, 2019). Agama dapat menjadi landasan sudut pandang budaya
dalam membentuk sebuah tatanan kehidupan. Kedua dimensi ini dalam konteks
kehidupan kadang menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sebagai ciri dan
identitas sebuah komunitas atau masyarakat (Kuntarto, 2016; Hamali, 2018; Potabuga,
2020).
Konteks yang lain, di antara agama dan budaya juga dapat terjadi resistensi -
terlepas dari fakta sosial lain sebagai faktor pendamping dan pemicu - yang berujung
timbulnya perseteruan yang melahirkan konflik (Samiyono, 2013; Roibin, 2016).
Hubungan agama dan budaya pada dasar dapat dilihat secara komprehensif dalam
kehidupan bermasyarakat. Lahir dan adanya upacara atau kegiatan keagamaan selalu
ada nuansa budaya atau kebudayaan sebagai identitas sebuah masyarakat yang melekat
dalam proses pelaksanaannya. Terjadinya proses akulturasi budaya dan agama dalam
satu proses kegiatan baik yang bersifat keagamaan maupun kebudayaan seperti tradisi
slametan, perang topat dan tahlilan (Adiansyah, 2017; Djakfar, 2012; Marjan &
Hariati, 2018; Mas’ari& Syamsuatir, 2017; Wekke, 2013; Nurdin, 2016).
Fakta ini secara eksplisit menolak terhadap perspektif bahwa modernisasi akan
membawa perubahan signifikan terhadap dimensi agama sebagai dasar kehidupan.
Agama dan bahkan budaya tidak memiliki peran dalam kehidupan bermasyarakat
tergantikan basis rasional sekuleristik sebagai pedoman (Cartono, 2019; Junaedi,
2020; Rosana, 2018; Viktorahadi, 2018). Permisalan konkrit terjadinya integrasi
agama dan budaya dalam konteks kehidupan masyarakat dapat dirujuk pada beberapa
hasil karya Clifford Geertz. Pemikiran Geertz yang banyak dipengaruhi tokoh seperti

1
Boas, Kroeber hingga Max Weber, mengemukakan tentang trikotomi masyarakat
Islam Jawa yang terdiri dari priyayi, santri dan abangan (Tago, 2017).
Perspektif Geertz tersebut tidak lepas atas pandangannya bahwa agama sebagai
sebuah sistem kebudayaan. Konteks ini erat kaitannya dengan simbol dan nilai yang
ada pada agama yang sering dijadikan landasan filosofis dalam pelaksanaan dan
melestarikan tradisi budaya masyarakat. Simbol-simbol ini sangat erat kaitannya
dengan world view atau padangan hidup pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai
sakral yang penuh dengan makna dan arti secara filosofis (Parker, 1985; Sodiman,
2018; Tsuroya, 2020) .
Persinggungan agama dan budaya seperti yang diungkapkan di atas, secara
eksplisit memberikan gambaran bahwa masyarakat dan khususnya komunitas,
memiliki kegiatan atau praktek baru yang dihasilkan dari relasi antara agama dan
budaya. Corak yang dihasilkan dalam setiap komunitas atau masyarakat tertentu,
meskipun memiliki esensi filosofis yang sama namun dapat berbeda dan berlainan
dalam tataran implementasi pelaksanaan atau ritual (upacara) kegiatannya (Amaliyah,
2015; Kamal & Rozi, 2020; Luthfiyah, 2014).
Realitas tersebut secara sederhana dapat dipersepsikan bahwa relasi agama dan
budaya dapat melahirkan tradisi baru dalam sebuah komunitas atau masyarakat.
Berkaitan dengan tradisi atau upacara (ritual) yang menggambarkan relasi agama dan
budaya sangat erat kaitannya dengan masyarakat sebagai basis sosialnya. Fakta ini
menjelaskan bahwa tradisi yang lahir atas relasi agama dan budaya pada sebuah
masyarakat secara karateristik akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang kehidupan
anggota masyarakat tersebut.
Berkaitan dengan masyarakat sendiri, secara konsep sosial dalam konteks ke-
Indonesiaan terbagi secara vertikal lebih tertuju pada klasifikasi strata sosial
sedangkan horisontal lebih dicirikan berdasarkan ras, agama dan bangsa (Handoyo,
2015; Miftahuddin, 2013; Paresti, 2021). Berdasarkan deskripsi tersebut, salah satu
yang menjadi bagian dari anggota masyarakat dari beberapa komunitas yang ada yaitu
petani. Konteks penyebutan komunitas petani dalam hal ini secara esensi berkaitan
erat dengan Indonesia yang dikenal dengan negara agraris yang tentutnya tertuju pada
satu komunitas yaitu petani. Komunitas petani di Indonesia secara umum tentu
memiliki tradisi-tardisi yang lahir atas adanya pergumulan agama dan budaya. Agama

2
sebagai dimensi keyakinan yang dianut oleh anggota komunitas dan budaya berposisi
sebagai kearifan dan nilai etis yang ditaati dan dilaksanakan.
Keberadaan sebuah tradisi yang lahir atas benih adanya relasi agama dan
budaya yang sarat akan nilai-nilai etis dan luhur serta bernuansa kearifan lokal (loca
wisdom) dapat difungsikan secara maksimal dalam proses transfer of value secara
estafet dari generasi ke generasi yang ada pada masyarakat (Fauzi, 2018; Syamsidar,
2015). Konteks yang lain, fakta tersebut juga dapat dimanfaatkan sarana untuk
memberikan pengetahuan kepda generasi berikutnya tentang bagaimana seharusnya
hidup bersama dalam sebuah tatanan komunitas petani. Konsep ini dalam dunia
pendidikan lebih populer dengan istilah learning to live together, yang secara alamiah
dapat diintegrasikan penanamanya secara langsung dengan kehidupan masyarakat
(Deardorff, 2020; Franken, 2020; Jackson, 2019; Martins, 2008).
Melanjutkan deskripsi di atas, disinggungnya istilah pendidikan yang dikaitkan
dalam proses penanaman nilai atau value serta sebagai miniatur dalam konteks
learning to live together tidak bisa dilepaskan kontribusi komunitas dalam pendidikan.
Tradisi dan nilai-nilai keriafan lokal merupakan potensi yang dimiliki komunitas yang
dapat difungsikan sebagai media dan sarana dalam pendidikan (Rahmatullah, 2015;
Muttaqin & Hariyadi, 2020; Supriadi & Halpiani, 2020). Secara konseptual peran
komunitas dalam pendidikan dikenal dengan istilah community based education
(CBE). Konsep ini secara eksplisit menjelaskan bahwa pendidikan merupakan hak
segenap lapisan masyarakat. Demokratisasi pendidikan mendudukkan posisi bahwa
komunitas secara keseluruhan dapat berperan dan berkontribusi terhadap proses
pendidikan. Pendidikan tidak hanya dilakukan seacra formal namun dapat
diintegrasikan dengan kehidupan komunitas secara bersamaan (Suharto, 2005;
Rohman, 2014; Sugiyar, 2017; Sihono, 2012).
Menselaraskan sebagai legitimasi deskrpsi di atas, saat ini popularitas istilah
education for all menjadi arus utama indikator reformasi bidang pendidikan. Bdiang
pendidikan telah menjelma sebagai kebutuhan pokok masyarakat baik di lingkungan
perkotaan maupun pedesaan. Bidang pendidikan tidak lagi masuk pada area sekunder
tapi sebagai kebutuhan primer masyarakat. Pendidikan tidak lagi monopoli bagi
kalangan atau klas tertentu tetapi sudah menjadi layanan yang dapat dinikmati oleh
seluruh lapisan masyarakat (Hasan, 2018; Maryono, 2017; Suyahman, 2015).

3
Realitas ini disamping dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dalam bidang
pendidikan, didukung adanya kesadaran orang tua terhadap pentingnya pendidikan.
Keterbukaan orang tua terhadap pentingnya pendidikan bagi anak, menjadi intisari
konkrit dalam mendorong peningkatan mutu dan partisipasi masyarakat dalam
pendidikan (Sofyan,2018, Salma, 2016). Penegasan atas penjelasan tersebut, bahwa
pada dasarnya berkaitan dengan proses pendidikan, dalam perspektif Islam bahwa
keluarga sebagai “madrasatul ula” dan lingkungan sosial atau masyarakat (Arifin,
2017; Hanggara & Amiati, 2018; Rasyid, et.al., 2020; Suhada, 2017).
Mensinergikan antara pendidikan, dalam konteks penelitian ini yaitu
pendidikan agama Islam, dengan hasil tradisi komunitas petani yang bercorak
sosiokultural keagamaan dan kearifan lokal merupakan dimensi yang saling terkait.
Basis teoritis deskripsi di atas merujuk konsep bahwa manusia, masyarakat dan budaya
merupakan tiga dimensi yang saling berhubungan. Konteks ini secara tidak langsung
menjadi indikator bahwa pendidikan tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan dan dapat
terlaksana dalam komunitas masyarakat (M. Rohman & Mukhibat, 2017). Realitas ini
dapat dihubungkan dengan posisi sosio kultural yang dapat dijadikan potensi yang
dapat dikembangkan sebagai bagain nilai (value) yang mendasari proses pendidikan
dalam sebuah komunitas masyakat, khususnya pada masyarakat petani (Mustadi,
2011). Konsep ini merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Dubin terkait posisi
sosio kultural yang dapat difungsikan sebagai blue print perilaku dalam konteks
pendidikan terkait erat dengan konsep pendidikan karakter. Adapun gambaran konsep
dapat ditampilkan sebagai berikut.

Gambar 1. A. Humanistic View of Education of Dubin (Mustadi, 2011).


Merujuk pada teoritis sosiokultural yang memiliki muatan gagasan, kebiasaan,
ketrampilan dan sesuatu yang mampu memberikan ciri dan karakter khusus pada

4
sebuah komunitas tentu memiliki muatan sarat akan nilai (value) kebaikan (Mustadi,
2011; Tiara & Yarni, 2019). Adapun keagamaan (religiusitas) sebagai basis nilai
sosiokultural, merupakan dimensi yang terkait dengan nilai-nilai filosofis, simbol-
simbol komunitas berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan yang dianutnya (Fitri,
2012). Gambar di atas memberikan ilustrasi bahwa basis sosiokultural dapat
difungsikan sebagai area untuk pelaksanaan proses pendidikan, disamping basis
kognitif dan kurikulum yang ideal. Pendeknya bahwa sosiokultural yang khususnya
berkaiatan dengan unsur keagamaan dapat difungsikan untuk proses kegiatan
pendidikan agama Islam.
Berdasarkan pada beberapa deskripsi sebelumnya tentang relasi agama dan
budaya yang melahirkan tradisi atau ritual (upacara) khususnya pada komunitas petani,
tentu masing-masingnya memiliki intisari nilai (value) yang dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan agama Islam. Makna inti dari pendidikan agama Islam apabila
dihubungkan dengan kehidupan sosial lebih tertuju pada dimensi akhlaq yang dalam
istilah saat ini dipahami sebagi karakter, meskipun keduanya memiliki perbedaan yang
signifikan secara esensi dasarnya (Muvid, 2020; Sritama, 2019; Syamsi, 2018).
Kecenderungan pemanfaatan sosiokultural keagamaan dan kearifan lokal pada
komunitas petani untuk pendidikan agama Islam tentu memiliki karateristik dan gaya
tersendiri. Berdasarkan kondisi tersebut dan latar belakang masalah penelitian ini ingin
mengekplorasi lebih mendalam tentang pendidikan agama Islam pada komunitas
petani khususnya di kecamatan Wuluhan. Hal ini dikarenakan komunitas petani di
Wuluhan memiliki basis dimensi yang berisifat multikultural.

B. Rumusan Masalah

Peran serta dan kontribusi komunitas petani dalam proses pendidikan agama
Islam bagi anak-anaknya, tidak bis lepas atas paradigma demokratisasi pendidikan.
Pemanfaatan berbagai potensi yang dimiliki pada komunitas petani di Wuluhan mulai
dari sosiokultural keagamaan dan kearifan lokal merupakan bentuk implementasi yang
bisa dilakukan dalam pendidikan agama Islam. Berdasarkan hal tersebut maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.
1. Bagaimana bentuk dan fungsi sosiokultural keagamaan komunitas petani di
Wuluhan dalam pendidikan agama Islam?

5
2. Bagaimana kearifan lokal komunitas petani di Wuluhan dalam pendidikan agama
Islam ?

C. Tujuan Peneliti’an

Tujuan dalam peneliti’an ini merujuk pada rumusan masalah di atas adalah
sebagai berikut.
1. Memahami bentuk dan fungsi sosiokultural keagamaan pada komunitas petani
di Wuluhan dalam pendidikan agama Islam.
2. Memahami tentang bentuk kearifan lokal komunitas petani Wuluhan dalam
pendidikan agama Islam.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat riset atau peneliti’an terbagi menjadi dua di antaranya, manfaat baik
secara teori atau praktis. Manfaat riset dapat dicermati berikut:
1. Manfaat teoritis
Memberikan gambaran berkaitan dengan implementasi pendidikan agama
Islam berbasis sosiokultural dan kearifan lokal pada komunitas petani di
Wuluhan.

2. Manfaat Praktis
a. Menambah pengetahuan penulis mengenai kultur budaya, latar belakang,
basicpendidikan, basic agama dan keagamaan, struktur sosial komunitas
petani di kecamatan wuluhan dan karakteristik keberagamaan anak petani
di kecamatan Wuluhan.
b. Hasil peneliti’an ini juga diharapkan dapat memberi input atau kontribusi
kepada pihak masyarakat, khususnya para petani di kecamatan Wuluhan
dalam pengintegrasian dan pemanfaatan sosiokultural dan kearifan lokal
dalam pendidikan agama Islam.

6
E. Penegasan Istilah

Penegasan istilah difungsikan untuk mengantisipasi atas perbedaan perspektif


dan pemahaman sekaligus berguna dalam menyamakan beberapa istilah dalam
peneliti’an ini, maka perlu deskripsi secara rinci antara lain, yaitu :
1. Pendidikan Agama Islam
PengertianPendidikanagamaIslam, antara lain merujuk pada
padanganpakar bahwa 0pendidikan agama Islam merupakan ikhtiar yang
direncanakan oleh gurudemi untuk menyiapkan siswa-siswinyaagar meyakini,
memahami dan mengamalkan ajaran Islam melalui kegiatan pengajaran,
bimbingan atau pelatihan yang telah dirumuskandemitercapainya tujuan
pembelajaran yang telah diputuskan (Majid, 2004).
Pandangan lain juga menjelaskan bahwa0pendidikan0agama0Islam
adalah sebuah ikhtiardemi terlaksanayapembinaan dan pengasuhanterhadap
murid agar mampu memahami ajaran Islam secara menyeluruh serta juga
murid dapat menghayati bahwa tujuan ajaran Islam tidak hanya sekedar
memahami namun juga harus diamalkan serta Islam dijadikan sebagai
pandangan hidup (Darajat, 2008).
Masih dalam pandangan pakar bahwa0pendidikanagamaIslam
merupakan sebuah sikap dan pandangan hidup.0Pendidikan agama I’slam juga
merupakan sebuah sikap untuk mentaati perintah Allah sebagai pedoman dasar
para murid atau siswauntuk memiliki pengetahuan keagamaan
sertakemampuan dalam menjalankan ketetapan-ketetapan Allah dengan
sempurna (Saputra, 2014).
Pendid’ikan ag’ama I’slam yang dimaksud dalam peneliti’an ini adalah
pola atau model pembelajaran nilai nilai keagamaan I’slam yang berkaitan
dengan penerapan, perencanaan, pembiasaan dan pengawasan orang tua
terhadap anak-anaknya.

2. Komunitas Petani

Berdasarkan pencarian dari KBBI, bahasan dan definisi masyarakat,


bahwa masyarakat merupakan komunitas manusia yang terikat pada domain
yang sama seperti budaya, tata nilai atau aturan. Adapun berkaitan dengan

7
makna masyarakat desa, yang secara teritorial merupakan kelompok manusia
yang tinggal di desa dengan sumber pendapatan atau pencaharian pada bidang
pertanian.
Istilah masyarakat di samping dihubungkan dengan etimologi “society”
juga dapat ditelisik dari kata “community” yang dapat dimaknai sebagai
masyarakat setempat, ditandai sebagai karakteristiknya pada kehidupan sosial
adanya kesamaan pada berbagai aspek, khususnya kesamaan hubungan sosial.
Lebih lanjut tentang ciri masyarakat tertuju pada aspek kehidupan meliputi
kebersamaan (Koentjaraningrat, 2009; Soekanto, 2006).Masyarakat petani
yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat petani di Kecamatan
Wuluhan yang menjadi tempat penelitian di antaranya : Tanjungrejo, dan
Dukuh Dempok.

F. Kerangka Pikir
Berpijak pada kajian teori dan penelusuran serta review atas hasil-hasil
penelitian terdahulu, maka dapat dibuat rancang bangun karangka pikir penelitian.
Dasar utama kerangka pikir merujuk pada pandangan Geertz tentang Islam Jawa dan
Relasi agama dan budaya. Konteks ini melahirkan tradisi yang sarat akan akulruasi
antara nilai-nilai agama yang berdimensi ketuhanan dan budaya yang mengarah pada
fitrah kemanusiaan.
Kandungan yang tergambar pada rumusan masalah penelitian ini berkaitan
dengan bagaimana bentuk dan peran sosiokultural keagamaan dan kearifan lokal
dalam pendidikan agama Islam pada komunitas petani. Konteks tersebut bertujuan
untuk melihat secara komprehensif potensi dan modal sosiokultural keagamaan dan
kearifan lokal pada komunitas petani yang dapat dijadikan basis proses pendidikan
agama Islam.Potensi kultural dan kearifan lokal pada sebuah komunitas pada dasarnya
dapat difungsikan sebagai basis proses pendidikan. Proses pendidikan agama Islam di
masyarakat dipengaruhi oleh berbagai macam komponen. Pertama, sosiokultural
keagamaan, yakni keadaan sosial yang berhubungan dengan ke-agamaan, lingkungan
keluarga, dan pendidikan. Kedua, kearifan lokal, sebagai nilai (value) budaya atau
kultur lokal yang bisadifungsikan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat

8
secara arif atau bijaksana yang bersumber dari pengetahuan masyarakat sebagai
kebenaran yang diidam-idamkan.
Penjelasan proses pendidikan agama Islam di atas bahwa sosiokultural sangat
membantu seseorang untuk mengetahui seberapa jauh dirinya bisa memerankan diri
sebagai individu dan sebagai bagian dari kelompok yang mempunyai tanggung jawab.
Dimensi sosiokultural0pendidikan0agama0Islam,fokus penekanananya pada interaksi
sosial bagi seseorang yang sedang mengalami perkembangan belajar.Perkembangan
tersebut terjadi didaerah dimana pribadi itu tinggal, dan akan berjalan seumur hidup,
hal tersebut juga akan membentuk karakter dan pola pikir setiap orang.Kearifan lokal
juga memiliki peran dalam mempengaruhi proses pendidikan agama Islam di
masyarakat sebab kearifan lokal merupakan ide-ide yang muncul dan berkembang
secara berkelanjutan pada sebuah komunitas, di antaranya berupa adat, peraturan,
budayabahasa, keyakinan, dan biasaan sehari- hari.
Kenyataan yang ada dalam proses pendidikan agama Islam akan memiliki
kesamaan atau perbedaan pola berdasarkan sosiokultural keagamaaan dan kearifan
lokal komunitas masyarakat setempat. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka susunan
kerangka pikir peneliti’an ini tervisualisasikan berikut:

Gambar 2. Kerangka Pikir

Anda mungkin juga menyukai