Anda di halaman 1dari 76

RESUME PEMBELAJARAN HUKUM ACARA TATA

USAHA NEGARA

A. LATAR BELAKANG PERLUNYA PENGADILAN TATA


USAHA NEGARA
UU Peradilan Tata Usaha Negara lahir di Tahun 1986 dan
pengadilannya baru dibentuk pada 1991, yang mengatur
mengenai sengketa antara warga negara dengan
pemerintah. Sebelum adanya pengadilan Tata Usaha
Negara sengketa antara warga negara dengan pemerintah
diselesaikan melalui pengadilan umum. Kemudian timbul
pertanyaan apa yang menjadi latar belakang diperlukannya
peradilan Tata Usaha Negara? Latar belakang perlunya
peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia itu karena 2 (dua)
alasan, yaitu:
1. Adanya model pengelolaan negara
Adanya pergeseran dari model penjaga malam ke
kesejahteraan negara cukup memiliki konsekuensi
yang cukup berpengaruh dalam tata usaha negara
sehingga menimbulkan dampak permasalahan antara
pemerintahan dan masyarakat. Contoh: Pemerintah
ingin menjamin kenyamanan orang untuk berlalu
lintas, di mana jalannya sempit sehingga pemerintah
melakukan pelebaran jalan namun pasti ada rumah
yang berada di pinggir jalan, pemilik-pemilik rumah
pasti merasa dirugikan karena rumahnya diambil alih
oleh pemerintah untuk dibuat jalan. Hal itu merupakan
contoh permasalahan antara pemerintah dengan
masyarakat di mana terdapat tindakan pemerintah
yang merugikan masyarakat. Dapat kita lihat bahwa
terdapat tindakan pejabat tata usaha negara yang
merugikan masyarakat, sehingga masyarakat
menuntut perbuatan tersebut dan meminta ganti rugi
yang diwadahi oleh pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Perlindungan HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjadi salah
satu latar belakang dibentuknya Peradilan Tata Usaha
Negara yang ada kaitannya dengan Negara
Kesejahteraan. Pengertian HAM dalam istilah
etimologi dari dua bahasa yang berbeda disebutkan
sebagai hak-hak yang mendasar pada diri manusia,
dari ilmu etimologi tersebut muncul berbagai definisi
dan pengertian dari berbagai ahli hukum seperti
Soetandyo Wignjosoebroto dan Muladi.1 Seotandyo
mengartikan bahwa HAM itu sebagai hak yang
mendasar (fundamental) telah diakui secara universal
sebagai hak yang melekat pada manusia karena
hakikat dan kodratnya sebagai manusia, artinya ini
berarti semua manusia dengan berbagai perbedaan
latar belakang dan kata ‘melekat’ itu dimiliki tiap
manusia karena keberadaannya sebagai manusia
bahkan sebelum dilahirkan dan bukan pemberian dari
siapa pun. Muladi juga ikut berpendapat tentang
pengertian HAM, sebuah hak yang melekat secara
alamiah pada diri manusia sejak manusia lahir, dan
tanpa hak tersebut manusia tidak dapat tumbuh dan
berkembang sebagai manusia yang utuh. Menurut
Muladi, HAM sangat menjunjung tinggi keberadaan
manusia sehingga tanpa HAM, manusia tidak dapat
mengembangkan bakat atau memenuhi

1 Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia, (Semarang: UNDIP Semarang, 2015) Hal 2-3.

1
kebutuhannya. Persamaan pengertian HAM dari
berbagai ahli dan ketentuan tertulis yang ada,
semuanya secara umum merujuk pada hak-hak dasar
yang secara kodrati melekat pada diri manusia, sifat
HAM yang universal dan selalu ada sehingga
menimbulkan konsekuensi di mana hak tersebut harus
dilindungi, dihormati, dan dipertahankan tanpa boleh
dikurangi, dirampas atau diabaikan. Adapun prinsip-
prinsip HAM yang dijiwai dari berbagai kalangan
masyarakat secara internasional maupun nasional
adalah2
1. Prinsip universal dan tidak dapat dicabut
(universality and inalienability), di mana HAM
itu dimiliki oleh semua umat manusia karena
diterima secara umum sebagai hak yang
melekat tanpa dipengaruhi latar belakang
serta hak tersebut tidak dapat diserahkan
secara sukarela atau dicabut yang selaras
dengan Pasal 1 UDHR, berbunyi:
“Semua orang dilahirkan merdeka dan
mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal dan hati
nurani dan hendaknya bergaul satu sama
lain dalam semangat persaudaraan.”
mengatur bahwa setiap manusia dilahirkan
merdeka dan sederajat dalam harkat dan
martabatnya;
2. Prinsip tidak bisa dibagi (indivisibility) di
mana hakikatnya HAM berdasarkan pada

2 Ibid, Hal. 33.

2
prinsip penghormatan terhadap martabat
manusia sehingga setiap orang berhak atas
kebebasan, keamanan dan standar hidup
layak secara bersamaan. Jadi HAM beserta
hak sipil politik, hak ekonomi sosial dan
budaya itu merupakan satuan yang tidak bisa
dipisahkan dari bagian harkat dan martabat
manusia. Hal ini menimbulkan konsekuensi
agar semua orang memiliki status hak yang
sama dan sederajat dan tidak dibeda-
bedakan atau digolongkan secara hierarki
karena pengabaian pada satu hak bisa
berujung pada pengabaian akan hak-hak
lainnya;
3. Prinsip bergantung dan berkaitan
(interdepndence and interrelation) di mana
HAM secara keseluruhan atau sebagian,
untuk pemenuhan dari suatu hak tertentu
bisa saja bergantung dari pemenuhan hak-
hak lainnya;
4. Prinsip kesetaraan dan non-diskriminatif
(equality and non discrimination) yang
mensyaratkan adanya perlakuan yang setara
sesuai dengan situasi yang ada. Tindakan
afirmatif sebagai salah satu tindakan untuk
perlakuan yang berbeda kepada kelompok
tertentu oleh negara atau dikhususkan ini
hanya boleh dilakukan untuk ukuran yang
jelas sangat berbeda untuk mencapai
kesetaraan. Tidak boleh adanya kesenjangan
perbedaan serta sifat diskriminatif karena

3
pada dasarnya semua orang terlahir memiliki
HAM yang setara tanpa melihat latar
belakang;
5. Prinsip partisipasi dan kontribusi
(participation and contribution) untuk
menjunjung setiap orang dan seluruh
masyarakat agar turut berperan aktif secara
bebas dan memiliki makna dalam
berpartisipasi untuk berkontribusi sehingga
dapat menikmati kehidupan yang nyaman,
pembangunan baik kehidupan sosial politik
maupun sosial ekonomi dan budaya;
6. Prinsip tanggung jawab Negara dan
penegakan hukum (State responsibility and
rule of law), saat di mana hukum HAM
internasional telah diakui berbagai negara
dan negara tidak boleh mengabaikan hak-
hak dan kebebasan warga negara maupun
penduduk sehingga memiliki kewajiban aktif
untuk melindungi dan memastikan
terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-
kebebasan tersebut. Pelarangan dan
pembatasan hak hanya diperkenankan
sepanjang ditentukan oleh hukum yang
dibatasi oleh berbagai instrumen hukum
HAM yang berlaku. Jika ada kegagalan maka
setiap pihak yang dirugikan berhak
mengajukan tuntutan secara layak sesuai
dengan aturan hukum yang ada.
Sejak awal berdirinya Indonesia, juga memiliki
sejarah perkembangan HAM yang masih berlanjut

4
hingga sekarang. Pemikiran mengenai HAM sudah
muncul sebelum kemerdekaan Indonesia demi
memperjuangkan harkat dan martabat rakyat
Indonesia sehingga kemerdekaan negara Indonesia
adalah yang diimpikan. Pemikiran ini berlanjut pada
rapat BPUPKI di mana secara garis besar terdapat
konfrontasi untuk dicantumkan dalam UUD. Soekarno
dan Soepomo menolak pencantuman hak dalam UUD
sedangkan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin
terus menuntut akan dicantumkan hak tersebut.
Soekarno khawatir dari hak yang muncul dengan
paham liberalisme dan individualisme bisa merusak
kebudayaan Indonesia yang berjiwa gotong royong
dengan persaingan bebas yang kapitalis, sementara
Soepomo menolak karena hak individu tidak relevan
dengan paham negara integralistik melainkan
kewajiban asasi kepada negara. Namun Moh. Hatta
tidak setuju juga dengan paham liberalisme melainkan
khawatir akan kekuasaan seluas-luasnya yang
berakibat pemerintahan otoriter karena itu perlu
dicantumkan hak-hak dalam UUD, sementara Moh.
Yamin juga menghendaki agar melindungi
kemerdekaan yang harus diakui oleh UUD sehingga
tidak ada hubungannya dengan paham mana pun.
Pada akhirnya dalam UUD 1945 dicantumkannya hak
warga negara dan perkembangan UUD 1945 menjadi
UUD NRI 1945 sekarang ini masih tetap
mencantumkan hak warga negara bukan hak asasi
manusia. Bukan berarti negara tidak mengakui hak-
hak yang melekat pada tiap orang melainkan karena
perbedaan paham yang ada pada masa itu. Sehingga

5
pada masa perkembangannya, hak warga negara
yang dicantumkan dalam UUD 1945 menjadi salah
satu sumber penegakan hukum di Indonesia hingga
sekarang salah satunya melalui pembentukan
Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

B. PERBUATAN MELAWAN HUKUM


Dalam konteks kesejahteraan negara yang telah dibahas di
atas, ternyata menimbulkan permasalahan di mana
pemerintah memiliki maksud baik untuk menyejahterakan
masyarakat namun disisi lain tindakan tersebut juga
merugikan kepentingan beberapa masyarakat hal
tersebutlah yang kemudian disebut dengan Perbuatan
Melawan Hukum oleh Pemerintah. Secara umum perbuatan
melawan hukum dalam konteksnya dapat dilihat dari sisi
luas maupun sempit. Dalam konteks luas, perbuatan
melawan hukum itu perbuatan yang melanggar hukum dan
pelanggarannya mencakup segala peraturan perundangan
yang tertulis maupun tidak tertulis (contoh peraturan tidak
tertulis: hukum adat). Namun dalam konteks sempit,
perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan
melanggar hukum tetapi hanya peraturan tertulis saja. Jadi
dapat dilihat bahwa pemerintah dalam melakukan tugasnya
bisa jadi melanggar peraturan tertulis dan/atau tidak tertulis
dan keduanya dapat diminta pertanggungjawaban oleh
masyarakat atas perbuatan yang dilakukan pemerintah yang
dianggap merugikan masyarakat. Perbuatan Hukum oleh
Pemerintah bisa jadi ada yang masuk ke dalam ranah
hukum perdata maupun ranah hukum publik yang bisa jadi
juga dalam konteks luas dan/atau sempit. Seperti yang
sudah disebutkan di atas bahwa dalam upaya pemerintah

6
untuk berperan sebagai pengelola negara khususnya pada
konsep tujuan Negara Kesejahteraan pasti akan mengalami
gesekan-gesekan dengan masyarakat yang ada. Hal ini
ditujukan pada perbuatan yang menghasilkan kerugian pada
masyarakat oleh suatu pejabat tertentu, sehingga melanggar
hak asasi atau kepentingan yang dimiliki seseorang atau
masyarakat padahal dalam konsep kesejahteraan. Maka
dengan itu, masyarakat membutuhkan perlindungan hukum
dari para pejabat atau para penguasa yakni melalui
peradilan untuk menegakkan hukum yang berlaku. Lembaga
penegak hukum tersebut pastinya bersifat khusus yang
mandiri dan impartial (tidak memihak) diperlukan untuk
proses penegakkan hukum bagi kesejahteraan masyarakat.
Kembali lagi kepada gesekan-gesekan yang terjadi bisa juga
adanya pelanggaran yang menimbulkan akibat hukum
sehingga perbuatannya melanggar hukum yang berlaku.
Perbuatan melanggar hukum (Onrechtmatige) ini tidak
hanya membicarakan sekedar hukum pidana atau hukum
perdata, ataupun perbuatan melawan undang-undang
(Onwetmatige Daad), melainkan cakupannya lebih luas
karena hukum tidak sekedar tertulis maupun tidak tertulis.
Pengertian hukum menurut E. Meyers adalah semua aturan
yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditunjuk
kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang
menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam
melaksanakan tugasnya.3 Lalu perbuatan melawan hukum
apa yang dimaksud dalam hukum tata usaha negara. Hal
tersebut tidak dijelaskan dalam peraturan perundang-

3Subiharta, “Moralitas Hukum Dalam Hukum Praktis Sebagai Suatu Keutamaan” Jurnal
Hukum dan Peradilan. Vol. 4 No. 3, 2015, Hal 388.

7
undangan mana pun secara spesifik, namun dapat dilihat
dari segi hukum perdata, yakni pada Pasal 1365
KUHPerdata yang mengatur bahwa perbuatan melawan
hukum adalah “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.” Ditemukannya lima unsur dari pasal
tersebut yakni, adanya perbuatan; perbuatan itu melawan
hukum; adanya kerugian; adanya kesalahan; dan adanya
hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan
melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan.
Pemerintah atau Penguasa dalam melaksanakan
upaya menyejahterakan masyarakat akan mencakup melalui
bidang hukum publik (Publiekrechtshandeling) dan hukum
privat. Hukum privat ini adalah hukum yang mengatur
hubungan antara subjek hukum satu dengan yang lain dan
menitikberatkan pada kepentingannya sehingga masuk
dalam ranah hukum perdata. Dalam hukum perdata
dikenalnya ada kontrak yang akan memuat sanksi-sanksi
yang dapat dilanggar. Hal ini diakibatkan karena adanya
segregasi yang dipaksakan atas konsepsi “perbuatan
melawan hukum” dan “wanprestasi atau cedera janji” Subjek
dalam kontrak tersebut akan dibebani oleh kewajiban untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, ataupun tidak
berbuat sesuatu sebagai suatu prestasi yang mana jika tidak
dilaksanakan maka akan dinyatakan wanprestasi terhadap
kontrak tersebut dan harus mengganti kerugian yang ada.
Pasal 1365 KUHPerdata menjadi dasar menggugat ganti-
rugi karena kesengajaan pihak tergugat, sementara yang
menjadi dasar hukum gugatan perbuatan melawan hukum
akibat kelalaian pihak yang menimbulkan kerugian bagi

8
pihak penggugat, diatur dalam Pasal 1366 KUHPerdata,
berbunyi:
“Setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga
untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang
hati-hatinya.”
Sementara dasar hukum dapat digugatnya pihak majikan
atau instansi yang mengawasi anak buahnya (vicarious
liabilitis) diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata, berbunyi:
“seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi
juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan
orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.”
memungkinkan menggugat untuk minta ganti-kerugian.
Membuat dan menyepakati perjanjian adalah ranah
tanggung jawab kontraktual (contractual liabilities) dan ketika
perjanjian tersebut berdasarkan paksaan ataupun di bawah
ancaman maka masuk dalam ranah tanggung jawab
perbuatan melawan hukum (tortious liabilities). Kalau pihak
yang harus bertanggung jawab adalah pemerintah maka
perbuatan melawan hukum itu menjadi perbuatan melawan
hukum oleh pemerintah (Onrechtmatige Overheids Daad).
Contohnya, pemerintah telah ditugaskan oleh negara
untuk melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial
dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan
bersama dalam masyarakat. Untuk mengatasi berbagai
permasalahan sosial ekonomi dalam masyarakat,
pembangunan ekonomi pun direncanakan dan dilaksanakan
secara nasional. Berkaitan dengan pembangunan dibidang

9
ekonomi oleh pihak pemerintah yang bertujuan untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, pihak
pemerintah harus menggunakan kewenangan sesuai
dengan sistem peraturan yang berlaku sehingga hak-hak
masyarakat dalam pemberian izin tidak menyampingkan
hak-hak yang tumbuh dalam masyarakat.4 Izin tersebut
dapat berupa pengolahan tanah negara menjadi hak usaha
bagi seseorang, misalnya seorang petani yang dibuatnya
terlebih dahulu sebuah perjanjian kontrak antara kedua
pihak untuk pemberian izin yang menimbulkan hak guna
usaha untuk kesejahteraan seseorang. Dalam ranah
perjanjian kontrak hal ini dikaitkan dengan hukum privat dan
pemberian izin dalam hukum publik. Namun kenyatannya
bisa saja hanya dibentuk perjanjian kontrak namun
pemberian izin tidak pernah diberikan, ataupun bila terjadi
hal-hal yang diluar kendali subjek perjanjian tersebut yang
menimbulkan kerugian bagi kedua pihak, namun pemerintah
memutuskan untuk mencabut izin tersebut tanpa adanya
upaya untuk melanjutkan kontrak yang ada, maka petani
tersebut dapat menggugat kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara karena perbuatan tersebut melawan hukum oleh
pemerintah.
Mengingat kasus awal dari perbuatan melawan
hukum pemerintah, Seorang bernama Osterman akan
mengekspor barang-barangnya, dan barang-barangnya
tersebut telah diserahkan pada pegawai douane di
Amsterdam untuk diperiksa.5 Pegawai-pegawai douane
menolak untuk memenuhi syarat-syarat formil yang

4Helyani N. Gonti, “Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Mengeluarkan Izin


Terhadap Perusahaan Penanaman Modal” Tidak Diterbitkan, Hal 3
5 Syukron Salam. “Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum Penguasa”

Nurani Hukum, Vol. 1 No. 1, 2018, Hal 39-40

10
diperlukan untuk mengekspor barang tersebut, sehingga
harus mengalami kerugian karena kunjung lamanya barang
tersebut tidak dapat diekspor. Osterman mengajukan
gugatan kepada pengadilan dengan alasan bahwa
penolakan tersebut tidak berdasarkan undang-undang dan
bahkan bertentangan dengan undang-undang. Peradilan
Rechtbank dan Hof mengatakan bahwa gugatan tersebut
tidak dapat diterima dengan pertimbangan bahwa perbuatan
pejabat-pejabat itu tidak mengandung suatu perbuatan yang
nyata-nyata menimbulkan gangguan terhadap barang dan
juga tidak melanggar hak milik penggugat. Penolakan para
pegawai hanya berupa tidak memberikan bantuan untuk
melakukan suatu perbuatan yang diinginkan oleh penguggat.
Jadi dengan demikian kedua pengadilan tersebut
berpendapat bahwa hal ini menyangkut ketentuan undang-
undang yang bersifat hukum publik dan suatu hubungan
yang murni bersifat hukum publik tidak dapat dipergunakan
Pasal 1365 KUHPerdata. Sementara Peradilan Hoge Raad
telah memberikan suatu putusan yang sangat radikal,
dimana pada pokoknya siapapun yang melanggar suatu
peraturan perundang-undangan dianggap telah melakukan
perbuatan melawan hukum, tanpa menghiraukan apakah
perbuatan itu termasuk hukum perdata atau hukum publik.
Menurut Hoge Raad berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar suatu ketentuan perundang-undangan adalah
melawan hukum, tanpa mempersoalkan apakah hak
subjektif yang dilanggar itu bersifat hukum perdata atau
hukum publik. Maka berkewajiban untuk membayar ganti
rugi atas kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatannya.
Selain itu, penguasa dalam melaksanakan tugasnya harus
pula menaati kewajiban hukumnya. Sekiranya penguasa

11
tidak mengindahkan ketentuan undang-undang baik publik
maupun privat, maka perbuatan penguasa tersebut
merupakan perbuatan yang melawan hukum. Hal ini menjadi
suatu langkah yang revolusioner yang sering diingat sebagai
November Revolutie Arrest, yang artinya Putusan HR 20
November 1924 menjadi titik awal dari pengertian Perbuatan
Melawan Hukum tidak serta merta hanya mengenai hukum
tertulis saja yang dapat dijadikan objek sengketa namun juga
hukum yang tidak tertulis.

C. JALUR PERLAWANAN
Jika perbuatan melawan hukum oleh pemerintah sudah
dikenal, maka ada akan timbul suatu sengketa antara kedua
pihak, di mana pemerintah sebagai pihak tergugat dan yang
dirugikan sebagai pihak penggugat. Sengketa yang tersebut
dinamakan sengketa tata usaha negara yang sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata
usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal ini diatur dalam
Pasal 1 ayat 10 UU No. 51 Tahun 2009 atas perubahan
kedua dari UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, berbunyi:
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang
timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di
daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian

12
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Maka sengketa ini dapat diselesaikan di Pengadilan Tata
Usaha Negara dengan mengajukan gugatan tertulis yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Subjek yang dirugikan pasti tidak akan diam diri melainkan
mencoba melawan, cara perlawanan ini tentunya sudah
disediakan dalam hukum tata usaha negara. Pertama, yang
merasa dirugikan dapat melalui jalur upaya administratif.
Jalur ini memakai prosedur yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum di luar pengadilan karena
memiliki sengketa dengan pejabat publik atau pemerintah.
Hal ini diatur dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara agar
memberi kemudahan bagi setiap subjek hukum untuk
menyelesaikan sengketa yang ada sebagai kesempatan
efisiensi dalam permasalahan biaya yang biasanya kalau
ditempuh jalur pengadilan akan lebih banyak memakan
biaya. Jalur ini disediakan secara bertahap, dari awal, yang
merasa dirugikan harus mengajukan suatu bentuk
keberatan, hal ini bisa dibuat dalam surat keberatan kepada
pihak yang dirasa merugikan dengan dasar-dasar bukti yang
jelas. Jika keberatan tersebut diterima, maka sengketa
sudah terselesaikan. Apabila keberatan tersebut ditolak,
maka bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya yakni mengajukan
banding administratif. Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986
mengatur bahwa dalam hal suatu peraturan perundangan-
undangan mengharuskan suatu sengketa tersebut
diselesaikan melalui jalur administratif, maka harus memakai
jalur tersebut, akan tetapi jika semua langkah sudah

13
ditempuh dan belum ada penyelesaiannya maka dapat
dilakukannya pengajuan perkara ke Pengadilan Tata Usaha
Negara, maka haruslah banding administratif dilakukan
terlebih dahulu. Banding administratif ini dilakukan penilaian
yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun dari
segi kebijaksanaan oleh instansi atau pejabat publik,
contohnya Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Jika dari
penilaian tersebut, maka kembali lagi ke Pasal 48 UU
Peradilan Tata Usaha Negara bahwa yang merasa dirugikan
bisa melanjutkan upaya tersebut kepada Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara sebagai tingkat pertama untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
manakala sudah ditempuh sesuai Pasal 48, hal ini diatur
dalam Pasal 51 ayat (3) UU Peradilan Tata Usaha Negara
untuk mempermudah mencari keadilan jika sudah semua
upaya administratif dilakukan. Banding administratif juga
diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara, yakni pada Pasal 129 UU Aparatur
Sipil Negara yang juga mengharuskan sengketa dengan
pegawai Aparatur Sipil Negara diselesaikan dengan upaya
administratif yaitu melalui keberatan yang diajukan secara
tertulis kepada atasan pejabat yang dianggap telah
merugikan, jika tidak diterima maka dapat mengajukan
banding administratif kepada badan pertimbangan Aparatur
Sipil Negara seperti Badan Pertimbangan Kepegawaian
(BAPEK); dan juga diatur dalam Undang-undang No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni pada
Pasal 75 jo Pasal 1 angka (8) UU Administrasi Pemerintahan
mengatur bahwa semua warga masyarakat yang dirugikan
dapat mengajukan upaya administratif berupa keberatan dan
banding dan pejabat pemerintahan wajib segera

14
menyelesaikan upaya administratif di mana yang
membebani keuangan negara, tidak untuk pengajuan upaya
administratifnya. Kembali lagi jika tidak ada kemungkinan
untuk jalur administratif maka ada jalur gugatan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara yakni diatur dalam Pasal 53
UU Peradilan Tata Usaha Negara di mana seseorang atau
badan hukum yang kepentingannya dirugikan dapat
mengajukan gugatan tertulis akibat suatu Keputusan Tata
Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara juga diatur
dalam Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan
Pertama UU Peradilan Tata Usaha Negara, di mana
dikategorikan yang tidak termasuk dalam Keputusan Tata
Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan Tata
Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum; Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan; Keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-
undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana; Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata
usaha Tentara Nasional Indonesia; dan Keputusan Komisi
Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum. Perlu diketahui bahwa gugatan dapat
diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sesuai Pasal 55 UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

15
D. SEJARAH BERDIRINYA PENGADILAN TATA USAHA
NEGARA
Sejarah singkat mengenai Pengadilan Tata Usaha Negara,
sejak zaman kolonial sudah diatur dalam ketentuan Pasal
134 Indische Staats Reglement dan Pasal 2 Reglement Op
De Rechtelijke Organisatie En Het Beleid Der Justitie.
Kemudian pada zaman kemerdekaan dan setelahnya dasar
hukum atau cita-cita terbentuknya UU Peradilan Tata Usaha
Negara dimulai pada Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh badan kehakiman
menurut Undang-undang. Lalu disahkannya UU No. 19
Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan
Kehakiman, di mana Pasal 66 mengatur bahwa jika dengan
undang-undang tidak ditetapkan badan kehakiman untuk
menyelesaikan perkara soal tata usaha maka pengadilan
tinggi tingkatan pertama dan Mahkamah (MA) tingkatan
kedua yang menyelesaikannya. Dasar hukum akan
mengenai penyelesaian sengketa tata usaha terus
berkembang dalam Pasal 108 UUDS 1950, Tap MPRS No.
II/MPRS/1960, UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 5 Tahun
1986 yang mengatur Peradilan Tata Usaha Negara dan
mengalami perubahan dengan UU No. 51 Tahun 2009 jo.
UU No. 9 Tahun 2004, UU No. 3 Tahun 2009 jo. UU No. 5
Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Hukum tertulisnya sudah berkembang, dan
tempat pengadilan juga mulai berkembang tepatnya

16
dioperasionalkan pada tanggal 14 Januari 1991 di mana
Pengadilan Tata Usaha Negara pertama di tiga tempat yakni
Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang yang kemudian
berkembang di seluruh ibukota tiap daerah.

E. DASAR HUKUM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


DI INDONESIA
Dasar Hukum Tata Usaha Negara berasal dari filsafat atau
teori hukum dan hukum positifnya. Dasar hukum Tata Usaha
Negara melalui filsafat hukum mengenalkan landasan
filosofinya yang terletak pada manusia yang pada hakikatnya
sejak sebelum lahir sudah memiliki hak asasi manusia yang
membutuhkan perlindungan dari sisi hukum yang menjadi
latar belakang dasar hukumnya Tata Usaha Negara. Hak
asasi manusia dijamin dan dilindungi melalui salah satunya
hukum tata usaha negara dengan penegakan hukumnya
melalui peradilan tata usaha negara. Untuk memaksimalkan
perlindungan hak asasi manusia maka harus ada lembaga
yang mandiri, jangan bagian dari legislatif maupun eksekutif,
harus ada pemisahan kekuasaan seperti Trias Politica di
mana lembaga yang melindungi hak asasi manusia tersebut
harus dipisah agar terciptanya check and balance. Agar
tidak adanya intervensi dari pejabat publik di mana
bagiannya sebagai lembaga pemerintahan jika sudah
dipisah dari kekuasaan lain untuk menciptakan keadilan.
Negara Indonesia mengenal teori Trias Politica namun tidak
menerapkan secara murni, hanya ada pembagian
kekuasaan di mana diharapkan setiap kekuasaan negara
bisa menjalankan kekuasaannya secara mandiri dan dalam
peradilan adanya independent atau mandiri untuk
pencapaian keadilan setinggi-tingginya. Saat menjalakan

17
kewenangan mandirinya, pejabat Tata Usaha Negara harus
berhati-hati atau tindakannya harus berdasarkan hukum
bukan kekuasaan sewenang-wenang. Jika melanggar maka
harus siap untuk bertanggungjawab pada lembaga Tata
Usaha Negara dan kepada pihak yang dirugikan. Lalu dasar
hukum Tata Usaha Negara melalui hukum positifnya ada
pada Pasal 24 UUD NRI 1945 yang sudah disebutkan tadi
menjadi cita-cita atau dasar hukum bagi kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh badan kehakiman untuk
mengurus sengketa bagi pencari keadilan; ada juga UU No.
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan
sebagai penjabaran dari UUD NRI 1945 bahwa salah satu
pengadilan yang hadir di Indonesia adalah Pengadilan Tata
Usaha Negara selain pengadilan yang sudah ada seperti
pengadilan umum, militer dan agama; UU No. 3 Tahun 2009
jo. UU No. 5 Tahun 2004 jo. UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung tentang Mahkamah Agung di mana dalam
Mahkamah Agung ada lembaga khusus juga yang
menyelesaikan perkara tata usaha negara di mana ada
Hakim Muda Mahkamah Agung bidang Tata Usaha Negara
yang tunduk pada Mahkamah Agung dan mengadili sesuai
bidangnya yakni hukum tata usaha negara; UU No. 5 Tahun
2014 tentang Aparatus Sipil Negara di mana ketentuannya
mengatur perlindungan khusus bagi warga negara dan cara
penyelesaiannya jika ada salah satu aparatur sipil negara
telah melanggar perlindungan tersebut; UU No. 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan di mana mengatur
tentang suatu perkara dalam administrasi pemerintahan di
mana warga masyarakat mengalami kerugian dapat
mengajukan pengajuan lewat jalur administratif; dan UU No.
51 Tahun 2009 jo. UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun

18
1986 yang telah menjadi landasan hukum untuk Pengadilan
Tata Usaha Negara sendiri, di mana UU No. 5 Tahun 1986
menjadi landasan berdirinya Pengadilan Tata Usaha Negara
dan telah berkembang melalui perubahan selama dua kali.
UU Peradilan Tata Usaha Negara dari undang-undang
pokoknya hingga perubahan kedua menjadi salah satu
tujuan utama dan eksistensinya ada Peradilan Tata Usaha
Negara di Negara Indonesia.

F. TUJUAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


Meskipun landasan hukum Tata Usaha Negara sudah hadir
dan hukum materiil telah dikodifikasikan sebagai dalam
bentuk undang-undang, Peradilan Tata Usaha Negara
memiliki tujuannya sendiri untuk berdiri dan menegakkan
keadilan. Tujuan inilah yang akan menjadi fungsi Peradilan
Tata Usaha Negara sebagai tempat atau proses pencarian
keadilan dalam bagian Hukum Tata Usaha Negara bagi
pencari keadilan bila telah adanya tindakan yang merugikan
dari pejabat publik atau pemerintah. Hal ini disesuaikan
dengan prinsip Negara Kesejahteraan yang telah disebutkan
di atas bahwa untuk menciptakan suasana yang sejahtera
bagi warga negaranya di mana hubungan pemerintah dalam
mengelola negara didukung oleh warga negaranya akan
terjadi peningkatan yang menimbulkan suatu friksi. Friksi
tersebut akan menimbulkan ketidakadilan bagi warga negara
karena kekuasaan negara dikelola oleh pemerintah, maka
mereka membutuhkan perlindungan hukum yang akan
disediakan salah satunya dari Hukum Tata Usaha Negara
dengan lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara yang
mandiri untuk menciptakan keselarasan atau keseimbangan

19
hak dan kewajiban antara pejabat Tata Usaha Negara
dengan warga masyarakat.
G. SYARAT PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Syarat untuk disebutnya sebagai Pengadilan Tata
Usaha Negara atau tempat sebagai penegakan hukum Tata
Usaha Negara itu dibagi menjadi dua, ada syarat umum dan
syarat khusus. Syarat umum adanya Pengadilan Tata Usaha
Negara yang pertama, harus ada aturan hukum yang
abstrak yang bersifat umum. Hal ini dimaksudkan pengadilan
hanya mau melakukan tugas penyelesaian perkara apabila
perkara tersebut ada dasar hukumnya, artinya saat ada
gugatan yang dilayangkan oleh pihak yang merasa dirugikan
maka harus ada pelanggaran hukum atau sudah ada aturan
hukum yang mengatur sebagai tonggak bagi hakim ataupun
Peradilan Tata Usaha Negara dapat menyelesaikan perkara.
Hakim Tata Usaha Negara hanya akan mau bekerja jika
sudah ada landasan hukum yang sudah ada yakni hukum
Tata Usaha Negara dan tidak mungkin menggunakan hukum
lain untuk memproses perkara dan mengadili serta memutus
perkara tersebut. Hakim akan menyelesaikan perkara sesuai
dasar hukum yang jelas misalnya perkara wanprestasi maka
hakim akan melihat pasal-pasal yang mengatur soal
wanprestasi pastinya. Dalam hukum pidana sudah
disebutkan jelas dengan bunyi pasal yang menunjukkan
aturan hukum itu abstrak yang bersifat umum, misal Pasal
362 KUHP yang menyatakan dengan awalannya
“Barangsiapa” yang tidak menentukan siapa namun berlaku
bagi semua yang telah melakukan tindakan yang telah diatur
dalam Pasal 362 KUHP yakni tindakan pencurian. Dengan
pemenuhan dari bunyi pasal tersebut jika ada seseorang
telah melakukan tindakan yang dicurigai dan disangka

20
sebagai tersangka tindakan pidana maka akan diadili oleh
hakim. Maka hukum Tata Usaha Negara juga menyediakan
ketentuan hukum yang abstrak dan bersifat umum bagi
pencari keadilan.
Dalam praktiknya, hakim juga berusaha melakukan
rechtsvinding atau penemuan hukum, artinya hakim dilarang
menolak memeriksa sebuah perkara dengan alasan tidak
ada dasar hukumnya, jadi hakim harus menemukan hukum.
Terdengar kontradiktif namun sebenarnya tidak, jadi
prinsipnya hakim harus bekerja sesuai dengan peraturan
perundangan, kalau misalnya hakim menemukan suatu
ketidakjelasan, maka ia bisa melakukan perbandingan
dengan kasus yang hampir sama tapi hakim menggunakan
undang-undang lain yang bisa diterapkan dalam kasus
tersebut sehingga muncul yurisprudensi baru yang ke
depannya bisa digunakan untuk suatu sumber pemeriksaan
perkara selanjutnya. Syarat umum kedua, yakni adanya
perselisihan hukum yang konkret, artinya Pengadilan hanya
akan bekerja atau melaksanakan tugasnya jika ada
sengketa yang konkret dan betul-betul dibawa kepada
pengadilan. Jika terjadi sengketa antara kedua pihak, namun
tidak ada yang membawa sengketa tersebut kepada
pengadilan, maka tidak ada penegakan hukum atau
pencarian keadilan. Sama halnya jika ada perselisihan
antara pejabat Tata Usaha Negara atau pemerintah dengan
pihak yang dirugikan, maka pihak yang dirugikan harus
membawa atau mengajukan gugatan ke pengadilan,
pengadilan Tata Usaha Negara juga akan bersifat pasif
seperti pengadilan lainnya jika tidak menerima suatu
gugatan. Dengan adanya gugatan ini menjadi bukti bahwa
adanya perselisihan yang konkret karena sudah ditujukan

21
dengan dasar gugatan hukum yang jelas disertai bukti-
buktinya.
Pengadilan hadir dan menunjukkan keberadaannya
dalam menjalankan tugasnya kalau sudah ada perselisihan
yang nyata di mana ada pihak yaitu warga negara nyata-
nyata telah mengajukan gugatan ke Pengadilan, dalam hal
ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Syarat umum
ketiga, minimal ada dua pihak, pihak yang dimaksudkan
adalah subjek hukum yang dilindungi oleh hukum itu sendiri
dan namanya ada ‘pihak’ berarti ada dua kubu yang
berlawanan setidaknya. Kemungkinan pihak yang ada lebih
dari dua bisa jadi, namun tidak bisa hanya satu pihak saja
jika ada pihak yang merasa dirugikan. Kecuali dalam perkara
khusus di mana pihak tersebut tidak dirugikan misal seperti
pengangkatan anak di mana pihaknya terdiri dari satu pihak
saja, namun sifatnya khusus walaupun prosesnya melalui
pengadilan.
Kemudian syarat khusus bagi Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) yang pertama, salah satu pihak adalah
pejabat Tata Usaha Negara. Dalam Pengadilan Tata Usaha
Negara, para pihak yang bersengketa harus ada salah satu
pihaknya pejabat Tata Usaha Negara dan penegasan lebih
lanjut bahwa pejabat Tata Usaha Negara itulah berada
dalam posisi tergugat. Karena yang menimbulkan persoalan
adalah pejabat itu sendiri atau pemerintah, maka warga
negara bisa melakukan pengajuan gugatan akibat kerugian
yang diterimanya. Objek perkara dari sebuah perkara Tata
Usaha Negara seperti yang telah disebutkan adalah
Keputusan Tata Usaha Negara atau keputusan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang contohnya Surat
Keputusan (SK) maka posisi tergugat selalu pada pejabat

22
Tata Usaha Negara. Kemungkinan juga adanya dua pejabat
Tata Usaha Negara mengalami perselisihan hukum, tetapi
tidak mungkin warga negara mencoba menggugat dengan
warga negara lainnya di Pengadilan Tata Usaha Negara,
melainkan gugatan tersebut dilayangkan sesuai
sengketanya pada pengadilan lain. Syarat khusus yang
kedua, adalah dalam ranah bidang hukum publik atau
hukum tata usaha negara. Dasar gugatan tersebut harus
bersumber dari hukum Tata Usaha Negara itu sendiri,
sehingga pengadilan Tata Usaha Negara bisa dan memiliki
kewenangan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi
sesuai gugatan tersebut dalam ranah hukum publik, jika
dalam ranah hukum lain, maka pengadilan tidak bisa
menyelesaikan perkara tersebut, maka harus dilihat juga dari
objek dari gugatan tersebut yakni Keputusan Tata Usaha
Negara dan subjek yang digugat adalah pejabat yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
Pengadilan Tata Usaha Negara dapat memeriksa suatu
perkara sesuai dengan permintaan dan jangan melebihi dari
permintaan dari penggugat untuk penerapannya asas non
ultra petita.

H. KEWENANGAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


Kewenangan pengadilan tata usaha negara terbagi menjadi
2 (dua), yaitu:
1. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
Umum
Melihat pekerjaan yang dilakukan dalam
Peradilan Tata Usaha Negara maka harus memiliki
kewenangan dahulu yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Kewenangan Pengadilan Tata

23
Usaha Negara dibagi menjadi dua yakni umum dan
khusus, Salah satu pasal yang mengatur kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara ini ada pada Pasal 47
UU No. 5 Tahun 1986 yang mengatur bahwa
“Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara” Maka ada dua hal yang penting yakni tugas
atau wewenang pengadilan; dan objek dari wewenang
tersebut. Tugasnya sudah diatur dengan jelas bahwa
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan; lalu
objeknya adalah sengketa Tata Usaha Negara. Maka
Pengadilan Tata Usaha Negara akan selalu berusaha
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di mana
berlangsung dari gugatan perkara itu masuk dalam
acara pemeriksaan hingga pengeluaran putusan
perkara. Dalam tahapan gugatan itu sendiri ada juga
tahap gugat, jawaban, replik dan duplik dan
dalam tahap pembuktian adanya bukti keterangan
saksi, bukti surat dan bukti keterangan ahli yang
biasanya dibawa ke dalam pengadilan. Lalu setelah
ada kesimpulan dari semua pembuktian, maka hakim
dapat memutus apakah gugatan tersebut ditolak atau
diterima, dan tahap terakhir ada tahap
penyelesaiannya berarti suatu perkara harus
dieksekusi maka peran hakim masih diperlukan atau
jika ada banding maka peran pihak yang berwenang
saja yang akan menyelesaikannya dari sengketa Tata
Usaha Negara. Pengertian sengketa Tata Usaha
Negara ada diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua UU Peradilan
Tata Usaha Negara, yakni sengketa yang timbul dalam

24
bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa di
bidang Tata Usaha Negara antara pihak yang
dirugikan melawan pejabat publik sebagai akibat
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tadi yang
menimbulkan kerugian.
Sedangkan pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara diatur juga dalam Pasal 1 angka 9 UU No. 51
Tahun 2009 tentang Perubahan kedua UU Peradilan
Tata Usaha Negara, yakni suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata. Jadi syarat sebuah
Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan
tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final serta
menimbulkan akibat hukum yang bisa jadi merugikan
sehingga menjadi objek sengketa Tata Usaha
Negara.
Ciri khas Keputusan Tata Usaha Negara
sebagai penetapan tertulis dijelaskan pada undang-
undang pokok yakni UU No. 5 Tahun 1986 tentang UU
Peradilan Tata Usaha Negara bahwa istilah tertulis
terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada

25
bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, keputusan itu memang
diharuskan tertulis, yang disyaratkan bukan dari segi
formalnya seperti surat keputusan pengangkatan,
melainkan isi dari Keputusan Tata Usaha Negara
dikarenakan untuk kemudahan segi pembuktian. Isi
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh
pejabat Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan
akibat hukum yang merugikan seorang warga negara
maka sudah masuk dalam kategori penetapan tertulis
dalam ciri khas Keputusan Tata Usaha Negara.
Adapun dalam juga Keputusan Tata Usaha Negara
yang tidak tertulis juga bisa dijadikan objek perkara
Tata Usaha Negara yang diatur dalam Pasal 3 UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dilanjutkan dengan Pasal 53, Pasal 77, dan
Pasal 78 UU No. 30 Tahun 2014 tentang AP di mana
pasal-pasal tersebut mengatur bahwa sebuah
keputusan tidak tertulis dianggap sebagai sebuah
keputusan, artinya keputusan tersebut belum
dikeluarkan karena dalam hal peraturan perundang-
undangan tidak mengatur jangka waktu keputusan itu
dikeluarkan namun memenuhi syarat sebagai
keputusan akan tetap dianggap Keputusan Tata
Usaha Negara yang fiktif dari pejabat Tata Usaha
Negara. Pasal 3 UU Peradilan Tata Usaha Negara
disebut sebagai sebuah keputusan fiktif negatif,
sementara Pasal 53, 77, dan 78 UU AP disebut
sebuah keputusan fiktif positif. Penetapan tertulis
maupun tidak tertulis ini akan dijadikan bukti dalam
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara karena

26
ada asas unus testis nullus testis di mana satu alat
bukti bukan berarti sebagai bukti, maka harus ada alat
bukti yang lain salah satunya penetapan tersebut
menimbulkan akibat hukum. Ciri khas kedua dari
Keputusan Tata Usaha Negara adalah sifatnya yang
konkret berarti keputusan tersebut harus jelas atau
nyata wujudnya, misalnya objek terkait Keputusan
Tata Usaha Negara adalah bangunan milik seseorang
yang akan digusur melalui SK, atau sebuah bangunan
yang akan dibangun melalui SK. Kemudian sifat
individual ini pastinya berlainan dengan sifat umum,
berarti Keputusan Tata Usaha Negara itu menunjuk
jelas pihak yang terkena dari suatu akibat hukum
misalnya penggusuran bangunan tadi dimiliki oleh
inisial nama A melalui SK dan bukan penggusuran
bangunan yang ada di sepanjang jalan tersebut. Ciri
khas Keputusan Tata Usaha Negara yang terakhir
adalah bersifat final berarti Keputusan Tata Usaha
Negara itu definitif dan menimbulkan akibat hukum
yang merugikan pada pihak yang dituju. Keputusan
Tata Usaha Negara itu bisa langsung dieksekusi
langsung oleh pejabat yang berwenang dan bukan
berupa usulan saja dari pejabat Tata Usaha Negara.
Jadi ciri khas Keputusan Tata Usaha Negara yang
bisa digugat adalah penetapan tertulis, bersifat
konkret, individual, final dan menimbulkan akibat
hukum.
2. Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara
Khusus
Kembali lagi bahwa kewenangan Pengadilan yang
diatur dalam Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1986 dibagi

27
menjadi kewenangan umum dan khusus. Pengadilan
Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang untuk
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara, namun dalam kewenangan
khususnya yang dimaksudkan adalah kewenangan
secara hierarki yang dimiliki oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara. Secara struktur hierarki dibagi dengan
adanya Pengadilan Tata Usaha Negara secara
tingkatan, yakni dari yang paling dasar adalah
Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama atau
Pengadilan Tata Usaha Negara, lalu Pengadilan Tata
Usaha Negara tingkat kedua atau Pengadilan tingkat
Banding atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara,
dan Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat yang
ketiga adalah Mahkamah Agung Bidang Tata Usaha
Negara. Jadi dalam kewenangan khusus ini menjadi
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
dibagi antara satu sama yang lain secara tingkatan.
Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama
pastinya akan memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara pada
tahap pertama, sementara Pengadilan Tata Usaha
Negara tingkat kedua atau tingkat Banding atau
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memiliki
kewenangan memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara banding dan juga menjadi
Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama untuk
menyelesaikan perkara-perkara yang sudah
diselesaikan melalui jalur administratif. Jika sengketa
Tata Usaha Negara diselesaikan melalui jalur
administratif namun pihak penggugat belum merasa

28
puas maka bisa menggugat perkaranya kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai tingkat
pertama untuk menyelesaikan perkaranya. Hal ini
sudah jelas diatur dalam Pasal 51 ayat (3) jo Pasal 48
UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara mengeluarkan putusan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara, putusan tersebut dapat diajukan
sebagai permohonan kasasi jika dirasa pihak
penggugat belum merasa puas, dalam hal ini
Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat ketigalah yang
memeriksa perkara kasasi yakni Mahkamah Agung
Bidang Tata Usaha Negara sesuai Pasal 51 ayat (4)
UU No. 5 Tahun 1986. Jadi dalam kewenangan
khusus ini terbagi secara hierarki dalam arti setiap
Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki tingkat dari
pertama hingga terakhir, dan tiap kewenangan untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
Tata Usaha Negara yang berbeda-beda sesuai
tingkatannya.

I. PEMBATASAN KEWENANGAN PENGADILAN TATA


USAHA NEGARA
Pembatasan Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Sekarang sudah jelas mengenai kewenangan Pengadilan
Tata Usaha Negara itu bahwa untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sengketa
Tata Usaha Negara ini timbul karena Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara,
jadi objek dari sengketa Tata Usaha Negara yang menjadi
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah

29
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat oleh pihak
penggugat yang sudah diatur dalam Pasal 48 UU No. 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, namun
dalam kenyataannya dengan basis sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara yang dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha
Negara bukan berarti bisa serta-merta diselesaikan dalam
Pengadilan Tata Usaha Negara. Jadi sebuah Keputusan
Tata Usaha Negara belum tentu bisa menjadi objek gugatan,
bisa dikarenakan; karena Keputusan Tata Usaha Negara
yang digugat tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur
dalam undang-undang yakni bersifat tertulis, konkret,
individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum yang
merugikan; atau Keputusan Tata Usaha Negara sudah
dibatasi dengan pembatasan yakni keputusan Tata Usaha
Negara yang seharusnya menjadi kewenangan pejabat Tata
Usaha Negara itu ternyata dianulir sehingga tidak bisa
digugat. Maka ada pembatasan kewenangan Pengadilan
Tata Usaha Negara oleh undang-undang yang mengatur
sehingga dibagi secara langsung, tidak langsung, dan
langsung yang bersifat sementara.
1. Pembatasan Langsung
Pembatasan langsung yang diatur
pembatasannya langsung dengan Pasal 2 UU No. 9
Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun 1986 mengenai
keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk
menurut undang-undang yakni Keputusan Tata Usaha
Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
pengaturan bersifat umum; dan Keputusan Tata
Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan

30
berdasarkan ketentuan KUHP atau KUHAP atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum pidana; Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengenai tata usaha Tentara
Nasional Indonesia; dan Keputusan Panitia Pemilihan,
baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilu. Lalu penjelasan lebih lanjut mengenai
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan
perbuatan hukum perdata artinya yang menyangkut
masalah jual beli yang dilakukan oleh instansi
pemerintah dengan perseorangan misalnya seperti SK
tentang sewa-menyewa gedung yang dikeluarkan oleh
Walikota, sewa-menyewa tersebut masuk dalam ranah
hukum perdata.
Ada juga Keputusan Tata Usaha Negara yang
merupakan pengaturan bersifat umum berarti
ketentuan-ketentuan normatif yang dibentuk dan
dituangkan dalam peraturan yang berlaku mengikat
setiap orang, padahal syarat mutlak sebuah
Keputusan Tata Usaha Negara bisa digugat salah
satunya adalah bersifat individual berarti mengikat
kepada pihak tertentu saja, dengan ini Pasal 2 huruf b
UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun 1986
memperkuat Pasal 1 ayat (9) UU No. 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua dari UU Peradilan Tata
Usaha Negara. Kalau Keputusan Tata Usaha Negara
yang masih memerlukan persetujuan ini juga
bertentangan dengan salah satu syarat Keputusan

31
Tata Usaha Negara yang bisa digugat adalah bersifat
final, arti final ini sudah definitif, sudah bisa dieksekusi,
belum perlu menunggu persetujuan dari instansi lain
yang dikira diperlukan karena instansi lain tersebut
akan terlibat dalam akibat hukum yang ditimbulkan
dari keputusan tersebut. Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-
undangan lain yang bersifat hukum pidana juga tidak
bisa digugat karena sudah dibatasi oleh undang-
undang, misalkan jika penuntut umum mengeluarkan
surat perintah penahanan terhadap tersangka, namun
tersangka merasa dirugikan oleh surat perintah
tersebut, tetap surat perintah tersebut tidak bisa
digugat sebagai objek perkara Tata Usaha Negara
melainkan jika ingin menempuh pembelaan atas akibat
surat perintah tersebut, maka bisa menggugat Pra
peradilan pidana kepada Pengadilan Negeri karena
peradilan Tata Usaha Negara sudah tertutup akan
ketentuan-ketentuan yang mengatur soal hukum
pidana. Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku juga tidak bisa
digugat dalam Peradilan Tata Usaha Negara, misalkan
pengeluaran keputusan dalam hal ini oleh lembaga
pengadilan perdata yang dikategorikan sebagai
pejabat Tata Usaha Negara seperti putusan
pengadilan mengenai cerai yang memiliki kekuatan
hukum tetap, tapi putusan tersebut tidak bisa digugat
sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara melainkan

32
seharusnya melakukan upaya hukum banding sesuai
proses peradilan hukum perdata yakni kepada
Pengadilan Tinggi bukan Pengadilan Tata Usaha
Negara. Inilah Keputusan-keputusan Tata Usaha
Negara yang tidak bisa digugat kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 2 UU
Peradilan Tata Usaha Negara.
Ada juga pembatasan langsung ini diatur dalam
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Pengadilan Tata
Usaha Negara tidak berwenang untuk melakukan
kewenangannya yakni untuk memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
dengan objek sengketanya adalah Keputusan Tata
Usaha Negara yang dikeluarkan pada waktu keadaan
darurat seperti terjadinya perang, keadaan bahaya,
bencana alam. Contohnya Gubernur suatu daerah
mengeluarkan surat keputusan untuk pengosongan
tempat luas untuk dijadikan sebagai tempat
menampung dari para korban akibat keadaan yang
luar biasa membahayakan, maka surat keputusan ini
tidak dapat digugat kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara. Juga dalam keadaan yang mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku maka suatu surat keputusan
harus diterbitkan oleh pejabat Tata Usaha Negara
untuk upaya mengatasi keadaan tersebut, tidak dapat
dijadikan sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara.
2. Pembatasan Tidak Langsung
Pembatasan tidak langsung kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara yakni melalui upaya
administratif yang ditangani oleh lembaga lain

33
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 jo Pasal 129 UU
No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara jo
Pasal 75 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan. Juga Pasal 51 No. 5 Tahun 1986 yang
mengatur kewenangan khusus Pengadilan Tata Usaha
Negara yang membatasi kewenangan Pengadilan
Tata Usaha Negara secara hierarki tadi, hanya
Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat tertentu yang
bisa menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
tertentu juga sehingga dibatasi oleh kewenangan
khusus Pengadilan Tata Usaha Negara.
3. Pembatasan Langsung yang bersifat sementara
Pembatasan langsung yang bersifat sementara
itu diatur dalam Pasal 142 UU No. 5 Tahun 1986
mengenai Ketentuan Peralihan berarti dalam
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara akan
dibatasi untuk sementara waktu selama adanya
perubahan ketentuan dalam suatu perubahan UU
Peradilan Tata Usaha Negara agar tidak merugikan
segala proses hukum yang sedang berlangsung,
misalnya ada penambahan sengketa Tata Usaha
Negara yang menjadi kewenangan Pengadilan Tata
Usaha Negara dalam undang-undang terbaru, namun
proses penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
sebelum undang-undang yang baru tetap dibatasi
sampai prosesnya selesai.

J. KEKHUSUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA


Kekhususan Pengadilan ini berarti ada ciri khas yang hanya
ada di dalam Pengadilan Tata Usaha Negara dan bukan
Pengadilan yang lain. Kekhususan Pengadilan Tata Usaha

34
Negara ini ada 5 hal, yang pertama adalah adanya tenggang
waktu berdasarkan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Pengadilan Tata Usaha Negara.
1. Tenggang Waktu
Gugatan hanya dapat diajukan dalam tenggang
waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan
Tata Usaha Negara. Jadi sejak menerima atau
diumumkannya sebuah Keputusan Tata Usaha
Negara, dalam tenggang waktu 90 hari saja, pihak
yang merasa dirugikan boleh menggugat Pejabat Tata
Usaha Negara, lewat dari 90 hari sejak penerimaan
Keputusan Tata Usaha Negara maka hak untuk
menggugat secara otomatis hilang sehingga tidak bisa
menggugat lagi. Kalau perkara perdata atau perkara
mengenai gugat cerai kepada Pengadilan Agama,
para pihak yang ingin menggugat bisa kapan saja,
tidak diatur tenggang waktunya kapan bisa menggugat
atau sampai berapa lama masih memiliki hak untuk
menggugat atau bebas dari waktu. Sementara jika
ingin menggugat suatu perkara kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara akan ada tenggang waktunya, hal
inilah yang menjadi suatu keunikan dalam Pengadilan
Tata Usaha Negara. Dasar filosofi diaturnya adanya
batas waktu dalam gugat perkara Tata Usaha Negara
adalah pertama, mencegah pemerintah untuk
diganggu dengan gugatan perkara Tata Usaha Negara
sehingga pejabat Tata Usaha Negara merasa ada
kepastian dari pengeluaran Keputusan Tata Usaha
Negara yang dibuat; kedua supaya suatu Keputusan
Tata Usaha Negara yang dibuat Pejabat Tata Usaha

35
Negara jangan sampai selalu pada situasi
ketidakpastian, jika selama batas waktu 90 hari
setelah Keputusan Tata Usaha Negara diberikan,
pihak yang bersangkutan tidak menggugat berarti
Keputusan Tata Usaha Negara sudah dapat diterima
lewat batas waktu 90 hari. Perlu diperhatikan juga
pihak yang bersangkutan ini bisa menggugat suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara setelah diterimanya
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut secara riil
atau nyata-nyatanya pihak bersangkutan sudah
menerima fisiknya, ini bersangkutan juga dengan
syarat Keputusan Tata Usaha Negara yakni bersifat
tertulis.
Tetapi dalam undang-undang juga membuka
ruang bahwa sebuah Keputusan Tata Usaha Negara
bisa juga bersifat tidak tertulis bisa digugat, padahal
untuk menggugat sengketa Tata Usaha Negara
dibutuhkan penerimaan Keputusan Tata Usaha
Negara secara fisiknya atau tertulis, bagaimana
dengan pengaturan tenggang waktunya. Maka
diaturnya Pasal 3 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 yang
mengatur batas tenggang waktu suatunya Keputusan
Tata Usaha Negara yang dimohon itu belum
dikeluarkan secara fisiknya, contohnya penerbitan
suatu Keputusan Tata Usaha Negara diatur dalam
peraturan tertentu yakni atas suatu permohonan
dibatasi selama 1 bulan, namun setelah 1 bulan,
pemohon juga belum menerima Keputusan Tata
Usaha Negara secara fisiknya, maka dapat merujuk
dari Pasal 3 ayat (2) tadi bahwa Pejabat Tata Usaha

36
Negara sudah mengeluarkan keputusan penolakan
jadi Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat berbuat
apa-apa. Namun pihak yang bersangkutan tidak perlu
menggugat lagi karena sesuai ketentuan tadi berarti
Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan keputusan
penolakan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang
belum dikeluarkan yang bisa dikatakan sebagai fiktif
negatif.
Sementara dalam Undang-undang Administrasi
Pemerintahan dan Aparatur Sipil Negara malah
mengatur atau mengenal fiktif positif bahwa pejabat
Tata Usaha Negara yang hendak mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara dianggap Keputusan
Tata Usaha Negara itu sudah ada dan bisa digugat.
Fiktif positif dijelaskan kembali bukan serta-merta
kalau Keputusan Tata Usaha Negara memang hendak
dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara, maka
tahap eksekusinya bisa langsung dilaksanakan. Lebih
kepada jika selama tenggang waktu yang ditentukan
untuk pengeluaran suatu Keputusan Tata Usaha
Negara sudah lewat tapi Keputusan Tata Usaha
Negara juga belum dikeluarkan, maka bisa diajukan
suatu permohonan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara atas dasar Keputusan Tata Usaha Negara
sudah melewati tenggang waktu namun belum
dikeluarkan, dan diperiksa dan akhirnya akan
dikeluarkan putusan pengadilan mengenai Keputusan
Tata Usaha Negara bisa berupa pengabulan atau
penolakan.
Kembali lagi mengenai tenggang waktu untuk
persoalan Keputusan Tata Usaha Negara belum

37
diterimanya secara fisiknya, mengambil dari contoh
awal, jika Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan belum dikeluarkan fisiknya untuk diterima
pihak penggugat setelah 1 bulan, dan pihak yang
bersangkutan ingin menggugat suatu Keputusan Tata
Usaha Negara yang belum diterimanya, maka dapat
menghitung dari batas waktu ketentuan yang
mengatur pengeluaran Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut tadi yakni maksimal 1 bulan, dan selama 90
hari setelah lewat 1 bulan, pihak tersebut dapat
menggugat. Jadi pihak penggugat ingin menggugat
Keputusan Tata Usaha Negara yang belum
diterimanya, maka dapat menggugat setelah waktu
yang ditentukan oleh aturan dasar dari pengeluaran
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Sehingga
kalau belum waktunya pengeluaran Keputusan Tata
Usaha Negara sudah habis maka belum bisa
menggugat dan jika melewati batas waktu
pengeluaran Keputusan Tata Usaha Negara disertai
90 hari sejak batas waktunya maka dianggap hak
untuk menggugat sudah daluwarsa.
Melihat juga dari Pasal 3 ayat (3) UU No. 5
Tahun 1986 yang mengatur jika pengeluaran
Keputusan Tata Usaha Negara tidak ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan,
maka sejak jangka waktu empat bulan sejak
diterimanya permohonan belum dikeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara oleh Pejabat Tata
Usaha Negara maka dianggap sudah mengeluarkan
keputusan penolakan, berarti pihak yang bersangkutan
memiliki hak gugat atas suatu Keputusan Tata Usaha

38
Negara yang tidak ditentukan jangka waktu
pengeluarannya oleh suatu peraturan sejak 4 bulan
setelah permohonan tersebut diajukan sampai 90 hari
lewat. Untuk melihat fiktif negatif dan fiktif positif,
diperlukannya melihat atas dasar yang mana jika ingin
menggugat suatu Keputusan Tata Usaha Negara
kepada Pengadilan Tata Usaha Negara.
2. Hakim Aktif
Kekhususan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang kedua adalah Hakim Aktif (Dominis Litis). Dalam
peradilan perdata, hakim itu bersifat pasif, namun
seiring dengan perkembangan zaman, hakim mulai
bersifat aktif dalam arti hakim menangani suatu
perkara, namun kesulitan menemukan dasar
hukumnya, maka hakim jangan sampai menolak
(Prinsip Ius Curia Novit) untuk menangani suatu
perkara dengan alasan tidak ada dasar hukum yang
mengatur, melainkan harus menemukan hukum yang
baru (rechtsvinding), hakim harus aktif untuk
menemukan suatu hukum. Istilah kemampuan hakim
untuk menemukan hukum baru itu juga menjadi hakim
aktif, namun dari sisi yang lain, hakim dalam peradilan
perdata bersifat pasif yang diartikan bahwa dia hanya
terhadap suatu persoalan yang diperdebatkan oleh
kedua belah pihak, hakim tidak ikut campur, tidak
berpihak, melainkan menduduki posisi netral atau
tengah untuk memilah dan mempertimbangkan
keputusan yang adil bagi kedua pihak.
Tapi dalam peradilan Tata Usaha Negara,
hakim aktif seperti dalam hal membantu salah satu
pihak. Hakim dalam peradilan Tata Usaha Negara

39
berperan untuk menjaga keseimbangan dari posisi
kedua belah pihak, karena dalam peradilan Tata
Usaha Negara pihak yang bersengketa tidak
seimbang, Pihak Penggugat sebagai warga negara
saja, tidak memiliki kuasa seperti Pihak Tergugat yakni
pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki kuasa.
Maka dasar filsafatnya hakim akan aktif untuk menjaga
keseimbangan antara kedua pihak yang bersengketa.
Wujud hakim berperan aktif diatur dalam Pasal 62 dan
63 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara. Misal seorang ingin menggugat suatu
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh
pejabat Tata Usaha Negara namun tidak melihat atau
tidak mengerti waktu daluwarsanya, di sini Ketua
Pengadilan akan memeriksa terlebih dahulu
gugatannya dan jika melewati tenggang waktunya
maka gugatan akan ditolak, ada juga jika memasukkan
gugatan namun isi gugatan tersebut mengenai ranah
hukum perdata, Ketua Pengadilan akan memeriksa
gugatan tersebut dan tentunya menolak atas dasar
bukan wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 62 UU Pengadilan Tata Usaha Negara
memberikan Ketua Pengadilan untuk menolak suatu
gugatan karena gugatan yang diajukan tidak
memenuhi syarat, dalam hal ini sebenarnya ada peran
aktif menolong si penggugat, dikarenakan jangan
sampai si penggugat sudah mengeluarkan biaya,
waktu, tenaga untuk sengketa Tata Usaha Negara
hanya untuk diputus bahwa gugatannya itu salah dari
awal, tidak memenuhi syarat tadi. Hakim atau Ketua
Pengadilan memiliki tanggung jawab untuk menolong

40
si penggugat agar gugatannya itu benar, dan kalaupun
salah gugatannya dapat dihentikan sebelum mulai
proses peradilan Tata Usaha Negara. Sementara
dalam Pasal 63 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986
mengatur bahwa hakim wajib untuk mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan
yang kurang jelas, berarti hakim memiliki wewenang
untuk memanggil pihak penggugat untuk melengkapi
gugatannya yang kurang lengkap agar dalam proses
berperkara, isi gugatannya menjadi jelas dan tepat
sesuai yang digugat oleh pihak penggugat dan tidak
dianggap sebagai gugatan kabur (obscuur libel).
Inilah letak peran Hakim lagi berperan aktif
untuk melengkapi gugatan oleh pihak penggugat demi
menolong pihak yang lemah yakni pihak penggugat
agar tidak membuang waktu, biaya dan tenaga hanya
untuk kembali mengirim gugat ulang. Beda dengan
peradilan perdata, hakim tidak menolong siapa pun
melainkan menunggu kedua pihak yang berdebat,
karena hakim tidak perlu membantu siapa pun karena
posisi kedua pihak seimbang di mana hak dan
kewajiban mereka sama sebagai warga negara dan
mereka yang bersengketa. Sementara dalam
peradilan Tata Usaha Negara, sifat hakim aktif ini
untuk menolong pihak yang lemah atau penggugat
agar kedudukannya seimbang dengan pihak lawannya
yakni pejabat Tata Usaha Negara sesuai Pasal 62 dan
63 UU No. 5 Tahun 1986.
3. Prosedur Dismissal (Dismissal Process)
Kekhususan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang ketiga sebenarnya ada kaitannya juga dengan

41
peran Hakim Aktif tadi, yakni diaturnya dengan Pasal
62 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara mengenai kewenangan Dismissal
Process. Dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
dikenalnya adanya dismissal process, yakni proses
untuk menghentikan suatu gugatan, hal ini dikaitkan
dengan peran Hakim Aktif untuk menolong penggugat
jika gugatannya tidak memenuhi sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986, yang
berbunyi:
“(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua
Pengadilan berwenang memutuskan dengan
suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan
yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasar, dalam hal:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak
termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberi
tahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan
sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau
telah lewat waktunya.

42
(2) a. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan
ditentukan dengan memanggil kedua belah
pihak untuk mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak
dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
(3) a. Terhadap penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan
perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang
waktu empat belas hari setalah diucapkan
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan
oleh Pengadilan, maka penetapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan
diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusam mengenai perlawanan itu
tidak dapat digunakan upaya hukum.”
maka gugatannya bisa diberhentikan atau tidak
diterima. Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara
memiliki kewenangan untuk menghentikan suatu
perkara atas dasar; pokok gugatan tersebut nyata-
nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan;
syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat

43
sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan
yang layak; apa yang dituntut dalam gugatan
sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat; gugatan diajukan
sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Kewenangan ini hanya dimiliki oleh Ketua Pengadilan
Tata Usaha Negara dan bukan anggota pengadilan
lainnya untuk menghentikan suatu gugatan atas dasar
tadi yang diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU
Pengadilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
“Dalam rapat permusyawaratan, Ketua
Pengadilan berwenang memutuskan dengan
suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan
yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasar, dalam hal:
f. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak
termasuk dalam wewenang Pengadilan;
g. syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberi
tahu dan diperingatkan;
h. gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan-alasan yang layak;
i. apa yang dituntut dalam gugatan
sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat;
j. gugatan diajukan sebelum waktunya atau
telah lewat waktunya.”

44
Beda dengan peradilan perdata, tidak ada yang
memiliki wewenang untuk memberhentikan suatu
gugatan, melainkan gugatan masuk, proses peradilan
tetap jalan hingga hasil putusan dan eksekusinya. Jadi
kekhususan ini juga sebagai rangkaian dari
kekhususan yang kedua, yakni peran Hakim Aktif.
4. Asas Presumptio Justae Causa
Kekhususan keempat dalam Pengadilan Tata
Usaha Negara adalah dikenalnya Asas Presumptio
Justae Causa, yang di mana tidak beda jauh dengan
peradilan pidana yakni Asas Presumption of
Innocence atau lebih dikenalnya dengan Asas
Praduga Tidak Bersalah, bahwa seseorang tidak bisa
dianggap bersalah sebelum pengadilan mengeluarkan
putusan. Sementara dalam Pengadilan Tata Usaha
Negara dikenalnya asas presumptio justae causa yang
ada di dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 67 ayat (1) UU
Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
“Gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.”
mengatur bahwa gugatan tidak menunda atau
menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Ini berarti
meskipun pihak yang bersangkutan telah menerima
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dan ingin
menggugat Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha Negara

45
keesokannya, hal tersebut tidak menghentikan
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara walaupun
gugatan sudah masuk ke Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Selama belum ada hasil putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara mengenai Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat, Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut masih dianggap benar dan masih bisa
dilaksanakan. Suatu Keputusan Tata Usaha Negara
masih dianggap benar sampai hasil putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dikeluarkan, lalu cara
untuk melindungi kepentingan pihak yang
bersangkutan dalam menggugat kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara diatur dalam Pasal 67 ayat (2) UU
Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi:
“Penggugat dapat mengajukan permohonan
agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara itu ditunda selama pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan,
sampai ada putusan Pengadilan yang
memperoleh kekuatan hukum tetap.”
menegaskan bahwa penggugat dapat mengajukan
permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan
pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Jadi pihak penggugat agar tidak dirugikan atau
menghindari eksekusi dari suatunya Keputusan Tata
Usaha Negara bisa mengajukan permohonan
langsung sekaligus gugatannya kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara agar suatu Keputusan Tata Usaha

46
Negara yang dikeluarkan Pejabat Tata Usaha Negara
itu bisa ditunda terlebih dahulu sampai putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dari sengketa Tata
Usaha Negara. Sehingga suatu Keputusan Tata
Usaha Negara masih dianggap benar hingga putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dikeluarkan
namun bisa ditunda selama proses peradilan Tata
Usaha Negara. Hal ini tidak ada dalam pengadilan
lainnya.
5. Tidak ada Rekonvensi
Kekhususan kelima dari Pengadilan Tata Usaha
Negara adalah tidak mengenal adanya rekonvensi.
Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh
tergugat terhadap penggugat dalam sengketa Tata
Usaha Negara yang sedang berjalan atau singkatnya
gugat balik. Sehingga dalam posisi tergugat dalam hal
gugatan pokok perkara mengajukan suatu rekonvensi,
maka tergugat tersebut akan berada dalam posisi
penggugat rekonvensi untuk menghindari
kesalahpahaman antara penggugat pokok perkara
dengan penggugat rekonvensi. Dalam hal ini
pengadilan lain mengenal adanya rekonvensi
sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara tidak. Hal
ini dikarenakan pihak yang bersengketa itu dalam
sengketa Tata Usaha Negara dengan objek
sengketanya adalah adanya Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh pejabat Tata Usaha
Negara. Jika pejabat Tata Usaha Negara itu
menggugat balik maka objek yang digugat adalah
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkannya
sendiri, hal ini malah membuat keadaan semakin tidak

47
jelas atau rekonvensi tidak mungkin karena tidak
mungkin Pejabat Tata Usaha Negara akan menggugat
Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah
dikeluarkannya. Dalam gugat rekonvensi, kedudukan
para pihak semula menjadi berbalik juga padahal
objek gugatannya adalah Keputusan Tata Usaha
Negara, masakan kedudukan pihak penggugat yang
sebelumnya sebagai pihak yang terkena dampak dari
suatu Keputusan Tata Usaha Negara menjadi pejabat
Tata Usaha Negara, malah kedudukan pihak tergugat
yakni pejabat Tata Usaha Negara menjadi pihak yang
terkena dampak dari suatu Keputusan Tata Usaha
Negara sehingga ingin menggugat balik. Maka dengan
itu dalam Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
mengenal adanya rekonvensi.

K. ASAS-ASAS UMUM PENGADILAN TATA USAHA


NEGARA
1. Asas Presumptio Iustae Cause/Praduga Keabsahan
➔ Setiap keputusan tata usaha negara harus
dianggap sah (rechtmatig) sampai ada
pembatalannya.
➔ Pasal 67 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi:
“Gugatan tidak menunda atau menghalangi
dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.”
2. Asas Pembuktian Bebas
➔ Ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya
ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim,

48
sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan
diserahkan kepada hakim.
➔ Pasal 100 ayat 1 – 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi:
“(1) Alat bukti ialah:
a. surat atau tulisan;
b. keterangan ahli;
c. keterangan saksi;
d. pengakuan para pihak;
e. pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum
tidak perlu dibuktikan.”
➔ Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, berbunyi:
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan,
beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan Hakim”
3. Asas Hakim Aktif (Domini Litis)
➔ Merupakan salah satu prinsip penting dalam
pemeriksaan di Peradilan Tata Usaha Negara.
Hakim secara aktif, menasehati Penggugat untuk
melengkapi surat gugatan, serta dalam proses
pembuktian.
➔ Pasal 62 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi:
“Dalam rapat permusyawaratan, Ketua
Pengadilan berwenang memutuskan dengan
suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan

49
yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasar, dalam hal:
k. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak
termasuk dalam wewenang Pengadilan;
l. syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberi
tahu dan diperingatkan;
m. gugatan tersebut tidak didasarkan pada
alasan-alasan yang layak;
n. apa yang dituntut dalam gugatan
sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat;
o. gugatan diajukan sebelum waktunya atau
telah lewat waktunya.”
➔ Pasal 63 ayat 1 – 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, berbunyi:
“(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa
dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang
kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) Hakim:
a. Wajib memberi nasihat kepada penggugat
untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang
diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh
hari;

50
b. Dapat meminta penjelasan kepada Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.”
4. Asas Erga Omnes. (Sengketa Hukum Publik-Putusan
Mengikat Semua)
➔ Setiap Putusan MK berlaku bukan hanya bagi para
pihak yang berperkara melainkan bagi seluruh
rakyat Indonesia.
5. Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori
➔ Undang-undang baru itu mengubah atau
meniadakan undang-undang lama yang mengatur
materi yang sama. mengatur masalah yang sama
dalam hierarki yang sama.
6. Asas Lex Spesialis Derogat Legi Generali
➔ Asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis)
mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex
generalis).
7. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori
➔ Asas hukum yang menyatakan bahwa aturan
hukum yang tingkatannya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan aturan hukum yang
tingkatannya lebih tinggi.
8. Asas Contrarius Actus
9. Asas Superior Respondeat
10. Asas Yuridikitas (Rechtmatigheid)
11. Asas Legalitas (Wetmatigheid)
12. Asas Diskresi
13. Dan lain-lain

L. MASALAH GUGATAN

51
Dalam acara peradilan Tata Usaha Negara, jika ada gugatan
yang dimasukkan ke dalam Pengadilan Tata Usaha Negara,
maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
menggugat. Masalah gugatan yang dikemukakan dan harus
diperhatikan ada 5 hal, pertama adalah objek gugatan itu
sendiri.
1. Objek Gugatan
Mengenali subjek dan objek dari gugatan
tersebut, subjek gugatan tersebut harus dikenal para
pihak yang bersangkutan dari perkara itu siapa. Pihak
penggugat dan pihak tergugat haruslah jelas agar bisa
diidentifikasikan para pihak yang bersengketa. Pihak
penggugat kedudukannya sebagai warga negara yang
terkena dari dampak merugikan dari eksekusi suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, sementara pihak
tergugat kedudukannya sebagai pejabat Tata Usaha
Negara atau badan publik yang mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut. Selain itu,
harus benar-benar dipahami dari subjek gugatan
tersebut karena berkaitan dengan objek gugatan yakni
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan.
Meskipun kedudukannya atau jabatannya
memang sebagai Pejabat Tata Usaha Negara dan dia
sudah mengeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, tapi belum tentu Keputusan Tata Usaha
Negara yang dibuat tidak dalam ranah hukum Tata
Usaha Negara melainkan dalam ranah hukum lain
sebagaimana sudah dijelaskan dalam pembatasan
langsung atas kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Jadi

52
misalkan Keputusan Tata Usaha Negara yang
dikeluarkan dalam ranah hukum perdata,
sebagaimana yang sudah diatur dengan Pasal 2 huruf
a UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka sudah
jelas objek gugatan tersebut salah. Sehingga
meskipun pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dan pihak
yang bersangkutan ingin menggugat Keputusan Tata
Usaha Negara, jelas tidak bisa masuk ke dalam
Pengadilan Tata Usaha Negara melainkan ke
Pengadilan Negeri. Perlu diperhatikan lagi bahwa
subjek dari gugatan serta objek gugatannya agar
gugatan tersebut tidak sia-sia. Subjek gugatan
tersebut harus sebagai Pejabat Tata Usaha Negara
atau Badan Publik namun kedudukannya bertindak
dalam ranah hukum apa terlebih dahulu.
Objek gugatan juga harus berupa Keputusan
Tata Usaha Negara dan meskipun di dalam ranah
hukum Tata Usaha Negara tapi tidak memenuhi syarat
lain sebagaimana sudah dijelaskan dan sebenarnya
diatur dalam Pasal 1 ayat (9) UU No. 51 Tahun 2009
jo UU No. 5 Tahun 1986, maka gugatan tersebut tidak
pantas untuk dibawa dan perkara Tata Usaha Negara
tidak bisa dilanjutkan. Syarat-syarat mengenai
Keputusan Tata Usaha Negara bahwa harus tertulis,
konkret, individual, final dan mengakibatkan akibat
hukum yang merugikan. Juga perlu diperhatikan
walaupun syaratnya sudah diatur, undang-undang
tetap membuka ada bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara bisa juga bersifat fiktif atau tidak tertulis

53
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU
Peradilan Tata Usaha Negara mengenai fiktif negatif;
dan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan mengenai fiktif positifnya.
Lalu bentuk objek gugatan juga bisa karena suatu
pernyataan lisan di mana dikeluarkan sebagai pejabat
Tata Usaha Negara dan topik lisan tersebut mengenai
administrasi negara. Bisa jadi pernyataan lisan
tersebut akan menjadi suatu bukti terjadinya eksekusi
atau pelaksanaan suatu Keputusan Tata Usaha
Negara meskipun masih bersifat fiktif. Benar-benar
perlu memerhatikan subjek gugatannya dan objek
gugatannya agar gugatannya tidak dianulir atau
diberhentikan oleh Ketua Pengadilan dengan
wewenangnya dismissal process. Hal ini demi
persiapan dalam perkara Tata Usaha Negara dan
pematangan gugatan sengketa Tata Usaha Negara.
2. Tenggang Waktu Gugatan
Kedua, dalam masalah gugatan juga harus
diperhatikan adanya tenggang waktu. Perlu
diperhatikan juga mengenai daluwarsa dari sebuah
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara. Walaupun menjadi suatu
kekhususan Pengadilan Tata Usaha Negara, namun
dalam mempersiapkan gugatan juga perlu
memperhatikan tenggang waktunya supaya tidak sia-
sia. Bisa saja belum waktunya untuk menggugat atau
malah lewat tenggang waktunya untuk menggugat
sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya. Harus
diperhatikan kapan diterbitkannya Keputusan Tata
Usaha Negara tersebut, waktu menerima Keputusan

54
Tata Usaha Negara tersebut atau diketahuinya oleh
pihak yang bersangkutab, juga Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut dikeluarkan tertulis atau fiktif oleh
pejabat Tata Usaha Negara. Lalu menghitung sejak
penerimaan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut
selama 90 hari dan jangan sampai terlewat. Jangan
sampai salah karena tidak memperhatikan tenggang
waktu, maka gugatan tidak bisa diajukan ulang karena
hak menggugat sudah hilang.
3. Persiapan Gugatan
Ketiga, dalam masalah mengajukan suatu
gugatan dibutuhkan adanya persiapan gugatan yang
matang. Dalam menyusun gugatan perlu mencari
informasi apa saja yang diperlukan dalam gugatan.
Pertama perlu melihat dari pokok sengketa dari pihak
yang bersangkutan, cari informasi sebanyak-
banyaknya seperti wilayah hukum, dalam ranah
hukum yang mana melihat dari Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan atau diterima oleh pihak
tersebut sebagaimana perkara Tata Usaha Negara
pasti harus mengenai Hukum Tata Usaha Negara.
Kedua, kenali juga para pihak, dijelaskan lagi kalau
pihak yang bersengketa atau pihak Penggugat
sebagai warga negara yang terkena dampak dari
terbitan Keputusan Tata Usaha Negara dan pihak
Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan atau menerbitkan Keputusan Tata
Usaha Negara, juga jangan sampai keliru pihaknya
dan perhatikan wilayah hukum dari para pihak. Ketiga,
kenali juga objek gugatannya, bahwa yang digugat
adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang

55
memenuhi syarat sebagaimana sudah diatur dalam
undang-undang agar dapat digugat kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara. Keempat, kenali
tenggang waktunya lagi bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut sudah bisa digugat atau belum atau
sudah daluwarsa. Kelima, melihat Pengadilan yang
berwenang pastinya mengenai sengketa Tata Usaha
Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan
bukan pengadilan lainnya. Hal-hal seperti inilah yang
harus diperhatikan dalam menyusun gugatan, untuk
mempersiapkan gugatan lebih matang lagi agar pihak
yang bersangkutan tidak diberhentikan gugatannya.
4. Pengajuan Gugatan
Keempat, setelah persiapan gugatan dianggap
sudah matang, maka ada tahapan lagi dalam
pengajuan gugatan yang perlu diperhatikan karena
sudah diatur dalam undang-undang. Jika ingin
mengajukan suatu gugatan dengan pokok perkara
Tata Usaha Negara sebagaimana sudah dipersiapkan
sebelumnya kepada suatu Pengadilan Tata Usaha
Negara perlu memperhatikan tata cara pengajuan
gugatan. Tata cara pengajuan gugatan diatur dalam
Pasal 53 UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53
ayat (1) UU no. 9 Tahun 2004 mengatur bahwa orang
atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada pengadilan yang berwenang yang berisi
tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah,

56
dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi.
Pasal 53 ayat (2) UU no. 9 Tahun 2004
mengatur bahwa alasan-alasan yang dapat digunakan
dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tadi adalah; Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-
asas umum pemerintahan yang baik. Mengenai
Keputusan Tata Usaha Negara itu bertentangan
dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
dalam penjelasan Pasal 53 ayat (2) yang dimaksud
dengan asas-asas umum pemerintahan baik adalah
meliputi asas kepastian hukum; tertib
penyelenggaraan negara; keterbukaan;
proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Namun asas-asas umum pemerintahan baik
juga ada dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan yakni meliputi asas
kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan;
kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan;
keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang
baik. Jadi ada banyak asas-asas umum pemerintahan
yang baik yang dikenal dalam peraturan perundang-
undangan sekaligus juga ketentuan-ketentuan yang
mengatur bagaimana pejabat Tata Usaha Negara
bertindak maupun dilarang bertindak sesuai

57
kewenangannya. Kalaupun dilanggar asas-asas umum
pemerintahan yang baik atau peraturan perundang-
undangan yang mengatur dalam administrasi negara
maka bisa dijadikan alasan gugatan dari pihak yang
bersangkutan.
1) Gugatan Bersifat Tertulis
Kembali lagi jika gugatan sudah siap dan
melihat dari tata cara pengajuan gugatannya
diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun
1986 bahwa gugatan tersebut harus tertulis atau
disyaratkan dalam bentuk tertulis. Latar belakang
gugatan tersebut disyaratkan tertulis supaya bisa
menjadi pegangan pengadilan atau pedoman bagi
hakim untuk memeriksa dalam persidangan dari
para pihak selama pemeriksaan. Jika mereka
tidak pandai atau buta aksara maka dapat
diserahkan atau diutarakan keinginannya untuk
menggugat kepada Panitera Pengadilan yang
akan membantu merumuskan gugatannya dalam
bentuk tertulis. Jadi gugatan harus diajukan
bersifat tertulis agar menjadi pedoman bagi hakim
untuk memeriksa. Itulah syarat pertama dalam
tata cara pengajuan gugatan.
2) Tenggang Waktu Gugatan
Yang kedua, dalam mengajukan gugatan
perkara Tata Usaha Negara tertulis tidak hanya
datang lalu memberikan gugatan tertulis kepada
Panitera Pengadilan lalu pulang. Pihak yang
bersangkutan harus membayar uang muka biaya
perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU
Pengadilan Tata Usaha Negara di mana besarnya

58
ditaksirkan oleh Panitera Pengadilan. Panitera
Pengadilan akan melihat dan menimbang
kedudukan pokok perkara yang diajukan dengan
besarnya uang muka biaya perkara. Jika pihak
yang bersangkutan mengalami kesulitan dalam
membayar uang muka biaya perkara setelah
ditaksir oleh Panitera Pengadilan, maka diaturnya
dalam Pasal 60 UU Peradilan Tata Usaha Negara
untuk membuka bagi mereka yang tidak mampu.
Pihak Penggugat yang kesulitan dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan dengan cuma-cuma yang pada saat
diajukan permohonan tadi dilengkapi dengan
surat-surat keterangan tidak mampu dari kepala
desa atau lurah di tempat kediaman pemohon.
Dalam hal ini Ketua Pengadilan memeriksa
permohonan tersebut dapat memanggil pemohon
maupun kepala desa atau lurah untuk melengkapi
pemeriksaan permohonan cuma-cuma. Ketua
Pengadilan nantinya akan menetapkan
permohonan tersebut untuk diambil pada tingkat
pertama dan terakhir sebagaimana diatur dalam
Pasal 61 UU Peradilan Tata Usaha Negara. Jadi
jika ada upaya hukum lagi setelah putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara dari pihak
penggugat yang tidak mampu tidak perlu
membuat permohonan cuma-cuma lagi karena
sudah ada permohonan sebelumnya. Sehingga
hal tersebut membuka ruang untuk bagi mereka
yang tidak mampu untuk menggugat secara
cuma-cuma. Namun jika uang muka biaya

59
perkara dapat dibayarkan oleh pihak penggugat
maka gugatannya akan dicatat dalam daftar
perkara oleh Panitera Pengadilan dan tinggal
menunggu dari surat panggilan oleh hakim
selama 30 hari setelah gugatan dicatat dengan
pemberitahuan bahwa gugatan dapat dijawab
dengan tertulis. Itulah syarat kedua bahwa harus
ada pembayaran uang muka biaya perkara
terlebih dahulu saat mengajukan gugatan, kalau
tidak mampu bisa mengajukan permohonan
cuma-cuma ke Ketua Pengadilan.
3) Tata Cara Pengajuan Gugatan beserta Syarat
Gugatan
Lalu yang ketiga, dalam tata cara pengajuan
gugatan harus melihat tempat pengajuan
gugatannya. Pasal 54 UU Pengadilan Tata Usaha
Negara mengatur bahwa gugatan tersebut harus
diajukan kepada Pengadilan yang berwenang
yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan tergugat, jadi jika subjek gugatan
tersebut tinggal di daerah tertentu maka ajukan
gugatan tersebut kepada pengadilan di mana
daerah subjek gugatannya tinggal, walaupun
pihak penggugat berada di luar negeri juga. Juga
jika gugatan tertulis tersebut diajukan terhadap
pihak tergugat lebih dari satu ke Pengadilan maka
gugatan diajukan ke Pengadilan di mana sesuai
dengan daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan salah satu dari pejabat Tata Usaha
Negara. Namun jika pihak Penggugat mengalami
kesulitan untuk mengajukan gugatan karena pihak

60
Tergugat tidak berada dalam daerah hukum
pengadilan tempat kediaman Penggugat maka
dapat diajukan ke Pengadilan di daerah
hukumnya kediaman Penggugat untuk
selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang
bersangkutan dari pihak Tergugat. Jika pihak
Tergugat berada di luar negeri, maka gugatan
yang diajukan kepada Pengadilan di Jakarta. Hal
ini memang perlu diperhatikan tempat Pengadilan
yang berwenang sebagaimana sudah diatur
dalam undang-undang.
Lalu dalam tata cara pengajuan gugatan juga
harus melihat syarat gugatan sebagaimana diatur
dalam Pasal 56 UU Peradilan Tata Usaha
Negara. Jadi saat mengajukan gugatan atau
sebenarnya dalam menyusun gugatan yang baik
harus memperhatikan apa yang sudah diatur
dalam undang-undang.
a) Syarat pertama dalam gugatan harus jelas
sejelas-jelasnya mencantumkan identitas
dari para pihak, dari nama,
kewarganegaraan, tempat tinggal,
pekerjaan penggugat, nama jabatan,
tempat kedudukan tergugat.
b) Syarat kedua bahwa dasar gugatan dan
alasan atau latar belakang gugatan tersebut
juga harus dicantumkan sebagaimana
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
melanggar asas-asas umum pemerintahan
yang baik dan/atau peraturan perundang-
undangan.

61
c) Syarat ketiga bahwa gugatan tersebut
harus dicantumkan isi petitum agar tidak
dianggap sebagai gugatan kabur, isi
gugatan tersebut dibuat selengkap-
lengkapnya, walaupun nanti dianggap
kurang lengkap oleh Majelis Hakim maka
akan dibantu dalam proses persiapan
pemeriksaan oleh Hakim untuk melengkapi
atau memperbaiki isi gugatannya atau
petitum.
d) Syarat keempat, jika menggugat
menggunakan kuasa hukum maka harus
gugatannya disertakan surat kuasa yang
sah untuk melihat dasar hukum dari
kuasanya.
e) Syarat kelima, adalah gugatan tersebut
sedapat mungkin juga disertai Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan
oleh penggugat, dalam hal ini ada kata
‘sedapat mungkin’ yang berarti tidak wajib
untuk melampirkan Keputusan Tata Usaha
Negara atau boleh dilampirkan atau tidak
dilampirkan. Hal ini dikarenakan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat
harus bersifat tertulis namun dapat juga
bersifat fiktif, di mana seakan-akan ada
Keputusan Tata Usaha Negara walaupun
tidak ada wujud fisiknya. Jika pihak
penggugat tidak menerima pun Keputusan
Tata Usaha Negara yang diterbitkan atau
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut

62
tidak ada dalam tangan penggugat
walaupun untuk kepentingan pembuktian di
mana ia seharusnya melampirkan, inilah
letak undang-undang untuk mengatur
syarat gugatan maka penggugat masih
dapat mengajukan gugatannya sesuai
syarat yang sudah diatur dalam undang-
undang dan hakim dapat meminta untuk
melengkapi gugatan dari pejabat Tata
Usaha Negara dengan melampirkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang
diterbitkan. Inilah syarat gugatan yang baik,
dan walaupun sudah masuk melewati rapat
permusyawaratan namun dianggap kurang
lengkap maka Majelis Hakim sebagaimana
diatur dalam Pasal 63 UU Peradilan Tata
Usaha Negara meminta pihak penggugat
untuk melengkapi gugatannya agar syarat
gugatan yang baik.
5. Proses Pemeriksaan Gugatan
Kembali lagi dalam masalah gugatan di mana
gugatan sudah melewati tahapan persiapan dan sudah
diajukan maka tinggal masalah terakhir yakni dalam
proses pemeriksaannya. Sekarang sudah mulai masuk
tahapan acara dari peradilan Tata Usaha Negara. Di
dalamnya terdapat pemeriksaan secara internal
maupun pemeriksaan gugatan. Akan tetapi ada
tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan baik dari
kedua pemeriksaan tersebut, bahwa tahap pertama
adalah Rapat Permusyawaratan dan tahap kedua

63
adalah pemeriksaan persiapan dan tahap
pemeriksaan pokok perkara.

1) Rapat Permusyawaratan
Tahap Rapat Permusyawaratan diatur dalam
Pasal 62 UU Peradilan Tata Usaha Negara.
Setelah Penelitian Administrasi, Ketua Pengadilan
akan melakukan proses dismissal, berupa proses
untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan
penggugat layak dilanjutkan atau tidak. Hal ini
dilakukan secara singkat dalam rapat
permusyawaratan dipimpin oleh Ketua
Pengadilan. Dalam Prosedur Dismissal Ketua
Pengadilan berwenang memanggil dan
mendengar keterangan para pihak sebelum
menentukan penetapan apabila dipandang perlu.
Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak
berdasar, dalam hal; pokok gugatan tersebut
nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan (melihat dasar fakta tersebut
penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan
hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan
tuntutannya); syarat-syarat gugatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 UU No.5 Tahun 1986
(mengenai identitas penggugat dan tergugat, latar
belakang gugatan yang berisi dasar gugatan, isi
petitum atau isi gugatan yang diminta, perwakilan
dari kuasa diperlukannya surat kuasa yang sah,

64
dan gugatan sedapat mungkin disertai Keputusan
Tata Usaha Negara yang disengketakan) tidak
terpenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diberitahu dan diperingatkan; gugatan tersebut
tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak
(seperti yang sudah disebutkan dalam Pasal 53
ayat (2) huruf a sampai c UU No. 9 Tahun 2004
jo. UU No. 5 Tahun 1986); apa yang dituntut
dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah
lewat waktunya (terhitung dari 90 hari sejak saat
diterimanya Keputusan Tata Usaha Negara).
Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-
nyata tidak dapat dikabulkan, maka kemungkinan
ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum
gugatan tersebut. Hal ini dalam praktik tidak
pernah dilakukan karena adanya perbaikan
gugatan dalam pemeriksaan persiapan.
Penetapan Dismissal ditandatangani oleh ketua
dan panitera atau wakil panitera (wakil ketua
dapat pula menandatangani penetapan dismissal
dalam hal ketua berhalangan). Penetapan Ketua
Pengadilan tentang dismissal proses yang berisi
gugatan penggugat tidak diterima atau tidak
berdasar, diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan
ditentukan terlebih dahulu memanggil kedua
belah pihak melalui surat tercatat oleh Panitera
atas perintah Ketua Pengadilan untuk didengar
keterangannya.

65
Selanjutnya penetapan dismissal harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum. Terhadap penetapan dismissal dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
diucapkan. Proses perlawanan dilakukan secara
singkat, serta setidak-tidaknya perlawanan dari
pihak Penggugat/Pelawan maupun
Tergugat/Terlawan didengar dalam persidangan
tersebut. Pemeriksaan gugatan perlawanan
dilakukan secara tertutup. Terhadap perlawanan
yang dinyatakan benar maka Dalam hal
perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan
maka penetapan dismissal itu gugur demi hukum
yang diucapkan oleh Ketua Pengadilan dan pokok
gugatan akan diperiksa dan diputus dengan acara
biasa. Apabila perlawanan tersebut ditolak maka
tidak dapat diupayakan upaya hukum banding
maupun kasasi. Misalnya ada yang mengajukan
permohonan banding atau upaya hukum lainnya,
maka Panitera berkewajiban membuat akta
penolakan banding atau upaya hukum lainnya.
2) Pemeriksaan Persiapan
Tahapan Pemeriksaan Persiapan sebagaimana
diatur dalam Pasal 63 UU Peradilan Tata Usaha
Negara. Jadi sebelum pemeriksaan pokok
sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi
gugatan yang kurang jelas. Tujuan pemeriksaan
persiapan adalah untuk mematangkan perkara.
Namun pemeriksaan persiapan dapat pula

66
dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh
ketua majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh ketua majelis. Oleh karena itu
dalam pemeriksaan persiapan memanggil
penggugat untuk menyempurnakan gugatan dan
atau tergugat untuk dimintai keterangan atau
penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak
selalu harus didengar secara terpisah. Di sini
Majelis Hakim berwenang untuk; wajib memberi
nasehat kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapi dengan data yang
diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh hari;
dan dapat meminta penjelasan kepada Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, demi lengkapnya data yang
diperlukan untuk gugatan itu.
Wewenang Hakim ini untuk mengimbangi dan
mengatasi kesulitan seseorang sebagai
Penggugat dalam mendapatkan informasi atau
data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara mengingat bahwa penggugat
dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
kedudukannya tidak sama. Dapat pula melakukan
acara mendengarkan keterangan-keterangan dari
Pejabat Tata Usaha Negara lainnya atau
mendengarkan keterangan siapa saja yang
dipandang perlu oleh hakim serta mengumpulkan
surat-surat yang dianggap perlu oleh hakim.
Hakim juga dapat meminta kepada Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
untuk mengirimkan kepada Pengadilan

67
Keputusan Tata Usaha Negara yang sedang
disengketakan itu, karena mengingat kembali
syarat gugatan yang baik bahwa pihak penggugat
belum tentu sudah menerima Keputusan Tata
Usaha Negara di tangan penggugat. Selama 30
hari seperti yang sudah diatur dalam undang-
undang, Majelis Hakim juga harus menyarankan
kepada penggugat untuk memperbaiki petitum
gugatan yang sesuai dengan maksud ketentuan
Pasal 53 tentang petitum gugatan.
Kalau gugatan dari Penggugat dinilai oleh
Hakim sudah sempurna maka tidak perlu
diadakan perbaikan gugatan. Hakim tentu akan
berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja
menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak
dapat diterima kalau penggugat baru satu kali
diberi kesempatan untuk memperbaiki
gugatannya. Namun apabila penggugat belum
menyempurnakan gugatan setelah lewat 30 hari,
maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa
gugatan tidak dapat diterima. Putusan ini tidak
dapat digunakan dengan upaya hukum sama
seperti hasil putusan dari perlawanan
sebelumnya, namun dapat diajukan gugatan baru.
Setelah pemeriksaan persidangan dapat
dilanjutkan acara pemeriksaan pokok sengketa
dengan ditentukannya hari sidang oleh Hakim.
3) Pemeriksaan Pokok Perkara
Tahap Pemeriksaan Pokok Perkara dalam
tahapan ini sudah diatur dalam Pasal 63 sampai
97 UU Peradilan Tata Usaha Negara. Namun

68
acara pemeriksaan gugatan seluruhnya diatur
dalam Pasal 62 sampai 99 UU Peradilan Tata
Usaha Negara, dalam acara pemeriksaan ini
untuk memeriksa pokok perkara dari gugatan
yang sudah masuk dan dianggap lengkap oleh
Hakim untuk memeriksa dari kedua pihak. Dalam
pemeriksaan ini dibagi dengan tiga acara yakni,
acara singkat, acara biasa dan acara cepat.
a) Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat
diatur dalam Pasal 62 ayat (4), bahwa
waktu dalam pemeriksaan harus
dipersingkat, dari pemeriksaan hingga
putusan oleh Ketua Pengadilan. Dalam hal
ini Ketua Pengadilan akan menuntut agar
acaranya dipersingkat jadi jika dalam rapat
permusyawaratan tadi menunggu
keterangan dari pihak bersangkutan harus
berminggu-minggu maka Ketua
Pengadilan meminta keterangan tersebut
untuk diberikan hanya dalam hitungan hari
atau jam saja. Jadi acara pemeriksaan ini
dilakukan secara singkat tanpa bertele-
tele, jangan ditunda-tunda. Setelah acara
pemeriksaan singkat ini ditetapkan bisa
lanjut sebagaimana sudah diterangkan
sebelumnya akan masuk. Kembali lagi
setelah pemeriksaan persiapan setelah
rapat permusyawaratan adanya tahap
pemeriksaan pokok perkara, di mana

69
dimungkinkannya ada ketiga acara
pemeriksaan salah satunya acara singkat.

b) Acara Cepat
Selanjutnya ada acara cepat di
mana diatur dalam Pasal 98-99 UU
Peradilan Tata Usaha Negara. Jadi untuk
pemeriksaan perkara dengan acara cepat
dapat dilaksanakan jika ada kepentingan
penggugat yang cukup mendesak
sehingga penggugat akan memohon
kepada Pengadilan disertai alasan-alasan
permohonannya supaya pemeriksaan
sengketa dipercepat. Ketua Pengadilan
akan menilai dan mengeluarkan
penetapan dari permohonan pemeriksaan
dipercepat selama 14 hari dan penetapan
tersebut tidak dapat digunakan upaya
hukum jika tidak dikabulkan. Jika
dikabulkan maka dalam 7 hari, hakim akan
menentukan proses pemeriksaan tanpa
melalui prosedur pemeriksaan persiapan
melainkan langsung lanjut ke acara
pemeriksaan pokok perkara dengan acara
cepat selama tidak boleh melebihi 14 hari.
c) Acara Biasa
Lalu ada pemeriksaan pokok
perkara dengan acara biasa ada tahapan
lagi yakni terdiri dari tanya jawab, proses
pembuktian, penyampaian kesimpulan,

70
dan pembacaan putusan. Perlu
diperhatikan juga jika penggugat ataupun
kuasa tidak hadir berturut-turut sebanyak
2 kali meskipun sudah ada panggilan patut
maka gugatan menjadi gugur. Tahap
tanya jawab, tahap proses penggugat
mengajukan gugatan maka tergugat boleh
menjawab gugatan tersebut, kemudian
penggugat juga boleh melakukan
sanggahan terhadap jawaban tergugat
(replik) terhadap replik tersebut, tergugat
boleh menjawab lagi dinamakan duplik.
Sebenarnya dalam tahap ini sebelum
tergugat menjawab atas gugatan tersebut,
pihak penggugat dapat mengajukan untuk
pencabutan gugatan, ataupun sudah
terlanjur dijawab maka diperlukan
persetujuan dari tergugat sebagaimana
diatur dalam Pasal 76 UU Peradilan Tata
Usaha Negara.
Tahap proses pembuktian, hal ini sangat
penting selain membuat gugatan, replik atau
duplik juga perlu pembuktiannya supaya dapat
mendukung apa yang didalilkan. Pasal 100 UU
Peradilan Tata Usaha Negara mengatur alat bukti
surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan
saksi; pengakuan para pihak; pengetahuan
hakim. Sebenarnya pengakuan para pihak sudah
ada saat proses tanya jawab jadi tidak diperlukan
lagi, dan pengetahuan hakim saat mencoba untuk
memeriksa dan memutuskan perkara tersebut,

71
dari keyakinan hakim juga bahwa sebagai salah
satu alat kunci pembuktian dan turut
mempengaruhi dari putusan Pengadilan tersebut.
Dalam pembuktian dalam pemeriksaan biasanya
dilakukan pembuktian dari surat bukti dari
penggugat lalu kemudian tergugat jika juga ingin
menyampaikan alat-alat bukti tertulis lainnya.
Kemudian pengajuan dari keterangan saksi dari
pihak penggugat juga lalu pihak tergugat.
Keterangan saksi ini didasarkan pada apa yang
dialami, dilihat, atau dengan sendiri. Dilanjutkan
lagi dengan keterangan ahli dari pihak penggugat
lalu juga dari pihak tergugat. Keterangan ahli
berdasarkan keterangan dari basisnya keahlian
dari bidangnya berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman daripada keterikatan dengan pihak
tertentu. Tidak ada saksi ahli, adanya saksi dan
ahli. Ketiga inilah yang menjadi bukti penting yang
perlu dipersiapkan oleh penggugat maupun
tergugat. Karena adanya prinsip Unus Testis
Nulus Testis, di mana satu saksi bukanlah saksi.
Jadi dalam pembuktian tersebut hanya dengan
alat bukti tertulis saja tidak cukup, baik juga hanya
keterangan saksi atau keterangan ahli. Melainkan
dari semua bukti yang diajukan dapat
membuktikan adanya hubungan dengan apa yang
coba didalilkan oleh para pihak yang kemudian
akan menjadi pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tersebut.
Kemudian tahap pengajuan kesimpulan, di
mana akan diperlukannya membuat kesimpulan

72
dari semua proses tanya jawab dan semua
pembuktian yang ada walaupun bersifat sunah
atau bukan wajib karena akan membantu hakim
untuk melihat kembali apa yang didalilkan oleh
para pihak namun bukan sebagai pertimbangan
utama dalam memutus sebuah putusan. Tahap
pembacaan keputusan, maka hakim akan
meminta sekitar 2-3 minggu untuk membacakan
keputusannya. Hakim akan memanggil para pihak
lagi untuk dibacakan putusannya. Jadi inilah
tahap terakhir dari proses pemeriksaan pokok
perkara Tata Usaha Negara. Setelah putusan dari
Pengadilan Tata Usaha Negara keluar maka hasil
dari putusan tersebut bisa dilakukan upaya hukum
lanjut dengan upaya banding dan kasasi. Kalau
gugatan dikabulkan maka bisa bentuk pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara, pencabutan
Keputusan Tata Usaha Negara dan penerbitan
yang baru, penerbitan Keputusan Tata Usaha
Negara yang diminta, ganti rugi dan rehabilitasi.

M. KESIMPULAN
Pengadilan Tata Usaha Negara sekarang telah hadir di Negara
Indonesia sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum atau
sebagai penegakan hukum publik melihat konsep Negara
Kesejahteraan. Perbuatan yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha
Negara bisa saja menimbulkan perselisihan hukum dengan warga
negara melalui pengeluaran Surat Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat tertulis, konkret, individual, final dan menimbulkan
akibat hukum yang biasanya merugikan warga negara lain atau
badan hukum lainnya. Hal ini dijadikan sebagai objek sengketa Tata

73
Usaha Negara yang akan diselesaikan oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara sesuai dengan kewenangan yang telah diatur oleh peraturan
perundang-undangan sekarang ini. Lalu kemudian dalam peraturan
perundang-undangan juga mengatur akan ketentuan-ketentuan di
mana acara pemeriksaan harus dilakukan dengan tahapan-tahapan
tertentu. Perlu diperhatikan juga dari pihak bersangkutan dari syarat
gugatan sampai tata cara pengajuan gugatan hingga dalam proses
pemeriksaan dalam persidangan Tata Usaha Negara. Jangan
sampai salah langkah atau lebih baik mengenal langkah-langkah
yang ada dalam setiap proses tahapan dalam mengajukan gugatan
atas sengketa Tata Usaha Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Rahayu. 2015. Hukum Hak Asasi Manusia. Semarang: UNDIP Semarang.

Subiharta. 2015. Moralitas Hukum Dalam Hukum Praktis Sebagai Suatu


Keutamaan. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4 No. 3, Hal 385-389.
Gonti, Heryani N. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Mengeluarkan
Izin Terhadap Perusahaan Penanaman Modal. Tidak diterbitkan

Salam, Syukron. 2018. Perkembangan Doktrin Perbuatan Melawan Hukum


Penguasa. Nurani Hukum, Vol.1 No. 1, Hal 33-44

Peraturan Peundang-Undangan :

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 Tentang Susunan dan Kekuasaan


Badan-Badan Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang


Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara

74
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Pertama Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha


Negara

75

Anda mungkin juga menyukai