Anda di halaman 1dari 5

Syarat-syarat Khutbah dan Penjelasannya (I)

islam.nu.or.id/jumat/syarat-syarat-khutbah-dan-penjelasannya-i-tePWC

Khutbah Jumat merupakan salah satu ibadah yang menentukan keabsahan prosesi
shalat Jumat. Karenanya, rukun, syarat dan segala ketentuannya harus terpenuhi agar
pelaksanaan Jumat sah. Khutbah Jumat dilakukan dua kali, di antara khutbah pertama
dan kedua dipisah dengan duduk. Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus
dipenuhi. Membaca hamdalah, shalawat Nabi dan wasiat bertakwa di kedua khutbah,
membaca ayat suci al-Quran di salah satu dua khutbah serta membaca doa untuk umat
Islam di khutbah kedua.

Khutbah Jumat memiliki 12 syarat yang harus terpenuhi sebagai berikut:


Syarat pertama, khatib harus laki-laki.

Syarat ini–sebagaimana syarat diperdengarkan dan didengar jamaah serta berbahasa


Arab- juga berlaku untuk selain khutbah Jumat, seperti khutbah shalat hari raya dan
shalat gerhana. Sehingga tidak sah khutbah dilakukan oleh perempuan.

Syekh al-Qalyubi mengatakan:

1/5
‫ويشترط كون الخطيب ذكرا أو كونه تصح إمامته للقوم كما قاله شيخنا الرملي واعتمده شيخنا الزيادي الى ان قال وشرط‬
‫الذكورة جار في سائر الخطب كاإلسماع والسماع وكون الخطبة عربية‬

“Disyaratkan khathib seorang laki-laki atau orang yang sah menjadi imam bagi jamaah
sebagaimana yang dikatakan Syekh al-Ramli dan dibuat pegangan oleh guru kami
Syekh al-Zayadi. Syarat ini berlaku juga di selain khutbah Jumat sebagaimana syarat
khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jamaah serta syarat harus berbahasa
Arab.” (Syekh al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 322).

Syarat kedua, khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jamaah Jumat yang
mengesahkan Jumat.

Khutbah disyaratkan harus dengan suara yang keras. Sekiranya dapat didengar oleh
jama’ah jumat yang mengesahkan pelaksanaan Jumat, yaitu setiap muslim yang baligh,
berakal, merdeka, berjenis kelamin laki-laki dan bertempat tinggal tetap (muqim
mustauthin). 

Ulama berbeda pendapat mengenai standart memperdengarkan khutbah kepada


Jamaah. Versi Imam Ibnu Hajar harus diperdengarkan secara nyata, sehingga andaikan
ada suara-suara yang menghambat pendengaran jamaah kepada khutbah seperti
ramai-ramai, maka tidak cukup, bahkan khatib harus lebih mengeraskan suaranya lagi
sampai didengar oleh Jamaah.

Sedangkan menurut Imam al-Ramli, cukup memperdengarkan secara hukum saja,


maksudnya khatib cukup membaca khutbah sekira didengar jamaah, meskipun mereka
tidak mendengar karena ada keramaian yang menghambat pendengaran jamaah,
namun andaikan tidak ada penghalang, jamaah tetap dapat mendengar isi khutbah. 

Menurut keduanya, tidak cukup penyampaian khutbah disertai dengan tidur atau tulinya
jamaah.

Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:

2/5
‫ومن شروط الخطبتين أن يسمعهما أربعون ممن تنعقد بهم الجمعة واختلف ابن حجر والرملي حول اإلسماع هل يلزم بالفعل أو‬
‫بالقوة؟ ابن حجر يقول ال بد من اإلسماع بالفعل معناه لو كان هناك ضجة أو طبول تضرب أو صياح وجب على الخطيب أن‬
.‫ أما الرملي فيقول السماع بالقوة فقط يرفع الخطيب صوته بحيث لو زال المشوش لسمعوا‬.‫يرفع صوته حتى يسمعوا بالفعل‬
‫ولو نام واحد منهم أو كان أصم ولم يزل العدد عن أربعين بطلت الجمعة‬.

“Di antara syarat dua khutbah adalah didengar oleh 40 orang yang mengesahkan
Jumat. Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Ramli berbeda pendapat mengenai standar
memperdengarkan kutba, apakah wajib diperdengarkan secara nyata atau cukup
dengan hukum saja?. Imam Ibnu Hajar berkata harus diperdengarkan secara nyata.
Maksudnya, bila ada kegaduhan, gendang yang ditabuh atau jeritan, wajib bagi khatib
mengeraskan suaranya sampai mereka mendengar secara nyata. Sedangkan imam al-
Ramli berkata cukup memperdengarkan secara hukum saja, khatib cukup mengeraskan
suaranya, sekira apabila hilang perkara yang mengganggu, jamaah dapat
mendengarnya. Apabila di antara jamaah ada yang tidur atau tuli, dan jamaah jumat
tidak mencapai 40 orang, maka jumat batal. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri,
Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal 242).

Khatib atau jamaah tidak disyaratkan faham makna khutbah yang disampaikan,
sebagaimana dikatakan oleh Syekh Nawawi sebagai berikut:

‫وال يضر عدم فهم معناهما حتى في حق الخطيب كمن يؤم القوم وال يعرف معنى الفاتحة‬

“Tidak bermasalah ketidakfahaman kepada makan dua khutbah, sekalipun khatibnya


sendiri, sebagaimana orang yang mengimami kaum dan ia tidak faham makna al-
Fatihah. (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, juz 1, hal.140).

Syarat ketiga, khutbah dibaca di kawasan bangunan rumah penduduk desa.

Penyampaian khutbah harus berada di kawasan tempat pelaksanaan Jumat.


Maksudnya, posisi khatib harus berada di titik yang masih tergolong wilayah desa
pelaksanaan Jumat. Meski Jamaah Jumat mendengarkan khutbah di luar kawasan
Jumat, khutbah tetap sah, asalkan khatib menyampaikannya di kawasan pelaksanaan
Jumat.

Syarat keempat, khatib harus suci dari dua hadats.

3/5

Syarat kelima, khatib harus suci dari najis.

Syarat keenam, khatib harus menutup aurat.

Syarat keempat, kelima dan keenam ini ditetapkan karena mempertimbangkan bahwa
khutbah Jumat menempati posisi dua rakaat shalat. Sehingga syarat-syarat ini
diperlukan sebagaimana menjadi syarat sah pelaksanaan shalat. Maka, tidak sah
khutbah dilakukan oleh khatib yang berhadas, terbuka auratnya dan terkena najis
pakaian, tempat atau sesuatu yang dibawanya.

Baca juga: Saat Khatib Kentut di Tengah Khutbah, Lalu Bagaimana?

Khatib yang batal (misalkan kentut) saat menyampaikan khutbahnya, diperbolehkan


untuk mengganti dirinya dengan salah satu jamaah yang hadir. Dan pengganti khatib
tersebut boleh meneruskan bacaan khatib yang awal asalkan tidak ada masa pemisah
yang lama menurut standar ‘urf (keumuman) antara bacaan khatib pertama dan kedua.
Namun jika melewati pemisah yang lama, maka khatib pengganti tersebut harus
memulai khutbah dari awal.

Namun apabila tidak bermaksud menggantinya dengan khatib lain, maka setelah
kembali bersuci, khatib tersebut harus mengulang khutbahnya dari awal, meskipun ia
kembali dalam waktu yang singkat. Sebab khutbah merupakan satu bentuk kesatuan
ibadah, sehingga tidak dapat dilakukan dengan dua kali bersuci seperti halnya shalat.

Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani mengatakan:

‫ومن أحدث في أثناء الخطبة أو بعدها واستخلف قبل طول الفصل من يبني على فعله ممن حضر جاز‬

“Khatib yang berhadas di pertengahan khutbah atau setelahnya dan menggantinya


dengan jama’ah yang hadir dan ia meneruskan bacaan khutbahnya sebelum melewati
pemisah yang lama, maka diperbolehkan.” (Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-
Jordani, Fath al-‘Alam, juz.3, hal. 63, cetakan Dar al-Salam-Kairo, cetakan keempat
tahun 1990).

4/5

Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani mengatakan:

‫فلو أحدث في أثناء الخطبة استأنفها وإن سبقه الحدث وقصر الفصل ألنها عبادة واحدة فال تؤدى بطهارتين كالصالة‬

“Apabila khatib berhadas di pertengahan khutbah, ia wajib mengulangi khutbahnya


(setelah ia bersuci), meskipun tidak sengaja berhadas dan pemisahnya sebentar, sebab
khutbah adalah satu bentuk kesatuan ibadah, maka tidak dapat dilakukan dengan dua
kali bersuci seperti halnya shalat.” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah al-
Zain, juz 1, hal. 141).

(M. Mubasysyarum Bih)

Bersambung...

5/5

Anda mungkin juga menyukai